Anda di halaman 1dari 18

TEROBOSAN HUKUM HAKIM TERKAIT PENCABUTAN

SURAT PENOLAKAN PERKAWINAN DALAM MASA IDDAH

Kajian Putusan Nomor 287/Pdt.P/2017/PA.TA

JUDICIAL BREAKTHROUGH ON THE REVOCATION OF


MARRIAGE REJECTION LETTER DURING THE IDDAH PERIOD
An Analysis of Decision Number 287/Pdt.P/2017/PA.TA

Muhamad Fauzi Arifin & Lukman Santoso


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo
Jl. Pramuka No. 156 Ronowijayan Ponorogo 63471
E-mail: muh.fauziarifin22@yahoo.com dan lukmansantoso4@gmail.com

Naskah diterima: 2 Februari 2018; revisi: 20 November 2019; disetujui 19 Desember 2019

http://dx.doi.org/10.29123/jy.v12i3.331

ABSTRAK melangsungkan perkawinan.

Perkawinan dalam masa iddah secara hukum tidak dapat Kata kunci: surat penolakan perkawinan; masa iddah;
dilaksanakan sebelum masa iddah-nya habis. Berbeda penemuan hukum.
halnya dengan Putusan Pengadilan Agama Tulungagung
Nomor 287/Pdt.P/2017/PA.TA tentang pencabutan surat
ABSTRACT
penolakan perkawinan dalam masa iddah. Penelitian
terhadap putusan ini dilakukan dengan studi kepustakaan, No marriage is allowed for a woman during the period
dengan pendekatan yuridis dan analisis kualitatif. of iddah. This guidance is different from the substance
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa, dasar hukum of Tulungagung Religious Court Decision Number 287/
yang digunakan majelis hakim yaitu Pasal 153 ayat (2) Pdt.P/2017/PA.TA that has revocated the marriage
Huruf b KHI, QS. At-Thalaq ayat 4, serta Pasal 53 KHI, rejection letter during the iddah period. The research
yang diketahui dengan menggunakan metode penemuan on this decision was carried out with a literature study
hukum (rechtvinding), di antaranya: pertama, metode with a juridical approach and qualitative analysis. The
interpretasi sistematis dan metode istimba’th digunakan legal basis used by the panel of judges is Article 153
untuk mengetahui bahwa masa iddah W (pemohon) Paragraph 2 letter b KHI, QS. At-Thalaq verse 4 and
bukan iddah hamil akan tetapi iddah qurû’; kedua, Article 53 KHI. The judges also made some judicial law-
metode a contrario (argumen a contrario) terhadap making (rechtsvinding) that can be inferred as follows.
Pasal 153 ayat (2) huruf c KHI, untuk mengetahui siapa First, the use of a systematic interpretation method and
pria yang menghamili W (pemohon), sekaligus sebagai istimba’th method for the conclusion that the iddah of
dasar untuk mencabut surat penolakan perkawinan dari the applicant (W) in this case, is not iddah pregnant
KUA tersebut; dan ketiga, silogisme terhadap Pasal 53 but iddah quru. Second, the use of the a-contrario
KHI, untuk mengetahui bahwa di antara W (pemohon) argument against Article 153 Paragraph 2 letter c KHI
dengan S (calon suami) tidak ada halangan untuk to find out the man who has impregnated the applicant.

Terobosan Hukum Hakim Terkait Pencabutan Surat Penolakan Perkawinan (M.F. Arifin & Lukman Santoso) | 381
This argument is also the logical basis for revoking the prospective husband (S).
marriage rejection letter from the KUA. Third, the use of
Keywords: marriage rejection letter; the iddah period;
syllogism against Article 53 KHI to make sure there is
judicial law-making.
no obstacle of marriage between the applicant and her

I. PENDAHULUAN perceraian tersebut tentunya akan mengakibatkan


A. Latar Belakang berbagai dampak, salah satunya mengenai masa
iddah bagi istri.
Perkawinan dalam hukum Islam
merupakan salah satu bentuk ibadah sekaligus Iddah berasal dari bahasa Arab dari akar kata
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia adda-ya’uddu-‘idatan dan jamaknya adalah ‘idad
dalam rangka memadu kasih sayang antara pria yang secara arti kata berarti: “menghitung” atau
dan wanita. Selain itu, juga untuk memelihara “hitungan” (Munawwir, 2002:903). Sedangkan
kelangsungan hidup manusia, dengan melahirkan secara istilah iddah adalah waktu tunggu bagi
keturunan sebagai generasinya di masa yang akan wanita yang ditalak atau ditinggal mati suaminya,
datang (Mardani, 2011:3). Berdasarkan Pasal 1 untuk mengetahui dengan yakin bebas atau
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang tidaknya wanita itu dari hamil atau bagi wanita
Perkawinan, dijelaskan bahwa perkawinan yang sudah putus haidnya, dimaksudkan semata-
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria mata ta’abbud (beribadah taat) kepada hukum
dengan seorang wanita sebagai suami istri Allah SWT (Sudarsono, 2001:277). Berdasarkan
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia pengertian tersebut sudah jelas bahwa seorang
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha istri yang telah diceraikan oleh suaminya, apabila
Esa. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam akan melangsungkan perkawian kambali harus
(KHI), perkawinan adalah akad yang sangat kuat menunggu sampai waktu tunggu atau iddah-
atau misaqan ghaliza untuk menaati perintah nya habis, dan apabila perkawian tersebut tetap
Allah SWT dan melaksanakannya merupakan dilakukan selama masa iddah belum habis, maka
ibadah. Kantor Urusan Agama (KUA) harus menolak
untuk melangsungkan perkawinan dengan
Allah SWT telah menetapkan adanya
mengeluarkan surat penolakan perkawinan.
aturan tentang perkawinan bagi manusia, dengan
aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, Perkara yang diajukan di Pengadilan Agama
sehingga hubungan pria dan wanita diatur secara Tulungagung, tentang permohonan pencabutan
terhormat (Al Hamdani, 2002:1-2). Merujuk pada surat penolakan perkawinan, yaitu Putusan Nomor
KUHPerdata bahwa untuk dapat melangsungkan 287/Pdt.P/2017/PA.TA yang diputus pada tanggal
perkawinan harus dipenuhi syarat-syarat pokok 4 Oktober 2017. Perkara tersebut dilatarbelakangi
demi sahnya suatu perkawinan, antara lain syarat karena adanya penolakan perkawinan antara
materiel dan syarat formal (HS, 2008:63-64). W (pemohon) dengan S (calon suami) yang
Selain syarat tersebut, masih terdapat syarat dilakukan oleh KUA Kecamatan Kedungwaru,
khusus terhadap perkawinan yang dilaksanakan Kabupaten Tulungagung, dengan dikeluarkannya
setelah adanya perceraian, karena setelah Surat Penolakan Perkawinan Nomor B-252/

382 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 3 Desember 2019: 381 - 398


