Anda di halaman 1dari 81

TUGAS KELOMPOK

MEMBERIKAN ASUHAN PADA BAYI DENGAN RESIKO


TINGGI DAN PENATALAKSANAANNYA

kelompok 13 :

1. Arlin R.Pranatalia Lolo 711530119008


2. Betrix R Batubuaya 711530119013
3. Greis Melisa Purnomo 711530119028

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN MANADO


D-IV ALIH JENJANG KEBIDANAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah yang maha kuasa karena atas rahmat dan
karunianya kita dapat mengenal ilmu, pengetahuan, tidak lupa kita haturkan shalawat
beserta salam atas junjungan alam Nabi besar kita yaitu nabi Muhammad saw. Dan
kami mengucapkan terimakasih kepada ibu dosen yang telah mengajari kami ilmu
yang sangat banyak, berkat ilmu itu juga kami mampu menyelesaikan makalah ini
pada waktunya.
Dalam menyusun makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan
karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah kami selanjutnya.

Manado 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa
neonatus ini sangat rawan, karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di
luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka
kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah
umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterine ke
ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan fungsi.
Bidan sebagai tenaga kesehatan harus memiliki kesiapan untuk merujuk ibu
atau bayi ke fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu jika
menghadapi penyulit. Jika bidan lemah atau lalai dalam melakukannya, akan
berakibat fatal bagi keselamatan ibu dan bayi.

B. Rumusan Masalah
1.      Apaitu neonatus dengan resiko tinggi?
2.      Apa saja kategori neonatus dengan resiko tinggi?

C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu neonatus resiko tinggi
2.      Untuk mengetahui apa saja yang termasuk kategori neonatus resiko tinggi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.    Neonatus dengan resiko tinggi


Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa
neonatus ini sangat rawan, karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di
luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka
kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah
umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterine ke
ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan fungsi.

B.     Beberapa keadaan bayi baru lahir dengan resiko tinggi

1. BBLR

a. Pengertian BBLR

Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari
2500 gram pada waktu lahir atau lebih rendah (WHO, 1961).

     BBLR dibedakan menjadi :

1) Prematuritas murni

      Yaitu bayi pada kehamilan < 37 minggu dengan berat badan sesuai

2) Dismaturitas

  Yaitu bayi yang lahir dengan berat badan rendah dan tidak sesuai dengan
usia kehamilan.

b. Etiologi BBLR

              Penyebab kelahiran prematur secara pasti tidak diketahui, tapi ada beberapa
faktor yang berhubungan, yaitu :
1) Faktor ibu
a) Gizi saat hamil yang kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35
tahun
b) Jarak hamil dan persalinan terlalu dekat, pekerjaan yang terlalu berat
c) Penyakit menahun ibu :hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah,
perokok
2) Faktor kehamilan
a) Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum
b) Komplikasi kehamilan : preeklamsia/eklamsia, ketuban pecah dini
3) Faktor janin
Cacat bawaan, infeksi dalam rahim
4) Faktor Lingkungan
a) Tempat tinggal didataran tinggi
b) Radiasi
c) Zat-zat beracun

c.  Komplikasi BBLR

              Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah,
terutama berhubungan dengan 4 proses adaptasi pada bayi baru lahir diantaranya:

1) Sistem Pernafasan: Sindrom aspirasi mekonium, asfiksia neonatorum, sindrom


distres respirasi, penyakit membran hialin
2) Sistem Kardiovaskuler: patent ductus arteriosus,
3) Termoregulasi: Hipotermia,
4) Glukosa: Hipoglikemia simtomatik
5) Hiperbilirubinemia, , perdarahan ventrikel otak, anemia
6) Infeksi, retrolental fibroplasia, necrotizing enterocolitis (NEC)
7) Bronchopulmonary dysplasia, malformasi konginetal
d. Pemeriksaan Penunjang BBLR

     Analisa Gas Darah

e. Penatalaksanaan Medis BBLR

              Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada bayi BBLR terutama yang
berhubungan dengan 4 proses adaptasi bayi baru lahir, diantaranya:

1) Sistem Pernafasan: Resusitasi yang adekuat, terapi oksigen


2) Sistem Kardiovaskuler: Pengawasan terhadap PDA (Patent Ductus
Arteriosus)
3) Termoregulasi : Pengaturan suhu, perawatan bayi dalam inkubator
4) Glukosa (Hiperglikemia): Penyuntikan disusul pemberian infuse glukosa
5) Keseimbangan cairan dan elektrolit, pemberian nutrisi yang cukup
6) Pengelolaan hiperbilirubinemia, penanganan infeksi dengan antibiotik
yang tepat

f. Prognosis BBLR

              Kematian perinatal pada bayi berat badan lahir rendah 8 kali lebih besar dari
pada bayi normal pada umur kehamilan yang sama. Prognosis lebih buruk lagi
apabila berat badan lebih rendah. Angka kematian yang tinggi terutama disebabkan
adanya kelainan komplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi pneumonia, pendarahan
intrakanial dan hipoglikemia. Bila bayi selamat kadang-kadang dijumpai kerusakan
pada syaraf dan dijumpai gangguan bicara, IQ yang rendah dan gangguan lainnya.

g. Cara Perawatan Bayi dalam Inkubator

              Merupakan cara memberikan perawatan pada bayi dengan dimasukkan ke


dalam alat yang berfungsi membantu terciptanya suatu lingkungan yang cukup
dengan suhu yang normal. Dalam pelaksanaan perawatan di dalam inkubator terdapat
dua cara yaitu dengan cara tertutup dan terbuka.
1) Inkubator tertutup:
a) Inkubator harus selalu tertutup dan hanya dibuka dalam keadaan tertentu
seperti apnea, dan apabila membuka incubator usahakan suhu bayi tetap
hangat dan oksigen harus selalu disediakan.
b) Tindakan perawatan dan pengobatan diberikan melalui hidung.
c) Bayi harus keadaan telanjang (tidak memakai pakaian) untuk
memudahkan observasi.
d) Pengaturan panas disesuaikan dengan berat badan dan kondisi tubuh.
e) Pengaturan oksigen selalu diobservasi.
f) Inkubator harus ditempatkan pada ruangan yang hangat kira-kira dengan
suhu 27 derajat celcius.
2) Inkubator terbuka:
a) Pemberian inkubator dilakukan dalam keadaan terbuka saat pemberian
perawatan pada bayi.
b) Menggunakan lampu pemanas untuk memberikan keseimbangan suhu
normal dan kehangatan.
c) Membungkus dengan selimut hangat.
d) Dinding keranjang ditutup dengan kain atau yang lain untuk mencegah
aliran udara.
e) Kepala bayi harus ditutup karena banyak panas yang hilang melalui
kepala.
f) Pengaturan suhu inkubator disesuaikan dengan berat badan sesuai
dengan ketentuan di bawah ini
2. KEJANG

a. DEFINISI KEJANG
Kejang adalah perilaku yang tidak terkontrol yang sering ditemukan
pada neonatus. Kejang yang terjadi pada neonatus dapat mengakibatkan
kerusakan otak permanen. Kejang pada neonatus didefinisikan sebagai suatu
gangguan terhadap fungsi neurilogis seperti tingkah laku, motorik, atau fungsi
otonom. Kebanyakan kejang pada BBL timbul selama beberapa hari.
Sebagian kecil dari bayi tersebut akan mengalami kejang lanjutan dalam
kehidupan kelak. Kejang pada neonatus relatif sering dijumpai dengan
manifestasi klinis yang bervariasi. Timbulnya sering merupakan gejala awal
dari gangguan neurologi dan dapat terjadi gangguan pada kognitif dan
perkembangan jangka panjang.

b. PENYEBAB KEJANG

Penyebab kejang pada neonatus sangat bervariasi di antaranya adalah :

1) Bayi tidak menangis pada waktu lahir adalah penyebab yang paling
sering. Timbul dalam 24 jam kehidupan pada kebanyakan kasus.
2) Pendarahan otak, dapat timbul sebagai akibat dari kekurangan oksigen
atau trauma pada kepala. Pendarahan subdural yang biasanya
diakibatkan oleh trauma dapat menimbulkan kejang.
3) hypoxic-ischaemicencehepalophaty (HIE), infeksi susunan saraf pusat,
perdarahan intrakranial, dan gangguan metabolisme.
4) Gangguan metabolik.
a) Kekurangan kadar gula darah (Hipoglikemia), sering timbul dengan
gangguan pertumbuhan daam kandungan dan pada bayi dengan ibu
penderita diabetes melitus (DM). Jangka waktu antara hipoglikemia
dan waktu sebelum pemberian awal pengobatan merupakan waktu
timbulnya kejang.
b) Kekurangan kalsium (hipokalsemia), sering ditemukan pada bayi
berat badan lahir rendah, bayi dengan ibu penderita DM, bayi
asfiksia, bayi dengan ibu penderita hiperparatiroidisme.
c) Kekurangan natrium (Hiponatremia) Kelebihan natrium
(Hipernatremia), biasanya timbul bersamaan dengan dehidrasi atau
pemakaian bikarbonat berlebihan.
d) Kelainan metabolik lain seperti:
 Ketergantungan piridoksin mengakibatkan kejang yang
resistan terhadap antikonvulsan. Bayi dengan kelainan ini
mengalami kejang intrauterin dan lahir dengan meconium
staining.
 Gangguan asam amino Kejang pada bayi dngan gangguan
asam amino sering disertai dengan manivestasi neurologi.
Hyperamonemia dan asidosis sering timbul pada gangguan
asam amino.
5) Infeksi sekunder akibat bakteri atau nonbakteri dapat timbul pada bayi
dalam kandungan, selama persalinan, atau pada periode perinatal.
a) Infeksi bakteri Meningitis akibat infksi group B streptococus,
escherechcoli, atau listeria monocytogenes sering menyertai kejang
selama minggu pertama kehidupan
b) Infeksi non bakterial Penyebab non bakterial seperti toxoplasmosis
dan infeksi oleh herpes simpleks, cytomegalovirus dan rubella
dapat menyebabkan infeksi intrakranial dan kejang.

c. TANDA DAN GEJALA KEJANG


1) Hemiplegia terjadi mendadak tanpa didahului oleh kejang
2) Kesadaran tetapi baik atau menurun sebentar saja
3) Sifat kelumpuhan sama dengan yg disertai kejang
4) Tremor dengan atau tanpa kesadaran menurun
5) Mengangis melengking tiba-tiba
6) Gerakan yg tidak terkendali pada mulut ,mata ,atau anggota gerak
7) Mulut mencucu
8) Kaku seluruh badabn dengan atau tanpa rangsangan Pengkajian terhadap
tanda dan gejala kejang serta faktor pencetus kejang sangat penting dalam
pemberian intervensi keperawatan yang tepat pada neonatus. Dampak
lanjut dari kejang pada neonatus dapat menimbulkan kematian dan gejala
sisa.

d. PENATALAKSANAAN KEJANG
1. Bayi yang mengalami kejang dapat dilakukan tindakan diantaranya:
a) Memasukkan tong spatel atau sudip lidah yang telah dibungkus dengan
kassa steril pada saat bayi kejang agar jalan napas tidak tertutup oleh
lidah
b) Mengurangi rangsangan pada bayi seperti cahaya
c) Memberikan pengobatan anti kunvulsan
d) Untuk menghindari infeksi dapat diberikan antibiotik serta perawatan
tali pusat dengan menggunakan teknik septik
e) Menjaga jalan nafas tetap bebas
f) Mengatasi kejang dengan memberikan obat anti kejang
2. Obat anti kejang (Buku Acuan Nasional Maternatal dan Neonatal, 2002)
a) Diazepam Dosis 0,1-0,3 mg/kg BB IV disuntikan perlahan-lahan
sampai kejang hilang atau berhenti. Dapat diulangi pada kejang
beruang, tetapi tidak dianjurkan untuk digunakan pada dosis
pemeliharaan
b) Fenobarbital Dosis 5-10 mg/kg BB IV disuntikkan perlahan-lahan, jika
kejang berlanjut lagi dalam 5-10 menit. Fenitoin diberikan apabila
kejang tidak dapat di berikan 4-7 mg/kg BB IV pada hari pertama
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 4-7 mg/kg BB atau oral dalam 2
dosis.

3. Penanganan kejang pada bbl :


a) Bayi diletakan dalam tempat yang hangat.pastikan bahwa bayi tidak
kedinginan.suhu bayi dipertahankan 36,50C-370C.
b) Jalan nafas bayi dibersihkan dengan tindakan penghisapan lendir
diseputar mulut hidung sampai nasofaring.
c) Bila bayi apnea,dilakukan pertolongan agar bayi bernafas lagi dengan
alat bantu balon dan sungkup,diberi oksigen dengan kecepatan
2L/menit
d) Dilakukan pemasangan infus intravena di pembuluh darah
perifer,diangan,kaki atau kepala.bila bayi diduga dilahirkan oleh ibu
berpenyakit diabetes mellitus,dilakukan pemasangan infuse melalui
vena umbilikalis.
1) Bila infus sudah terpasang diberi obat anti kejang diazevam 0,5
Mg/Kg supositoria/Im setiap 2 menit sampai kejang
teratasi.kemudian ditambahkan luminal (fenobarbital)30Mg I.M/I.V
2) Nilai kondisi bayi selama 15 menit.perhatikan kelainan fisik yang
ada.
3) Bila kejang sudah teratasi diberi cairan infuse dextrose 10% dengan
kecepatan 60 Ml/Kg bb/hari.
4) Dlakukan anamesis mengenai keadaan bayi untuk mencari factor
penyebab kejang(perhatikan riwayat kehamilan,persalinan dan
kelahiran)
a) Apakah kemungkinan bayi di lahirkan oleh ibu berpenyakit DM
b) Apakah kemungkianan bayi premature
c) Apakah kemungkinan bayi mengalami aspeksia
d) Apakah kemingkinan ibu bayi pengidap atau menggunakan
bahan narkotika.

Kejang sudah teratasi, diambil bahan untuk pemeriksaan


laboratorium untuk mencari faktor penyebab, misalnya : darah tepi,
elektrolit darah, gula darah, kimia darah, kultur darah, pemeriksaan
TORCH , Kecurigaan kearah sepsis (pemeriksaan pungsi lumbal)
,Kejang berulang, diazepam dapat diberikan sampai 2 kali, Masih
kejang : dilantin 1,5 mg/kg BB sebagai bolus iv diteruskan dalam
dosis 20 mg iv setiap 12 jam ,Belum teratasi : phenytoin 15 mg/kgBB
iv dilanjutkan 2 mg/kg tiap 12 jam, Hipokalsemia (hasil lab kalsium
darah <8mg%) : diberi kalsium glukonas 10% 2 ml/kg dalam waktu 5-
10 menit . apabila belum juga teratasi diberi pyridoxin 25-50 mg ,
Untuk Hipoglikemia (hasil lab dextrosit/gula darah < 40 mg%) : diberi
infus dextrose 10%

e. Peran Bidan Dalam Menangani Kejang


Peran bidan dalam menangani kejang pada bayi dapat diantisipasi
dengan melakukan tindakan promotif atau preventif .
1) Langkah Promotif / Preventif
a) Mencegah persalinan prematur
b) Melakukan pertolongan persalinan yang bersih dan aman
c) Mencegah asfiksia neonatorum
d) Melakukan resusitasi dengan benar
e) Melakukan tindakan Pencegahan Infeksi
f) Mengendalikan kadar glukosa darah ibu
Antisipasi setiap faktor kondisi (faktor predisposisi) dan masalah dalam proses
persalinan. Berikan pengobatan rasional dan efektif . Lanjutkan pengamatan dan
pengobatan terhadap masalah atau infeksi yang dikenali pada saat kehamilan ataupun
persalinan. Jangan pulangkan bila masa kritis belum terlampaui . Beri instruksi
tertulis untuk asuhan mandiri di rumah . Lakukan tindakan dan perawatan yang sesuai
bagi bayi baru lahir dari ibu yang infeksi saat persalinan . Berikan hidrasi oral / IV
secukupnya

3.  Asfiksia Neonatorum

a. Pengertian Asfiksia Neonatorum

              Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur 
pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO 2 di
dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat) dan asidosis.

b. Patofisiologi Asfiksia Neonatorum

              Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya
hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada
janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia.

c. Gejala Klinik Asfiksia Neonatorum

              Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100
x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks
rangsangan.

d. Diagnosis Asfiksia Neonatorum


Pemeriksaan fisik :

     Nilai Apgar

Klinis 0 1 2
Detak jantung Tidak ada < 100 x/menit >100x/menit
Pernafasan Tidak ada Tak teratur Tangis kuat
Refleks saat jalanTidak ada Menyeringai Batuk/bersin
nafas dibersihkan
Tonus otot Lunglai Fleksi ekstrimitas Fleksi kuat gerak
(lemah) aktif
Warna kulit Biru pucat Tubuh merah Merah seluruh
ekstrimitas biru tubuh
         

   Nilai:     0-3              :            Asfiksia berat

                 Nilai 4-6     :            Asfiksia sedang

                 Nilai 7-10   :            Normal

              Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai
apgar 5 menit  masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor
mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir
dan  menentukan prognosis,bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai
30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor
Apgar)

e. Pemeriksaan penunjang :

1) Foto polos dada


2) USG kepala
3) Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit
f. Penyulit
Meliputi berbagai organ yaitu :

1) Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis


2) Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan
paru, edema paru
3) Gastrointestinal : enterokolitis  nekrotikans
4) Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH
5) Hematologi : DIC

g. Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum

1) Resusitasi kardio pulmonal


2) Terapi medikamentosa :
a) 1) Epinefrin : Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik
dilakukan ventilasi adekuat dan pemijatan dada. 0,1-0,3 ml/kg BB dalam
larutan 1 : 10.000   (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) Cara : i.v atau endotrakeal.
Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu. 
b) Bikarbonat, 1-2 mEq/kg BB  atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb
(8,4%). Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak
diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal 2 menit.
c) Nalokson: 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml). Intravena, 
endotrakeal atau bila perpusi baik  diberikan i.m atau s.c     
h. Suportif
1. Jaga kehangatan.
2. Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
3. Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)
4. Pemberian cairan, Jenis cairan larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%,
Ringer Laktat,

4. Sindrom Gangguan Pernafasan


a. Defenisi Sindrom Gangguan Pernafasan

                 Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit,
sianosis, merintih, waktu ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium, interkostal
pada saat inspirasi ( Perawatan Anak Sakit, Ngastiah. Hal 3).
Penyakit Membran Hialin (PMH)

b. Etiologi Sindrom Gangguan Pernafasan

                 Penyebab kelainan ini adalah kekurangan suatu zat aktif pada alveoli yang
mencegah kolaps paru. PMH sering kali mengenai bayi prematur, karena produksi
surfaktan yang di mulai sejak kehamilan minggu ke 22, baru mencapai jumlah cukup
menjelang cukup bulan.

c. Patofisiologi Sindrom Gangguan Pernafasan

                 Penyebab PMH adalah surfaktan paru. Surfaktan paru adalah zat yang
memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang
terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama zat tersebut adalah
lesitin. Zat ini mulai di bentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai
maksimum pada minggu ke 35. Fungsi surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan
permukaan alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk
bernafas berikutnya di butuhkan tekanan negatif intrathoraks yang lebih besar dan di
sertai usaha inspiarsi yang lebih kuat. Kolaps paru ini menyebabkan terganggunya
ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2. dan oksidosis.

d. Prognosis Sindrom Gangguan Pernafasan

                 Prognosis bayi dengan PMH terutama ditentukan oleh prematuritas serta
beratnya penyakit. Bayi yang sembuh mempunyai kesempatan tumbuh dan kembang
sama dengan bayi prematur lain yang tidak menderita PMH.
e. Gambaran Klinis Sindrom Gangguan Pernafasan

                 PMH umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000-2000
gram. Atau masa generasi 30-36 minggu. Gangguan pernafasan mulai tampak dalam
6-8 jam pertama setelah lahir dan gejala yang karakteritis mulai terlihat pada umur
24-72 jam.

f. Pemeriksaan Diaknostik Sindrom Gangguan Pernafasan

1) Atas dasar adanya gangguan pernafasan yang dapat di sebabkan oleh berbagai
penyebab dan untuk melihat keadaan paru, maka bayi perlu dilakukan
pemeriksaan foto thoraks.
2) Pemeriksaan darah : perlu pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah dan
elektrolit.
g. Penatalaksanaan Sindrom Gangguan Pernafasan

    Tindakan yang perlu dilakukan :

1) Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus dalam batas
normal (36.5-37oc) dan meletakkan bayi dalam inkubator.
2) Pemberian oksigen dilakukan dengan hati-hati karena terpengaruh kompleks
terhadap bayi prematur, pemberian oksigen terlalu banyak menimbulkan
komplikasi fibrosis paru, kerusakan retina dan lain-lain.
3) Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan hemeostasis
dan menghindarkan dehidrasi. Permulaan diberikan glukosa 5-10 % dengan
jumlah 60-125 ML/ Kg BB/ hari.
4) Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Penisilin dengan dosis
50.000-10.000 untuk / kg BB / hari / ampisilin 100 mg / kg BB/ hari dengan atau
tanpa gentasimin 3-5 mg / kg BB / hari.
5) Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan
ekstrogen ( surfaktan dari luar).
5. Hiperbilirubinemia

a. Definisi Hiperbilirubinemia

                 Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara
klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5
mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.

                 Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis
(Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.), kecuali: 

1) Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi
kurang bulan >10 mg/dL.
2) Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
3) Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
4) Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
5) Terdapat faktor risiko.

                 Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum.
Bilirubin dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya
tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi
dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari
pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan minggu
pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah minggu
pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat.
Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran
sensorial.

b. Etiologi dan Faktor Risiko Hiperbilirubinemia

1) Etiologi
                   Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena
hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur
lebih pendek.

a) Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil
transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan
ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
b) Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim ->
glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
c) Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat
disebabkan oleh faktor/keadaan:
d) Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi
G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
e) Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra
uterin.
f) Polisitemia.
g) Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
h) Ibu diabetes.
i) Asidosis.
j) Hipoksia/asfiksia.
k) Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi
enterohepatik.

2. Faktor Risiko

     Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

a. Faktor Maternal

     Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)

1) Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)


2) Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
3) ASI
b. Faktor Perinatal
1) Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
2) Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor Neonatus

      Prematuritas

1) Faktor genetik
2) Polisitemia
3) Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
4) Rendahnya asupan ASI
5) Hipoglikemia
6) Hipoalbuminemia

3. Patofisiologi Hiperbilirubinemia

                 Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit.


Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke
3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa
minggu.

a. Ikterus fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi
bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya
dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi
baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai
puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian
menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul
peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi
< 2 mg/dL.
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan
faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak
bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan
berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina
cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4
dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis
pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif,
pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa
120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
b. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)
Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus
yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor
tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus
halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI
tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah. 
Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata
laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.

4. Penegakan Diagnosis Hiperbilirubinemia

a. Visual 

                 Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat
digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit
berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode
visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh
digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk
untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
                 WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara
visual, sebagai berikut:

1. Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari


dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.
2. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.
3. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh
yang tampak kuning.
5. Bilirubin Serum

                 Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis


ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum
bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat
meningkatkan  morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total.
Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil). Beberapa senter
menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau
usia bayi > 2 minggu.    

6. Bilirubinometer Transkutan

                 Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan


prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang
450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang
sedang diperiksa.

                 Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat
dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength
spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan
dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.

                 Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk
mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan
pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di
Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada
penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4
mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan
Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76,
p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan
untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat
digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.

                 Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan
skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan
bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan
skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah
terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.

7. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

                 Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini
menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin
serum yang rendah. 

                 Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas.
Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan
kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi
tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum
akan lebih terarah. 
                 Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan
gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran
konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks
produksi bilirubin.

     Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus

Usia Kuning terlihat pada Tingkat keparahan ikterus

Hari 1 Bagian tubuh manapun


Hari 2 Tengan dan tungkai * Berat
Tangan dan kaki
Hari 3
Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada
lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus
sangat berat dan memerlukan terapi sinar  secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar. 

8. Penatalaksanaan

a. Ikterus Fisiologis

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada
bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi,
kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada
bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:

a. Minum ASI dini dan sering


b. Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
c. Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang
dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).

                 Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai
faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama
kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan
membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.

1. Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir
sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
2. Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin,
tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
3. Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan
terapi sinar.
4. Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi
sinar, lakukan terapi sinar
5. Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab
hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring
G6PD bila memungkinkan.
6. Tentukan diagnosis banding

b. Tata laksana Hiperbilirubinemia 

1)  Hemolitik

                 Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan
darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana
untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya. Bila
nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan
terapi sinar.

a) Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:


b) Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar
hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera
rujuk bayi.
c) Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk
dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak
hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).
d) Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
e) Persiapkan transfer.
f) Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas
transfusi tukar.
g) Kirim contoh darah ibu dan bayi.
h) Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa
perlu dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.
i) Nasihati ibu:
j) Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu
mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan
dengan kehamilan berikutnya.
k) Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk
menghindari zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada
bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin,
kamfer/mothballs, favabeans).
l) Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.
m) Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan
atau 3 minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir
sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan
(prolonged jaundice).
n) Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu
selama 4 minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan
transfusi darah.

2) Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice) 


                 Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus
cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.

a) Terapi sinar  dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk


mencari penyebab.
b) Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan
kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk
evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.
c) Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.

6. Pencegahan Hiperbilirubinemia

                 Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat
inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan
beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:

a. Primer

                 AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan
hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk
menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama. 

                 Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan
proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan
frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia
yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin
terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa)
pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah
terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.

b. Sekunder
                 Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang
memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.

1)  Pemeriksaan Golongan Darah

                 Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan
Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani
pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu
adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah
bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.

2) Penilaian Klinis

                 Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala
untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur
standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam
bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain. 

                 Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi 
sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan
dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari.
Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan
memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah,
kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.

E. Pendarahan Tali Pusat

1. Pengertian Pendarahan Tali Pusat


                 Perdarahan yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma
pengikatan tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus
normal. Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagi petunjuk adanya
penyakit pada bayi.

