Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang sempurna yang tentunya sudah memiliki aturan dan
hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan
hukum memiliki sumber-sumbernya sendiri sebagai pedoman dan pelaksananya.
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin
terwujudnya kehidupan manusia yang lebih baik, sejahtera lahir dan batin.

Untuk itu kita sebagai umat Islam yang taat harus mengetahui sumber-sumber
ajaran Islam yang ada, serta mengetahui isi kandunganya. Namun sumber-sumber
tersebut tidak hanya di jadikan sebagai pengetahuan saja, tetapi harus diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.

Petunjuk-petunjuk agama yang mengenai berbagai kehidupan manusia,


sebagaimana terdapat dalam sumber ajarannya, yaitu Al-Qur’an yang merupakan sumber
ajaran Islam pertama dan Hadist merupakan sumber yang kedua, tampak ideal dan agung.
Ditambah lagi dengan berbagai pemikiran-pemikiran ulama’ tentang hukum-hukum yang
masih global di pembahasan Al-Qur’an dan Hadist.

Al-Qur’an adalah kitab suci yang isinya mengandung firman-firman Allah SWT
turun secara bertahap kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat jibril. Sunnah
adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik perbuatan,
perkataan, dan penetapan pengakuan. Dan Al-ra’yu berarti orang yang berpegang kepada
akal.Islam mengajarkan kehidupan yang damai, menghargai akal pikiran mengenai
berbagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam
memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian
sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, mencintai kebersihan,
mengutamakan persaudaraan, menghormati antar agama, berakhlak mulia, dan bersikap
positif lainnya.

B. Tujuan
Tujuan umum :Sebagai media pembelajaran mahasiswa
Tujuan khusus :
 Agar mahasiswa mengerti sumber-sumber ajaran islam

1
 Agar mahasiswa mengerti tentang simber ajaran islam melalui Al-Qur,an
 Agar mahasiswa mengerti tentang simber ajaran islam melalui Hadits
 Agar mahasiswa mengerti tentang simber ajaran islam melalui Al-Ra’yu
 Agar mahasiswa lebih taat beragama setelah mengetaui tentang sumber-
sumber ajaran islam

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sumber-sumber ajaran islam melalui Al-Qur’an?
2. Bagaimanakah sumber-sumber ajaran islam melalui Hadits?
3. Bagaimanakah sumber-sumber ajaran islam melalui Ijtihad?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sumber Ajaran Islam


Agama Islam memiliki aturan–aturan sebagai tuntunan hidup kita baik dalam
berhubungan sosial dengan manusia (hablu minannas) dan hubungan dengan sang
khaliq Allah SWT (hablu minawallah) dan tuntunan itu kita kenal dengan hukum
Islam atau syariat Islam atau hukum Allah SWT. Sebelum kita lebih jauh membahas
mengenai sumber-sumber syariat Islam, terlebih dahulu kita harus mengetahui definisi
dari hukum dan hukum Islam atau syariat Islam. Hukum artinya menetapkan sesuatu
atas sesuatu atau meniadakannya. Menurut ulama usul fikih, hukum adalah tuntunan
Allah SWT (Alquran dan hadist) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang
yang sudah balig dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan
sesuatu sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah (kemudahan) atau azimah.
Melalui penjelasan singkat mengenai pengertian hukum tadi barulah kita
mengerti pengertian hukum Islam. Yang dimaksud sebagai sumber hukum Islam ialah
segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat Islam. Pada
umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum Islam adalah
Alquran dan hadist. Dalam sabdanya Rasulullah SAW bersabda, “Aku tinggalkan
bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama
kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah (Alquran) dan sunahku (Hadis).”
(H.R. Al Baihaqi) dan disamping itu pula para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai
salah satu dasar hukum Islam, setelah Alquran dan hadist.
Sumber ajaran Islam dirumuskan dengan jelas oleh Rasulullah SAW, yakni
terdiri dari tiga sumber, yaitu kitabullah (Alquran), as- sunnah (hadist), dan ra’yu atau
akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Ketiga sumber ajaran ini
merupakan satu rangkaian kesatuan dengan urutan yang tidak boleh dibalik. Sumber-
sumber ajaran Islam ini dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu sumber ajaran
Islam yang primer (Alquran dan hadist) dan sumber ajaran Islam sekunder (Al-
Ra’yu).

B. Al-Qur’an
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia

3
hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut
sumber pertama atau Asas Pertama Syara'.

Secara etimologi, Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan atau
qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu).
Huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur dikatakan al-
Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu
pengetahuan.

Sedangkan secara terminologi, Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang


diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasul terakhir melalui perantara
malaikat Jibril, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. [1]
Sedangkan menurut para ulama, Alquran adalah Kalamullah yang diturunkan pada
Rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara
mutawatir serta membacanya adalah ibadah.Adapun kandungan dalam al-Qur’an
antara lain:

1. Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap ke-Esaan Allah dan semua


kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya.
2. Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari
kepercayaan ajaran tauhid.
3. Janji dan ancaman (al wa’d wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi orang yang
percaya dan mau mengamalkan isi al-Qur’an dan ancaman siksa bagi
orang yang mengingkarinya.
4. Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan
risalah Allah maupun kisah orang-orang shaleh ataupun orang yang
mengingkari kebenaran al-Qur’an agar dapat dijadikan pembelajaran bagi
umat setelahnya.
5. Berita tentang zaman yang akan datang. Yakni zaman kehidupan akhir
manusia yang disebut kehidupan akhirat.
6. Benih dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, yakni informasi-informasi
tentang manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, langit, bumi, matahari dan
lain sebagainya.[2]

4
Fungsi  Al-Qur’an

Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama,
yakni  sebagai hudá (petunjuk), bayyinát (penjelasan) dan furqán (pembeda). Sebagai 
hudá, artinya Al-Qur’an merupakan  aturan yang harus diikuti  tanpa tawar menawar
sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang
tidak mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru mengabaikan petunjuk yang ada
pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37). Petunjuk yang ada
pada Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah  bukan  cerita yang dibuat-buat
(QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk dalam mengelola
bumi. 

Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi  memberikan penjelasan


tentang  apa-apa  yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya sebagai 
bayyinát, Al-Qur'an  harus dijadikan rujukan semua peraturan yang dibuat oleh
manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan sendiri sebab sistem aturan produk
akal manusia sering hanya bersifat  trial and error.

Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau  pembeda antara yang


haq  dan yang báthill,  antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang diyakini
benar oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufurr.  

Selanjutnya fungsi lain Al-Qur’an sebagai Syifa (obat, resep). Ibarat resep


dokter, pasien sering sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya, akan  tetapi
walaupun begitu,  pasien tetap percaya bahwa resep itu benar mustahil salah karena
dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah kebenaran otoritas.  Demikian pula
dengan Al-Qur’an, ia adalah resep dari Allah yang sudah pasti benar mustahil salah
karena Allah adalah Maha Benar.

Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, yaitu:

1. Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia


dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum
ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid,
Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2. Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia
dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia

5
dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan
disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu
Fikih.
3. Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia
dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum
ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut
Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.

C. As-Sunnah atau Al-Hadits


Ditinjau dari segi bahasa terdapat perbedaan arti antara kata “Sunnah” dengan
“Hadis”. Sunnah berarti tata cara, tradisi, atau perjalanan, sedangkan Hadis berarti,
ucapan atau pernyataan atau sesuatu yang baru. As-Sunnah juga berarti pula jalan
hidup yang dibiasakan, baik jalan hidup yang baik atau buruk, terpuji atau tercela. [3]
Jumhurul Ulama mengartikan Al-Hadis, Al-Sunnah, Al-Khabar dan Al-Atsar sama
saja, tetapi ada sebagian lainya yang membedakannya. Sunnah diartikan sebagai
sesuatu yang dibiasakan atau lebih banyak dikerjakan dari pada ditinggalkan.
Sebaliknya, Hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, namun jarang
dikerjakan. Selanjutnya Khabar adalah ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal
dari sahabat, dan Atsar berasal dari tabi’in.[4]

Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua berfungsi :