Kua.15.04.15/PW.01/09/2017, tanggal 12 tanggal 12 September 2017, serta penjelasan
September 2017. Pihak KUA menyatakan bahwa Kepala KUA bahwa W (pemohon) hamil dalam
perkawinan tersebut tidak dapat dilaksanakan masa iddah. Perkawinan tersebut baru dapat
karena W (pemohon) diketahui hamil dalam masa dilaksanakan setelah habisnya masa iddah W
iddah dan menganggap kehamilan tersebut terjadi (pemohon) atau sampai melahirkan.
karena hubungan badan antara W (pemohon)
W (pemohon) merasa keberatan atas
dengan mantan suaminya. Sesuai dengan Pasal
surat penolakan yang dikeluarkan pihak KUA,
153 ayat (3) Huruf d KHI yang disebutkan bahwa
karena antara keduanya tidak ada halangan
masa iddah-nya sampai melahirkan.
untuk melangsungkan perkawinan baik menurut
Adapun duduk perkara dalam penetapan ketentuan agama maupun peraturan yang berlaku.
perkara tersebut diketahui bahwa W (pemohon) Secara hukum, nikah hamil tidak dilarang
berstatus janda cerai, sebagaimana termuat berdasarkan ketentuan Pasal 53 KHI, oleh karena
dalam Akta Cerai Nomor 1352/AC/2017/PA.TA hal tersebut kemudian W (pemohon) mengajukan
tertanggal 20 Juni 2017. Ketika perceraian permohonan pencabutan surat penolakan di
tersebut W (pemohon) dalam keadaan suci Pengadilan Agama Tulungagung. Di dalam
ba’da dukhûl, dengan masa iddah terhitung persidangan, majelis hakim memberikan putusan
sejak tanggal 20 Juni 2017 dan berakhir pada mengabulkan semua petitum yang diajukan oleh
tanggal 20 September 2017. Ketika masa iddah W (pemohon).
tersebut belum berakhir, W (pemohon) hendak
Berangkat dari latar belakang di atas,
menikah dengan pria bernama S (calon suami)
di mana penetapan Pengadilan Agama
asal Kabupaten Trenggalek, antara keduanya
Tulungagung bertolak belakang dengan Surat
sudah saling kenal sejak sebelum W (pemohon)
Penolakan Perkawinan yang dikeluarkan oleh
bercerai dengan suaminya, dan telah melakukan
KUA Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung.
hubungan badan hingga W (pemohon) diketahui
Tentunya dalam hal ini majelis hakim berusaha
hamil dua bulan.
keras mencari dasar hukumnya dari berbagai
Oleh karena W (pemohon) dalam kondisi sumber, tidak hanya membaca teks hukum formal
hamil tersebut, maka W (pemohon) dan S (calon melainkan juga sumber non-hukum, karena
suami) ingin segera melangsungkan perkawinan. hakim harus melakukan “fresh judgement”
Layaknya persiapan perkawinan pada umumnya, untuk menemukan hukum yang tepat, yakni
persyaratan untuk melangsungkan perkawinan dengan digunakannya beberapa metode
antara W (pemohon) dan S (calon suami) penemuan hukum (rechtvinding). Hasil dari
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun penemuan hukum tersebut dapat diketahui dari
1974 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 477 pertimbangan hukum. Berdasarkan pertimbangan
Tahun 2004 sudah dipenuhi. Namun Kepala KUA hukum tersebut, dapat diketahui fakta-fakta yang
Kedungwaru Kabupaten Tulungagung menolak terungkap dalam persidangan, yaitu kehamilan
untuk melangsungkan perkawinan, dengan W (pemohon) ialah hasil hubungan badan di luar
alasan adanya halangan persyaratan perkawinan nikah yang dilakukan dengan S (calon suami),
sebagaimana termuat dalam Surat Kepala KUA karena faktanya AM (mantan suami pemohon)
Nomor B-252/Kua.15.04.15/PW.01/09/2017 telah pergi dan tidak diketahui keberadaannya

Terobosan Hukum Hakim Terkait Pencabutan Surat Penolakan Perkawinan (M.F. Arifin & Lukman Santoso) | 383
sejak 1 (satu) tahun lalu. Sehingga hal tersebut metode penemuan hukum (rechtvinding) dalam
digunakan sebagai dasar untuk mencabut surat menangani suatu perkara dan hukum perkawinan
penolakan perkawinan dari KUA Kedungwaru. dalam masa iddah.

Hakikatnya seorang hakim memerlukan


interpretasi hukum yang baru untuk menemukan D. Tinjauan Pustaka
hukum yang tepat, serta dapat melakukan 1. Hukum Perkawinan di Indonesia
terobosan yang tidak hanya terpaku pada undang- Kata perkawinan secara bahasa disebut
undang saja untuk menciptakan suatu keadilan. dengan munakahat, sedangkan dalam bahasa
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti Arab, yaitu Ahkam Al-Zawaj atau Ahkam Izwaj
permasalahan tersebut dengan melakukan analisis (Mardani, 2011:3), yang berarti akad (perjanjian)
yuridis terhadap Putusan Nomor 287/Pdt.P/2017/ yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai
PA.TA tentang Pencabutan Surat Penolakan suami istri (Ramulyo, 2004:1). Secara istilah
Perkawinan dalam Masa Iddah. perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang
pria dan wanita untuk hidup bersama dalam
B. Rumusan Masalah rumah tangga, yang dilaksanakan menurut
ketentuan hukum syariat Islam (Hamid, 2000:1).
Berdasarkan latar belakang di atas,
Sedangkan dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian
1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
ini adalah bagaimana metode penemuan hukum
seorang pria dengan seorang wanita sebagai
(rechtvinding) oleh majelis hakim sehingga
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
secara hukum penolakan perkawinan dalam masa
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
iddah dari KUA dapat dicabut, dengan melakukan
Yang Maha Esa.
analisis yuridis terhadap Putusan Nomor 287/
Pdt.P/2017/PA.TA tentang pencabutan surat Rukun dan syarat perkawinan di Indonesia
penolakan perkawinan dalam masa iddah? termuat dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam, di dalam
C. Tujuan dan Kegunaan peraturan tersebut terdapat rukun dan syarat
yang harus dipenuhi oleh para subjek hukum
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui yang merupakan unsur atau bagian dari akad
metode penemuan hukum (rechtvinding) yang perkawinan. Secara tegas rukun perkawinan
digunakan oleh majelis hakim dalam Putusan disebutkan dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum
Nomor 287/Pdt.P/2017/PA.TA. Sedangkan Islam, sedangkan syarat perkawinan diatur dalam
kegunaan tulisan ini adalah untuk pengembangan Pasal 6-12 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
ilmu hukum, khususnya mengenai teori Perkawinan, di antaranya:
penemuan hukum (rechtvinding) sebagai metode
yang digunakan hakim, ketika menangani kasus a. Calon suami, syaratnya yaitu: bukan
yang secara hukum belum diatur dalam undang- mahram dari calon istri, atas kemauan
undang. Secara praktis manfaat penelitian ini sendiri, jelas orangnya dan tidak
dapat dijadikan sebagai literatur bagi akademisi sedang ihram haji.
maupun praktisi hukum, untuk memahami

384 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 3 Desember 2019: 381 - 398


b. Calon istri, syaratnya yaitu: tidak putusan pengadilan (Daradjat, 2013:274). Masa
bersuami, bukan mahram, tidak iddah tersebut hanya berlaku bagi istri yang sudah
sedang dalam masa iddah, atas melakukan hubungan suami istri (ba’da dukhûl).
kemauan sendiri, jelas orangnya Lain halnya apabila istri belum melakukan
dan tidak sedang berihram haji (Al hubungan suami istri (qabla dukhûl) maka tidak
Hamdani, 2002:67-69). berlaku baginya masa iddah (Ali, 2012:87),
dan setelah terjadi perceraian tersebut selama
c. Wali nikah, syaratnya yaitu: laki-laki,
menjalani masa iddah seorang wanita dilarang
dewasa, sehat akalnya, tidak dipaksa,
untuk menikah dengan orang lain (Hasunah &
adil, dan tidak sedang ihram haji
Susanto, 2016:101).
(Syarifuddin, 2006:69).
Ketentunan mengenai masa iddah dalam
d. Dua orang saksi, syaratnya yaitu:
hukum positif termuat dalam Pasal 11 UU Nomor
laki-laki, baligh, waras akalnya, adil,
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selanjutnya
dapat mendengarkan dan melihat,
mengenai batas waktu tunggu diatur dalam Pasal
tidak dipaksa, tidak sedang ihram
39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
haji, dan memahami bahasa yang
tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974
dipergunakan untuk ijab dan qabul
tentang Perkawinan. Sedangkan ketentuan masa
(Al Hamdani, 2002:68).
iddah menurut Kompilasi Hukum Islam termuat
e. Ijab dan qabul, syaratnya yaitu harus dalam Pasal 153. Selain peraturan tersebut, secara
digunakan kata-kata yang dapat eksplisit dalam hukum Islam juga menjelaskan
dipahami oleh masing-masing pihak mengenai masa iddah, kewajiban menjalani masa
yang melangsungkan akad nikah iddah disebutkan dalam QS. Al Baqarah ayat 228
(Rofiq, 2003:97). serta dalam QS. At Thalaq ayat 4 (Jauharatun,
2016:160).
f. Mahar adalah sejumlah uang
atau barang yang mempunyai Sebagaimana termuat dalam Kompilasi
nilai ekonomis, yang ditentukan Hukum Islam Pasal 153, masa iddah terbagi
berdasarkan kesepakatan kedua belah menjadi beberapa macam, salah satunya karena
pihak. putusnya pernikahan yang disebabkan karena
perceraian. Iddah karena percaraian tersebut
2. Masa Iddah Wanita Hamil Karena Zina terdapat dua klasifikasi, di antaranya:

