kelompok 13 :
Puji syukur kehadirat Allah yang maha kuasa karena atas rahmat dan
karunianya kita dapat mengenal ilmu, pengetahuan, tidak lupa kita haturkan shalawat
beserta salam atas junjungan alam Nabi besar kita yaitu nabi Muhammad saw. Dan
kami mengucapkan terimakasih kepada ibu dosen yang telah mengajari kami ilmu
yang sangat banyak, berkat ilmu itu juga kami mampu menyelesaikan makalah ini
pada waktunya.
Dalam menyusun makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan
karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah kami selanjutnya.
Manado 2020
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa
neonatus ini sangat rawan, karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di
luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka
kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah
umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterine ke
ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan fungsi.
Bidan sebagai tenaga kesehatan harus memiliki kesiapan untuk merujuk ibu
atau bayi ke fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu jika
menghadapi penyulit. Jika bidan lemah atau lalai dalam melakukannya, akan
berakibat fatal bagi keselamatan ibu dan bayi.
B. Rumusan Masalah
1. Apaitu neonatus dengan resiko tinggi?
2. Apa saja kategori neonatus dengan resiko tinggi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu neonatus resiko tinggi
2. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk kategori neonatus resiko tinggi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. BBLR
a. Pengertian BBLR
Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari
2500 gram pada waktu lahir atau lebih rendah (WHO, 1961).
1) Prematuritas murni
Yaitu bayi pada kehamilan < 37 minggu dengan berat badan sesuai
2) Dismaturitas
Yaitu bayi yang lahir dengan berat badan rendah dan tidak sesuai dengan
usia kehamilan.
b. Etiologi BBLR
Penyebab kelahiran prematur secara pasti tidak diketahui, tapi ada beberapa
faktor yang berhubungan, yaitu :
1) Faktor ibu
a) Gizi saat hamil yang kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35
tahun
b) Jarak hamil dan persalinan terlalu dekat, pekerjaan yang terlalu berat
c) Penyakit menahun ibu :hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah,
perokok
2) Faktor kehamilan
a) Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum
b) Komplikasi kehamilan : preeklamsia/eklamsia, ketuban pecah dini
3) Faktor janin
Cacat bawaan, infeksi dalam rahim
4) Faktor Lingkungan
a) Tempat tinggal didataran tinggi
b) Radiasi
c) Zat-zat beracun
c. Komplikasi BBLR
Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah,
terutama berhubungan dengan 4 proses adaptasi pada bayi baru lahir diantaranya:
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada bayi BBLR terutama yang
berhubungan dengan 4 proses adaptasi bayi baru lahir, diantaranya:
f. Prognosis BBLR
Kematian perinatal pada bayi berat badan lahir rendah 8 kali lebih besar dari
pada bayi normal pada umur kehamilan yang sama. Prognosis lebih buruk lagi
apabila berat badan lebih rendah. Angka kematian yang tinggi terutama disebabkan
adanya kelainan komplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi pneumonia, pendarahan
intrakanial dan hipoglikemia. Bila bayi selamat kadang-kadang dijumpai kerusakan
pada syaraf dan dijumpai gangguan bicara, IQ yang rendah dan gangguan lainnya.
a. DEFINISI KEJANG
Kejang adalah perilaku yang tidak terkontrol yang sering ditemukan
pada neonatus. Kejang yang terjadi pada neonatus dapat mengakibatkan
kerusakan otak permanen. Kejang pada neonatus didefinisikan sebagai suatu
gangguan terhadap fungsi neurilogis seperti tingkah laku, motorik, atau fungsi
otonom. Kebanyakan kejang pada BBL timbul selama beberapa hari.
Sebagian kecil dari bayi tersebut akan mengalami kejang lanjutan dalam
kehidupan kelak. Kejang pada neonatus relatif sering dijumpai dengan
manifestasi klinis yang bervariasi. Timbulnya sering merupakan gejala awal
dari gangguan neurologi dan dapat terjadi gangguan pada kognitif dan
perkembangan jangka panjang.
b. PENYEBAB KEJANG
1) Bayi tidak menangis pada waktu lahir adalah penyebab yang paling
sering. Timbul dalam 24 jam kehidupan pada kebanyakan kasus.
2) Pendarahan otak, dapat timbul sebagai akibat dari kekurangan oksigen
atau trauma pada kepala. Pendarahan subdural yang biasanya
diakibatkan oleh trauma dapat menimbulkan kejang.
3) hypoxic-ischaemicencehepalophaty (HIE), infeksi susunan saraf pusat,
perdarahan intrakranial, dan gangguan metabolisme.
4) Gangguan metabolik.
a) Kekurangan kadar gula darah (Hipoglikemia), sering timbul dengan
gangguan pertumbuhan daam kandungan dan pada bayi dengan ibu
penderita diabetes melitus (DM). Jangka waktu antara hipoglikemia
dan waktu sebelum pemberian awal pengobatan merupakan waktu
timbulnya kejang.
b) Kekurangan kalsium (hipokalsemia), sering ditemukan pada bayi
berat badan lahir rendah, bayi dengan ibu penderita DM, bayi
asfiksia, bayi dengan ibu penderita hiperparatiroidisme.
c) Kekurangan natrium (Hiponatremia) Kelebihan natrium
(Hipernatremia), biasanya timbul bersamaan dengan dehidrasi atau
pemakaian bikarbonat berlebihan.
d) Kelainan metabolik lain seperti:
Ketergantungan piridoksin mengakibatkan kejang yang
resistan terhadap antikonvulsan. Bayi dengan kelainan ini
mengalami kejang intrauterin dan lahir dengan meconium
staining.
Gangguan asam amino Kejang pada bayi dngan gangguan
asam amino sering disertai dengan manivestasi neurologi.
Hyperamonemia dan asidosis sering timbul pada gangguan
asam amino.
5) Infeksi sekunder akibat bakteri atau nonbakteri dapat timbul pada bayi
dalam kandungan, selama persalinan, atau pada periode perinatal.
a) Infeksi bakteri Meningitis akibat infksi group B streptococus,
escherechcoli, atau listeria monocytogenes sering menyertai kejang
selama minggu pertama kehidupan
b) Infeksi non bakterial Penyebab non bakterial seperti toxoplasmosis
dan infeksi oleh herpes simpleks, cytomegalovirus dan rubella
dapat menyebabkan infeksi intrakranial dan kejang.
d. PENATALAKSANAAN KEJANG
1. Bayi yang mengalami kejang dapat dilakukan tindakan diantaranya:
a) Memasukkan tong spatel atau sudip lidah yang telah dibungkus dengan
kassa steril pada saat bayi kejang agar jalan napas tidak tertutup oleh
lidah
b) Mengurangi rangsangan pada bayi seperti cahaya
c) Memberikan pengobatan anti kunvulsan
d) Untuk menghindari infeksi dapat diberikan antibiotik serta perawatan
tali pusat dengan menggunakan teknik septik
e) Menjaga jalan nafas tetap bebas
f) Mengatasi kejang dengan memberikan obat anti kejang
2. Obat anti kejang (Buku Acuan Nasional Maternatal dan Neonatal, 2002)
a) Diazepam Dosis 0,1-0,3 mg/kg BB IV disuntikan perlahan-lahan
sampai kejang hilang atau berhenti. Dapat diulangi pada kejang
beruang, tetapi tidak dianjurkan untuk digunakan pada dosis
pemeliharaan
b) Fenobarbital Dosis 5-10 mg/kg BB IV disuntikkan perlahan-lahan, jika
kejang berlanjut lagi dalam 5-10 menit. Fenitoin diberikan apabila
kejang tidak dapat di berikan 4-7 mg/kg BB IV pada hari pertama
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 4-7 mg/kg BB atau oral dalam 2
dosis.
