LAPORAN
PRAKTIKUM TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN STERIL
INJEKSI NATRIUM TIOSULFAT
LABORATORIUM
TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN STERIL
SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA
BANDUNG
2020
Zat Aktif : Natrium Tiosulfat
1
Jumlah Sediaan : 2 ampul @5ml
Sediaan : Injeksi Intravena
I. FORMULA
R/ Natrium Tiosulfat 10 %
Dinatrii Hydrogen Phospat 0,9 %
Natrii Dihydrogen Phospat 0,48 %
Aqua Pro Injection ad 5 ml
(Formularium Nasional, 1978 : 208)
IV. MONOGRAFI
4.1 Natrium Tiosulfat
2
Struktur :
3
pH : 9,1 – 9,5
Inkompatibilitas : Alkaloid antipirin, kloralhidrat, asetat,
pirogalol, resorsinol, striknin, Ca-glukonat
(Handbook of pharmaceutical excipient Ed 6, 2009: 656)
4
adanya air atau kelembaban).
(Farmakope Indonesia V,2004:112)
V. PENIMBANGAN
Natrii Thiosulfat = 2,400 mg
Na2HPO4 = 216 mg
NaH2PO4 = 33, 8 mg
Aqua Pro Inj = 23,2 mL (24 mL)
5
di las. Sediaan dalam ampul kemudian disterilisasi dalam autoklaf dengan
suhu 121oC selama 15 menit. Dilakukan evaluasi.
6
VIII. DATA PENGAMATAN
Tabel 8.1 Hasil Evaluasi Sediaan Natrium Tiosulfat
Evaluasi Syarat Hasil
Kejernihan Jernih Jernih
Penampilan fisik wadah Baik Baik
Kebocoran ampul Tidak Bocor Tidak Bocor
Jumlah sediaan 2 Ampul 2 Ampul
Keseragaman volume Seragam Seragam
IX. PEMBAHASAN
Pada praktikum sediaan steril kali ini, dilakukan pembuatan sediaan injeksi
yang mengandung natrium tiosulfat sebagai zat aktif. Sediaan ini dimaksudkan
untuk penderita yang mengalami keracunan sianida. Menurut Cairns (2008)
mengatakan bahwa natrium tiosulfat akan menstimulasi produksi enzim rhodanse
di dalam hati yang akan membantu menetralisisr racun sianida dengan diubah
menjadi ion tiositrat yang tidak toksik. Sediaan injeksi natrium tiosulfat ini
diberikan secara intra vena yaitu langsung masuk ke dalam peredaran darah agar
sediaan langsung didistribusikan melalui sistem peredaran darah. Menurut Syukri
(2002) mengatakan bahwa sediaan yang diinjeksikan melalui intravena tidak perlu
melalui tahap absorpsi, tetapi langsung didistribusikan melalui darah sehingga
kerja sediaan akan lebih cepat dan dosisnya pun lebih tepat. Jika melalui oral
maka dosisnya akan berkurang karena melalui first pass effect yang dapat
mengurangi dosis akibat dari adanya sediaan yang bereaksi dengan enzim. Oleh
karena itu, sediaan yang diinjeksikan melalui intravena memberikan efek yang
lebih cepat.
Dalam pembuatan injeksi ini digunakan zat aktif yaitu natrium tiosulfat.
Natrium tiosulfat ini dilarutkan dengan aqua pro injection (API) yang sudah bebas
dari gas CO2. Tujuan dipanaskannya API ini dimaksudkan untuk menghilangkan
gas yang terdapat di dalam API. Hal ini dikarenakan menurut Cairns (2008) gas
CO2 dapat bereaksi dengan zat aktif sediaan ini. Natrium tiosulfat dapat larut
dengan API sesuai dengan Farmakope Indonesia Edisi V (2014) yang mengatakan
bahwa natrium tiosulfat memiliki kelarutan yang sangat mudah larut dalam air
dan tidak larut dalam etanol. API digunakan sebagai pembawa karena dapat
7
melarutkan zat aktif sehingga sediaan akan jernih. Menurut Goeswin (2009) yang
mengatakan bahwa salah satu syarat sediaan steril yaitu sediaan harus jernih.