Iddah secara bahasa berasal dari kata a. Dalam keadaan hamil, apabila
kerja ‘adda-ya’uddu–‘addan dan kata al-‘iddatu seorang istri diceraikan oleh
jamaknya adalah ‘idad yang secara arti kata berarti suaminya dalam keadaan hamil,
menghitung, hitungan atau jumlah (Munawwir, maka iddah-nya sampai melahirkan
2002:903). Sedangkan secara istilah iddah adalah kandungannya.
masa tunggu yang dilakukan seorang istri yang b. Dalam keadaan tidak hamil, apabila
putus pernikahannya dengan suaminya, baik seorang istri diceraikan oleh
putus karena perceraian, kematian, maupun atas suaminya sebelum terjadi hubungan

Terobosan Hukum Hakim Terkait Pencabutan Surat Penolakan Perkawinan (M.F. Arifin & Lukman Santoso) | 385
kelamin (qabla dukhûl), maka tidak Ketentuan iddah wanita hamil karena
berlaku baginya masa iddah. Namun zina, jika menikah dengan laki-laki yang tidak
apabila telah terjadi hubungan menghamilinya tidak dijelaskan secara implisit di
kelamin (ba’da dukhûl), maka masa dalam Kompilasi Hukum Islam. Sementara dalam
iddah yang berlaku adalah tiga kali Pasal 53 ayat (1) hanya disebutkan wanita hamil
suci dengan sekurang-kurangnya 90 di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
hari (iddahqurû’). menghamilinya. Sedangkan dalam Pasal 53 ayat
(2), dapat diperoleh penjelasan secara eksplisit
Mengenai kondisi seorang wanita yang
bahwa jika wanita hamil karena zina menikah
kadang mengalami haid, tidak mengalami haid,
dengan laki-laki yang menghamilinya, maka tidak
hamil, menyusui, ataupun karena kematian
ada kewajiban untuk menjalankan iddah hamil.
suaminya ketika dalam masa iddah, maka terjadi
Seperti dijelaskan dalam ayat (2) bahwa wanita
pergantian iddah yang harus dijalani seorang
tersebut dapat langsung dikawinkan dengan laki-
wanita, di antaranya:
laki yang menghamilinya tanpa harus menunggu
a. Pergantian iddah berdasarkan haid lebih dahulu kelahiran anaknya.
menjadi iddah berdasarkan hitungan
Ketentuan Pasal 53 ayat (2) perlu pemikiran
bulan;
khusus, serta pengkajian ulang tentang iddah
b. Pergantian iddah berdasarkan untuk wanita hamil karena zina, karena di dalam
hitungan bulan menjadi iddah Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW tidak ada
berdasarkan haid; ketetapan yang mengatur tentang iddah wanita
hamil karena zina. Memang ketentuan yang
c. Iddah berdasarkan haid atau bulan
terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) dan (2) merupakan
berubah menjadi iddah melahirkan.
suatu bagian integral (tidak terpisahkan) dari
Ketentuan iddah wanita hamil karena zina Pasal 53, yakni antara ayat yang satu dengan ayat
dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal yang lain merupakan satu kesatuan, sehingga
53, sebagai berikut: tidak mungkin terjadi kontradiksi antar ayat
dalam Pasal 53 (Ghazaly, 2008:124).
a. Seorang wanita hamil di luar nikah,
dapat dikawinkan dengan pria yang
3. Metode Penemuan Hukum
menghamilinya.
(Rechtvinding)
b. Perkawinan dengan wanita hamil
Penemuan hukum adalah proses
yang disebut pada ayat (1) dapat
pembentukan hukum oleh hakim atau aparat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih
hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan
dahulu kelahiran anaknya.
peraturan hukum umum pada peristiwa hukum
c. Dengan dilangsungkannya konkret, karena tidak ada peraturan perundang-
perkawinan pada saat wanita hamil, undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya
tidak diperlukan perkawinan ulang dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya
setelah anak yang dikandung lahir. tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari

386 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 3 Desember 2019: 381 - 398


dan diketemukan (Mertokusumo, 2010:48). lebih leluasa. Scholten menegaskan,”het recht is
Dalam praktik di pengadilan, hakim selalu er, doch het moet gevonden worden; in de vondst
dihadapkan pada peristiwa konkret, secara yuridis zit het nieuwe” (hukum itu telah ada, tetapi masih
hakim tidak boleh untuk menolak suatu kasus harus ditemukan; dalam hukum yang ditemukan
atau perkara dengan alasan tidak ada hukum. terdapat hal yang baru). Dengan kata lain, hukum
Oleh karena itu hakim harus berperan untuk itu ada dalam undang-undang, tetapi masih harus
mengisi kekosongan hukum, berusaha untuk ditemukan (Putro, 2011:184).
menafsirkan suatu ketentuan hukum kurang
Dworkin menyatakan bahwa para
jelas. Jadi dalam penemuan hukum yang penting
hakim memang selalu dibatasi oleh hukum,
adalah bagaimana mencarikan atau menemukan
sehingga tidak ada hakim melampaui hukum.
hukumnya untuk peristiwa konkret. Ada tiga
Permasalahannya, dalam ”hard cases” tidak
dasar pemikiran untuk melakukan penemuan
ada standar penerapan yang wajib diikuti oleh
hukum oleh hakim, yaitu:
hakim, karena hukum adalah jaringan tanpa
a. Karena peraturannya tidak ada, tetapi ikatan, yang mana penyelesaian perkara hukum
esensi perkaranya mirip dengan selalu ada jawaban yang benar. Menghadapi
suatu peraturan lain sehingga dapat kasus yang rumit (hard cases) tersebut, Dworkin
diterapkan dalam perkara tersebut. menyarankan hakim tidak cukup menyalin pasal
dalam peraturan perundang-undangan semata,
b. Peraturannya memang ada, tetapi
melainkan harus melakukan interpretasi (Putro,
kurang jelas sehingga hakim perlu
2011:174-178). Telah dikemukakan bahwa
menafsirkannya.
tidak seluruhnya peraturan perundang-undangan
c. Peraturan juga sudah ada, tetapi sudah yang ada itu jelas dan lengkap, yang dalam hal
tidak sesuai lagi dengan kondisi dan ini memerlukan peran hakim untuk mencari,
kebutuhan masyarakat. menggali, dan menemukan hukumnya. Dalam
hal ini hakim tidak hanya bertindak sebagai
Dasar hukum bagi hakim dalam melakukan
“mulut” undang-undang, melainkan juga “mulut”
penemuan hukum yakni termuat dalam Pasal 1 ayat
keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan
(1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
yang hidup di tengah-tengah masyarakat (Elias,
Kehakiman, menyebutkan: “Kekuasaan
2014:2). Sehingga untuk menemukan hukumnya
kehakiman adalah kekuasaan negara yang
terdapat beberapa metode penemuan hukum, di
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
antaranya:
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum a. Metode Interpretasi (Penafsiran)
Republik Indonesia.” Kata “merdeka” di sini
Metode interpretasi adalah metode
berarti bebas, jadi kekuasaan kehakiman adalah
untuk menafsirkan terhadap teks
bebas untuk menyelenggarakan peradilan,
perundang-undangan yang tidak jelas,
dengan maksud bebas untuk mengadili dan bebas
agar perundang-undangan tersebut
dari campur tangan dari pihak ekstra yudisial.
dapat diterapkan terhadap peristiwa
Kebebasan hakim ini memberi wewenang kepada
konkret tertentu. Dengan kata lain
hakim untuk melakukan penemuan hukum agar