3. Asfiksia Neonatorum
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur
pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO 2 di
dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat) dan asidosis.
Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya
hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada
janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia.
Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100
x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks
rangsangan.
Nilai Apgar
Klinis 0 1 2
Detak jantung Tidak ada < 100 x/menit >100x/menit
Pernafasan Tidak ada Tak teratur Tangis kuat
Refleks saat jalanTidak ada Menyeringai Batuk/bersin
nafas dibersihkan
Tonus otot Lunglai Fleksi ekstrimitas Fleksi kuat gerak
(lemah) aktif
Warna kulit Biru pucat Tubuh merah Merah seluruh
ekstrimitas biru tubuh
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai
apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor
mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir
dan menentukan prognosis,bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai
30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor
Apgar)
e. Pemeriksaan penunjang :
g. Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum
Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit,
sianosis, merintih, waktu ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium, interkostal
pada saat inspirasi ( Perawatan Anak Sakit, Ngastiah. Hal 3).
Penyakit Membran Hialin (PMH)
Penyebab kelainan ini adalah kekurangan suatu zat aktif pada alveoli yang
mencegah kolaps paru. PMH sering kali mengenai bayi prematur, karena produksi
surfaktan yang di mulai sejak kehamilan minggu ke 22, baru mencapai jumlah cukup
menjelang cukup bulan.
Penyebab PMH adalah surfaktan paru. Surfaktan paru adalah zat yang
memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang
terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama zat tersebut adalah
lesitin. Zat ini mulai di bentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai
maksimum pada minggu ke 35. Fungsi surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan
permukaan alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk
bernafas berikutnya di butuhkan tekanan negatif intrathoraks yang lebih besar dan di
sertai usaha inspiarsi yang lebih kuat. Kolaps paru ini menyebabkan terganggunya
ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2. dan oksidosis.
Prognosis bayi dengan PMH terutama ditentukan oleh prematuritas serta
beratnya penyakit. Bayi yang sembuh mempunyai kesempatan tumbuh dan kembang
sama dengan bayi prematur lain yang tidak menderita PMH.
e. Gambaran Klinis Sindrom Gangguan Pernafasan
PMH umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000-2000
gram. Atau masa generasi 30-36 minggu. Gangguan pernafasan mulai tampak dalam
6-8 jam pertama setelah lahir dan gejala yang karakteritis mulai terlihat pada umur
24-72 jam.
1) Atas dasar adanya gangguan pernafasan yang dapat di sebabkan oleh berbagai
penyebab dan untuk melihat keadaan paru, maka bayi perlu dilakukan
pemeriksaan foto thoraks.
2) Pemeriksaan darah : perlu pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah dan
elektrolit.
g. Penatalaksanaan Sindrom Gangguan Pernafasan
1) Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus dalam batas
normal (36.5-37oc) dan meletakkan bayi dalam inkubator.
2) Pemberian oksigen dilakukan dengan hati-hati karena terpengaruh kompleks
terhadap bayi prematur, pemberian oksigen terlalu banyak menimbulkan
komplikasi fibrosis paru, kerusakan retina dan lain-lain.
3) Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan hemeostasis
dan menghindarkan dehidrasi. Permulaan diberikan glukosa 5-10 % dengan
jumlah 60-125 ML/ Kg BB/ hari.
4) Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Penisilin dengan dosis
50.000-10.000 untuk / kg BB / hari / ampisilin 100 mg / kg BB/ hari dengan atau
tanpa gentasimin 3-5 mg / kg BB / hari.
5) Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan
ekstrogen ( surfaktan dari luar).
5. Hiperbilirubinemia
a. Definisi Hiperbilirubinemia
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara
klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5
mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis
(Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.), kecuali:
1) Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi
kurang bulan >10 mg/dL.
2) Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
3) Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
4) Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
5) Terdapat faktor risiko.
Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum.
Bilirubin dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya
tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi
dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari
pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan minggu
pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah minggu
pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat.
Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran
sensorial.
1) Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena
hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur
lebih pendek.
a) Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil
transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan
ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
b) Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim ->
glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
c) Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat
disebabkan oleh faktor/keadaan:
d) Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi
G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
e) Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra
uterin.
f) Polisitemia.
g) Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
h) Ibu diabetes.
i) Asidosis.
j) Hipoksia/asfiksia.
k) Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
2. Faktor Risiko
a. Faktor Maternal
Prematuritas
1) Faktor genetik
2) Polisitemia
3) Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
4) Rendahnya asupan ASI
5) Hipoglikemia
6) Hipoalbuminemia
3. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
a. Ikterus fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi
bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya
dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi
baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai
puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian
menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul
peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi
< 2 mg/dL.
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan
faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak
bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan
berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina
cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4
dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis
pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif,
pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa
120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
b. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)
Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus
yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor
tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus
halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI
tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.
Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata
laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.
a. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat
digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit
berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode
visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh
digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk
untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara
visual, sebagai berikut:
6. Bilirubinometer Transkutan
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat
dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength
spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan
dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk
mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan
pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di
Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada
penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4
mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan
Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76,
p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan
untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat
digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan
skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan
bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan
skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah
terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini
menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin
serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas.
Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan
kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi
tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum
akan lebih terarah.
Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan
gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran
konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks
produksi bilirubin.
8. Penatalaksanaan
a. Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada
bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi,
kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada
bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai
faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama
kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan
membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
1. Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir
sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
2. Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin,
tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
3. Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan
terapi sinar.
4. Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi
sinar, lakukan terapi sinar
5. Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab
hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring
G6PD bila memungkinkan.
6. Tentukan diagnosis banding
1) Hemolitik
Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan
darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana
untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya. Bila
nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan
terapi sinar.
6. Pencegahan Hiperbilirubinemia
Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat
inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan
beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:
a. Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan
hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk
menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.
Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan
proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan
frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia
yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin
terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa)
pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah
terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
b. Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang
memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.
Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan
Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani
pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu
adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah
bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
2) Penilaian Klinis
Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala
untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur
standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam
bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi
sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan
dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari.
Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan
memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah,
kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.
a. Patus precipitates
a. Adanya hematoma pada umbilikus yang kemudian hematom tersebut pecah, namun
perdarahan yang terjadi masuk kembali ke dalam placenta. Hal ini sangat berbahaya
bagi bayi dan dapat menimbulkan kematian pada bayi
b. Varises juga dapat menyebabkan perdarahan apabila varises tersebut pecah
c. Aneurisma pembuluh darah pada umbilikus dimana terjadi pelebaran pembuluh darah
setempat saja karena salah dalam proses perkembangan atau terjadi kemunduran
dinding pembuluh darah. Pada aneurisme pembuluh darah menyebabkan pembuluh
darah rapuh dan mudah pecah.
a. Pembuluh darah aberan yang mudah pecah karena dindingnya tipis dan tidak ada
perlindungan jely Wharton
b. Insersi velamentosa tali pusat, dimana pecahnya pembuluh darah terjadi pada tempat
percabangan tali pusat sampai ke membran tempat masuknya dalam placenta tidak
adda proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan
ganda
Perdarahan akibat placenta previa dan abrutio placenta dapat membahayakan
bayi. Pada kasus placenta previa cenderung menyebabkan anemia, sedangkan pada
kasus abrutio placenta lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat
terjadi anoreksia.