2. Etiologi Pendarahan Tali Pusat

1) Robekan umbilikus normal, biasanya terjadi karena :

a. Patus precipitates

b. Adanya trauma atau lilitan tali pusat

c. Umbilikus pendek, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan yang berlebihan pada


saat persalinan

d. Kelalaian penolong persalinan yang dapat menyebabkan tersayatnya dinding


umbilikus atau placenta sewaktu sectio secarea

2) Robekan umbilikus abnormal, biasanya terjadi karena :

a. Adanya hematoma pada umbilikus yang kemudian hematom tersebut pecah, namun
perdarahan yang terjadi masuk kembali ke dalam placenta. Hal ini sangat berbahaya
bagi bayi dan dapat menimbulkan kematian pada bayi

b.  Varises juga dapat menyebabkan perdarahan apabila varises tersebut pecah

c.  Aneurisma pembuluh darah pada umbilikus dimana terjadi pelebaran pembuluh darah
setempat saja karena salah dalam proses perkembangan atau terjadi kemunduran
dinding pembuluh darah. Pada aneurisme pembuluh darah menyebabkan pembuluh
darah rapuh dan mudah pecah.

3) Robekan pembuluh darah abnormal


            Pada kasus dengan robekan pembuluh darah umbilikus tanpa adanya trauma,
hendaknya dipikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik pembuluh darah
seperti :

a. Pembuluh darah aberan yang mudah pecah karena dindingnya tipis dan tidak ada
perlindungan jely Wharton

b. Insersi velamentosa tali pusat, dimana pecahnya pembuluh darah terjadi pada tempat
percabangan tali pusat sampai ke membran tempat masuknya dalam placenta tidak
adda proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan
ganda

c.  Placenta multilobularis, perdarahan terjadi pembuluh darah yang menghubungkan


masing- masing lobus dengan jaringan placenta karena bagian tersebut sangat rapuh
dan mudah pecah

4) Perdarahan akibat placenta previa dan abrotio placenta

                 Perdarahan akibat placenta previa dan abrutio placenta dapat membahayakan
bayi. Pada kasus placenta previa cenderung menyebabkan anemia, sedangkan pada
kasus abrutio placenta lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat
terjadi anoreksia.

                 Pengamatan pada placenta dengan teliti untuk menentukan adanya perdarahan
pada bayi baru lahir, pada bayi baru lahir dengan kelainan placenta atau dengan sectio
secarea apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala.

3. Penatalaksanaan Pendarahan Tali Pusat

a.    Penanganan disesuaikan dengan penyebab dari perdarahan tali pusat yang terjadi
b.    Untuk penanganan awal, harus dilakukan tindakan pencegahan infeksi paa tali
pusat.
c.    Segera lakukan inform consent dan inform choise pada keluarga pasien untuk
dilakukan rujukan.
F. Konsep Dasar Hipotermia

1.  Definisi Hipotermia

                 Beberapa definisi hipotermia dari beberapa sumber :

a.    Menurut Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo (2001),bayi hipotermia


adalah bayi dengan suhu badan dibawah normal.adapun suhu normal pada neonatus
adalah  36,5o-37,5oC. Gejala awal pada hipotermi apabila suhu <36 o C atau kedua
kaki dan tangan  teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka bayi
sudah  mengalami hipotermia sedang (suhu 320-36o C). Disebut hipotermia berat bila
suhu <32o C diperlukan termometer ukuran rendah yang dapat mengukur sampai
25o C.
b.    Menurut Indarso F(2001), disamping sebagai suatu gejala,hipotermia merupakan
awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
c.    Menurut Sandra M.T (1997),hipotermi yaitu suatu kondisi dimana suhu tubuh inti
turun sampai dibawah 35o C.

2.  Klasifikasi Hipotermia

a.  Hipotermi spintas.

                 Yaitu penurunan suhu tubuh1-2◦c sesudah lahir. Suhu tubuh akan menjadi
normal kembali setelah bayi berumur 4-8 jam, bila suhu ruang di atur sebaik-baiknya.
Hipotermi sepintas ini terdapat pada bayi dengan BBLR, hipoksia, resusitasi lama,
ruangan tempat bersalin yang dingin, bila bayi segera di bungkus setelah lahir
terlalucepat di mandikan (kurang dari 4 -6 jam sesudah lahir).

b.  Hipotermi akut.

                 Terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin selama 6-12 jam, terdapat
pada bayi dengan BBLR, diruang tempat bersalin yang dingin, incubator yang cukup
panas. Terapinya adalah: segeralah masukan bayi segera kedalam inkubataor yang
suhunya sudah menurut kebutuhan bayi dan dalam kaadaan telanjang supaya dapat di
awasi secara teliti. Gejala bayi lemah,gelisah, pernafasan dan bunyi jantung lambat
serta kedu kaki dingin.

c.  Hipotermi sekunder

                 Penurunan suhu tubuh yang tidak di sebabkan oleh suhu lingkungan yang
dingin, tetapi oleh sebab lain seperti sepsis, syndrome gangguan nafas, penyakit
jantung bawaan yang berat,hipoksia dan hipoglikemi, BBLR. Pengobatan dengan
mengobati penyebab Misalnya: pemberian antibiotika,larutan glukosa, oksigen dan
sebagainya.

d.  Cold injuri

                 Yaitu hipotermi yang timbul karena terlalu lama dalam ruang dinginn(lebih
dari 12 jam). Gejala: lemah, tidak mau minum, badan dingin, oligoria , suhu berkisar
sekitar 29,5◦c-35◦c, tidak banyak bergerak, oedema, serta kemerahan pada tangan,
kaki dan muka, seolah-olah dalam keadaan sehat, pengerasan jaringan sub kutis.

3.  Etiologi Hipotermi

                 Penyebab terjadinya hipotermi pada bayi yaitu :

a.    Jaringan lemak subkutan tipis.


b.    Perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan besar.
c.    Cadangan glikogen dan brown fat sedikit.
d.   ayi baru lahir tidak ada respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan.
e.    Kurangnya pengetahuan perawat dalam pengelolaan bayi yang berisiko tinggi
mengalami hipotermia.
f.     Bayi dipisahkan dari ibunya segera mungkin setelah lahir.
g.    Berat lahir bayi yang kurang dan kehamilan prematur.
h.    Tempat melahirkan yang dingin.
i.      Bayi asfiksia, hipoksia, resusitasi yang lama, sepsis, sindrom dengan  pernapasan, 
hipoglikemia perdarahan intra kranial.
                 Faktor pencetus hipotermia menurut Depkes RI,1992 :

a.    Faktor lingkungan.


b.    Syok.
c.    Infeksi. 
d.   Gangguan endokrin metabolik.
e.    Kurang  gizi
f.     Obat-obatan.
g.    Aneka cuaca

                 Mekanisme hilangnya panas pada bayi yaitu :

a.    Radiasi adalah panas yang hilang dari objek yang hangat (bayi) ke objekyang
dingin. Misal BBL diletakkan ditempat yang dingin.
b.    Konduksi adalah pindahnya panas tubuh bayi  karena kulit bayi langsung kontak
dengan permukaan yang lebih dingin. Misal popok atau celana basah tidak langsung
diganti.
c.    Konveksi adalah hilangnya panas dari bayi ke udara sekelilingnya. Misal BBL
diletakkan dekat pintu atau jendela terbuka.
d.   Evaporasi adalah hilangnya panas akibat penguapan dari air pada kulit bayi misalnya
cairan amnion pada bayi

4.  Patofisiologi Hipotermi

                 Sewaktu kulit bayi menjadi dingin, saraf afferen menyampaikan pada sentral
pengatur panas di  hipothalamus. Saraf yang dari hipothalamus sewaktu
mencapaib rown fat memacu pelepasan noradrenalin lokal sehingga trigliserida
dioksidasi menjadi gliserol dan asam lemak. Blood gliserol  level meningkat, tetapi
asam lemak secara lokal dikonsumsi untuk menghasilkan panas. Daerah brown
fat menjadi panas, kemudian didistribusikan ke beberapa bagian tubuh melalui aliran
darah.
                 Ini menunjukkan bahwa bayi akan memerlukan oksigen tambahan dan
glukosa untuk metabolisme yang digunakan untuk menjaga tubuh tetap
hangat.Methabolicther mogenesis yang efektif memerlukan integritas dari sistem
syaraf sentral,kecukupan darib r own fat, dan tersedianya glukosa serta oksigen.
Perubahan fisiologis akibat hipotermia yang terjadi pada sistem syaraf pusat antara
lain depresi linier dari metabolisme otak, amnesia, apatis, disartria, pertimbangan
yang terganggu adaptasi yang salah, EEG yang abnormal, depressi kesadaran yang
progresif, dilatasi pupil, dan halusinasi. Dalam keadaan berat dapat terjadi kehilangan
autoregulasi otak, aliran darah otak menurun, koma, refleks okuli yang hilang,
dan penurunanyangprogressif dari aktivitas EEG.

                 Bayi hipotermi adalah bayi dengan suhu badan di bawah normal. Suhu normal
pada bayi neonatus adalah adalah 36,5-37,5 derajat Celsius (suhu ketiak). Hipotermi
merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian bayi baru lahir, terutama
dengan berat badan kurang dari 2,5 Kg Gejala awal hipotermi apabila suhu kurang
dari 36 derajat Celsius atau kedua kaki dan tangan teraba dingin.

5. Tanda dan Gejala Hipotermi

a.  Berikut beberapa gejala bayi terkena hipotermia,yaitu :

1)   Suhu tubuh bayi turun dari normalnya.


2)   Bayi tidak mau minum atau menetek.
3)   Bayi tampak lesu atau mengantuk saja.
4)   Tubub bayi teraba dingin.
5)   Dalam keadaan berat denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh
mengeras (sklerema).
6)   Kulit bayi berwarna merah muda dan terlihat sehat.
7)   Lebih diam dari biasanya.
8)   Hilang kesadaran.
9)   Pernapasannya cepat.
10)    Denyut nadinya melemah.
11)    Gangguan penglihatan.
12)    Pupil mata melebar (dilatasi) dan tidak bereaksi.

b.  Berikut adalah tanda terjadinya hipotermia

                   Tanda-tanda hipotermia sedang :

1)   Aktifitas berkurang.


2)   Tangisan lemah.
3)   Kulit berwarna tidak rata (cutis malviorata).
4)   Kemampuan menghisap lemah.
5)   Kaki teraba dingin.
6)   Jika hipotermia berlanjut akan timbul cidera dingin.

c.  Tanda-tanda hipotermia berat :

1)   Aktifitas berkurang,letargis.


2)   Bibir dan kuku kebiruan.
3)   Pernafasan lambat.
4)   Bunyi jantung lambat.
5)   Selanjutnya mungkin timbul hipoglikemia dan asidosis  metabolik.
6)   Risiko untuk kematian bayi.

d. Tanda-tanda stadium lanjut hipotermia :

1)   Muka,ujung kaki dan tangan berwarna merah terang.


2)   Bagian tubuh lainnya pucat.
3)   Kulit mengeras merah dan timbul edema terutama pada punggung,kaki dan
tangan(sklerema).

6.  Komplikasi

                 Hipotermi yang terjadi pada bayi apabila tidak tertangani dengan tepat akan
menyebabkan beberapa gangguan yang akan menyertai yakni:
a.    Gangguan sistem saraf pusat: koma,menurunnya reflex mata(seperti mengdip)
b.    Cardiovascular: penurunan tekanan darah secara berangsur, menghilangnya tekanan
darah sistolik
c.    Pernafasan: menurunnya konsumsi oksigen
d.   Saraf dan otot: tidak adanya gerakan, menghilangnya reflex perifer

7.  Penatalaksanaan

a.  Penanganan hipotermia secara umum untuk bayi

                 Pengaturan suhu tubuh bayi belumlah terkendali dengan baik. Bayi bisa
kehilangan suhu tubuh secara cepat dan terkena hipotermi dalam kamar yang dingin.
Bayi yang mengalami hipotermi harus dihangatkan secara bertahap. Berikut beberapa
cara penanganan hipotermia untuk bayi :

1)   Hangatkan bayi secara bertahap. Bawalah ia ke ruangan yang hangat. Bungkuslah
tubuhnya dengan selimut tebal.
2)   Pakaikan topi dan dekaplah si kecil agar ia menjadi hangat oleh panas tubuh anda.

b.  Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain :

1)   Jangan menempelkan sumber panas langsung, seperti botol berisi air panas ke kulit
anak. Anak harus menjadi hangat secara bertahap.
2)   Jika anak hilang kesadaran,bukalah saluran udaranya dan periksa pernapasannya.
Jika anak bernapas,baringkan ia pada posisi pemulihan,jika tidak bernapas,mulailah
bantuan pernapasan dan kompresi dada. Telepon Ambulans.

c. Prinsip Dasar Untuk Mempertahankan Suhu Tubuh Bayi Baru Lahir

1)   setiap bayi lahir harus segera dikeringkan dengan handuk yang kering dan bersih
(sebaiknya handuk tersebut dihangatkan terlebih dahulu). Mengeringkan tubuh bayi
harus dilakukan dengan cepat.dimulai dari kepala kemudian seluruh tubuh bayi.
Handuk yang basah harus diganti dengan handuk lain yang kering dan hangat.
2)   Setelah tubuh bayi kering segera dibungkus dengan selimut,diberi tepi atau tutup
kepala,kaos tangan dan kaki. Selanjutnya bayi diletakkan telungkup di atas dada ibu
untuk mendapatkan kehangatan dari dekapan ibu.
3)   Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan agar dapat
merangsang rooting refleks dan bayi mendapat kalori.
4)   Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu merujuk.
5)   Memberikan penghangatan pada bayi  baru lahir secara mandiri.
6)   Melatih semua orang yang terlibat dalam pertolongan persalinan. 
7)   Menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh bayi stabil.  

G. Hipertermi

1.  Pengertian Hipertermi           

                 Hipertermia adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau


beresiko mengalami peningkatan suhu tubuh terus menerus diatas 37,8°C per oral
atau 38,8°C per rectal karena peningkatan kerentanan terhadap faktor-faktor eksternal
(blogAsuhanKeperawatan.com).

                 Hipertermia adalah suhu tubuh yang tinggi dan bukan disebabkan oleh
mekanisme pengaturan panas hipotalamus (Asuhan keperawatan.com.I Ziddu.com)

2.  Etiologi Hipertermi

                 Disebabkan oleh meningkatnya produksi panas andogen (olahraga berat,


Hipertermia maligna, Sindrom neuroleptik maligna, Hipertiroiddisme), Pengurangan
kehilangan panas, atau terpajan lama pada lingkungan bersuhu tinggi (sengatan
panas)

3.  Gejala Hipertermi

1) Suhu badan tinggi (>37,5°C)

2) Terasa kehausan.
3) Mulut kering

4) Kedinginan,lemas

5) Anoreksia (tidak selera makan)

6) Nadi cepat.

7) Pernafasan cepat (>60X/menit)

8) Berat badan bayi menurun

9) Turgor kulit kurang

4. Penanganan Hipertermia Bayi baru lahir

a.  Bila suhu diduga karena paparan panas berlebihan:

1) Bayi dipindah ke ruangan yang sejuk dengan suhu kamar sekitar 26°-28°C
2) Tubuh bayi diseka dengan kain basah sampai suhu tubuh bayi normal (jangan
menggunakan air es).
3) Berikan cairan dekstrose : NaCl = 1:4 secara intravena sampai dehidrasi teratasi
4) Antibiotik diberikan bila ada infeksi.
5) Bila bayi pernah diletakan di bawah pemancar panas atau incubator
6) Turunkan suhu alat penghangat, bila bayi di dalam incubator, buka incubator
sampai suhu dalam batas normal
7) Lepas sebagian atau seluruh pakaian bayi selama 10 menit kemudian
8) Beri pakaian lagi sesuai dengan alat penghangat yang digunakan
9) Periksa suhu bayi setiap jam sampai tercapai suhu dalam batar normal
10) Periksa suhu incubator atau pemancar panas setiap jam dan sesuaikan pengatur
suhu

c.  Manajemen lanjutan suhu lebih 37,5°C

1) Yakin bayi mendapatkan masukan cukup cairan


a)  Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya. Bila bayi tidak dapat menyusui, beri ASI
panas dengan salah satu alternative cara pemberian minum

b)  Bila terdapat tanda dehidrasi, tangani dehidrasinya

2) Setelah suhu bayi normal:

a)  Lakukan perawatan lanjutan

b)  Pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu badannya setiap 3 jam

3)  Bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat diberi minum dengan serta tidak
ada masalah lain yang memerlukan perawat di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan,
nasehati ibu cara menghangatkan bayi di rumah dan melindungi dari pancaran panas
yang berlebihan

d.  Memastikan bayi mendapat cairan yang adekuat

1) Izinkan bayi mulai menyusu, jika bayi tidak dapat menyusu, berikan perasan ASI
dengan menggunakan metode pemberian makanan alternative

2) Jika terdapat tanda-tanda dehidrasi (mata atau fontanel cekung, kehilangan elastisitas
kulit, atau lidah atau membran mukosa kering)

a)  Pasang slang IV dan berikan cairan IV dengan volume rumatan sesuai dengan usia
bayi

b)  Tingkatkan volume cairan sebanyak 10% berat badan bayi pada hari pertama
dehidrasi terlihat 

e.  Ukur glukosa darah, jika glukosa darah kurang dari 45 mg/dl (2,6 mmol/l), atasi
glukosa  darah yang rendah.
H. Tetanus Neonaturum

1. Pengertian Tetanus Neonaturum

             Kata tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanus  yang berarti kencang atau
tegang.Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang ditandai kondisi spastik paralisis
yang disebabkanoleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus
berdasarkan gejalaklinisnya dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu tetanus generalisasi
(umum), tetanus local dantetanus sefalik. Bentuk tetanus yang paling sering terjadi
adalah tetanus generalisasi dan jugamerupakan bentuk tetanus yang paling
berbahaya Neonatal (berasal dari neos  yang berarti baru dan natus yang berarti
lahir)merupakan suatu istilah kedokteran yang digunakan untuk menggambarkan
masa sejak bayilahir hingga usia 28 hari kehidupan.Tetanus neonatorum merupakan
suatu bentuk tetanus generalisasi yang terjadi padamasa neonatal.

                 Tetanus Neonaturum adalah penyakit yang diderita oleh bayi baru lahir
(neonatus). Tetanus neonatorum penyebab kejang yang sering dijumpai pada BBL
yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan infeksi selama
masa neonatal, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat atau perawatan
tidak aseptic (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)

                 Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus yang
disebabkan oleh clostridium tetani yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun)
yang menyerang sistem saraf pusat. (Abdul Bari Saifuddin, 2000)

                 Tetanus Neonatorum (TN) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
kuman Clostridium Tetani  memasuki tubuh bayi baru lahir melalui tali pusat yang
kurang terawat dan terjadi pada bayi sejak lahir sampai umur 28 hari, kriteria kasus
TN berupa sulit menghisap ASI, disertai kejang rangsangan, dapat terjadi sejak umur
3-28 hari tanpa pemeriksaan laboratorium. (Sudarjat S, 1995).

                 Tetanus neonatorum merupakan suatu penyakit akut yang dapat dicegah


namun dapat berakibat fatal, yang disebabkan oleh produksi eksotoksin dari
kuman Clostridium tetani gram positif, dimana kuman ini mengeluarkan toksin yang
dapat menyerang sistem syaraf pusat.

2. Etiologi Tetanus Neonaturum

                 Penyebabnya adalah hasil klostrodium tetani (Kapitaselekta, 2000) bersifat


anaerob, berbentuk spora selama diluar tubuh manusia dan dapat mengeluarkan
toksin yang dapat mengahancurkan sel darah merah, merusak lekosit dan merupakan
tetanospasmin yaitu toksin yang bersifat neurotropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot. (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)

                 Masa inkubasi biasanya 4-21 hari (umumnya 7 hari), tergantung pada
tempat terjadinya luka, bentuk luka, dosis dan toksisitas kuman Tetanus Neonatorum.
(Sudarjat S, 1995).

3. Faktor Resiko Tetanus Neonaturum

a) Pemberian imunisasi TT (tetanus toksoid) pada ibu hamil tidak dilakukan, atau tidak
lengkap, atau tidak sesuai dengan ketentuan program.

b) Pertolongan persalinan tidak memenuhi syarat.

c) Perawatan tali pusat tidak memnuhi persyaratan kesehatan.

4. Epidemiologi Tetanus Neonaturum

                 Clostridium tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul, gram positip.
Dapat bergerak dan membentuk sporaspora, terminal yang menyerupai tongkat
penabuh genderang (drum stick). Spora spora tersebut kebal terhadap berbagai bahan
dan keadaan yang merugikan termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika
dipanaskan dengan otoklaf. Kuman ini dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah,
asalkan tidak terpapar sinar matahari, selain dapat ditemukan pula dalam debu, tanah,
air laut, air tawar dan traktus digestivus manusia serta hewan.
5. Patologi Tetanus Neonaturum

                 Kelainan patologik biasanya terdapat pada otak pada sumsum tulang
belakang, dan terutama pada nukleus motorik. Kematian disebabkan oleh asfiksia
akibat spasmus laring pada kejang yang lama. Selain itu kematian dapat disebabkan
oleh pengaruh langsung pada pusat pernafasan dan peredaran darah. Sebab kematian
yang lain ialah pneumonia aspirasi dan sepsis. Kedua sebab yang terakhir ini
mungkin sekali merupakan sebab utama kematian tetanus neonatorum di Indonesia.

6. Gambaran Klinik Tetanus Neonaturum

                 Masa tunas biasanya 5-14 hari, kadang-kadang sampai beberapa minggu jika
infeksinya ringan. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot
yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam 48 jam penyakit
menjadi nyata dengan adanya trismus (Ilmu Kesehatan Anak, 1985).

                 Pada tetanus neonatorum perjalanan penyakit ini lebih cepat dan berat.
Anamnesis sangat spesifik yaitu :

a.    Bayi tiba-tiba panas dan tidak mau minum (karena tidak dapat menghisap).
b.    Mulut mencucu seperti mulut ikan.
c.    Mudah terangsang dan sering kejang disertai sianosis.
d.   Kaku kuduk sampai opistotonus.
e.    Dinding abdomen kaku, mengeras dan kadang-kadang terjadi kejang.
f.     Dahi berkerut, alis mata terangkat, sudut mulut tertarik kebawah, muka thisus
sardonikus
g.    Ekstermitas biasanya terulur dan kaku.
h.    Tiba-tiba bayi sensitif terhadap rangsangan, gelisah dan kadang-kadang menangis
lemah.

7. Pencegahan Tetanus Neonaturum


a. Melaui pertolongan persalinan tiga bersih, yaitu bersih tangan, bersih alas, dan bersih
alat .

1) Bersih tangan

     Sebelum menolong persalinan, tangan poenolong disikat dan dicuci dengan sabun
sampai bersih. Kotoran di bawah kuku dibersihkan dengan sabun. Cuci tangan
dilakukan selama 15 – 30 “ . Mencuci tangan secara benar dan menggunakan sarung
tangan pelindung merupakan kunci untuk menjaga lingkungan bebas dari infeksi.

2) Bersih alas

     Tempat atau alas yang dipakai untuk persaliunan harus bersih, karena clostrodium
tetani bisa menular dari saluran genetal ibu pada waktu kelahiran..

3) Bersih alat

     Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril. Metode sterilisasi ada 2,
yang pertama dengan pemanasan kering : 1700 C selama 60 ‘ dan yang kedua
menggunakan otoklaf : 106 kPa, 1210 C selama 30 ‘ jika dibungkus, dan 20 ‘ jika alat
tidak dibungkus.

b. Perawatan tali pusat yang baik

                 Untuk perawatan tali pusat baik sebelum maupun setelah lepas, cara yang
murah dan baik yaitu mernggunakan alkohol 70 % dan kasa steril. Kasa steril yang
telah dibasahi dengan alkohol dibungkuskan pada tali pusat terutama pada
pangkalnya. Kasa dibasahi lagi dengan alkohol jika sudah kering. Jika tali pusat telah
lepas, kompres alkohol ditruskan lagi sampai luka bekas tali pusat kering betul
(selama 3 – 5 hari). Jangan membubuhkan bubuk dermatol atau bedak kepada bekas
tali pusat karena akan terjadi infeksi.

c. Pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada ibu hamil

                 Kekebalan terhadap tetanus hanya dapat diperoleh melalui imunisasi TT. Ibu
hamil yang mendapatkan imunisasi TT dalam tubuhnya akan membentuk antibodi
tetanus. Seperti difteri, antibodi tetanus termasuk dalam golongan Ig G yang mudah
melewati sawar plasenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh
tubuh janin, yang akan mencegah terjadinya tetanis neonatorum.

                 Imunisasi TT pada ibu hamil diberikan 2 kali ( 2 dosis). Jarak pemberian TT


pertama dan kedua, serta jarak antara TT kedua dengan saat kelahiran, sangat
menentukan kadar antibodi tetanus dalam darah bayi. Semakin lama interval antara
pemberian TT pertama dan kedua serta antara TT kedua dengan kelahiran bayi maka
kadar antibosi tetanus dalam darah bayi akan semakin tinggi, karena interval yang
panjang akan mempertinggi respon imunologik dan diperoleh cukup waktu untuk
menyeberangkan antibodi tetanus dalam jumlah yan cukup dari tubuh ibu hamil ke
tubuh bayinya.

                 TT adalah antigen yang sangat aman dan juga aman untuk ibu hamil tidak ada
bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT . Pada ibu hamil yang
mendapatkan imunisasi TT tidak didapatkan perbedaan resiko cacat bawaan ataupun
abortus dengan mereka yang tidak mendapatkan imunisasi .

8. Penatalaksanaan Tetanus Neonaturum

1. Mengatasi kejang

     Kejang dapat diatasi dengan mengurangi rangsangan atau pemberian obat anti
kejang. Obat yang dapat dipakai adalah kombinasi fenobarbital dan largaktil.
Fenobarbital dapat diberikas mula-mula 30 – 60 mg parenteral kemudian dilanjutkan
per os dengan dosis maksimum 10 mg per hari. Largaktil dapat diberikan bersama
luminal, mula-mula 7,5 mg parenteral, kemudian diteruskan dengan dosis 6 x 2,5 mg
setiap hari. Kombinasi yang lain adalah luminal dan diazepam dengan dosis 0,5
mg/kg BB. Obat anti kejang yang lain adalah kloralhidrat yang diberikan lewat
rektum.
2. Pemberian antitoksin

     Untuk mengikat toksin yang masih bebas dapat diberi A.T.S (antitetanus serum)
dengan dosis 10.000 satuan setiap hari serlama 2 hari .

3. Pemberian antibiotika

     Untuk mengatasi inferksi dapat digunakan penisilin 200.000 satuan setiap hari dan
diteruskan sampai 3 hari panas turun.

4. Perawatan Tali pusat

     Tali pusat dibersihkan atau di kompres dengan alkohol 70 % atau betadin 10 %.

