Anda di halaman 1dari 38

TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Dosen Pengampu : Aditya Rahman, S.Kep.,Ners

Disusun Oleh :

1. Lusi Ma’rifatun Hasanah (1800001017)

AKADEMI KEPERAWATAN RS. EFARINA PURWAKARTA


TAHUN 2020
Jl. Bungursari No.1 Cibening Purwakarta Jawa Barat, Indonesia
A. KONSEP TEORI
1. Pengertian sistem imunitas
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme
yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan
mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini
mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas,
organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai
cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan
memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar
tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena
adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi
organisme.
Fungsi sistem imun adalah melindungi pejamu dari invasi
organisme asing dengan membedakan diri (self) dari bukan diri (non-
self). Sistem semacam ini diperlukan untuk kelangsungan hidup.
Sistem imun yang berfungsi baik tidak saja melindungipejamu dari
faktor eksternal seperti mikroorganisme atau toksin tetapi juga
mencegah dan menolak serangan oleh faktor endogen seperti tumor
atau fenomena autoimun.
Sistem imun membentuk sistem pertahanan badan terhadap bahan
asing seperti mikroorganisme (bakteria, kulat, protozoa, virus dan
parasit), molekul-molekul berpotensi toksik, atau sel-sel tidak normal
(sel terinfeksi virus atau malignan). Sistem ini menyerang bahan asing
atau antigen dan juga mewujudkan peringatan tentang kejadian
tersebut supaya pendedahan yang berkali-kali terhadap bahan yang
sama akan mencetuskan gerak balas yang lebih cepat dan tertingkat.
Keimunan merujuk kepada keupayaan sesuatu individu yang telah
sembuh dari sesuatu penyakit untuk kekal sehat apabila terdedah
kepada penyakit yang sama untuk kali kedua dan seterusnya.
2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Imun
a. Sel sistem imun
Sistem imun terdiri atas komponen spesifik dan non
spesifik yang memiliki fungsi tersendiri tetapi tumpang tindih.
Sistem imun yang diperantarai oleh antibodi yang diperantarai oleh
sel menghasilkan spesifisitas dan ingatan akan antigen yang pernah
dijumpai. Meskipun tidak memiliki spesifitas, komponen-
komponen ini esensial karena berperan dalam imunitas
alamiterhadap beragam mikroorganisme lingkungan.
Komponen selular utama sistem imun adalah monosit dan
makrofag, limfosit dan golongan sel granulositik, termasuk
neutrofil, eosinofil dan basofil. Fagosit mononukleus berperan
sentral dalam respon imun. Makrofag jaringan berasal dari monosit
darah. Sebagai respon terhadap rangsangan antigen makrofsg
menelan antigen tersebut (fagositosis) dan kemudian mengolah dan
menyajikannya dalam bentuk yang dapat dikenali oleh limfosit T.
Limfosit bertanggung jawab mengenali secara spesifik
antigen dan bentuk ingatan imunologis, yaitu ciri imunitas adaptif.
Sel-sel ini secara fungsional dan fenotipik dibagi menjadi limfosit
B yang berasal dari bursa limfosit T yang berasal dari timus.
Null cell merupakan 75% limfosit darah yaitu limfosit T
dan 10% - 15% adalah limfosit B, sisanya bukan limfosit B atau T.
Null cell mungkin mencakup berbagai jenis sel termasuk suatu
kelompok yang dinamai Natural Killer (NK Cells).
Leukosit polimorfonukleus (neutrofil) adalah sel
granulosotik yang berasal dari sumsum tulang dan beredar dalam
darah dan jaringan. Fungsi utamanya adalah fagositosis non-
spesifik antigen dan destruksi partikel asing atau organisme.
Eosinofil sering ditemukan ditempat peradangan atau
rektivitasi imun dan berperan penting dalam pertahanan pejamu
terhadap parasit. Eosinofil memperlihatkan fungsi modulatorik
atau regulatorik dalam berbagai jenis peradangan.
Basofil berperan penting dalam respon alergik fase cepat
dan lambat. Sel-sel ini mengeluarkan banyak mediator poten pada
penyakit peradangan imunologis.
b. Organ sistem imun
Semua sel sistem imun berasal dari sumsum tulang. Stem
cells pluripoten berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit,
monosit, eritrosit, dan megakariosit. Defisiensi dan disfungsi stem
cells atau berbagai turunan sel yang berkembang darinya
menyebabkan defisiensi imun dengan beragam ekpresivitas dan
keparahan
Timus yang berasal dari kantong faring ketiga dan keempat
pada mudigah, berfungsi menghasilkan limfosit T dann merupakan
tempat diferensiasi awal limfosit T.
Getah bening berbentuk kacang kecil berbaring disepanjang
perjalanan limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher,
aksila, selangkangan dan daerah para-aorta. Pengetahuan tentang
situs kelenjar getah bening yang penting dalam pemeriksaan fisik
pasien.
c. Fungsi sistem imun
1) Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit
menghancurkan dan menghilangkan mokroorganisme atau
substansi asing (bakteri, parasit, jamur dan virus) yang masuk
kedalam tubuh.
2) Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk
memperbaiki jaringan.
3) Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.
d. Fisiologis
1) Imunitas bawaan dan didapat
Organisme hidup memperlihatkan dua tingkat respon
terhadap invasi eksternal. Sistem imun bawaan (innate) alami
dan sistem adaptif yang bersifat didapat. Imunitas bawaan
terdapat sejak lahir, cepat dimobilisasi dan aktivitasnya bersifat
non-spesifik. Permukaan kulit berfungsi sebagai lini pertahanan
pertama sistem imun bawaan, sementara enzim, jalur sistem
komplemen alternatif, protein fase-akut, sel NK, dan sitokin
membentuk lapisan pertahanan tambahan.
2) Antigen (Imunogen)
Zat asing yang dapat memicu respons imun disebut antigen
atau imunogen. Imunogenisitas mengisyaratkan bahwa zat
tersebut memeiliki kemampuan untuk bereaksi dengan produk-
produk sistem imun adaptif. Sebgian besar antigen merupakan
protein, meskipun karbohidrat murni juga dapat berlaku
sebagai antigen.
Masuknya zat melalui mukosa (saluan napas atau cerna)
merangsang pembentukan antibodi lokal. Antigen larut
diangkut ke jaringan limfe regional melalui pembuluh limfe
aferen sementara antigen lainnya diangkut oleh sel dendritik
fagositik.
Organ limfoid perifer regional dan limpa adalah tempat
bagi respon imun utama terhadap antigen oleh limfosit dan sel
penyaji antigen (antigen presening cell, APC).
3) Respon Imun
Respon imun terhadap antigen dalam darah biasanya
dimulai di limpa, sedangkan respon jaringan terhadap
mikroorganisme terjadi dikelenjar limfe lokal. Antigen yang
dijumpai melalui rute inhalasi atau ingesti mengaktifkan sel-sel
dijaringan limfoid terkait mukosa.
3. Etiologi Gangguan Sistem Imun
Sistem kekebalan tubuh kurang aktif bisa menyebabkan :
a. Immune deficiency conditions adalah kelompok besar penyakit
sistem kekebalan tubuh yang terdiri dari berbagai macam penyakit
yang menekan sistem imun. Seringkali penyebab immune
deficiency conditions didasari oleh penyakit kronis. Gejala-gejala
dari immune deficiency conditions adalah sama dengan penyakit
yang mendasarinya.
b. SCID (Severe Combined Immunodeficiency) adalah gangguan
sistem imun yang diturunkan. Penyebab SCID adalah serangkaian
kelainan genetik, terutama dari kromosom X. Beberapa jenis
infeksi yang berulang umum terjadi pada orang yang menderita
SCID. Selain itu, penderita juga rentan terhadap meningitis,
pneumonia, campak, cacar air. Penyakit sistem imun SCID pada
anak akan mulai terlihat dalam 3 bulan pertama kelahiran.
c. HIV/AIDS adalah masalah kegagalan sistem imun yang serius.
Merupakan penyebab terbanyak kematian. AIDS akan terjadi pada
tahap akhir dari perkembangan HIV. Kesehatan klien akan
memburuk secraa perlahan. AIDS akan membuat penderita rentan
pilek dan flu dan yang serius seperti pneumonia dan kanker.

Sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif bisa menyebabkan :


a. Alergi (yang disebabkan oleh jenis makanan, obat-obatan, sengatan
serangga atau zat tertentu) bisa didefinisikan sebagai respon sistem
kekebalan tubuh yang berlebihan terhadap zat yang umumnya tidak
berbahaya. Ada banyak alergen. Dalam banyak kasus, ada lebih
dari satu alergen yang merangsang reaksi alergi. Gejala alergi yang
sering merupakan masalah ringan.
b. Anafilaksis adalah bentuk alergi yang serius dan ekstrim. Alergen
dari makanan, obat-obatan atau gigitan serangga, bisa memicu dan
menyebabkanserangkaian gejala fisik yang tidak menyenangkan.
Ruam gatal, tenggorokan bengkak dan penurunan tekanan darah
merupakan gejala umum anafilaksis.
c. Asma adalah gangguan paru-paru kronis yang disebabkan
peradangan pada saliran udara. Alergen, iritasi atau bahkan
stimulan seperti aktivitas fisik dapat memicu peradangan. Gejala
asma meliputi mengi, batuk, sesak napas, sesak dada.
d. Penyakit autoimun adalah sekelompok gangguan sistem imun. Sel-
sel sistem imun salah menafsirkan sinyal. Dan mulai menyerang
sel-sel tubuh itu sendiri.

