Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Financial inclusion merupakan suatu upaya yang bertujuan meniadakan segala bentuk
hambatan terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan perbankan
dengan didukung oleh infrastruktur yang ada (BI 2013). Dari sisi makro, program ini diharapkan
dapat memberikan manfaat kesejahteraan bagi rakyat banyak karena masyarakat Indonesia masih
banyak yang belum bisa mengakses pelayanan jasa lembaga keuangan perbankan. Hal ini
menjadi perhatian Bank Indonesia untuk mendorong sistem lembaga keuangan perbankan agar
dapat diakses di seluruh lapisan masyarakat.Urgensi memperluas layanan keuangan kepada
masyarakat didasari oleh hasil Survey Neraca Rumah Tangga yang dilakukan oleh Bank Dunia
melalui Global Financial Inclusion Index (Findex) menyebutkan, orang dewasa yang telah
memiliki rekening bank di Indonesia pada 2017 lalu hanya 48,9%. Lebih dari dua miliar
penduduk dewasa di dunia belum memiliki akses terhadap layanan keuangan formal yang
diketahui sebagai populasi unbanked (World Bank, 2018).

Berdasarkan data dari Bank Indonesia, kendala yang dihadapi dalam memperluas
financial inclusion secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni kendala yang dihadapi
masyarakat dan lembaga keuangan perbankan. Bagi masyarakat, kendala yang dihadapi seperti
tidak adanya bank di sekitar tempat tinggalnya atau memakan waktu yang cukup lama untuk
menuju kantor cabang terdekat, selain itu juga tingkat pemahaman terhadap pengelolaan
keuangan yang masih kurang. Adapun kendala yang dihadapi oleh lembaga keuangan perbankan
diantaranya adalah keterbatasan cakupan wilayah dalam memperluas jaringan kantor. Di sisi
lain, untuk menambah jaringan kantor di daerah terpencil bank dihadapkan pada persoalan biaya
pendirian yang relatif mahal. Sehingga Branchless Banking diharapkan dapat menjembatani
kendala tersebut untuk mendekatkan layanan perbankan kepada masyarakat khususnya yang jauh
dari kantor bank. Branchless Banking sebagai bagian dari program financial inclusion untuk
memberikan jasa keuangan dan sistem pembayaran secara terbatas melalui unit khusus
pelayanan keuangan atau agen tanpa harus melalui pendirian kantor fisik bank. Branchless
Banking merupakan solusi yang dapat menghemat biaya dalam memberikan pelayanan
perbankan untuk mereka yang tinggal di daerah terpencil. Model Branchless Banking yang
diterapkan di negara Brazil menggunakan agen retail seperti supermarket, apotek, dan agen retail
lainnya. Dengan menggunakan model tersebut, ternyata hanya mengeluarkan biaya 0,5% dari
biaya mendirikan kantor cabang (Khattab 2012). Selain Brazil, negara lain yang paling popular
mengaplikasikan Branchless Banking antara lain India, Afrika Selatan, Filipina, dan Kenya.

Peran agen sebagai perpanjangan tangan dari program branchless banking secara efektif
menghubungkan masyarakat unbaked dan underbanked secara luas sehingga mereka berpeluang
untuk mendapatkan kehidupan baik dan membantu lembaga perbankan, lembaga non perbankan
serta pemerintah dalam menjangkau masyarakat miskin dengan micro payment, selain
ituprogram ini dapat membantu akses keuangan dengan biaya roll-out dengan kehadiran fisik dan
biaya pengamanan transaksi dengan nilai rendah seperti transaksi tunai, pembukaan rekening,
pembiyaan untuk nasabah mikro, asuransi mikro dan produk keuangan lainnya secara online
melalui handphone. Sehingga akan mengakibatkan pengurangan biaya yang tajam , menciptakan
kesempatan meningkatkan pangsa populasi dengan akses ke pembiayaan formal secara
signifikan, dan memberikan peluang bagi masyarakat awam perbankan untuk mendapatkan
layanan keuangan khususnya di daerah pedesaan tempat dimana banyak orang miskin
tinggal.Namun kondisi saat ini tidak semua lapisan masyarakat memahami layanan branchless
banking karena sebagian masyarakat lebih senang dengan cara konvensional yakni pergi ke teller
atau menggunakan fasilitas ATM.

