Jelaskan tentang sejarah krisis moneter global 1998 dan 2008 dan dampaknya terhadap
Indonesia!
Selama kurun waktu lima belas tahun terakhir, telah terjadi dua kali krisis keuangan
yang menyebabkan perlambatan proses pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu krisis
moneter tahun 1997-1998 dan krisis keuangan global tahun 2008. Terdapat perbedaan
kondisi perekonomian Indonesia ketika menghadapi kedua krisis ini. Pada saat terjadi krisis
keuangan global tahun 2008, indikator keuangan dari pasar finansial dan lembaga keuangan
lebih kuat dan berdaya tahan lebih tinggi jika dibandingkan dengan krisis moneter tahun
1997-1998. Selain itu, situasi politik yang jauh lebih stabil mampu mengurangi meluasnya
dampak krisis terhadap perekonomian. Pada akhirnya, upaya pemerintah guna mengurangi
ketergantungan terhadap hutang luar negeri mengakibatkan Indonesia terpilih menjadi
negara yang memiliki skor ICRG (International Country Risk Guide) tertinggi sejak tahun
1997
Krisis keuangan Asia yang datang secara tiba-tiba dimulai dengan jatuhnya bath
Thailand pada bulan Juli 1997 dan berakibat langsung terhadap nilai rupiah yang
terdepresiasi secara eksponensial dari Rp. 2.400 per USD pada awal tahun 1997 menjadi
Rp.16.000 per USD bulan Juni 1998. Pada tahun 1996, Indonesia masih memiliki
pertumbuhan sebesar 7,8 persen, kemudian menurun hingga 4,9 persen tahun 1997 dan
mencapai titik terendah ketika mengalami kontraksi tahun 1998 sebesar 13,6 persen. Pada
saat bersamaan, indikator makro ekonomi lainnya yaitu inflasi juga menunjukkan kinerja
terburuk selama 32 tahun terakhir setelah terjadinya hiperinflasi pada tahun 1965 dengan
angka sebesar 77,6 persen.
Dari dalam negeri sendiri, rasa percaya diri yang berlebihan terhadap perekonomian
Indonesia justru menyebabkan kehancuran yang tidak terduga. Dengan kondisi
perekonomian yang stabil ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang cenderung
tinggi dan angka inflasi yang rendah, para kreditur asing sangat bersemangat untuk
meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan swasta. Arus modal masuk (capital
inflow) meningkat cukup drastis. Hal ini pada mulanya memang memberikan dampak yang
cukup baik bagi perekonomian khususnya sektor perumahan, namun sayangnya hutang
swasta tersebut banyak tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi melainkan lebih
mengandalkan koneksi politik sehingga timbul masalah moral hazard di dalamnya yang
didukung oleh persepsi bahwa pemerintah akan turut menanggung biaya apabila terjadi
kegagalan. Buruknya lagi, batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata
dalam jangka pendek, hingga akhirnya menjelang Desember 1997, jumlah hutang yang
harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun melonjak sebesar 20,7 USD.
Pada bulan Mei 1998, setelah menghadapi tekanan yang makin meluas dari
masyarakat, Presiden Soeharto mundur dari jabatannya dan digantikan oleh BJ. Habibie.
Presiden Habibie memulai upaya pemulihan dengan berbagai cara dan cukup berhasil
menciptakan stabilitas ekonomi antara lain terlihat dari stabilnya nilai tukar yang berkisar
antara Rp. 6.500 – Rp. 7.500 per USD, tingkat suku bunga sebesar 12-13 persen, laju inflasi
yang mencapai level 2,01 persen hingga peningkatan PDB yang kembali menunjukkan
pertumbuhan positif sebesar 0,79 persen selama tahun 1999. Perlahan namun pasti,
Indonesia mulai pulih kembali dari keterpurukan akibat krisis moneter
Menjelang akhir triwulan III tahun 2008, perekonomian dunia dihadapkan pada satu
babak baru yaitu runtuhnya stabilitas ekonomi global, seiring dengan meluasnya krisis
keuangan ke berbagai negara. Krisis keuangan global dimulai sejak pengumuman yang
dikeluarkan oleh BNP Paribas, salah satu bank terbesar Perancis pada tanggal 9 Agustus
2007 yang menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan sekuritas yang terkait
dengan subprime mortgage dari AS dan pada akhirnya sekuritas ini dibekukan.
Pembekuan ini lantas mulai memicu gejolak di pasar keuangan AS dan Eropa hingga
akhirnya merambat ke seluruh dunia termasuk Indonesia.
Imbas dari krisis keuangan global di Indonesia pada mulanya amat terasa di pasar
modal sebagaimana ditunjukkan oleh kemerosotan tajam IHSG. Kemerosotan IHSG ini
diikuti dengan pelemahan nilai rupiah yang sudah menembus angka Rp 12.462 per USD
pada akhir Nopember 2008. Pasar obligasi, baik pemerintah maupun korporasi juga tertekan
sehingga menimbulkan kerugian besar pada perbankan dan institusi pemegang obligasi
lainnya karena penghitungan yang
Dalam menanggapi imbas dari krisis ini, BI melakukan intervensi cukup besar untuk
menjaga stabilitas nilai rupiah. Seiring dengan memburuknya kondisi perekonomian global
dan kejatuhan harga komoditas dunia yang berpotensi menurunkan tekanan inflasi ke
depan dan memicu pelemahan pertumbuhan ekonomi domestik, BI mengambil kebijakan
guna meredam imbas negatif tersebut dengan menurunkan BI rate hingga level 9,25 persen
pada bulan Desember. Penurunan BI rate diharapkan akan direspon dengan penurunan
suku bunga kredit oleh sektor perbankan, sehingga dapat mengurangi kendala penyaluran
kredit dan menumbuhkan kembali gairah sektor usaha di tengah lesunya perekonomian
global. Selain itu, pemerintah juga berusaha meyakinkan pasar keuangan dan pelaku
ekonomi umumnya bahwa perekonomian Indonesia tidak terkait langsung dengan krisis di
AS meskipun sempat terkena imbasnya, dengan harapan kekacauan yang ditimbulkan akibat
krisis tidak berlanjut.
Jika dibandingkan antara krisis moneter yang terjadi tahun 1997-998 dengan krisis
keuangan global tahun 2008, pasar finansial dan lembaga keuangan Indonesia berada dalam
kondisi yang jauh lebih kuat dilihat dari berbagai indikator keuangan. Kondisi fundamental
sektor eksternal, fiskal dan industri perbankan lebih mampu menahan terpaan krisis global.
Pelajaran dari krisis yang lalu menghasilkan implementasi yang lebih ketat dari peraturan di
sektor korporasi dan perbankan sebagai dasar acuan ketika menghadapi goncangan krisis.
Selain itu, pemerintah juga berupaya mengurangi ketergantungannya terhadap utang luar
negeri, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Semua perbaikan ini mengakibatkan
Indonesia dinilai sebagai negara berisiko rendah dan mampu mecapai skor ICRG
(International Country Risk Guide) tertinggi sejak tahun 1997.
Belajar dari krisis keuangan yang pernah terjadi di Indonesia, berikut terdapat
beberapa implikasi kebijakan yang bisa diterapkan, antara lain:
Krisis keuangan adalah kekacauan besar di pasar keuangan yang ditandai oleh
penurunan harga aset dan kegagalan perusahaan. Dalam kurun waktu lima belas tahun
terakhir, Indonesia telah dua kali mengalami krisis keuangan, pertama saat terjadi krisis
keuangan atau lebih dikenal dengan krisis moneter tahun 1997-1998, dan kedua yaitu krisis
keuangan global tahun 2008. Kedua krisis ini bermula dari krisis keuangan yang terjadi di
negara lain, jika krisis tahun 1997 bermula dari kejatuhan ekonomi Thailand hingga meluas
ke Asia dan beberapa negara emerging market lainnya, maka krisis keuangan global tahun
2008 justru bermula dari kejatuhan ekonomi negara adidaya Amerika Serikat. Indonesia
tidak luput terkena dampak meluasnya krisis keuangan ini hingga menyebabkan
melambatnya pertumbuhan ekonomi, ditandai dengan berbagai kemunduran dalam
indikator keuangan seperti terdepresiasinya rupiah, suku bunga yang meningkat, laju inflasi
yang tinggi, krisis perbankan serta anjloknya nilai IHSG. Namun berbeda dengan krisis yang
terjadi tahun 1997-1998, pada saat terjadi krisis keuangan tahun 2008, kondisi fundamental
sektor eksternal, fiskal dan industri perbankan lebih kuat dan mampu menahan terpaan
krisis global. Situasi politik yang jauh lebih stabil serta upaya pemerintah untuk mengurangi
ketergantungan terhadap hutang luar negeri juga menyebabkan dampak yang diakibatkan
krisis terhadap perekonomian tidak separah kondisi tahun 1998.
Berbagai kebijakan yang diterapkan setelah belajar dari krisis sebelumnya mampu
menghasilkan implementasi yang lebih ketat dari peraturan di sektor korporasi dan
perbankan. Untuk ke depannya, diharapkan adanya penyempurnaan kebijakan moneter
secara konsisten dengan mengacu kepada Inflation Targeting Frameweork (ITF), koordinasi
yang lebih intensif antara pemerintah dan Bank Indonesia demi terciptanya konsistensi dan
keselarasan kebijakan, perbaikan manajemen risiko sektor perbankan serta perbaikan
infrastruktur dan kualitas institusi yang memadai hingga mampu menciptakan iklim investasi
yang lebih kondusif, dengan tujuan akhir meningkatkan output dan kestabilan
perekonomian Indonesia.