Proposal Nadia Edit
Proposal Nadia Edit
BAB I
PENDAHULUAN
serangan yang bersifat spontan dan berkala. Epilepsi merupakan diagnosis klinis,
Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang
luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur
per 100.000. Salah satu penyebab tingginya insidensi epilepsi di negara berkembang
adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen. Kondisi
tersebut di antaranya adalah infeksi, komplikasi prenatal, perinatal, serta post natal.
pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50%
terjadi pada anak-anak. Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering juga
disertai gangguan neurologi seperti retardasi mental, palsi serebral, dan sebagainya
yang disebabkan oleh kelainan pada susunan saraf pusat. (Suwarba, 2011).
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang umur dan
ras. Kejadian epilepsi dapat dimulai pada umur berapa saja, tetapi di negara
2
berkembang kejadian epilepsi sering terjadi pada keadaan ekstrim seperti pada bayi,
usia anak-anak, usia remaja, dan pada usia tua. Secara umum diperoleh gambaran
bahwa insiden epilepsi menunjukkan bahwa puncak insidensi terdapat pada golongan
peningkatan kejadian rakhitis atau osteomalacia, peningkatan risiko patah tulang, dan
defisiensi vitamin D. Efek antiepilepsi pada kadar vitamin D telah dipelajari selama 40
yang memiliki fungsi utama mengatur keseimbangan kalsium untuk tubuh. Status
vitamin D dalam tubuh ditentukan berdasarkan kadar 25(OH)D. Hal ini disebabkan
karena masa paruh 25(OH)D cukup panjang yaitu 2-3 minggu. Di samping itu 25(OH)D
mudah diperiksa dan memiliki kadar paling tinggi diantara metabolit vitamin D lainnya
serta memiliki korelasi yang kuat antara keadaan defisiensi 25(OH)D dengan gejala
klinis. Vitamin D dikatakan normal apabila kadar 25(OH)D berkisar antara 20-100
ng/mL. Dikatakan defisiensi berat apabila kadar 25(OH)D ≤ 5 ng/mL, defisiensi bila
D, 2014)
3
dan konsentrasi fosfat dan dengan demikian juga perubahan homeostasis kalsium di
dalam tubuh. Salah satu patomekanisme yakni tampaknya didasarkan pada penurunan
tingkat vitamin D aktif, yang kemungkinan disebabkan oleh induksi Enzim P450
sitokrom hati oleh obat anti epilepsi, yang mengarah ke konversi menjadi metabolit tidak
aktif dalam mikrosom hati. Inaktivasi vitamin D oleh obat antiepilepsi terjadi terutama
oleh induksi enzim hati dan dengan aktivasi pregnane X receptor (PXR) dan steroid dan
xenobiotik reseptor (SXR). Aktivasi vitamin D (D2 dan D3) terjadi pada awalnya di hati
Obat antiepilepsi mengikat dan mengaktifkan SXR. Kompleks ini berikatan dengan
responsif vitamin D. Enzim ini memediasi delesi kelompok 25-hidroksil dari kedua 25-
hydroxyvitamin D dan 1,25 dihydroxy vitamin D. Inaktivasi vitamin D yang dipercepat ini
menghasilkan penurunan penyerapan kalsium dari usus. Hal ini memiliki efek yang
dikaitkan dengan obat antiepilepsi yang merupakan penginduksi sistem enzim sitokrom
kelainan metabolisme mineral tulang yang serupa tidak jelas tetapi dapat dimediasi oleh
penghambatan enzim hati yang berbeda. Asam valproat (valproic acid = VPA) adalah
salah satu obat antiepilepsi yang sering digunakan di seluruh dunia dan menurut
literatur banyak efek samping yang perlu didiskusikan selain dari efek terapi. Asam
valproate menghambat aktivitas 25- hidroksilase pada vitamin D dalam mitokondria hati
tanpa menghambat komponen sitokrom P450 terkait sistem mono oksigenase. Dari hal
tersebut variasi genetik seperti polimorfisme dalam gen vitamin D reseptor (VDR) dapat
antara penggunaan antikonvulsan jangka panjang (satu tahun atau lebih), penurunan
OAE adalah antiepilepsi yang luas digunakan di Indonesia dan tergolong dalam
obat dengan indeks terapi sempit yang memerlukan pengawasan pada level obat dalam
plasma dan penyesuaian dosis untuk mencegah timbulnya efek defisiensi vitamin D.