1.2 Rumusan Masalah


Kebijakan Bank Indonesia untuk meningkatkan financial inclusion di Indonesia adalah
dengan mendorong lembaga keuangan perbankan untuk mengaplikasikan Branchless Banking.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah yang akan diangkat dalam
penulisan makalah ini adalah “Apakah dampak Branchless Banking terhadap kinerja keuangan
Bank di Indonesia?”
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk memenuhi tugas matakuliah Bank dan Lembaga Keuangan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Financial Inclusion

Menurut Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Bank Indonesia 2014
menyatakan bahwa keuangan inklusif didefinisikan sebagai suatu strategi nasional yang
bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan pendapatan, pengentasan
kemiskinan, dan stabilitas sistem keuangan. Visi keuangan inklusif adalah mewujudkan sistem
keuangan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi, penanggulangan kemiskinan, pemerataan pendapatan dan terciptanya stabilitas sistem
keuangan di Indonesia (DPAU BI 2014). Adapun indikator keuangan inklusif adalah
diperlukannya suatu ukuran kinerja untuk mengetahui sejauh mana perkembangan kegiatan
keuangan inklusif. Dari beberapa referensi, indikator yang dapat dijadikan ukuran sebuah negara
dalam mengembangkan keuangan inklusif yakni :
a. Ketersediaan / akses : mengukur kemampuan penggunaan jasa keuangan formal dalam hal
keterjangkauan fisik dan harga.
b. Kualitas : mengukur apakah atribut produk dan jasa keuangan telah memenuhi kebutan
pelanggan.
c. Kesejahteraan : mengukur dampak layanan keuangan terhadap tingkat kehidupan pengguna
jasa.

2.2 Branchless Banking

2.2.1 Pengertian Branchless Banking

Menurut Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK, Branchless Banking


atau dalam Bahasa Indonesia sering disebut dengan LAKU PANDAI (Layanan Keuangan Tanpa
Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif) merupakan suatu program penyediaan layanan
perbankan dan layanan keuangan lainnya melalui kerjasama dengan pihak lain (agen Bank) dan
didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi. Dengan adanya Branchless Banking
diyakini berpotensi untuk mengurangi biaya dan justru meningkatkan layanan perbankan dan
keuangan lainnya tanpa kantor fisik yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat di
seluruh Indonesia serta menyediakan produk-produk keuangan yang sederhana, mudah dipahami
dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Sarah 2015).

2.2.2 Tujuan Kebijakan Branchless Banking

Menurut dari pihak OJK tujuan dari kebijakan Branchless Banking adalah sebagai berikut
:
a. Menyediakan produk-produk keuangan yang sederhana, mudah dipahami dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat yang belum dapat menjangkau layanan keuangan saat ini.
b. Dengan semakin banyaknya anggota berbagai kelompok masyarakat di berbagai wilayah di
Indonesia menggunakan layanan keuangan / perbankan, diharapkan kegiatan ekonomi
masyarakat dapat semakin lancar sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
pembangunan antar wilayah di Indonesia terutama antara desa – kota.

2.2.3 Syarat- syarat Bank yang dapat menjadi Penyelenggara Program Branchless Banking

Menurut pihak OJK, ada beberapa syarat yang dapat menjadikan Bank tersebut
menerapkan program Branchless Banking, antara lain :
a. Berbadan hukum Indonesia.
b. Memiliki profil risiko sesuai yang disyaratkan.
c. Memiliki jaringan kantor di Wilayah Indonesia Timur dan / atau NTT.
d. Memiliki produk dan aktivitas sms Banking / mobile Banking dan internet Banking /
host to host.

2.2.4 Pelaku Agen Branchless Banking Berdasarkan penjelasan dari pihak OJK

pelaku agen Branchless Banking terdiri dari :


