Tuhan
Oleh Saudari Huafei Apa yang Tuhan kehendaki dari masing-masing kita sebagai
orang Kristen adalah untuk kita memiliki iman yang sejati. Ada banyak contoh
yang dicatat dalam Alkitab tentang orang-or…
14 Oktober 2019
11 Menit 49 Detik
FacebookTwitterWhatsAppA+ A-
Oleh Saudari Huafei
Ambillah aku sendiri sebagai contoh. Sejak menjadi seorang Kristen aku selalu
berpartisipasi aktif dalam pertemuan, memberitakan Injil kepada orang lain, dan
menawarkan dukungan kepada saudara-saudari yang mengalami kelemahan. Tidak
pernah ada kesulitan yang mampu menghentikanku melakukan hal-hal ini. Aku lebih
dari rela mengesampingkan kenyamananku agar dapat melayani Tuhan dengan
antusias, jadi aku menganggap diriku sebagai seseorang yang mengasihi Tuhan,
berbakti kepada-Nya, dan beriman kepada-Nya. Namun demikian, ketika aku dan
anggota keluargaku jatuh sakit dan kondisi kami tidak membaik bahkan setelah aku
berdoa beberapa waktu, aku menjadi berkecil hati dan kecewa dengan Tuhan, dan
bahkan mengeluh kepada-Nya karena tidak melindungiku atau keluargaku. Apa yang
diungkapkan oleh kebenaran yang sulit ini membuatku melihat bahwa aku sama sekali
tidak memiliki iman yang sejati, dan bahwa imanku hanya berdasarkan pada fondasi
keharmonisan dalam keluargaku dan kebebasan dari penyakit fisik atau malapetaka.
Namun demikian, tingkat pertumbuhan imanku yang sebenarnya segera terungkap
setelah sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Baru pada saat itulah aku melihat bahwa
imanku kepada Tuhan begitu remehnya sehingga itu menyedihkan—benar-benar tidak
ada apa pun yang patut dibanggakan. Melihat saudara-saudari di sekitarku,
kebanyakan dari mereka sama saja. Beberapa orang biasanya bolos menghadiri
kebaktian di gereja ketika ada jadwal yang berbenturan dengan kehidupan rumah
tangga atau pekerjaan mereka agar kepentingan mereka sendiri tidak akan
terpengaruh. Beberapa orang mampu berdoa kepada Tuhan dan meminta jalan keluar
dari-Nya ketika mereka pertama kalinya terhambat dalam upaya mereka mencari
pekerjaan atau dalam aspek lainnya, tetapi jika masalah tersebut tetap tak terpecahkan,
mereka membangun kebencian kepada Tuhan dan bahkan mungkin menjadi berkecil
hati dan patah semangat. Mereka mulai bergantung pada teman-teman di sekitar
mereka yang tampaknya berkuasa dan memiliki otoritas, atau mereka mungkin
bertindak berdasarkan pemikiran mereka sendiri. Ada juga saudara-saudari yang
dengan antusias berpartisipasi dalam semua aspek pekerjaan gereja ketika mereka
menerima berkat-berkat Tuhan, tetapi ketika sesuatu yang mengerikan terjadi di rumah
atau mereka menghadapi kegagalan dalam bisnis, mereka hidup dalam
kesalahpahaman dan mengeluh kepada Tuhan, atau bahkan berjalan meninggalkan
Dia.
Kita dapat melihat dari apa yang kita ungkapkan dan hidupi setiap hari bahwa iman kita
sama sekali tidak dapat bertahan dalam menghadapi ujian kenyataan hidup. Kita hanya
mengakui bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan yang sejati dan percaya bahwa Dia
adalah Juruselamat kita, tetapi ini tidak berarti bahwa kita memiliki iman yang sejati
kepada Tuhan. Hal ini khususnya tidak berarti bahwa kita tidak akan pernah
menyangkali atau meninggalkan Tuhan tidak peduli dalam lingkungan seperti apa kita
berada. Ini karena iman kita tidak dibangun berdasarkan pemahaman yang benar
tentang Tuhan, tetapi sebaliknya berdasarkan apakah kita bisa mendapatkan berkat
dan janji Tuhan atau tidak, dan apakah kita bisa mendapatkan keuntungan atau tidak.
Inilah sebabnya iman kita kepada Tuhan sama sekali tidak murni. Jadi apakah iman
yang sejati itu, dan bagaimana iman yang sejati diungkapkan?
1. Iman Abraham
Ketika Abraham berusia satu abad, Tuhan berjanji untuk memberikan seorang putra
kepadanya—Ishak. Namun ketika Ishak bertumbuh dewasa, Tuhan memberi tahu
Abraham bahwa dia harus mempersembahkan Ishak sebagai korban. Ada banyak
orang yang mungkin merasa bahwa cara Tuhan bekerja semacam ini terlalu jauh
berbeda dengan gagasan manusia, atau mereka mungkin merasa bahwa jika ujian
seperti itu menimpa kita, kita pasti akan mencoba untuk berdebat dengan Tuhan.
Namun demikian, ketika Abraham menghadapi ujian ini, reaksinya sama sekali
bertentangan dengan apa yang kita harapkan. Bukan saja Abraham tidak berdebat
dengan Tuhan, tetapi dia mampu benar-benar tunduk kepada-Nya, dengan tulus dan
sungguh-sungguh mengembalikan Ishak kepada Tuhan. Sebagaimana yang tertulis
dalam Alkitab, "Maka Abraham bangun pagi-pagi benar dan memasang pelana
keledainya lalu membawa dua orang bujang bersamanya dan Ishak anaknya; ia juga
membelah kayu untuk korban bakaran itu lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang
diperintahkan Tuhan kepadanya. … Tibalah mereka ke tempat yang Tuhan tunjukkan
kepadanya, lalu Abraham mendirikan mezbah di sana, menyusun kayu dan mengikat
Ishak, anaknya dan membaringkannya di mezbah itu, di atas kayu. Lalu Abraham
mengulurkan tangannya dan mengambil pisau untuk menyembelih anak lelakinya"
(Kejadian 22:3, 9-10). Semua manusia berasal dari daging─kita semua emosional, dan
ketika kita menghadapi sesuatu seperti ini kita pasti menderita, merasa sakit. Namun
alasan Abraham mampu menahan dirinya untuk tidak melakukan tawar-menawar
dengan Tuhan dan alasan dia dapat mematuhi perintah Tuhan adalah karena dia tahu
bahwa Ishak telah dianugerahkan kepadanya oleh Tuhan sejak semula, dan bahwa
Ishak akan diambil kembali oleh Tuhan. Dia dengan tulus bersikap patuh, dan itu
adalah iman Abraham kepada Tuhan. Dia benar-benar percaya kepada Tuhan dan
tunduk kepada-Nya secara mutlak—bahkan ketika hal itu berarti berpisah dengan apa
yang paling berharga baginya, dia tetap mempersembahkan Ishak kembali kepada
Tuhan. Akhirnya, iman dan ketaatan Abraham yang sejati kepada Tuhan
memenangkan perkenanan dan berkat Tuhan. Tuhan mengizinkan Abraham untuk
menjadi nenek moyang banyak bangsa; keturunannya telah berkembang pesat dan
berlipat ganda dan menjadi bangsa-bangsa yang besar.
2. Iman Ayub
Alkitab memberi tahu kita bahwa Ayub memiliki keluarga yang sangat makmur serta
sepuluh orang anak dan banyak pelayan; dia sangat dihormati dan dipandang tinggi
oleh teman-temannya. Namun demikian, melalui pencobaan dan serangan Iblis, Ayub
kehilangan semua harta benda dan anak-anaknya dalam waktu satu hari, dan setelah
itu badannya tertutup penuh oleh bisul. Ujian ini mengubah Ayub dari manusia terkaya
di daerah Timur menjadi orang yang termiskin di daerah Timur, dan dia juga dihakimi
dan diserang oleh keluarga dan teman-temannya. Bahkan ketika dihadapkan dengan
ujian yang begitu besar, Ayub tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk mengeluh
kepada Tuhan, dan dia bahkan bersujud menyembah Tuhan, mengatakan, "Dengan
telanjang aku keluar dari rahim ibuku, dengan telanjang aku juga akan kembali ke situ:
Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh" (Ayub
1:21), dan "apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau
menerima yang jahat?" (Ayub 2:10). Melalui ujiannya Ayub mampu menahan diri untuk
tidak berdosa dengan kata-katanya, serta datang ke hadirat Tuhan dalam doa. Ini
menunjukkan bahwa Tuhan memiliki tempat di dalam hatinya, dia memiliki iman yang
sejati kepada Tuhan, dia percaya bahwa segala peristiwa dan segala sesuatu berada di
tangan Tuhan, dan semua kondisi yang dihadapinya telah mendapatkan perkenanan
Tuhan dan bukan merupakan buatan manusia. Sesuatu yang juga Ayub alami secara
mendalam dalam beberapa dekade hidupnya adalah bahwa semua yang dia miliki
berasal dari kekuasaan dan pengaturan Tuhan; semua kekayaannya telah
dianugerahkan oleh Tuhan dan bukan berasal dari jerih payahnya sendiri. Jadi, jika
Tuhan ingin mengambil kembali apa yang telah Dia berikan sebelumnya, hal itu pantas
dan benar dan sebagai makhluk ciptaan, Ayub harus tunduk kepada Tuhan karena
mengambil kembali barang-barang tersebut. Dia tidak boleh berdebat dengan Tuhan
dan khususnya tidak boleh mengeluh kepada Tuhan—bahkan seandainya nyawanya
sendiri diambil, dia tahu dia tetap tidak boleh mengutarakan satu keluhan pun.
Kesaksian Ayub sepenuhnya mempermalukan Iblis, dan setelah itu, Tuhan
menampakkan diri kepada Ayub dari tengah badai dan bahkan memberikan lebih
banyak berkat kepadanya.
Kita dapat melihat dari pengalaman Abraham dan Ayub bahwa untuk mencapai iman
yang sejati kepada Tuhan, pertama-tama kita harus memiliki pemahaman yang benar
tentang kekuasaan Tuhan, dan kita harus percaya bahwa segala sesuatu dan segala
peristiwa sepenuhnya berada dalam tangan Tuhan. Kita juga harus benar-benar
mengetahui posisi kita sebagai makhluk ciptaan dan memiliki nalar sebagaimana yang
seharusnya dimiliki makhluk ciptaan. Tidak peduli seberapa besar ujian atau kesulitan
kita, kita tidak bisa menyalahkan atau meninggalkan Tuhan, tetapi kita harus terus
mampu mencari kehendak Tuhan dan berdiri di sisi-Nya, dan mengikuti Dia dengan tak
tergoyahkan. Seberapa pun hebatnya penderitaan yang kita alami, kita harus tetap
dapat memberikan kesaksian bagi Tuhan dengan teguh. Hanya mereka yang dapat
melakukan inilah yang memiliki iman sejati kepada Tuhan. Coba pikirkan saudara-
saudari yang telah ditangkap dan dianiaya oleh Partai Komunis Tiongkok yang ateis
dan bahkan telah menderita siksaan kejam dan telah dijatuhi hukuman penjara selama
beberapa tahun, tetapi mereka tidak pernah menyangkali atau meninggalkan Tuhan—
itu adalah iman yang sejati kepada Tuhan. Ada saudara-saudari yang ditolak oleh
keluarga dan teman-teman mereka setelah menjadi orang percaya, atau ada hal-hal
buruk terjadi dalam keluarga mereka, tetapi mereka tidak pernah mengeluh kepada
Tuhan, dan mampu untuk terus mengikuti Tuhan dan mengorbankan diri bagi-Nya—ini
juga merupakan perwujudan iman yang sejati kepada Tuhan. Jika kita membandingkan
diri kita dengan kesaksian-kesaksian ini, dapatkah kita benar-benar mengatakan bahwa
kita benar-benar adalah orang yang memiliki iman yang sejati kepada Tuhan? Bagi
sebagian besar dari kita, iman kita berdasarkan pada pengakuan yang tegas akan
adanya Tuhan, dan kita mampu sedikit menderita dan membayar sedikit harga dalam
pekerjaan kita menyebarluaskan Injil bagi Tuhan. Namun demikian, hal itu tidak bisa
dianggap sebagai iman yang sejati.