kekawatiran akan efek samping yang ada. Sehingga pentingnya di lakukan penelitian
untuk mengetahui apakah ada pengaruh pemakaian obat antiepilepsi terhadap kadar
hydroxyvitamin D secara signifikan lebih rendah dalam kasus (18,3 ± 6,2) dibandingkan
dengan kontrol (27,7 ± 3,9) (P <0,0001). Dalam penelitian serupa, tingkat rata-rata 25-
5
penelitian menggali lebih jauh lagi tentang kadar vitamin D pada anak penderita epilepsi
yang menggunakan terapi obat antiepilepsi. Selain itu dengan penelitian ini kita akan
memberikan informasi kepada orang tua tentang keamanan penggunaan obat obat
pada pasien epilepsi anak maka dilakukan studi yang sejauh ini belum pernah
Apakah ada pengaruh pemberian obat antiepilepsi terhadap defisiensi vitamin D pada
anak epilepsi.
durasi ≤ 1 tahun.
I.4 Hipotesis
1. Penurunan kadar vitamin D lebih tinggi pada anak epilepsi dengan durasi
2. Dari data analisis data dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya di bidang
Neurologi anak.
suplementasi vitamin D.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. EPILEPSI
II.1.1. Definisi
Epilepsi adalah cetusan listrik lokal pada otak yang terjadi sewaktu waktu,
kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku, atau emosional yang
intermiten dan stereotipik. Pelepasan aktivitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di
otak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa
gangguan fisiologis, biokimia, dan anatomi dengan manifestasi lokal maupun umum.
Epilepsi sebagai gangguan kronis ditandai oleh adanya bangkitan epileptik berulang
akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi karena lepasnya muatan
al., 2005)
Epilepsi merupakan salah satu penyakit kronik yang ditandai dengan kejang
saraf yang tidak terkontrol, baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Pelepasan
aktivitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di otak terjadi karena fungsi sel neuron
terganggu. Gangguan tidak terbatas aktivitas motor yang terlihat oleh mata, tetapi juga
oleh aktivitas lain misalnya emosi, pikiran, dan persepsi. (Fisher et al., 2005)
8
II.1.2. Epidemiologi
Epilepsi adalah kondisi neurologis umum yang mempengaruhi orang dari segala
usia, ras, dan kelas sosial . Ada sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia, di
antaranya hingga 75% hidup di negara-negara miskin dengan sedikit atau tidak ada
akses ke layanan medis atau pengobatan. Prevalensi epilepsi bervariasi antara 0,5%-
1% populasi. Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan
variasi yang luas, tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur populasi.
Insidens epilepsi pada anak di negara maju secara umum diperkirakan sebesar 40 per
100.000 anak pertahun dan di negara berkembang sebesar 100-190 per 100.000 anak
faktor risiko gangguan yang dapat menjadi fokus epileptik seperti infeksi, komplikasi
prenatal, perinatal, serta post natal. Insidens epilepsi tertinggi dijumpai pada umur 1
tahun pertama, yaitu 120 per 100.000 populasi, dan menurun secara dramatis pada
umur 1 – 10 tahun yaitu sebesar 40 per 100.000 populasi. (Neligan et al., 2011)
pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50%
terjadi pada anak-anak. Insidens terbanyak terjadi pada kelompok umur 1-7 tahun.
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi menderita epilepsi,
tetapi tidak ditemukan perbedaan ras. Ditinjau dari jenis kejang, yang terbanyak
II.1.3. Patofisiologi
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi
yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi
(inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik.
Sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid
(GABA) dan glisin. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial
listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan
depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik. (Stafstrom,
2008)
fungsi membran sel neuron sehingga membran mudah dilewati oleh ion kalsium dan
letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan yang tidak teratur
dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi
ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik. Selain itu juga
sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak
terus menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di
dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
aksi secara berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian “mengajak” neuron-
neuron yang terkait di dalam proses tersebut. Secara klinis, serangan epilepsi akan
11
tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara
bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik
pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat
(Stafstrom, 2008)
Bangkitan epilepsi terjadi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak
yang tidak mengikuti pola normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi
ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, dan
terjadi karena :
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan
GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik
( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu
hipotesis mengatakan bahwa aktivitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya
inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmiter inhibitorik utama pada otak.
Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula.
menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan (Stafstrom, 2008)
12
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar
atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron
ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada
pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron
Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena
efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek
ini dapat berupa kemusnahan atau kerusakan neuron-neuron serta sel-sel glia, yang
menyebabkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi
epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan
13
petit mal serta benigna centrotemporal epilepsi. Walaupun demikian proses yang
1999)
1. Riwayat asfiksia.
Insiden ensefalopati neonatal adalah sekitar 1 hingga 2,5 per 1000 kelahiran
masa hidup, sebagian besar sebagai akibat dari asfiksia perinatal. Ensefalopati
neonatal adalah penyebab signifikan kematian neonatal dan perkembangan saraf yang
iskemik berkisar antara 9% hingga 33% dan dalam satu studi, anak-anak dengan
riwayat ensefalopati hipoksik-iskemik memiliki lima kali risiko terkena epilepsi bila
ada beberapa studi yang meneliti faktor risiko neonatal untuk perkembangan kejang di
luar periode bayi baru lahir. Penelitian sebelumnya pada kohort kecil telah memeriksa
sebagai faktor risiko dengan hasil yang bertentangan. Pisani et al menemukan bahwa
ensefalopati berat (tetapi tidak sedang) dikaitkan dengan epilepsi kemudian, sedangkan
van Koijj et al menemukan 10% prevalensi epilepsi di antara kohort anak-anak yang
menderita ensefalopati sedang. Kejang neonatal merupakan faktor risiko dalam satu
Penentu penting untuk epilepsi post trauma adalah keparahan trauma kepala.
Dalam studi klinis berbasis populasi (N = 4541) dari kasus trauma kepala yang terjadi
antara tahun 1935 dan 1984 di Olmstead County, Minnesota, para peneliti menemukan
bahwa probabilitas kumulatif lima tahun dari kejang yang tidak diprovokasi adalah 0,7%
pada pasien dengan trauma kepala ringan, 1,2% untuk trauma kepala sedang, dan
10,0% untuk trauma kepala berat. Untuk kelompok dengan 30 tahun masa tindak lanjut,
kejadian kumulatif adalah 2,1% untuk trauma kepala ringan, 4,2% untuk trauma kepala
sedang, dan 16,7% untuk trauma kepala berat. Dalam sebuah studi terpisah, Englander
dan rekannya secara prospektif mengikuti 647 pasien yang dirawat di salah satu dari
empat pusat trauma dalam waktu 24 jam setelah cedera. Para penulis mengidentifikasi
terlambat - probabilitas kumulatif dari kejang yang tidak dipicu yakni 2 tahun adalah
sekitar 25% untuk pasien dengan beberapa kontusio, dibandingkan dengan 8% untuk
kontusio tunggal dan 6% tanpa kontusio. Bagi mereka dengan trauma kepala yang
sangat ringan (tidak ada kehilangan kesadaran, amnesia, kebingungan, atau defisit
neurologis), hanya 3 (0,1%) dari 2999 pasien yang mengalami kejang dalam 1 tahun
masa tindak lanjut dibandingkan dengan 1 (0,1%) dari 994 dari kelompok kontrol
dengan cedera ortopedi, menunjukkan bahwa kejadian kejang tidak signifikan lebih
Faktor risiko utama lainnya untuk cedera yang lebih parah termasuk penetrasi
dural, fraktur tengkorak depresi, hematoma intrakranial, dan hilangnya kesadaran atau
15
amnesia selama lebih dari satu hari. Perdarahan dan fraktur tengkorak sering terlihat
dengan trauma kepala yang lebih berat. Perdarahan dan fraktur tengkorak
ambang untuk kejang. Neuroinflamasi tetap meningkat selama 8 hari pada trauma
kepala parah, yang mungkin merupakan bagian dari pengembangan kejang onset
golongan yaitu:
a. Bangkitan segera, sebagai jawaban langsung atas serangan mekanis dari jaringan
otak yang mempunyai ambang rangsang yang rendah terhadap kejang. Biasanya
b. Bangkitan dini, timbul dalam 1-7 hari pada cedera kepala hebat sebagai akibat dari
udem otak, perdarahan intrakranial, kontusio, laserasi, dan nekrosis. Bangkitan epilepsi
c. Bangkitan lambat, biasanya timbul dalam > 1 minggu pertama setelah cedera kepala
(Lucke-Wolda, 2013).