1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, sehingga


kedua-duanya (Al-Qur’an dan Al-Hadits) menjadi sumber hukum. Seperti ayat Al-
Qur’an yang berkaitan dengan keimanan kemudian dikuatkan oleh sunnah Rasul.
2. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih
bersifat global. Misalnya ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar
zakat, dan menunaikan haji, semuanya itu bersifat garis besar, Tetapi semua itu
telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam Haditsnya.
3. Mengkhususkan atau menberi pengecualian terhadap pernyataan Al-Qur’an yang
bersifat umum (takhsish al-‘amm). Misalnya, Al-Qur’an mengharamkan bangkai
dan darah “diharamkan bagimu (memekan) bangkai, darah dan daging babi...”[5],
kemudian sunnah memberikan pengecualian “dihalalkan kepada kita dua bangkai
dan dua macam darah. Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang, dan dua
darah adalah hati dan limpa.” (HR.Ahmad, Ibnu Majah, dan Baihaqi).

6
4. Menetapkan hukum atau aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an. Misalnya
cara mensucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuh tujuh kali, salah
satu dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :“Menyucikan
bejanamu yang dijilat anjing, sebanyak tujuh kali, salah satunya menyucikan
dicampur dengan tanah.” (H.R. Muslim Ahmad, Abu Daud dan Baihaqi).

As-Sunnah dibagi menjadi empat macam, yakni:

1. Sunnah Qauliyah
Sunnah Qauliyah adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW., yang
berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa,
dan keadaan, baik yang berkaitan dengan aqidah, syari’ah, ahlak maupun yang
lainnya. Contonya tentang do’a Rosul SAW dan bacaan al-Fatihah dalam shalat.
2. Sunnah Fi’liyah
Sunnah Fi’liyah adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW., berupa
perbuatannya sampai kepada kita. Seperti Hadis tentang Shalat dan Haji.
3. Sunnah Taqririyah
Sunnah Taqririyah adalah segala hadts yang berupa ketetapan Nabi SAW.
Membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, setelah memenuhi
beberapa syarat, baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya. Diantara contoh
hadis Taqriri, ialah sikap Rosul SAW. Membiarkan para sahabat membakar dan
memakan daging biawak.[6]
4. Sunnah Hammiyah
Sunnah Hammiyah adalah hadis yang berupa hasrat Nabi SAW. Yang belum
terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Dalam riwayat
Ibn Abbas, disebutkan sebagai berikut:“Ketika Nabi SAW berpuasa pada hari
‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: Ya
Nabi! Hari ini adalah hari yang diagung-agungkan orang Yahudi dan Nasrani
.Nabi SAW. Bersabda: Tahun yang akan datang insya’Allah aku akan berpuasa
pada hari yang kesembilan”. (HR.Muslim) Nabi SAW belum sempat
merealisasikan hasratnya ini, karena wafat sebelum sampai bulan ‘Asyura.
Menurut Imam Syafi’iy dan para pengikutnya, bahwa menjalankan Hadits Hammi
ini disunnahkan,  sebagaimana menjalankan sunnah-sunnah yang lainnya.

7
D. Al-Ra’yu
Kata al-ra’yu berasal dari kata ra’a, yarā’ ra’yan yang berarti
memperlihatkan, kemudian dari kata tersebut terbentuk katara’yun yang
jamaknya arā’u artinya pendapat pikiran. Dalam Maqāyis dikatakan bahwa ahl al-
ra’yu adalah orang yang berpegang kepada akal.[7] Istilah al-ra’yu dalam Ilmu Ushul
adalah mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum syara’ yang
bersifatzanni, dengan menggunakan rasio yang kuat dan yang bersangkutan merasa
tidak mampu lagi mengupayakan lebih dari itu.[8]
Berkenaan dengan batasan definisi al-ra’yu di atas, maka dipahami bahwa
hanyalah hukum-hukum syara’ yang praktis danzhanni yang dapat dimasuki al-ra’yu.
Selain itu, dalam definisi tersebut juga diketahui al-ra’yu adalah mencurahkan segala
kemampuan berdasarkan rasio yang hanya dapat dilakukan oleh seorang muslim yang
kuat akal dan aqidahnya, mulia akhlaknya, menguasai bahasa Alquran dan hadis,
mengetahui usul fikih, ilmu fikih dan maqāshid al-syari’ah.[9] Jadi penggunaan ra’yu
menurut ajaran Islam tidak sama dengan berpikir lieberal yang hanya mengutamakan
rasio saja, dan mengesampingkan aqidah, akhlak, pengetahuan yang mendalam
tentang Alquran dan hadis, serta kaidah-kaidah fikih.