5. Memperhatikan jalan nafas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.

     Masalah yang perlu diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan pernafasan,
kebutuhan nutrisi/cairan dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai
penyakit.Gangguan pernafasan yang sering timbul adalah apnea, yang disebabkan
adanya tenospasmin yang menyerang otot-otot pernafasan sehingga otot tersebut
tidak berfungsi. Adanya spasme pada otot faring menyebabkan terkumpulnya liur di
dalam rongga mulut sehingga memudahkan terjadinya poneumonia aspirasi. Adanya
lendir di tenggorokan juga menghalangi kelancaran lalu lintas udara (pernafasan).
Pasien tetanus neonatorum setiap kejang selalu disertai sianosis terus-menerus.
Tindakan yang perlu dilakukan :

a. Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah
bahunya.

b. Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1 – 2 L/menit jika sedang terjadi
kejang, karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi dapat sampai 4
L/menit, jika kejang telah berhenti turunkan lagi).
c. Pada saat kejang, pasangkan sudut lidah untuk mencegah lidah jatuh ke belakang dan
memudahkan penghisapan lendirnya.

d. Sering hisap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas buatan pada
saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat pada mulut bayi.

e. Observasi tanda vital setiap ½ jam .

f. Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat.

g. Jika bayi menderita apnea :

a) Hisap lendirnya sampai bersih

b) O2 diberikan lebih besar (dapat sampai 4 L/ menit)

Letakkan bayi di atas tempat tidurnya/telapak tangan kiri penolong, tekan-tekan


bagian iktus jantung di tengah-tengah tulang dada dengan dua jari tangan kanan
dengan frekuensi 50 – 6 x/menit.

Bila belum berhasil cabutlah sudut lidahnya, lakukan pernafasan dengan menutup
mulut dan hidung bergantian secara ritmik dengan kecepatan 50 – 60 x/menit, bila
perlu diselingi tiupan.

6. Kebutuhan nutrisi/cairan

     Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadaan payah, untuk memenuhi kebutuhan
makananya perlu diberikan infus dengan cairan glukosa 10 %. Tetapi karena juga
sering sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 1,5 % dengan
perbadingan 4 : 1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian
makanan dapat diberikan melalui sonde dan selanjutnya sejalan dengan perbaikan
bayi dapat diubah memakai dot secara bertahap.

7. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit

     Kedua orang tua pasien yang bayinya menderita tetanus peru diberi penjelasan bahwa
bayinya menderita sakit berat, maka memerlukan tindakan dan pengobatan khusus,
kerberhasilan pengobatan ini tergantung dari daya tahan tubuh si bayi dan ada
tidaknya obat yang diperlukan hal ini mengingat untuk tetanus neonatorum
memerlukan alat/otot yang biasanya di RS tidak selalu tersedia dan harganya cukup
mahal (misalnya mikrodruip). Selain itu yang perlu dijelaskan ialah jika ibu kelak
hamil lagi agar meminta suntikan pencegahan tetanus di puskesmas, atau bidan, dan
minta pertolongan persalinan pada dokter, bidan atau dukun terlatih yang telah ikut
penataran Depkes. Kemudian perlu diberitahukan pula cara pearawatan tali pusat
yang baik.

I. Hipoglikemia

1. Pengertian Hipoglikemia

              Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara
abnormal rendah Istilah hepoglikemia digunakan bila kadar gula darah bayi secara
bermakna dibawah kadar rata-rata. Dikatakan hepoglikemia bila kadar glukosa darah
kurang dari 30 mg/dl pada semua neonatus tanpa menilai masa gestasi atau ada
tidaknya gejala hepoglikemia. Umumnya hepoglikemia terjadi pada neonatus umur 1
– 2 jam. Hal ini disebabkan oleh karena bayi tidak mendapatkan lagi glukosa dari ibu,
sedangkan insulin plasma masih tinggi dengan kadar glukosa darah yang menurun.

              Hipoglikemia (hypo+glic+emia) merupakan konsentrasi glukosa dalam darah


berkurangnya secara abnormal yang dapat menimbulkan gemetaran, keringat dan
sakit kepala apabila kronik dan berat,dapat menyebabkan manifestasisusunan saraf
pusat (KamusKedokteran Dorland:2000).

Hipoglikemia neonatorum adalah masalah pada bayi dengan kadarglukosa


darah kurang dari 40 -45mg/dl (Sudarti & Khoerunnisa,Endang : 2010)

Keadaan dimana bila kadar gula darah bayi di bawah kadar rata-rata bayi seusia
& berat badan aterm (2500 gr atau lebih)< 30mg/dl dlm 72 jam pertama, &< 40mg/dl
pada hari berikutnya.
Nilai kadar glukose darah/plasma atau serum untuk
diagnosis Hipoglikemia pada berbagai kelompok umur anak :

Kelompok Umur Glokuse <mg/dl Darah Plasma/serum


Bayi/anak <40 mg/100 ml <45 mg/100 ml
Neonatus
* BBLR/KMK <20 mg/100 ml <25 mg/100 ml
* BCB
0 - 3 hr <30 mg/100 ml <35 mg/100 ml
3 hr <40 mg/100 ml <45 mg/100 ml

     Hipoglikemia pada neonates :

a.    Untuk setiap neonatus manapun, kadar glukosa <40-45mg/dL dianggap tidak normal
b.    Menurut WHO hipoglikemi adalah bila kadar glukosa/gula darah <47 mg/dL
c.    Gejala sering tidak jelas/asimptomatik, semua tenaga kesehatan perlu mewaspadai
kemungkinan adanya hipoglikemia
d.   Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat mencegah konsekuensi yang serius

2.  Frekuensi Hipoglikemia

              Di Indonesia masih belum ada data, secara umum insidens hipoglikemia pada
bayi baru lahir berkisar antara 1-5 per 1000 kelahiran hidup. Pada bayi yang lahir dari
ibu diabetes 8%-25%, pada bayi preterm 15% ,secara umum pada bayi risiko tinggi
30% terjadi hipoglikemia.

              Frekuensi hipoglikemia pada bayi/neonates belum diketahui pasti.Namun di


amerika dilaporkan sekitar 14.000 bayi menderita hipoglikemia. Gutberlet dan
Cornblath melaporkan frekuensi hipoglikemia 4,4 per 1000 BBLR. Hanya 200-240
penderita hipoglikemia persisten maupun intermitten setiap tahunnya yang masuk
rumah sakit.Angka ini berdasarkan observasi bahwa penderita hipoglikemia
berjumlah 23 per 1000 anak yang masuk rumah sakit, sedangkan anak yang dirawat
berjumlah 80.000 pertahun.

3.  Etiologi Hipoglikemia

                 Hipoglikemia dapat disebabkan oleh berbagai kelainan mekanisme control
pada metabolism glucose, antara lain : inborn erors of metabolism, perubahan
keseimbangan endokrin dan pengaruh obat-obatan maupun toksin.

               Hipoglikemia biasanya terjadi jika seorang bayi pada saat dilahirkan memiliki
cadangan glukosa yang rendah (yang disimpan dalam bentuk glikogen).Penyebab
lainnya adalah: 

1.  Prematuritas

2.  Post-maturitas

3.  Kelainan fungsi plasenta (ari-ari) selama bayi berada dalam kandungan.

              Hipoglikemia juga bisa terjadi pada bayi yang memiliki kadar insulin
tinggi.Bayi yang ibunya menderita diabetes seringkali memiliki kadar insulin yang
tinggi karena ibunya memiliki kadar gula darah yang tinggi; sejumlah besar gula
darah ini melewati plasenta dan sampai ke janin selama masa kehamilan. Akibatnya,
janin menghasilkan sejumlah besar insulin.Peningkatan kadar insulin juga ditemukan
pada bayi yang menderita penyakit hemolitik berat.

              Kadar insulin yang tinggi menyebabkan kadar gula darah menurun dengan
cepat pada jam-jam pertama kehidupan bayi setelah dilahirkan, dimana aliran gula
dari plasenta secara tiba-tiba terhenti.

Hipoglikemia pada neonates biasa disebabkan oleh penyebab-penyebab di atas,


namun bila hipoglikemia neonates tadi berulang/menetap, dapat dipikirkan penyebab
sebagai berikut :

1)  Hormon Excess-hyperinsulinsm


a.  Exomphalos, macroglossia, gigantism syndrome of beckwith wiedemann

b.  “infant giants”

c.  Kelainan patologik sel beta

2)  Defisiensi hormonal aplasia atau hypoplasia kelenjar hipofise dengan defisiensi
hormone multipel

3)  Defek metabolism karbohidrat heriditer

4)  Defek metabolism asam amino herediter

                 Factor resiko :

1.  Hipoglikemi sering terjadi pada berat lahir rendah (BBLR), karena cadangan glukosa
rendah.

2.  Bayi yang besar untuk masa kehamilan (BMK), makrosomia. Bayi BMK biasanya
lahir dari ibu dengan toleransi glukosa yang abnormal.

3.  Bayi premature atau lebih bulan.

4.  BBLR yang KMK/bayi kembar dapat terjadi penurunan cadangan glikogen hati dan
lemak tubuh.

5. Bayi sakit berat karena meningkatnya kebutuhan metabolism yang melebihi cadangan
kalori

6. Neonates yang sakit atau stress (sindrom gawat nafas,hipotermi)

7. Bayi dengan polisemia

8.  Bayi yang dipuasakn

9.  Bayi dengan kelainan genetic/gangguan metabolic (penyakit cadangan glycogen,


intoleransi glukosa).

10. Obat-obat maternal misalnya steroid, beta simpatomimetik dan beta blocker.


11. Pada ibu diabetes mellitus (DM) terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin
sehingga respons insulin juga meningkat pada janin.

4.  Manifestasi Klinis Hipoglikemia

   Hipoglikemia walaupun jarang pada anak, tapi sering pada bayi. Dan
merupakan problem bagi dokter anak maupun tenaga kesehatan yang lain karena :

Pertama, gejalanya samar-samar dan tidak spesifik, maka untuk membuat diagnosis
tergantung pada indeks kepekaan yang tinggi.

Kedua, mekanisme yang menyebabkan hipoglikemia sangat banyak dan kompleks.

   Pada bayi, yang berusia lebih darri 2 bulan, anak dan dewasa penurunan gula
darah kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dapt menimbulkan rasa lapar dan
merangsang pelepasan epinefrin yang berlebihan sehingga menyebabkan lemah,
elisah, keringat dingin, gemetar dan takikardi.

   Gejala hipoglikemia dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok besar, yaitu :


berasal dari system syaraf autonomy dan berhubungan dengan kurangnya suplay
glukosa pada otak (neuroglikopenia). Gejala akibat dari system syaraf autonomy
adalam berkeringat,gemetar, gelisah dan nausea. Akibat neuroglikopenia adalah
pening, bingung, rasa lelah, sulit bicara, sakit kepala dan tidak dapat
konsentrasi.Kadang disertai rasa lapar, pandangan kabur, mengantuk dan lemah.Pada
neonates tidak spesifik, antara lain tremor, peka rangsang, apnea dan sianosis,
hipotonia, iritabel, sulit minum, kejang, koma, tangisan nada tinggi, nafas cepat dan
pucat.Namun hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang tidak hipoglikemia, missal
kelainan bawaan pada susunan syaraf pusat, cedera lahir, mikrosefali, perdarahan dan
kernicterus. Demikian juga dapat terjadi akibat hipoglikemia yang berhubungan
dengan sepsis, penyakit jantung, distress respirasi, asfiksia, anomaly kongenital
multiple atau defisiensi endokrin. Kadang hipoglikemia juga asimptomatik, misalnya
pada “glycogen storage disease type I”.
1)  Neonatus

              Hipoglikemia simtomatik pada neonates cenderung terjadi selama 6-12 jam
kehidupan. Sering menyertai penyakit-penyakit seperti : distress perinatal, terlambat
pemberian ASI dan bayi dari ibu DM. Tidak ada perbedaan dalam hal jenis kelamin.
Juga termasuk dalam golongan ini ialah bayi dari ibu DM insulin (IDM) dan ibu
menderita DM kehamilan (IGDM). Meskipun banyak 50% dari IDM dan 25% IGDM
mempunyai kadar glucose <30 mg/dl selama 2-6 jam kehidupan, kebanyakan tidak
memperlihatkan akibat/ tanda-tanda dari hipoglikemianya. Umumnya sembuh
spontan, tetapi sebagian kecil (10%-20%) kadar gula tetap rendah. Beberapa di
antaranya menunjukkan respons yang baik terhadap suntikan glucagon 300
mikrogram atau 0,3 mg/kgBB IM, tidak lebih 1 mg totalnya.

              Hipoglikemia neonates simtomatik gejalanya tidak khas, misalnya : apati,


anoreksia, hipotoni, apneu, sianosis, pernapasan tidak teratur, kesadaran menurun,
tremor, kejang tonik/klonik, menangis tidak normal dan cengeng. Kebanyakan gejala
pertama timbul sesudah 24 - 48 jam kehidupan.

2)  Bayi/Anak

              Gejala-gejala dapat berupa : sakit kepala, nausea, cemas, lapar, gerakan motoric
tidak terkoordinasi, pucat, penglihatan berkunang-kunang, ketidakpedulian, cengeng,
ataksia, strabismus, kejang, malas/lemah, tidak ada perhatian dan gangguan tingkah
laku.

