Anda di halaman 1dari 6

“SEJARAH IMAM SYAFI’I DAN PEMIKIRANNYA”

AFIVA EPRILIANI

1810631110034

KELAS PAI 1 A SEMESTER 1

I. PENDAHULUAN.

Alhamdulilahirabbil’alamin, puji syukur kepada Allah SWT. Karena atas berkat


rahmat Allah dan karunianya. Kami dapat menyelesaikan tugas akhir ujian semester
dengan judul “SEJARAH IMAM SYAFI’I DAN PEMIKIRANNYA”, untuk memenuhi
nilai dan syarat mata kuliah pengantar ilmu fiqih oleh bapak KASJA EKI WALYO
M.Ag. mohon maaf bila ada kesalahan, mohon di kritik.

II. PEMBAHASAN.

A. SEJARAH IMAM SYAFI’I.

Muhammad bin As-syfi’i adalah pendiri madzab syafi’i, yang bisa di panggii Abu
Abdullah. Nama aslinya adalah Muhammad bin Idris. Atau dengan sebutan yang lain
Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-syafi’i al-Muththalibi al-quraisy, atau
sebutannya Imam Asy-syafi’i. Beliau lahir di (Ashkelon, Gaza, Palestina,
150H/767M.). Dan meninggal (Fusthat, Mesir, 204H/819M). Imam syafi’i juga
tergolong kerabat dari Rosulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu
keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek
Muhammad.

A. Kelahiran dan kehidupan keluarga.

Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa imam syafi’i lahir di Gaza,


Palestina. Namun di antara pendapat ini terdapat pula menyatakan bahwa dia lahir
di Asqalan, sebuah kota yang beranjak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para
ahli sejarah pula, Imam Syafi’i lahir pada tahun 150H, yang mana tahun ini wafat
pula seorang ulama besar yang bernama Imam Abu Hanifah.

B. Masa belajar.

Saat usia 13 tahun, Imam Syafi’i dikirim ibunya untuk pergi ke Madinah, untuk
berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga
pergi ke Irak, untuk berguru-guru pada murid Imam Syafi’i disana. Imam Syafi’i
mempunyai dua dasar berbeda untuk Madzab Syafi’i. Yang pertama namanya
Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.

 Belajar di Madinah.

Kemudian ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas.
Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghapal nya dalam 9 malam.
Imam Syafi’i meriwayatkan hadits dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan
pamannya, Muhammad bin Syafi’i dan lain lain.

 Belajar di Makkah.

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru Fiqh kepada Mufti disana, Muslim bin Khalid
Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15
tahun. Demi ia merasakan manis nya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-
Nya, dia mulai senang mempelajari fiqh setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab
dan sya’irnya. Di Makkah, Imam Syafi’i berguru Fiqh kepada Mufti disana, Muslim
bin Khalid Az Zanji Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr
Al-Mulaiki, Said bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang
lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam ilmu fiqh hanya dalam beberapa tahun
saja duduk di berbagai halaqah ilmu para ulama’ fiqh sebagaimana disebut di atas.

 Belajar di Yaman.
Imam syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar disana.
Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh dia ini seperti : mutharrif
bin mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman,
dia melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di iraq dan di kota ini dia banyak
mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di Negeri Iraq.
Juga dia mengambil ilmu dari Ismail bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi
dan masih banyak lagi yang lainnya.

 Belajar di Baghdad Iraq.

Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), disana ia menimba ilmu
dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadi Khalifah Ar
Rasyid.

C.AKHIR HAYAT.

Pada suatu hari, Imam Syafi’i terkena Wasir, dan tetap begitu hingga
terkadang jika naik kendaraan darahnya mengalir mengenai celananya bahkan
mengenai pelana dan kaus kakinya. Wasir ini benar-benar menyiksa selama hampir
4 tahun, ia menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan
empat ribu lembar. Selain itu ia terus mengajar, meneliti dialog serta mengkaji baik
siang maupun malam.

Pada suatu hari muridnya Al-Muzani Masuk menghadap dan berkata,


“Bagaimana kondisi Anda Wahai guru?” imam syafi’i menjawab,”aku telah siap
meninggalkan dunia, meninggalkan para saudara dan teman, mulai meneguk
kematian, kepada Allah dzikir terus terucap. Sungguh, Demi Allah, aku tak tahu
apakah jiwaku akan berjalan menuju syurga sehingga perlu aku ucapkan selamat,
atau sedang menuju neraka sehingga aku harus berkabung?”

Setelah itu ia wafat. Imam Syafi’i wafat pada malam jum’at menjelang subuh
pada terakhir bulan rajab 204 Hijriah atau tahun 809 miladiyyah pada usia 52 tahun.

