Anda di halaman 1dari 7

Bagaimana Membangun Iman kepada

Tuhan
Oleh Saudari Huafei Apa yang Tuhan kehendaki dari masing-masing kita sebagai
orang Kristen adalah untuk kita memiliki iman yang sejati. Ada banyak contoh
yang dicatat dalam Alkitab tentang orang-or…

14 Oktober 2019 
11 Menit 49 Detik

FacebookTwitterWhatsAppA+ A-
Oleh Saudari Huafei

Apa yang Tuhan kehendaki dari masing-masing kita sebagai orang Kristen adalah


untuk kita memiliki iman yang sejati. Ada banyak contoh yang dicatat
dalam Alkitab tentang orang-orang yang mampu melihat perbuatan Tuhan yang
menakjubkan dan diberkati oleh Tuhan karena iman mereka. Musa memiliki iman
kepada Tuhan dan melalui bimbingan-Nya, Musa mampu mengatasi begitu banyak
rintangan dan pembatasan dari Firaun, sehingga Musa berhasil memimpin bangsa
Israel keluar dari Mesir. Abraham memiliki iman kepada Tuhan dan bersedia
mengorbankan Ishak, putra tunggalnya, bagi Tuhan, dan pada akhirnya Tuhan
memberkatinya, membuat keturunannya menjadi sangat banyak dan menjadi bangsa-
bangsa yang besar. Ayub memiliki iman kepada Tuhan dan mampu menjadi kesaksian
bagi Tuhan melalui dua ujian; Tuhan semakin memberkati Ayub, dan menampakkan diri
kepadanya serta berbicara kepadanya dari dalam badai. Perempuan Kanaan dalam
Kitab Matius memiliki iman kepada Tuhan Yesus dan percaya bahwa Dia dapat
mengusir roh jahat dari putrinya; perempuan itu mengajukan permohonan kepada
Tuhan Yesus dan penyakit putrinya disembuhkan. Sebagai orang Kristen, wajib bagi
kita untuk memahami kebenaran yang berkaitan dengan iman yang sejati sehingga apa
pun kesulitan yang kita hadapi dalam hidup kita—kegagalan dalam bisnis, kemunduran
dalam hidup, kemalangan dalam keluarga—kita dapat mengandalkan iman kita dan
mengikuti Tuhan dengan tak tergoyahkan, menjadi saksi yang berkumandang bagi-Nya
dan pada akhirnya mendapatkan perkenanan-Nya.
Apakah Kita Memiliki Iman yang Sejati
kepada Tuhan?
Mungkin ada beberapa saudara-saudari yang, ketika mendengarkan diskusi tentang
iman, dengan percaya diri akan menyatakan bahwa mereka memiliki iman. "Aku
beriman 100% kepada Tuhan. Aku mengakui Tuhan setiap saat, dan ini membuktikan
bahwa aku adalah orang yang beriman." "Aku percaya bahwa Tuhan Yesus adalah
Juruselamat kita, dan Dia disalibkan untuk menebus kita dari dosa-dosa kita. Selama
kita berdoa dan mengaku dosa kita kepada Tuhan, dosa kita akan selalu diampuni oleh-
Nya. Bukankah itu berarti beriman kepada Tuhan?" "Aku telah menjadi orang percaya
selama bertahun-tahun ini; aku telah meninggalkan karierku, keluargaku, dan
pekerjaanku demi mengorbankan diri dan bekerja bagi Tuhan. Aku telah mendirikan
gereja di mana-mana dan telah banyak menderita tanpa pernah mengeluh. Ini semua
adalah perwujudan dari beriman kepada Tuhan." Tidak dapat disangkal, kita percaya
pada eksistensi Tuhan dan adalah suatu fakta bahwa kita dengan antusias bekerja dan
mengorbankan diri kita bagi Tuhan, bahwa kita menderita dan membayar harga bagi-
Nya. Namun apakah hal-hal ini berarti bahwa kita memiliki iman yang sejati kepada
Tuhan? Masalah ini layak diselidiki dan dipersekutukan oleh kita semua, saudara-
saudari yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan dan haus akan kebenaran.

Ambillah aku sendiri sebagai contoh. Sejak menjadi seorang Kristen aku selalu
berpartisipasi aktif dalam pertemuan, memberitakan Injil kepada orang lain, dan
menawarkan dukungan kepada saudara-saudari yang mengalami kelemahan. Tidak
pernah ada kesulitan yang mampu menghentikanku melakukan hal-hal ini. Aku lebih
dari rela mengesampingkan kenyamananku agar dapat melayani Tuhan dengan
antusias, jadi aku menganggap diriku sebagai seseorang yang mengasihi Tuhan,
berbakti kepada-Nya, dan beriman kepada-Nya. Namun demikian, ketika aku dan
anggota keluargaku jatuh sakit dan kondisi kami tidak membaik bahkan setelah aku
berdoa beberapa waktu, aku menjadi berkecil hati dan kecewa dengan Tuhan, dan
bahkan mengeluh kepada-Nya karena tidak melindungiku atau keluargaku. Apa yang
diungkapkan oleh kebenaran yang sulit ini membuatku melihat bahwa aku sama sekali
tidak memiliki iman yang sejati, dan bahwa imanku hanya berdasarkan pada fondasi
keharmonisan dalam keluargaku dan kebebasan dari penyakit fisik atau malapetaka.
Namun demikian, tingkat pertumbuhan imanku yang sebenarnya segera terungkap
setelah sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Baru pada saat itulah aku melihat bahwa
imanku kepada Tuhan begitu remehnya sehingga itu menyedihkan—benar-benar tidak
ada apa pun yang patut dibanggakan. Melihat saudara-saudari di sekitarku,
kebanyakan dari mereka sama saja. Beberapa orang biasanya bolos menghadiri
kebaktian di gereja ketika ada jadwal yang berbenturan dengan kehidupan rumah
tangga atau pekerjaan mereka agar kepentingan mereka sendiri tidak akan
terpengaruh. Beberapa orang mampu berdoa kepada Tuhan dan meminta jalan keluar
dari-Nya ketika mereka pertama kalinya terhambat dalam upaya mereka mencari
pekerjaan atau dalam aspek lainnya, tetapi jika masalah tersebut tetap tak terpecahkan,
mereka membangun kebencian kepada Tuhan dan bahkan mungkin menjadi berkecil
hati dan patah semangat. Mereka mulai bergantung pada teman-teman di sekitar
mereka yang tampaknya berkuasa dan memiliki otoritas, atau mereka mungkin
bertindak berdasarkan pemikiran mereka sendiri. Ada juga saudara-saudari yang
dengan antusias berpartisipasi dalam semua aspek pekerjaan gereja ketika mereka
menerima berkat-berkat Tuhan, tetapi ketika sesuatu yang mengerikan terjadi di rumah
atau mereka menghadapi kegagalan dalam bisnis, mereka hidup dalam
kesalahpahaman dan mengeluh kepada Tuhan, atau bahkan berjalan meninggalkan
Dia.

Kita dapat melihat dari apa yang kita ungkapkan dan hidupi setiap hari bahwa iman kita
sama sekali tidak dapat bertahan dalam menghadapi ujian kenyataan hidup. Kita hanya
mengakui bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan yang sejati dan percaya bahwa Dia
adalah Juruselamat kita, tetapi ini tidak berarti bahwa kita memiliki iman yang sejati
kepada Tuhan. Hal ini khususnya tidak berarti bahwa kita tidak akan pernah
menyangkali atau meninggalkan Tuhan tidak peduli dalam lingkungan seperti apa kita
berada. Ini karena iman kita tidak dibangun berdasarkan pemahaman yang benar
tentang Tuhan, tetapi sebaliknya berdasarkan apakah kita bisa mendapatkan berkat
dan janji Tuhan atau tidak, dan apakah kita bisa mendapatkan keuntungan atau tidak.
Inilah sebabnya iman kita kepada Tuhan sama sekali tidak murni. Jadi apakah iman
yang sejati itu, dan bagaimana iman yang sejati diungkapkan?

Apa Sebenarnya Iman yang Sejati


Firman Tuhan berkata, "Tidak masalah bagaimana Tuhan bekerja atau dalam
lingkungan seperti apa engkau berada sekarang, jika engkau mampu mengejar
kehidupan, berusaha untuk memiliki pekerjaan Tuhan yang dikerjakan dalam
dirimu, dan mengejar kebenaran, dan jika engkau memiliki pemahaman tentang
perbuatan Tuhan dan engkau mampu bertindak sesuai kebenaran, maka inilah
imanmu yang sejati, dan ini menunjukkan bahwa engkau tidak kehilangan
harapan di dalam Tuhan. Hanya jika engkau tetap mampu mengejar kebenaran
melalui pemurnian, engkau akan mampu untuk benar-benar mengasihi Tuhan,
dan tidak akan meragukan-Nya, jika tidak peduli apa pun yang dilakukan-Nya,
engkau tetap melakukan kebenaran untuk memuaskan-Nya, dan engkau mampu
mencari kehendak-Nya dengan segenap hati dan memikirkan kehendak-Nya,
maka ini artinya engkau memiliki iman yang sejati kepada Tuhan" . Kita dapat
memahami dari firman Tuhan bahwa iman yang sejati merujuk pada kemampuan untuk
memelihara hati yang menghormati dan tunduk kepada Tuhan dalam lingkungan apa
pun yang mungkin kita hadapi, apakah kita sedang menghadapi kesulitan dan
pemurnian, kemunduran dan kegagalan, dan tanpa menghiraukan betapa hebatnya
penderitaan jasmani maupun rohani kita. Kita harus mampu mencari kebenaran,
memahami kehendak Tuhan, dan terus berbakti kepada-Nya di tengah lingkungan yang
telah Dia tetapkan. Hanya orang seperti itulah yang dapat dianggap sebagai orang yang
memiliki iman yang sejati. Sekarang mari kita lihat pengalaman Abraham dan Ayub
agar kita dapat lebih memahami apa itu iman yang sejati.

1. Iman Abraham
Ketika Abraham berusia satu abad, Tuhan berjanji untuk memberikan seorang putra
kepadanya—Ishak. Namun ketika Ishak bertumbuh dewasa, Tuhan memberi tahu
Abraham bahwa dia harus mempersembahkan Ishak sebagai korban. Ada banyak
orang yang mungkin merasa bahwa cara Tuhan bekerja semacam ini terlalu jauh
berbeda dengan gagasan manusia, atau mereka mungkin merasa bahwa jika ujian
seperti itu menimpa kita, kita pasti akan mencoba untuk berdebat dengan Tuhan.
Namun demikian, ketika Abraham menghadapi ujian ini, reaksinya sama sekali
bertentangan dengan apa yang kita harapkan. Bukan saja Abraham tidak berdebat
dengan Tuhan, tetapi dia mampu benar-benar tunduk kepada-Nya, dengan tulus dan
sungguh-sungguh mengembalikan Ishak kepada Tuhan. Sebagaimana yang tertulis
dalam Alkitab, "Maka Abraham bangun pagi-pagi benar dan memasang pelana
keledainya lalu membawa dua orang bujang bersamanya dan Ishak anaknya; ia juga
membelah kayu untuk korban bakaran itu lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang
diperintahkan Tuhan kepadanya. … Tibalah mereka ke tempat yang Tuhan tunjukkan
kepadanya, lalu Abraham mendirikan mezbah di sana, menyusun kayu dan mengikat
Ishak, anaknya dan membaringkannya di mezbah itu, di atas kayu. Lalu Abraham
mengulurkan tangannya dan mengambil pisau untuk menyembelih anak lelakinya"
(Kejadian 22:3, 9-10). Semua manusia berasal dari daging─kita semua emosional, dan
ketika kita menghadapi sesuatu seperti ini kita pasti menderita, merasa sakit. Namun
alasan Abraham mampu menahan dirinya untuk tidak melakukan tawar-menawar
dengan Tuhan dan alasan dia dapat mematuhi perintah Tuhan adalah karena dia tahu
bahwa Ishak telah dianugerahkan kepadanya oleh Tuhan sejak semula, dan bahwa
Ishak akan diambil kembali oleh Tuhan. Dia dengan tulus bersikap patuh, dan itu
adalah iman Abraham kepada Tuhan. Dia benar-benar percaya kepada Tuhan dan
tunduk kepada-Nya secara mutlak—bahkan ketika hal itu berarti berpisah dengan apa
yang paling berharga baginya, dia tetap mempersembahkan Ishak kembali kepada
Tuhan. Akhirnya, iman dan ketaatan Abraham yang sejati kepada Tuhan
memenangkan perkenanan dan berkat Tuhan. Tuhan mengizinkan Abraham untuk
menjadi nenek moyang banyak bangsa; keturunannya telah berkembang pesat dan
berlipat ganda dan menjadi bangsa-bangsa yang besar.

2. Iman Ayub
Alkitab memberi tahu kita bahwa Ayub memiliki keluarga yang sangat makmur serta
sepuluh orang anak dan banyak pelayan; dia sangat dihormati dan dipandang tinggi
oleh teman-temannya. Namun demikian, melalui pencobaan dan serangan Iblis, Ayub
kehilangan semua harta benda dan anak-anaknya dalam waktu satu hari, dan setelah
itu badannya tertutup penuh oleh bisul. Ujian ini mengubah Ayub dari manusia terkaya
di daerah Timur menjadi orang yang termiskin di daerah Timur, dan dia juga dihakimi
dan diserang oleh keluarga dan teman-temannya. Bahkan ketika dihadapkan dengan
ujian yang begitu besar, Ayub tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk mengeluh
kepada Tuhan, dan dia bahkan bersujud menyembah Tuhan, mengatakan, "Dengan
telanjang aku keluar dari rahim ibuku, dengan telanjang aku juga akan kembali ke situ:
Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh" (Ayub
1:21), dan "apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau
menerima yang jahat?" (Ayub 2:10). Melalui ujiannya Ayub mampu menahan diri untuk
tidak berdosa dengan kata-katanya, serta datang ke hadirat Tuhan dalam doa. Ini
menunjukkan bahwa Tuhan memiliki tempat di dalam hatinya, dia memiliki iman yang
sejati kepada Tuhan, dia percaya bahwa segala peristiwa dan segala sesuatu berada di
tangan Tuhan, dan semua kondisi yang dihadapinya telah mendapatkan perkenanan
Tuhan dan bukan merupakan buatan manusia. Sesuatu yang juga Ayub alami secara
mendalam dalam beberapa dekade hidupnya adalah bahwa semua yang dia miliki
berasal dari kekuasaan dan pengaturan Tuhan; semua kekayaannya telah
dianugerahkan oleh Tuhan dan bukan berasal dari jerih payahnya sendiri. Jadi, jika
Tuhan ingin mengambil kembali apa yang telah Dia berikan sebelumnya, hal itu pantas
dan benar dan sebagai makhluk ciptaan, Ayub harus tunduk kepada Tuhan karena
mengambil kembali barang-barang tersebut. Dia tidak boleh berdebat dengan Tuhan
dan khususnya tidak boleh mengeluh kepada Tuhan—bahkan seandainya nyawanya
sendiri diambil, dia tahu dia tetap tidak boleh mengutarakan satu keluhan pun.
Kesaksian Ayub sepenuhnya mempermalukan Iblis, dan setelah itu, Tuhan
menampakkan diri kepada Ayub dari tengah badai dan bahkan memberikan lebih
banyak berkat kepadanya.

Kita dapat melihat dari pengalaman Abraham dan Ayub bahwa untuk mencapai iman
yang sejati kepada Tuhan, pertama-tama kita harus memiliki pemahaman yang benar
tentang kekuasaan Tuhan, dan kita harus percaya bahwa segala sesuatu dan segala
peristiwa sepenuhnya berada dalam tangan Tuhan. Kita juga harus benar-benar
mengetahui posisi kita sebagai makhluk ciptaan dan memiliki nalar sebagaimana yang
seharusnya dimiliki makhluk ciptaan. Tidak peduli seberapa besar ujian atau kesulitan
kita, kita tidak bisa menyalahkan atau meninggalkan Tuhan, tetapi kita harus terus
mampu mencari kehendak Tuhan dan berdiri di sisi-Nya, dan mengikuti Dia dengan tak
tergoyahkan. Seberapa pun hebatnya penderitaan yang kita alami, kita harus tetap
dapat memberikan kesaksian bagi Tuhan dengan teguh. Hanya mereka yang dapat
melakukan inilah yang memiliki iman sejati kepada Tuhan. Coba pikirkan saudara-
saudari yang telah ditangkap dan dianiaya oleh Partai Komunis Tiongkok yang ateis
dan bahkan telah menderita siksaan kejam dan telah dijatuhi hukuman penjara selama
beberapa tahun, tetapi mereka tidak pernah menyangkali atau meninggalkan Tuhan—
itu adalah iman yang sejati kepada Tuhan. Ada saudara-saudari yang ditolak oleh
keluarga dan teman-teman mereka setelah menjadi orang percaya, atau ada hal-hal
buruk terjadi dalam keluarga mereka, tetapi mereka tidak pernah mengeluh kepada
Tuhan, dan mampu untuk terus mengikuti Tuhan dan mengorbankan diri bagi-Nya—ini
juga merupakan perwujudan iman yang sejati kepada Tuhan. Jika kita membandingkan
diri kita dengan kesaksian-kesaksian ini, dapatkah kita benar-benar mengatakan bahwa
kita benar-benar adalah orang yang memiliki iman yang sejati kepada Tuhan? Bagi
sebagian besar dari kita, iman kita berdasarkan pada pengakuan yang tegas akan
adanya Tuhan, dan kita mampu sedikit menderita dan membayar sedikit harga dalam
pekerjaan kita menyebarluaskan Injil bagi Tuhan. Namun demikian, hal itu tidak bisa
dianggap sebagai iman yang sejati.

Bagaimana Membangun Iman yang Sejati


kepada Tuhan
Jika kita ingin memiliki iman yang sejati, kita hendaknya berusaha untuk mengakui
kekuasaan Tuhan dalam hidup semua orang, peristiwa, dan hal-hal yang kita temui
setiap hari, dan tanpa menghiraukan apakah lingkungan yang diaturkan Tuhan itu
sejalan dengan gagasan kita sendiri atau tidak, atau apakah lingkungan itu dari luar
tampaknya bermanfaat bagi kita atau tidak, kita harus mengetahui posisi kita sebagai
makhluk ciptaan dan mencari kehendak Tuhan dengan hati yang menghormati-Nya.
Kita harus memahami maksud Tuhan yang saksama dan sesungguhnya di balik
lingkungan yang Dia tetapkan bagi kita agar kita dapat memperoleh sesuatu dari segala
hal yang kita lalui, dan kita dapat melihat perbuatan Tuhan dalam segala sesuatu yang
Dia atur. Kemudian, secara bertahap iman kita kepada Tuhan semakin lama akan
menjadi semakin murni. Sama seperti iman Ayub—iman Ayub bukan sesuatu yang
dimilikinya sejak dia lahir, tetapi secara bertahap bertumbuh dengan mengalami
kekuasaan Tuhan dalam segala hal yang terjadi dalam hidupnya dan dengan mencari
pengetahuan akan Tuhan. Jika kita mampu mengikuti contoh Ayub, berfokus pada
mengalami dan benar-benar memahami kekuasaan Tuhan dalam hidup kita, hingga kita
mencapai pengetahuan yang sejati akan Tuhan, barulah kita dapat mengembangkan
iman yang sejati kepada Tuhan. Dan kemudian, tidak peduli apa pun jenis kesulitan
atau ujian yang menimpa kita dan tidak peduli betapa hebatnya penderitaan daging
atau rohani kita, kita akan dapat menghadapinya melalui iman kita tanpa merasa
emosional, dengan aktif mencari kehendak Tuhan dan tuntutan-tuntutan-Nya atas kita,
tunduk pada kekuasaan dan pengaturan-Nya, dan menjadi saksi bagi-Nya.

Syukur atas pencerahan dan bimbingan Tuhan. Amin!

Anda mungkin juga menyukai