a. Perorangan : 1) Penduduk setempat.
2) Memiliki kegiatan di lokasi sebagai sumber penghasilan utama.
3) Memiliki kemampuan, kredibilitas, reputasi dan integritas.
b. Badan Hukum : 1) Berbadan hukum Indonesia yang diperkenankan melakukan kegiatan di
bidang
keuangan atau memiliki retail outlet.
2) Memiliki kegiatan usaha di lokasi.
3) Memiliki teknologi informasi yang memadai.
4) Memiliki reputasi, kredibilitas dan kinerja yang baik.
2.2.5 Perjanjian Kerjasama antara Bank Penyelenggara dengan Agen Branchless Banking
Menurut OJK
ada beberapa yang harus diatur dalam perjanjian kerjasama antar Bank penyelenggara
dengan agen Branchless Banking yaitu :
a. Hak dan kewajiban Bank dan penyelenggara agen.
b. Ruang lingkup layanan yang dapat disediakan agen termasuk kualitas standar minimum
pemberian layanan oleh agen.
c. Penetapan wilayah kerja operasional agen.
d. Penetapan klasifikasi agen.
e. Jangka waktu pelaksanaan kerjasama dan mekanisme perpanjangannya.
f. Mekanisme dan hubungan kerja antara Bank penyelenggara dan agen.
g. Syarat dan tata cara perubahan perjanjian kerjasama.
h. Penetapan sanksi dan mekanisme pengenaan sanksi.
i. Kondisi dan tata cara penghentian perjanjian kerjasama.
j. Tata cara, termasuk tempat penyelesaian perselisihan.
k. Tata cara dan syarat pemindahan lokasi agen.

2.3. Analisis Kinerja Keuangan Perbankan

Laporan keuangan Bank menunjukkan kondisi keuangan Bank secara keseluruhan.


Dalam menilai kinerja perusahaan banyak indikator yang digunakan, diantaranya financial
statement baik berupa neraca yang menunjukkan posisi keuangan perusahaan pada saat tertentu,
maupun laporan laba rugi yang merupakan laporan operasi perusahaan selama periode tertentu.
Dengan demikian, laporan keuangan di samping menggambarkan kondisi keuangan suatu Bank
dan untuk menilai kinerja manajemen Bank yang bersangkutan. 16 Dalam mengukur kinerja
keuangan Bank, maka perlu dilakukan analisis terlebih dahulu. Analisis yang digunakan adalah
dengan menggunakan rasio-rasio keuangan sesuai dengan standar yang berlaku (Kasmir 2000)

2.4. Analisa SWOT

Analisa SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi
perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (streghts)
dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(weakness) dan ancaman (threats) (Rangkuti 2013). Proses pengambilan keputusan strategis
selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan. Dengan
demikian perencana strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan dalam
kondisi yang ada saat ini. Menurut Rangkuti (2013) proses penyusunan perencanaan strategis
melalui tiga tahap analisis, yaitu:
1. Tahap pengumpulan data
2. Tahap analisis
3. Tahap pengambilan keputusan
Fokus dasar pertama menurut Pearce (2013) dalam analisis SWOT adalah:
1. Strength, merupakan sumber daya atau kapabilitas yang dimiliki perusahaan yang membuat
perusahaan relatif lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya dalam memenuhi kebutuhan
pelanggan.
2. Weakness, merupakan keterbatasan atau kekurangan dalam satu atau lebih sumber daya atau
kapabilitas suatu perusahaan yang menjadi hambatan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan.
3. Opportunity, merupakan situasi utama yang menguntungkan dalam lingkungan suatu
perusahaan. Identifikasi atau segmen pasar yang sebelumnya terlewatkan, perubahan dalam
kondisi persaingan atau regulasi, perubahan teknologi, dan membaiknya hubungan dengan
pembeli dapat menjadi peluang bagi perusahaan.
4. Threat, merupakan situasi utama yang tidak menguntungkan dalam lingkungan suatu
perusahaan. Ancaman merupakan penghalang utama bagi perusahaan dalam mencapai posisi saat
ini yang diinginkan. Masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar yang lamban, meningkatnya
kekuatan tawar-menawar dari pembeli, perubahan teknologi, dan direvisinya atau pembaruan
peraturan dapat menjadi penghalang bagi keberhasilan suatu perusahaan.
BAB III

Sumber : https://www.aturduit.com/articles/minimnya-pemilik-rekening-bank-indonesia/

Waktu : 27 September 2019

Hal : Banyak Orang Dewasa di Indonesia Tidak Punya Rekening Bank


Sumber : https://analisis.kontan.co.id/news/pr-inklusi-keuangan-pemerintah-2019-2024

Waktu : 15 Juli 2019

Hal : Penyebab Banyak Orang Dewasa di Indonesia Tidak Punya Rekening Bank
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan Branchless banking di Indonesia