Pengamatan pada placenta dengan teliti untuk menentukan adanya perdarahan
pada bayi baru lahir, pada bayi baru lahir dengan kelainan placenta atau dengan sectio
secarea apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala.
a. Penanganan disesuaikan dengan penyebab dari perdarahan tali pusat yang terjadi
b. Untuk penanganan awal, harus dilakukan tindakan pencegahan infeksi paa tali
pusat.
c. Segera lakukan inform consent dan inform choise pada keluarga pasien untuk
dilakukan rujukan.
F. Konsep Dasar Hipotermia
1. Definisi Hipotermia
2. Klasifikasi Hipotermia
Yaitu penurunan suhu tubuh1-2◦c sesudah lahir. Suhu tubuh akan menjadi
normal kembali setelah bayi berumur 4-8 jam, bila suhu ruang di atur sebaik-baiknya.
Hipotermi sepintas ini terdapat pada bayi dengan BBLR, hipoksia, resusitasi lama,
ruangan tempat bersalin yang dingin, bila bayi segera di bungkus setelah lahir
terlalucepat di mandikan (kurang dari 4 -6 jam sesudah lahir).
Terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin selama 6-12 jam, terdapat
pada bayi dengan BBLR, diruang tempat bersalin yang dingin, incubator yang cukup
panas. Terapinya adalah: segeralah masukan bayi segera kedalam inkubataor yang
suhunya sudah menurut kebutuhan bayi dan dalam kaadaan telanjang supaya dapat di
awasi secara teliti. Gejala bayi lemah,gelisah, pernafasan dan bunyi jantung lambat
serta kedu kaki dingin.
Penurunan suhu tubuh yang tidak di sebabkan oleh suhu lingkungan yang
dingin, tetapi oleh sebab lain seperti sepsis, syndrome gangguan nafas, penyakit
jantung bawaan yang berat,hipoksia dan hipoglikemi, BBLR. Pengobatan dengan
mengobati penyebab Misalnya: pemberian antibiotika,larutan glukosa, oksigen dan
sebagainya.
Yaitu hipotermi yang timbul karena terlalu lama dalam ruang dinginn(lebih
dari 12 jam). Gejala: lemah, tidak mau minum, badan dingin, oligoria , suhu berkisar
sekitar 29,5◦c-35◦c, tidak banyak bergerak, oedema, serta kemerahan pada tangan,
kaki dan muka, seolah-olah dalam keadaan sehat, pengerasan jaringan sub kutis.
a. Radiasi adalah panas yang hilang dari objek yang hangat (bayi) ke objekyang
dingin. Misal BBL diletakkan ditempat yang dingin.
b. Konduksi adalah pindahnya panas tubuh bayi karena kulit bayi langsung kontak
dengan permukaan yang lebih dingin. Misal popok atau celana basah tidak langsung
diganti.
c. Konveksi adalah hilangnya panas dari bayi ke udara sekelilingnya. Misal BBL
diletakkan dekat pintu atau jendela terbuka.
d. Evaporasi adalah hilangnya panas akibat penguapan dari air pada kulit bayi misalnya
cairan amnion pada bayi
Sewaktu kulit bayi menjadi dingin, saraf afferen menyampaikan pada sentral
pengatur panas di hipothalamus. Saraf yang dari hipothalamus sewaktu
mencapaib rown fat memacu pelepasan noradrenalin lokal sehingga trigliserida
dioksidasi menjadi gliserol dan asam lemak. Blood gliserol level meningkat, tetapi
asam lemak secara lokal dikonsumsi untuk menghasilkan panas. Daerah brown
fat menjadi panas, kemudian didistribusikan ke beberapa bagian tubuh melalui aliran
darah.
Ini menunjukkan bahwa bayi akan memerlukan oksigen tambahan dan
glukosa untuk metabolisme yang digunakan untuk menjaga tubuh tetap
hangat.Methabolicther mogenesis yang efektif memerlukan integritas dari sistem
syaraf sentral,kecukupan darib r own fat, dan tersedianya glukosa serta oksigen.
Perubahan fisiologis akibat hipotermia yang terjadi pada sistem syaraf pusat antara
lain depresi linier dari metabolisme otak, amnesia, apatis, disartria, pertimbangan
yang terganggu adaptasi yang salah, EEG yang abnormal, depressi kesadaran yang
progresif, dilatasi pupil, dan halusinasi. Dalam keadaan berat dapat terjadi kehilangan
autoregulasi otak, aliran darah otak menurun, koma, refleks okuli yang hilang,
dan penurunanyangprogressif dari aktivitas EEG.
Bayi hipotermi adalah bayi dengan suhu badan di bawah normal. Suhu normal
pada bayi neonatus adalah adalah 36,5-37,5 derajat Celsius (suhu ketiak). Hipotermi
merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian bayi baru lahir, terutama
dengan berat badan kurang dari 2,5 Kg Gejala awal hipotermi apabila suhu kurang
dari 36 derajat Celsius atau kedua kaki dan tangan teraba dingin.
6. Komplikasi
Hipotermi yang terjadi pada bayi apabila tidak tertangani dengan tepat akan
menyebabkan beberapa gangguan yang akan menyertai yakni:
a. Gangguan sistem saraf pusat: koma,menurunnya reflex mata(seperti mengdip)
b. Cardiovascular: penurunan tekanan darah secara berangsur, menghilangnya tekanan
darah sistolik
c. Pernafasan: menurunnya konsumsi oksigen
d. Saraf dan otot: tidak adanya gerakan, menghilangnya reflex perifer
7. Penatalaksanaan
Pengaturan suhu tubuh bayi belumlah terkendali dengan baik. Bayi bisa
kehilangan suhu tubuh secara cepat dan terkena hipotermi dalam kamar yang dingin.
Bayi yang mengalami hipotermi harus dihangatkan secara bertahap. Berikut beberapa
cara penanganan hipotermia untuk bayi :
1) Hangatkan bayi secara bertahap. Bawalah ia ke ruangan yang hangat. Bungkuslah
tubuhnya dengan selimut tebal.
2) Pakaikan topi dan dekaplah si kecil agar ia menjadi hangat oleh panas tubuh anda.
1) Jangan menempelkan sumber panas langsung, seperti botol berisi air panas ke kulit
anak. Anak harus menjadi hangat secara bertahap.
2) Jika anak hilang kesadaran,bukalah saluran udaranya dan periksa pernapasannya.
Jika anak bernapas,baringkan ia pada posisi pemulihan,jika tidak bernapas,mulailah
bantuan pernapasan dan kompresi dada. Telepon Ambulans.
1) setiap bayi lahir harus segera dikeringkan dengan handuk yang kering dan bersih
(sebaiknya handuk tersebut dihangatkan terlebih dahulu). Mengeringkan tubuh bayi
harus dilakukan dengan cepat.dimulai dari kepala kemudian seluruh tubuh bayi.
Handuk yang basah harus diganti dengan handuk lain yang kering dan hangat.
2) Setelah tubuh bayi kering segera dibungkus dengan selimut,diberi tepi atau tutup
kepala,kaos tangan dan kaki. Selanjutnya bayi diletakkan telungkup di atas dada ibu
untuk mendapatkan kehangatan dari dekapan ibu.
3) Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan agar dapat
merangsang rooting refleks dan bayi mendapat kalori.
4) Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu merujuk.
5) Memberikan penghangatan pada bayi baru lahir secara mandiri.
6) Melatih semua orang yang terlibat dalam pertolongan persalinan.
7) Menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh bayi stabil.
G. Hipertermi
1. Pengertian Hipertermi
Hipertermia adalah suhu tubuh yang tinggi dan bukan disebabkan oleh
mekanisme pengaturan panas hipotalamus (Asuhan keperawatan.com.I Ziddu.com)
2) Terasa kehausan.
3) Mulut kering
4) Kedinginan,lemas
6) Nadi cepat.
1) Bayi dipindah ke ruangan yang sejuk dengan suhu kamar sekitar 26°-28°C
2) Tubuh bayi diseka dengan kain basah sampai suhu tubuh bayi normal (jangan
menggunakan air es).
3) Berikan cairan dekstrose : NaCl = 1:4 secara intravena sampai dehidrasi teratasi
4) Antibiotik diberikan bila ada infeksi.
5) Bila bayi pernah diletakan di bawah pemancar panas atau incubator
6) Turunkan suhu alat penghangat, bila bayi di dalam incubator, buka incubator
sampai suhu dalam batas normal
7) Lepas sebagian atau seluruh pakaian bayi selama 10 menit kemudian
8) Beri pakaian lagi sesuai dengan alat penghangat yang digunakan
9) Periksa suhu bayi setiap jam sampai tercapai suhu dalam batar normal
10) Periksa suhu incubator atau pemancar panas setiap jam dan sesuaikan pengatur
suhu
b) Pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu badannya setiap 3 jam
3) Bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat diberi minum dengan serta tidak
ada masalah lain yang memerlukan perawat di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan,
nasehati ibu cara menghangatkan bayi di rumah dan melindungi dari pancaran panas
yang berlebihan
1) Izinkan bayi mulai menyusu, jika bayi tidak dapat menyusu, berikan perasan ASI
dengan menggunakan metode pemberian makanan alternative
2) Jika terdapat tanda-tanda dehidrasi (mata atau fontanel cekung, kehilangan elastisitas
kulit, atau lidah atau membran mukosa kering)
a) Pasang slang IV dan berikan cairan IV dengan volume rumatan sesuai dengan usia
bayi
b) Tingkatkan volume cairan sebanyak 10% berat badan bayi pada hari pertama
dehidrasi terlihat
e. Ukur glukosa darah, jika glukosa darah kurang dari 45 mg/dl (2,6 mmol/l), atasi
glukosa darah yang rendah.
H. Tetanus Neonaturum
Kata tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanus yang berarti kencang atau
tegang.Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang ditandai kondisi spastik paralisis
yang disebabkanoleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus
berdasarkan gejalaklinisnya dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu tetanus generalisasi
(umum), tetanus local dantetanus sefalik. Bentuk tetanus yang paling sering terjadi
adalah tetanus generalisasi dan jugamerupakan bentuk tetanus yang paling
berbahaya Neonatal (berasal dari neos yang berarti baru dan natus yang berarti
lahir)merupakan suatu istilah kedokteran yang digunakan untuk menggambarkan
masa sejak bayilahir hingga usia 28 hari kehidupan.Tetanus neonatorum merupakan
suatu bentuk tetanus generalisasi yang terjadi padamasa neonatal.
Tetanus Neonaturum adalah penyakit yang diderita oleh bayi baru lahir
(neonatus). Tetanus neonatorum penyebab kejang yang sering dijumpai pada BBL
yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan infeksi selama
masa neonatal, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat atau perawatan
tidak aseptic (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus yang
disebabkan oleh clostridium tetani yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun)
yang menyerang sistem saraf pusat. (Abdul Bari Saifuddin, 2000)
Tetanus Neonatorum (TN) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
kuman Clostridium Tetani memasuki tubuh bayi baru lahir melalui tali pusat yang
kurang terawat dan terjadi pada bayi sejak lahir sampai umur 28 hari, kriteria kasus
TN berupa sulit menghisap ASI, disertai kejang rangsangan, dapat terjadi sejak umur
3-28 hari tanpa pemeriksaan laboratorium. (Sudarjat S, 1995).
Masa inkubasi biasanya 4-21 hari (umumnya 7 hari), tergantung pada
tempat terjadinya luka, bentuk luka, dosis dan toksisitas kuman Tetanus Neonatorum.
(Sudarjat S, 1995).
a) Pemberian imunisasi TT (tetanus toksoid) pada ibu hamil tidak dilakukan, atau tidak
lengkap, atau tidak sesuai dengan ketentuan program.
Clostridium tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul, gram positip.
Dapat bergerak dan membentuk sporaspora, terminal yang menyerupai tongkat
penabuh genderang (drum stick). Spora spora tersebut kebal terhadap berbagai bahan
dan keadaan yang merugikan termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika
dipanaskan dengan otoklaf. Kuman ini dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah,
asalkan tidak terpapar sinar matahari, selain dapat ditemukan pula dalam debu, tanah,
air laut, air tawar dan traktus digestivus manusia serta hewan.
5. Patologi Tetanus Neonaturum
Kelainan patologik biasanya terdapat pada otak pada sumsum tulang
belakang, dan terutama pada nukleus motorik. Kematian disebabkan oleh asfiksia
akibat spasmus laring pada kejang yang lama. Selain itu kematian dapat disebabkan
oleh pengaruh langsung pada pusat pernafasan dan peredaran darah. Sebab kematian
yang lain ialah pneumonia aspirasi dan sepsis. Kedua sebab yang terakhir ini
mungkin sekali merupakan sebab utama kematian tetanus neonatorum di Indonesia.
Masa tunas biasanya 5-14 hari, kadang-kadang sampai beberapa minggu jika
infeksinya ringan. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot
yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam 48 jam penyakit
menjadi nyata dengan adanya trismus (Ilmu Kesehatan Anak, 1985).
Pada tetanus neonatorum perjalanan penyakit ini lebih cepat dan berat.
Anamnesis sangat spesifik yaitu :
a. Bayi tiba-tiba panas dan tidak mau minum (karena tidak dapat menghisap).
b. Mulut mencucu seperti mulut ikan.
c. Mudah terangsang dan sering kejang disertai sianosis.
d. Kaku kuduk sampai opistotonus.
e. Dinding abdomen kaku, mengeras dan kadang-kadang terjadi kejang.
f. Dahi berkerut, alis mata terangkat, sudut mulut tertarik kebawah, muka thisus
sardonikus
g. Ekstermitas biasanya terulur dan kaku.
h. Tiba-tiba bayi sensitif terhadap rangsangan, gelisah dan kadang-kadang menangis
lemah.
1) Bersih tangan
Sebelum menolong persalinan, tangan poenolong disikat dan dicuci dengan sabun
sampai bersih. Kotoran di bawah kuku dibersihkan dengan sabun. Cuci tangan
dilakukan selama 15 – 30 “ . Mencuci tangan secara benar dan menggunakan sarung
tangan pelindung merupakan kunci untuk menjaga lingkungan bebas dari infeksi.
2) Bersih alas
Tempat atau alas yang dipakai untuk persaliunan harus bersih, karena clostrodium
tetani bisa menular dari saluran genetal ibu pada waktu kelahiran..
3) Bersih alat
Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril. Metode sterilisasi ada 2,
yang pertama dengan pemanasan kering : 1700 C selama 60 ‘ dan yang kedua
menggunakan otoklaf : 106 kPa, 1210 C selama 30 ‘ jika dibungkus, dan 20 ‘ jika alat
tidak dibungkus.
Untuk perawatan tali pusat baik sebelum maupun setelah lepas, cara yang
murah dan baik yaitu mernggunakan alkohol 70 % dan kasa steril. Kasa steril yang
telah dibasahi dengan alkohol dibungkuskan pada tali pusat terutama pada
pangkalnya. Kasa dibasahi lagi dengan alkohol jika sudah kering. Jika tali pusat telah
lepas, kompres alkohol ditruskan lagi sampai luka bekas tali pusat kering betul
(selama 3 – 5 hari). Jangan membubuhkan bubuk dermatol atau bedak kepada bekas
tali pusat karena akan terjadi infeksi.
Kekebalan terhadap tetanus hanya dapat diperoleh melalui imunisasi TT. Ibu
hamil yang mendapatkan imunisasi TT dalam tubuhnya akan membentuk antibodi
tetanus. Seperti difteri, antibodi tetanus termasuk dalam golongan Ig G yang mudah
melewati sawar plasenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh
tubuh janin, yang akan mencegah terjadinya tetanis neonatorum.
TT adalah antigen yang sangat aman dan juga aman untuk ibu hamil tidak ada
bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT . Pada ibu hamil yang
mendapatkan imunisasi TT tidak didapatkan perbedaan resiko cacat bawaan ataupun
abortus dengan mereka yang tidak mendapatkan imunisasi .
1. Mengatasi kejang
Kejang dapat diatasi dengan mengurangi rangsangan atau pemberian obat anti
kejang. Obat yang dapat dipakai adalah kombinasi fenobarbital dan largaktil.
Fenobarbital dapat diberikas mula-mula 30 – 60 mg parenteral kemudian dilanjutkan
per os dengan dosis maksimum 10 mg per hari. Largaktil dapat diberikan bersama
luminal, mula-mula 7,5 mg parenteral, kemudian diteruskan dengan dosis 6 x 2,5 mg
setiap hari. Kombinasi yang lain adalah luminal dan diazepam dengan dosis 0,5
mg/kg BB. Obat anti kejang yang lain adalah kloralhidrat yang diberikan lewat
rektum.
2. Pemberian antitoksin
Untuk mengikat toksin yang masih bebas dapat diberi A.T.S (antitetanus serum)
dengan dosis 10.000 satuan setiap hari serlama 2 hari .
3. Pemberian antibiotika
Untuk mengatasi inferksi dapat digunakan penisilin 200.000 satuan setiap hari dan
diteruskan sampai 3 hari panas turun.
Tali pusat dibersihkan atau di kompres dengan alkohol 70 % atau betadin 10 %.
5. Memperhatikan jalan nafas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.
Masalah yang perlu diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan pernafasan,
kebutuhan nutrisi/cairan dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai
penyakit.Gangguan pernafasan yang sering timbul adalah apnea, yang disebabkan
adanya tenospasmin yang menyerang otot-otot pernafasan sehingga otot tersebut
tidak berfungsi. Adanya spasme pada otot faring menyebabkan terkumpulnya liur di
dalam rongga mulut sehingga memudahkan terjadinya poneumonia aspirasi. Adanya
lendir di tenggorokan juga menghalangi kelancaran lalu lintas udara (pernafasan).
Pasien tetanus neonatorum setiap kejang selalu disertai sianosis terus-menerus.
Tindakan yang perlu dilakukan :
a. Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah
bahunya.
b. Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1 – 2 L/menit jika sedang terjadi
kejang, karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi dapat sampai 4
L/menit, jika kejang telah berhenti turunkan lagi).
c. Pada saat kejang, pasangkan sudut lidah untuk mencegah lidah jatuh ke belakang dan
memudahkan penghisapan lendirnya.
d. Sering hisap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas buatan pada
saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat pada mulut bayi.
Bila belum berhasil cabutlah sudut lidahnya, lakukan pernafasan dengan menutup
mulut dan hidung bergantian secara ritmik dengan kecepatan 50 – 60 x/menit, bila
perlu diselingi tiupan.
6. Kebutuhan nutrisi/cairan
Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadaan payah, untuk memenuhi kebutuhan
makananya perlu diberikan infus dengan cairan glukosa 10 %. Tetapi karena juga
sering sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 1,5 % dengan
perbadingan 4 : 1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian
makanan dapat diberikan melalui sonde dan selanjutnya sejalan dengan perbaikan
bayi dapat diubah memakai dot secara bertahap.
Kedua orang tua pasien yang bayinya menderita tetanus peru diberi penjelasan bahwa
bayinya menderita sakit berat, maka memerlukan tindakan dan pengobatan khusus,
kerberhasilan pengobatan ini tergantung dari daya tahan tubuh si bayi dan ada
tidaknya obat yang diperlukan hal ini mengingat untuk tetanus neonatorum
memerlukan alat/otot yang biasanya di RS tidak selalu tersedia dan harganya cukup
mahal (misalnya mikrodruip). Selain itu yang perlu dijelaskan ialah jika ibu kelak
hamil lagi agar meminta suntikan pencegahan tetanus di puskesmas, atau bidan, dan
minta pertolongan persalinan pada dokter, bidan atau dukun terlatih yang telah ikut
penataran Depkes. Kemudian perlu diberitahukan pula cara pearawatan tali pusat
yang baik.
I. Hipoglikemia
1. Pengertian Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara
abnormal rendah Istilah hepoglikemia digunakan bila kadar gula darah bayi secara
bermakna dibawah kadar rata-rata. Dikatakan hepoglikemia bila kadar glukosa darah
kurang dari 30 mg/dl pada semua neonatus tanpa menilai masa gestasi atau ada
tidaknya gejala hepoglikemia. Umumnya hepoglikemia terjadi pada neonatus umur 1
– 2 jam. Hal ini disebabkan oleh karena bayi tidak mendapatkan lagi glukosa dari ibu,
sedangkan insulin plasma masih tinggi dengan kadar glukosa darah yang menurun.
Keadaan dimana bila kadar gula darah bayi di bawah kadar rata-rata bayi seusia
& berat badan aterm (2500 gr atau lebih)< 30mg/dl dlm 72 jam pertama, &< 40mg/dl
pada hari berikutnya.
Nilai kadar glukose darah/plasma atau serum untuk
diagnosis Hipoglikemia pada berbagai kelompok umur anak :
a. Untuk setiap neonatus manapun, kadar glukosa <40-45mg/dL dianggap tidak normal
b. Menurut WHO hipoglikemi adalah bila kadar glukosa/gula darah <47 mg/dL
c. Gejala sering tidak jelas/asimptomatik, semua tenaga kesehatan perlu mewaspadai
kemungkinan adanya hipoglikemia
d. Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat mencegah konsekuensi yang serius
2. Frekuensi Hipoglikemia
Di Indonesia masih belum ada data, secara umum insidens hipoglikemia pada
bayi baru lahir berkisar antara 1-5 per 1000 kelahiran hidup. Pada bayi yang lahir dari
ibu diabetes 8%-25%, pada bayi preterm 15% ,secara umum pada bayi risiko tinggi
30% terjadi hipoglikemia.
Hipoglikemia dapat disebabkan oleh berbagai kelainan mekanisme control
pada metabolism glucose, antara lain : inborn erors of metabolism, perubahan
keseimbangan endokrin dan pengaruh obat-obatan maupun toksin.
Hipoglikemia biasanya terjadi jika seorang bayi pada saat dilahirkan memiliki
cadangan glukosa yang rendah (yang disimpan dalam bentuk glikogen).Penyebab
lainnya adalah:
1. Prematuritas
2. Post-maturitas
3. Kelainan fungsi plasenta (ari-ari) selama bayi berada dalam kandungan.
Hipoglikemia juga bisa terjadi pada bayi yang memiliki kadar insulin
tinggi.Bayi yang ibunya menderita diabetes seringkali memiliki kadar insulin yang
tinggi karena ibunya memiliki kadar gula darah yang tinggi; sejumlah besar gula
darah ini melewati plasenta dan sampai ke janin selama masa kehamilan. Akibatnya,
janin menghasilkan sejumlah besar insulin.Peningkatan kadar insulin juga ditemukan
pada bayi yang menderita penyakit hemolitik berat.
Kadar insulin yang tinggi menyebabkan kadar gula darah menurun dengan
cepat pada jam-jam pertama kehidupan bayi setelah dilahirkan, dimana aliran gula
dari plasenta secara tiba-tiba terhenti.
b. “infant giants”
2) Defisiensi hormonal aplasia atau hypoplasia kelenjar hipofise dengan defisiensi
hormone multipel
1. Hipoglikemi sering terjadi pada berat lahir rendah (BBLR), karena cadangan glukosa
rendah.
2. Bayi yang besar untuk masa kehamilan (BMK), makrosomia. Bayi BMK biasanya
lahir dari ibu dengan toleransi glukosa yang abnormal.
4. BBLR yang KMK/bayi kembar dapat terjadi penurunan cadangan glikogen hati dan
lemak tubuh.
5. Bayi sakit berat karena meningkatnya kebutuhan metabolism yang melebihi cadangan
kalori
Hipoglikemia walaupun jarang pada anak, tapi sering pada bayi. Dan
merupakan problem bagi dokter anak maupun tenaga kesehatan yang lain karena :
Pertama, gejalanya samar-samar dan tidak spesifik, maka untuk membuat diagnosis
tergantung pada indeks kepekaan yang tinggi.
Pada bayi, yang berusia lebih darri 2 bulan, anak dan dewasa penurunan gula
darah kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dapt menimbulkan rasa lapar dan
merangsang pelepasan epinefrin yang berlebihan sehingga menyebabkan lemah,
elisah, keringat dingin, gemetar dan takikardi.
Hipoglikemia simtomatik pada neonates cenderung terjadi selama 6-12 jam
kehidupan. Sering menyertai penyakit-penyakit seperti : distress perinatal, terlambat
pemberian ASI dan bayi dari ibu DM. Tidak ada perbedaan dalam hal jenis kelamin.
Juga termasuk dalam golongan ini ialah bayi dari ibu DM insulin (IDM) dan ibu
menderita DM kehamilan (IGDM). Meskipun banyak 50% dari IDM dan 25% IGDM
mempunyai kadar glucose <30 mg/dl selama 2-6 jam kehidupan, kebanyakan tidak
memperlihatkan akibat/ tanda-tanda dari hipoglikemianya. Umumnya sembuh
spontan, tetapi sebagian kecil (10%-20%) kadar gula tetap rendah. Beberapa di
antaranya menunjukkan respons yang baik terhadap suntikan glucagon 300
mikrogram atau 0,3 mg/kgBB IM, tidak lebih 1 mg totalnya.
2) Bayi/Anak
Gejala-gejala dapat berupa : sakit kepala, nausea, cemas, lapar, gerakan motoric
tidak terkoordinasi, pucat, penglihatan berkunang-kunang, ketidakpedulian, cengeng,
ataksia, strabismus, kejang, malas/lemah, tidak ada perhatian dan gangguan tingkah
laku.
Hipoglikemia bisa disertai atau tidak dengan banyak keringat dan
takikardi.Serangan ulang gejala-gejala tadi dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu
setiap hari, sehingga kita harus waspada terhadap kemungkinan
hipoglikemia.Pemeriksaan glucose darah pada saat timbulnya gejala sangat penting.
Kasus bisa menunjukan gejala ataupun tidak. Kecurigaan tinggi harus selalu
diterapkan dan selalu antisipasi hipoglikemia pada neonatus dengan faktor risiko,
gejala yang seringkali muncul :
a. Tremor
b. Sianosis
c. Apatis
d. Kejang
e. Apnea intermitten
f. Tangisan lemah/melengking
g. Letargi
h. Kesulitan minum
j. Keringat dingin
k. Pucat
l. Hipotermi
n. Muntah
1. Timbul bila kadar glukosa serum lebih rendah daripada kisaran bayi normal sesuai
usia pasca lahir
2. Bayi atterm BB 2500 gr : gula darah <30 mg/dl : 72 jam, selanjutnya 40mg/dl
Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada karena
meningkatkan penggunaan cadangan glukosa, misalnya pada asfiksia, hipotermi,
gangguan pernafasan.Misalnya ibu hamil dengan hipertensi. Setelah kelahiran, bayi
mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi dan memerlukan energi yang lebih
besar dibandingkan bayi lain.
Pada asfiksia, akan terjadi metabolisme anaerob yang banyak sekali memakai
persediaan glukosa. Pada metabolisme anaerob, 1 gram glukosa hanya menghasilkan
2 ATP, sedang pada keadaan normal 1 gram glukosa bisa menghasilkan 38 ATP.
6. Diagnosis Hipoglikemia
- Bayi puasa
b. Kejadian ini harus bersamaan dengan rendahnya kadar glukosa plasma yang diukur
secara akurat dengan metode yang peka dan tepat
c. Gejala klinis menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah
normoglikemia.
1) Pemeriksaan laboratorium :
Diperiksa dengan dextrostix pada saat persalinan dan pada usia ½, 1, 2, 4, 8, 12,
24, 36, dan 48 jam
Pengukuran <45 mg/dL dengan dextrostix harus diverifikasi oleh pengukuran
serum glukosa
c. Hematokrit
e. Tes lain
Tidak diperlukan kecuali ada bukti masalah jantung, pernafasan atau kerangka
7. Penatalaksanaan Hipoglikemia
c. Kemudian setiap 2-4 jam selama 48 jam atau sampai pemberian minum berjalan baik
dan kadar glukosa normal tercapai
c. Jika bayi tidak mungkin menyusui, mulailah pemberian minum dengan menggunakan
sonde dalam waktu 1-3 jam setelah lahir
d. Neonatus yang berisiko tinggi harus dipantau nilai glukosanya sampai asupannya
penuh dan 3x pengukuran normal sebelum pemberian minum berada diatas 45 mg/dL
e. Jika ini gagal, terapi intravena dengan glukosa 10% harus dimulai dan kadar glukosa
dipantau
3) Perawatan hipoglikemia
a. Koreksi segera dengan bolus 200 mg/kg dengan dekstrosa 10% = 2 cc/kg dan
diberikan melalui intravena selama 5 menit dan diulang sesuai keperluan
b. Infus tak terputus (continual) glukosa 10% dengan kecepatan 6-8 mg/kg/menit harus
dimulai
d. Pemantauan glukosa ditempat tidur (bed sid) secara sering diperlukan untuk
memastikan bahwa neonatus mendapatkan glukosa yang memadai
e. Ketika pemberian makan telah dapat ditoleransi dan nilai pemantauan glukosa di
tempat tidur (bed side) sudah normal maka infus dapat diturunkan secara bertahap.
Tindakan ini mungkin memerlukan waktu 24-48 jam atau lebih untuk menghindari
kambuhnya hipoglikemia
Penanganan kejang :
1) Beri obat antikonvulsan
2) Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, sedotan, masker
oksigen, oksigen).
3) Lindungi pasien dari kemungkinan trauma.
4) Aspirasi mulut dan tenggorokan.
5) Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi trendelenburg untuk
mengurangi resiko aspirasi.
6) Beri O2 4-6 liter/ menit
Pencegahan :
Didaerah-daerah dengan frekuensi kehamilan yang tinggi sebaiknya
wanita hamil diberi sulfasferosus cukup 1 tablet sehari. Selain itu
wanita dinasehatkan pula untuk makan lebih banyak protein dan
sayur- sayur yang banyak mengandung mineral dan vitamin 2)
2) Anemia megaloblastik (29,0%) Biasanya berbentuk makrositik atau
pernisiosa. Terjadi akibat kekurangan asam folat, jarang sekali akibat
karena kekurangan Vitamin B12. Biasanya karena malnutrisi dan
infeksi yang kronik.
Penanganan :
a) Pemberian asam folat, biasanya bersamaan dengan pemberian
Sulfas ferosus
b) Diet makanan yang bergizi (tinggi kalori dan protein) Ditemukan
pada wanita yang tidak mengkonsumsi sayuran segar atau
kandungan protein tinggi 3)
3. Penyakit Jantung
Kehamilan dan penyakit jantung akan saling mempengaruhi pada
individu yang bersangkutan. Kehamilan akan memberatkan penyakit jantung.
Sebaliknya, penyakit jantung akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembanganjanin dalam kandungan, lain halnya pada kehamilan dengan
jantung yang normal. Tubuh dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan
sistem jantung dan pembuluh darah. Jika seorang wanita hamil mengidap
penyakit jantung akan terjadi perubahan-perubahan berikut:
a. Meningkatnya volume jantung, yang dimulai sejak kehamilan 8 minggu
dan mencapai puncaknya pada kehamilan 32 minggu, lain menetap.
Kondisi ini bertujuan untuk mencukupi kebutuhan tubuh ibu dan janin
yang dikandungnya.
b. Jantung dan diafragma (sekat rongga dada) terdorong ke atas karena
pembesaran rahim.
Dengan demikian. cukup jelas bahwa kehamilan dapat memperberat
penyakit jantung. Kemungkinan timbulnya payah jantung (dekompensasi
cordis) pun dapat terjadi. Keluhan-keluhan yang sering muncul adalah:
1) Cepat merasa lelah
2) Jantung berdebar-debar
3) Sesak napas, kadang-kadang disertai kebiruan di sekitar mulut (sionosis)
4) Bengkak pada tungkai atau terasa berat pada kehamilan muda.
Komplikasi :
Komplikasi pada ibu dapat terjadi : gagal jantung kongestif, edema
paru, kematian, abortus. Komplikasi pada janin dapat terjadi : prematuritas,
BBLR, hipoksia, gawat janin, APGAR score rendah, pertumbuhan janin
terhambat.
Penatalaksanaan :
Sebaiknya dilakukan dalam kerjasama dengan ahli penyakit dalam
atau ahli jantung. Secara garis besar penatalksanaan mencakup mengurangi
beban kerja jantung dengan tirah baring, menurunkan preload dengan
deuretik, meningkatkan kontraktilitas jantung dengan digitalis, dan
menurunkan after load dengan vasodilator.
Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan klasifikasinya yaitu :
1) Kelas I :
Tidak memerlukan pengobatan tambahan
2) Kelas II :
Umumnya tidak memerlukan pengobatan tambahan, hanya harus
menghindari aktifitas yang berlebihan, terutama pada UK 28-32
minggu. Pasien dirawat bila keadaan memburuk. Kedua kelas ini dapat
meneruskan kehamilan sampai cukup bulan dan melahirkan
pervaginam, namun harus diawasi dengan ketat. Pasien harus tidur
malam cukup 8-10 jam, istirahat baring minimal setengah jam setelah
makan, membatasi masuknya cairan (75 mll/jam) diet tinggi protein,
rendah garam dan membatasi kegiatan. Lakukan ANC dua minggu
sekali dan seminggu sekali setelah 36 minggu. Rawat pasien di RS
sejak 1 minggun sebelum waktu kelahiran.
3) Kelas III
Dirawat di RS selam hamil terutama pada UK 28 minggu dapat
diberikan diuretic
5) Kelas IV :
Harus dirawat di RS. Kedua kelas ini tidak boleh hamil karena resiko
terlalu berat. Pertimbangkan abortus terapeutik pada kehamilan kurang
dari 12 minggu. Jika kehamilan dipertahankan pasien harus terus
berbaring selama hamil dan nifas. Bila terjadi gagal jantung mutlak harus
dirawat dan berbaring terus sampai anak lahir. Dengan tirah baring,
digitalis, dan diuretic biasanya gejala gagal jantung akan cepat hilang.
4. DM
Diabetes mellitus pada kehamilan adalah intoleransi karbohidrat
ringan (toleransi glukosa terganggu) maupun berat (DM), terjadi atau
diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung. Definisi ini mencakup
pasien yang sudah mengidap DM (tetapi belum terdeteksi) yang baru
diketahui saat kehamilan ini dan yang benar-benar menderita DM akibat
hamil.
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan
karbohidrat yang menunjang pemasokan makanan bagi janin serta persiapan
untuk menyusui. Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta
kepada janin sehingga kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar
darah ibu. Insulin ibu tidak dapat mencapai janin sehingga kadar gula ibu
yang mempengaruhi kadar pada janin. Pengendalian kadar gula terutama
dipengaruhi oleh insulin, disamping beberapa hormon lain : estrogen, steroid
dan plasenta laktogen. Akibat lambatnya resopsi makanan maka terjadi
hiperglikemi yang relatif lama dan ini menuntut kebutuhan insulin.
a. Diagnosis :
Deteksi dini sangat diperlukan agar penderita DM dapat dikelola
sebaik- baiknya. Terutama dilakukan pada ibu dengan factor resiko berupa
beberapa kali keguguran, riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab,
riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan, melahirkan bayi lebih dari
4000 gr, riwayat PE dan polyhidramnion. Juga terdapat riwayat ibu : umur ibu
> 30 tahun, riwayat DM dalam keluarga, riwayat DM pada kehamilan
sebelumnya, obesitas, riwayat BBL > 4500 gr dan infeksi saluran kemih
berulang selama hamil.
b. Klasifikasi :
1) Tidak tergantung insulin (TTI), Non Insulin Dependent diabetes mellitus
(NIDDN) yaitu kasus yang tidak memerlukan insulin dalam pengendalian
kadar gula darah.
2) Tergantung insulin (TI), Insulin dependent Diabetes Melitus yaitu kasus
yan memerlukan insulin dalam mengembalikan kadar gula darah.
c. Komplikasi :
1) Komplikasi maternal : infeksi saluran kemih, hydramnion, hipertensi
kronik, PE, kematian ibu.
2) Komplikasi fetal : abortus spontan, kelainan congenital, insufisiensi
plasenta, makrosomia, kematian intra uterin.