Al-Ra’yu sebagai Sumber Hukum

Keabsahan al-ra’yu sebagai sumber hukum Islam bersumber dari riwayat


hadis tentang diutusnya Muaz bin Jabal ke Yaman oleh Nabi saw. Ketika sahabat
Mu’az bin Jabal diutus oleh Nabi saw ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim,
beliau diizinkan oleh Nabi saw untuk menggunakan ra’yu.

Dalam perkembangan ilmu Islam, dikenal tiga kelompok yang meng-


gunakan ra’yu,[10] yaitu para ahli fikir teologi(mutakallimun), para ahli fikir bidang
hukum (fuqaha), dan para ahli fikir filsafat murni (filosof). Ketika kelompok tersebut
sama-sama memfungsikan akal untuk melakukan kegiatan berfikir dan menalar.
Namun karena bidang garapannya berbeda, maka masing-masing kelompok
memounyai dan mengembangkan metode yang berbeda.

Fungsi Ijtihad

1. Meberikan kebebasan berfikir kepada manusia untuk memecahkan beragam


persoalan yang dihadapi sesuai dengan ketentuan hukum islam.

8
2. Memberikan kebebasan berfikir untuk kembali mengkaji hukum islam yang telah
lalu sehingga hukum tersebut tetap digunakan untuk masa kini.
3. Agar tidak terjadi pemikiran pendek umat islam dan menghindari segala bentuk
taqlid.
4. Memberi kejelasan hukum terhadap persoalan yang tidak ada ketentuan hukum
sebelumnya.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sumber-sumber islam adalah hal yang penting, karena sumber islam
merupakan pedoman untuk menjalani hidup. Sumber islam itu adalah segala sesuatu
yang melahirkan atau menciptakan aturan yang memiliki kekutan yang bersifat
mengikat. Dan apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber ajaran yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW terdiri dari 3 sumber yaitu: Al-
Qur’an, As-Sunnah, dan Al-Ra’yu.

B. Saran
Demikian lah makalah ini kami susun. Kurang lebihnya kami mohon maaf.
Semoga makalah ini bisa berguna bagi kita semua. Terima kasih.

10
DAFTAR PUSTAKA

Al-Siba’i,  Musthafa. 1991.Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam. Jakarta:
Pustaka Firdaus.

Suryaman, Khaer. 1982.Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif
Hidayatullah.

Suparta, Munzier. 2002.Ilmu Hadis. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Qosim, Rizal. 2009. Pengalaman Fikih. Solo: PT  Tiga Serangkai Mandiri.

Alim, Muhammad, 2006, Pendidikan Agama Islam (Upaya Pembentukan Pemikiran dan
Kepribadian Muslim), Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mubarak, Abdul Haris.2016. http://harismubarak.blogspot.co.id/2016/06/kedudukan-ar-rayu-


sebagai-landasan.html. (diakses pada 09/10/17 pukul 13.29 WIB)

11
FOOTNOTE

[1] Rois Mahfud, Al-Islam (Pendidikan Agama Islam), (Erlangga, 2011), hlm.108.

[2] Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), hlm.74.

[3] Musthafa Al-Siba’i, Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991), hlm.1.

[4] Khaer Suryaman, Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif
Hidayatullah, 1982), hlm.31.

[5] Lihat QS.Al-Maidah: 3.

[6] Munzier Suparta, ,Ilmu Hadis, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.1.

[7]Abū Husayn Ahmad Ibn Fāris bin Zakāriyah, Mu’jam Maqāyis al-Lughah (Mesir: Isā al-
Bāb al-Halab wa Awlāduh, 1972), h.147

[8]H. Minhajuddin, Filasafat Hukum Islam (Cet.I; Ujungpandang: Yayasan Ahkam, 1994),


h.7.

[9]Ibid., h. 8

[10]Uraian tentang fungsi akal dan wahyu tekah dibahas dengan cermat oleh Harun Nasution
dalam bukunya, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah dan Perbandingan (Jakarta: Universitas
Indonesia Pres, 1986), h. 79-145

12

Anda mungkin juga menyukai