Askep Grave
Askep Grave
OLEH
KELOMPOK II
1. Kadek Ariasa (11.322.2145)
2. Made Dodiek (11.322.2146)
3. Made Juliartadana (11.322.2147)
4. I Putu Hariwan Sahisnu (11.322.2148)
5. I Putu Merta (11.322.2149)
6. Heri Yudha (11.322.2150)
7. Eriva (11.322.2151)
8. I. B Putra Ambara (11.322.2152)
9. Adi Kusuma Raharja (11.322.2153)
BAB I
PENDAHULUAN
Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun1830,
adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidise (produksi
berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves
disease lazim juga disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk
pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goiter adalah suatu pembengkakan
atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa
bermacam-macam (Sjamsuhidajat dan Jong, 1996).
Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang
paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur,
sering ditemukan pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves
yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus),
tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai
oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang (Subekti, 2001; Shahab,
2002; Price dan Wilson, 1995).
Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara
pasti. Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam
mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita
penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves
dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya
antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor
Antibody / TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi (Subekti, 2001; Shahab, 2002).
Diantara pasien-pasien dengan hipertiroid, 60 – 80% merupakan penyakit
grave, tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insidensi tiap
tahun pada wanita berusia diatas 20 tahun sekitar 0,7% per 1000. tertinggi pada
usia 40 – 60 tahun. Angka kejadian penyakit grave 1/5 – 1/10 pada laki-laki
maupun perempuan, dan tidak umum diapatkan pada anak-anak. Prevalensi
penyakit grave sama pada orang kulit putih dan Asia, dan lebih rendah pada orang
kulit hitam (Weetman, 2000).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang mengalami proses pengeluaran
yodium di jaringan perifer. Dengan demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid
yang secara biologis aktif di tingkat sel.
2. Faktor imunologis
Penyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang organ
spesifik, yang ditandai oleh adanya antibodi yang merangsang kelenjar
tiroid (thyroid stimulating antibody atau TSAb).
Teori imunologis penyakit graves :
a. persistensi sel T dan sel B yang autoreaktif
b. diwariskannya HLA khusus dang en lain yang berespon immunologic
khusus
c. rendahnya sel T dengan fungsi suppressor
d. adanya cross reacting epitope
e. adanya ekspresi HLA yang tidak tepat
f. adanya klon sel T atau B yang mengalami mutasi
g. stimulus poliklonal dapat mengaktifkan sel T
h. adanya reeksposure antigen oleh kerusakan sel tiroid.
Ehrlich menyatakan bahwa dalam keadaan normal sistem imun
tidak bereaksi atau memproduksi antibodi yang tertuju pada komponen
tubuh sendiri yang disebut mempunyai toleransi imunologik terhadap
komponen diri. Apabila toleransi ini gagal dan sistem imun mulai bereaksi
terhadap komponen diri maka mulailah proses yang disebut autoimmunity.
Akibatnya ialah bahwa antibodi atau sel bereaksi terhadap komponen
tubuh, dan terjadilah penyakit. Toleransi sempurna terjadi selama periode
prenatal. Toleransi diri ini dapat berubah atau gagal sebagai akibat dari
berbagai faktor, misalnya gangguan faktor imunologik, virologik,
hormonal dan faktor lain, sedangkan faktor-faktor tersebut dapat berefek
secara tunggal maupun sinkron dengan faktor lainnya. Adanya
autoantibodi dapat menyebabkan kerusakan autoimune jaringan, dan
sebaliknya seringkali autoantibodi ini akibat dari kerusakan jaringan.
Pada penyakit graves anti-self-antibody dan cell mediated
response, yang biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya
mencakup meningkatnya TSAb, Anti TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi antibodi
9
2. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada
skema dibawah ini:
lebih spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien
dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral
tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas (Shahab, 2002).
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit
Graves dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme
umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar
tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-
tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan
dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4
rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar
hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun (Shahab, 2002).
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di
membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon
tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi.
Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar
hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang
tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan
pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh
karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar
TSH sampai angka mendekati 0,05 mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik,
dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4) (Subekti, 2001; Shahab,
2002; Price dan Wilson, 1995).
3. Pemeriksaan Penunjang Lain
Diagnosis laboratorik :
a. Pemeriksaan metabolisme basal
pemeriksaan metabolisme basal bukan pemeriksaan diagnosis yang
baik, harus dilakukan oleh orang yang berpengalaman.
b. Pemeriksaan kadar serum hormon dalam darah,
untuk memastikan diagnosis dan menilai berat ringan penyakit
(severity) serta merencanakan pengobatan. Meskipun pemeriksaan
tunggal FT4 atau TSH dirasakan cukup, tetapi karena masing-masing
18
3. Diagnosis Banding
Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas
sehingga diagnosis kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas
dapat ditemukan pada miopati akibat penyakit Graves, namun harus
dibedakan dengan kelainan neurologik primer (Shahab, 2002).
Pada sindrom yang dikenal dengan “familial dysalbuminemic
hyperthyroxinemia “dapat ditemukan protein yang menyerupai albumin
(albumin-like protein) didalam serum yang dapat berikatan dengan T4
tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan kadar
T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH normal. Disamping tidak
ditemukan adanya gambaran klinis hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH
serum yang normal pada sindrom ini dapat membedakannya dengan
penyakit Graves (Shahab, 2002).
Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita
laki-laki etnik Asia dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid
disertai hipokalemi. Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat
dicegah dengan pemberian suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan
ini dapat disembuhkan dengan pengobatan tirotoksikosis yang adekuat
(Shahab, 2002).
Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan
gejala-gejala kelainan jantung, dapat berupa:
- Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin
- High-output heart failure
Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit
jantung sebelumnya, dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki
dengan pengobatan terhadap tirotoksikosisnya. Pada penderita usia tua
dapat ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan, struma yang
kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran klinis
dari manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini
dikenal dengan “apathetic hyperthyroidism” (Shahab, 2002).
21
4. Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang
berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus
terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain:
- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.
- Terapi yodium radioaktif.
- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak
diobati secara adekuat.
- Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma,
infeksi akut, alergi obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda
hipermetabolisme berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi:
- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai
41°C disertai dengan flushing dan hiperhidrosis.
- Takhikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.
- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai
koma.
- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari
simpanan hormon tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum penderita
dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada
penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid (Shahab, 2002).
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat
peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi
terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor
terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif
terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi (Shahab, 2002).
22
sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase
akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat
diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis
methimazole 40 mg setiap pagi selama 1 – 2 bulan, dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan
timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai
efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati,
lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat
sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan
dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif..
Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,
dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian
terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik,
Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut.
Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum
memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk
leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-
bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping,
penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali
fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan
yang lain seperti radioiodine 131I atau operasi. Bila timbul efek
samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan
obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat
penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan
kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan
sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna
25
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated
radiographic contrast, potassium perklorat dan litium karbonat,
meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi
jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit
Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis
tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium
radioaktif (Shahab, 2002).
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia
muda dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang
ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan,
aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6
bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama
pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi
setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%.
Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama
pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan.
27
3. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita
dengan struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam
keadaan eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu).
Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau
potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk
mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat
ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan
tiroid yangn harus diangkat (Subekti, 2001).
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein
dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu
banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi
relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2 – 3 gram jaringan tiroid.
Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen
tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves.
Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan
komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus
(Subekti, 2001).
28
radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan atau OAT. Respons
terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh
besarnya dosis 131I dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis
kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari (Shahab,
2002).
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif
adalah hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh
besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin
tinggi angka kejadian hipotiroidisme (Shahab, 2002).
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat
jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10%
dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya. Efek
samping lain yang perlu diwaspadai adalah:
1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya
antigen tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH),
dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian
I131
2. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya
sangat jarang terjadi)
3. Gastritis radiasi (jarang terjadi)
4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara
mendadak (leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk
mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT
terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi
jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau
selama 3 sampai 6 bulan pertama. Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi
tiroid cukup dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk
mendeteksi adanya hipotiroidisme (Shahab, 2002).
30
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA