Anda di halaman 1dari 3

Nama : Mikhael K Situmorang

NPM : 110110170208
Nama Dosen : Dr. Idris, S.H., M.A. & Garry Gumelar Pratama, S.H., M.H.

1. International Court of Justice (ICJ) pada sengketa The Border and Transborder Armed
Actions Case (Nicaragua vs Honduras) (1988), ICJ menyatakan, yang dimaksud dengan
sengketa hukum adalah:
“ a dispute capable of being settled by the application of principles and rules of
international law “
Menurut Friedman Konsepsi sengketa hukum memuat hal-hal berikut yaitu adalah
perselisihan-perselisihan antara negara yang mampu diselesaikan oleh pengadilan dengan
menerapkan aturan-aturan hukum yang ada atau yang sudah pasti, sengketa-sengketa yang
sifatnya mempengaruhi kepentingan vital negara, seperti integritas wilayah dan
kehormatan atau kepentingan-kepentingan penting lainnya dari suatu negara, sengketa
hukum adalah sengketa dimana penerapan hukum internasional yang ada cukup untuk
menghasilkan suatu putusan yang sesuai dengan keadilan antara negara dengan
perkembangan progresif hubungan-hubungan internasional, sengketa hukum adalah
sengketa-sengketa yang berkaitan dengan persengketaan hak-hak hukum yang dilakukan
melalui tuntutantuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum yang telah
ada.
Berdasarkan pengertian tersebut maka sengketa ini yaitu Angkatan Bersenjata
kerajaan Annwn Empire menyita Unmanned Underwater Vehicle (UUV) yang
dioperasikan oleh Kapal Jotunheim Federation bernama HMS Gloire maka dapat dikatakan
sengketa ini merupakan sengketa hukum. Karna telah adanya aturan mengenai sengketa
tersebut yang tertuang dalam Hukum internasional yaitu United Nations Convention on the
Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Pemerintah Jotunheim beranggapan bahwa UUV itu
merupakan “sovereign immune vessel of Jotunheim Federation”atau kapal Jotunheim
Federation yang memiliki kekebalan dan kedaulatan di laut lepas. Akan tetapi pemerintah
annwn menyatakan lain, sehingga muncullah senketa hukum yang tentu saja dapat
diselesaikan dengan beberapa metode penyelesaian hukum sengketa internasional.
2. Dengan adanya upaya merebut paksa UUV dengan menyerang Annwn di wilayah laut
Nord Annwn See maka joutenheim melanggar aturan dalam piagam PBB dan Resolusi
PBB yang merupakan aturan dasar mengenai penyelesaian sengketa internasional.
Khususnya terhadap negara-negara anggotanya, pasal 2 ayat (3) Piagam
memberikan pengaturan lebih lanjut guna melaksanakan dan mencapai tujuan di atas. Pasal
ini mewajibkan semua negara anggotanya untuk menempuh cara-cara penyelesaian
sengketa secara damai. Pasal 2 ayat (3) yang sangat penting ini menyatakan:
“All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner
that international peace and security, are not endanqered.”
Kata shall (harus) dalam kalimat di atas merupakan salah satu kata kunci yang mewajibkan
negara-negara untuk hanya menempuh cara damai saja dalam menyelesaikan sengketanya.
Kewajiban lain yang dalam Piagam terdapat dalam pasal 2 ayat (4). Pasal ini sendiri
menyatakan bahwa dalam hubungan internasional antar negara , semua negara harus
menahan diri dari penggunaann cara-cara kekerasan, yaitu ancaman dan penggunaan
senjata terhadap negara lain atau cara-cara yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB
sendiri .
Pasal 2 ayat (4) berbunyi:
“All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force
against the territorial 18 integrity or political independence of any state or in any manner
inconsistent with the purpose of the United Nations.”.
Yang perlu ditekankan dari dua kewajiban yang tertuang di dalam kedua ayat di
atas, yaitu adalah kewajiban menahan diri menggunakan cara kekerasan atau ancaman
kekerasan. Kedua kewajiban tersebut harus dipandang berdiri sendiri.
Pasal 2 ayat (3) menyatakan negara-negara untuk secara aktif dan dengan itikad
baik untuk menyelesaikan sengketa-sengketanya secara damai sedemikian rupa sehingga
perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan tidak terancam.
Secara jelas Nampak bahwa jika ada upaya merebut paksa UUV oleh jouteinheim
maka akan menyebabkan dilanggarnya Piagam PBB, yang merupakan aturan dasar dalam
penyelesaian sengketa hukum internasional. Terlebih lagi Jouteinheim merupakan anggota
PBB sehingga jelas bahwa aturan tersebut merupakan kewajiban.
Selain itu adanya serangan tersebut juga melanggar resolusi- resolusi PBB yang
merupakan aturan turunan dari Piagam PBB. Resolusi yang dimaksud adalah esolusi
Majelis Umum (MU) PBB No. 2625 (XXV) 1970 (24 Oktober 1970) mengenai “General
Assembly Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations
and Cooperation among States in Accordance with the Charter of the United Nations “,
Resolusi MU No 40/9 dan Resolusi MU No. 44/21.

3. Menurut saya metode penyelesaian sengketa melalui diplomatik yang paling efektif adalah
dengan negosiasi antar kedua negara. Praktek di beberapa negara-negara menunjukkan
bahwa mereka lebih cenderung atau lebih condong untuk menggunakan sarana negosiasi
sebagai langkah awal untuk menyelesaikan sengketanya. Tentu saja untuk kasus ini juga
saya berpendapat bahwa adanya negosiasi tentu saja merupakan metode yang paling
efektif.
Dengan tidak adanya keikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa, tentu
saja menunjukkan adanya itikad para negara untuk berdamai tanpa harus ada pihak ketiga
untuk membantu menyelesaikan sengketa ini.
Kelebihan metode negosiasi ini sendiri adalah para pihak sendiri yang melakukan
perundingan (negosiasi) secara langsung dengan pihak lainnya dan mereka memili
kebebasan untuk menentukan bagaimana penyelesaian secara negosiasi ini dilakukan
menurut kesepakatan mereka.Dalam metode ini juga para pihak mengawasi secara
langsung prosedur penyelesaiannya, dengan kata lain tidak ada istilah keberpihakan atau
bahkan kecurangan. Dalam negosiasi para pihak berusaha mencari penyelesaian yang dapat
diterima dan memuaskan para pihak sehingga tidak ada pihak yang menang dan kalah
karna telah adanya kesepakatan sehingga seakan- akan kedua belah pihak menang.
Walaupun tentu saja pada kenyataannya kedua pihak harus melakukan kompromasi

4. Menurut saya sengketa tersebut dapat diselesaikan di ICJ. Dan ICJ memiliki Yurisdiksi
terhadap sengketa tersebut dengan syarat tentu saja harus adanya kata sepakat antara kedua
negara untuk menyelesaikan sengketanya di Mahkamah internasional ditambah lagi kedua
negara merupakan anggota PBB maka tentu saja dapat menyelesaikan sengketa di ICJ.
ICJ dapat memiliki jurisdiksi terhadap sengketa tersebut jika adanya kesepakatan
antara kedua pihak dalam menyelesaikan sengketanya di ICJ. Meskipun suatu negara
adalah pihak atau peserta dalam Statuta dan berhak untuk melakukan proses persidangan
hukum Mahkamah, namun tidak ada satu negarapun dapat dipaksakan untuk
menyelesaikan sengketanya kepada Mahkamah tanpa kesepakatannya.
Yang menjadi objek ICJ adalah sengketa hukum sehingga adanya kesepakatan para
pihak bukan berarti otomatis ICJ memiliki yurisdiksi untuk mengadilinya. ICJ memiliki
yurisdiksi terhadadap sengketa hukum internasional dan tentu saja sengketa tersebut juga
harus memilik dasar hukumnya agar dapat diadili.
Hanya negara sajalah yang bisa menyerahkan sengketanya ke Mahkamah. Dengan
kata lain, subyek-subyek hukum internasional lainnya seperti organisasi internasional tidak
bisa meminta auntuk menyelesaikan sengketanya.
Dewan Keamanan juga dapat memberikan penganjuran agar para pihak
menyerahkan sengketanya kepada Mahkamah. Namun anjuran-anjuran demikian tidak
dapat memaksa negara-negara agar sengketa mereka diselesaikan oleh Mahkamah.
Kesepakatan negara merupakan dasar dari yurisdiksi Mahkamah.
Dalam hal negara yang bukan merupakan anggota PBB juga dapat mengajukan
sengketanya ke ICJ melalui rekomendasi dari dewan keamanan PBB. Dan sekali lagi tentu
saja harus ada kesepakatan antara para pihak.

Anda mungkin juga menyukai