Ensefalitis virus mengacu pada proses inflamasi akut parenkim otak akibat infeksi virus
langsung. Presentasi klinis ensefalitis virus tidak spesifik dan termasuk demam,
berbagai tingkat perubahan di sensorium dengan atau tanpa defisit neurologis fokal dan
/ atau kejang. Gejala-gejala ini mungkin juga disebabkan oleh berbagai penyebab
infeksi dan noninfeksi lainnya. Dalam hal ini keadaan, malaria, meningitis bakteri dan
jamur. Diagnosis virus spesifik dapat dicapai baik dengan menunjukkan asam nukleat
16
virus atau antibodi dalam cairan serebrospinal (CSF) atau dengan isolasi virus dari CSF
Kejang epilepsi mungkin tidak hanya terjadi selama fase akut ensefalitis virus
tetapi juga kemudian, setelah resolusi fase akut penyakit. Dua jenis kejang, yaitu kejang
awal yang terjadi bersamaan episode akut dan kejang lanjut yang merupakan gejala
sisa dari ensefalitis virus memiliki mekanisme dasar yang berbeda dan implikasi
prognostik. Kejang pada stadium akut telah dijelaskan secara cukup rinci sehubungan
dengan kejadian, frekuensi, dan prognosisnya. Namun, kejang yang tidak diprovokasi
terlambat tetap ditandai dengan buruk frekuensi, perjalanan, hasil, dan prognosis
4. Faktor genetik
kekambuhan kejang. Telah diakui bahwa banyak fenotipe epilepsi yang diamati terkait
mekanisme yang mendasari berbagai fenotipe epilepsi, termasuk fragile-X, trisomi 12p,
Wolf-Hirschhorn, cincin 20, dan sindrom delesi 1p36. Meskipun peran faktor genetik
dalam epilepsi idiopatik telah disarankan sejak lama, keterlibatan faktor genetik telah
jelas ditunjukkan dalam epilepsi kriptogenik dan simtomatik. Hampir 40% penyebab
etiologi untuk epilepsi sekarang diketahui disebabkan oleh faktor genetik. Namun,
perkiraan risiko epilepsi untuk saudara kandung pasien epilepsi ditemukan hanya 2-5%.
Peran faktor lingkungan dalam epilepsi genetik tidak dapat diabaikan, meskipun
faktor penentu utama untuk kejang adalah mutasi yang mendasarinya, karena faktor
tampaknya ada dua jenis epilepsi: i) epilepsi Mendel, yang umumnya bersifat
monogenik, sederhana, dan langka dan merupakan ~ 1% dari semua kasus epilepsi
dan ii) epilepsi kompleks, yang mempengaruhi sebagian besar pasien, umum dan
monogenik dengan defek gen tunggal yang menyebabkan fenotipe spesifik dan sering
menunjukkan penetrasi dan keparahan yang bervariasi dan ini juga mencakup sebagian
besar kasus sindrom Dravet, yang disebabkan oleh mutasi de novo monogenik dari
sebagian besar epilepsi yang umum memperlihatkan turunan kompleks atau poligenik.
Beberapa sindrom epilepsi, seperti ensefalopati epilepsi, melibatkan kejang yang tidak
dapat diperbaiki terkait dengan penurunan intelektual, dan termasuk sindrom Lennox-
Gastaut, epilepsi astatic mioklonik Doose, dan sindrom Dravet. Ensefalopati epileptik
dapat disebabkan oleh etiologi yang didapat atau kelainan struktural dari protein yang
terlibat seperti saluran ion atau mereka mungkin karena mutasi gen spesifik yang
II.1.5 Diagnosis
secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi secara
1. Anamnesis
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami oleh penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat
- Lama serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
perbedaan ukuran antara anggota tubuh yang dapat menunjukkan awal gangguan
3. Pemeriksaan penunjang
a. EEG
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
abnormal bila:
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya,
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
20
yang timbul secara paroksismal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG
yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi
petit mal gambaran EEGnya gelombang paku ombak 3 siklus per detik, epilepsi
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan
EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada.
Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum
diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan
lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan
c. Pemeriksaan Radiologi
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan Computed
Tomography Scan (CT Scan) maka Magnetic Resonance Imaging (MRl) lebih sensitif
dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan
II.1.6. Penatalaksanaan
21
Diagnosis pasti epilepsi merupakan dasar utama untuk pemberian obat anti
epilepsi (OAE), karena banyak keadaan yang memperlihatkan gejala mirip epilepsi.
karena setiap OAE mempunyai kekhususan sendiri dan bekerja secara spesifik pada
jenis serangan tertentu. Pengobatan harus dimulai dengan satu OAE dengan dosis
kecil, kemudian dosis dinaikkan bertahap sampai serangan teratasi. Tujuan pengobatan
adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah. Yang terpenting
bukanlah mencapai kadar terapeutik, tetapi kadar OAE bebas yang dapat menembus
sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat (SSP). Kadar OAE
bebas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya penggunaan bersama obat lain
dan distribusinya yang tergantung pada kelarutannya dalam lemak dan ikatannya
dengan jaringan tubuh. Dosis anak pada umumnya 50-100 % lebih besar dibandingkan
dosis dewasa karena nilai klirens yang tinggi. (Lazuardi, 1999; Glauser et al, 2006.)