3) Komplikasi Neonatal : prematuritas, kematian intra uterin, kematian
neonatal, trauma lahir, hipoglikemia, hipomegnesemia, hipokalsemia,
hiperbilirubinemia, syndroma gawat nafas, polisitemia.
d. Penatalaksanaan :
Prinsipnya adalah mencapai sasaran normoglikemia, yaitu kadar
glukosa darah puasa < 105 mg/dl, 2 jam sesudah makan < 120 mg/dl, dan
kadar HbA1c<6%. Selain itu juga menjaga agar tidak ada episode
hipoglikemia, tidak ada ketonuria, dan pertumbuhan fetus normal. Pantau
kadar glukosa darah minimal 2 kali seminggu dan kadar Hb glikosila. Ajarka
pasien memantau gula darah sendiri di rumah dan anjurkan untuk kontrol 2-4
minggu sekali bahkan lebih sering lagi saat mendekati persalinan. Obat
hipoglikemik oral tidak dapat dipakai saat hamil dan menyusui mengingat
efek teratogenitas dan dikeluarkan melalui ASI, kenaikan BB pada trimester I
diusahakan sebesar 1-2,5 kg dan selanjutnya 0,5 kg /minggu, total kenaikan
BB sekitar 10-12 kg.
1) Penatalaksanaan Obstetric :
Pantau ibu dan janin dengan mengukur TFU, mendengarkan DJJ,
dan secara khusus memakai USG dan KTG. Lakukan penilaian setiap
akhir minggu sejak usia kehamilan 36 minggu. Adanya makrosomia
pertumbuhan janin terhambat dan gawat janin merupakan indikasi SC.
Janin sehat dapat dilahirkan pada umur kehamilan cukup waktu (40-42
minggu) dengan persalinan biasa.
Ibu hamil dengan DM tidak perlu dirawat bila keadaan diabetesnya
terkendali baik, namun harus selalu diperhatikan gerak janin (normalnya
>20 kali/12 jam). Bila diperlukan terminasi kehamilan, lakukan
amniosentesis dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila UK <38
minggu). Kehamilan dengan DM yang berkomplikasi harus dirawat sejak
UK 34 minggu dan baisanya memerlukan insulin.
Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama periode
neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah
pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan
pada bayi dengan ifeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral,
diare kronis, atau hepatosplenomegali (pembesaran hapar dan lien).
Karena antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan,
maka tes ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV
karena tes ini berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes paling
spesifik untuk mengidentifikasi HIV adalah PCR pada dua saat yang berlainan. DNA
PCR pertama diambil saat bayi berusia 1 bulan karena tes ini kurang sensitive selama
periode satu bulan setelah lahir. CDC merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR
setidaknya diulang pada saat bayi berusia empat bulan. Jika tes ini negative, maka
bayi terinfeksi HIV. Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan ASI, maka bayi resiko
tertular HIV sehingga tes PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan,
pemeriksaan ELISA bisa dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan
yang lain.
Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan
kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV
sering mengalami infeksi bakteri kumat-kumatan, gagal tumbuh atau wasting,
limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring.
Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan ELISA dan tes konfirmasi lain
seperti pada dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa digunakan untuk
mendiagnosis bayi dan anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO.
CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung
limfosit CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan berdasarkan
derajat imunosupresi (1, 2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C, E). Klasifikasi ini
memungkinkan adanya surveilans serta perawatan pasien yang lebih baik. Klasifikasi
klinis dan imunologis ini bersifat eksklusif, sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu
kategori, maka diklasifikasi ini tidak berubah walaupun terjadi perbaikan status
karena pemberian terapi atau factor lain.
Menurut Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak dan anak, yaitu dengan mencegah jangan
sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS dicegah
supaya tidak hamil, apabila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular
pada bayi dan anaknya, namun bila ibu dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya
diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarga.
Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV adalah:
– Gangguan tumbuh kembang
– Kandidiasis oral
– Diare kronis
– Hepatosplenomegali (pembesaran hepar dan lien)
Penularan
BBL memproduksi respon antibodi yg tdk terlalu aktif, Lebih terbatas thd infeksi
HIV
Bayi lahir dg ibu HIV seropositif : memiliki antibody HIV saat lahir.
Bayi tdk terinfeksi akan kehilangan antibodi maternal sekitar 8-15 bln.
Sebagian besar bayi terinfeksi : mengembangkan antibodi mereka sendiri dan tetap
seporopositif
Bayi yang memperlihatkan tanda2 infeksi saat lahir cenderung meninggal dlm satu
bulan.
Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui :
Penatalaksanaan
Asuhan ibu : ikuti panduan Center for Disease Control (CDC) untuk profilaksis
antiretrovirus gestasional
Asuhan bayi : dengan pemberian obat-obat ARV, maka daya tahan tubuh anak dapat
meningkat dan mereka dapat tumbuh dan berkembang seperti anak normal lainnya.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV. Tetapi karena
antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat
dideteksi hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada
anak kurang dari 18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti terinfeksi
HIV. Karenanya diperlukan uji laboratorik yang mampu mendeteksi virus atau
komponennya seperti:
Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara
berkembang. Real time PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan
saat ini sudah dipasarkan dengan harga yang jauh lebih murah dari sebelumnya.
Assay ICD p24 yang sudah dikembangkan hingga generasi keempat masih dapat
dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan pemantauan kualitas uji laboratorium
harus terus dilakukan untuk kepastian program. Selain sampel darah lengkap (whole
blood) yang sulit diambil pada bayi kecil, saat ini juga telah dikembangkan di negara
tertentu penggunaan dried blood spots (DBS) pada kertas saring tertentu untuk uji
DNA maupun RNA HIV. Tetapi uji ini belum dipergunakan secara luas, masih
Terbatas pada penelitian . Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis definitif HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan,
antibodi HIV dapat digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia
9 sampai 12 bulan pada bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan
pemberian ASI sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi.
Dasarnya adalah antibodi maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia
12 bulan.
Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat
(rapid test) dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang
dewasa.
Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8
menurun. Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons proliferatif
sel T terhadap antigen atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya fungsi sel T ini
dapat pula dilihat dari adanya anergi kulit terhadap antigen yang menimbulkan
hipersensitivitas tipe lambat. Kadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal.
Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobulinemia, respons antibodi spesifik terhadap
antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus, atau hepatitis B
menurun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa
neonatus ini sangat rawan, karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di
luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka
kesakitan dan angka kematian neonatus.
Beberapa keadaan neonatus dengan resiko tinggi:
1. BBLR
2. Asfiksia neonatorum
3. Sindroma gangguan pernapasan
4. Hiperbilirubin
5. Perdarahan tali pusat
6. Kejang
7. Hipotermia
8. Hipertermia
9. Hipoglikemia
10. Tetanus neonatorum
11. Penyakit yang diderita ibu selama hamil
12. Lahir dari ibu yang menderita HIV/AIDS
B. Saran
Fauziah, Afroh dan Sudarti.2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, dan
Anak.Yogyakarta: Nuha Medika
Hanifa Gulardi, dkk. 2007. Buku Panduan Praktisi Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Puataka Sarwono Prawirohardjo
http://hardinburuhi88.blogspot.com/2014/07/asuhan-neonatus-resiko-tinggi.html
Hastuti, Puji, dkk. 2011. Standar Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Pati : BUP
https://www.academia.edu/8221292/Makalah_Penyakit_Yang_Diderita_Ibu_Selama
_Kehamilan
Prawirohardjio, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP.
Rukiyah dan Lia Yulianti. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Anak Balita. Jakarta:
Trans Info Media
Sarwono. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta:Yayasan Bina.
Staf Pengajar FKUI. 2007. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika
Supartini, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.