Selain itu, API juga relatif lebih aman dibandingkan pelarut lain karena API
merupakan cairan yang bebas pirogen (zat yang dapat menyebabkan demam)
sehingga cocok digunakan untuk sediaan-sediaan parenteral.
Pada pembuatan injeksi natrium tiosulfat ini juga ditambahkan 2 kombinasi
larutan dapar, yakni dinatrium hidrogen fosfat dan natrium dihidrogen fosfat
karena kedua dapat ini jika dikombinasikan akan menghasilkan larutan dapar
fosfat yang memiliki pH basa (pH = 8). Dapar ini ditambahkan ke dalam sediaan
karena menurut Sweetman (2009) mengatakan bahwa dapar fosfat dengan pH 8
diperlukan sebagai stabilitator sediaan injeksi ini agar tetap bersifat basa. Jika
didalam sediaan injeksi natrium tiosulfat terdapat asam maka akan bereaksi
dengan natrium tiosulfat dan membentuk sulfur yang dapat mencemari sediaan.
Pada sediaan ini tidak digunakan bahan pengawet dikarenakan volume
sediaan yang dibuat kecil atau sedikit, yaitu 5 mL dan juga karena penggunaan
injeksi dengan volume yang sedikit ini dimaksudkan untuk sekali penggunaan
sehingga tidak dibutuhkan pengawet. Selain itu, penggunaan bahan pengawet
pada sediaan injeksi dihindari karena apabila masuk langsung pada peredaran
darah sistemik dapat menimbulkan efek toksik.
Sediaan injeksi selain harus steril, sediaan injeksi juga harus isotonis.
Menurut Syukri (2002) isotonis adalah keadaan di mana tekanan osmosis yang
dimiliki sediaan sama dengan tekanan osmosis darah. Keadaan ini harus terpenuhi
karena apabila sediaan tidak isotonis, maka akan mengakibatkan terjadinya
krenasi (jika hipertonis) dan hemolisis (jika hipotonis). Kondisi hipertonis terjadi
akibat hilangnya kadar cairan dalam pembuluh darah karena tekanan osmosis di
luar pembuluh lebih besar sehingga menimbulkan pengerutan sel dan
menyebabkan sensasi perih saat sediaan diinjeksikan. Namun, hal ini hanya
berlangsung sementara dan tidak berbahaya karena sel dapat kembali seperti
semula. Berbeda halnya jika keadaannya hipotonis, maka keadaan ini dinilai
berbahaya karena akan menyebabkan sel menjadi pecah akibat dari tingginya
tekanan osmosis di dalam pembuluh sehingga menarik cairan di luar pembuluh
yang akan menyebabkan sel akan menggembung dan jika sudah terlalu
8
menggembung akan pecah (lisis). Sel yang pecah tidak akan bisa digunakan lagi,
semakin banyak sel yang pecah akan membahayakan tubuh. Oleh karena itu pada
praktikum ini dilakukan perhitungan tonisitas terlebih dahulu agar mengetahui
sediaan yang dibuat keadaannya hipotonis atau hipertonis. Dari hasil perhitungan
didapatkan hasil tonisitas sebesar 320,85 mL, dengan kata lain sediaan ini
hipertonis karena nilai tonisitasnya lebih dari 100 mL. Oleh karena itu, sediaan
yang akan dibuat ini tidak membutuhkan pengisotonis, karena walaupun muncul
sensasi perih tapi obat ini digunakan untuk pasien yang tidak sadar karena
keracunan sianida sehingga tidak akan terasa oleh pasien maka tidak masalah jika
sediaannya hipertonis.
Sebelum dimasukkan ke dalam ampul, sediaan yang telah tercampur di cek
pH terlebih dahulu. Menurut Formularium Nasional pH injeksi natrium tiosulfat
8-9,5 namun pH yang dihasilkan pH 7 sehingga ditambahkan NaOH untuk
menaikkan pH menjadi 8. Di tambahkan API sampai 29 ml, kemudian disaring
dengan milipore filter. Menurut Goeswin (2009) mengatakan bahwa penyaringan
digunakan untuk mencegah adanya zat asing atau partikel bermolekul besar yang
masuk ke dalam sediaan (kontaminan) untuk menjamin kesterilan dari sediaan.
Kemudian ampul disterilisasi kembali dengan teknik sterilisasi yang digunakan
yaitu sterilisasi akhir dengan autoklaf. Sediaan disterilisasi menggunakan autoklaf
dengan suhu 121oC selama 15 menit. Hal ini bertujuan untuk membunuh semua
mikroorganisme yang mungkin terdapat di dalam sediaan, karena pada suhu
121oC selama 15 menit adalah suhu dan waktu yang optimal untuk membunuh
bakteri. Selain itu, menurut Sweetman (2009) natrium tiosulfat memiliki titik
lebur 48 oC, sedangkan terurainya di atas 200 oC sehingga jika sediaan di sterilisasi
dengan autoklaf sifat kimianya tidak berubah, tetapi hanya sifat fisikanya saja
yang berubah menjadi cairan.
Hasil dari sediaan yang telah dibuat di evaluasi yang meliputi kejernihan,
penampilan fisik wadah, kebocoran ampul, jumlah sediaan, dan keseragaman
volume. Uji kejernihan bertujuan untuk mengetahui kejernihan injeksi yang
dibuat, hasil yang diperoleh dari ke 2 ampul adalah jernih. Menurut Sweetman
(2009) kejernihan suatu larutan dinyatakan jernih, jika kejernihan sama dengan air
atau pelarut yang digunakan. Sediaan injeksi harus jernih yang mengindikasikan
9
tidak ada cemaran yang masuk. Dari penampilan fisik wadah ampul memiliki
penampilan yang cukup baik karena memiliki ujung ampul yang tajam.
Kemudian untuk hasil dari uji kebocoran tidak adanya kebocoran pada 2 ampul
sehingga memenuhi persyaratan. Jika terdapat kebocoran, maka dosis yang
didapatkan tidak sesuai dengan dosis yang diinginkan, selain itu adanya
kebocoran dapat menyebabkan partikel asing masuk, partikel ini dapat berupa
mikroorganisme atau pirogen yang menandakan bahwa sediaan tersebut tidak
steril. Untuk jumlah sediaan yang diperoleh 2 ampul sesuai yang dibuat dalam
satu batch. Selanjutnya, evaluasi keseragaman volume dari ke 2 ampul dapat
dilihat bahwa volume masing-masing ampul adalah cukup seragam.
X. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa sediaan injeksi Natrium Tiosulfat yang dibuat
adalah sediaan steril yang baik karena sebagian besar hasilnya memenuhi
persyaratan evaluasi sediaan steril.
XI. LAMPIRAN
11.1 Perhitungan
Setiap sediaan mengandung : Natrii Thiosulfat 10%
Volume/Bobot sediaan : 5 mL
Jumlah sediaan : 3 ampul (15 mL)
11.1.1 Perhitungan Tonisitas
Ekivalen NaH2PO4
Liso
E = 17.
BM
3,4
= 17.
141,9119,986
= 0,48
10
Ekivalen Na2HPO4
Liso
E = 17.
BM
4,3
= 17.
141,96
= 0,51
V = Ʃ (E.C) x 111,1
= 3,788 x 111,1
= 420,85 mL
Tonisitas larutan yang sebenarnya
100 – 420,85 = -320,85 ( Hipertonis)
11.1.2 Perhitungan Volume
Jumlah sediaan yang akan dibuat: 5 Ampul
Ampul = (n+2) x C+2 mL
= (2+2) x 5,3 + 2 mL
= 23,2 mL ͌ 24 mL
11.2 Kemasan
11.2.1 Kemasan Primer
11
11.2.2 Kemasan Sekunder
12
Gambar 11.2 Kemasan Sekunder
13
11.2.3 Brosur
14
11.2.4 Label
15
DAFTAR PUSTAKA
16