              Hipoglikemia bisa disertai atau tidak dengan banyak keringat dan
takikardi.Serangan ulang gejala-gejala tadi dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu
setiap hari, sehingga kita harus waspada terhadap kemungkinan
hipoglikemia.Pemeriksaan glucose darah pada saat timbulnya gejala sangat penting.

              Kasus bisa menunjukan gejala ataupun tidak. Kecurigaan tinggi harus selalu
diterapkan dan selalu antisipasi hipoglikemia pada neonatus dengan faktor risiko,
gejala yang seringkali muncul :
a.  Tremor

b.  Sianosis

c.  Apatis

d.  Kejang

e.   Apnea intermitten

f.   Tangisan lemah/melengking

g.  Letargi

h.  Kesulitan minum

i.   Gerakan mata berputar/nistagmus

j.   Keringat dingin

k.  Pucat

l.   Hipotermi

m. Refleks hisap kurang

n.  Muntah

5.  Patofisilogi Hipoglikemia

Batasan dikatakan neonates mengalami hipoglikemia:

1.  Timbul bila kadar glukosa serum lebih rendah daripada kisaran bayi normal sesuai
usia pasca lahir

2.  Bayi atterm BB 2500 gr : gula darah <30 mg/dl : 72 jam, selanjutnya 40mg/dl

3.  BBLR : GD <25 mg/dl

Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada karena
meningkatkan penggunaan cadangan glukosa, misalnya pada asfiksia, hipotermi,
gangguan pernafasan.Misalnya ibu hamil dengan hipertensi. Setelah kelahiran, bayi
mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi dan memerlukan energi yang lebih
besar dibandingkan bayi lain.

Pada asfiksia, akan terjadi metabolisme anaerob yang banyak sekali memakai
persediaan glukosa. Pada metabolisme anaerob, 1 gram glukosa hanya menghasilkan
2 ATP, sedang pada keadaan normal 1 gram glukosa bisa menghasilkan 38 ATP.

6. Diagnosis Hipoglikemia

   Untuk mencegah abnormalitas perkembangan syaraf, identifikasi dan


pengobatan tepat waktu untuk hipoglikemia adalah sangat penting.Pemantauan
glukosa di tempat tidur adalah tindakan tepat untuk penapisan dan deteksi
awal.Hipoglikemia harus dikonfirmasi oleh nilai serum dari laboratorium jika
memungkinkan, dan juga dengan anamnesis, antara lain :

a.    Riwayat bayi  menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan


b.    Riwayat bayi prematur
c.    Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
d.   Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
e.    Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
f.     Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan
g.    Bayi yang beresiko terkena hipoglikemia

-   Bayi dari ibu diabetes (IDM)

-   Bayi yang besar untuk masa kehamilan (LGA)

-   Bayi yang kecil untuk masa kehamilan (SGA)

-   Bayi prematur dan lewat bulan

-   Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia)

-   Bayi puasa

-   Bayi dengan polisitemia


-   Bayi dengan eritroblastosis

-   Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya sterorid, beta-simpatomimetik dan beta


blocker

   Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia secara benar harus dipenuhi trias


whipple’s yaitu :

a.  Manifestasi  klinis yang khas

b.  Kejadian ini harus bersamaan dengan rendahnya kadar glukosa plasma yang diukur
secara akurat dengan metode yang peka dan tepat

c.  Gejala klinis menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah
normoglikemia.

   Bila ketiganya dipenuhi maka diagnosis klinis hipoglikemia dapat ditetapkan.


Berdasar pada klinis, hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
yang lain untuk menetapkan etiologi.

1) Pemeriksaan laboratorium :

a.  Kadar glukosa serum

      Diperiksa dengan dextrostix pada saat persalinan dan pada usia ½, 1, 2, 4, 8, 12,
24, 36, dan 48 jam
      Pengukuran <45 mg/dL dengan dextrostix harus diverifikasi oleh pengukuran
serum glukosa

b.  Kadar serum kalsium

      Pada usia 6, 24 dan 48 jam


      Jika kadar serum kalsium rendah, kadar serum magnesium harus diukur

c.  Hematokrit

     Pada saat lahir dan pada usia 24 jam


d.  Kadar serum bilirubin

     Sesuai indikasi pemeriksaan fisis

e.  Tes lain

      Kadar gas darah arteri


      Hitungan sel darah lengkap (CBC), kultur dan pewarnaan gram dilakukan sesuai
indikasi klinis

2.  Pemeriksaan radiologi

     Tidak diperlukan kecuali ada bukti masalah jantung, pernafasan atau kerangka

3.  Electrocardiography dan echocardiography

     Jika dicurigai adanya hypertropic cardiomyopathy atau malformasi jantung

7. Penatalaksanaan Hipoglikemia

1) Memantau kadar glukosa darah

     Semua neonatus berisiko tinggi harus ditapis :

a.  Pada saat lahir

b.  30 menit setelah lahir

c.  Kemudian setiap 2-4 jam selama 48 jam atau sampai pemberian minum berjalan baik
dan kadar glukosa normal tercapai

2)  Pencegahan hipoglikemia

a.  Menghindari faktor resiko yang dapat dicegah, contohnya hipotermia

b.  Pemberian makan enteral merupakan tindakan preventif tunggal paling penting

c.  Jika bayi tidak mungkin menyusui, mulailah pemberian minum dengan menggunakan
sonde dalam waktu 1-3 jam setelah lahir
d.  Neonatus yang berisiko tinggi harus dipantau nilai glukosanya sampai asupannya
penuh dan 3x pengukuran normal sebelum pemberian minum berada diatas 45 mg/dL

e.  Jika ini gagal, terapi intravena dengan glukosa 10% harus dimulai dan kadar glukosa
dipantau

3) Perawatan hipoglikemia

a. Koreksi segera dengan bolus 200 mg/kg dengan dekstrosa 10% = 2 cc/kg dan
diberikan melalui intravena selama 5 menit dan diulang sesuai keperluan

b.  Infus tak terputus (continual) glukosa 10% dengan kecepatan 6-8 mg/kg/menit harus
dimulai

c.  Kecepatan infus glukosa (GIR) dihitung menurut formula berikut :

     GIR (mg/kg/min) = kecepatan cairan (cc/jam) x konsenterasi dextrose(%)

                                                                     6x berat (Kg) e

d.  Pemantauan glukosa ditempat tidur (bed sid) secara sering diperlukan untuk
memastikan bahwa neonatus mendapatkan glukosa yang memadai

e.  Ketika pemberian makan telah dapat ditoleransi dan nilai pemantauan glukosa di
tempat tidur (bed side) sudah normal maka infus dapat diturunkan secara bertahap.
Tindakan ini mungkin memerlukan waktu 24-48 jam atau lebih untuk menghindari
kambuhnya hipoglikemia

5)  Hipoglikemia refraktori

     Kebutuhan glukosa >12 mg/kg/menit menunjukan adanya hiperinsulinisme. Keadaan


ini dapat diperbaiki dengan :

a.  Hidrokortison 5 mg/kg IV atau IM setiap 12 jam

b.  Glukagon 200 ug IV (segera atau infus berkesinambungan 10 ug/kg/jam)


c.  Diazoxide 10 mg/kg/hari setiap 8 jam menghambat sekresi insulin pancreas

PENYAKIT YANG DI DERITA IBU SELAMA HAMIL

1. Hipertensi Dalam Kehamilan


a. Hipertensi esensial
 Adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan ini termasuk
juga hipertensi ringan.
Gejalanya : Biasanya tidak terasa ada keluhan dan pusing atau berat ditekuk
kepala.
1) Tekanan darah sistolenya antara 140-160 mmhg  
2) Tekanan darah diastolenya antara 90-100 mmhg
3) Tekanan darahnya sukar diturunkan

Penanganannya : Memantau tekanan darah apabila diketahui tinggi dan


mengurangi segala sesuatu yang bisa menyebabkan tekanan darah naik
seperti : gaya hidup, diet dan psikologis.
b. Hipertensi Karena Kehamilan
Adalah hipertensi yang disebabkan atau muncul selama kahamilan
1) Terjadi pertama kali sesudah kehamilan 20 minggu, selama  persalinan dan 48
jam pasca persalinan.
2) Lebih sering pada primigravida
3) Risiko meningkat pada :
a) Masa plasenta besar (gamelli, penyakit trofoblas)  
b) Diabetes mellitus
c) Faktor herediter
d) Masalah vaskuker
4) Ditemukan tanpa protein dan oedema, tekanan darah meningkat.
5) Kenaikan tekanan diastolik 15 mmhg atau > 90 mmhg dalam  pengukuran
berjarak 1 jam atau tekanan diastolik sampai 110 mmhg.
Penanganan :
a) Pantau tekanan darah, proteinuria, reflek dan kondisi janin
b) Jika tekanan darah meningkat tangani sebagai preeklampsia
c) Jika kondisi janin memburuk atau terjadi pertumbuhan janin terhambat,
rawat dan pertimbangan terminasi kehamilan.
c. Preeklampsia
Adalah bila ditemukannya hipertensi yang ditambah dengan
proteinuria dan oedema. Proteinuria adalah tanda yang penting pada
preeklampsia, tidak adanya tanda ini akan membuat diagnosa  preeklampsia
dipertanyakan. Proteinuria jika kadarnya lebih dari 300 mg dalam urine 24
jam atau lebih dari 100 mg dalam urin 6 jam.
Ibu hamil mana pun dapat mengalami preeklampsia. Tapi,umumnya
ada beberapa ibu hamil yang lebih berisiko, yaitu :
1) Ibu hamil untuk pertama kali
2) Ibu dengan kehamilan bayi kembar
3) Ibu yang menderita diabetes
4) Memiliki hipertensi sebelum hamil
5) Ibu yang memiliki masalah dengan ginjal
6) Hamil pertama di bawah usia 20 tahun atau di atas 35 tahun.
7) Ibu yang pernah mengalami preeklampsia pada kehamilan
sebelumnya akan ada kemungkinan berulang pada kehamilan
berikutnya
Sayangnya penyebab preeklampsia sampai saat ini masih
merupakan misteri. Tak bisa diketahui dengan pasti, walaupun
penelitian yang dilakukan terhadap penyakit ini sudah sedemikian
maju. Yang jelas, preeklampsia merupakan salah satu penyebab
kematian pada ibu hamil, di samping infeksi dan perdarahan.
Gejala Yang Muncul :
1) Kondisi preeklampsia sangat kompleks dan sangat besar  pengaruhnya pada
ibu maupun janin. Gejalanya dapat dikenali melalui pemeriksaan kehamilan
yang rutin. Kendati tak jarang si ibu merasa dirinya sehat-sehat saja.
2) Adanya preeklampsia bisa diketahui dengan pasti, setelah pada  pemeriksaan
didapatkan hipertensi, bengkak, dan protein dalam urin
3) Preeklampsia biasanya muncul pada trimester ketiga kehamilan. Tapi bisa
juga muncul pada trimester kedua. Bentuk nonkompulsif dari gangguan ini
terjadi pada sekitar 7 % kehamilan. Gangguan ini bisa terjadi sangat ringan
atau parah.
Aspek Klinik Dari Preeklampsia :
1) Gambaran klinik : Dua gejala yang sangat penting preeklampsia adalah
hipertensi dan proteinuria
2) Tekanan darah : Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme
arteriol, peningkatan tekanan darah adalah tanda  peringatan awal dari
preeklampsia. Tekanan diastolik lebih  bermakna dari pada tekanan sistolik,
tekanan diastolik sebesar 90 mmhg atau lebih yang menetap menunjukkan
keadaan abnormal.
3) Kenaikan Berat Badan : Peningkatan berat badan yang tiba-tiba dapat
mendahului serangan preeklampsia, peningkatan BB lebih dari 1 kg
perminggu atau 3kg perbulan kemungkinan terjadinya  preeklampsia.
4) Proteinuria : Merupakan indikator penting untuk menentukan  beratnya
preeklampsia
5) Nyeri kepala : Sering didaerah frontal dan kadang-kadang oksipital yang tidak
sembuh dengan analgetik biasa
6) Nyeri epigastrium : Sering merupakan gejala preeklampsia berat
7) Gangguan penglihatan : Disebabkan vasospasme, iskemia dan  perdarahan
petekie pada korteks oksipital atau spasme arteriol.

