Anda di halaman 1dari 15

Materi 3

PERILAKU SOSIAL (SOCIAL BEHAVIOUR)

1. Konteks Sosiokultural
Semua perilaku manusia bersifat kultural karena spesies manusia pada dasarnya bersifat
sosial. Relasi-relasi interpersonal mendorong munculnya makna bersama serta terciptanya
institusi-institusi dan artefak-artefak. Di satu pihak, perilaku sosial berhubungan dengan konteks
sosiokultural dimana perilaku itu berkembang. Misalnya, prosedur memberi salam
(menundukkan kepala, jabat tangan, atau ciuman) berbeda antar kebudayaan, dan ini
menunjukkan adanya pengaruh transmisi kultural terhadap perilaku sosial. Di pihak lain,
memberi salam terdapat pada semua kebudayaan, dan ini menunjukkan adanya komonalitas
fundamental dalam esensi perilaku sosial. Maka dapat diasumsikan bahwa semua kebudayaan
mengenal ucapan salam, tapi diekspresikan dengan berbagai cara, bergantung pada budaya
setempat.
Teori-teori psikologi sosial juga dipengaruhi oleh kebudayaan (culture bound). Artinya,
teori-teori itu dikembangkan di satu masyarakat tertentu (yaitu AS), baik tema risetnya, isi
teorinya, dan isu masyarakatnya. Dan teori-teori psikologi sosial diterima secara luas di seluruh
dunia. Amir dan Sharon (1987), misalnya, memperlihatkan secara empiris keterbatasan kultural
dari psikologi sosial. Mereka mencoba menerapkan di Israel enam studi di Amerika. Ternyata
dari beberapa hipotesis yang diuji ulang, kurang lebih setengahnya tidak dapat diterapkan,
bahkan ditemukan beberapa hasil “baru” yang signifikan. Sampai Barry et al.berkomentar bahwa
kalau teori-teori dari AS saja tidak cocok dengan Israel dan Kanada,, apalagi diterapkan di
kebudayaan lain yang lebih berbeda.
Salah satu solusinya adalah mengembangkan psikologi pribumi (indigenous psychology),
yaitu psikologi yang cocok dengan masyarakat atau daerah tertentu. Ini sesuai dengan tujuan
kedua psikologi lintas budaya, yakni mengeksplorasi sistem-sistem kultural lain untuk
menemukan fenomena perilaku sosial baru yang sesuai dengan realitas sosiokultural lokal. Tapi
jika ini dilakukan, maka akan bermunculan “banyak psikologi sosial”, yang sesuai dengan
konteks sosiokulturalnya masing-masing. Keuntungannya, psikologi sosial itu mungkin cocok
dengan realitas pribumi lokal. Tapi kerugiannya, muncul fragmentasi dalam ilmu psikologi
sosial.
Maka perlu ditemukan prinsip2 dan dimensi2 umum perilaku sosial, yang merupakan
tujuan ketiga dari psikologi lintas budaya (universal) dengan menggunakan metode komparatif.
Banyak ahli psikologi sosial lintas budaya yakin bahwa prinsip2 universal ini terkandung dalam
banyak bidang perilaku sosial. Jadi, asumsi operasional di atas nampaknya cocok dalam
psikologi lintas budaya kontemporer. Masalah utama yang dihadapi para psikolog sosial lintas
budaya adalah, bagaimana menemukan prinsip-prinsip universal ini sambil mengembangkan
semua psikologi sosial pribumi lokal.
Dua dimensi penting dari perbedaan kultural yang ditemukan lintas budaya adalah
keragaman peran (role diversity) dan kewajiban peran (role obligation). Pada setiap sistem
sosial, individu memegang posisi-posisi dengan perilaku tertentu; perilaku2 ini dinamakan peran
(roles). Pelaku peran diancam sanksi bahkan tekanan, supaya dia berperilaku menurut norma
sosial. Unsur-unsur sistem sosial tidak acak, tapi terorganisasi atau terstruktur oleh setiap
kelompok budaya. Struktur2 tersebut dipengaruhi oleh konteks ekologis dan akan mengalami
perubahan lebih lanjut karena konteks sosiopolitik.
Ada dua bentuk struktur sosial, yakni struktur yang terdiferensiasi dan yang
terstratifikasi. Dalam diferensiasi masyarakat membedakan peran-peran: ada masyarakat yang
mengenal sedikit peran, dan ada yang mengenal banyak peran. Misalnya, pada struktur sosial
yang kurang terdiferensiasi, posisi dan peran dibatasi ke tingkat keluarga, sosial, atau ekonomi
(seperti orangtua-anak, pemburu-pencari makanan). Sebaliknya, pada masyarakat yang lebih
terdiferensiasi, terdapat lebih banyak posisi dan peran pada domain2 khusus, misalnya raja-
rakyat-budak, pemilik perusahaan-manajer-karyawan-pensiun, atau paus-kardinal-uskup-imam-
awam.