Kegagalan OAE sering disebabkan oleh non-compliace atau tidak minum obat
menurut aturan. Bila OAE pertama tidak bermanfaat, dapat diganti dengan OAE kedua.
Dosis OAE kedua dinaikkan bertahap, sedangkan dosis OAE pertama diturunkan
bertahap. Penurunan secara bertahap ini bertujuan untuk mencegah timbulnya status
epileptikus (terutama fenobarbital). Bila OAE perlu dihentikan dengan cepat karena
timbul efek samping yang berat, harus diberikan diazepam. Politerapi sedapat mungkin
Pemilihan jenis OAE sangat tergantung pada sifat serangan epilepsi. OAE
1. Serangan Parsial
22
fenitoin.
fenitoin.
3. Serangan absens
4. Serangan mioklonik
II.2 Vitamin D
yang memiliki fungsi utama mengatur keseimbangan kalsium tubuh. Dua bentuk utama
vitamin D3 adalah satu-satunya bentuk yang ditemukan secara alami pada manusia
dan hewan lainnya. Selain bersumber dari bahan hewani, vitamin D3 bisa diproduksi
oleh tubuh sendiri melalui paparan sinar ultraviolet B (UVB) yang memiliki panjang
23
gelombang 290-320 nm, yang berasal dari sinar matahari yang mengkonversi 7-
dehydrocholesterol di kulit menjadi pre vitamin D3. Sumber makanan utama vitamin D
termasuk ikan berminyak, kuning telur dan susu yang diperkaya vitamin D. American
IU per hari untuk mempertahankan kadar 25 (OH) D3 serum > 50 nmol/L. (Wagner dan
Greer, 2008)
Vitamin D dari sumber makanan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan harian yang
direkomendasikan. Selain itu, banyak faktor individu dan lingkungan yang mengganggu
paparan sinar matahari yang cukup untuk memproduksi vitamin D endogen. Selama
hubungan ini baru mulai dieksplorasi. Oleh karena banyak akibat yang ditemukan
sebagai konsekuensi dari kekurangan vitamin D yang terjadi dari waktu ke waktu,
D3 adalah melalui sintesis endogen di kulit, vitamin ini juga bisa diperoleh dari makanan
dan ini penting bagi mereka yang jarang terpapar sinar matahari. Vitamin D3, apakah
berasal dari sinar matahari maupun dari diet, memasuki sirkulasi berikatan dengan
24
enzim 1-hidroksilase (gen: CYP27B1), dan ini terjadi terutama di ginjal untuk
vitamin D. Dalam studi in vivo telah menunjukkan bahwa katabolisme vitamin D dan
metabolitnya kebanyakan terjadi di hati melalui berbagai enzim sitokrom P450 yang
Reseptor vitamin D (VDR) adalah reseptor nuklir hormon steroid yang mengikat
1,25 (OH)2D3 dengan afinitas tinggi dan memediasi regulasi transkripsi gen. (Hollick,
2006) VDR mengikat 1,25 (OH)2D3 dengan afinitas dan spesifitas yang tinggi, yang
yang mengikat dengan elemen respon vitamin D dalam gen target, menghasilkan
respon genomik. Selain itu, ada juga VDR pada membrane plasma yang memediasi
kerja dari 1,25 (OH)2D3 VDR dan telah diidentifikasi terdapat di sebagian besar
jaringan manusia, termasuk jaringan yang berkaitan dengan homeostasis kalsium dan
26
metabolisme tulang. Termasuk osteoblas, keratinosit kulit, limfosist, sel dendritik, otot
skeletal, jaringan adiposit, makrofag, otot polos, sel β pankreas dan sel epitel dan juga
berbagai sel-sel sistem kekebalan tubuh. Varian genetik dari gen yang mengkode VDR
juga telah dikaitkan dengan risiko besar menderita kanker dan gangguan kekebalan
tubuh, termasuk diabetes mellitus tipe 1. Berbagai tempat ekspresi VDR mungkin
mendasari efek beragam vitamin D dan memberikan dasar mekanistik hubungan antara
kekurangan vitamin D dan sejumlah gangguan, termasuk jenis kanker tertentu, penyakit
radang usus, penyakit kardiovaskuler, diabetes (tipe 1 dan tipe 2 ), resistensi insulin
Status klinis vitamin D biasanya dinilai dengan pengukuran kadar serum 25 (OH)
D3, bentuk utama vitamin D dalam sirkulasi, dengan waktu paruh antara 15 sampai 50
hari. (Ding C, 2012) Pada tahun 1997, Institute of Medicine menetapkan defisiensi
vitamin D sebagai serum 25 (OH) D level <27,5 nmol / L (untuk mengkonversi menjadi
kekurangan vitamin D sebagai serum 25 (OH) D level < 25 nmol / L. Dalam tinjauan
tahun 2008 yang ditulis atas nama Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society,
Meskipun definisi para peneliti berbeda dan uji laboratorium yang berbeda telah
digunakan untuk menentukan kadar serum 25 (OH) D, bukti dominan dari studi pusat
Sebuah studi yang representatif secara nasional terhadap anak-anak berusia ≥12 tahun
1988-1994, menggunakan kriteria yang lebih ketat untuk kekurangan (<17,5 nmol / L),
vitamin D yang lebih rendah adalah hal umum. Dan ada minat yang meningkat pada
di antara data lain, persentase pria dan wanita berusia 0 hingga 70 tahun dengan
Sejak Kruse melaporkan pada tahun 1968 bahwa frekuensi rakhitis signifikan
pada pasien epilepsi yang menggunakan terapi antikonvulsan. Kelainan yang biasa
paratiroid serum tinggi, dan penurunan kepadatan mineral tulang, Kelainan ini telah
dan konsentrasi fosfat dan dengan demikian juga perubahan homeostasis kalsium di
29
dalam tubuh. Salah satu patomekanisme yakni tampaknya didasarkan pada penurunan
tingkat vitamin D aktif, yang kemungkinan disebabkan oleh induksi Enzim P450
sitokrom hati oleh obat anti epilepsi, yang mengarah ke konversi menjadi metabolit tidak
aktif dalam mikrosom hati. Inaktivasi vitamin D oleh obat antiepilepsi terjadi terutama
oleh induksi enzim hati dan dengan aktivasi pregnane X receptor (PXR) dan steroid dan
antiepilepsi kemungkinan dimediasi melalui reseptor inti, reseptor PXR. PXR berbagi
60% domain homologi pengikatan DNA mereka dengan reseptor vitamin D (VDR) dan
diekspresikan dalam usus, ginjal, dan hati. PXR telah terbukti memediasi induksi CYP 2
dan CYP 3, enzim sitokrom P450 yang terlibat dalam metabolisme obat. Selanjutnya,
PXR dapat diaktifkan oleh berbagai agen farmasi termasuk fenitoin, phenobarbital,
carbamazepine dan rifampicin. Bukti yang muncul menunjukkan bahwa aktivator PXR
ini dapat meningkatkan ekspresi CYP24, gen target VDR di sel yang dikultur dan in vivo
pada tikus. CYP 24 adalah enzim yang mengarahkan oksidasi dan pembelahan rantai
samping 25(OH) 2 D3 dan 1β, 25 (OH) 2 D3 hingga produk ujung asam karboksilat
(asam calcitroic), menghasilkan konsentrasi seluler yang lebih rendah dari vitamin D
aktif. Hal ini menginduksi keadaan kekurangan vitamin D. Namun, tidak menjelaskan
karena asam valproat adalah inhibitor enzim sitokrom P450 (Valsamis, 2006).
30
oleh berbagai obat antiepilepsi dan agen farmasi lainnya dan menginduksi CYP 24,
enzim yang memetabolisasikan vitamin D3 aktif ke bentuk tidak aktif. PXR: Pregnane X
Aktivasi vitamin D (D2 dan D3) terjadi pada awalnya di hati tempat mereka
antiepilepsi mengikat dan mengaktifkan SXR. Kompleks ini berikatan dengan RXR,
responsif vitamin D. Enzim ini memediasi delesi kelompok 25-hidroksil dari kedua 25-
hydroxyvitamin D dan 1,25 dihydroxy vitamin D. Inaktivasi vitamin D yang dipercepat ini
31
menghasilkan penurunan penyerapan kalsium dari usus. Hal ini memiliki efek yang
dikaitkan dengan obat antiepilepsi yang merupakan penginduksi sistem enzim sitokrom
P450 (fenobarbitol, fenitoin, dan karbamazepin). Mekanisme yang tepat dimana natrium
valproate menyebabkan kelainan metabolisme mineral tulang yang serupa tidak jelas
tetapi dapat dimediasi oleh penghambatan enzim hati yang berbeda. Asam valproat
(valproic acid = VPA) adalah salah satu obat antiepilepsi yang sering digunakan di
seluruh dunia dan menurut literatur banyak efek samping yang perlu didiskusikan selain
dari efek terapi. Asam valproate menghambat aktivitas 25- hidroksilase pada vitamin D
dalam mitokondria hati tanpa menghambat komponen sitokrom P450 terkait sistem
mono oksigenase. Dari hal tersebut variasi genetik seperti polimorfisme dalam gen
Gambar 7. Reseptor vitamin D dan gen target. Mengikat VDR ke ligannya, 1,25
(OH) 2D3, memungkinkan dimerisasi VDR dan RXR, memungkinkan translokasi nuklir
(Essen, 2018).
33
Gambar 8. Jalur aktivasi dan inaktivasi vitamin D. Vitamin D3, diserap dari
makanan atau disintesis di kulit saat terpapar UVB, disimpan di hati dan lemak.
Langkah pertama dalam aktivasi, 25-hidroksilasi, terjadi terutama di hati dan dimediasi
hydroxyvitamin D (25 (OH) D3) diangkut dari hati ke ginjal yang terikat dengan protein
pengikat vitamin D plasma (DBP, juga dikenal sebagai protein Gc) di mana ia
proksimal ginjal. Langkah kedua dalam aktivasi terjadi terutama di tubulus proksimal
34
steroid aktif, 1,25 dihydroxyvitamin D (1,25 (OH) 2D3). Hormon aktif diangkut ke ginjal,
usus, tulang, dan jaringan target vitamin D di mana ia mengikat ke reseptor vitamin D
diekspresikan secara timbal balik untuk mengatur kadar 1,25 (OH) 2D3. Ekspresi dari
aktivitas 24-hidroksilase menghasilkan 24,25 (OH) 2D3 dari 25 (OH) D3, yang diduga
1,25 (OH) 2D3 dengan serangkaian reaksi hidroksilasi dan oksidasi berurutan untuk
menghasilkan asam kalsitroat, yang diekskresikan dalam empedu, atau 1,25 (OH) 2D3-
antara penggunaan antikonvulsan jangka panjang (satu tahun atau lebih), penurunan
D secara signifikan lebih rendah dalam kasus (18,3 ± 6,2) dibandingkan dengan kontrol
lebih rendah di antara kasus-kasus (28,79 ± 33,85) berbeda dengan kontrol (rata-rata
47,62 ± 46,16).
35
Kerangka Teori
Diit Genetik
Jenis kelamin
(Vitamin D2,
Vitamin D3)
Sinar UV
Vitamin D3
Vitamin D (berikatan dengan Vitamin
7-DHC kulit
D Binding Protein)
25-hydroxyvitamin D
[25 (OH)D] menurun
Phenitoin,
Phenobarbital
PTH
1-OH ase Kelenjar
Ginjal paratiroid
Pregnane X
receptor (PXR)
CYP 24
1,25 dihidroxyvitamin D
1,25 (OH)2 D menurun
vitamin D
receptor
(VDR)
24-
hidroksilas
steroid dan Retinoid X e
xenobiotik receptor
reseptor (RXR)
(SXR) Asam calcitroic Vitamin D aktif menurun
(Inaktif)
36
BAB III
KERANGKA KONSEP
Sitokrom
P450
24-
CYP 24
hidroksilas
e Asam calcitroic
25-Ohase
(Inaktif)
Obat Anti Vitamin D
Epilepsi
Keterangan bagan :
Variabel random
Variabel tergantung
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional untuk
Penelitian ini akan dilakukan pada Juni – Agustus 2020 terhadap pasien anak
Populasi penelitian adalah anak dengan epilepsi umur 1 tahun hingga 18 tahun
epilepsi dan menghasilkan dua kelompok yaitu kelompok anak dengan penggunaan
38
obat anti epilepsi lebih dari 1 tahun dan kurang atau sama dengan 1 tahun. Cara
Sampel penelitian ini adalah data dari seluruh populasi terjangkau yang
Perkiraan besar sampel untuk uji hipotesis terhadap 2 proporsi data nominal.
Dengan desain cross sectional, diperkirakan odds ratio (OR) = 2, proporsi efek pada
kelompok kontrol sebesar 0,2 dengan nilai kemaknaan sebesar 0,05 dan power
sebesar 80% maka perkiraan besar sampel dapat dihitung sebagai berikut :
n = ( Zα √2 PQ + Zβ √P1Q1 + P2Q2 )2
(P1 – P2 )2
(0,2- 0,006)2
N = 40
Keterangan :
P2 = 0,2
Zα = 1,96
Zβ = 0,84
OR = 2
39
P1 = 0,006
P = ½ (P1+P2) = 0,1
Q = 1 – P = 0,99
Q1 = 1 – P1 = 0,8
Q2 = 1 – P2 = 0,99
minimal sebanyak 40 orang anak dengan penggunaan obat anti epilepsi lebih satu
tahun dan 40 orang anak penggunaan obat anti epilepsi kurang atau sama dengan
satu tahun.
Anak dengan epilepsi usia 1 hingga 18 tahun dengan penggunaan obat anti
epilepsi lebih satu tahun dan kurang atau sama dengan satu tahun.yang terdaftar pada
RSUP DR Wahidin Sudirohusodo 2020 dan orang tua mereka setuju untuk
izin dari direktur rumah sakit, dalam hal ini bagian rekam medik dan persetujuan dari
40
Hasanuddin Makassar.
Subyek penelitian adalah anak yang sudah teridentifikasi dan memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Subyek akan terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu:
dengan 1 tahun.
D.
Semua penderita yang memenuhi syarat dicatat umur, jenis kelamin, lama
pasien tentang tujuan dan manfaat penelitian, dan cara pengambilan darah.
Kemudian orang tua diminta untuk mengisi dan menandatangani surat persetujuan
Analisis
42
2. Variabel bebas adalah lama penggunaan obat anti epilepsi yang merupakan
variabel kategorik
3. Variabel kendali adalah umur, gangguan fungsi hati, ginjal dan hormon
paratiroid
1. Kadar Vitamin D adalah kadar 25 (OH) D pada serum yang diukur dengan
2. Epilepsi adalah kejang yang timbul tanpa adanya provokasi. Kondisi ini
ensefalografi
3. Berat badan adalah ukuran berat badan dengan menggunakan skala digital
bulan dan tahun saat diambil sebagai sampel dengan tanggal,bulan dan tahun
kelahiran.
6. Penyakit hati adalah kondisi yang menyebabkan gangguan fungsi hati dengan
7. Penyakit ginjal adalah kondisi yang menyebabkan gangguan fungsi ginjal yang
memberikan gejala antara lain sesak, edema palpebra, pretibial, dorsum pedis,
paratiroid yang memberikan gejala antara lain kejang, gerakan involunter otot.
9. Obat anti epilepsi adalah obat-obat yang diberikan untuk mengatasi epilepsi
1. Vitamin D 25 (OH) D
2. Usia penderita status epileptikus anak adalah mereka yang berusia 1 tahun
hingga 18 tahun.
a. Gizi Baik, jika berat badan aktual dikali 100% dan dibagi berat badan ideal
b. Gizi Kurang, jika berat badan aktual dikali 100% dan dibagi berat badan ideal
c. Gizi Buruk, jika berat badan aktual dikali 100% dan dibagi berat badan ideal
a. Gizi Baik, jika berat badan menurut tinggi badan aktual terletak antara standar
b. Gizi Kurang, jika berat badan menurut tinggi badan aktual terletak antara
c. Gizi Buruk, jika berat badan menurut tinggi badan aktual terletak pada standar
d. Gizi lebih, jika berat badan menurut tinggi badab aktual terletak pada standar
deviasi di atas + 3.
45
a. Laki-laki
b. Perempuan
Semua data yang diperoleh dicatat dalam formulir data penelitian, kemudian
dikelompokkan berdasarkan tujuan dan jenis data. Selanjutnya dipilih metode statistik
datanya tidak terdistribusi normal dan varians berbeda antara dua kelompok yang
tidak berpasangan.
Untuk membandingkan variabel berskala nominal antara dua kelompok atau lebih
yang tidak berpasangan. Dalam hal ini untuk menentukan kemaknaan hubungan
odds ratio dengan confidence interval 95% untuk menentukan besarnya peluang
4. Odd ratio dengan CI 95 % > 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti memang
faktor risiko.
47
DAFTAR PUSTAKA