4. Patofisiologi
a. Usia
Frekuensi dan intensitas infeksi akan meningkat pada orang
yang berusia lanjut dan peningkatan ini disebabkan oleh penurunan
untuk bereaksi secara memadai terhadap mikroorganisme yang
menginfeksinya. Produksi dan fungsi limfosit T dan B dapat
terganggu kemungkinan penyabab lain adalah akibat penurunan
antibodi untuk membedakan diri sendiri dan bukan diri sendiri.
Penurunan fungsi sistem organ yang berkaitan dengan
pertambahan usia juga turut menimbulkan gangguan imunitas.
Penurunan sekresi serta motilitas lambung memungkinkan flora
normal intestinal untuk berploriferasi dan menimbulkan infeksi
sehingga terjadi gastroenteritis dan diare.
b. Gender
Kemampuan hormone-hormon seks untuk memodulasi
imunitas telah diketahui dengan baik. Ada bukti yang
menunjukkan bahwa estrogen memodulasi aktifitas limfosit T
(khususnya sel-sel supresor) sementara androgen berfungsi untuk
mempertahankan produksi interleukin dan aktifitas sel supresor.
Efek hormon seks tidak begitu menonjol, estrogen akan
memgaktifkan populasi sel B yang berkaitan dengan autoimun
yang mengekspresikan marker CD5 (marker antigenic pada sel B).
Estrogen cenderung menggalakkan imunitas sementara androgen
bersifat imunosupresif. Umumnya penyakit autoimun lebih sering
ditemui pada wanita dari pada pria.
c. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat sangat esensial untuk mencapai fungsi
imun yang optimal. Gangguan imun dikarenakan oleh defisiensi
protein kalori dapat terjadi akibat kekurangan vitamin yang
diperlukan untuk mensintesis DNA dan protein. Vitamin juga
membantu dalam pengaturan poliferasi sel dan maturasi sel-sel
imun. Kelebihan atau kekurangan unsur-unsur renik (tembaga,
besi, mangan, selenium atau zink) dalam makanan umumnya akan
mensupresi fungsi imun Asam-asam lemak merupakan unsur
pembangun (building blocks) yang membentuk komponen
structural membrane sel. Lipid merupakan prekursir vitamin
A,D,E, dan K disamping prekursir kolesterol. Jika kelebihan
maupun kekurangan asam lemak ternyata akan mensupresi fungsi
imun.
Deplesi simpanan protein tubuh akan mengakibatkan atrofi
jaringan limfoid, depresi respon anti bodi, penurunan jumlah sel T
yang beredar dan gangguan fungsi fagositosik sebagai akibatnya,
kerentanan terhadap infeksi sangat meningkat. Selama periode
infeksi dan sakit yang serius, terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi
yang potensial untuk menimbulkan deplesi protein, asam lemak,
vitamin, serta unsur-unsur renik dan bahkan menyebabkan resiko
terganggunya respon imun serta terjadinya sepsis yang lebih besar.
d. Faktor -Faktor Psikoneuro Imunologik
Limfosit dan makrofag memiliki reseptor yang dapat
bereaksi terhadap neurotransmitter serta hormon-hormon
endokrin.Limfosit dapat memproduksi dan mengsekresikan ACTH
serta senyawa-senyawa yang mirip endokrin.
Neuron dalam otak, khususnya khusunya dalam
hipotalamus, dapat mengenali prostaglandin, interferon dan
interleukin di samping histamine dan serotonin yang dilepaskan
selama proses inflamasi. Sebagaimana sistem biologi lainnya yang
berfungsi untuk kepentingan homoestasis, sistem imun di
integrasikan dengan berbagai proses psikofisiologic lainnya dan
diatur serta dimodulasikan oleh otak.
e. Kelainan Organ yang Lain
Keadaan seperti luka bakar atau cedera lain, infeksi dan
kanker dapat turut mengubah fungsi system imun. Luka bakar yang
luas atau faktor-faktor lainnya menyebabkan gangguan integritas
kulit dan akan mengganggu garis pertama pertahanan tubuh
hilangnya serum dalam jumlah yang besar pada luka bakar akan
menimbulkan deplesi protein tubuh yang esensial, termasuk
immunoglobulin. Stresor fisiologi dan psilkologik yang disertai
dengan stress karena pembedahan atau cidera kan menstimulasi
pelepasan kortisol serum juga turut menyebabkan supresi respon
imun yang normal.
Keadaan sakit yang kronis  dapat turut mengganggu sistem
imun melalui sejumlah cara. Kegagalan ginjal berkaitan dengan
defisiensi limfosit yang beredar. Fungsi imun untuk pertahanan
tubuh dapat berubah karena asidosis dan toksin uremik.
Peningkatan insidensi infeksi pada diabetes juga berkaitan dengan
isufisiensi vaskuler, neuropati dan pengendalian kadar glukosa
darah yang buruk. Infeksi saluran nafas yang rekuren berkaitan
dengan penyakit paru obstruksi menahun sebagai akibat dari
berubahnya fungsi inspirasi dan ekspirasi dan tidak efektifnya
pembersihan saluran nafas.
f. Penyakit Kanker
Imunosekresi turut menyebabkan terjadinya penyakit
kanker. Namun, penyakit kanker sendiri bersifat imunosupresif.
Tumor yang besar dapat melepaskan antigen ke dalam darah,
antigen ini akan mengikat antibodi yang beredar dan mencegah
antibodi tersebut agar tidak menyerang sel-sel tumor.  Lebih lanjut,
sel-sel tumor dapat memiliki faktor penghambat yang khusus yang
menyalut sel-sel tumor dan mencegah pengahancurannya oleh
limposit T killer. Dalam stadium awal pertumbuhan tumor, tubuh
tidak mampu mengenali antigen tumor sebagai unsure yang asing
dan selanjutnya tidak mampu memulai distruksi sel-sel yang
maligna tersebut.kanker darah seperti leukemia dan limpoma
berkaitan dengan berubahnya produksi serta fungsi sel darah putih
dan limposit.
g. Obat-obatan
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan perubahan yang
dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki pada fungsi sistem
imun. Ada empat klasifikasi obat utama yang memiliki potensi
untuk menyebabkan imunosupresi: antibiotic, kortikostreoid, obat-
obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID Nonsteroidal anti
inflamatori drugs) dan preparat sitotoksik.
h. Radiasi
Terapi radiasi dapat digunakan dalam pengobatan penyakit
kanker atau pencegahan rejeksi allograft. Radiasi akan
menghancurkan limfosit dan menurunkan populasi sel yang
diperlukan untuk menggantikannya. Ukuran atau luas daerah yang
akan disinari menentukan taraf imunosupresi. Radiasi seluruh
tubuh dan dapat mengakibatkan imunosupresi total pada orang
yang menerimannya.
i. Genetik
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh
variabilitas genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat
dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen
tertentu.
Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen
tertentu, tetapi terhadap antigen lain tinggi sehingga mungkin
ditemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Faktor
genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang
berada pada kompleks MHC dengan non MHC.

5. Manifestasi Klinis
Tanda :
Tanda defisiensi Imun kombinasi yang berat.
Terdapat pada minggu atau bulan pertama kehidupan.
1) Sering terjadi infeksi virus atau jamur dibandingkan bakteri.
2) Diare kronik umum terjadi sering disebut gastroenteritis.
3) Infeksi respiratorius dan oral thrush umum terjadi.
4) Tejadi Failure to thrive tanpa adanya infeksi.
5) Limfopenia ditemui pada hampir semua bayi.

Gejala klinis penyakit Imunodefisiensi

a. Gejala yang biasanya dijumpai.


Infeksi saluran napas atas berulang infeksi bakteri yang
berat. Penyembuhan inkomplit antar episode infeksi. Atau respons
pengobatan in komplit.
b. Gejala yang sering dijumpai.
1) Gagal tumbuh atau retardasi tumbuh.
2) Jarang ditemukan kelenjar atau tonsil yang membesar.
3) Infeksi oleh mikroorganisme yang tidak lazim.
4) Lesi kulit (Rash, ketombe, pioderma, abses nekrotik/noma,
alopesia, eksim, teleangiektasi, warts yang hebat).
5) Oral thrush yang tidak menyembuh dengan pengobatan.
6) Jati tabuh.
7) Diare dan Mal abrsopsi.
8) Mastoiditis dan otitis persisten.
9) Pneumonia atau bronkitis berulang.
10) Penyakit autoimun.
11) Kelainan helatologis (anemia aplastik, anemia hemolitik,
neutropenia, trombositopenia).

6. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum meliputi tanda-tanda vital ( nadi, respirasi, tekanan
darah,suhu), tinggi badan dan berat badan.
b. Sistem integument
1) Sensitivitas matahari
2) Berkilau, kulit tegang diatas sendi yang rusak
3) Modul subkutaneus diatas tonjolan tulang
4) Kemerahan
5) Eritema : “kupu-kupu” pada pipi dan hidung : nodusum
6) bercak putih, abu-abu/putih pada mukusa
7) Lesi merah sampai ungu / coklat
8) vesikel herpetic
9) Olserasi oral, nasal
10) Kista tulang ; tangan ; kaki
11) Perlambatan pemulihan luka
12) Alopesia parsial
c. Sistem syaraf pusat
1) Umum meliputi sakit kepala, parestesia, paralisis, neuritis,
perubahan kesadaran.
2) Kognitif meliputi kerusakan memori, kerusakan konsentrasi,
penurunan proses berpikir, dan kacau mental.
3) Motorik meliputi gaya berjalan, kelemahan tungkai bawah,
penurunan koordinasi tangan, tremor dan kejang.
4) Perilaku meliputi kurang menjiwai, menarik diri, emosional labil,
perubahan kepribadian, ansietas, mengin
d. Sistem penglihatan meliputi fotokobia, berkurangnya lapang pandang
penglihatan, diplopia, kebutaan, pandangan kabur, katarak, badan cytoid
retinal, kinjungtivitas & ureitis, proptosis, papilledema
e. Sistem pernafasan meliputi sesak nafas, dipsnea, ispa sering, batuk,
takipnea, sianosis, pendarahan, hipertensi pulmoner, fibrosis
f. Kardiovaskuler meliputi palpitasi, lakikardia, nyeri dada dari sendang
sampai berat, hipertensi, murmur, kardiomegali, dan fenimena reynoud’s
g. Sistem gastrointestinal meliputi anorexia, mual, disfagia, nyeri abdomen,
kram, kembung, gatal pada rectum, nyeri, penurunan berat badan, tidak
disengaja, muntah, diare, fisura tektum, pendarahan, hepatosplenomegali
h. Sistem gonotourinarius meliputi hemakuria, serpihan selular, azotemia,
nyeri panggul, nyeri pada waktu berkemih, reynoud’s
i. Sistem muskuloskeletal meliputi nyeri dan kekacauan sendi, kelemahan
muscular, parestesia pada tangan dan kaki, artralgia,
peradangan/pembengkakan sendi, kerusakan fungsi sendi, nodul-nodul
subkutan pada tonjolan hati dan edema jaringan lunak
j. Sistem hematologi meliputi petekie, purpura, mudah memar, epistaksis
dan pendarahan gusi
k. Sistem limfatik meliputi limpadenopati dan splenomegaly

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Elisa
Teknik ELISA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter
Perlmann dan Eva Engvall. Enzim-Linked immune sorbent assay
(ELISA) atau dalam Bahasa Indonesianya disebut sebagai uji penentuan
kadar immunosorben taut-enzim, merupakan teknik pengujian serologi
yang didasarkan pada prinsip interaksi antara antibody dan antigen. Pada
awalnya, teknik ELISA hanya digunakan dalam bidang imunologi untuk
mendeteksi keberadaan antigen maupun antibody dalam suatu sampel
seperti dalam pendeteksian antibody IgM, IgG, dan IgA pada saat terjadi
infeksi (pada tubuh manusia khususnya, misalya pada saat terkena virus
HIV). Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan,teknik
ELISA juga diaplikasikan dalam bidang patologi tumbuhan, kedokteran,
dll.
b. Test alergi
Alergi merupakan suatu kelainan sebagai reaksi imun tubuh yang
tidak di harapkan. Istilah alergi dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet
pada tahun 1906 yang pada dasarnya mencakup baik respon imun
berlebihan yang menguntungkan seperti yang terjadi pada vaksinasi,
maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit. Tes
alergi adalah suatu cara untuk menentukan penyebab alergi. Beberapa
jenis tes alergi seperti tes tusuk kulit (Skin Prick Test), tes tempel (Patch
Test), tes RAST (Radio Allergo Sorbent Test), tes kulit intrakutan, tes
provokasi dan eliminasi makanan dan tes provokasi obat.

B. Konsep asuhan keperawatan dengan systemic lupus erythematosus


(SLE)
1. Konsep teori
a. Definisi
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit
inflamasi autoimun pada jaringan penyembuhan yang dapat
mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan. Penyakit ini lebih
sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor 10:1.
Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen memperburuk
keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus
menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh
kehamilan ( Elizabeth 2009).
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit
inflamasi autoimun pada jaringan penyembuhan yang dapat
mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan. Penyakit ini lebih
sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor 10:1.
Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen memperburuk
keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus
menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh
kehamilan ( Elizabeth 2009).