Aberle et al. (1950) menyebut sembilan prasyarat fungsional, yang bersifat universal, dari
sebuah masyarakat demi keberlangsungan masyarakat itu sendiri, yaitu:
a. Hubungan yang baik dengan lingkungan (fisik dan sosial): ini dibutuhkan untuk
mempertahankan populasi yang cukup untuk “mendukung” masyarakat dan kebudayaan.
b. Diferensiasi dan penentuan peran: kelompok harus melakukan berbagai hal berbeda, dan
orang harus diberi peran-peran itu (mis. oleh warisan atau keberhasilan)
c. Komunikasi: semua kelompok memiliki bentuk komunikasi bersama, dipelajari, dan
bersifat simbolik untuk mempertahankan arus informasi dan koordinasi dalam kelompok.
d. Orientasi kognitif bersama: keyakinan, pengetahuan, dan aturan2 pemikiran logis
bersama dimiliki bagi anggota suatu masyarakat demi kerjasama yang penuh pengertian.
e. Tujuan bersama: harus ditetapkan arah kerjasama untuk mencegah individu2 menempuh
arah yang berlawanan.
f. Regulasi normatif terhadap sarana mencapai tujuan: perlu ditetapkan aturan tentang
bagaimana tujuan2 itu dicapai dan diterima oleh seluruh penduduk.
g. Regulasi tentang ekspresi afektif: emosi dan perasaan perlu dikontrol secara normatif.
Ekspresi cinta dan kebencian, misalnya, tidak boleh dilakukan sebebasnya agar jangan
menimbulkan konsekuensi yang tidak dikehendaki.
h. Sosialisasi: setiap anggota baru harus mempelajari bentuk-bentuk kehidupan yang utama
dan penting dari kelompok. Way of life kelompok perlu dikomunikasikan, dipelajari, dan
diterima oleh semua anggota.
i. Kontrol perilaku disruptif: jika sosialisasi dan regulasi normati gagal, perlu ada “back up”
sehingga kelompok dapat memiliki perilaku yang pantas dan dapat diterima. Bila perlu
koreksi dilakukan berupa pemecatan permanen.
Menurut Berry et al., model-model tersebut bersifat general, elementer, dan universal.
General karena mengendalikan sebagian besar bentuk interaksi sosial, pikiran, dan perasaan.
Elementer karena merupakan unsur-unsur dasar bagi bentuk2 sosial yang lebih tinggi. Universal
karena merupakan basis bagi relasi2 sosial di semua kebudayaan dan fondasi utama bagi
pemahaman lintas budaya dan keterlibatan interkultural.
Sedangkan Fiske (1991) menyusun suatu “model hubungan sosial” yang bersifat
universal, yang terdiri dari empat struktur dasar yaitu:
a. Communal sharing: orang-orang bersatu, batas2 diri individu hilang, menjadi anggota
kelompok dan memiliki rasa identitas bersama, solidaritas, persatuan, dan menganggap
diri bukan sebagai individu, tapi sebagai “kita” (kolektivisme).
b. Authority ranking: yang berlaku adalah kesetaraan dan hirarki, orang yang berada di
peringkat atas mengontrol masyarakat, barang-barang, dan sumber2 (termasuk
pengetahuan), sering mengambil inisiatif, dan berhak memilih dan melaksanakan
preferensi.
c. Equality matching: terdapat hubungan yang setara antar teman sebaya; orang-orang
terpisah tapi sederajat, saling mengisi, resiprositas, dan berhubungan secara seimbang.
d. Market pricing: hubungan ditentukan oleh nilai-nilai sistem “pasar”; individu
berinteraksi dengan orang lain secara rasional; nilai suatu tindakan dilihat dari sejauh
mana tindakan tersebut dapat ditukar dengan komoditas lain.

2. Konformitas
Pada semua masyarakat di dunia, para anggotanya diharapkan untuk menyesuaikan diri
dengan norma-norma sosial. Tanpa penyesuaian diri (konformitas), kohesi sosial akan berkurang
sehingga kelompok itu tidak dapat berfungsi sebagai kelompok. Tingkat konformitas di berbagai
kebudayaan selalu berbeda karena perbedaan tempat dimana dimensi sosialisasi compliance-
assertion berlangsung. Tingkat konformitas individu terhadap norma-norma kelompok pun
berbeda.
