Anda di halaman 1dari 8

Pembahasan

Pada praktikum kali ini, dilakukan pengujian absorpsi asetosal secara in vitro dengan
menggunakan metode usus terbalik. Pengujian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pH terhadap
absorpsi obat melalui saluran pencernaan secara in vitro. Asetosal merupakan turunan salisilat
yang sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri minor),
antipiretik (terhadap demam), dan anti inflamasi (peradangan) dan juga memiliki efek
antikoagulan untuk mencegah serangan jantung dengan rumus struktur sebagai berikut :

Struktur asetosal
Konsentrasi asetosal yang digunakan adalah sebesar 0,1M. Pembuatan asetosal 0,1 M
dilakukan dengan menimbang sebanyak 0,18 gram asetosal kemudian dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 ml dan dilarutkan dengan menggunakan pelarut etanol karena menurut Farmakope
Indonesia, asetosal agak sukar larut dalam air, dan mudah larut dalam etanol(95%) P. Pembuatan
asetosal ini dilakukan secara kuantitatif karena akan digunakan untuk pembuatan kurva baku
dengan menggunakan spektrofotometri UV-VIS.
Asam asetil salisilat dapat dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer UV-
Visible karena berdasarkan strukturnya asam asetil salisilat memiliki gugus kromofor benzena
cincin aromatik yang dapat mengabsorpsi radiasi elektromagnetik yang dihasilkan oleh
spektrofotometer UV-Visible.
Untuk pembuatan kurva baku, dilakukan dengan membuat larutan asetosal dengan lima
seri konsentrasi.  Pertama, dibuat larutan stok asam asetil salisilat 1000 ppm dalam pelarut
etanol. Pelarut etanol digunakan agar kondisi pengukuran sampel dengan baku adalah sama.
Dibuat larutan dengan konsentrasi bertingkat dengan melakukan pengenceran terhadap larutan
stok asam asetil salisilat, yaitu 120, 140, 160, 180 dan 200 ppm. Masing-masing konsentrasi
larutan tersebut diukur absorbansinya pada spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran absorbansi
dari asetosal dengan spektrofotometer UV-Vis dilakukan pada panjang gelombang maksimum
karena pada panjang gelombang maksimum, kepekaannya juga maksimum karena pada panjang
gelombang maksimum tersebut, perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah
yang paling besar. Di sekitar panjang gelombang maksimum juga, bentuk kurva absorbansi datar
dan pada kondisi tersebut hukum Lambert Beer terpenuhi. Selain itu, jika dilakukan pengukuran
ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil
sekali ketika digunakan panjang gelombang maksimul (Gholib, 2007). Panjang gelombang
maksimum yang didapat dari percobaan dan digunakan untuk pengukuran asetosal adalah 297
nm.
Setelah kelima seri konsentrasi tersebut diukur absorbansinya, kemudian dibuat kurva
yang merupakan hubungan antara absorbansi (sumbu y) dengan konsentrasi (sumbu x).
Pada konsentrasi 120 ppm, absorbansi sampel rata-rata adalah 0,33067 , pada konsentrasi
140 ppm, absorbansinya 0,3773 , pada konsentrasi 160 ppm, absorbansi sampel 0,4626 , pada
konsentrasi 180 ppm, absorbansi 0,5102 dan pada konsentrasi 200 ppm, absorbansinya 0,5187.
Dari data absorbansi dan konsentrasi asetosal, didapatkan persamaan kurva yaitu :
y= 0,0025448 x + 0,032726
dimana y merupakan absorbansi dan x merupakan konsentrasi. Nilai r dari kurva yaitu 0,970.
Persamaan yang didapatkan dari kurva baku ini digunakan selanjutnya dalam menghitung
konsentrasi sampel.
Pada percobaan ini hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan. Tikus
putih biasa digunakan dalam percobaan laboratorium karena mudah dikembangbiakkan dan
mudah dalam perawatannya, hewan ini juga memiliki struktur anatomi fisiologi yang hampir
sama dengan manusia. Sehingga hasil uji yang dicobakan pada tikus putih yang menyangkut
struktur fisiologi anatomi dapat diaplikasikan pada manusia.
Sebelumnya, tikus percobaan dipuasakan dari makanan selama 20-24 jam, tapi diberi
minum air masak. Tujuan dari tikus dipuasakan agar tidak ada faktor makanan lain yang
mengganggu saat dilakukan percobaan serta untuk mengosongkan lambung dan usus.
Lalu tikus dibunuh dengan eter. Eter biasa digunakan sebagai obat bius yang diberikan
melalui pernapasan. Kemudian dibuka perutnya di sepanjang linea mediana (linea mediana
adalah garis yang melintas tepat ditengah tubuh dengan arah lintasan atas bawah/vertikal) dan
usus dikeluarkan. Usus sepanjang 15 cm dibawah pilorus (pilorus adalah daerah atau bagian
lambung bawah yang berhubungan dengan bagian atas duodenum/usus duabelas jari) dibuang
dan 20 cm dibawahnya dipotong untuk percobaan. Usus dibagi dua bagian sama panjang,
kemudian dibersihkan. Ujung dari potongan usus tersebut diikat dengan benang, kemudian
dengan menggunakan pinset kecil usus tersebut dibalik secara perlahan agar usus tidak sobek,
sehingga bagian mukosa terletak diluar. Tujuan dari peletakan mukosa usus diluar karena ingin
menyamakan pengondisian seperti dalam tubuh manusia, dimana mukosa usus adalah bagian
yang lipofil, sehingga diharapkan nantinya akan dapat diukur seberapa besar kadar zat aktif obat