b. Etiologi
Antibody anti RO dan anti LA dapat menyebabkan sindrom
lupus neonates dengan melinitasi plaseta. Sindrom ini dapat
bermanifestasi sebagai lesi kulit atau blok jatung congenital.
Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting
dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 20-30% pada
pasien SLE mempunyai kerabatdekat yang menderita SLE.
Penelitian terakhir menunjukan bahwa banyak gen yang berperan
antara lain haptolip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3,
komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi
peningkatan komplomen yaitu : Crg, Cir, Cis, C3, C4 dan C2 serta
gen-gen yang mengode reseptor drl T, immunoglobulin dan
sitokin.
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu
sinar UV yang mengubah struktur DNA didaerah yang terpapar
sehingga menyebabkan perubahan sistem imun didaerah tersebut
serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat
diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menyadi
lambat, obat banyak terakumulas ditubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini
direspon sebagai benda asing tersebut (Herfindal et al,2000).
Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam
aino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan
B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente 2002). Selain
intu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan peningkatan
antibody entiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit yang akan
memicu terjadinya SLE.
Observasi klinis menunjukan peranan hormone seks steroid
sebagai penyebab SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang
lebih tinggi pada wanita usia produktif,peningkatan aktivitas SLE
selama kehamilan, dan resiko yang sedikit lebih tinggi padaa
wanita pascamenoupause yang menggunakan suplementasi
estrogen. Walapun hormone seks steroid dipercaya sebagai
penyebab SLE,namun studi yang dilakukan oleh petri dkk
menunjukan bahwa pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak
meningkatkan risiko terjadinya peningkatan aktivitas penyakit pada
wanita penfderita SLE yang penyakitnya stabil.

c. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi
kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun yang
berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia
reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).
Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit
SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE,
peningkatan produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi
sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Pathway

muskuloskeletal vaskuler

Pembengkakan Inflamasi pada arteiole


sendi terminalis

Nyeri tekan dan Lesi papuler di ujung


nyeri ketika kaki
bergerak

Kerusakan integritas
Nyeri kronis kulit
d. Manifestasi klinis
1) Gejala klasik
demam, keletihan, penurunan berat badan, dan kemungkinan
artritis, pleurisi.
2) Sistem Muskuloskeletal
Artralgia dan artritis (sinovitis) adalah cirti yang paling sering
muncul. Pembekakan sendi nyeri tekan, dan nyeri pergerakan
adalah hal yang lazim, disertai dengan kekakuan pada pagi hari.
3) Sistem integumen
Terlihat beberapa jenis SLE yang berbeda (mis., lupus
eritematosus kutaneus sub akut [SCLE], lupus etitematosus
diskoid [DLE]). Ruam kupu-kupu pada batang hidung dan pipi
muncul pada lebih dari separuh pasien dan mungkin merupakan
prekusor untuk gangguan yang sistemik. Lesi memburuk
selama periode eksaserbasi (ledakan) dan dapat distimulasi
oleh sinar matahari atau sinar ultraviolet buatan. ulkus oral
dapat mengenai mukosa bukal dan palatum.
4) Sistem Pernapasan
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah
pneumonitis,emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan
paru, dan shrinking lungsyndrome. Pneumonitis lupus dapat
terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik.Biasanya penderita
akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal.
Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun
pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai
vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan
respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan
keadaan yang sering apabila merupakan bagian dari perdarahan
paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan tidak hanya
pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau
pemberian sitostatika.
5) Sistem Kardiovaskuler
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit
perikardial, dapatberupa perikarditis ringan, efusi perikardial
sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan
pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR
yang memanjang, kardiomegali sampai gagal
jantung.Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya
keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign
pada foto dada ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis
Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi
data autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis
Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam
harus dicurigai kemungkinanendokarditis bakterialis.Wanita
dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6%
lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang
berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.
6) Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang
sebagian besarterjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio
wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak
insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda
keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi
kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
7) Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ
pada penyakit LES atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia
merupakam keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak
didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali
gangguan motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang 50%
penderita LES, lebih banyak dijumpai pada mereka yang
memakai glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus.Nyeri
abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada
peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis,
pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan
pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai
dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase
alkali dan LDH.
8) Manifestasi Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat
anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis
erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
9) Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena
gambaranklinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan
sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih
banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan
kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan
hipertensiberat.Manifestasi neuropsikiatri LES sangat
bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai
kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi
anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan
serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe
sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis.
Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid.
Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan
gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi(EEG) juga tidak
memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-
kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau
perdarahan.

e. Pemeriksaan Penunjang
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat
yang menujukan berbagai manifestasi,paling sering berupa artitis.
Dapat juga timbul manifestasi dikulit, ginjal dan neorologis.
Penyakit ini ditandai dengan adanya periode aktivitas (ruam) dan
remisi. SLE ditegakan atas dasar gambaran klinis disertai dengan
penanda serologis, khususnya beberapa autoantibodi yang paling
sering digunakan adalah antinukelar antibody ( ANA, terapi
antibody ini juga dapat ditemukan pada wanita yang tidak
menderita SLE. Antibody yang kurang spesifik adalah antibouble
standed DNA antibody (anti DNA), pengukuran bermanfaat untuk
menilai ruam pada lupus. Anti-Ro, anti-La dan antibody
antifosfolipidpenting untuk diukur karena meningkatkan resiko
pada kehamilan. Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara
multidisiplin. Priode aktifitas penyakit dapat sulit untuk
didiagnosa. Keterlibatan ginjal sering kali disalah artikan dengan
pre-eklamsia, tetapi temuan adanya peningkatan antibody anti
DNA serta penurunan tingkat komplemen membantu mengarahkan
pada ruam.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi
menandakan resiko keguguran. Temuan pemeriksaan laboratorium:
1) Tes flulorensi untuk menentukan antinuclear antibody (ANA),
positif dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE.
2) Pemeriksaan DMA double standed tinggi,spesifik untuk
menentukan SLE
3) Bila titel antibobel strandar tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
4) Tes sifilis bias positif palsu pada pemeriksaan SLE.
5) Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardolipin
antibody) berhubungan dengan menentukan adanya thrombosis
pada pembuluh arteri, vena atau pada abortus spontan, bayi
meninggal dalam kandungan dan trombositopeni.