Berbagai hasil riset menunjukkan bahwa konformitas dapat berbeda-beda secara lintas
budaya. Konformitas individu akan lebih besar pada masyarakat yang menekankan pendidikan
compliance (yaitu masyarakat yang penduduknya padat dan sangat terstratifikasi), tingkat
konformitas akan lebih rendah pada masyarakat yang menekankan pendidikan assertion (yakni
masyarakat yang tidak padat dan kurang terstratifikasi).
Faktor apa yang memengaruhi individu untuk menerima nilai kelompok, walaupun nilai
tersebut bertentangan dengan persepsinya sendiri? Riset pertama kali untuk mencoba menjawab
pertanyaan ini dilakukan oleh Asch (1956). Dalam riset itu, kepada para partisipan diperlihatkan
tiga garis yang tidak sama panjang. Kemudian diperlihatkan sebuah garis lain yang menjadi
acuan. Lalu para partisipan diminta untuk menentukan manakah dari ketiga garis itu sama
panjang dengan garis standar tadi. Ternyata mereka semua menyesuaikan diri dengan apa yang
dibisikkan oleh para asisten peneliti (pada hal jawaban yang dibisikkan itu salah).
Bond dan Smith (1996), dengan model Asch, melakukan riset untuk mengetahui apakah
konformitas terdapat pada semua kebudayaan, dan apakah ada perbedaan konformitas pada
berbagai kebudayaan. Ada dua kelompok yang diteliti, yaitu masyarakat yang hidup dalam
ekonomi subsistensi, dan masyarakat industri. Pada penelitian terhadap masyarakat subsistensi,
Berry (1967) menemukan bahwa terdapat konformitas di lintas budaya, tapi berbeda menurut
faktor ekologis dan kultural. Pada masyarakat pemburu, yang organisasi sosialnya longgar
(konformitas sosial rendah) dengan tipe sosialisasi assertion, tingkat konformitasnya lebih
rendah dibanding masyarakat agrikultural yang organisasi sosialnya lebih ketat dengan model
sosialisasi compliance.
Hasil riset ini memperlihatkan bahwa pada masyarakat yang “longgar” , dimana
diterapkan pendidikan anak untuk mengembangkan assertion, nampak performans yang cukup
mandiri pada skala Asch, sedangkan pada masyarakat lebih “ketat” dengan model pendidikan
compliance, nampak tingkat konformitas yang lebih tinggi. Praktik sosialisasi pada masyarakat
subsistensi berkorelasi dengan perilaku mandiri. Jadi, ada hubungan teoretis dan empiris antara
bentuk sosialisasi compliance-assertion dan tingkat konformitas.
Dalam riset terhadap masyarakat industri, Bond dan Smith (1996) menemukan bahwa
terdapat konformitas lebih tinggi pada masyarakat yang menghargai nilai konservatisme,
kolektivisme, dan preferensi bagi status ascription, sedangkan konformitas lebih rendah pada
masyarakat yang menghargai otonomi, individualisme, dan status.

3. Nilai
Istilah nilai (values) merujuk pada konsep individu atau anggota-anggota masyarakat
tentang sesuatu yang diinginkan, yang memengaruhi orang dalam menentukan sarana dan tujuan
tindakan (Kluckhohn, 1951).
Menurut Hofstede (1980) nilai adalah “kecenderungan untuk memilih keadaan tertentu,
dan tidak memilih yang lain”. Nilai biasanya bersifat lebih umum dibanding sikap (attitude), tapi
kurang general dibanding ideologi (seperti sistem-sistem politik). Nilai bersifat stabil, dan selalu
berkaitan dengan sifat kepribadian dan karakteristik kultural.
Kluckhohn dan Strodtbeck menyebut lima dimensi orientasi nilai sebagai berikut:
a. Orientasi manusia-alam (man-nature orientation): relasi manusia dan lingkungan alam.
Ada tiga alternatif, yaitu manusia menguasai alam, manusia tunduk pada alam, dan
harmoni antara manusia dan alam.
b. Orientasi waktu (time orientation): orientasi individu ke masa lampau, masa sekarang,
dan masa depan.
c. Orientasi aktivitas (activity orientation): preferensi untuk hidup (being), menjadi
(becoming), atau bertindak (doing). Maknanya, orang menikmati eksistensinya saat ini,
ingin beralih ke eksistensi baru, atau beraktivitas tanpa suatu perubahan.
d. Orientasi relasional (relational orientation): menyangkut relasi manusia dengan orang
lain, dan menekankan individualisme, relasi kolateral (menyukai orang lain dalam
kelompok lebih besar), atau relasi lineal (suksesi teratur dalam kelompok).
e. Hakikat manusia (nature of man) : orang dinilai sebagai orang baik, orang jahat, atau
dua-duanya tidak pada satu dimensi, dan berubah atau tidak berubah pada dimensi lain.