yang bersifat lipofil yang dapat diabsorpsi oleh mukosa usus. Kanula dimasukkan ke ujung oral
dari usus yang belum terikat. Usus diukur dengan panjang efektif 7 cm yang sebelumnya diisi
dengan cairan serosal 1,4 ml yang terdiri dari larutan natrium klorida 0,9% b/v. Kantong usus
yang sudah berisi cairan serosal ini dimasukkan ke dalam tabung yang sudah berisi cairan
mukosal 75 ml (yang mengandung bahan obat yaitu asetosal) pada suhu 37°C. Kantong usus
untuk kontrol dilakukan dengan cara yang sama, tetapi dengan menggunakan cairan mukosal
tanpa obat.
Selama percobaan berlangsung, seluruh bagian usus dijaga agar dapat terendam dalam
cairan mukosal dan selalu dialiri gas oksigen dengan kecepatan kira-kira 100 gelembung per
menit.
Pada waktu tertentu kadar obat dalam cairan serosal ditentukan. Untuk penentuan ini
seluruh cairan serosal diambil melalui kanula dan segera dicuci dengan larutan 0,9% b/v natrium
klorida, kemudian diisi lagi dengan 1,4 ml larutan 0,9% b/v natrium klorida.
Usus tikus yang telah didapatkan direndam dalam larutan NaCl fisiologis 0,9%  yang
bersifat isotonis agar tidak kering dan rusak. Kemudian usus dipotong 20 cm dari bagian ujung
dekat pilori (lambung) untuk dibuang, dan diambil 7 cm dari sisa usus untuk dibersihkan lalu
dibalik sehingga bagian dalam usus berada diluar dan bagian luar usus berada didalam dengan
pinset. Usus harus dibalik karena percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kadar absorpsi obat
oleh filia bagian dalam usus pada perbedaan pH yang diatur sesuai pH lambung dan pH usus
secara in vitro (menggunakan instrumen yang menyerupai bagian dalam tubuh).
Setelah itu, salah satu ujung usus disambungkan ke pipa B pada instrument modifikasi
crane&Wilson dan diikat dengan benang agar tidak mudah lepas sehingga instrument tersebut
menjadi seperti gambar dibawah ini :
                Kemudian, ujung usus yang lain diikat dengan benang dan dikaitkan ke ujung pipa C,
lalu larutan NaCl fisiologis dimasukkan kedalam usus sebanyak 1,4 ml melalui pipa B agar usus
tetap basah dan tidak rusak, digunakan larutan NaCl fisiologis yang isotonis karena menyerupai
cairan tubuh tikus/ mamalia. Selanjutnya, kedalam tabung instrument dimasukkan larutan dapar
pH 1,2  melalui pipa A sebanyak 75 ml menggunakan syringe, larutan dibuat pada pH 1,2 agar
menyerupai kondisi dalam lambung tikus/ mamalia. Instument dipanaskan diatas water bath
hingga mencapai suhu 37oC agar menyerupai suhu didalam tubuh tikus/ mamalia. Larutan asam
salisilat 0,01 M kemudian dimasukkan sebanyak 10 ml melalui pipa A kedalam larutan dapar
sehingga bercampur dan didiamkan dengan selalu diberikan oksigen melalui pipa C. Oksigen
diberikan agar sel-sel usus tetap hidup. Setiap 5 menit, larutan NaCl fisiologis didalam usus
diambil melalui pipa B menggunakan syringe dan dimasukkan kedalam vial yang telah diberi
label, kemudian diganti dengan 1,4 ml larutan NaCl fisiologis yang baru. Hal ini dilakukan
sampai 15 menit berlangsung. Larutan NaCl fisiologis diambil dari usus setiap rentang waktu 5
menit karena akan dihitung kadar asam salisilat yang terabsorpsi melalui filia usus dan masuk
kedalam larutan untuk mengetahui absoprsi optimal dari asam salisilat pada perbedaan
pengaturan pH yang disesuaikan kondisi dalam tubuh mamalia.
                   Percobaan ini juga dilakukan dengan tabung instrumen diisi larutan dapar pH 7,4
yang disesuaikan dengan kondisi didalam usus, dengan ditambahkan pula 10 ml larutan asam
salisilat 0,01 M. Kemudian dilakukan percobaan control negatif dengan prosedur yang sama
menggunakan larutan dapar pH 1,2 dan pH 7,4 tanpa ditambahkan obat. Setelah itu, semua vial
yang telah berisi larutan NaCl fisiologis diberi perlakuan awal untuk dianalisis menngunakan
spektrofotometer UV.
Setelah dilakukan pengambilan cuplikan dari setiap rentang waktu 5 menit(5, 10 dan 15
menit) pada masing-masing pH 1,2 dan 7,4 dari masing-masing tabung, maka masing-masing
cuplikan tersebut dianalisis menggunakan spektrofotometri UV untuk menetapkan konsentrasi
asetosal selama proses absorpsi di dalam usus hewan percobaan. Adapun panjang gelombang
maksimum yang digunakan adalah 274 nm. Alasan memilih panjang gelombang maksimum
adalah karena panjang  gelombang maksimum memiliki kepekaan maksimal karena terjadi
perubahan absorbansi yang paling besar dan pada panjang gelombang maksimum, bentuk kurva
absorbansi terhadap konsentrasi memenuhi hukum Lambert-Beer. Sebelum dianalisis, masing-
masing cuplikan dilarutkan kedalam larutan barium hidroksida 0,3 N dan sengsulfat 5% ( 5 gram
dalam 100 ml). Fungsi barium hidroksida dan sengsulfat adalah untuk mengekstraksi asetosal
dan memisahkan asetosal dari senyawa-senyawa lain yang mungkin terikut, sehingga hanya
asetosal yang akan dianalisis menggunakan spektrofotometri UV. Pertama-tama harus dibuat
larutan barium hidroksida 0,3 N dan sengsulfat 5%. Barium hidroksida (Ba(OH)2.8H2O)
ditimbang sebanyak 4,732 gram, diperoleh dari rumus berikut:

(BM= 315,47) (FI IV, 1995 hal 1137) dan dilarutkan kedalam air panas sebanyak 100 ml.
Sedangkan sengsulfat (ZnSO4. H2O) ditimbang sebanyak 5 gram dan dilarutkan kedalam 100 ml
air (BM= 179,46) (FI IV, 1995 hal 836). Barium hidroksida agak sukar larut dalam air dingin,
sehingga butuh pemanasan untuk melarutkannya, namun pada saat percobaan, barium hidroksida
masih belum larut sempurna sekalipun dilarutkan dalam air panas sambil dipanaskan, sedangkan
sengsulfat sangat larut dalam air. Setelah itu, sebanyak 2 ml dari larutan barium hidroksida dan 2
ml sengsulfat dicampurkan kedalam masing-masing 1 ml cuplikan, kemudian campuran larutan
tersebut disentrifugasi untuk memisahkan endapan dengan filtratnya. Dimana filtrat yang berupa
cairan jernih tersebut yang mengandung asetosal.Pada saat sentrifugasi, campuran larutan
tersebut dimasukkan kedalam tabung sentrifugasi lalu tabungnya ditempatkan kedalam alat
sentrifugasi secara berseberangan dan dengan jumlah yang sama, setelah itu diatur kecepatan
pemutarannya, yaitu 3000 RPM (Revolutions Per Minute) (angka 30 dilayar dikali faktor pengali
100) selama 10 menit.Hasil sentrifugasi berupa larutan jernih di bagian atas dan endapan di
bagian bawah. Bagian atas yang berupa larutan jernih diambil menggunakan pipet dan
dimasukkan kedalam kuvet. Sebelum sampel diukur, alat spektrofotometer terlebih dahulu di-
reference kedalam panjang gelombang yang sesuai menggunakan blanko yaitu blanko dari pH
1,2 dan 7,4 pada waktu = 0 menit. Selanjutnya masing-masing sampel cuplikan diukur
absorbansinya. Adapun jumlah cuplikan yang diukur ada 6 buah (3 buah cuplikan (pada
pengambilan 5, 10 dan 15 menit) pada pH 1,2dan 3 buah cuplikan dari pH 7,4. Absorbansi yang
diperoleh dicatat.
Berdasarkan data pengamatan, nilai absorbansi yang didapatkan tidak sesuai dengan hukum
Lambert Beer, yaitu konsentrasi yang baik itu berada di rentang absorbansi 0,2-0,8 yang
terdeteksi dengan spektro UV. Pada saat pengukuran, nilai absorbansi yang diperoleh yaitu
kebanyakan bernilai minus yaitu pada pH 1,2: -0,0096 (15 menit), sedangkan pada pH 7,4:
-1,164600 (5 menit), -1,2372 (10 menit) dan -1,0886 (15 menit), artinya larutan yang dianalisis
tidak terbaca serapannya oleh alat spektrofotometer UV. Dan ada  2 nilai absorbansi yang
bernilai positif yaitu pada pH 1,2 : 0,0633 (5 menit) dan 0,1757 (10 menit) namun nilai
absorbansi ini tetap tidak memenuhi hukum Lambert Beer yaitu rentang absorbansi yang
diizinkan adalah 0,2-0,8. Hal ini terjadi karena kemungkinan waktu yang tidak cukup bagi obat
asetosal untuk terabsorpsi. Kemungkinan asetosal akan terabsorpsi pada rentang waktu setelah
15 menit. Hasil absorbansi dimasukkan kedalam perhitungan untuk mencari konsentrasinya.
Nilai absorbansinya dimasukkan kedalam persamaan regresi linier dari kurva baku asetosal. Dari
data pengamatan terlihat bahwa data yang didapatkan tersebut menyimpang dari yang
seharusnya, misalnya seperti, hasil absorbansi yang dihasilkan sangat aneh, nilai absorbansinya
menurun pada pertambahan waktu. Seharusnya semakin lama, maka absorbansinya semakin
tinggi, karena seharusnya semakin banyak obat yang terabsorpsi. Namun data nilai absorbansi
yang dihasilkan pada pH 1,2 lebih tinggi dibandingkan dengan pada pH 7,4  itu adalah benar dan
sesuai dengan teori, yaitu bahwa suatu obat yang bersifat asam akan terabsorpsi optimum di pH
asam (lambung) dan obat yang bersifat basa terabsorpsi optimum di pH basa(usus). Pada
percobaan kali ini, senyawa obat yang digunakan adalah asetosal (asam asetil salisilat), dimana
senyawa obat ini bersifat asam, sehingga obat ini akan terabsorpsi optimum di pH asam. Setelah
dilakukan perhitungan konsentrasi berdasarkan persamaan regresi linier dari kurva baku asetosal,
maka data-data absorbansi dan konsentrasi di plotkan kedalam grafik. Di mana sumbu-x nya
adalah waktu dan sumbu –y nya adalah konsentrasi. Jadi grafik yang terbentuk adalah grafik
konsentrasi terhadap waktu. Dari grafik terlihat bahwa, pada pH 1,2 konsentrasi paling tinggi
adalah pada waktu ke-10 menit, sedangkan pada pH 7,4 konsentrasi paling tinggi pada waktu ke
-15 menit.