Uji coba program branchless banking ini dilakukan oleh Bank Indonesia pada bulan Mei
hingga Desember tahun 2013. Terdapat lima bank besar yang terlibat dalam pilot project tersebut
yaitu Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank CIMB Niaga, Bank Tabungan
Pensiunan Negara (BTPN), dan Bank Sinar Harapan Bali. Uji coba tersebut bertujuan mencari
bentuk paling cocok pelaksanaan branchless banking di Indonesia dan untuk menemukan pola
yang nantinya bisa diterapkan untuk seluruh bank, baik yang konvensional maupun syariah, serta
seberapa signifikan penambahan jumlah nasabah baru karena adanya program tersebut. Karena,
menurut survei World Bank tahun 2010, baru 51 persen masyarakat Indonesia yang sudah
mengakses lembaga keuangan, sedangkan sisanya sekitar 49 persen masih belum mengakses
lembaga keuangan.
Branchless banking dinilai penting, selain menciptakan keterbukaan akses ke lembaga
keuangan, juga mendorong perkembangan ekonomi mikro nasional, sehingga terjadi pergerakan
ekonomi masyarakat dan menumbuhkan perekonomian nasional. Direktur Eksekutif Hubungan
Masyarakat Bank Indonesia (BI) Difi A Johansyah mengatakan, pilot project branchless
banking yang diluncurkan pada 15 Mei 2013 lalu, masih berjalan dengan baik. Hingga saat ini
bank-bank pelaksana telah menjalankan program tersebut sesuai dengan pedoman yang dibuat
oleh BI. Bahkan, sejak diluncurkannya hingga sampai saat ini belum ada pengaduan dari
masyarakat.
Layanan branchless banking sendiri telah diterapkan oleh Bank Mandiri. Mulanya Bank
Mandiri melakukan studi ke Kenya, Afrika Timur untuk mempelajari tentang branchless
banking. Kenya dipilih karena sukses menerapkan branchless banking di negaranya dengan
nama M-Pesa, di mana orang bisa akses jasa perbankan tanpa cabang.
Layanan branchless banking Bank Mandiri memanfaatkan ponsel (teknologi) sebagai
pengganti kantor cabang. Lewat ponsel bisa dilakukan kegiatan seperti menabung dan transfer
uang dengan nominal maksimal Rp 1 juta. Namun layanan ini masih dalam tahap uji coba.
Karena masih ada evaluasi untuk beberapa hal-hal teknis yang dimungkinkan ada kelemahan dan
dikhawatirkan ada penyalahgunaan.
4.2. Financial inclusion
Melihat masih rendahnya tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap pinjaman bank, yaitu
19,5 persen dari total populasi Indonesia, perbankan didorong untuk mewujudkan Financial
inclusion melalui peningkatan jangkauan distribusi perbankan hingga ke daerah pelosok dan
kegiatan edukasi terhadap masyarakat tentang keuangan, sehingga tercipta literasi keuangan. Dua
peran perbankan untuk mewujudkan Financial inclusion (keuangan inklusif) atau disebut juga
dengan “keuangan untuk semua”.
Keuangan inklusif merupakan suatu kondisi di mana seluruh lapisan masyarakat memiliki
akses terhadap sistem keuangan. Bukan hanya terhadap perbankan, tapi lembaga keuangan
lainnya. Untuk mewujudkan keuangan inklusif maka perlunya mendorong perbankan untuk
mewujudkannya  melalui edukasi keuangan terhadap masyarakat dan meningkatkan jangkauan
distribusi perbankan ke daerah pelosok (Supartoyo & Kasmiati, 2014).
Financial inclusion merupakan koreksi terhadap financial exclution yang dalam
penjelasannya adalah sebuah kondisi finansial yang hanya menguntungkan segelintir pihak saja.
Definisi lain dari Financial inclusion menurut World Bank (2008) dan European Commision
(2008) adalah sebagai suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk menghilangkan segala
bentuk hambatan baik dalam bentuk harga ataupun non harga terhadap akses masyarakat dalam
menggunakan atau memanfaatkan layanan jasa keuangan.
Rakhmindyarto & Syaifullah menyebutkan keuangan inklusif menjadi penting dan
mendesak karena masih banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang belum memiliki akses ke
sektor keuangan formal. Ditambah lagi bahwa sektor keuangan formal merupakan barang publik
dan oleh karenanya setiap warga negara berhak untuk mengakses berbagai produk dan jasa
keuangan formal yang berkualitas, tepat waktu, nyaman, jelas dan dengan biaya yang terjangkau.
Oleh karena itu, akses terhadap produk dan jasa keuangan formal harus diberikan bagi semua
segmen masyarakat, dengan perhatian khusus kepada kelompok miskin yang berpenghasilan
rendah, kelompok miskin produktif, kelompok pekerja migran dan kelompok masyarakat yang
tinggal di daerah terpencil.
Financial Inclusion bertujuan untuk menjangkau kalangan pra-mikro atau masyarakat
yang bahkan tidak memiliki pekerjaan dan tidak pernah memiliki usaha apapun. Riset Bank
Dunia tahun 2011 berhasil menjawab masalah mengapa masyarakat berpenghasilan rendah
belum membutuhkan layanan perbankan atau lembaga keuangan, yakni :
a)    Merasa belum memiliki uang yang cukup
b)   Belum memiliki pekerjaan tetap / pengangguran
c)    Tidak memeroleh manfaat bila berhubungan dengan bank atau lembaga keuangan lainnya
d)   Merasa tidak layak meminjam
e)    Tidak membutuhkan kredit
f)    Tidak memiliki jaminan untuk memeroleh pinjaman
g)   Tidak memiliki kemampuan untuk membayar cicilan utang
h)   Tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk pinjaman di bank
i)     Tidak akan memeroleh manfaat dari kredit bank
Dalam mensinergikan upaya tersebut diperlukan adanya strategi nasional keuangan
inklusif yang nantinya akan menjadi panduan bagi semua pihak baik pemerintah pusat,
pemerintah daerah, swasta, akademisi, dan masyarakat dalam memperluas akses terhadap sektor
keuangan formal khususnya masyarakat daerah terpencil. Pemerintah dan Bank Indonesia
memiliki peranan yang sangat penting dalam memperluas keterlibatan sektor keuangan. Selain
itu, pihak swasta juga dapat melihat bahwa terdapat celah pasar yang sangat besar dari penduduk
Indonesia yang belum tersentuh oleh perbankan bila mereka dapat diraih lewat berbagai strategi
yang inovatif.
Industri perbankan nasional perlu terus didorong untuk memperkuat ketahanan, efisiensi,
dan peranannya dalam intermediasi termasuk didalamnya adalah perluasan akses masyarakat
dengan biaya yang lebih terjangkau melalui program keuangan inklusif. Program ini harus
dilakukan melalui dua sisi yakni:
a)    penawaran (perluasan akses layanan perbankan dengan biaya terjangkau)
b)   permintaan (penyediaan produk perbankan yang sesuai dg kebutuhan masyarakat
berpenghasilan rendah)

4.2.1    Pilar Financial inclusion
a)    Edukasi Financial Literacy atau akses terhadap layanan keuangan dengan member informasi
kepada masyarakat yang belum tersentuh akan pentingnya memiliki akses
b)   Elegibility atau kelayakan para nasabah agar dapat memeroleh produk yang bias dijangkau oleh
nasabah mikro
c)    Regulasi yang mendorong pemda melakukan sertifikasi sehingga para nasabah layak mendapat
pinjaman
d)   Mendorong intermediasi yang lebih cepat dimana lembaga keuangan memformulasikan kredit
yang mudah diserap pengusaha mikro
e)    Peningkatan saluran distribusi, yakni memperkenalkan layanan.

4.2.2   Implementasi kebijakan financial inclusion:


a)    Pengoptimalan Penggunaan dengan di dukung regulasi Mobile Money
b)   Guideline & Pilot Project, Regulasi Branchless Banking
c)    Enhancement Tabunganku
d)   Fasilitasi sertifikasi tanah
e)    Mengembangkan Financial Identification Number (FIN)
f)    Pengembangan Skim “Start-up” kredit serta produknya
g)   Melakukan edukasi dan sosialisasi
h)   Melakukan Consumer Protection

4.3. Hubungan antara Branchless Banking dengan Financial inclusion

Branchless Banking merupakan salah satu program kebijakan yang dikeluarkan oleh


Bank Indonesia dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan ekonomi melalui pengurangan
kemiskinan, pemerataan pendapatan dan stabilitas system keuangan di Indonesia dengan
menciptakan sistem keuangan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Branchless
Banking dilakukan dengan cara membuka layanan keuangan perbankan meskipun tanpa melalui
kator-kantor perbankan yang mana disini prosesnya dibantu oleh adanya teknologi.
Branchless Banking sebagai salah satu bentuk inisiatif Financial inclusion sangat
membantu untuk memajukan perekonomian suatu negara melalui peningkatan akses masyarakat
terhadap jasa layanan bank sehingga ultimate goal bank sebagai unit usaha pembiayaan akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penerapan branchless banking yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi, teknologi,
kelembagaan dan sosial masyarakat Indonesia merupakan upaya mewujudkan keuangan inklusif
untuk menjangkau masyarakat yang selama ini belum tersentuh oleh lembaga-lembaga keuangan
yang selanjutnya dapat menstimulus pertumbuhan perekonomian.
Indonesia dan 19 negara lain yang tergabung dalam G20 telah sepakat perlunya
peningkatan akses keuangan bagi masyarakat miskin khususnya di negara berkembang.
Masyarakat miskin dimaksud adalah masyarakat yang berpendapatan rendah, berpenghasilan
tidak tetap dan tidak dapat diprediksi. Sementara disisi lain mereka juga kekurangan produk dan
jasa keuangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Masyarakat miskin yang tidak terjangkau
oleh perbankan atau disebut unbankable ini pada akhirnya terpinggirkan, tidak dapat melakukan
kegiatan produksi secara optimal sehingga tidak memberikan sumbangan yang berarti bagi
perekonomian.
Sektor keuangan sebagai bagian dari penyokong perekonomian negara mempunyai tugas
penting dalam mendukung kegiatan ekonomi masyarakat miskin agar mereka tetap dapat
melakukan kegiatannya. Terutama didalam menghadapi masa-masa sulit, setelah krisis gobal
yang terjadi pada tahun 2008 yang masih berdampak hingga saat ini terhadap kestabilan
perekonomian Indonesia. Dukungan tersebut yakni memberi kesempatan kepada masyarakat