Terobosan Hukum Hakim Terkait Pencabutan Surat Penolakan Perkawinan (M.F. Arifin & Lukman Santoso) | 387
apabila undang-undangnya tidak Hukum dalam pengertian ulama ushul
jelas, hakim wajib menafsirkannya adalah khitab (intruksi-wacana) Allah
sehingga hakim dapat membuat SWT menyangkut perbuatan orang
suatu keputusan yang adil dan mukalaf yang berisi tuntutan, izin
sesuai dengan maksud hukum yaitu atau penetapan. Kemudian kumpulan
kepastian hukum. dari hukum-hukum (hukum syari’at)
itu kemudian dinamakan dengan fiqh.
b. Metode Argumentasi (Penalaran)
Sedangkan dalil yang dapat diambil
Metode argumentasi disebut juga sebagai hukum syariat secara hierarki
dengan metode penalaran hukum, adalah: Al Quran, As-Sunnah,
redenering atau reasoning. Penalaran Al-Ijma’ dan Qiyas (Musahadi,
hukum merupakan sebuah proses 2009:22).
upaya untuk mencapai putusan
Di era sekarang, peradilan agama adalah
pengadilan. Namun, proses
salah satu lembaga resmi yang mempunyai tugas
penalaran hukum dalam bentuk
untuk menampakkan hukum agama. Kendati
distrukturkan seolah-olah didasarkan
demikian setiap perkara yang masuk di pengadilan
logika mekanis, padahal dalam
agama, sudah seharusnya yang menjadi dominan
kenyataannya penalaran hukum tidak
di sana adalah juga menggunakan metode
mungkin tanpa merujuk kebijakan
penemuan hukum Islam dalam setiap putusannya.
yang mendasari hukum.
Terdapat beberapa metode penemuan hukum
c. Metode Eksposisi (Konstruksi Islam yang dapat dijadikan rujukan oleh hakim
Hukum) di lingkungan peradilan agama, di antaranya:

Metode eksposisi adalah metode a. Metode Istimbath


untuk menjelaskan kata-kata atau
b. Metode Ijtihad
membentuk pengertian (hukum),
bukan untuk menjelaskan barang. c. Metode Ijma’
Pengertian hukum yang dimaksud
d. Metode Qiyas
adalah konstruksi hukum yang
merupakan alat-alat yang dipakai e. Metode Istishlah
untuk menyusun bahan hukum yang
f. Metode Ihtishan
dilakukan secara sistematis dalam
bentuk bahasa dan istilah yang baik. g. Metode Ihtishab
Menyusun di sini ialah menyatukan
apa yang termasuk dalam satu bidang h. Metode Al ‘Urfu
yang sama, satu pengertian yang i. Metode Sadduzzari’ah
sama (Mertokusumo, 2010:145).

d. Metode Penemuan Hukum Islam

388 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 3 Desember 2019: 381 - 398


4. Deskripsi Putusan Nomor 287/ dengan S (calon suami) sudah beberapa kali
Pdt.P/2017/PA.TA tentang Pencabutan melakukan hubungan badan layaknya suami
Surat Penolakan Perkawinan dalam istri. Setelah W (pemohon) resmi bercerai
Masa Iddah dengan suaminya diketahui bahwa W (pemohon)
tersebut hamil 2 bulan, sebagai akibat hubungan
Perkara ini diajukan oleh seorang wanita
terlarang yang dilakukan oleh W (pemohon)
bernama W sebagai pemohon ke Pengadilan
dengan S (calon suami). Setelah mengetahui
Agama Tulungagung pada tanggal 12 September
bahwa W (pemohon) telah hamil 2 bulan, maka
2017. Setelah majelis hakim membaca dan
W (pemohon) ingin segera menikah dengan S
memeriksa berkas perkara yang diajukan oleh W
(calon suami) di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
(pemohon), di mana dalam berkas permohonan
pada KUA Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten
tersebut telah disebutkan secara deskriptif
Tulungagung, sesuai domisili keberadaan W
mengenai peristiwa hukum, fakta hukum dalam
(pemohon) bertempat tinggal.
beberapa posita secara runtut.
Persyaratan-persyaratan untuk
Awalnya W (pemohon) bermaksud untuk
melangsungkan pernikahan antara W (pemohon)
menikah dengan seorang pria bernama S (calon
dengan S (calon suami) sebagaimana diatur dalam
suami). Ketika akan melangsungkan perkawinan,
UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Keputusan Menteri
W (pemohon) telah berstatus sebagai janda cerai
Agama Nomor 477 Tahun 2004 telah dipenuhi.
atas cerai gugat yang diajukannya terhadap
Akan tetapi ketika hendak mendaftarkan
AM (mantan suami pemohon). W (pemohon)
perkawinan tersebut, ternyata pihak KUA menolak
menyatakan bahwa yang melatarbelakangi
untuk melangsungkan pernikahan W (pemohon)
diajukannya cerai gugat tersebut karena AM
dengan S (calon suami), dengan alasan adanya
(mantan suami pemohon) pergi meninggalkannya
halangan pernikahan sebagaimana termuat dalam
sejak 1 (satu) tahun yang lalu, dan selama itu
Surat Kepala KUA, tertanggal 12 September 2017,
pemohon tidak diberikan nafkah baik lahir
Nomor B-252/Kua.15.04.15/PW.01/09/2017
maupun batin. Sebagaimana termuat dalam Akta
tentang penolakan perkawinan, serta penjelasan
Cerai yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama
Kepala KUA bahwa W (pemohon) hamil dalam
Tulungagung Nomor 1352/AC/2017/PA.TA,
masa iddah, dan menyatakan bahwa iddah
tertanggal 20 Juni 2017. Pada saat perceraian
W (pemohon) berakhir sampai dilahirkannya
tersebut, W (pemohon) dalam keadaan suci
bayi yang ada dalam kandungannya. Sehingga
ba’da dukhul, dengan masa iddah terhitung sejak
perkawinan tersebut baru dapat dilaksanakan
terjadinya perceraian tepatnya pada tanggal 20
setelah habisnya masa iddah hamil W (pemohon)
Juni 2017, dan masa iddah W (pemohon) berakhir
yakni sampai melahirkan.
sampai tanggal 20 September 2017.
Mengetahui hal itu, W (pemohon) merasa
Sebelum tarjadi perceraian antara
keberatan atas surat penolakan KUA yang
W (pemohon) dengan AM (mantan suami
menolak untuk melangsungkan perkawinan
pemohon), W (pemohon) sudah kenal dengan S
W (pemohon) dengan S (calon suami), karena
(calon suami), tepatnya sejak 8 bulan yang lalu,
antara keduanya tidak ada halangan untuk
dan selama 8 bulan tersebut antara W (pemohon)
melangsungkan perkawinan, baik menurut

Terobosan Hukum Hakim Terkait Pencabutan Surat Penolakan Perkawinan (M.F. Arifin & Lukman Santoso) | 389
katentuan agama maupun peraturan yang berlaku. prosedur penelitian yang mengacu pada bahan
Mengenai keterangan dari Kepala KUA yang hukum primer berupa norma-norma hukum yang
menyatakan adanya larangan menikah dalam terdapat dalam peraturan perundang-undangan
masa iddah bagi W (pemohon). dan putusan pengadilan serta norma hukum yang
ada dalam masyarakat (Ali, 2011:105), dengan
Hal ini tentunya tidak benar dan tidak sesuai
melihat sinkronisasi suatu aturan dengan aturan
dengan fakta, sebab kehamilan W (pemohon)
lainnya secara hierarki. Teknik analisis data
adalah hasil hubungan badan di luar nikah antara
dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik,
W (pemohon) dengan S (calon suami), bukan
yaitu peneliti mendeskripsikan terlebih dahulu
dengan suaminya dahulu. S (calon suami) juga
secara sistematis, faktual dan akurat, terhadap
merasa bertanggung jawab atas kehamilan W
perkara yang diteliti (Koentjaraningrat, 2008:19),
(pemohon), serta ingin segera menikah dengan
yaitu Putusan Nomor 287/Pdt.P/2017/PA.TA.
W (pemohon), karena nikah hamil tidak dilarang
Kemudian setelah perkara tersebut dideskripsikan,
menurut ketentuan Pasal 53 Kompilasi Hukum
selanjutnya akan dianalisis dengan teori
Islam. Selain hal itu, W (pemohon) ingin segera
metode penemuan hukum (rechtvinding), serta
menikah dengan S (calon suami) agar anak yang
menguraikan peraturan perundang-undangan
ada dalam kandungannya dapat lahir dalam
yang menjadi objek penelitian, kemudian ditarik
perkawinan yang sah (Putusan Nomor 287/
pada suatu kesimpulan (Ali, 2011:105-106).
Pdt.P/2017/PA.TA).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


II. METODOLOGI
A. Analisis Yuridis terhadap Putusan
Jenis penelitian yang digunakan oleh Nomor 287/Pdt.P/2017/PA.TA
peneliti ialah penelitian hukum normatif, yaitu tentang Pencabutan Surat Penolakan
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara Perkawinan dalam Masa Iddah
meneliti bahan pustaka atau data sekunder
Peneliti mencoba melihat dan menganalisis
(Soekanto & Mamudji, 2010:13-14). Di mana
terhadap Putusan Nomor 287/Pdt.P/2017/PA.TA,
data sekunder yang digunakan terdiri dari bahan
yaitu penetapan tentang pencabutan atas surat
hukum primer, sekunder, dan tersier, sehingga
penolakan perkawinan dalam masa iddah, yang
penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan
dikeluarkan oleh KUA Kedungwaru Kabupaten
(library research) (Soekanto, 2006:52).
Tulungagung. Berdasarkan identitas W (pemohon)
Pentingnya peneliti menggunakan jenis penelitian
yang beralamatkan di Dusun Gendingsari, Desa
hukum normatif adalah data yang diteliti berupa
Gendingan, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten
bahan hukum primer atau dokumen resmi dari
Tulungagung, maka sudah tepat jika Pengadilan
Pengadilan Agama Tulungagung, yaitu penetapan
Agama Tulungagung yang berwenang untuk
Putusan Nomor 287/Pdt.P/2017/PA.TA, sehingga
mengadili perkara tersebut di tingkat pertama.
teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
Sesuai dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
studi dokumentasi.
Peradilan Agama, perkara ini menjadi wewenang
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian Pengadilan Agama Tulungagung, karena menjadi
ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu salah satu daerah yurisdiksinya (Ali, 2012:1).

390 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 3 Desember 2019: 381 - 398


Setelah Majelis hakim melihat peristiwa Penemuan hukum adalah proses
dan fakta hukum yang tersaji dan terungkap pembentukan hukum oleh hakim atau aparat
di dalam persidangan, selanjutnya dalam hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan
merumuskan pertimbangan hukum majelis peraturan hukum umum pada peristiwa hukum
hakim harus menemukan hukumnya yang sesuai konkret. Atau dengan kata lain penemuan
dengan pemecahan perkara tersebut. Karena hukum merupakan proses konkretisasi atau
secara yuridis hakim tidak boleh menolak suatu individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang
perkara dengan alasan tidak ada hukumnya bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa
dan hakim harus melakukan penemuan hukum konkret (das sein) tertentu (Mertokusumo,
dengan berperan untuk mengisi kekosongan 2010:48). Sedangkan kekurangan undang-
hukum, berusaha untuk menafsirkan suatu undang menurut aliran penemuan hukum,
ketentuan hukum yang kurang jelas. Dalam hendaknya diisi oleh hakim dengan penggunaan
penemuan hukum, sekalipun terdapat kebebasan hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar
hakim dalam memutus suatu perkara, akan utamanya (Ali, 2011:102). Di sini bukan hasil
tetapi hakim harus tetap di bawah undang- penemuan hukum yang merupakan titik sentral,
undang, dengan demikian putusan hakim tidak walaupun tujuannya adalah menghasilkan
akan berisi lebih dari apa yang terdapat dalam putusan, melainkan metode yang digunakan.
undang-undang yang berhubungan dengan Sehingga peneliti menyimpulkan, bahwa dalam
perkara tersebut (Mertokusumo, 2010:52-53). penemuan hukum yang penting adalah bagaimana
mencarikan dan menemukan hukumnya untuk
Berdasarkan analisis majelis hakim
peristiwa konkret.
terhadap fakta dan peristiwa hukum yang
terungkap dalam persidangan, sesuai ketentuan Berikut ini adalah beberapa analisis yang
Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 dilakukan dengan menggunakan teori penemuan
tentang Kekuasaan Kehakiman, dijelaskan: hukum (rechtvinding), yang digunakan oleh
“Putusan pengadilan selain harus memuat majelis hakim dalam Putusan Nomor 287/
alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal Pdt.P/2017/PA.TA tentang pencabutan atas surat
tertentu dari peraturan perundang-undangan penolakan perkawinan dalam masa iddah, di
yang bersangkutan atau sumber hukum tak antaranya:
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”
Dapat dipahami bahwa, hakim dapat turut serta 1. Metode Interpretasi Sistematis (logis)
menemukan mana yang merupakan hukum dan dan Metode Istimbath
mana yang tidak merupakan hukum, seperti yang
dikatakan Scholten bahwa hakim menjalankan Metode Interpretasi Sistematis (logis) yaitu
undang-undang itu selalu rechtvinding (turut menafsirkan peraturan perundang-undangan
serta menemukan hukum) (Mahfiana, 2005:106). dengan menghubungkannya dengan peraturan
Dalam hal ini, yang dilakukan oleh peneliti hukum lain, sehingga berbagai ketentuan yang
adalah menganalisis Putusan Nomor 287/ ada di dalamnya terdapat kesaling-terhubungan
Pdt.P/2017/PA.TA dengan teori penemuan yang dapat menentukan suatu makna (Putro,
hukum (rechtvinding). 2011:184; Tobroni, 2016:294). Berdasarkan