Perbedaan preeklampsia ringan dan preeklampsia berat


1) Preeklampsia ringan
a) Kenaikan tekanan diastolik 15 mmhg atau > 90 mmhg dalam 2
pengukuran berjarak 1 jam atau tekanan diastolik sampai 110 mmhg
b) Proteinuria (+) 2)
2) Preeklampsia berat
a) Tekanan diastolik > 110 mmhg
b) Proteinuria (++)
c) Oliguria
d) Hiperrefleksia
e) Gangguan penglihatan
f) Nyeri epigastrium
d. Penanganan Preeklampsia Ringan
Jika kehamilan < 37 minggu dan tidak ada tanda-tanda perbaikan
lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan :
1) Pantau tekanan darah, proteinuria, refleks, dan kondisi janin.
2) Lebih banyak istirahat
3) Diet biasa
4) Tidak perlu diberi obat-obatan
5) Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat dirumah sakit :
a) Diet biasa  
b) Pantau tekanan darah 2 x sehari, proteiuria 1x sehari
c) Tidak perlu obat-obatan
d) Tidak perlu diuretik, kecuali jika terdapat oedema paru, dekompensasi
kordis atau gagal ginjal akut
e) Jika tekanan diastolik turun sampai normal pasien dapat dipulangkan
f) Nasehatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda  preeclampsia
g) Kontrol 2 kali seminggu
h) Jika tekanan diastolik naik lagi rawat kembali
i) Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan tetap dirawat  
j) Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat  pertimbangan
terminasi kembali
k) Jika protein meningkat tangani sebagai preeklampsia berat

Jika kehamilan > 37 minggu, pertimbangkan terminasi

e. Penanganan Preeklampsia Berat


1) Penanganan aktif
Adalah kehamilan diakhiri atau diterminasi bersamaan dengan
pemberian obat kejang (sama dengan pengobatan kejang pada eklampsia).
Penderita harus segera dirawat dan sebaiknya dirawat diruangan khusus di
daerah kamar bersalin, tidak diperlukan ruangan yang gelap tetapi rungan
dengan penerangan yang cukup. Penderita yang ditangani dengan aktif bila
didapatkan satu atau lebih keadaan yaitu :
a) Ibu dengan kehamilan 35 minggu atau lebih  
b) Adanya tanda-tanda impending eklampsia
c) Adanya syndrome HELLP (haemolysis elevated liver enzymes and low
platelet) atau kegagalan penanganan konservatif
d) Adanya gawat janin atau IUGR
2) Penanganan konservatif
Adalah kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan  pemberian
pengobatan kejang (sama dengan penanganan kejang  pada eklampsia). Pada
kehamilan < 35 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsia
dengan keadaan janin baik dilakukan  penanganan secara konservatif.
f. Eklampsia
 Eklampsia didiagnosa jika kejang yang timbul dari hipertensi yang
diinduksi dengan kehamilan atau hipertensi yang diperberat dengan
kehamilan.

Tanda dan Gejala :


Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya  preeklampsia dan
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala dibagian frontal, gangguan penglihatan,
mual, nyeri epigastrium dan hiperrefleksia.
1) Penyebab kematian ibu: Perdarahan otak, dekompensasi kordis dan edema
paru
2) Penanganan Eklampsia : Tujuannya untuk menghentikan dan mencegah
kejang, mencegah dan mengatasi timbulnya penyulit khususnya krisis
hipertensi sebagai penunjang untuk stabilisasi keadaan ibu seoptimal
mungkin.
3) Sikap obstetrik  : Mengakhiri kehamilan dengan trauma seminimal
mungkin untuk ibu

Penanganan kejang :
1) Beri obat antikonvulsan
2) Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, sedotan, masker
oksigen, oksigen).
3) Lindungi pasien dari kemungkinan trauma.
4) Aspirasi mulut dan tenggorokan.
5) Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi trendelenburg untuk
mengurangi resiko aspirasi.
6) Beri O2 4-6 liter/ menit

Akibat Hipertensi dalam Kehamilan Pada Janin 1)


1) Janin yang dikandung ibu hamil pengidap preeklampsia akan hidup dalam
rahim dengan nutrisi dan oksigen di bawah normal. Keadaan ini bisa terjadi
karena pembuluh darah yang menyalurkan darah ke plasenta menyempit.
2) Karena buruknya nutrisi, pertumbuhan janin akan terhambat sehingga terjadi
bayi dengan berat lahir yang rendah. Bisa juga  janin dilahirkan kurang bulan
(prematur), biru saat dilahirkan (asfiksia), dan sebagainya.
3) Pada kasus preeklampsia yang berat, janin harus segera dilahirkan  jika sudah
menunjukkan kegawatan. Ini biasanya dilakukan untuk menyelamatkan
nyawa ibu tanpa melihat apakah janin sudah dapat hidup di luar rahim atau
tidak. Tapi, adakalanya keduanya tak bisa ditolong lagi.
4) Dokter tak akan membiarkan penyakit ini berkembang makin  parah. Bila
perlu, tanpa melihat usia kehamilan, persalinan dapat dianjurkan atau
kehamilan dapat diakhiri. Tergantung keadaan,  persalinan dilakukan dengan
induksi atau bedah caesar.

2. Anemia Dalam Kehamilan


a. Pengertian
Anemia ialah suatu keadaan yang menggambarkan kadar
hemoglobin atau jumlah eritrosit dalam darah kurang dari nilai standar
(normal).

Ukuran haemoglobin normal :


1) Laki-laki sehat mempunyai Hb: 14 gram - 18 gram
2) Wanita sehat mempunyai Hb: 12 gram- 16 gram

Tingkat pada anemia :


1) Kadar Hb 8 gram - 10 gram disebut anemia ringan
2) Kadar Hb 5 gram - 8 gram disebut anemia sedang
3) Kadar Hb kurang dari 5 gram disebut anemia berat
Pada kehamilan jumlah darah bertambah banyak, yang disebut
hidremia dan hipervolemia pertambahan dari sel-sel darah kurang,  bila
dibanding dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi  pengenceran
darah. Pertambahan tersebut berbanding sebagia berikut: Plasma 30 %, sel
darah 18% dan haemoglobin 19%.
Proses bertambahnya jumlah darah dalam kehamilan sudah mulai
sejak kehamilan umur 10 minggu dan mencapai puncaknya dalam
kehamilan antara 32-36 minggu.
Seorang wanita hamil yang memiliki Hb < 11gr% dapat disebut
penderia anemia dalam kehamilan. Pemeriksaan hemoglobin harus
menjadi pemeriksaan darah rutin selama pengawasan antenatal. Sebaiknya
pemeriksaan dilakukan setiap 3 bulan atau paling sedikit 1 kali pada
pemeriksaan pertama pada triwulan pertama dan sekali lagi  pada triwulan
akhir

b. Pengaruh Anemia terhadap Kehamilan, Persalinan dan Nifas


1) Keguguran
2) Partus prematurus
3) Partus lama karena inersia uteri
4) Perdarahan post partum karena atonia uteri
5) Syok
6) Infeksi, baik intrapartum maupun postpartum
7) Anemia yang sangat berat adalah Hb dibawah 4 gr% terjadi payah
jantung, yang bukan saja menyulitkan kehamilan dan persalinan,
bahkan bisa fatal
c. Pengaruh Anemia Terhadap Hasil Konsepsi :
Hasil konsepsi (janin, placenta, darah) membutuhkan zat besi
dalam jumlah untuk pembuatan butir-butir darah merah besar dan
pertumbuhannya, yaitu sebanyak berat besi. Jumlah ini merupakan 1/10
dari seluruh besi dalam tubuh. Terjadinya anemia dalam kehamilan
bergantung dari jumlah persediaan zat besi dalam hati, limpa, dan sum-
sum tulang. Selama masih mempunyai cukup  persediaan zat besi, Hb
tidak akan turun dan bila persediaan ini habis, Hb akan turun. Ini terjadi
pada bulan ke 5-6 kehamilan, pada waktu  janin membutuhkan zat besi.
Bila terjadi anemia, pengaruhnya terhadap konsepsi ádalah :
1) Kematian mudigah (Keguguran)  
2) IUFD
3) Prematuritas
4) Kematian janin waktu lahir (stillbirth)
5) Dapat terjadi cacat-bawaan

Klasifikasi Anemia Dalam Kehamilan


1) Anemia defisiensi besi (62,3%) Anemia dalam kehamilan yang paling
sering dijumpai adalah anemia akibat kekurangan besi. Kekurangan ini
dapat disebabkan karena kurangnya masukan unsur besi dalam
makanan karena gangguan resorpsi, gangguan penggunaan atau karena
terlampau  banyaknya besi keluar dari badan, misalnya karena
perdarahan. Kebutuhan zat besi bertambah dalam kehamilan, terutama
dalam trimester terakhir. Apabila masuknya zat besi tidak ditambah,
maka akan mudah terjadi anemia defisiensi besi, lebih-lebih pada
kehamilan kembar

Pencegahan :
Didaerah-daerah dengan frekuensi kehamilan yang tinggi sebaiknya
wanita hamil diberi sulfasferosus cukup 1 tablet sehari. Selain itu
wanita dinasehatkan pula untuk makan lebih banyak  protein dan
sayur- sayur yang banyak mengandung mineral dan vitamin 2)
2) Anemia megaloblastik (29,0%) Biasanya berbentuk makrositik atau
pernisiosa. Terjadi akibat kekurangan asam folat, jarang sekali akibat
karena kekurangan Vitamin B12. Biasanya karena malnutrisi dan
infeksi yang kronik.

Penanganan :
a) Pemberian asam folat, biasanya bersamaan dengan pemberian
Sulfas ferosus
b) Diet makanan yang bergizi (tinggi kalori dan protein) Ditemukan
pada wanita yang tidak mengkonsumsi sayuran segar atau
kandungan protein tinggi 3)

3) Anemia hipoplastik (8,0%) Disebabkan oleh hipofungsi sumsum


tulang, membentuk sel-sel darah merah baru. Untuk diagnosis
diperlukan  pemeriksaan-pemeriksaan darah tepi lengkap, pemeriksaan
pungsi sternal, pemeriksaan retikulosit, dan lain-lain.
Terapi dengan obat-obatan tidak memuaskan, mungkin
pengobatan yang paling baik yaitu tranfusi darah, yang perlu sering
diulang.

4) Anemia hemolitik (sel sickle) (0,7%)


Disebabkan penghancuran / pemecahan sel darah merah yang
langsung cepat dari pembuatannya. Misalnya disebabkan karena
malaria, racun ular.
Wanita dengan anemia hemolitik sukar menjadi hamil. Apabila
ia hamil maka anemianya biasanya menjadi lebih berat. Sebaliknya
mungkin pula bahwa kehamilan menyebabkan krisis hemolitik pada
wanita yang sebelumnya tidak menderita anemia.
Gejala utama adalah anemia dengan kelainan-kelainan
gambaran darah, kelelahan, kelemahan, serta gejala komplikasi  bila
terjadi kelainan pada organ-organ vital.
Pengobatan bergantung pada jenis anemia hemolitik serta
penyebabnya, bila disebabkan oleh infeksi maka infeksinya diberantas
dan diberikan obat-obatan penambah darah. Namun,  pada beberapa
jenis obat-obatan, hal ini memberi hasil. Maka darah berulang dapat
membantu penderita ini.

3. Penyakit Jantung
Kehamilan dan penyakit jantung akan saling mempengaruhi pada
individu yang bersangkutan. Kehamilan akan memberatkan penyakit  jantung.
Sebaliknya, penyakit jantung akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembanganjanin dalam kandungan, lain halnya pada kehamilan dengan
jantung yang normal. Tubuh dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan
sistem jantung dan pembuluh darah. Jika seorang wanita hamil mengidap
penyakit jantung akan terjadi perubahan-perubahan berikut:
a. Meningkatnya volume jantung, yang dimulai sejak kehamilan 8 minggu
dan mencapai puncaknya pada kehamilan 32 minggu, lain menetap.
Kondisi ini bertujuan untuk mencukupi kebutuhan tubuh ibu dan janin
yang dikandungnya.
b. Jantung dan diafragma (sekat rongga dada) terdorong ke atas karena
pembesaran rahim.
Dengan demikian. cukup jelas bahwa kehamilan dapat memperberat
penyakit jantung. Kemungkinan timbulnya payah jantung (dekompensasi
cordis) pun dapat terjadi. Keluhan-keluhan yang sering muncul adalah:
1) Cepat merasa lelah
2) Jantung berdebar-debar
3) Sesak napas, kadang-kadang disertai kebiruan di sekitar mulut (sionosis)
4) Bengkak pada tungkai atau terasa berat pada kehamilan muda.

Klasifikasi penyakit jantung dalam kehamilan :


1) Kelas I
a) Tanpa pembatasan kegiatan fisik
b) Tanpa gejala penyakit jantung pada kegiatan biasa  
2) Kelas II
a) Sedikit pembatasan kegiatan fisik
b) Saat istirahat tidak ada keluhan
c) Pada kegiatan fisik biasa timbul gejala isufisiensi jantung seperti:
kelelahan, jantung berdebar (palpitasi cordis), sesak nafas atau angina
pectoris
3) Kelas III
a) Banyak pembatasan dalam kegiatan fisik
b) Saat istirahat tidak ada keluhan
c) Pada aktifitas fisik ringan sudah menimbulkan gejala-gejala
insufisiensi jantung d)
4) Kelas IV
Tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun

Komplikasi :
Komplikasi pada ibu dapat terjadi : gagal jantung kongestif, edema
paru, kematian, abortus. Komplikasi pada janin dapat terjadi : prematuritas,
BBLR, hipoksia, gawat  janin, APGAR score rendah, pertumbuhan janin
terhambat.
Penatalaksanaan :
Sebaiknya dilakukan dalam kerjasama dengan ahli penyakit dalam
atau ahli  jantung. Secara garis besar penatalksanaan mencakup mengurangi
beban kerja jantung dengan tirah baring, menurunkan preload dengan
deuretik, meningkatkan kontraktilitas jantung dengan digitalis, dan
menurunkan after load dengan vasodilator.
Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan klasifikasinya yaitu :
1) Kelas I :
Tidak memerlukan pengobatan tambahan  
2) Kelas II :
Umumnya tidak memerlukan pengobatan tambahan, hanya harus
menghindari aktifitas yang berlebihan, terutama pada UK 28-32
minggu. Pasien dirawat bila keadaan memburuk. Kedua kelas ini dapat
meneruskan kehamilan sampai cukup bulan dan melahirkan
pervaginam, namun harus diawasi dengan ketat. Pasien harus tidur
malam cukup 8-10 jam, istirahat baring minimal setengah jam setelah
makan, membatasi masuknya cairan (75 mll/jam) diet tinggi protein,
rendah garam dan membatasi kegiatan. Lakukan ANC dua minggu
sekali dan seminggu sekali setelah 36 minggu. Rawat pasien di RS
sejak 1 minggun sebelum waktu kelahiran.
3) Kelas III
Dirawat di RS selam hamil terutama pada UK 28 minggu dapat
diberikan diuretic
5) Kelas IV :
Harus dirawat di RS. Kedua kelas ini tidak boleh hamil karena resiko
terlalu berat. Pertimbangkan abortus terapeutik pada kehamilan kurang
dari 12 minggu. Jika kehamilan dipertahankan pasien harus terus
berbaring selama hamil dan nifas. Bila terjadi gagal jantung mutlak harus
dirawat dan  berbaring terus sampai anak lahir. Dengan tirah baring,
digitalis, dan diuretic biasanya gejala gagal jantung akan cepat hilang.