yang belum terjangkau oleh kegiatan sektor keuangan untuk dapat mengakses dan memperoleh
produk dan jasa perbankan dari yang paling dasar seperti tabungan, pinjaman, layanan transfer,
termasuk juga asuransi dengan harga yang terjangkau, wajar, dan transparan. Hal ini disebut
keuangan inklusif atau financial inclusion.
Secara umum strategi nasional keuangan inklusif di berbagai negara termasuk Indonesia
mencakup beberapa aspek, seperti:
a)    penyediaan produk dan jasa keuangan yang sesuai. Misalnya tabungan yang tidak habis oleh
biaya administrasi atau kredit bersifat harian atau mingguan.
b)   penyediaan infrastruktur sarana penyampaian jasa keuangan yang sesuai. Misalnya melalui
penggunaan jasa pihak ketiga yang berada di sekitar masyarakat tersebut atau penggunakan
teknologi telekomunikasi.
c)    peningkatan perlindungan konsumen dan edukasi keuangan untuk meningkatkan literasi
keuangan masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasan perbankan dan
sistem pembayaran nasional, menekankan pentingnya menyediakan infrastruktur pelayanan bank
yang harus dapat menjangkau seluruh pelosok tanah air. Perhatian ini didasarkan pada peranan
bank di tanah air belum cukup memuaskan dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan
Asia Pasifik.
Menurut Bank Indonesia, tingkat masyarakat yang berhubungan dengan bank masih
rendah, yakni sekitar 48% dengan layanan perbankan yang masih terpusat di Jawa. Sementara
itu, hanya 20% orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal,
jauh lebih rendah dibandingkan Thailand 77%, Malaysia 66%, China 64%, India 35%, dan
Philipina 25%. Demikian pula pembiayaan kegiatan ekonomi UMKM yang juga belum
signifikan dengan pangsa kredit sekitar 20% atau sekitar Rp612 triliun. Tidak heran bila kita
melihat Deposit to GDP ratio masih dibawah 50% dan Loan to GDP ratio masih disekitar 35%,
jauh dibawah rata-rata negara di kawasan Asia Pasifik.
Disinilah peran branchless banking mulai mengemuka sebagai bagian dari upaya
menjangkau masyarakat untuk “berbank”. Apabila untuk membuka kantor cabang bank di daerah
pelosok untuk menjangkau kegiatan ekonomi masyarakat marginal masih dianggap terlalu
mahal, maka salah satu solusinya adalah branchless banking.
Bank Sentral Indonesia dalam upaya mendorong keuangan inklusif melalui branchless
banking telah melibatkan berbagai penyedia jasa telekomunikasi/provider telekomunikasi untuk
menjangkau pelayanan kegiatan perbankan dengan menggunakan teknologi yang
berbasis mobile phone (ponsel). Potensi sistem pembayaran bergerak (Mobile Payment
Service) sangat besar. Menurut data, jumlah pengguna ponsel di Indonesia telah mencapai lebih
dari 240 juta, dengan operator telekomunikasi menjangkau 95% wilayah Indonesia, serta 2 juta
agen “telco” yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Beberapa bank pun telah berhasil dengan melakukan pelayanan e-money yang tidak
menggunakan kartu fisik tetapi menggunakan aplikasi e-banking pada ponsel. Kerjasama
perbankan dengan operator telekomunikasi seperti ini bahkan telah diperluas dengan kerjasama
dengan “merchant retail” seperti Indomaret, Alfamart, dan sebagainya. Potensi perkembangan
layanan sistem pembayaran bergerak sebagai bagian dari branchless banking inilah yang perlu
kita manfaatkan secara efektif guna memenuhi kebutuhan keuangan inklusif.