Terobosan Hukum Hakim Terkait Pencabutan Surat Penolakan Perkawinan (M.F. Arifin & Lukman Santoso) | 391
analisis dalam penelitian ini terhadap Putusan Berdasarkan interpretasi sistematis terhadap pasal
Nomor 287/Pdt.P/2017/PA.TA, majelis hakim dan ayat tersebut di atas, maka masa iddah yang
dalam penemuan hukumnya telah sesuai dengan harus dijalani oleh W (pemohon) bukan iddah
metode interpretasi sistematis, tekait penetapan hamil, akan tetapi iddah qurû’. Sebagaimana
masa iddah yang harus dijalani oleh W (pemohon). dalam pertimbangan hukumnya berbunyi sebagai
berikut:
Hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan
hukumnya, bahwa majelis hakim mengaitkan “Menimbang, bahwa oleh karenanya, maka
iddah yang harus dijalani pemohon adalah
beberapa peraturan perundang-undangan iddah qurû’, bukan iddah hamil;”
secara sistematis dengan menggunakan sumber
“Menimbang, bahwa oleh karena
hukum positif dan juga sumber hukum Islam, di sesudah putusan dijatuhkan (setelah
antaranya berdasarkan firman Allah SWT dalam terjadi perceraian pemohon dengan AM),
QS. At-Thalaq ayat 4, dan Pasal 39 ayat (1) huruf pemohon hanya mengalami dua kali masa
suci (dua qurû’), berdasarkan Pasal 153
b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ayat (2) Huruf b dan firman Allah SWT
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 dalam QS. At-Thalaq ayat 4, maka masa
iddah-nya ditetapkan tiga bulan (90 hari).”
Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 153
ayat (2) huruf b Kompilasi Hukum Islam, yang Menurut penelitian, majelis hakim
berbunyi: menggunakan metode interpretasi sistematis
“Apabila perkawinan putus karena (logis) tersebut, dapat diketahui berdasarkan
perceraian, waktu tunggu bagi yang masih digunakannya peraturan perundang-undangan
haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) yang terdiri dari beberapa pasal yang saling
hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan melengkapi, juga digunakan pula ayat-ayat Al
90 (sembilan puluh) hari.” Quran sebagai rujukan bagi hakim pengadilan
Setelah ditemukan dasar hukum dalam agama dalam melakukan penemuan hukum,
hukum positif, selanjutnya digunakan pula untuk menentukan suatu makna dari peraturan
metode istimbath untuk memberikan kepastian tersebut (Putro, 2011:206).
hukum secara hukum agama, yakni dengan cara Menurut penelitian, bahwa ditetapkannya
menetapkan (mengeluarkan) hukum Islam dari iddah qurû’ kepada W (pemohon) karena selama
dalil nash, baik dari ayat-ayat Al Quran maupun dalam masa kehamilan, W (pemohon) yang
dari As-Sunnah, yang lafadz (perkataannya) sudah tidak mengalami haid ketika menjalankan masa
jelas/pasti (qath’i). Sebagaimana pertimbangan iddah-nya, yaitu dari masa iddah yang dihitung
hukum dalam perkara ini, digunakan pula firman dari 3 (tiga) kali suci menjadi iddah qurû’ atau
Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 228 90 (sembilan puluh) hari (Hasunah & Susanto,
sebagai rujukan penetapan masa iddah yang 2016:103), terhitung sejak tanggal perceraian
wajib dijalani oleh W (pemohon), yang inti ayat W (pemohon) dengan suaminya, tepatnya
tersebut adalah bagi istri yang ditalak hendaknya sejak dikeluarkannya Akta Cerai Nomor 1352/
menahan diri 3 (tiga) kali suci/qurû’. Ayat ini AC/2017/PA.TA pada tanggal 20 Juni 2017
digunakan oleh hakim karena ketentuan yang dan berakhir sampai tanggal 20 September
terkandung dalam ayat tersebut bisa berlaku 2017. Setelah habis masa iddah qurû’ tersebut,
baik untuk cerai gugat maupun cerai talak.

392 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 3 Desember 2019: 381 - 398


kemudian W (pemohon) boleh melangsungkan luar nikah yang dilakukannya dengan S (calon
perkawinannya dengan S (calon suami) suami).
(Jauharatun, 2016:164). Dalam hal kata qurû’
Hal ini sesuai dengan aturan hukum
di atas sebagai masa yang harus ditunggu oleh
mengenai iddah hamil, bahwa ketetapan iddah
seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya
hamil tidak dapat diberlakukan terhadap W
ketika tidak mengalami haid.
(pemohon), karena kehamilannya tersebut
bukan dengan suaminya, akan tetapi dengan
2. Metode A Contrario (Argumen a
orang lain meskipun kehamilan W (pemohon)
Contrario)
tersebut terjadi dalam masa iddah. Oleh karena
Metode A Contrario (Argumen a itu, peneliti setuju dengan pertimbangan majelis
Contrario), yaitu menjelaskan makna undang- hakim bahwa surat penolakan perkawinan dalam
undang dengan didasarkan pada pengertian yang masa iddah yang dikeluarkan oleh pihak KUA
sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi tidak terbukti dan dinyatakan tidak mempunyai
dengan peristiwa yang diatur dalam undang- kekuatan hukum, sebagaimana dalam putusannya
undang (Sutiyoso, 2012:139-140). Berdasarkan berbunyi sebagai berikut:
analisis penelitian terhadap putusan tersebut, “Menimbang, bahwa berdasar pengakuan
metode ini digunakan untuk mengetahui siapa pria pemohon dan S (calon suami) di depan
persidangan, bahwa kehamilan pemohon
yang telah menghamili W (pemohon), sehingga dan janin yang dikandung pemohon adalah
dapat diperoleh suatu kejelasan mengenai status hasil hubungan seksual di luar nikah antara
kehamilan W (pemohon), sebagai dasar yang pemohon dengan S (calon suami) atas dasar
suka sama suka. Dengan demikian, maka
digunakan untuk membatalkan surat penolakan janin yang dikandung oleh pemohon bukan
perkawinan yang dikeluarkan oleh KUA hasil hubungan badan dengan mantan
Kedungwaru Kabupaten Tulungagung. suaminya (AM) tetapi hasil hubungan
badan dengan S (calon suami) di luar
nikah.”
Berdasarkan pemeriksaan sidang, bahwa
dalam ketentuan hukum sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 153 ayat (2) huruf c Kompilasi 3. Silogisme
Hukum Islam, dijelaskan: “Apabila perkawinan
Mengenai perkawinan antara W (pemohon)
putus karena perceraian sedang janda tersebut
dengan S (calon suami) di mana W (pemohon)
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan
dalam kondisi hamil, majelis hakim menggunakan
sampai melahirkan.” Sehingga ketentuan hukum
silogisme, yaitu dengan menghubungkan fakta-
ini berlaku sebaliknya, bahwa masa iddah yang
fakta tersebut (premis minor) dengan unsur-unsur
harus dijalani oleh W (pemohon) bukan iddah
Pasal 53 ayat (1) KHI (premis mayor) dari surat
hamil atau sampai melahirkan, akan tetapi masa
permohonan yang diajukan oleh W (pemohon),
iddah yang berlaku bagi W (pemohon) adalah
untuk menganalisis fakta-fakta tersebut terbukti
iddah qurû’ yaitu 90 (sembilan puluh) hari.
dan dapat dibenarkan (Elias, 2014:7). Sehingga
Sebab dalam pemeriksaan sidang terbukti bahwa
silogisme mengenai perkawinan tersebut adalah
kehamilan W (pemohon) bukan dengan suaminya,
sebagai berikut:
melainkan sebagai akibat dari hubungan badan di

Terobosan Hukum Hakim Terkait Pencabutan Surat Penolakan Perkawinan (M.F. Arifin & Lukman Santoso) | 393
Tabel 1. Silogisme Putusan Nomor 287/Pdt.P/2017/PA.TA

Premis Mayor : Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

Premis Minor : W (pemohon) adalah seorang wanita yang hamil di luar nikah.
Konklusi : W (pemohon) dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya (S/calon suami).
(kesimpulan)

Sumber: Diadaptasi dari Putro (2011).