Rokeach membedakan dua kelompok nilai, yaitu nilai terminal, yakni tujuan
tertinggi eksistensi (idealized end states of existence), dan nilai instrumental, yakni
bentuk tertinggi perilaku (idealized modes of behavior) yang menjadi sarana untuk
mencapai tujuan. Tiap kelompok nilai itu terdiri dari 18 macam nilai.

Schwartz menyebut 10 macam nilai individual yakni self-direction, universalism,


benevolence, conformity/tradition, security, power, achievement, hedonism, dan stimulation
(lihat gambar). Ada dua dimensi yang mengontrol nilai-nilai itu, yakni self-enhancement (power,
achievement, hedonism) vs self-transcendence (universalism, benevolence) dan conservatism
(konformitas, keamanan, tradisi) vs openess to change (self-direction, stimulation). Kedua
dimensi ini mewakili aspek universal dari eksistensi manusia, yang berakar pada kebutuhan
dasar individu (biologis, interpersonal, sosiokultural).
Dari 10 nilai tersebut, Schwartz menemukan 7 nilai untuk tingkat negara, yaitu:
konservatisme, otonomi afektif, otonomi intelektual, hirarki, komitmen egalitarian, mastery, dan
harmoni. Ketujuh nilai level kebudayaan ini kemudian dianalisis dan memghasilkan tiga dimensi
bipolar, yaitu konservatisme vs otonomi, hirarki vs egalitarianism, dan mastery vs harmoni.
Riset Inglehart dan Baker dengan sampel dari 65 negara (75% populasi dunia)
menghasilkan World Values Survey (WVS). Mereka menemukan dua dimensi nilai untuk tingkat
individu maupun negara, yakni traditional vs secular-rational, dan survival vs self-expression.
Dimensi pertama terdiri dari nilai2 yang menekankan kepatuhan (bukan independensi) dalam
mendidik anak, dan hormat kepada otoritas. Dimensi kedua terdiri dari nilai2 yang menekankan
keamanan ekonomi dan fisik atas kualitas kehidupan.
Berdasarkan WVS, negara-negara di kawasan Eropa barat laut memiliki skor tinggi pada
nilai secular dan self-expressive, sementara negara-negara Eropa eks komunis (timur) memiliki
skor tinggi pada secular, tapi rendah pada self-expressive. Negara2 berbahasa Inggris punya skor
sedang pada nilai secular dan skor tinggi untuk self-expressive. Kawasan Asia selatan dan
Afrika mendapat skor rendah untuk kedua nilai, sedangkan Amerika Latin memperoleh skor
rendah untuk nilai secular dan skor sedang untuk self-expressive.
Dalam gambar terlihat kluster Latin (kanan bawah) yang memperlihatkan nilai power
distance/high individualism yang tinggi, dan dinamakan Hofstede sebagai dependent
individualism. Sebaliknya, independent collectivism berlaku untuk Israel dan Austria. Sebagian
besar negara2 Dunia Ketiga (kanan atas) memperlihatkan dependent collectivism, dan sebagian
besar negara2 industri Barat (kiri bawah) memperlihatkan independent individualism.
Berdasarkan Gross National Product (GNP), terungkap bahwa negara-negara yang
mempunyai GNP rendah, memiliki skor rendah untuk nilai secular dan self-expressive,
sedangkan negara-negara yang memiliki GNP tinggi, mendapat skor tinggi untuk kedua nilai
yang sama. Apakah hal ini mencerminkan hasil dari pembangunan nasional, tidak dibahas
sekarang.
Dari penelitian berskala besar terhadap para karyawan perusahaan di 50 negara dan 66
kebangsaan, Hofstede (1972) menemukan empat dimensi nilai dalam kerja yakni:
1. Power distance: ada ketidaksetaraan antara pimpinan dan karyawan dalam organisasi.
2. Uncertainty avoidance: tidak boleh ada sikap ambigu.
3. Individualism: mengutamakan kepentingan diri sendiri, bukan kepentingan kolektif.
4. Masculinity: menekankan hasil kerja (pendapatan, kemajuan) dan assertiveness (bertolak
belakang dengan hubungan interpersonal).