Pemeriksaan laboratorium ini diperiksa pada penderita SLE


atau lupus meliputi darah lengkap, laju sedimentasi darah,
antibodyantinuklir (ANA), anti-AND, SLE, CRP, analyses urin,
komplemen 3 dan 4 pada pemeriksaan diagnosis yang dilakukan
adalah biopsy.

f. Penatalaksanaan Medis
1) Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/d 6 bulan postpartum)
(metilprednisolon1000 mg/24jam dengan pulse steroid th/
selama 3 hr, jika membaik dilakukantapering off).
2) AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
3) Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
4) Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa
700-1000 mg/m luaspermukaan tubuh, bersama dengan steroid
selama 3 bulan setiap 3 minggu.
2. Konsep asuhan keperawatan
a. Pengkajian
1) Identitas ( Nama pasien, Jenis kelamin, Umur, Alamat,
suku/kebangsaan,pekerjaan, dll)
2) Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri,
kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut
terhadap gaya hidup serta citra dari pasien
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah pernah
menderita penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius,
atau penyakit autoimun yang lain.
4) Riwayat Penyakit Sekarang
Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien
(misalnya ruam malar-fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik
eritematosa menimbulkan : artaralgia/arthritis, demam,
kelelahan, nyeri dada pleuritik, pericarditis, bengkak pada
pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
a) Mulai kapan keluhan dirasakan.
b) Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
c) Keluhan-keluhan lain menyertai.
5) Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid dan isoniazid, Dilantin,
penisilamin dan kuinidin.
6) Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah
mengalami penyakityang sama atau penyakit autoimun yang
lain
7) Pemeriksaan Fisik
a) Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala,
muka atau leher.
b) Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan
efusi pleura.Lesi eritematous papuler dan purpura yang
menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi
di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
c) Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
d) Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-
kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral
dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
e) Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
f) Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan,
siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
g) Sistem Renal
Edema dan hematuria.
h) Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-
kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
b. Diagnosa
1) Nyeri kronis berhubungan dengan ketidak mampuan fisik-
psikososial kronis (metastase kanker, injuri neurologis,
arthritis).
2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit
imunologi
c. Intervensi

Tujuan dan Kriteria Hasil


No Diagnosa Keperawatan ( NOC) Intervensi Keperawatan (NI

Nyeri kronis berhubungan 1. Comfort level Pain management


1 dengan ketidak mampuan 2. Pain control 1. Monitor kepuasan
fisik-psikososial kronis 3. Pain level terhadap manajemen
(metastase kanker, injuri Tujuan : Setelah dilakukan 2. Tingkat istirahat da
neurologis, arthritis). tindakan keperawatan selama 24 yang adekuat
jam nyeri kronis pasien berkurang 3. Kelola antianalgesik
dengan kriteria hasil: 4. Jelaskan pada
1. Tidak ada gangguan tidur penyebab nyeri
2. Tidak ada gangguan 5. Lakukan
konsetrasi nonfarmakologis
3. Tidak ada gangguan ( relaksasi masase)
hubungan intrerpersonal
4. Tidak ada ekspresi
menahan nyeri dan
ungkapan secara verbal
5. Tidak ada tegangan otot

Kerusakan integritas kulit 1. Tissue integrity : Skin and 1. Anjurkan pasien


2 berhubungan dengan mucous membrane menggunakan p
deficit imunologi 2. Wound healing primer dan yang longgar
sekunder 2. Hindari kerutan
Tujuan : Setelah dilakukan tempat tidur
tindakan keperawatan selama 2x 3. Jaga kebersih dan ke
24 jam kerusakan integritaskulit 4. Monitor kulit akan
berkurang dengan kriteria hasil : kemerahan
1. Intergritas kulit yang baik 5. Mobilasasi pasien
bisa dipertahankan (sensai, posisi pasien) setia
elastisitas, temperature, jam sekali
hidrasi, pigmentasi) 6. Oleskan lotion
2. Tidak ada luka/lesi pada minyak pada daera
kulit tertekan
3. Perfusi jaringan baik 7. Monitor status
4. Menujukkan pemahaman pasien
dalam proses perbaikan 8. Memandikan
kulit dan mencegah dengan sabun da
terjadinya cedera berulang hangat
5. Mampu melindungi kulit 9. Kaji lingkungan
dan mempertahankan peralatan
menyebabkan tekan
10. Obsevasi luka :
dimensi, kedalaman
karakteristik,

d. Implementasi
Laksanakan rencana tindakan pada renpra diatas. Dahulukan
tindakan yang dianggap prioritas/masalah utama
e. Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan yang telah dilakukan kepada pasien

KASUS ASUHAN KEPERAWATAN PADA


Ny. A DENGAN SLE

Kasus
Seorang prempuan bernama Ny.A usia 37 tahun datang ke UGD dengan keluhan
merasa tidak nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya
kecil namun setelah satu minggu ukuran tersebut bertambah lebar, demam, nyeri
dan terasa kaku seluruh persendian terutama pagi hari dan kurang nafsu makan.
Pada pemeriksaan fisik diperolah ruam pada pipi dengan batas tegas, peradangan
pada siku, lesi pada daerah leher, malaise. Pasien mengatakan terdapat sariawan
pada mukosa mulut. Pasien ketika bertemu dengan orang lain selalu menunduk
dan menutupi wajahnya dengan masker. Tekanan darah 110/80mmHg, RR
20x/mnt, Nadi 90x/mnt Suhu 38,5 ºC, Hb 11 gr/dl, WBC 15.000/mm

A. Identitas Klien
Nama : Ny. A
Umur : 37 thn
Jenis kelamin : Prempuan
Alamat : Jl.TB.Simatupang No.71
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT
Tanggal masuk RS : 01-01-2020
Tanggal pengkajian : 02-01-2020
DX Medis : SLE
B. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. D
Umur : 40 thn
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl.TB.Simatupang No.71
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Karyawan swasta
C. Pengkajian
1. Keluhan utama : 
Pasien menggeluh nyeri pada sendi serta kekakuan kaki dan tangan, saat
beraktivitas pasien merasa mudah lelah, pasien merasa demam. Pipi dan
leher memerah serta nyeri pada bagian yang memerah
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak nyaman dengan kulit
memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya lebarnya kecil namun
setelah satu minggu lebarnya bertambah besar, demam, nyeri dan terasa
kaku seluruh persendian utamanya pada pagi hari dan berkurang nafsu
makan karena sariawan.
3. Riwayat Penyakit dahulu : Tidak ada
4. Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada
5. Riwayat pekerjaan/ kebiasaan : Pasien seorang ibu rumah tangga
6. Riwayat Alergi :Tidak ada
7. Pengkajianfisik :
a. Keadaan umum : Klien lemah .
b. Kesadaran : Composmentis.
c. TTV :
RR : 20 x/ menit
Suhu : 110/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
TD: 38,5 oC
d. Sistem Pernapasan
1) RR 20x/mnt
2) Napas dalam terlihat seperti menahan nyeri
e. Sistem Kardiovaskuler
1) TD 110/80 mmHg
2) Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler,eritematous dan purpur di ujung jari kaki, tangan, siku
serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
dan berlanjut nekrosis.
f. Sistem Persyarafan
Gangguan psikologis
g. Sistem Perkemihan
Tidak ada
h. Sistem Pencernaann
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum

a. Sistem Muskuloskeletal
1) Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari
2) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-
kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi
j. Sistim Endokrin
Tidak ada
k. Sistim sensori persepsi
Tidak ada

l. Sistim integument
SH: 38,5C, demam (+)
m. Sistem imun dan hematologi
1) Tes fluorensi untuk menetukan antinuelear antibody
(ANA), positif dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE
2) Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk
menentukan SLE
3) Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose
SLE
4) Tes sifilis bisa positif palsu pada pemeriksaan SLE
5) Pemeriksaan zat antifosfolipid (seperti antikardiolipin
antibody) berhubungan untuk menentukan adanya
thrombosis pada pembuluh arteri atau pembuluh vena atau
pada abortus spontan, bayi meninggal dalam kandungan
dan trombositopeni
6) HB 11gr/dl
7) WBC 15.000/mm
8. Pengkajian Fungsional
a. Nutrisi
Mual (-), muntah (-)
b. Aman dan Nyaman
Kulit memerah pada daerah pipi dan leher
c. Eliminasi
BAK (-), BAB (-)
d. Aktivitas dan Istirahat
Kurang
e. Psikososial
Dapat mengalami ketidak percayaan diri akibat dari penyakitnya
f. Nilai dan Keyakinan
Tidak ada pantangan yang berhubungan dengan nilai dengan
keyakinan pasien

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Hasil Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Interpretasi
Normal
01-01- Hb 17,3 gr% 13-16 gr%
2020 WBC 5.000-
15.000/mm
10.000/mm

b. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Rontgen tidak ada kelainan
10. Progam Terapi
Terapi medis tgl 01-01-2020 :
 Injeksi Stabixin 2x1gram
 Injeksi medixon 2x 125 mg
 Omeprazol 2x1 ampul
 Vitamin C 2x1 ampul

D. Analisa Data

Hari/Tgl/Ja Data Fokus Etiologi Problem


m

Kamis/01-01- Ds : Nyeri pada sendi Genetic, Nyeri


dan bagian
20/08.00 lingkungan,
yang mengalami
hormonal, obat
kemerahan
tertentu
Do : pasien terlihat

menahan nyeri
Produksi
TD
110/80mmHg, RR autoimun
berlebihan
20x/mnt, S
38,5C, N 90x.mnt ↓
Autoimun
menyerang
organ tubuh

SLE

Kerusakan
jaringan

Nyeri kronis

Ds : Pasien Genetic, Peningkatan


mengeluhkan demam suhu tubuh
lingkungan,
Do : TD 110/80
hormone, obat
mmHg
tertentu
RR 20x/mnt ↓
S 38,5 C Produkasi
N 90x/mnt autoimun
berlebih

Autoimun
menyerang
orang tubuh

Terjadi reaksi
inflamasi

Peningkatan
suhu tubuh

Genetic, Gangguan
lingkungan, integritas kulit
Ds : Nyeri pada sendi
dan bagian hormone, obat
yangmengalami
tertentu
kemerahan

Do : TD
110/80mmHg, RR Produksi
autoimun
20x/mnt, S 38,5C,
N 90x/mnt berlebihan

Kulit kering dan
kemerahan Autoimun
menyerang
organ tubuh

SLE

Menyerang
kulit

Kerusakan
integritas kulit

E. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri kronis berhubungan dengan agen pencedera
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi

F. Intervensi keperawatan
No Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi ( NIC)
keperawatan NOC
1. Nyeri kronis Setelah dilakukan tindakan Menejemen nyeri :
berhubungan dengan keperawatan selama 1x24 jam 1. Lakukan pengka
agen pencedera nyeri kronis dapat berkurang komprehensif
dengan kriteria hasil : meliputi
Kontrol nyeri karakteristik, on
a. Mengenal kapan nyeri durasi, frekwensi
terjadi intensitas dan
b. Menggambarkan faktor pencetus
Penyebab 2. Berikan
c. Menggunakan tindakan mengenai nyer
pencegahan atau penyebab beber
pengurangan nyeri tanpa nyeri dan antisi
anlagesik ketidak nyamanan
d. Menggunakan analgesic 3. Dorong pasien
yang direkomendasikan memonitor ny
menangani
dengan tepat
4. Pastikan p
analgetik dan ata
nonfarmakologi.