Dalam Pasal 53 ayat (1) disebutkan bahwa semata, tetapi juga berhadapan dengan substansi
wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan hukum. Ketika seorang hakim mempersoalkan
dengan pria yang menghamilinya. Dari hasil masalah etika, bukan lagi bertanya tentang
silogisme tersebut (Tabel 1) dapat diketahui prosedur teknis penyelesaian hukum, tetapi juga
bahwa kehamilan W (pemohon) merupakan mempersoalkan substansi hukum apakah adil atau
akibat hubungan badan di luar nikah yang tidak. Upaya hakim berusaha keras mencarikan
dilakukannya dengan S (calon suami), atau hukumnya dari berbagai sumber hukum, tidak
dengan kata lain S (calon suami) adalah hanya membaca teks hukum formal melainkan
pria yang telah menghamili W (pemohon), juga sumber non-hukum patut dihargai. Hal ini
sehingga antara keduanya tidak ada halangan dilakukan karena setiap kasus (baik “hard cases”
untuk melangsungkan perkawinan dan dapat maupun “clear cases”) pada hakikatnya unik
melangsungkan perkawinan tanpa menunggu W sehingga memerlukan interpretasi hukum yang
(pemohon) melahirkan. Kemudian dalam Pasal baru. Karena itu, hakim harus melakukan “fresh
53 ayat (2), dapat diperoleh penjelasan secara judgement” untuk menemukan hukum yang tepat
implisit bahwa jika wanita hamil karena zina (Putro, 2011:206-208).
menikah dengan pria yang menghamilinya, tidak
Majelis hakim melakukan penemuan
ada kewajiban untuk menjalankan iddah. Seperti
hukum terhadap perkara tersebut yang termuat
dijelaskan dalam ayat (2) bahwa wanita tersebut
dalam pertimbangan hukum, yang kemudian
dapat langsung dikawinkan dengan pria yang
dirumuskan menjadi amar putusan. Kemudian
menghamilinya tanpa harus menunggu kelahiran
peneliti mengambil dua poin penetapan yang
anaknya (Ghazaly, 2008:124). Sebagaimana
perupakan poin inti dalam amar putusan tersebut,
dalam putusannya berbunyi sebagai berikut:
di antaranya:
“Menimbang, bahwa selanjutnya tentang
rencana pernikahan pemohon yang sedang Pertama, mengenai pencabutan surat
hamil di luar nikah dengan laki-laki
penolakan perkawinan yang dikeluarkan oleh
yang menghamili yang dijadikan calon
suami (S), berdasarkan ketentuan Pasal KUA Kedungwaru Kabupaten Tulungagung,
53 Kompilasi Hukum Islam, pernikahan yang berbunyi:
tersebut dapat dibenarkan tanpa harus
menunggu kelahiran anaknya.” “Menyatakan, Surat Penolakan
Pernikahan dari Kantor Urusan Agama
Dworkin mengingatkan bahwa seorang Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten
Tulungagung, Nomor B-252/Kua.15.04.15/
hakim ketika dihadapkan pada kasus konkret tidak
PW.01/09/2017, tanggal 12 September
saja berurusan dengan masalah teknis (prosedural) 2017, tidak mempunyai kekuatan berlaku.”

394 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 3 Desember 2019: 381 - 398


Poin ini menyatakan bahwa penetapan janin di dalam kandungannya dengan sendirian.
tersebut telah sesuai dengan aturan hukum
Kedua, mengenai pelaksanaan perkawinan
mengenai iddah hamil, yaitu: ketetapan iddah
antara W (pemohon) dengan S (calon suami),
hamil sebagaimana yang dinyatakan dalam surat
sebagaimana dalam amar putusannya berbunyi:
penolakan perkawinan yang dikeluarkan oleh
KUA Kedungwaru Kabupaten Tulungagung, “Memerintahkan kepada Pejabat Pencatat
tidak dapat diberlakukan terhadap W (pemohon) Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan
karena kehamilannya tersebut bukan dengan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, untuk
suaminya, akan tetapi dengan S (calon suami), melangsungkan serta mencatat pernikahan W
meskipun kehamilan W (pemohon) tersebut (pemohon) dengan S (calon suami)” (Al-Fitri,
terjadi dalam masa iddah. Sehingga surat 2007:19).
penolakan perkawinan dalam masa iddah yang
Poin ini menyatakan sebagaimana
dikeluarkan oleh pihak KUA tidak terbukti dan
disebutkan dalam Pasal 53 ayat (1) bahwa wanita
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum.
hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan
Hal ini juga sesuai dengan ketentuan pria yang menghamilinya. Dari ketentuan
maslahah-mursalah, bahwa mashlahah sendiri tersebut dapat diketahui kehamilan W (pemohon)
merupakan tindakan yang diambil untuk merupakan akibat hubungan badan di luar nikah
menciptakan suatu kebaikan dan menghilangkan yang dilakukannya dengan S (calon suami),
kesusahan bagi manusia (Al-Fitri, 2007:19). sehingga antara keduanya tidak ada halangan
Di mana dengan dicabutnya surat penolakan untuk melangsungkan perkawinan dan dapat
perkawinan tersebut, maka perkawinan antara langsung dikawinkan tanpa harus menunggu lebih
W (pemohon) dengan S (calon suami) sudah dahulu kelahiran anaknya (Ghazaly, 2008:124).
tidak ada halangan untuk dilaksanakan karena Sehingga pernikahan antara keduanya tidak
memang syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Pada terdapat unsur yang menghalangi, karena dalam
putusan ini, secara eksplisit dapat menghilangkan hukum positif maupun hukum Islam menikahkan
kesusahan bagi W (pemohon) yang mengajukan antara seorang wanita hamil dengan pria yang
permohonan tersebut, agar tidak kesusahan dalam menghamilinya merupakan suatu kebenaran,
menanggung janin yang dikandungnya karena dan menyatakan bahwa hamilnya W (pemohon)
dapat dilangsungkannya pernikahan dengan tersebut bukan termasuk iddah hamil, karena
S (calon suami) dan dapat menjadikan janin iddah hamil terjadi jika kehamilannya tersebut
tersebut lahir dalam status perkawinan yang sah, dilakukan dengan suaminya (Hasunah & Susanto,
baik secara agama maupun negara. Kemudian 2016:109).
nantinya setelah adanya ikatan perkawinan dapat
Dalam hal ini menurut peneliti,
menghadirkan suatu ketenangan dan ketentraman
sebagaimana amanat Pasal 5 ayat (1) UU Nomor
karena W (pemohon) mendapat perlindungan,
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
pemeliharaan, dan penjagaan dari suaminya. Ini
yang menyebutkan bahwa: “Hakim dan hakim
merupakan suatu proses untuk menghilangkan
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
kesusahan bagi W (pemohon), yang sebelumnya
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
harus menanggung, melindungi, dan menjaga
yang hidup dalam masyarakat.” Pertimbangan