4.4. Contoh kasus Dampak Branchless Banking terhadap Kinerja Keuangan PT Bank Muamalat
Indonesia Tbk

Setelah melakukan analisis kinerja keuangan sebelum dan sesudah Branchless Banking,
selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis pada empat rasio keuangan yang meliputi FDR, CAR,
ROA, dan BOPO. Pengujian paired sample t-test dilakukan untuk menganalisis kinerja keuangan
pada segmen pertama sebelum dan sesudah Branchless Banking, dan segmen kedua sebelum dan
sesudah adanya Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai APU dan PPT. Data diolah dengan
menggunakan SPSS 16.0 dan tingkat signifikansi (α)=0,05 atau 5%. Pada Tabel 2 dapat dilihat
hasil pengujian dengan paired sample t-test pada empat rasio keuangan terkait dengan kinerja
keuangan Bank Muamalat Indonesia sebelum dan sesudah Branchless Banking. Data yang diolah
mulai bulan Maret 2001 sampai dengan Juni 2007. Branchless Banking dilaksanakan mulai
bulan April 2004.

Hasil pengujian paired sample t-test pada variabel Financing to Deposit Ratio (FDR)
menunjukkan bahwa Sig=0,542 (>0,05), maka H0 tidak dapat ditolak yaitu kinerja keuangan
perusahaan yang diwakili oleh FDR setelah Branchless Banking tidak berbeda secara signifikan
dibandingkan sebelum Branchless Banking. Hal tersebut menunjukkan bahwa kinerja
berdasarkan FDR tidak mengalami peningkatan dengan adanya Branchless Banking. Dana Pihak
Ketiga (DPK) Bank Muamalat cenderung selalu meningkat setelah adanya Branchless Banking,
namun kemungkinan jumlah nasabah dari produk Share kontribusinya tidak terlalu besar pada
penambahan DPK. Di samping itu, pembiayaan tidak disalurkan melalui Branchless Banking
sehingga FDR tidak berbeda signifikan antara sebelum dan sesudah Branchless Banking.
Selanjutnya pada variabel Capital Adequacy Ratio (CAR) menunjukkan bahwa
Sig=0,005 (<0,05) maka H0 ditolak, yaitu kinerja keuangan perusahaan yang diwakili oleh CAR
setelah Branchless Banking berbeda signifikan dibandingkan sebelum Branchless Banking. Nilai
t-hitung negatif menunjukkan rata-rata CAR setelah Branchless Banking lebih tinggi
dibandingkan rata-rata CAR sebelum Branchless Banking. Artinya Bank Muamalat mampu
membiayai kegiatan operasional bank dan menyalurkan pembiayaan lebih optimal sehingga
meningkatkan profitabilitas bank.
Pada variabel Return On Asset (ROA) menunjukkan bahwa Sig=0,018 (<0,05) maka H0
ditolak, yaitu kinerja keuangan yang diwakili oleh ROA setelah Branchless Banking berbeda
signifikan dibandingkan sebelum Branchless Banking. Nilai t-hitung negative menunjukkan rata-
rata ROA setelah Branchless Banking lebih tinggi dibandingkan ratarata ROA sebelum
Branchless Banking. Setelah adanya Branchless Banking, Bank Muamalat meraih pendapatan
usaha yang signifikan dibandingkan sebelum adanya Branchless Banking, hal ini dapat dilihat
dari rasio ROA yang mengalami peningkatan pada bulan Juni tahun 2004 sampai dengan bulan
Maret tahun 2009. Selain itu peningkatan laba usaha Bank Muamalat diperoleh dari efisiensi
biaya operasional bank yang ditunjukkan oleh beban operasional terhadap pendapatan
operasional yang menurun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wawira
(2013), Aduda et al (2013), dan Mwando (2013) bahwa Branchless Banking berpengaruh positif
terhadap ROA.
Terakhir pada variabel BOPO menunjukkan bahwa Sig=0,000 (<0,05) maka H0 ditolak,
yaitu kinerja keuangan perusahaan yang diwakili oleh BOPO setelah Branchless Banking
berbeda signifikan dibandingkan sebelum Branchless Banking. Nilai t-hitung positif
menunjukkan rata-rata BOPO setelah Branchless Banking lebih kecil dibandingkan ratarata
BOPO sebelum Branchless Banking. Hal ini disebabkan adanya penurunan pada biaya
operasional Bank Muamalat karena adanya efisiensi biaya. Melalui Branchless Banking Bank
Muamalat tidak perlu mengeluarkan biaya mendirikan kantor cabang atau outlet yang besar
untuk menjaring masyarakat di unserved area agar menabung di Bank Muamalat. Di samping itu,
biaya karyawan, biaya umum dan administrasi dapat ditekan sehingga menurunkan biaya
operasional yang menyebabkan rasio BOPO menurun. Hasil penelitian ini sesuai dengan Al-
Astal (2008); Anand dan Sreenivas (2013) yang menyimpulkan bahwa dengan Branchless
Banking Bank akan mengurangi biaya mendirikan infrasruktur untuk kantor cabang, sehingga
terbukti efisien setelah adanya Branchless Banking.
BAB V
KESIMPULAN
Branchless banking merupakan cara yang efektif untuk memformalkan ekonomi,
menjangkau penduduk unbanked poor, dan layanan ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kondisi ekonomi finansial strata masyarakat yang terpinggirkan. Pada akhirnya, mengarah pada
kemajuan perekonomian secara keseluruhan. Setelah berhasil, inisiatif ini diharapkan akan
diikuti oleh banyak negara berkembang lainnya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi kemiskinan.
Rekomendasi yang dapat diberikan yaitu harus ada ketentuan mengenai agen perbankan,
harus berpengalaman dan harus memliki sistem jaringan yang berhubungan secara
nasional. Mengingat kondisi demografi Indonesia yang sangat berbeda-beda sehingga access to
finance masyarakat terutama di daerah pedalaman sangat diperlukan. Untuk membangun sistem
keuangan inklusif, diperlukan upaya dari semua pihak terkait, khususnya pembuat kebijakan dan
regulator. Berdasarkan catatan sejarah, kegiatan promosi keuangan inklusif cenderung berada di
luar fungsi utama bank sentral dan regulator industri jasa keuangan. Akan tetapi, saat ini promosi
keuangan inklusif telah berkembang menjadi perhatian utama. Peran penting keuangan inklusif
dalam isu pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas
keuangan membutuhkan kepemimpinan dan kepemilikan yang jelas dari para pemangku
kebijakan.
Intinya, Bank Indonesia ingin menggunakan branchless banking untuk memperluas akses
dunia keuangan. Perlunya mendorong agar akses ke dunia keuangan dan perbankan diperluas
dengan cara-cara inovatif, cepat, murah, dan menjangkau semua pihak, terutama masyarakat
kecil.Perlu terobosan agar akses jasa keuangan bisa cepat dilakukan, misalnya berbasis teknologi
informasi, menggunakan mobile bank dan mobile phone.

Anda mungkin juga menyukai