Jenazah kemudian di bawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam,


disanalah ia dikuburkan, yang kemudian terkenal dengan turbah Asy-syafi sampai
hari ini. Dan disana pula dibangun masjid yang di beri nama masjid Imam Syafi’i.
B. PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I

Dalam mengistinbathkan (mengambil dan menetapkan) suatu hukum, Imam


Syafi’i dalam bukunya al-Risalah menjelaskan. Bahwa ia memakai 5 dasar : Al-
Quran, sunnah, Ijma, Qiyas dan Istidlal. Kelima dasar ini yang kemudian di kenal
sebagai dasar-dasar madzab Syafi’i. Dasar pertama dan utama dalam menetapkan
hukum adalah Al-Quran, kalau suatu masalah tidak menghendaki maka lafzi barulah
ia mengambil makna majazi (kiasan), kalau dalam Al-Qur’an tidak ditemukan
hukumnya, ia beralih pada sunnah Nabi S.A.W.

Adapun penjelasan dari masing-masing sumber hukum tersebut sebagai


berikut.

1. Al-Qur’an.

Sebagaimana imam-imam lainnya, Imam Syafi’i menempatkan al-qur’an pada


urutan pertama. Karena tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menolak
keontetikan al-quran. Sekalipun sebagian hukumnya harus di akui masih ada yang
bersifat zanni, sehingga dalam penafsirannya terdapat berbagai pendapat.

2. Al- Sunnah.

Menurut Imam Syafi’i yang di maksud adalah al-hadis. [5] Al-sunnah selain
sebagai sumber yang kedua setelah Al-Qur’an juga sebagai pelengkap yang
meninterprestasikan isi kandungan Al-Qur’an, sehingga kedudukan Al-sunnah atas
Al-Qur’an sebgai berikut:

1. Ta’kid, menguatkan dan mengkokohkan Al-Qur’an


2. Tabyin, menjelaskan maksud nas Al-Qur’an
3. Tasbit, menetapkan hukum yang tidak ada ketentuan nasnya dalam Al-
Qur’an. [6]
4. Dialah dialah al-sunnah meskipun hukumnya berdiri sendiri tidak ada yang
bertentangan dengan dialah nas al-quran, karena al-sunnah selain bersumber
pada wahyu juga ada faktor lain yang menyebabkan keontetikan al-sunnah
yaitu terpelihara Nabi dari dosa dan kekeliruan sejak kecil.
3. Ijma’

Ijma’ menurut Imam Syafi’i adalah kesepakatan para ‘ulama’ diseluruh dunia
islam, bukan hanya disuatu negeri tertentu dan bukan pula ijma’ kaum tertentu saja.
Namun, Imam Syafi’i tetap berpedoman bahwa ijma’ sahabat adalah ijma’ yang
paling kuat.

3. Qiyas.

Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa ulama yang pertama kali


mengakui qiyas (menerumuskan kaidah-kaidah dan dasar-dasar) adalah Imam
Syafi’i. Dengan demikian Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah keempat
setelah al-quran, as-sunah, dan ijma’ dalam menetapkan hukum islam.

4. Istidlal.

Bila Imam Syafi’i tidak mendapatkan keputusan hukum dari ijma’ dan tidak ada jalan
dari qiyas, maka barulah ia mengambil dengan jalan istiqdal, mencari alasan,
bersandar atas kaidah-kaidah agama, meski itu dari kitab yang terakhir yang disebut
“syar’u man qablana” dan tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah
pikiran manusia, juga ia tidak mau mengambil hukum dengan cara istihsan, seperti
yang biasa di kerjakan oleh ulama dari pengikut Imam Abu Hanifah di Baghdad dan
lain-lain.

III .KESIMPULAN.

Muhammad bin Bin Idris adalah pendiri madzab syafi’i yang bisa di pangil Abu
Abdullah. Nama aslinya adalah Muhammad bin Idris. Nasab beliau bertemu dengan
Rasulullah SAW pada kake beliau abu manaf. Beliau di lahirkan di Gaza, Palestina
tahun 150H. Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal pada 2 tahun kelahirannya, sang
ibu membawanya ke Mekah. Ia tumbuh besar disana dalam keadaan yatim. Sejak
kecil Imam Syafi’i cepat menghapal sya”ir, pandai bahasa arab dan sastra.

Imam syafi”i adalah adalah imam mujtahid mutlak, imam fiqih, hadits dan
usul. Dasar madzabnya Al-qur’an, as-sunnah, ijma’, dan qiyash. Beliau tidak
mengambil perkataan sahabat karena menganggap ijtihad bisa salah.
Pendapat Imam Syafi’i tentang imamah adalah “pendapat umat islam mesti
beragama islam dan orang-orang muslim terlindungi”. Pendapat selanjutnya tentang
hakim perempuan, menurut imam syafi’i perempuan tidak boleh menjadi hakim
secara mutlak. Artinya perempuan tidak boleh menadi hakim baikyang menangani
hukum perdata ataupun pidana.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

[1] Muhammad bin Idris al-syafi’i, al-Risalah, (Beirut: al-Fikr,t.t). hlm. 508

[2] Ibid., hlm. 180

[3] Ibid, hlm. 190

[4] Huzaimah T.Y., Pengantar Perbandingan Madzab, (jakarta: logos Wacana


Ilmu,1999), hlm. 130.

Anda mungkin juga menyukai