Terobosan Hukum Hakim Terkait Pencabutan Surat Penolakan Perkawinan (M.F. Arifin & Lukman Santoso) | 395
hukum oleh majelis hakim dapat dikatakan tepat Pertama, Metode Interpretasi Sistematis
dalam menggunakan akal dan intelektualitasnya dan Metode Istimbath yang digunakan untuk
untuk melakukan penemuan hukum, sebagai mengetahui bahwa masa iddah yang harus
upaya untuk memberikan penetapan secara adil dijalani oleh W (pemohon) bukan iddah hamil
yang dapat menciptakan kemaslahatan. akan tetapi iddah qurû’; Kedua, Metode A
Contrario (Argumen a Contrario) terhadap
Secara eksplisit di luar pertimbangan hukum
Pasal 153 ayat (2) huruf c KHI, yang digunakan
pada perkara ini, berdasarkan metode istishlah
untuk mengetahui siapa laki-laki yang telah
terkandung kemaslahatan di dalam penetapan
menghamili W (pemohon), serta kejelasan
tersebut, yaitu untuk menyelamatkan keturunan
mengenai status kehamilan W (pemohon)
janin yang dikandung W (pemohon) tersebut
yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk
tidak lain adalah dengan menikahkannya dengan
membatalkan surat penolakan perkawinan yang
pria yang menghamilinya yaitu S (calon suami)
dikeluarkan oleh KUA; dan Ketiga, Silogisme
(Wahyudi, 2016:25-27), karena memang sesuai
yang digunakan untuk mengetahui bahwa di
dengan peraturan perundang-undangan yang
antara W (pemohon) dan S (calon suami) tidak
berlaku di Indonesia, bahwa anak yang sah adalah
ada halangan untuk melangsungkan perkawinan
anak yang lahir di dalam perkawinan. Maka dari
serta dapat melangsungkan perkawinan tanpa
itu dengan adanya penetapan ini, kemaslahatan
harus menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
yang ditimbulkan ialah dianggap sahnya anak
Di dalamnya juga terdapat suatu kemaslahatan
oleh hukum di Indonesia dan terjamin hak-hak
yaitu untuk menyelamatkan hak-hak keperdataan
keperdataan anak tersebut nantinya, seperti halnya
janin yang dikandung supaya nanti memperoleh
mendapatkan akta kelahiran, kartu keluarga, dan
akta kelahiran, akta keluarga, dan kartu tanda
kartu tanda penduduk untuk dilindungi hak-haknya
penduduk, karena dengan demikian akan
tersebut oleh Pemerintah Republik Indonesia.
mendapat perlindungan hukum dari Pemerintah
Republik Indonesia.
IV. KESIMPULAN

Putusan Nomor 287/Pdt.P/2017/PA.TA V. SARAN


yang mencabut surat penolakan perkawinan dalam
Berdasarkan pembahasan mengenai
masa iddah yang dikeluarkan KUA Kecamatan
Putusan Nomor 287/Pdt.P/2017/PA.TA tentang
Kedungwaru Kabupaten Tulungagung memang
pencabutan atas surat penolakan perkawinan
sudah sesuai dengan landasan-landasan hukum
dalam masa iddah yang sudah diuraikan di atas,
yang ada, baik berupa hukum positif maupun
maka saran yang dapat penulis sampaikan bahwa,
hukum Islam. Hal ini dapat diketahui berdasarkan
mengenai kewenangan hakim dalam memberikan
analisis yuridis terhadap Putusan Nomor 287/
putusan atau pun penetapan, di mana dalam hal
Pdt.P/2017/PA.TA, di mana penemuan hukum
ini terkait dengan upaya hakim dalam melakukan
(rechtvinding) yang digunakan oleh majelis
aktivitas penemuan hukum ketika dihadapkan
hakim untuk mencari, menggali, dan menemukan
pada peristiwa hukum konkret. Dalam
hukumnya yakni menggunakan beberapa metode
persidangan majelis hakim tidak cukup menyalin
penemuan hukum (rechtvinding), di antaranya:
pasal dalam peraturan perundang-undangan atau

396 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 3 Desember 2019: 381 - 398


dengan kata lain bahwa hakim tidak hanya sebagai HS, S. (2008). Pengantar hukum perdata tertulis
corong dari undang-undang, akan tetapi majelis (BW). Jakarta: Sinar Grafika.
hakim harus mencari, menggali, dan menemukan
Koentjaraningrat. (2008). Metode penelitian
hukumnya dengan menggunakan metode
masyarakat. Jakarta: Gramedia.
penemuan hukum (rechtvinding), dengan harapan
majelis hakim dapat mengisi kekosongan hukum Mahfiana, L. (2005). Ilmu hukum. Ponorogo: STAIN
atau menafsirkan suatu ketentuan hukum yang Ponorogo Press.
belum jelas ketentuannya. Karena pada dasarnya Mardani. (2011). Hukum perkawinan Islam di dunia
tidak ada peraturan perundang-undangan yang Islam modern. Yogyakarta: Graha Ilmu.
lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-
jelasnya dalam mencakup keseluruhan kehidupan Mertokusumo, S. (2010). Penemuan hukum.
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
manusia.
Munawwir, A.W. (2002). Al Munawwir Kamus Arab-
Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.

Musahadi. (2009). (Continuity & change) reformasi


DAFTAR ACUAN
hukum Islam: Belajar pada pemikiran
Buku Muhammad Iqbal & Fazhar Rahman.
Semarang: Walisongo Press.
Al Hamdani, H.S.A. (2002). Risalah nikah; Hukum
perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka Amani. Ramulyo, M.I. (2004). Hukum perkawinan Islam
suatu analisis dari Undang-Undang No.
Al-Fitri. (2007). Metode penemuan hukum (Bayani,
1 Tahun 1974 & Kompilasi Hukum Islam.
Ta’lili & Istislahi). Bandar Lampung: IAIN
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Raden Intan.
Rofiq, A. (2003). Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
Ali, A. (2011). Menguak tabir hukum. Bogor: Ghalia
Raja Grafindo Persada.
Indonesia.
Soekanto, S. & Mamudji, S. (2010). Penelitian hukum
Ali, Z. (2011). Metode penelitian hukum. Jakarta:
normatif (Suatu tinjauan singkat). Jakarta: Raja
Sinar Grafindo.
Grafindo Persada.
_____. (2012). Hukum perdata Islam di Indonesia.
Soekanto, S. (2006). Pengantar Penelitian Hukum.
Jakarta: Sinar Grafika.
Jakarta: UI Press.
Daradjat, Z. (2013). Ilmu fiqh. Jilid II. Cet. ke-2.
Sudarsono. (2001). Pokok-pokok hukum Islam.
Jakarta: t.p.
Jakarta: Asdi Mahasatya.
Ghazaly, A.R. (2008). Fiqh munakahat. Jakarta:
Sutiyoso, B. (2012). Metode penemuan hukum.
Kencana.
Yogyakarta: UII Press.
Hamid, Z. (2000). Pokok-pokok hukum perkawinan
Syarifuddin, A. (2006). Hukum perkawinan Islam di
Islam & Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia antara fiqh munakahat & Undang-
Indonesia. Yogyakarta: Bina Cipta.
Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media

Terobosan Hukum Hakim Terkait Pencabutan Surat Penolakan Perkawinan (M.F. Arifin & Lukman Santoso) | 397
Jurnal

Elias, R.F. (2014). Penemuan hukum dalam proses


peradilan pidana di Indonesia. Jurnal LPPM
Bidang EkoSosBudKum, 1(1), 2-7.

Hasunah, U. & Susanto. (2016, April). Iddah


perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 53. Jurnal Hukum Keluarga
Islam, 1(1), 101-109.

Jauharatun. (2016, Desember). Hukum pernikahan


janda dalam masa iddah menurut pandangan
ulama Palangka Raya. Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat, 12(2), 160-164.

Tobroni, F. (2016). Penafsiran hukum dekonstruksi


untuk pelanggaran poligami. Jurnal Yudisial,
5(3), 281-301.

Wahyudi, M.I. (2016, Maret). Kajian kritis ketentuan


waktu tunggu (Iddah) dalam RUU HMPA
bidang perkawinan. Jurnal Hukum dan
Peradilan, 5(1), 25-27.

Sumber lainnya

Putro, W.D. (2011). “Tinjauan kritis-filosofis terhadap


paradigma positivisme hukum.” Disertasi.
Jakarta: Universitas Indonesia.

398 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 3 Desember 2019: 381 - 398

Anda mungkin juga menyukai