4. DM
Diabetes mellitus pada kehamilan adalah intoleransi karbohidrat
ringan (toleransi glukosa terganggu) maupun berat (DM), terjadi atau
diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung. Definisi ini mencakup
pasien yang sudah mengidap DM (tetapi belum terdeteksi) yang baru
diketahui saat kehamilan ini dan yang benar-benar menderita DM akibat
hamil.
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan
karbohidrat yang menunjang pemasokan makanan bagi janin serta  persiapan
untuk menyusui. Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui  plasenta
kepada janin sehingga kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar
darah ibu. Insulin ibu tidak dapat mencapai janin sehingga kadar gula ibu
yang mempengaruhi kadar pada janin. Pengendalian kadar gula terutama
dipengaruhi oleh insulin, disamping  beberapa hormon lain : estrogen, steroid
dan plasenta laktogen. Akibat lambatnya resopsi makanan maka terjadi
hiperglikemi yang relatif lama dan ini menuntut kebutuhan insulin.
a. Diagnosis :
Deteksi dini sangat diperlukan agar penderita DM dapat dikelola
sebaik- baiknya. Terutama dilakukan pada ibu dengan factor resiko berupa
beberapa kali keguguran, riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab,
riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan, melahirkan bayi lebih dari
4000 gr, riwayat PE dan polyhidramnion. Juga terdapat riwayat ibu : umur ibu
> 30 tahun, riwayat DM dalam keluarga, riwayat DM pada kehamilan
sebelumnya, obesitas, riwayat BBL > 4500 gr dan infeksi saluran kemih
berulang selama hamil.
b. Klasifikasi :
1) Tidak tergantung insulin (TTI), Non Insulin Dependent diabetes mellitus
(NIDDN) yaitu kasus yang tidak memerlukan insulin dalam  pengendalian
kadar gula darah.
2) Tergantung insulin (TI), Insulin dependent Diabetes Melitus yaitu kasus
yan memerlukan insulin dalam mengembalikan kadar gula darah.

c. Komplikasi :
1) Komplikasi maternal : infeksi saluran kemih, hydramnion, hipertensi
kronik, PE, kematian ibu.
2) Komplikasi fetal : abortus spontan, kelainan congenital, insufisiensi
plasenta, makrosomia, kematian intra uterin.
3) Komplikasi Neonatal : prematuritas, kematian intra uterin, kematian
neonatal, trauma lahir, hipoglikemia, hipomegnesemia, hipokalsemia,
hiperbilirubinemia, syndroma gawat nafas, polisitemia.

d. Penatalaksanaan :
Prinsipnya adalah mencapai sasaran normoglikemia, yaitu kadar
glukosa darah puasa < 105 mg/dl, 2 jam sesudah makan < 120 mg/dl, dan
kadar HbA1c<6%. Selain itu juga menjaga agar tidak ada episode
hipoglikemia, tidak ada ketonuria, dan pertumbuhan fetus normal. Pantau
kadar glukosa darah minimal 2 kali seminggu dan kadar Hb glikosila. Ajarka
pasien memantau gula darah sendiri di rumah dan anjurkan untuk kontrol 2-4
minggu sekali bahkan lebih sering lagi saat mendekati  persalinan. Obat
hipoglikemik oral tidak dapat dipakai saat hamil dan menyusui mengingat
efek teratogenitas dan dikeluarkan melalui ASI, kenaikan BB pada trimester I
diusahakan sebesar 1-2,5 kg dan selanjutnya 0,5 kg /minggu, total kenaikan
BB sekitar 10-12 kg.
1) Penatalaksanaan Obstetric :
Pantau ibu dan janin dengan mengukur TFU, mendengarkan DJJ,
dan secara khusus memakai USG dan KTG. Lakukan penilaian setiap
akhir minggu sejak usia kehamilan 36 minggu. Adanya makrosomia
pertumbuhan janin terhambat dan gawat janin merupakan indikasi SC.
Janin sehat dapat dilahirkan pada umur kehamilan cukup waktu (40-42
minggu) dengan persalinan biasa.
Ibu hamil dengan DM tidak perlu dirawat bila keadaan diabetesnya
terkendali baik, namun harus selalu diperhatikan gerak janin (normalnya
>20 kali/12 jam). Bila diperlukan terminasi kehamilan, lakukan
amniosentesis dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila UK <38
minggu). Kehamilan dengan DM yang berkomplikasi harus dirawat sejak
UK 34 minggu dan baisanya memerlukan insulin.

Asuhan Kebidanan Pada Bayi Baru Lahir Dengan Hiv/Aids

1. Diagnosis pada Bayi dan Anak

Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama periode
neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah
pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan
pada bayi dengan ifeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral,
diare kronis, atau hepatosplenomegali (pembesaran hapar dan lien).

            Karena antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan,
maka tes ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV
karena tes  ini berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes paling
spesifik untuk mengidentifikasi HIV adalah PCR pada dua saat yang berlainan. DNA
PCR pertama diambil saat bayi berusia 1 bulan karena tes ini kurang sensitive selama
periode satu bulan setelah lahir. CDC merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR
setidaknya diulang pada saat bayi berusia empat bulan. Jika tes ini negative, maka
bayi terinfeksi HIV. Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan ASI, maka bayi resiko
tertular HIV sehingga tes PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan,
pemeriksaan ELISA bisa dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan
yang lain.

            Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan
kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV
sering mengalami infeksi bakteri kumat-kumatan, gagal tumbuh atau wasting,
limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring.
Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan ELISA dan tes konfirmasi lain
seperti pada dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa digunakan untuk
mendiagnosis bayi dan anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO.

            CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung
limfosit CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan berdasarkan
derajat imunosupresi (1, 2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C, E). Klasifikasi ini
memungkinkan adanya surveilans serta perawatan pasien yang lebih baik. Klasifikasi
klinis dan imunologis ini bersifat eksklusif, sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu
kategori, maka diklasifikasi ini tidak berubah walaupun terjadi perbaikan status
karena pemberian terapi atau factor lain.

 
           Menurut Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak dan anak, yaitu dengan mencegah jangan
sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS dicegah
supaya tidak hamil, apabila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular
pada bayi dan anaknya, namun bila ibu dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya
diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarga.

Bayi yang beresiko  tertular HIV diantaranya :

 Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual


 Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan yang berganti-ganti
 Bayi yang lahir dan ibu dengan penyalahgunaan obat melalui vena
 Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah yang berulang
 Bayi atau anak yang terpapar dengan alat suntik atau tusuk bekas yang tidak
steril

Tanda dan Gejala

Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV adalah:
– Gangguan tumbuh kembang
– Kandidiasis oral
– Diare kronis
– Hepatosplenomegali (pembesaran hepar dan lien)

Penularan

Penularan HIV dari bayi kepada bayinya dapat melalui:

 Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum)(5-10 %)


 Selama persalinan (intrapartum)(10-20 %)
 Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi (postpartum)
 Bayi tertular melalui pemberian ASI
 Sebagian besar (90%), infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu,
hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses tranfusi. 

BBL memproduksi respon antibodi yg tdk terlalu aktif, Lebih terbatas thd infeksi
HIV
Bayi lahir dg ibu HIV seropositif : memiliki antibody HIV saat lahir.
Bayi tdk terinfeksi akan kehilangan antibodi maternal sekitar 8-15 bln.
Sebagian besar bayi terinfeksi : mengembangkan antibodi mereka sendiri dan tetap
seporopositif
Bayi yang memperlihatkan tanda2 infeksi saat lahir cenderung meninggal dlm satu
bulan.

Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui :

1. Saat hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar


vital load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan
tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV.
2. Saat melahirkan. Penggunaan antiretroviral(Nevirapine) saat persalinan dan
bayi baru dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode sectio
caesar karena terbukti mengurangi resiko penularan sebanyak 80%.
3. Setelah lahir. Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat
ASI

Untuk mengurangi resiko penularan, ibu dengan HIV positif  bisa


memberikan susu formula pengganti ASI, kepada bayinya. Namun, pemberian susu
formula harus sesuai dengan persyaratan AFASS dari Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), yaitu Acceptable = mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable
= harga terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, dan Safe = aman penggunaannya

Pada daerah tertentu di mana pemberian susu formula tidak memenuhi


persyaratan  AFASS, ibu HIV positif harus mendapatkan konseling jika memilih
untuk memberikan ASI eksklusif.

Penatalaksanaan

Asuhan ibu : ikuti panduan Center for Disease Control (CDC) untuk profilaksis
antiretrovirus gestasional
Asuhan bayi : dengan pemberian obat-obat ARV, maka daya tahan tubuh anak dapat
meningkat dan mereka dapat tumbuh dan berkembang seperti anak normal lainnya.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV. Tetapi karena
antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat
dideteksi hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada
anak kurang dari 18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti terinfeksi
HIV. Karenanya diperlukan uji laboratorik yang mampu mendeteksi virus atau
komponennya seperti:

1. assay untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma


2. assay untuk mendeteksi RNA HIV dari plasma
3. assay untuk mendeteksi antigen p24 Immune Complex Dissociated
(ICD)

Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara
berkembang. Real time PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan
saat ini sudah dipasarkan dengan harga yang jauh lebih murah dari sebelumnya.
Assay ICD p24 yang sudah dikembangkan hingga generasi keempat masih dapat
dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan pemantauan kualitas uji laboratorium
harus terus dilakukan untuk kepastian program. Selain sampel darah lengkap (whole
blood) yang sulit diambil pada bayi kecil, saat ini juga telah dikembangkan di negara
tertentu penggunaan dried blood spots (DBS) pada kertas saring tertentu untuk uji
DNA maupun RNA HIV. Tetapi uji ini belum dipergunakan secara luas, masih
Terbatas pada penelitian . Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis definitif HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan,
antibodi HIV dapat digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia
9 sampai 12 bulan pada bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan
pemberian ASI sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi.
Dasarnya adalah antibodi maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia
12 bulan.

Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat
(rapid test) dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang
dewasa.

Pemeriksaan laboratorium lain bersifat melengkapi informasi dan membantu


dalam penentuan stadium serta pemilihan obat ARV. Pada pemeriksaan darah tepi
dapat dijumpai anemia, leukositopenia, limfopenia, dan trombositopenia. Hal ini
dapat disebabkan oleh efek langsung HIV pada sel asal, adanya pembentukan
autoantibodi terhadap sel asal, atau akibat infeksi oportunistik.

Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8
menurun. Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons proliferatif
sel T terhadap antigen atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya fungsi sel T ini
dapat pula dilihat dari adanya anergi kulit terhadap antigen yang menimbulkan
hipersensitivitas tipe lambat. Kadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal.
Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobulinemia, respons antibodi spesifik terhadap
antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus, atau hepatitis B
menurun.
BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa
neonatus ini sangat rawan, karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di
luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka
kesakitan dan angka kematian neonatus.
Beberapa keadaan neonatus dengan resiko tinggi:
1. BBLR
2. Asfiksia neonatorum
3. Sindroma gangguan pernapasan
4. Hiperbilirubin
5. Perdarahan tali pusat
6. Kejang
7. Hipotermia
8. Hipertermia
9. Hipoglikemia
10. Tetanus neonatorum
11. Penyakit yang diderita ibu selama hamil
12. Lahir dari ibu yang menderita HIV/AIDS
B.  Saran

Diharapkan pembaca dapat memperoleh manfaat dari makalah yang kami


sajikan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca unuk perbaikan
makalah kami berikutnya
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F. Gary, dkk. 2005. Obstetri Williams, Edisi 21. Jakarta:EGC.

Doengoes, Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Fauziah, Afroh dan Sudarti.2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, dan
Anak.Yogyakarta: Nuha Medika

Hanifa Gulardi, dkk. 2007. Buku Panduan Praktisi Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Puataka Sarwono Prawirohardjo

http://hardinburuhi88.blogspot.com/2014/07/asuhan-neonatus-resiko-tinggi.html

Hastuti, Puji, dkk. 2011. Standar Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Pati : BUP

https://www.academia.edu/8221292/Makalah_Penyakit_Yang_Diderita_Ibu_Selama
_Kehamilan
Prawirohardjio, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP.

Rukiyah dan Lia Yulianti. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Anak Balita. Jakarta:
Trans Info Media

Sarwono Prawiroharjo. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal


dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Sarwono. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta:Yayasan Bina.

Staf Pengajar FKUI. 2007. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika

Sudarti.2010. Kelainan dan Penyakit Pada Bayi dan Balita.yogyakarta:Nuha Medika.

Supartini, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.

Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo : Jakarta.
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai