Anda di halaman 1dari 48

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1. LATAR BELAKANG MASALAH

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat dengan ciri terjadinya

serangan yang bersifat spontan dan berkala. Epilepsi merupakan diagnosis klinis,

pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan neurofisiologi yang diperlukan untuk

melihat adanya fokus epileptogenik, menentukan sindrom epilepsi tertentu, evaluasi

pengobatan, dan menentukan prognosis. (Vozikis et al, 2012; Suwarba, 2011)

Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang

luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur

populasi. World Health Organization (WHO) menyebutkan, insidens epilepsi di negara

maju berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100-190

per 100.000. Salah satu penyebab tingginya insidensi epilepsi di negara berkembang

adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen. Kondisi

tersebut di antaranya adalah infeksi, komplikasi prenatal, perinatal, serta post natal.

(Neligan, 2011, Suwarba, 2011).

Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan

pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50%

terjadi pada anak-anak. Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering juga

disertai gangguan neurologi seperti retardasi mental, palsi serebral, dan sebagainya

yang disebabkan oleh kelainan pada susunan saraf pusat. (Suwarba, 2011).

Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang umur dan

ras. Kejadian epilepsi dapat dimulai pada umur berapa saja, tetapi di negara
2

berkembang kejadian epilepsi sering terjadi pada keadaan ekstrim seperti pada bayi,

usia anak-anak, usia remaja, dan pada usia tua. Secara umum diperoleh gambaran

bahwa insiden epilepsi menunjukkan bahwa puncak insidensi terdapat pada golongan

anak dan orang tua (WHO, 2006)

Penggunaan jangka panjang obat antiepilepsi telah dikaitkan dengan

peningkatan kejadian rakhitis atau osteomalacia, peningkatan risiko patah tulang, dan

berkurangnya kepadatan mineral tulang. Semua kondisi ini berhubungan dengan

defisiensi vitamin D. Efek antiepilepsi pada kadar vitamin D telah dipelajari selama 40

tahun atau lebih. Fenobarbital, fenitoin, carbamazepine, asam valproat, dan

oxcarbazepine sering dipelajari untuk dampaknya pada 25 (OH) tingkat D. Kebanyakan

antikonvulsan pemicu enzim (fenitoin, fenobarbital, primidon, dan karbamazepin)

dikaitkan dengan rendahnya tingkat vitamin D (Pohan, 2015).

Vitamin D yang termasuk vitamin larut dalam lemak, merupakan prohormon

yang memiliki fungsi utama mengatur keseimbangan kalsium untuk tubuh. Status

vitamin D dalam tubuh ditentukan berdasarkan kadar 25(OH)D. Hal ini disebabkan

karena masa paruh 25(OH)D cukup panjang yaitu 2-3 minggu. Di samping itu 25(OH)D

mudah diperiksa dan memiliki kadar paling tinggi diantara metabolit vitamin D lainnya

serta memiliki korelasi yang kuat antara keadaan defisiensi 25(OH)D dengan gejala

klinis. Vitamin D dikatakan normal apabila kadar 25(OH)D berkisar antara 20-100

ng/mL. Dikatakan defisiensi berat apabila kadar 25(OH)D ≤ 5 ng/mL, defisiensi bila

kadar 25(OH)D ≤ 15 ng/mL, dan insufisiensi bila kadar 25(OH)D 15 – 20 ng/mL.(Sjarif

D, 2014)
3

Mekanisme yang mendasari rendahnya kadar kalsium pada pasien epilepsi

mungkin multifaktorial. Obat antiepilepsi terkait dengan perubahan metabolisme tulang

dan konsentrasi fosfat dan dengan demikian juga perubahan homeostasis kalsium di

dalam tubuh. Salah satu patomekanisme yakni tampaknya didasarkan pada penurunan

tingkat vitamin D aktif, yang kemungkinan disebabkan oleh induksi Enzim P450

sitokrom hati oleh obat anti epilepsi, yang mengarah ke konversi menjadi metabolit tidak

aktif dalam mikrosom hati. Inaktivasi vitamin D oleh obat antiepilepsi terjadi terutama

oleh induksi enzim hati dan dengan aktivasi pregnane X receptor (PXR) dan steroid dan

xenobiotik reseptor (SXR). Aktivasi vitamin D (D2 dan D3) terjadi pada awalnya di hati

tempat mereka terhidroksilasi menjadi 25 (OH) D oleh vitamin D hidroksilase CYP27A.

Obat antiepilepsi mengikat dan mengaktifkan SXR. Kompleks ini berikatan dengan

RXR, yang kemudian diaktifkan enzim 24-hidroksilase dan berinteraksi denganelemen

responsif vitamin D. Enzim ini memediasi delesi kelompok 25-hidroksil dari kedua 25-

hydroxyvitamin D dan 1,25 dihydroxy vitamin D. Inaktivasi vitamin D yang dipercepat ini

menyebabkan kaskade peristiwa yang beradaptasi dengan kekurangan progresif

menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder. Lebih lanjut hipovitaminosis D

menghasilkan penurunan penyerapan kalsium dari usus. Hal ini memiliki efek yang

merugikan pada mineralisasi dan metabolisme tulang. Mekanisme di atas telah

dikaitkan dengan obat antiepilepsi yang merupakan penginduksi sistem enzim sitokrom

P450 (fenobarbitol, fenitoin, dan karbamazepin). Mekanisme lain yang dijelaskan

termasuk pengurangan penyerapan kalsium usus (fenitoin), gangguan respons untuk

hormon paratiroid (fenobarbiton dan fenitoin), hipovitaminosis K (fenitoin) , dan

defisiensi kalsitonin. Mekanisme yang tepat dimana natrium valproate menyebabkan


4

kelainan metabolisme mineral tulang yang serupa tidak jelas tetapi dapat dimediasi oleh

penghambatan enzim hati yang berbeda. Asam valproat (valproic acid = VPA) adalah

salah satu obat antiepilepsi yang sering digunakan di seluruh dunia dan menurut

literatur banyak efek samping yang perlu didiskusikan selain dari efek terapi. Asam

valproate menghambat aktivitas 25- hidroksilase pada vitamin D dalam mitokondria hati

tanpa menghambat komponen sitokrom P450 terkait sistem mono oksigenase. Dari hal

tersebut variasi genetik seperti polimorfisme dalam gen vitamin D reseptor (VDR) dapat

mempengaruhi seseorang untuk vitamin D. (Chaudhuri, 2017; Sreedharan, 2018).

Dalam studi cross-sectional yang dilakukan Pohan dkk, menemukan hubungan

antara penggunaan antikonvulsan jangka panjang (satu tahun atau lebih), penurunan

level 25 (OH) D, dan status vitamin D. Anak-anak epilepsi yang menggunakan

antikonvulsan selama setidaknya 1 tahun mengalami penurunan 18,4% dalam kadar

rata-rata 25 (OH) D dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan mereka memiliki

prevalensi kekurangan vitamin D yang lebih tinggi (Pohan, 2015).

OAE adalah antiepilepsi yang luas digunakan di Indonesia dan tergolong dalam

obat dengan indeks terapi sempit yang memerlukan pengawasan pada level obat dalam

plasma dan penyesuaian dosis untuk mencegah timbulnya efek defisiensi vitamin D.

Pengobatan epilepsi di berikan selama 2 tahun bebas kejang, yang membuat

kekawatiran akan efek samping yang ada. Sehingga pentingnya di lakukan penelitian

untuk mengetahui apakah ada pengaruh pemakaian obat antiepilepsi terhadap kadar

vitamin D. Menurut penelitian Chaudhuri dkk (2017) membuktikan kadar 25-

hydroxyvitamin D secara signifikan lebih rendah dalam kasus (18,3 ± 6,2) dibandingkan

dengan kontrol (27,7 ± 3,9) (P <0,0001). Dalam penelitian serupa, tingkat rata-rata 25-
5

hydroxyvitamin D lebih rendah di antara kasus-kasus (28,79 ± 33,85) berbeda dengan

kontrol (rata-rata 47,62 ± 46,16).( Sreedharan, Chaudhuri, 2017)

Berdasarkan penjelasan di atas, sangatlah perlu untuk dilakukan penelitian-

penelitian menggali lebih jauh lagi tentang kadar vitamin D pada anak penderita epilepsi

yang menggunakan terapi obat antiepilepsi. Selain itu dengan penelitian ini kita akan

memberikan informasi kepada orang tua tentang keamanan penggunaan obat obat

antiepilepsi selama pengobatan epilepsi. Untuk mengetahui defisiensi obat antiepilepsi

pada pasien epilepsi anak maka dilakukan studi yang sejauh ini belum pernah

dilakukan di Makassar ( Sulawesi Selatan ).

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

pertanyaan sebagai berikut :

Apakah ada pengaruh pemberian obat antiepilepsi terhadap defisiensi vitamin D pada

penderita dengan epilepsi.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh obat antiepilepsi terhadap kadar vitamin D pada penderita

anak epilepsi.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menentukan frekuensi anak epilepsi yang menjalani pengobatan dengan antiepilepsi.

2. Menentukan kadar 25 (OH)D pengobatan antiepilepsi pada anak epilepsi dengan

durasi > 1 tahun.


6

3. Menentukan kadar 25 (OH)D pengobatan antiepilepsi pada anak epilepsi dengan

durasi ≤ 1 tahun.

4. Membandingkan kadar 25 (OH)D pengobatan antiepilepsi pada anak epilepsi dengan

durasi ≤ 1 tahun dan > 1 tahun.

I.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Penurunan kadar vitamin D lebih tinggi pada anak epilepsi dengan durasi

pengobatan antiepilepsi > 1 tahun dibandingkan dengan durasi ≤ 1 tahun.

I.5 Manfaat Penelitian

1. Menambah pengetahuan tentang patomekanisme efek samping obat antiepilepsi

dalam hal ini penurunan kadar vitamin D.

2. Dari data analisis data dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya di bidang

Neurologi anak.

3. Dengan mengetahuhi adanya penurunan kadar vitamin D, pada penggunaan obat

antiepilepsi pada penderita anak epilepsi, sehingga dapat mempertimbangkan

penggunaan obat antiepilepsi dengan durasi lebih dari 1 tahun memberikan

suplementasi vitamin D.
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. EPILEPSI

II.1.1. Definisi

Epilepsi adalah cetusan listrik lokal pada otak yang terjadi sewaktu waktu,

mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan serangan penurunan

kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku, atau emosional yang

intermiten dan stereotipik. Pelepasan aktivitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di

otak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa

gangguan fisiologis, biokimia, dan anatomi dengan manifestasi lokal maupun umum.

Epilepsi sebagai gangguan kronis ditandai oleh adanya bangkitan epileptik berulang

akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi karena lepasnya muatan

listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi. (Fisher et

al., 2005)

Epilepsi merupakan salah satu penyakit kronik yang ditandai dengan kejang

berulang tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan

saraf yang tidak terkontrol, baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Pelepasan

aktivitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di otak terjadi karena fungsi sel neuron

terganggu. Gangguan tidak terbatas aktivitas motor yang terlihat oleh mata, tetapi juga

oleh aktivitas lain misalnya emosi, pikiran, dan persepsi. (Fisher et al., 2005)
8

II.1.2. Epidemiologi

Epilepsi adalah kondisi neurologis umum yang mempengaruhi orang dari segala

usia, ras, dan kelas sosial . Ada sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia, di

antaranya hingga 75% hidup di negara-negara miskin dengan sedikit atau tidak ada

akses ke layanan medis atau pengobatan. Prevalensi epilepsi bervariasi antara 0,5%-

1% populasi. Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan

variasi yang luas, tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur populasi.

Insidens epilepsi pada anak di negara maju secara umum diperkirakan sebesar 40 per

100.000 anak pertahun dan di negara berkembang sebesar 100-190 per 100.000 anak

pertahun. Tingginya insidens epilepsi di negara berkembang diduga karena tingginya

faktor risiko gangguan yang dapat menjadi fokus epileptik seperti infeksi, komplikasi

prenatal, perinatal, serta post natal. Insidens epilepsi tertinggi dijumpai pada umur 1

tahun pertama, yaitu 120 per 100.000 populasi, dan menurun secara dramatis pada

umur 1 – 10 tahun yaitu sebesar 40 per 100.000 populasi. (Neligan et al., 2011)

Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan

pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50%

terjadi pada anak-anak. Insidens terbanyak terjadi pada kelompok umur 1-7 tahun.

Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi menderita epilepsi,

tetapi tidak ditemukan perbedaan ras. Ditinjau dari jenis kejang, yang terbanyak

ditemukan adalah epilepsi umum tonik klonik. (Suwarba, 2011)


9

II.1.3. Patofisiologi

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan

transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi

yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi

(inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan

hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik.

Neurotransmitter eksitasi adalah glutamat, aspartat, norepinefrin, dan asetilkolin.

Sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid

(GABA) dan glisin. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial

listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan

depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik. (Stafstrom,

2008)

Gambar 1. Transmisi sinaps normal (Stafstrom, 2008)


10

Berbagai faktor termasuk keadaan patologik dapat merubah atau mengganggu

fungsi membran sel neuron sehingga membran mudah dilewati oleh ion kalsium dan

natrium dari ruangan ekstraseluler ke intraseluler. Influks kalsium akan mencetuskan

letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan yang tidak teratur

dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara

sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi

ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga

inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik. Selain itu juga

sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak

terus menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat

menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat

habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak. (Lumbantobing, 1999)

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan

dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, diinhibisi,

pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening dan

menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan

perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di

dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion

menerobos membran neuron. (Stafstrom, 2008)

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal

mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial

aksi secara berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian “mengajak” neuron-

neuron yang terkait di dalam proses tersebut. Secara klinis, serangan epilepsi akan
11

tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara

bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik

tersebut menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda, tergantung

pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat

dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi.

(Stafstrom, 2008)

Bangkitan epilepsi terjadi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak

yang tidak mengikuti pola normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi

ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, dan

terjadi karena :

1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang

optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat)

berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik juga berlebihan.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi

GABA tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan

GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik

( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu

hipotesis mengatakan bahwa aktivitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya

inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmiter inhibitorik utama pada otak.

Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula.

Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa

menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan (Stafstrom, 2008)
12

Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar

atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron

ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada

2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal sehingga terjadi

pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron

eksitatorik berlebihan. (Stafstrom, 2008)

Gambar 2. Hipereksibilitas neuron sebagai dasar epilepsi (Stafstrom, 2008)

Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena

efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek

ini dapat berupa kemusnahan atau kerusakan neuron-neuron serta sel-sel glia, yang

pada gilirannya dapat membuat lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak

akibat trauma, hipoksia, infeksi, gangguan metabolisme, dan sebagainya dapat

menyebabkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi

epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan
13

petit mal serta benigna centrotemporal epilepsi. Walaupun demikian proses yang

mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.( Lumbantobing,

1999)

II.1.4. Faktor-faktor risiko epilepsi

1. Riwayat asfiksia.

Insiden ensefalopati neonatal adalah sekitar 1 hingga 2,5 per 1000 kelahiran

masa hidup, sebagian besar sebagai akibat dari asfiksia perinatal. Ensefalopati

neonatal adalah penyebab signifikan kematian neonatal dan perkembangan saraf yang

merugikan seperti cerebral palsy, keterlambatan perkembangan, dan epilepsi. Tingkat

epilepsi yang dilaporkan setelah ensefalopati neonatal karena ensefalopati hipoksik-

iskemik berkisar antara 9% hingga 33% dan dalam satu studi, anak-anak dengan

riwayat ensefalopati hipoksik-iskemik memiliki lima kali risiko terkena epilepsi bila

dibandingkan dengan yang tanpa ensefalopati hipoksik-iskemik ( Glass HC, 2011).

Meskipun anak-anak dengan ensefalopati neonatal diketahui berisiko epilepsi,

ada beberapa studi yang meneliti faktor risiko neonatal untuk perkembangan kejang di

luar periode bayi baru lahir. Penelitian sebelumnya pada kohort kecil telah memeriksa

keparahan ensefalopati, kejang neonatal, dan pencitraan resonansi magnetik (MRI)

sebagai faktor risiko dengan hasil yang bertentangan. Pisani et al menemukan bahwa

ensefalopati berat (tetapi tidak sedang) dikaitkan dengan epilepsi kemudian, sedangkan

van Koijj et al menemukan 10% prevalensi epilepsi di antara kohort anak-anak yang

menderita ensefalopati sedang. Kejang neonatal merupakan faktor risiko dalam satu

studi, meskipun efeknya tidak signifikan setelah disesuaikan dengan tingkat

ensefalopati ( Glass HC, 2011).


14

2. Trauma kepala/ cedera kepala

Penentu penting untuk epilepsi post trauma adalah keparahan trauma kepala.

Dalam studi klinis berbasis populasi (N = 4541) dari kasus trauma kepala yang terjadi

antara tahun 1935 dan 1984 di Olmstead County, Minnesota, para peneliti menemukan

bahwa probabilitas kumulatif lima tahun dari kejang yang tidak diprovokasi adalah 0,7%

pada pasien dengan trauma kepala ringan, 1,2% untuk trauma kepala sedang, dan

10,0% untuk trauma kepala berat. Untuk kelompok dengan 30 tahun masa tindak lanjut,

kejadian kumulatif adalah 2,1% untuk trauma kepala ringan, 4,2% untuk trauma kepala

sedang, dan 16,7% untuk trauma kepala berat. Dalam sebuah studi terpisah, Englander

dan rekannya secara prospektif mengikuti 647 pasien yang dirawat di salah satu dari

empat pusat trauma dalam waktu 24 jam setelah cedera. Para penulis mengidentifikasi

"dosis-respons" untuk jumlah kontusio serebral dan perkembangan kejang yang

terlambat - probabilitas kumulatif dari kejang yang tidak dipicu yakni 2 tahun adalah

sekitar 25% untuk pasien dengan beberapa kontusio, dibandingkan dengan 8% untuk

kontusio tunggal dan 6% tanpa kontusio. Bagi mereka dengan trauma kepala yang

sangat ringan (tidak ada kehilangan kesadaran, amnesia, kebingungan, atau defisit

neurologis), hanya 3 (0,1%) dari 2999 pasien yang mengalami kejang dalam 1 tahun

masa tindak lanjut dibandingkan dengan 1 (0,1%) dari 994 dari kelompok kontrol

dengan cedera ortopedi, menunjukkan bahwa kejadian kejang tidak signifikan lebih

besar dari populasi umum (Lucke-Wolda, 2013).

Faktor risiko utama lainnya untuk cedera yang lebih parah termasuk penetrasi

dural, fraktur tengkorak depresi, hematoma intrakranial, dan hilangnya kesadaran atau
15

amnesia selama lebih dari satu hari. Perdarahan dan fraktur tengkorak sering terlihat

dengan trauma kepala yang lebih berat. Perdarahan dan fraktur tengkorak

meningkatkan peradangan dan rangsangan neuron, yang secara efektif mengurangi

ambang untuk kejang. Neuroinflamasi tetap meningkat selama 8 hari pada trauma

kepala parah, yang mungkin merupakan bagian dari pengembangan kejang onset

lambat (Lucke-Wolda, 2013).

Bangkitan epilepsi pasca cedera kepala pada anak-anak dibagi dalam 3

golongan yaitu:

a. Bangkitan segera, sebagai jawaban langsung atas serangan mekanis dari jaringan

otak yang mempunyai ambang rangsang yang rendah terhadap kejang. Biasanya

berhubungan dengan faktor genetik.

b. Bangkitan dini, timbul dalam 1-7 hari pada cedera kepala hebat sebagai akibat dari

udem otak, perdarahan intrakranial, kontusio, laserasi, dan nekrosis. Bangkitan epilepsi

biasanya bersifat kejang umum

c. Bangkitan lambat, biasanya timbul dalam > 1 minggu pertama setelah cedera kepala

(Lucke-Wolda, 2013).

3. Infeksi susunan saraf pusat

Ensefalitis virus mengacu pada proses inflamasi akut parenkim otak akibat infeksi virus

langsung. Presentasi klinis ensefalitis virus tidak spesifik dan termasuk demam,

berbagai tingkat perubahan di sensorium dengan atau tanpa defisit neurologis fokal dan

/ atau kejang. Gejala-gejala ini mungkin juga disebabkan oleh berbagai penyebab

infeksi dan noninfeksi lainnya. Dalam hal ini keadaan, malaria, meningitis bakteri dan

jamur. Diagnosis virus spesifik dapat dicapai baik dengan menunjukkan asam nukleat
16

virus atau antibodi dalam cairan serebrospinal (CSF) atau dengan isolasi virus dari CSF

atau jaringan otak (Misra UK, 2008).

Kejang epilepsi mungkin tidak hanya terjadi selama fase akut ensefalitis virus

tetapi juga kemudian, setelah resolusi fase akut penyakit. Dua jenis kejang, yaitu kejang

awal yang terjadi bersamaan episode akut dan kejang lanjut yang merupakan gejala

sisa dari ensefalitis virus memiliki mekanisme dasar yang berbeda dan implikasi

prognostik. Kejang pada stadium akut telah dijelaskan secara cukup rinci sehubungan

dengan kejadian, frekuensi, dan prognosisnya. Namun, kejang yang tidak diprovokasi

terlambat tetap ditandai dengan buruk frekuensi, perjalanan, hasil, dan prognosis

mereka (Misra UK, 2008).

4. Faktor genetik

Ensefalopati epileptik onset dini dianggap sebagai gangguan neurologis berat,

yang menyebabkan gangguan perkembangan motorik, kognitif, dan sensorik karena

kekambuhan kejang. Telah diakui bahwa banyak fenotipe epilepsi yang diamati terkait

dengan ketidakseimbangan kromosom spesifik.. Oleh karena itu, informasi tentang

kelainan kromosom yang terkait dengan epilepsi kemungkinan mengungkapkan

mekanisme yang mendasari berbagai fenotipe epilepsi, termasuk fragile-X, trisomi 12p,

Wolf-Hirschhorn, cincin 20, dan sindrom delesi 1p36. Meskipun peran faktor genetik

dalam epilepsi idiopatik telah disarankan sejak lama, keterlibatan faktor genetik telah

jelas ditunjukkan dalam epilepsi kriptogenik dan simtomatik. Hampir 40% penyebab

etiologi untuk epilepsi sekarang diketahui disebabkan oleh faktor genetik. Namun,

epilepsi Mendel tampaknya hanya bertanggung jawab atas 1% epilepsi, yang


17

melibatkan pewarisan non-Mendel dari beberapa gen yang terpengaruh. Menariknya,

perkiraan risiko epilepsi untuk saudara kandung pasien epilepsi ditemukan hanya 2-5%.

Peran faktor lingkungan dalam epilepsi genetik tidak dapat diabaikan, meskipun

faktor penentu utama untuk kejang adalah mutasi yang mendasarinya, karena faktor

lingkungan dapat mempengaruhi ekspresi defek genetik tersebut, secara fenotip

memperburuknya, atau bahkan meredamnya. Atas dasar kompleksitas genetik,

tampaknya ada dua jenis epilepsi: i) epilepsi Mendel, yang umumnya bersifat

monogenik, sederhana, dan langka dan merupakan ~ 1% dari semua kasus epilepsi

dan ii) epilepsi kompleks, yang mempengaruhi sebagian besar pasien, umum dan

multigenik. Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa faktor genetik dan

lingkungan berinteraksi dengan derajat yang berbeda dan dengan demikian

memengaruhi kerentanan terhadap epilepsi. Epilepsi Mendel termasuk sindrom

monogenik dengan defek gen tunggal yang menyebabkan fenotipe spesifik dan sering

menunjukkan penetrasi dan keparahan yang bervariasi dan ini juga mencakup sebagian

besar kasus sindrom Dravet, yang disebabkan oleh mutasi de novo monogenik dari

sindrom epilepsi termasuk tipe autosomal, terkait-X, dan mitokondria, meskipun

sebagian besar epilepsi yang umum memperlihatkan turunan kompleks atau poligenik.

Beberapa sindrom epilepsi, seperti ensefalopati epilepsi, melibatkan kejang yang tidak

dapat diperbaiki terkait dengan penurunan intelektual, dan termasuk sindrom Lennox-

Gastaut, epilepsi astatic mioklonik Doose, dan sindrom Dravet. Ensefalopati epileptik

dapat disebabkan oleh etiologi yang didapat atau kelainan struktural dari protein yang

terlibat seperti saluran ion atau mereka mungkin karena mutasi gen spesifik yang

mempengaruhi rangsangan saraf. (Zhang, 2017)


18

II.1.5 Diagnosis

Diagnosis epilepsi berdasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan

hasil pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dan radiologis. Namun demikian, bila

secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi secara

klinis sudah dapat ditegakkan. (Fisher, 2005)

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena

pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami oleh penderita.

Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah

serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat

berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi

tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, kejang demam,

meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler, dan obat-obatan

tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

- Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

- Gejala sebelum, selama, dan setelah serangan

- Frekuensi serangan

- Faktor pencetus

- Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita saat ini

- Usia saat terjadinya serangan pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan anak

- Riwayat penyakit dan terapi sebelumnya


19

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,

seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan

neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya

serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada

anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,

perbedaan ukuran antara anggota tubuh yang dapat menunjukkan awal gangguan

pertumbuhan otak. (Lumbantobing, 1999)

3. Pemeriksaan penunjang

a. EEG

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan

pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis

epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi

struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan

abnormal bila:

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer

otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya,

misalnya gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya

gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
20

yang timbul secara paroksismal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG

yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi

petit mal gambaran EEGnya gelombang paku ombak 3 siklus per detik, epilepsi

mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku/tajam/lambat dan paku

majemuk yang timbul secara serentak (sinkron). (Lumbantobing, 1999)

b. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang

mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber

serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan

EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada.

Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum

diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan

lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan

operasi. (Lumbantobing, 1999)

c. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat

struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan Computed

Tomography Scan (CT Scan) maka Magnetic Resonance Imaging (MRl) lebih sensitif

dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan

hipokampus kanan dan kiri. (Lumbantobing, 1999)

II.1.6. Penatalaksanaan
21

Diagnosis pasti epilepsi merupakan dasar utama untuk pemberian obat anti

epilepsi (OAE), karena banyak keadaan yang memperlihatkan gejala mirip epilepsi.

Setelah diagnosis ditegakkan, tindakan berikutnya adalah menentukan jenis serangan,

karena setiap OAE mempunyai kekhususan sendiri dan bekerja secara spesifik pada

jenis serangan tertentu. Pengobatan harus dimulai dengan satu OAE dengan dosis

kecil, kemudian dosis dinaikkan bertahap sampai serangan teratasi. Tujuan pengobatan

adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah. Yang terpenting

bukanlah mencapai kadar terapeutik, tetapi kadar OAE bebas yang dapat menembus

sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat (SSP). Kadar OAE

bebas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya penggunaan bersama obat lain

dan distribusinya yang tergantung pada kelarutannya dalam lemak dan ikatannya

dengan jaringan tubuh. Dosis anak pada umumnya 50-100 % lebih besar dibandingkan

dosis dewasa karena nilai klirens yang tinggi. (Lazuardi, 1999; Glauser et al, 2006.)

Kegagalan OAE sering disebabkan oleh non-compliace atau tidak minum obat

menurut aturan. Bila OAE pertama tidak bermanfaat, dapat diganti dengan OAE kedua.

Dosis OAE kedua dinaikkan bertahap, sedangkan dosis OAE pertama diturunkan

bertahap. Penurunan secara bertahap ini bertujuan untuk mencegah timbulnya status

epileptikus (terutama fenobarbital). Bila OAE perlu dihentikan dengan cepat karena

timbul efek samping yang berat, harus diberikan diazepam. Politerapi sedapat mungkin

dihindari karena efek samping yang banyak. (Glauser et al, 2006.)

Pemilihan jenis OAE sangat tergantung pada sifat serangan epilepsi. OAE

pilihan pertama dan kedua berdasarkan jenis epilepsi :

1. Serangan Parsial
22

 OAE pilihan pertama : Karbamazepin, fenobarbital, primidon,

fenitoin.

 OAE Pilihan kedua : benzodiazepin, asam valproat.

2. Serangan Tonik klonik

 OAE pilihan pertama : Karbamazepin, fenobarbital, primidon,

fenitoin.

 OAE Pilihan kedua : benzodiazepin, asam valproat.

3. Serangan absens

 OAE pilihan pertama : etosuksimid, asam valproat.

 OAE Pilihan kedua : benzodiazepin.

4. Serangan mioklonik

 OAE pilihan pertama : benzodiazepin, asam valproat.

 OAE Pilihan kedua : etosuksimid

5. Serangan tonik, klonik, atonik

 Semua OAE kecuali etosuksimid. (Lazuardi, 1999)

II.2 Vitamin D

II.2.1 Sumber Vitamin D

Vitamin D merupakan vitamin yang larut dalam lemak, merupakan prohormon

yang memiliki fungsi utama mengatur keseimbangan kalsium tubuh. Dua bentuk utama

vitamin D adalah vitamin D2 (ergocalciferol) dan vitamin D3 (cholecalciferol). Namun,

vitamin D3 adalah satu-satunya bentuk yang ditemukan secara alami pada manusia

dan hewan lainnya. Selain bersumber dari bahan hewani, vitamin D3 bisa diproduksi

oleh tubuh sendiri melalui paparan sinar ultraviolet B (UVB) yang memiliki panjang
23

gelombang 290-320 nm, yang berasal dari sinar matahari yang mengkonversi 7-

dehydrocholesterol di kulit menjadi pre vitamin D3. Sumber makanan utama vitamin D

termasuk ikan berminyak, kuning telur dan susu yang diperkaya vitamin D. American

Academy of Pediatrics tahun 2008 merekomendasikan asupan vitamin D sebesar 400

IU per hari untuk mempertahankan kadar 25 (OH) D3 serum > 50 nmol/L. (Wagner dan

Greer, 2008)

Vitamin D diketahui diperlukan untuk metabolisme tulang. Namun, ada beberapa

Vitamin D dari sumber makanan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan harian yang

direkomendasikan. Selain itu, banyak faktor individu dan lingkungan yang mengganggu

paparan sinar matahari yang cukup untuk memproduksi vitamin D endogen. Selama

empat dekade terakhir, semakin banyak bukti ilmiah yang menghubungkan

kekurangan vitamin D terhadap berbagai penyakit kronis termasuk hipertensi, disfungsi

kekebalan tubuh, kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskular. Pada remaja,

hubungan ini baru mulai dieksplorasi. Oleh karena banyak akibat yang ditemukan

sebagai konsekuensi dari kekurangan vitamin D yang terjadi dari waktu ke waktu,

pencegahan harus dimulai di masa kanak-kanak. (Santonge dkk., 2009)

II.2.2 Metabolisme Vitamin D

Vitamin D3 disintesis di kulit dari 7-dehydrocholesterol melalui paparan radiasi

ultraviolet B menjadi pre-vitamin D (pre cholecalciferol) kemudian dikonversi menjadi

vitamin D3 (cholecalciferol) melalui isomerisasi termal. Meskipun sumber utama vitamin

D3 adalah melalui sintesis endogen di kulit, vitamin ini juga bisa diperoleh dari makanan

dan ini penting bagi mereka yang jarang terpapar sinar matahari. Vitamin D3, apakah

berasal dari sinar matahari maupun dari diet, memasuki sirkulasi berikatan dengan
24

protein yang mengikat vitamin D dan diangkut ke hati. Vitamin D3 mengalami

hidroksilasi di hati untuk membentuk 25-hidroksikolekalsiferol (25 (OH) D3), sebagai

metabolit utama yang berada di sirkulasi, 25 (OH) D3 kemudian dihidroksilasi oleh

enzim 1-hidroksilase (gen: CYP27B1), dan ini terjadi terutama di ginjal untuk

menghasilkan 1, 25-dihidroksikolekalsiferol (1,25 (OH) 2D3), bentuk biologis aktif

vitamin D. Dalam studi in vivo telah menunjukkan bahwa katabolisme vitamin D dan

metabolitnya kebanyakan terjadi di hati melalui berbagai enzim sitokrom P450 yang

menghasilkan sejumlah katabolit 24-hidroksilase (gen: CYP24), sitokrom enzim P450

yang mengandung mitokondria, mengkatalisis beberapa tahap degradasi 1,25 (OH)

2D3 melalui 24-hidroksilasi dan pembentukan asam calcitrioic. (Dong Y, Jorgensen,

2010, Christakos dan Ajibade, 2010, Strange RC dkk., 2015)


25

Gambar 3. Metabolisme vitamin D (Christakos dan Ajibade, 2010)

II.2.2 Reseptor Vitamin D

Reseptor vitamin D (VDR) adalah reseptor nuklir hormon steroid yang mengikat

1,25 (OH)2D3 dengan afinitas tinggi dan memediasi regulasi transkripsi gen. (Hollick,

2006) VDR mengikat 1,25 (OH)2D3 dengan afinitas dan spesifitas yang tinggi, yang

kemudian mengalami heterodimerisasi dengan reseptor retinoid X. Setelah heterodimer

yang mengikat dengan elemen respon vitamin D dalam gen target, menghasilkan

respon genomik. Selain itu, ada juga VDR pada membrane plasma yang memediasi

kerja dari 1,25 (OH)2D3 VDR dan telah diidentifikasi terdapat di sebagian besar

jaringan manusia, termasuk jaringan yang berkaitan dengan homeostasis kalsium dan
26

metabolisme tulang. Termasuk osteoblas, keratinosit kulit, limfosist, sel dendritik, otot

skeletal, jaringan adiposit, makrofag, otot polos, sel β pankreas dan sel epitel dan juga

berbagai sel-sel sistem kekebalan tubuh. Varian genetik dari gen yang mengkode VDR

juga telah dikaitkan dengan risiko besar menderita kanker dan gangguan kekebalan

tubuh, termasuk diabetes mellitus tipe 1. Berbagai tempat ekspresi VDR mungkin

mendasari efek beragam vitamin D dan memberikan dasar mekanistik hubungan antara

kekurangan vitamin D dan sejumlah gangguan, termasuk jenis kanker tertentu, penyakit

radang usus, penyakit kardiovaskuler, diabetes (tipe 1 dan tipe 2 ), resistensi insulin

dan sindrom metabolik. (Hollick, 2006, Roth C dkk., 2011)

Gambar 4. Reseptor vitamin D pada membran sel (Norman , 2014)


27

Gambar 5. Efek vitamin D pada berbagai organ target (Hollick, 2006)

II.2.4 Defisiensi Vitamin D

Status klinis vitamin D biasanya dinilai dengan pengukuran kadar serum 25 (OH)

D3, bentuk utama vitamin D dalam sirkulasi, dengan waktu paruh antara 15 sampai 50

hari. (Ding C, 2012) Pada tahun 1997, Institute of Medicine menetapkan defisiensi

vitamin D sebagai serum 25 (OH) D level <27,5 nmol / L (untuk mengkonversi menjadi

ng / mL dibagi 2,496). Pada 2007, Canadian Pediatric Society mendefinisikan

kekurangan vitamin D sebagai serum 25 (OH) D level < 25 nmol / L. Dalam tinjauan

tahun 2008 yang ditulis atas nama Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society,

kekurangan vitamin D didefinisikan sebagai tingkat serum 25 (OH) D <37,5 nmol / L.


28

Meskipun definisi para peneliti berbeda dan uji laboratorium yang berbeda telah

digunakan untuk menentukan kadar serum 25 (OH) D, bukti dominan dari studi pusat

tunggal menunjukkan hipovitaminosis D meluas pada anak-anak dari segala usia.

Sebuah studi yang representatif secara nasional terhadap anak-anak berusia ≥12 tahun

1988-1994, menggunakan kriteria yang lebih ketat untuk kekurangan (<17,5 nmol / L),

menemukan sedikit bukti kekurangan, tetapi menemukan bahwa tingkat kekurangan

vitamin D yang lebih rendah adalah hal umum. Dan ada minat yang meningkat pada

tingkat kekurangan vitamin D yang lebih rendah. Memang, pemeriksaan Survei

Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional (NHANES) tahun 2000-2004 menunjukkan,

di antara data lain, persentase pria dan wanita berusia 0 hingga 70 tahun dengan

tingkat 25 (OH) D <50 nmol / L (Mansbach JM, 2009)

II.3 Hubungan kadar vitamin D dengan Penggunaan obat antiepilepsi

Sejak Kruse melaporkan pada tahun 1968 bahwa frekuensi rakhitis signifikan

terjadi pada anak-anak epilepsi, banyak peneliti telah melaporkan hipovitaminosis D

pada pasien epilepsi yang menggunakan terapi antikonvulsan. Kelainan yang biasa

diamati termasuk penurunan serum 25-hydroxyvitamin D, alkali fosfatase dan hormon

paratiroid serum tinggi, dan penurunan kepadatan mineral tulang, Kelainan ini telah

dikaitkan, setidaknya sebagian, dengan meningkatkan aktivitas microsomial cytochrome

P450 oksidase, yang mengakibatkan peningkatan konversi vitamin D menjadi metabolit

tidak aktif (Nicolaidou, 2005).

Mekanisme yang mendasari rendahnya kadar kalsium pada pasien epilepsi

mungkin multifaktorial. Obat antiepilepsi terkait dengan perubahan metabolisme tulang

dan konsentrasi fosfat dan dengan demikian juga perubahan homeostasis kalsium di
29

dalam tubuh. Salah satu patomekanisme yakni tampaknya didasarkan pada penurunan

tingkat vitamin D aktif, yang kemungkinan disebabkan oleh induksi Enzim P450

sitokrom hati oleh obat anti epilepsi, yang mengarah ke konversi menjadi metabolit tidak

aktif dalam mikrosom hati. Inaktivasi vitamin D oleh obat antiepilepsi terjadi terutama

oleh induksi enzim hati dan dengan aktivasi pregnane X receptor (PXR) dan steroid dan

xenobiotik reseptor (SXR). Defisiensi vitamin D terkait dengan penggunaan obat

antiepilepsi kemungkinan dimediasi melalui reseptor inti, reseptor PXR. PXR berbagi

60% domain homologi pengikatan DNA mereka dengan reseptor vitamin D (VDR) dan

diekspresikan dalam usus, ginjal, dan hati. PXR telah terbukti memediasi induksi CYP 2

dan CYP 3, enzim sitokrom P450 yang terlibat dalam metabolisme obat. Selanjutnya,

PXR dapat diaktifkan oleh berbagai agen farmasi termasuk fenitoin, phenobarbital,

carbamazepine dan rifampicin. Bukti yang muncul menunjukkan bahwa aktivator PXR

ini dapat meningkatkan ekspresi CYP24, gen target VDR di sel yang dikultur dan in vivo

pada tikus. CYP 24 adalah enzim yang mengarahkan oksidasi dan pembelahan rantai

samping 25(OH) 2 D3 dan 1β, 25 (OH) 2 D3 hingga produk ujung asam karboksilat

(asam calcitroic), menghasilkan konsentrasi seluler yang lebih rendah dari vitamin D

aktif. Hal ini menginduksi keadaan kekurangan vitamin D. Namun, tidak menjelaskan

kekurangan vitamin D dengan asam valproat dilaporkan dalam beberapa penelitian

karena asam valproat adalah inhibitor enzim sitokrom P450 (Valsamis, 2006).
30

Gambar 6. Representasi PXR dimediasi katabolisme vitamin D. PXR diaktifkan

oleh berbagai obat antiepilepsi dan agen farmasi lainnya dan menginduksi CYP 24,

enzim yang memetabolisasikan vitamin D3 aktif ke bentuk tidak aktif. PXR: Pregnane X

receptor, DPH: phentyoin, CBZ: carbamazepine, PB: phenobarbital, VDR: vitamin D

receptor, PTH: parathyroid hormone, CYP 24: 24-hydroxylase (Valsamis, 2006).

Aktivasi vitamin D (D2 dan D3) terjadi pada awalnya di hati tempat mereka

terhidroksilasi menjadi 25 (OH) D oleh vitamin D hidroksilase CYP27A. Obat

antiepilepsi mengikat dan mengaktifkan SXR. Kompleks ini berikatan dengan RXR,

yang kemudian diaktifkan enzim 24-hidroksilase dan berinteraksi dengan elemen

responsif vitamin D. Enzim ini memediasi delesi kelompok 25-hidroksil dari kedua 25-

hydroxyvitamin D dan 1,25 dihydroxy vitamin D. Inaktivasi vitamin D yang dipercepat ini
31

menyebabkan kaskade peristiwa yang beradaptasi dengan kekurangan progresif

menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder. Lebih lanjut hipovitaminosis D

menghasilkan penurunan penyerapan kalsium dari usus. Hal ini memiliki efek yang

merugikan pada mineralisasi dan metabolisme tulang. Mekanisme di atas telah

dikaitkan dengan obat antiepilepsi yang merupakan penginduksi sistem enzim sitokrom

P450 (fenobarbitol, fenitoin, dan karbamazepin). Mekanisme yang tepat dimana natrium

valproate menyebabkan kelainan metabolisme mineral tulang yang serupa tidak jelas

tetapi dapat dimediasi oleh penghambatan enzim hati yang berbeda. Asam valproat

(valproic acid = VPA) adalah salah satu obat antiepilepsi yang sering digunakan di

seluruh dunia dan menurut literatur banyak efek samping yang perlu didiskusikan selain

dari efek terapi. Asam valproate menghambat aktivitas 25- hidroksilase pada vitamin D

dalam mitokondria hati tanpa menghambat komponen sitokrom P450 terkait sistem

mono oksigenase. Dari hal tersebut variasi genetik seperti polimorfisme dalam gen

vitamin D reseptor (VDR) dapat mempengaruhi seseorang untuk vitamin D. (Chaudhuri,

2017; Sreedharan, 2018; Pack, 2003).


32

Gambar 7. Reseptor vitamin D dan gen target. Mengikat VDR ke ligannya, 1,25

(OH) 2D3, memungkinkan dimerisasi VDR dan RXR, memungkinkan translokasi nuklir

dan pengikatan Kompleks VDR-RXR ke VDRE di wilayah promotor gen responsif

(Essen, 2018).
33

Gambar 8. Jalur aktivasi dan inaktivasi vitamin D. Vitamin D3, diserap dari

makanan atau disintesis di kulit saat terpapar UVB, disimpan di hati dan lemak.

Langkah pertama dalam aktivasi, 25-hidroksilasi, terjadi terutama di hati dan dimediasi

baik dengan kapasitas rendah, tinggi afinitas mikrosomal 25-hidroksilase, CYP2R1,

atau kapasitas tinggi, afinitas rendah mitokondria hidroksilase, CYP27A1. 25-

hydroxyvitamin D (25 (OH) D3) diangkut dari hati ke ginjal yang terikat dengan protein

pengikat vitamin D plasma (DBP, juga dikenal sebagai protein Gc) di mana ia

diinternalisasi oleh megalin-dependen cubulin-mediated endocytosis di tubulus

proksimal ginjal. Langkah kedua dalam aktivasi terjadi terutama di tubulus proksimal
34

melalui aksi 25 (OH) D3-1α-hydroxylase, CYP27B1, untuk menghasilkan hormon seko-

steroid aktif, 1,25 dihydroxyvitamin D (1,25 (OH) 2D3). Hormon aktif diangkut ke ginjal,

usus, tulang, dan jaringan target vitamin D di mana ia mengikat ke reseptor vitamin D

inti (VDR). VDR ligandbound heterodimerizes dengan retinoid-X-receptor dan

memodulasi ekspresi 200-800 gen, termasuk upregulation dari 24-hydroxylase,

CYP24A1, yang menurunkan 1,25 (OH) 2D3. 24-hidroksilase dan 1a-hidroksilase

diekspresikan secara timbal balik untuk mengatur kadar 1,25 (OH) 2D3. Ekspresi dari

aktivitas 24-hidroksilase menghasilkan 24,25 (OH) 2D3 dari 25 (OH) D3, yang diduga

terlibat dalam penyembuhan patah tulang, tetapi CYP24A1 dominan menonaktifkan

1,25 (OH) 2D3 dengan serangkaian reaksi hidroksilasi dan oksidasi berurutan untuk

menghasilkan asam kalsitroat, yang diekskresikan dalam empedu, atau 1,25 (OH) 2D3-

26,23-lakton, yang merupakan antagonis VDR yang lemah (Jones, 2018).

Dalam studi cross-sectional yang dilakukan Pohan dkk, menemukan hubungan

antara penggunaan antikonvulsan jangka panjang (satu tahun atau lebih), penurunan

level 25 (OH) D, dan status vitamin D. Anak-anak epilepsi yang menggunakan

antikonvulsan selama setidaknya 1 tahun mengalami penurunan 18,4% dalam kadar

rata-rata 25 (OH) D dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan mereka memiliki

prevalensi kekurangan vitamin D yang lebih tinggi (Pohan, 2015).

Menurut penelitian Chaudhuri dkk (2017) membuktikan kadar 25-hydroxyvitamin

D secara signifikan lebih rendah dalam kasus (18,3 ± 6,2) dibandingkan dengan kontrol

(27,7 ± 3,9) (P <0,0001). Dalam penelitian serupa, tingkat rata-rata 25-hydroxyvitamin D

lebih rendah di antara kasus-kasus (28,79 ± 33,85) berbeda dengan kontrol (rata-rata

47,62 ± 46,16).
35

Kerangka Teori

Diit Genetik
Jenis kelamin
(Vitamin D2,
Vitamin D3)
Sinar UV

Vitamin D3
Vitamin D (berikatan dengan Vitamin
7-DHC kulit
D Binding Protein)

Asam Sitokrom CYP27A1, 25-Ohase ↓


Valproat P450↓ CYP2R1 ↓
Hepar

25-hydroxyvitamin D
[25 (OH)D] menurun

Phenitoin,
Phenobarbital
PTH
1-OH ase Kelenjar
Ginjal paratiroid
Pregnane X
receptor (PXR)

CYP 24
1,25 dihidroxyvitamin D
1,25 (OH)2 D menurun
vitamin D
receptor
(VDR)
24-
hidroksilas
steroid dan Retinoid X e
xenobiotik receptor
reseptor (RXR)
(SXR) Asam calcitroic Vitamin D aktif menurun
(Inaktif)
36

BAB III

KERANGKA KONSEP

Usia Penyakit hati Penyakit ginjal Penyakit endokrin

Sitokrom
P450
24-
CYP 24
hidroksilas
e Asam calcitroic
25-Ohase
(Inaktif)
Obat Anti Vitamin D
Epilepsi

7-DHC kulit Vitamin D3 25 (OH)D 1,25 (OH)2 D

Jenis kelamin Status Gizi Genetik

Keterangan bagan :

Variabel bebas Variabel random Variabel kendali

Variabel random
Variabel tergantung

Hubungan variabel Hubungan variabel


Hubungan variabel bebas
antara kendali

Hubungan variabel Hubungan variabel


tergantung random
37

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

IV.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional untuk

menganalisis hubungan antara kadar vitamin D dengan penggunaan obat antiepileptik

pada anak dengan epilepsi.

IV.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada Juni – Agustus 2020 terhadap pasien anak

epilepsi yang terdaftar di RSUP DR Wahidin Sudirohusodo, Divisi Neurologi Ilmu

Kesehatan Anak Universitas Hassanudin. Pemeriksaan sampel darah dilakukan di

laboratorium NECHRI Universitas Hasanuddin Makassar.

IV.3. Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah anak dengan epilepsi umur 1 tahun hingga 18 tahun

yang terdaftar di RSUP DR Wahidin Sudirohusodo.

IV.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel

Sampel penelitian adalah semua populasi terjangkau yang memenuhi kriteria

penelitian. Selanjutnya dilakukan penghitungan lama pengobatan dengan obat anti

epilepsi dan menghasilkan dua kelompok yaitu kelompok anak dengan penggunaan
38

obat anti epilepsi lebih dari 1 tahun dan kurang atau sama dengan 1 tahun. Cara

pengambilan sampel adalah cluster random sampling.

IV.4.1. Pemilihan Sampel

Sampel penelitian ini adalah data dari seluruh populasi terjangkau yang

memenuhi kriteria penelitian. Selanjutnya diambil sampel darah untuk pemeriksaan

vitamin D (25(OH)D) dari setiap pasien kemudian diperiksa ke laboratorium NECHRI

Universitas Hasanuddin Makassar.

IV.4.2. Perkiraan Besar Sampel

Perkiraan besar sampel untuk uji hipotesis terhadap 2 proporsi data nominal.

Dengan desain cross sectional, diperkirakan odds ratio (OR) = 2, proporsi efek pada

kelompok kontrol sebesar 0,2 dengan nilai kemaknaan sebesar 0,05 dan power

sebesar 80% maka perkiraan besar sampel dapat dihitung sebagai berikut :

n = ( Zα √2 PQ + Zβ √P1Q1 + P2Q2 )2

(P1 – P2 )2

n = (1,96√2(0,1x0,99)+ 0,842√(0,006x0,8) + (0,2x0,99) 2

(0,2- 0,006)2

N = 40

Keterangan :

P2 = 0,2
Zα = 1,96
Zβ = 0,84
OR = 2
39

P1 = 0,006
P = ½ (P1+P2) = 0,1
Q = 1 – P = 0,99
Q1 = 1 – P1 = 0,8
Q2 = 1 – P2 = 0,99

Dengan demikian berdasarkan hasil perhitungan didapatkan jumlah sampel

minimal sebanyak 40 orang anak dengan penggunaan obat anti epilepsi lebih satu

tahun dan 40 orang anak penggunaan obat anti epilepsi kurang atau sama dengan

satu tahun.

IV.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

IV.5.1 Kriteria Inklusi

Anak dengan epilepsi usia 1 hingga 18 tahun dengan penggunaan obat anti

epilepsi lebih satu tahun dan kurang atau sama dengan satu tahun.yang terdaftar pada

RSUP DR Wahidin Sudirohusodo 2020 dan orang tua mereka setuju untuk

berpartisipasi dengan penelitian ini.

IV.5.2. Kriteria Eksklusi

1. Menderita gangguan fungsi hati dan atau ginjal

2. Menderita gangguan endokrinologi, seperti hipo atau hiperparatiroidisme.

3. Orang tua menolak penelitian.

IV.6. Izin penelitian dan ethical clearance

Dalam melaksanakan penelitian ini, setiap tindakan dilakukan setelah memperoleh

izin dari direktur rumah sakit, dalam hal ini bagian rekam medik dan persetujuan dari
40

Komisi Etik Penelitian Biomedis pada manusia Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin Makassar.

IV.7. Cara Kerja

IV. 7.1. Alokasi Subyek

Subyek penelitian adalah anak yang sudah teridentifikasi dan memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi. Subyek akan terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu:

1. Kelompok dengan penggunaan obat anti epilepsi lebih dari 1 tahun

2. Kelompok dengan penggunaan obat anti epilepsi kurang atau sama

dengan 1 tahun.

Kemudian masing-masing subyek dari kedua kelompok di periksa kadar vitamin

D.

IV.7.2. Cara Penelitian

Semua penderita yang memenuhi syarat dicatat umur, jenis kelamin, lama

penggunaan obat anti epilepsi serta hasil pemeriksaan laboratorium.

IV.7.2.1. Prosedur Pemeriksaan

1. Pengambilan sampel didahului dengan pemberian penjelasan kepada orang tua

pasien tentang tujuan dan manfaat penelitian, dan cara pengambilan darah.

Kemudian orang tua diminta untuk mengisi dan menandatangani surat persetujuan

sebagai tanda persetujuan untuk dilakukannya penelitian ini.

2. Pemeriksaan kadar 25 (OH)D menggunakan metode Chemiluminescence Immune

Assay dengan Dia Sorin Liaison.


41

IV.7.3 Alur Penelitian

Pasie anak dengan epilepsi berusia 1 –


18 tahun dengan penggunaan obat
anti epilepsi yang terdaftar di RSUP DR
Wahidin Sudirohusodo

Tidak memenuhi kriteria


Tidak memenuhi kriteria
inklusi
inklusi

Perhitungan lama penggunaan obat anti epilepsi

penggunaan obat anti epilepsi penggunaan obat anti epilepsi


Lebih 1 tahun kurang atau sama dengan 1 tahun

Defisiensi Tidak Defisiensi Tidak


vitamin D defisiensi vitamin D defisiensi
vitamin D vitamin D

Analisis
42

IV.8. Identifikasi dan klasifikasi variabel

IV.8.1. Identifikasi variabel

1. Umur, status gizi dan jenis kelamin.

2. Lama penggunaan obat anti epilepsi

3. Kadar vitamin 25 (OH)D

IV.8.2. Klasifikasi Variabel

1. Variabel tergantung adalah kadar vitamin D serum 25(OH)D yang

merupakan variabel numerik yang di adjusted menjadi variabel kategorik

2. Variabel bebas adalah lama penggunaan obat anti epilepsi yang merupakan

variabel kategorik

3. Variabel kendali adalah umur, gangguan fungsi hati, ginjal dan hormon

paratiroid

4. Variabel random jenis kelamin, status gizi dan faktor genetik.

5. Variabel antara adalah proses biologis metabolisme vitamin D pada reseptor

organ target yang tidak dapat diukur.

IV.9. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

IV.9.1. Definisi Operasional

1. Kadar Vitamin D adalah kadar 25 (OH) D pada serum yang diukur dengan

metode Chemiluminescence Immune Assay dengan Dia Sorin Liaison.


43

2. Epilepsi adalah kejang yang timbul tanpa adanya provokasi. Kondisi ini

ditegakkan berdasarkan klinis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan elektro

ensefalografi

3. Berat badan adalah ukuran berat badan dengan menggunakan skala digital

tanpa sepatu (kg)

4. Jenis kelamin adalah laki-laki atau perempuan yang ditentukan berdasarkan

keterangan orang tua dan konfirmasi pemeriksaan fisik.

5. Umur adalah usia kronologis yang dihitung berdasarkan pengurangan tanggal,

bulan dan tahun saat diambil sebagai sampel dengan tanggal,bulan dan tahun

kelahiran.

6. Penyakit hati adalah kondisi yang menyebabkan gangguan fungsi hati dengan

gejal antara lain, ikterus, ascites maupun edema.

7. Penyakit ginjal adalah kondisi yang menyebabkan gangguan fungsi ginjal yang

memberikan gejala antara lain sesak, edema palpebra, pretibial, dorsum pedis,

hematuria maupun oligouria.

8. Penyakit endokrin adalah kondisi yang menunjukkan gangguan fungsi hormon

paratiroid yang memberikan gejala antara lain kejang, gerakan involunter otot.

9. Obat anti epilepsi adalah obat-obat yang diberikan untuk mengatasi epilepsi

seperti asam valproat, phenobarbital dan phenitoin.

IV.9.2. Kriteria Obyektif

1. Vitamin D 25 (OH) D

 Normal: 20-100 ng / mL (50-250 nmol / L)

 Insufisiensi: 15-20 ng / mL (37,5-50 nmol / L)


44

 Defisiensi : < 15 ng / mL ( < 37,5 nmol / L)

 Defisiensi berat: <5 ng / mL (≤ 12,5 nmol / L)

2. Usia penderita status epileptikus anak adalah mereka yang berusia 1 tahun

hingga 18 tahun.

3. Epilepsi didapatkan anamnesis, gejala klinis dan hasil pemeriksaan EEG.

4. Usia berdasarkan pencatatan rekam medik.

5. Status gizi berdasarkan parameter CDC-NCHS 2000 dibagi atas :

a. Gizi Baik, jika berat badan aktual dikali 100% dan dibagi berat badan ideal

menurut tinggi badan aktual sesuai umur terletak antara 90-110%.

b. Gizi Kurang, jika berat badan aktual dikali 100% dan dibagi berat badan ideal

menurut tinggi badan aktual sesuai umur terletak antara 70-<90%.

c. Gizi Buruk, jika berat badan aktual dikali 100% dan dibagi berat badan ideal

menurut tinggi badan aktual sesuai umur terletak antara <70%.

6. Status gizi berdasarkan parameter WHO dibagi atas :

a. Gizi Baik, jika berat badan menurut tinggi badan aktual terletak antara standar

deviasi -2 sampai +2.

b. Gizi Kurang, jika berat badan menurut tinggi badan aktual terletak antara

standar deviasi -2 sampai -3.

c. Gizi Buruk, jika berat badan menurut tinggi badan aktual terletak pada standar

deviasi di bawah -3.

d. Gizi lebih, jika berat badan menurut tinggi badab aktual terletak pada standar

deviasi di atas + 3.
45

7. Jenis kelamin, dibagi atas :

a. Laki-laki

b. Perempuan

IV.10. Pengolahan dan analisis data

Semua data yang diperoleh dicatat dalam formulir data penelitian, kemudian

dikelompokkan berdasarkan tujuan dan jenis data. Selanjutnya dipilih metode statistik

yang sesuai, yaitu :

IV.10.1. Analisis Univariat

Digunakan untuk deskripsi data-data berupa deskripsi frekuensi, nilai rata-rata,

simpang baku dan rentangan.

IV.10.2. Analisis Bivariat

1. Uji Mann Whitney

Digunakan untuk membandingkan variabel berskala ordinal atau numerik yang

datanya tidak terdistribusi normal dan varians berbeda antara dua kelompok yang

tidak berpasangan.

2. Uji x2 (chi square)

Untuk membandingkan variabel berskala nominal antara dua kelompok atau lebih

yang tidak berpasangan. Dalam hal ini untuk menentukan kemaknaan hubungan

kadar vitamin D dengan lama penggunaan obat antiepilepsi. Menghitung crude

odds ratio dengan confidence interval 95% untuk menentukan besarnya peluang

mengalami defisiensi vitamin D bila mempunyai lama penggunaan obat antiepilepsi

lebih dari 1 tahun.


46

IV.11. Penilaian Hasil Uji Hipotesis

Hasil uji hipotesis ditetapkan sebagai berikut :

1. Tidak bermakna bila p > 0,05.

2. Bermakna bila p ≤ 0,05.

3. Sangat bermakna bila p ≤ 0,01

4. Odd ratio dengan CI 95 % > 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti memang

faktor risiko.
47

DAFTAR PUSTAKA

Chaudhuri, Jaydip Ray et al. 2017. “Association of 25-Hydroxyvitamin d Deficiency in


Pediatric Epileptic Patients.” Iranian Journal of Child Neurology 11(2): 48–56.
Christakos S, Ajibade D, Fechner A. Dhawan P, Fechner AJ, Mady LJ. 2010. Vitamin
D : Metabolism. Endocrinol Metab Clin North Am. June ; 39(2): 243–253.
Dong Y, Pollock, Jorgensen, Gutin B, Lan L, Chen TC, Keeton D, Petty K, Holick MF,
Haidong Z. 2010. Low 25-Hydroxyvitamin D Levels in Adolescents : Race, Season,
Adiposity, Physical Activity, and Fitness. Pediatrics ;125;1104.
Essen MR, Geisler C. VDR, the Vitamin D Receptor. S. Choi (ed.), Encyclopedia of
Signaling Molecules, https://doi.org/10.1007/978-3-319-67199-4.
Fisher, R.S., Acevedo, C., Arzimanoglou, A., Bogacz, A., Cross, J.H., Elger, C.,et
al. .,2005. An Operational Clinical Definition of Epilepsy. Stanford University
School of Medicine. Stanford.
Glass, Hannah C. et al. 2011. “Risk Factors for Epilepsy in Children with Neonatal
Encephalopathy.” Pediatric Research 70(5): 535–40.
Glauser T. 2006. ILAE treatment guidelines: evidence-based analysis of antiepileptic
drug efficacy and effectiveness as initial monotherapy for epileptic seizures and
syndromes. Epilepsia. 2006 Jul;47(7):1094-120.
Holick MF. 2006. High Prevalence of Vitamin D Inadequacy and Implication for Health.
Mayo Clin Proc. March;81 (3) : 353-373.
Jones, Glenville, David E. Prosser, and Martin Kaufmann. 2018. 1 Vitamin D: Fourth
Edition The Activating Enzymes of Vitamin D Metabolism (25- and 1α-
Hydroxylases). Fourth Edition. Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-
809965-0.00005-7.
Lazuardi, 1999. Pengobatan epilepsi. Dalam soetomenggolo TS. Buku ajar neurologi
anak Jakarta. BP IDAI 231-6
Lucke-Wold, Brandon P. et al. 2015. “Traumatic Brain Injury and Epilepsy: Underlying
Mechanisms Leading to Seizure.” Seizure 33: 13–23.
http://dx.doi.org/10.1016/j.seizure.2015.10.002
Lumbantobing, S.M. 1999. Etiologi dan Faal Sakitan Epilepsi. Buku Ajar Neurologi
Anak. Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
Mansbach JM, et al., 2009. Serum 25-Hydroxyvitamin D Levels Among US Children
Aged 1 to 11 Years: Do Children Need More Vitamin D? Pediatrics. 2009
November ; 124(5): 1404–1410. doi:10.1542/peds.2008-2041.
Misra, Usha Kant, Chong Tin Tan, and Jayantee Kalita. 2008. “Viral Encephalitis and
Epilepsy.” Epilepsia 49(SUPPL.6): 13–18.
Nelligan, A., Bell, G.S., Johnson, A.L., Googridge, D.M., Shorvon, S.D., Sander, J.W.
The Long-term Risk of Premature Mortality in People with Epilepsy. 2011. Brain J.
134: 388-95.
Nicolaidou, Polyxeni et al. 2006. “Effects of Anticonvulsant Therapy on Vitamin D Status
in Children: Prospective Monitoring Study.” Journal of Child Neurology 21(3): 205–
9.
Norman, P. E., and J. T. Powell. 2014. “Vitamin D and Cardiovascular Disease.”
Circulation Research 114(2): 379–93.
Pack, Alison M. 2003. “The Association between Antiepileptic Drugs and Bone
48

Disease.” Epilepsy Currents 3(3): 91–95.


Pohan, Fathy, Aryono Hendarto, Irawan Mangunatmadja, and Hartono Gunardi. 2015.
“Vitamin D Levels in Epileptic Children on Long-Term Anticonvulsant Therapy.”
Paediatrica Indonesiana 55(3): 164.
Roth C, Elfers C, Hoofnagle A. 2011. Vitamin D Deficiency in Obese Children and Its
Relationship to Insulin Resistance and Adipokines. Hindawi Publishing Corporation
Journal of Obesity. Volume 2011.
Saintonge S, Bang H, Gerber L. 2009. Implication of a New Definition of Vitamin D
Deficiency in Multiracial US Adolescent Population : The National Health and
Nutrition Examination Survey III. Pediatrics :123;797.
Scheffer, I.E., Berkovic, S.F. 1997. Generalized epilepsy with febrile seizures plus, A
genetic disorder with heterogeneous clinical phenotypes. Department of Neurology
University of Meulborne. 120: 479-490. Australia.
Sjarif D, Lestari E, Mexitalia M. 2014. Buku Ajar Nurisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik.
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Sreedharan, Mini et al. 2018. “Vitamin D Deficiency in Ambulant Children on
Carbamazepine or Sodium Valproate Monotherapy.” Indian Pediatrics 55(4): 307–
10.
Stafstrom, C.E. 2008.The Pathophysiology of Epileptic Seizures : A Primer for
Pediatricians. Pediatricin review 19: 342-351.
Strange RC, Shipman KE, Ramachandran S. 2015. Metabolic Syndrome : A review of
the role of vitamin D in mediating susceptibility and outcome. World J Diabetes.
July 10 ; 6(7) : 896-911.
Suwarba, I.G.N.M., 2011, Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak, Sari
Pediatri, 13 (2); 123-8.
Valsamis, Helen A., Surender K. Arora, Barbara Labban, and Samy I. McFarlane. 2006.
“Antiepileptic Drugs and Bone Metabolism.” Nutrition and Metabolism 3: 1–11.
Vozikis, A., Goulionis, J.E., Nikolakis, D. 2012. Risk factors associated with Epilepsy: A
case-control study. 6: 509-517.
Wagner, Greer F. 2008. Prevention of Rickets and Vitamin D Deficiency in Infants,
Children, and Adolescents. Pediatrics. Volume 122, Number 5, November.
World Health Organization. Sodium valproat in childhood epilepsy, 2006. Didapat
dari:http://www.who.co.id.
Zhang, Dongli, Xiaoming Liu, and Xingqiang Deng. 2017. “Genetic Basis of Pediatric
Epilepsy Syndromes.” Experimental and Therapeutic Medicine 13(5): 2129–33.

Anda mungkin juga menyukai