4. Individualisme dan kolektivisme


Individualisme menekankan kepentingan diri sendiri, dan bukan kelompok dimana dia
menjadi anggotanya. Kolektivisme bertolak belakang dengan individualisme. Menurut Triandis,
individualisme melihat individu sebagai personal dan independen; memprioritaskan tujuan
personal; menekankan hubungan pertukaran, bukan hubungan komunal; dan punya sikap
personal terhadap norma sosial. Sedangkan kolektivisme melihat individu sebagai kolektif dan
interdependen; memprioritaskaan tujuan kelompok; menekankan hubungan komunal, bukan
pertukaran; dan tidak mementingkan sikap personal terhadap norma sosial.
Karakteristik individualisme adalah self-reliance, kompetisi, jarak emosional dari in-
groups, dan hedonisme. Sedangkan karakter kolektivisme adalah interdependence, integritas
keluarga, dan sosiabilitas. Individualisme dan kolektivisme sering digambarkan sebagai I-C.
Kagitcibasi (1997) membedakan I-C normatif dan I-C relasional. I-C normatif melihat
kepentingan individu berada di bawah kepentingan kelompok, sedangkan I-C relasional lebih
mementingkan jarak interpersonal vs embeddedness.
Apakah individualisme dan kolektivisme merupakan dua kutub berlawanan pada satu
dimensi, atau merupakan dua dimensi yang independen? Pada awalnya, terdapat bukti bahwa I-C
adalah dua kutub yang beroposisi pada satu dimensi tunggal. Tapi pandangan baru melihat I-C
sebagai dua dimensi independen. Tidak heran,Triandis mengatakan bahwa individualisme dan
kolektivisme dapat ada berdampingan (co-exist), dengan tekanan berbeda pada tiap kebudayaan.
Perbedaan antara keduanya diperlihatkan oleh Kashima et al. Mereka menemukan bahwa
sebetulnya ada tiga dimensi yang terpisah. Hasil studi di Australia, Jepang, Korea, dan AS
(Hawaii dan Illinois) menunjukkan bahwa individualisme dan kolektivisme secara empiris
terpisah satu sama lain. Dalam penelitian dengan sampel dari Korea, Amerika Asia, dan Amerika
Eropa, mereka menyimpulkan bahwa kolektivisme dan individualisme merupakan dua dimensi,
dan bahwa hubungan keduanya bergantung pada referent in-group. Mereka menambahkan
dimensi ketiga, yakni hirarki sehingga I-C menjadi konsep yang multidimensional.
Triandis dan Gelfand menyebut empat dimensi berbeda, yakni individualisme horizontal
(seperti, “saya lebih suka bergantung pada diri sendiri daripada orang lain”), individualisme
vertical (mis, adalah penting bahwa saya melakukan tugasku lebih baik dari orang lain),
kolektivisme horisontal (jika rekan kerja mendapat hadiah, saya akan rasa berbangga), dan
kolektivisme vertikal (penting bahwa saya menghormati keputusan yang dibuat oleh
kelompokku).
Studi Hofstede menunjukkan bahwa negara yang GNP-nya tinggi menghasilkan
individualisme (jadi kelimpahan mendorong munculnya individualisme). Hanya saja arah
hubungan belum diketahui (individualisme adalah syarat bagi kelimpahan, atau kelimpahan
mengakibatkan individualisme). Dalam kenyataan hal ini dijabarkan dalam bentuk pertanyaan:
apakah masyarakat yang nilai individualismenya rendah harus mengubah nilai untuk mencapai
kemajuan ekonomi?
Dari perspektif ekokultural, Barry berpendapat bahwa individualisme dan kolektivisme
berhubungan dengan aspek2 terpisah dari ekosistem. Menurut dia, individualisme berkaitan
dengan ukuran dan kompleksitas sistem sosial (masyarakat yang lebih besar dan kompleks jadi
lebih individualis), sedangkan kolektivisme terkait dengan keketatan sosial atau tekanan
konformitas terhadap individu oleh masyarakat (masyarakat yang sangat terstratifikasi akan lebih
kolektivis).

5. Kognisi sosial
Riset lintas budaya di bidang kognisi sosial terfokus pada proses atribusi. Atribusi adalah
cara individu berpikir tentang perilakunya sendiri atau perilaku orang lain. Studi tentang atribusi
tumbuh dari riset tentang locus of control.
Perilaku seseorang disebabkan oleh penyebab internal (tindakan atau disposisinya sendiri),
atau penyebab eksternal (orang lain atau nasib). Maka dikenal pula istilah disposisionalisme
(penyebab internal dan situasionalisme (penyebab eksternal).
Hasil riset Morris & Peng (1994) terhadap orang Amerika dan Cina menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan kultural pada orang Amerika dan Cina kalau menyangkut kejadian-kejadian
fisik, tapi berbeda kalau menyangkut stimuli sosial. Atribusi orang Amerika adalah atribusi
disposisional (penyebab internal), sedangkan atribusi orang Cina adalah atribusi situasional
(penyebab eksternal).
Menyangkut in-group dan out-group, misalnya pada kasus pembunuhan, mereka
menemukan bahwa orang Cina memperlihatkan perilaku yang disebabkan oleh situasi,
sedangkan orang Amerika disebabkan oleh disposisi. Partisipan asal Cina berpikir bahwa orang
akan mengambil tindakan yang tidak terlalu kejam pada situasi-situasi berbeda, sedangkan
partisipan Amerika mengatakan bahwa orang membunuh karena desakan pribadi tanpa ditawar-
tawar, meskipun situasinya berubah. Jadi, penelitian ini mendukung pendapat bahwa kebudayaan
individualis mengenal atribusi disposisional (penyebab internal), sedangkan kebudayaan kolektif
mengenal atribusi situasional (penyebab eksternal).
Hasil riset Choi et al. menyimpulkan bahwa atribusi internal dan eksternal terdapat pada
semua kebudayaan, tapi digunakan secara berbeda. Orang Barat (Eropa) lebih suka membuat
atribusi internal, sedangkan orang Asia lebih cenderung membuat atribusi situasional (penyebab
eksternal) bila menginterpretasi perilaku orang. Menurut mereka, orang Asia timur memiliki
pengertian lebih holistik tentang individu (batas antara individu dan situasinya kabur). Jadi,
contoh-contoh di atas menunjukkan universalisme. Artinya, proses psikologis dasar dari atribusi
terdapat pada semua kebudayaan, tapi dikembangkan dan digunakan secara berbeda sesuai
konteks kulturalnya.
Ada pula studi lintas budaya tentang reaksi seseorang terhadap pelanggaran yang dilakukan
oleh anggota-anggota kelompok yang bermusuhan. Dua kelompok asal India dan dua kelompok
asal Belanda melakukan pelanggaran, misalnya tidak mau antri, menertawakan agama orang lain,
menipu perusahaan asuransi, atau menggunakan bahan bakar kantor. Kelompok India terdiri dari
etnis Hindu dan Muslim setempat, sedangkan kelompok Belanda terdiri dari migran asal Turki di
Belanda dan orang asli Belanda. Para responden diminta untuk mengemukakan apa reaksi
kelompoknya terhadap pelanggaran yang dilakukan kelompok lain, dan juga apa reaksi
kelompoknya terhadap pelanggaran yang dilakukan orang dari kelompoknya sendiri.
Hasilnya, reaksi kelompok India dan Belanda berbeda, dan perbedaan itu dipengaruhi oleh
kekuasan ekonomi dan sosial yang dimiliki, bukan variabel psikologis (identitas dan sikap). Para
responden menilai situasi mereka secara realistik: mereka tahu posisinya di masyarakat
dibandingkelompok lain, dan inilah yang memengaruhi reaksi mereka.

6. Perilaku Gender
Di bab 2 sudah dibahas tentang perbedaan sosialisasi bagi anak laki dan perempuan di
berbagai kebudayaan. Anak gadis unumnya mendapat sosialisasi ke arah compliance
(memelihara, tanggungjawab, dan kepatuhan), sedangkan anak laki-laki ke arah assertion
(independence, self-reliance, dan achievement). Perbedaan sosialisasi ini juga disebabkan oleh
faktor-faktor kultural lain seperti stratifikasi sosial dan faktor ekologis (seperti ekonomi
subsistensi dan kepadatan penduduk). Pertanyaan: apa konsekuensi sosial dan psikologis dari
perlakuan dan pengalaman berbeda anak laki-laki dan perempuan? Gambar menunjukkan
bagaimana karakteristik psikologis dipengaruhi oleh konteks ekologis, perbedaan biologis,
konteks sosiopolitik, dan praktik-praktik kebudayaan.
Ketika lahir, neonate mempunyai jenis kelamin (seks), tapi tidak punya gender. Jenis
kelamin biologis biasanya dilihat dari bentuk anatomi fisik, tapi secara kultural pengalaman,
perasaan, dan perilaku yang diasosiasikan dengan perbedaan biologis ini sangat memengaruhi
bagaimana individu melihat gendernya. Persamaan dan perbedaan antara laki-laki dan
perempuan merupakan konstruksi budaya dengan dasar biologis, dan bukan biologis per se.
Perbedaan biologis laki-laki dan perempuan memang ada, tapi itu hanya starting point, bukan
seluruh cerita.
Secara biologis pria dan wanita memiliki organ dan hormon seks berbeda. Mereka juga
punya ukuran dan berat berbeda. Tetapi di atas dasar itu kemudian terbentuklah gambaran
kolektif (nilai, keyakinan budaya/stereotip) dan harapan (ideologi), yang kemudian
menyebabkan perbedaan dalam sosialisasi dan diferensiasi peran, dan akhirnya menyebabkan
perbedaan sejumlah karakteristik psikologis (kemampuan, agresi, dll).
a. Stereotip gender
Studi tentang stereotip (keyakinan bersama dalam masyarakat) tentang apa itu laki-laki dan
perempuan di Barat menyimpulkan bahwa ada perbedaan stereotip tentang laki dan perempuan,
yaitu bahwa laki-laki dianggap dominan, independen, dan berani, sedangkan perempuan
emosional, submisif, dan lemah.
Studi terkenal yang dilakukan oleh Williams and Best (1990) terhadap 2.800 responden
mahasiswa di 27 negara menemukan 49 sifat bagi laki-laki dan 25 sifat bagi perempuan. Studi ini
menyimpulkan perbedaan besar di semua negara tentang siapa itu laki-laki dan perempuan, dan
adanya persamaan besar pada banyak negara. Adanya kesamaan ini menunjukkan adanya unsur
universal dalam hal stereotip gender.
Sebagai rangkuman dapat dikatakan bahwa di semua kebudayaan laki-laki dan perempuan
diberi sifat berbeda, tapi juga dengan istilah-istilah yang sama, dimana laki-laki dinilai lebih aktif
dan kuat. Menurut Berry et al. Ini menunjukkan bahwa di semua kebudayaan perbedaan biologis
awal menyebabkan praktik-praktik kultural, tugas dan sosialisasi yang berbeda untuk pria dan
wanita sehingga dimana-mana secara psikologis laki-laki dan perempuan berbeda. Jadi, stereotip
gender hanyalah persepsi atas perbedaan-perbedaan tersebut.
b. Memilih teman hidup
Berdasarkan stereotip gender itu, apakah dalam memilih teman hidup itu sama di semua
kebudayaan? Riset yang dilakukan Buss et al. (1989) terhadap 10.000 responden di 37 negara
menunjukkan bahwa dalam hal tradisional vs modern dan penghargaan tinggi vs rendah terhadap
pendidik, semua kebudayaan berbeda, tapi secara umum preferensinya sama. Meskipun sama,
ada perbedaan gender dan kebudayaan. Perbedaan gender utama adalah wanita lebih
mementingkan pendapatan tinggi dibanding laki-laki, sedangkan laki-laki lebih mementingkan
penampilan fisik dibanding wanita. Perbedaan budaya nampak dalam hal keperawanan. Di Eropa
utara keperawanan tidak terlalu dipersoalkan dibanding di Asia. Ada juga perbedaan tentang
pembantu rumah yang baik, dan kepemilikan rumah dan anak.
Tapi Buss et al. berkesimpulan bahwa meskipun terdapat perbedaan kultural dan seksual, terlihat
adanya kesamaan-kesamaan besar di semua kebudayaan dan jenis kelamin dalam hal memilih
teman hidup. Ini menunjukkan bahwa tingkat kesamaan psikologis sebagai spesies manusia lebih
dominan dari keragaman geografis, ras, politik, etnis, dan seksual. Jadi, hasil ini mendukung
pandangan universalisme.
c. Ideologi peran gender
Stereotip gender adalah keyakinan bersama tentang karakteristik pria dan wanita,
sedangkan ideologi peran gender adalah keyakinan normatif tentang bagaimana seharusnya pria
dan wanita itu, atau apa yang harus dilakukan. Williams dan Best (1990) pernah melakukan
penelitian lintas budaya tentang bagaimana individu menilai diri sendiri (actual self), apa cita-
citanya (ideal self), dan bagaimana seharusnya pria dan wanita itu. Hasilnya, hanya ada sedikit
perbedaan lintas budaya antara pria dan wanita dalam hal actual self dan ideal self. Tapi dengan
menggunakan skala Sex Role Ideology (SRI) perbedaannya lebih besar. Tapi pada umumnya
skor tinggi terdapat di negara-negara yang tingkat sosioekonominya tinggi, berpenduduk banyak
kristen protestan (muslim minoritas), banyak wanita bekerja di luar rumah dan belajar di
universitas, negara yang disebut Hofstede individualistik. Jelas, ini berkaitan juga dengan
kemakmuran ekonomi (GNP).
d. Karakteristik psikologis
Kita sudah bahas perbedaan praktik pengasuhan anak (child rearing) dan pemberian peran
bagi anak laki-laki dan perempuan, serta perbedaan aktivitas peran bagi pria dan wanita. Kita
juga sudah melihat perbedaan gender dalam stereotip dan ideologi. Bagaimana semua ini
memengaruhi karakteristik psikologis pria dan wanita, dan bagaimana perbedaan2 ini secara
berbeda berhubungan dengan faktor2 ekologis dan kultural? Kita menjawab tiga pertanyaan ini
dengan mengacu pada tiga bidang perilaku yaitu kemampuan kognitif perseptual, konformitas,
dan agresi.
Pada umumnya diakui bahwa kerja laki-laki dalam tugas-tugas spasial lebih baik dibanding
perempuan. Tapi riset oleh ilmuwan lain (seperti Berry dan MacArthur) terhadap orang-orang
Inuit (Eskimo) di Kanada memperlihatkan bahwa disana tidak ada perbedaan. Menurut Berry
kemampuan pria dan wanita di masyarakat Inuit sangat adaptif. Disana anak laki-laki dan
perempuan dilatih dan punya pengalaman luas sehingga mereka memperoleh kemampuan spasial
yang tinggi. Dalam penelitian lain terhadap 17 masyarakat, diketahui bahwa kemampuan spasial
pria lebih tinggi pada masyarakat yang ketat, sedenter, dan bertani, tapi kemampuan ini tidak ada
di masyarakat yang longgar, nomaden, pemburu dan peramu.
Dari temuan-temuan ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan jenis kelamin pada tugas-
tugas spasial tidak seragam dan relatif. Karena perbedaan itu terdapat pada masyarakat yang
cukup ketat dan tidak pada masyarakat longgar, maka ada interaksi antara perbedaan gender dan
faktor-faktor ekologis dan kultural yang ada di balik perbedaan sosialisasi dan role assignment
pria dan wanita. Dengan kata lain, tidak ada sosialisasi khusus untuk mengerjakan tugas2 spasial
dan bahwa perbedaan2 antara laki dan perempuan adalah bawaan sejak lahir. Misalnya, Kimura
(1999) menemukan bahwa mereka yang kemampuan spasialnya rendah mungkin sekali punah
pada masyarakat pemburu.
Born et al. (1987) menemukan bahwa dalam kepustakaan Barat laki-laki dan perempuan
tidak memiliki perbedaan dalam inteligensi umum, tapi ada perbedaan dalam tes-tes lanjutan:
wanita lebih baik dalam tugas-tugas verbal, termasuk kelancaran verbal dan cepatnya
menyelesaikan tugas-tugas yang menyangkut memori dan persepsi; laki-laki lebih unggul dalam
tugas-tugas yang terkait dengan bilangan dan berbagai tugas perseptual seperti closure, orientasi
spasial, dan visualisasi spatial.
Di berbagai kebudayaan ada perbedaan dalam merespons tugas-tugas konformitas.
Berdasarkan kepustakaan Barat, ada bukti bahwa wanita lebih tahan tekanan-tekanan
konformitas dibanding laki-laki, meskipun hal ini masih diperdebatkan. Tapi perbedaan paling
besar laki-laki dan perempuan (perempuan lebih konform) terdapat di sampel-sampel yang ketat.
Juga ada perbedaan magnitude perbedaan gender dalam karakteristik psikologis di semua
kebudayaan, dan hal itu sebagai akibat dari perbedaan dalam pengasuhan anak, penentuan peran,
dan tingkat stratifikasi sosial (dimana wanita cenderung di lapisan bawah).
Berbagai riset menyimpulkan bahwa pada umumnya laki-laki (khususnya remaja) lebih
banyak melakukan agresi dibanding perempuan. Kecenderungan ini berlaku di negara-negara
industri di Eropa, Amerika utara, dan juga negara-negara nonindustri dengan angka yang sangat
mencolok.
Penelitian yang luas tentang gender, kebudayaan, dan agresi dilakukan oleh Segall et al
(1999). Tingkat testosterone pada babon terkait dengan perilaku dominasi. Ada pula bukti bahwa
tingkat testosterone berhubungan dengan perilaku antisosial pada kelompok delinquent. Manusia
memang berpotensi melakukan perilaku agresi tapi tingkat ekspresi agresi dipengaruhi oleh
lingkungan sosiokultural. Dengan kata lain perilaku agresif merupakan produk dari pengaruh
kultural, terutama lewat pengalaman2 masa kecil. Artinya, pengalaman laki-laki dan wanita
berbeda sehingga itu mempengaruhi kecenderungan untuk jadi agresif.

Anda mungkin juga menyukai