VIII.        Kesimpulan
Jadi, perbedaan variasi pH 1,2 dan pH 7,4 pada absorpsi obat melalui saluran pencernaan secara
in vitro dengan interval waktu yang berbeda-beda menunjukkan perbedaan konsentrasi yang
berbeda-beda dengan konsentrasi tertinggi pada pH 1,2 terdapat pada interval waktu ke-10 menit
sedangkan konsentrasi tertinggi pH 7,4 terdapat pada interval waktu ke-15.

Daftar Pustaka

Anne Collins Abrams, RN, MSN. 2005. Clinical Drug Therapy. US. Wolters Kluwer Health, Lippincott
Williams Wilkins.
  Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia IV. Jakarta. Departemen Kesehatan.
Familiamedika. 2013. Asetosal/Aspirin. Tersedia di http://familiamedika.net/obat-
keluarga/asetosal.html#.UlCL--iyBCY [diakses tanggal 06 Oktober 2013]
Joenoes, Z. N. 2002. Ars Prescribendi Jilid 3.Surabaya. Airlangga University Press.
Keperawatan, A.  2011. Absorpsi obat. Tersedia di http://www.artikelkeperawatan.info/ materi-kuliah-
studi-absorbsi-obat-159.html [diakses tanggal 05 Oktober 2013]
Leeson, C.R., T.S. Lesson, dan A.A. Paparo. 1990. Buku Ajar Histologi. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Shargel, L and yu, A. B. C. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya. Airlangga
University Press.
Syukri, S. 2002. KIMIA DASAR 1. Bandung. Penerbit ITB.
Watson, D.G., 2007. Analisis Farmasi. EGC. Jakarta.

Read more: http://laporanakhirpraktikum.blogspot.com/2013/10/STUDI-ABSORPSI-OBAT-


SECARA-IN-VITRO-BIOFARMASI.html#ixzz6J7m3EDol

Anda mungkin juga menyukai