2. Peningkatan suhu tubuh Setelah dilakukan tindakan selama Fever treatment :


1x 24 jam suhu tubuh normal
berhubungan dengan dengan NOC : Thermoregulation 1. Monitoring suhu seseri
Kriteria hasil : mungkin
inflamasi
a. Suhu tubuh dalam batas 2. Monitoring warna dan
normal 3. Monitoring WBC,Hb d
b. Nadi dan RR dalam 4. Monitoring intake outp
rentang normal 5. Beri kompres pada lipa
c. Tidak ada perubahan dan axila
warna kulit dan tidak ada 6. Kolaborasi pemberian
pusing, pasien merasa Antipireutik
nyaman Cairan intravena

Temperature regulation :
1.
2.
nutrisi

3. Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan 1. Anjurkan pasien


kulit berhubungan keperawatan selama 2x 24 jam menggunakan pakaia
kerusakan integritaskulit longgar
dengan deficit
berkurang dengan kriteria hasil : 2. Hindari kerutan pad
imunologi 1. Intergritas kulit yang baik tidur
bisa dipertahankan (sensai, 3. Jaga kebersih dan kerin
elastisitas, temperature, 4. Monitor kulit akan
hidrasi, pigmentasi) kemerahan
2. Tidak ada luka/lesi pada 5. Mobilasasi pasien ( ub
kulit pasien) setiap dua jam
3. Perfusi jaringan baik 6. Oleskan lotion atau mi
4. Menujukkan pemahaman daerah yang tertekan
dalam proses perbaikan 7. Monitor status nutrisi p
kulit dan mencegah 8. Memandikan pasien
terjadinya cedera berulang sabun dan air hangat
5. Mampu melindungi kulit 9. Kaji lingkungan dan
dan mempertahankan yang menyebabkan tek
10. Obsevasi luka : lokas
kedalaman luka, karakt

G. Implementasi
No.DX Tanggal Implementasi Evaluasi paraf
DX 1 Kamis/01-01- 1. Melakukan pengkajian nyeri S : Pasien mengatakan nyeri sendi
2020/ 08.00 komprehensif yang meliputi dan kemerahan pada lutut
berkurang
lokasi, karakteristik, lokasi O : Skala nyeri berkurang dari 8
menjadi 3
atau durasi, frekwensi,
Pasien tampak riles ditandai
kualitas, intensitas dan faktor dengan hemodinamik stabil
Pasien dapatmelakukan teknik
pencetus.
relaksasi nafas dalam
2. Memberikan informasi A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjut intervensi 3 dan 4
mengenai nyeri seperti
penyebab, berapa lama nyeri
dan antisifasi dari ketidak
nyamanan nyeri.
3. Mendorong pasien untuk
memonitor nyeri dan
menangani nyerinya dengan
tepat.
4. Memastikan pemberian
analgesik dan atau strategi
nonfarmakologi (teknik
relaksasi nafas dalam).

DX 2 Kamis / 01-01- 1. Memonitoring suhu S : Pasien mengatakan masih sedikit


pusing dan demam
2020 11.00 2. Memonitoring intake output
O: KU lemah Kesadaran
3. Memonitoring hasil Composmentis Suhu 37,8˚C, akral
teraba hangat, terpasang infus RL 20
laboratorium
tpm dengan triway paracetamol drip
4. Beri kompres pada lipatan A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjut intervensi treatment
paha dan axila
regulation
5. Memberikan cairan intravena
dan paracetamol drip

DX 3 Kamis/ 01-01- 1. menganjurkan pasien untuk S : pasien mengatakan masih


2010 13.00 menggunakan pakaian yang merasakan nyeri pada sendi dan
longgar bagian yang mengalami
2. menjaga kebersih dan kering
kemerahan
3. Memonitor kulit akan adanya
O :Kulit kering dan kemerahan
kemerahan
A : masalah teratasi sebagian
4. Mobilasasi pasien ( ubah P : intervensi dilanjutkan
posisi pasien) setiap dua jam
sekali
5. mengoleskan lotion atau
minyak pada daerah yang
tertekan
6. mengobsevasi luka : lokas,
dimensi, kedalaman luka,
karakteristik

PENUTUP

A. kesimpulan
Fungsi sistem imun adalah melindungi pejamu dari invasi
organisme asing dengan membedakan diri (self) dari bukan diri (non-self).
Sistem semacam ini diperlukan untuk kelangsungan hidup. Sistem imun
yang berfungsi baik tidak saja melindungipejamu dari faktor eksternal
seperti mikroorganisme atau toksin tetapi juga mencegah dan menolak
serangan oleh faktor endogen seperti tumor atau fenomena autoimun.
Tak hanya aktivitas sehari-hari yang terganggu jika adanya
gangguan pada sistem imunitas, biaya yang dikeluarkan untuk berobat
akan semakin mahal apabila gangguan sistem imunitas ini tidak diatasi.
Sebagai pelayan kesehatan perawat mampu memberikan asuhan
keperawatan yang efektif guna membantu memperbaiki kondisi pasien.
Serta memberikan edukasi pada pasien agar pasien koperatif dalam
menjaga kesehatannya.
B. Saran
Di jaman seperti sekarang ini banyak hal-hal yang mengakibatkan
sistem dalam tubuh kita mengalami gangguan. Seperti gangguan pada
sistem imunitas ini. Gangguan ini di karenakan faktor lingkungan serta
bakteri, virus dan jamur yang ada dialam. Maka dari itu lebih baiknya juka
kita menjaga kesehatan kita sendiri dengan memiliki kesadaran akan
pentingnya menjaga kesehatan.

Membangun lingkungan yang bersih serta udara yang segar.


Karena bisa sewaktu-waktu gangguan itu akan terjadi. Menghimbau pada
masyarakat lainnya tentang gaya hidup sehat. Alangkah baiknya jiga
melangkah bersama menuju bangsa yang sehat.

DAFTAR PUSTAKA

http://evaloy.blogspot.co.id/2013/03/askep-penyakit-lupus-sistem-imun-dan.html

Brunner dan Suddarth.2016.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta : EGC

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing Diagnoses:


Definitions & Classification 2012-2014. UK: Wiley‐Blacwell, A John Wiley &
Sons Ltd
Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia
Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus: modern


strategies for management – a moving target. Best Practice & Research Clinical
Rheumatology Vol. 21, No. 6, pp. 971–987, 2007 doi:10.1016/j.berh.2007.09.002
available online at http://www.sciencedirect.com

Anda mungkin juga menyukai