Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN UCUTE LONG OEDEMA(ALO)

A. ANATOMI FISIOLOGI

Secara harafiah pernapasan berarti pergerakan oksigen dari atmosfer menuju ke sel-sel
dan keluarnya karbon dioksida dari sel-sel ke udara bebas. Proses pernapasan terdiri dari
beberapa langkah di mana sistem pernapasan, sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskuler
memegang peranan yang sangat penting. Pada dasarnya, sistem pernapasan terdiri dari suatu
rangkaian saluran udara yang menghantarkan udara luar agar bersentuhan dengan membran
kapiler alveoli, yang merupakan pemisah antara sistem pernapasan dengan sistem
kardiovaskuler.
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring,
trakea, bronkus, dan bronkiolus atau bronkiolus terminalis. Saluran pernapasan dari hidung
sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk ke
dalam rongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses
ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat,
bersilia dan bersel goblet.
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru-
paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorius, yang
terkadang memiliki kantung udara kecil atau alveoli pada dindingnya, duktus alveolaris,
seluruhnya dibatasi oleh alveoli, dan sakus alveolaris terminalis, merupakan struktur akhir
paru-paru.
Alveolus pada hakekatnya merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi oleh suatu
jalinan kapiler, maka batas antara cairan dan gas membentuk suatu tegangan permukaan yang
cenderung mencegah suatu pengembangan pada waktu inspirasi dan cenderung kolaps pada
waktu ekspirasi. Tetapi, untunglah alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan
surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi terhadap
pengembangan pada waktu inspirasi, dan mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi.
Ruang alveolus dipisahkan dari interstisium paru oleh sel epitel alveoli tipe I, yang
dalam kondisi normal membentuk suatu barrier yang relatif non-permeabel terhadap aliran
cairan dari interstisium ke rongga-rongga udara. Fraksi yang besar ruang interstisial dibentuk
oleh kapiler paru yang dindingnya terdiri dari satu lapis sel endotel di atas membran basal,
sedang sisanya merupakan jaringan ikat yang terdiri dari jalinan kolagen dan jaringan elastik,
fibroblas, sel fagositik, dan beberapa sel lain. Faktor penentu yang penting dalam
pembentukan cairan ekstravaskular adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam
lumen kapiler dan ruang interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, solut, dan
molekul besar seperti protein plasma. Faktor-faktor penentu ini dijabarkan dalam hukum
starling.
B. DEFINISI
Acute Lung Oedema (ALO) adalah adanya akumulasi cairan di paru yang terjadi secara
mendadak dan massif di rongga alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan
respirasi dan ancaman gagal nafas.
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan cairan di paru-paru.
cairan ini terkumpul dalam kantung-kantung udara di paru-paru banyak, sehingga sulit untuk
bernapas. Dalam kebanyakan kasus, masalah jantung menyebabkan edema paru. Tapi cairan
dapat menumpuk karena alasan lain, termasuk pneumonia, paparan terhadap racun tertentu
dan obat-obatan, dan olahraga atau hidup pada ketinggian tinggi.
Pulmonary edema adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru. Area
yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati oleh
kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen
dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan
kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang
sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari
alveoli kecuali dinding-dinding ini kehilangan integritasnya.
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di intersisial dan alveolus paru yang terjadi
secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema
paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non
kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi
gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia (Harun
dan Saly, 2009; Soemantri 2011).

C. ETIOLOGI
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus (Harun dan Sally, 2009):
1. Ketidakseimbangan “Starling Force”
a.   Peningkatan tekanan vena pulmonalis
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat
sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang biasanya berkisar 28
mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis
adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya
edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain: tanpa gagal ventrikel
kiri (mis: stenosis mitral), sekunder akibat gagal ventrikel kiri, peningkatan
tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan tekanan arterial paru (sehingga
disebut edema paru overperfusi).
b.   Penurunan tekanan onkotik plasma
Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga
peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada
hipoalbuminemia akan menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia dapat
menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial sehingga cairan
dapat berpindah lebih mudah diantara sistem kapiler dan limfatik.
c.   Peningkatan negativitas dari tekanan interstitial
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural.
Kedaaan yang sering menjadi etiologi adalah: perpindahan yang cepat pada
pengobatan pneumothoraks dengan tekanan negatif yang besar. Keadaan ini
disebut ‘edema paru re-ekspansi’. Edema biasanya terjadi unilateral dan
seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang
minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan ‘edema paru re-ekspansi’ ini berat
dan membutuhkan tatalaksana yang cepat dan ekstensif, tekanan negatif pleura
yang besar akibat obstruksi jalan nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi
akhir (misalnya pada asma bronkhial).
2. Gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli: (ARDS = Adult Respiratory
Distress Syndrome).
Kedaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan
alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang berhubungan
dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan
‘Straling Force’
· Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
· Terisap toksin (NO, asap)
· Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
· Aspirasi asam lambung
· Pneumonitis akut akibat radiasi
· Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)
· Dissemiated Intravascular Coagulation
· Immunologi: pneumonitis hipersensitif
· Shock-lung  pada trauma non thoraks
· Pankreatitis hemoragik akut
3. Insuffisiensi sistem limfe
· Pasca transplantasi paru
· Karsinomatosis, limfangitis
· Limfangitis fibrotik (siilikosis)
4. Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya
· “High altitude pulmonary edema”
· Edema paru neurogenik
· Overdosis obat narkotik
· Emboli paru
· Eklamsia
· Pasca anastesi
· Post cardiopulmonary bypass

D. MANIFESTASI KLINIS (TANDA DAN GEJALA)


Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin
adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan,
atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema
akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat
mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on
exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan.
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-
pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan
stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales
atau crackles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden
pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas).
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
a. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya
ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat
inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis
Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan lebih
memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh
gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea.
Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial
diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi
right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi
pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada
keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and Braunwald,
1988).
Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi
kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria,
terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah de-
ngan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan menghambat
cyclooxygenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase akan mengurangi edema’
paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada ma-nusia
masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang kadang penderita dengan Infark
Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini
mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografi
meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa
penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh
karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.
E. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan  non-
kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda.
Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya.
Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung  Kiri Akut.
Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat  terjadi pula pada penderita Payah Jantung
Kiri Khronik
a. Cardiogenic pulmonary edema
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada
organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa
tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa.
Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam pembuluh-
pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang buruk. Gagal
jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang
dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit atau kelemahan
dari otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung yang abnormal
dapat menjurus pada akumulasi dari lebih dari jumlah darah yang biasa dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Ini dapat, pada gilirannya, menyebabkan
cairan dari pembuluh-pembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan
membesar.
b. Non-cardiogenic pulmonary edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal
berikut:
1) Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor
yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
2) Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah,
trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok
kokain, atau radiasi pada paru-paru.
3) Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat
pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut,
dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
4) High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan
yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
5) Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure
yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan
di paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
6) Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-
expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru
mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru
(pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini
dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh
(unilateral pulmonary edema).
7) Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary
edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat
menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin
menyebabkan pulmonary edema.
8) Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary
edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah
berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau
transfusion-related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau
eclampsia pada wanita-wanita hamil.
F. PATOFISIOLOGI
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan
tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan
transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru lebih besar daripada tekanan pleural maka
cairan bergerak menuju pleura visceralis yang menyebabkan efusi pleura. Sejak
permeabilitas kapiler endothel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi
memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler
pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri. Peningkatan
ringan tekanan atrium kiri (18 – 25 mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan
ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25)
maka cairan edema akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus (gambar 2.4B).
Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses
sebagai berikut (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010) :
·    Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan
oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
      Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal
sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan
melalui mekanime interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
     Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung.
Penghapusan cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada transporaktif natrium
dan klorida melintasi barier epitel alveolar. Bagian utama reabsorbsi natrium dan klorida
adalah ion channels epitel yang terdapat pada membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II
serta epitel saluran nafas distal. Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang interstitial
dengan cara Na/ K-ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara
pasif mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang
ditemukan terutama pada epitel alveolar sel tipe I (Lorraine et al, 2005).
Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis Acute
Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai munculnya gejala dan
tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang tidak normal
(Maria, 2010).
Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan
dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan tekanan
di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada
permiabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil akhir yang terjadi
adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas (Harun dan Sally,
2009).
Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan
pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan
tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara diparu dan meningkatkan
kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas
saat melakukan aktivitas  fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran
nafas yang tertutup (Harun dan Sally, 2009).
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema
interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar dengan
jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya
gambaran paru yang normal secara radiografik dan petanda septum interlobuler (garis
Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara
pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan didaerah di interstitium
yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang
menimbulkan refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi
akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang
semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia
berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali
ditemukan manifestasi klinis takipnea (Harun dan Sally, 2009).
Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edema paru
tesebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat
dan seringkali hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian
besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah, yang
seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan
volume paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada
intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun hipokapnea
yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi
hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah
menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah
diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus
dengan pemantau yang ketat (Harun dan Sally, 2009).
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik maka
sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke
dalam intersisial paru dan alveolus. Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar
protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh
molekul besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya
edema interstitial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari
epitel alveolar untuk secara aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru
akibat acute lung injury dimana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan
penurunan kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005;
Maria, 2010).
Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang
merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara. Ini
dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas (oksigen dan karbon
dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang buruk.
Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air dalam paru-paru” ketika menggambarkan
kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-
faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung, disebut cardiogenic
pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-
cardiogenic pulmonary edema.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa
kemiripan.
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edema
paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah rutin, fungsi
ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB,
troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan prekursornya Pro BNP
dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada
kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan dengan pulmonary artery
occlusion pressure, left ventricular end-diastolic pressure dan left ventricular
ejection fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar
100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura
dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV
filling Pressure (Pasquate et al, 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test
diagnosis rutin untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman
diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian
menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam
menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya (AHA, 2009).
b. Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel
vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley
A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran ilustrasi 2.5
(Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada
foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel
vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena azygos
dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10mm
sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax terlentang dikatakan
abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika
dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanya
overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak
secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik
juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi,
inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
c. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri.
Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat
dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010).
d. EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau
infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran
EKG biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema
paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukkan gambaran
gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan
membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu.
Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan yang
dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus
simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau
ketokolamin (Harun dan Sally, 2009).
e. Kateterisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal (Pulmonary artery occlusion pressure / PAOP)
dianggap sebagai pemeriksaan gold standard untuk menentukan penyebab edema
paru akut. Lorraine dkk mengusulkan suatu algoritma pendekatan klinis untuk
membedakan kedua jenis edema tersebut (Gambar 2.7). Disamping itu, ada sekitar
10% pasien dengan edema paru akut dengan penyebab multipel. Sebagai contoh,
pasien syok sepsis dengan ALI, dapat mengalami kelebihan cairan karena resusitasi
yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya, pasien dengan gagal jantung kongesti dapat
mengalami ALI karena pneumonia (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Gambaran Radiologi yang ditemukan :
- Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)
- Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
- Kranialisasi vaskuler
- Hilus suram (batas tidak jelas)
- Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul
milier)

H. PENATAKLAKSANAAN
- Posisi ½ duduk.
- Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
- Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
- Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
- Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10
menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena
mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
- Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai
dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg
pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat
dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
- Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
- Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
- Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit
atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
- Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
- Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
- Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel / corda tendinae.
Menurut Lippincott Wiiliams & Wilkins (2008) tindakan keperawatan yang dapat dilakukan oleh
perawat adalah sebagai berikut:
a. Secara seksama pantau pasien yang berisiko untuk melihat apakah ada tanda edema
pulmoner, terutama takipnea, taikardi, dan bunyi napas abnormal. Periksa adanya edema
perifer, yang juga bisa mengindikasikan bahwa cairan terakumulasi dalam jaringan pulmoner.
b. Beri oksigen sesuai perintah dan pantau adanya efek.
c. Pantau tanda vital tiap 15 sampai 30 menit saat memberikan nitroprusside dalam dextrose
5% dalam air melalui tetesan I.V.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah gagal napas. Selain itu kebanyakan
komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-komplikasi
yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema
dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-paru.
Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada pengantaran
oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak (Panji, 2008).
J. PENGKAJIAN
1. Identitas    :
2. Umur         : Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan
remaja/dewasa muda
3. Riwayat Masuk
Klien  biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-batuk
disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat
terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan
masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis,
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal
mungkin ditemui pada klien
5. Pemeriksaan fisik
- Sistem Integumen
Subyektif         : -
Obyektif          : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder),
banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
- Sistem Pulmonal
Subyektif         : sesak nafas, dada tertekan
Obyektif      : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar
stridor, ronchii pada lapang paru,
- Sistem Cardiovaskuler
Subyektif         : sakit dada
Obyektif          : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas
darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
- Sistem Neurosensori
Subyektif        : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif          : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
- Sistem Musculoskeletal
Subyektif         : lemah, cepat lelah
Obyektif          : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot
aksesoris pernafasan
- Sistem genitourinaria
Subyektif         : -
Obyektif          : produksi urine menurun/normal,
- Sistem digestif
Subyektif         : mual, kadang muntah
Obyektif          : konsistensi feses normal/diare
6. Pemeriksaan Laboratorium  :
- Hb                                : menurun/normal
- Analisa Gas Darah      : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah,
kadar karbon darah meningkat/normal
- Elektrolit                     : Natrium/kalsium menurun/normal).
K. DIAGNOSA
1. Ketidakefektifan pola nafas  berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat bantu
nafas
2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme sekunder
terhadap pemasangan selang endotrakeal
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan kontraktilitas otot jantung
5. Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
terhadapprosedur medis
6. Resiko terjadi trauma berhubungan dengan kegelisahan sekunder terhadap pemasangan
alat bantu nafas
7. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis aktual sekunder terhadap
pemasangan alat bantu nafas
8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang endotrakeal
M. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No Diagnosa NOC Intervensi (NIC)


1 Ketidakefektifan Respiratory status: ventilation Airway management
pola nafas Respiratory status: aiway patency Oxygen therapy
berhubungan Vital sign status Vital sign monitoring
dengan keadaan Indicator 1 2 3 4 5 1. Atur posisi semi fowler
tubuh yang lemah Tidak ada √ 2. Observasi tanda dan gejala
dyspneu sianosis
Irama nafas √
Frekuensi √ 3. Auskultasi suara napas
pernapasan tambahan
Tidak ada √ 4. Berikan terapi oksigenasi
suara nafas 5. Pertahankan jalan napas
abnormal paten
TTV dalam √
6. Observasi tanda-tanda vital
batas normal√
7. Monitor irama dan
frekuensi pernapasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola napas
abnormal
10. Observasi timbulnya
gagal nafas.
11. Kolaborasi dengan
tim medis dalam
memberikan pengobatan
2 Gangguan Respiratory status: gas exchange Airway management
pertukaran Gas Respiratory status: ventilation Respiratory monitoring
berhubungan Vital sign status Acid base management
dengan distensi Indicator 1 2 3 4 5 1. Atur posisi semi fowler
kapiler pulmonar Tidak ada √ 2. Observasi tanda dan
dyspneu gejala sianosis
Batuk efektif √
Irama nafas √ 3. Auskultasi suara napas
Frekuensi √ tambahan
pernapasan 4. Berikan terapi oksigenasi
Tidak ada √
5. Pertahankan jalan napas
suara nafas
paten
abnormal
TTV dalam √ 6. Observasi tanda-tanda

batas normal√ vital


7. Monitor irama dan
- BGA normal: frekuensi pernapasan
 partial pressure of oxygen 8. Monitor suara paru
(PaO2): 75-100 mm Hg 9. Monitor pola napas
 partial pressure of carbon abnormal
dioxide (PaCO2): 35-45 mm Hg 10. Tentukan kebutuhan
 oxygen content (O2CT): 15- suction
23% 11. Observasi timbulnya
 oxygen saturation (SaO2): 94- gagal nafas.
100% 12. Kolaborasi dengan tim
 bicarbonate (HCO3): 22-26 medis dalam
mEq/liter memberikan pengobatan
 pH: 7.35-7.45 13. Pertahankan iv line
14. Monitor BGA
3 Resiko tinggi Immune status Infection control
infeksi Risk control Infection protection
berhubungan Indicator 1 2 3 4 5 1. Instruksikan pengunjung
dengan area Tidak ada √ untuk mencuci tangan
invasi tanda-tanda sebelum dan stelah
mikroorganisme infeksi mengunjungi pasien
Jumlah √
sekunder 2. Pertahankan teknik
leukosit dalam
terhadap aseptic saat pemasangan
batas normal
pemasangan alat
selang 3. Tingkatkan intak nutrisi
endotrakeal 4. Berikan terapi antibiotic
jika perlu
5. Monitor leukosit
6. Pertahankan iv line
7. Tingkstksn istirahat

Implementasi
Melakukan tindakan berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul baik yang
actual, maupun potensial sesuai dengan prioritas diagnosa yang sudah ditetapkan.
Evaluasi:
Menyimpulkan hasil dari pengkajian sejauh mana keberhasilan tindakan keperawatan
mencapai kriteria hasil sehingga dapat diputuskan apakah intervensi yang diberikan
akan tetap dilanjutkan, dihentikan atau diganti jika tindakan sebelumnya kurang
berhasil.

TERAPI OKSIGEN (TX O2)

Pendahuluan
Oksigen (O2) merupakan salah satu komponen gas dan unsure vital dalam
proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel tubuh.
Secara normal elemen ini iperoleh dengan cara menghirup udara ruangan dalam
setiap kali bernafas.
Penyampaian O2 ke jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi system respirasi,
kardiovaskuler dan keadaan hematologis. Adanya kekurangan O2 ditandai dengan
keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian jaringan
bahkan dapat mengancam kehidupan. Klien dalam situasi demikian mengharapkan
kompetensi perawat dalaam mengenal keadaan hipoksemidengan segera untuk
mengatasi masalah.
Pemberian terapi O2 dalam asuhan keperawatan, memerlukan dasar
pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya O2 dari atmosfir
hingga sampai ke tingkat sel melalui alveoli paru dalam proses respirasi. Berdasarkan
hal tersebut maka perawat harus memahami indikasi pemberian O2, metode
pemberian O2 dan bahaya-bahaya pemberian O2.

Proses Respirasi
Proses respirasi merupakan proses pertukaran gas yang masuk dan keluar
melaluikerjasama dengan sistem kardiovaskuler dan kondisi hematologis.
Oksigen di atmosfir mengandung konsentrasi sebesar 20,9 % akan masuk ke alveoli
melalui mekanisme ventilasi kemudian terjadi proses pertukaran gas yang disebut
proses difusi. Difusi adalah suatu perpindahan/ peralihan O2 dari konsentrasi tinggi
ke konsentrasi rendah dimana konsentrasi O2 yang tinggi di alveoli akan beralih ke
kapiler paru dan selanjutnya didistribusikan lewat darah dalam 2 (dua) bentuk yaitu :
(1) 1,34 ml O2 terikat dengan 1 gram Hemoglobin (Hb) dengan persentasi kejenuhan
yang disebut dengan “Saturasi O2” (SaO2), (2) 0,003 ml O2 terlarut dalam 100 ml
plasma pada tekanan parsial O2 di arteri (PaO2) 1 mmHg. Kedua bentuk
pengangkutan ini disebut sebagai kandungan O2 atau “Oxygen Content” (CaO2)
dengan formulasi :

CaO2 = (1,34 x Hb x SaO2) + (0,003 x PaO2)

Sedangkan banyaknya O2 yang ditransportasikan dalam darah disebut dengan


“Oxigen Delivery” (DO2) dengan rumus :

DO2 = (10 x CaO2) x CO


Dimana CO adalah “Cardiac Output” (Curah Jantung). CO ini sangat tergantung
kepada besar dan ukuran tubuh, maka indikator yang lebih tepat dan akurat
adalahdengan menggunakan parameter “Cardiac Index” (CI). Oleh karena itu
formulasi DO2 yang lebih tepat adalah :

DO2 = (10 x CaO2) x CI


Selanjutnya O2 didistribusikan ke jaringan sebagai konsumsi O2 (VO2) Nilai VO2
dapat diperoleh dengan perbedaan kandurngan O2 arteri dan vena serta CI dengan
formulasi sebagai berikut :

VO2a = (CaO2 – CvO2) x CI


Selain faktor difusi dan pengangkutan O2 dalam darah maka faktor masuknya O2
kedalam alveoli yang disebut sebagai ventilasi alveolar.

Ventilasi Alveolar
Ventilasi alveolar adalah salah satu bagian yang penting karena O2 pada
tingkat alveoli inilah yang mengambil bagian dalam proses difusi. Besarnya ventilasi
alveolar berbanding lurus dengan banyaknya udara yang masuk keluar paru, laju
nafas,udara dalam jalan nafas serta keadaan metabolik.
Banyaknya udara masuk keluar paru dalam setiap kali bernafas disebut
sebagai “Volume Tidal” (VT) yang bervariasi tergantung pada berat badan. Nilai VT
normal pada orang dewasa berkisar 500 – 700 ml dengan menggunakan “Wright’s
Spirometer”. Volume nafas yang berada di jalan nafas dan tidak ikut dalam
pertukaran gas disebut sebagai “Dead Space” (VD)(Ruang Rugi) dengan nilai normal
sekitar 150 - 180 ml yang terbagi atas tiga yaitu : (1) Anatomic Dead Space, (2)
Alveolar Dead Space, (3) Physiologic Dead Space. Anatomic Dead Space yaitu
volume nafas yang berada di dalam mulut, hidung dan jalan nafas yang tidak terlibat
dalam pertukaran gas.

Alveolar Dead Space yaitu volume nafas yang telah berada di alveoli, akan
tetapi tidak terjadi pertukaran gas yang dapat disebabkan karena di alveoli tersebut
tidak ada suplai darah. Dan atau udara yang ada di alveoli jauh lebih besar jumlahnya
dari pada aliran darah pada alveoli tersebut.Ventilasi alvealor dapat diperoleh dari
selisih volume tidal dan ruang rugi, dengan laju nafas dalam 1 menit.

VA = (VT – VD) x RR
Sedangkan tekanan parsial O2 di alveolar (PaO2) diperoleh dari fraksi O2 inspirasi
(FiO2) yaitu 20,9 % yang ada di udara, tekanan udara, tekanan uap air, tekanan
parsial CO2 di arteri (PaCO2).

PaO2 = FiO2 (760 – 47) – (PaCO2 : 0,8)


Demikian faktor-faktor yang mempengaruhi proses respirasi dimana respirasi tidak
saja pertukaran gas pada tingkat paru (respirasi eksternal) tetapi juga pertukaran
gas yang terjadi pada tingkat sel (respirasi internal).

Terapi Oksigen
Terapi O2 merupakan salah satu dari terapi pernafasan dalam mempertahankan
okasigenasi jaringan yang adekuat. Secara klinis tujuan utama pemberian O2 adalah
untuk mengatasi keadaan Hipoksemia sesuai dengan hasil Analisa Gas Darah,
untuk menurunkan kerja nafas dan meurunkan kerja miokard.
Syarat-syarat pemberian O2 meliputi :
1. Konsentrasi O2 udara inspirasi dapat terkontrol
2. Tidak terjadi penumpukan
3. Mempunyai tahanan jalan nafas yang rendah
4. Efisien dan ekonomis
5. Nyaman untuk pasien
Dalam pemberian terapi O2 perlu diperhatikan “Humidification”. Hal ini
penting diperhatikan oleh karena udara yang normal dihirup telah
mengalami humidifikasi sedangkan O2 yang diperoleh dari sumber O2
(Tabung) merupakan udara kering yang belum terhumidifikasi, humidifikasi
yang adekuat dapat mencegah komplikasi pada pernafasan..

Indikasi Terapi Oksigen


Berdasarkan tujuan terapi pemberian O2 yang telah disebutkan, maka adapun
indikasi utama pemberian O2 ini adalah sebagai berikut :
1. Klien dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil analisa gas darah
2. Klien dengan peningkatan kerja nafas, dimana tubuh berespon terhadap
keadaan hipoksemi melalui peningkatan laju dan dalamya pernafasan serta
adanya kerja otot-otot tambahan pernafasan
3. Klien dengan peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha untuk
mengatasi gangguan O2 melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.
Berdasarkan indikasi utama diatas maka terapi pemeberian O2 diindikasikan
kepada klien dengan gejala:
1. Sianosis
2. Hipovolemi
3. Perdarahan
4. Anemia berat
5. Keracunan CO
6. Asidosis
7. Selama dan sesudah pembedahan
8. Klien dengan keadaan tidak sadar
Metode Pemberian Oksigen
Metode pemberian O2 dapat dibagi atas 2 tehnik, Yaitu:
a. Metode Aliran darah
Tehnik system aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara
ruangan.Tehnik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada tipe
pernafasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O2 sistem aliran
rendahPemberian O2 sistem aliran rendah ini ditujukan untuk klien yang
memerlukan O2 tetapi masih mampu bernafas dengan pola pernafasan normal,
misalnya klien dengan volume tidal 500 ml dengan kecepatan pernafsan 16-20
kali permenit.
Contoh system aliran rendah ini adalah :
 Kateter Nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 secara kontinu
dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi 24% - 44%.
Keuntungan:
Pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak, makan dan berbicara, murah
dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap.

Kerugian:
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih dari 45%, tehnik
memasuk kateter nasal lebih sulit dari pada kanula nasal, dapat terjadi
distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput lendir nasofaring, aliran
dengan lebih dari 6 L/mnt dapat menyebabkan nyeri sinus dan
mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah tersumbat.
 Nasal Kanula
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu dengan
aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi O2 sama dengan kateter nasal.
Keuntungan:
Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur,
mudah memasukkan kanul disbanding kateter, klien bebas makan,
bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan nyaman.
Kerugian:
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai O2
berkurang bila klien bernafas lewat mulut, mudah lepas karena kedalam
kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.
 Simple Mask
Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt
dengan
konsentrasi O2 40 – 60%.
Keuntungan:
Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal,
system humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup
berlobang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol.
Kerugian:
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat
menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah.
 Rebreathing Mask
uatu tehinik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80% dengan
aliran 8 – 12 L/mnt.
Keuntungan:
Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak
mengeringkan selaput lendir.
Kerugian:
Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih rendah
dapat menyebabkan penumpukan CO2, kantong O2 bisa terlipat.

 Non Rebreathing Mask


Merupakan tehinik pemberian O2 dengan Konsentrasi O2 mencapai 99%
dengan aliran 8 – 12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak bercampur dengan
udara ekspirasi.
Keuntungan:
Konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi 100%, tidak mengeringkan
selaput lendir.
Kerugian:
Kantong O2 bisa terlipat.
b. Metode Sistem Aliran Tinggi
Suatu tehnik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh
tipe pernafasan, sehingga dengan tehnik ini dapat menambahkan konsentrasi O2
yang lebih tepat dan teratur. Adapun contoh tehnik system aliran tinggi yaitu
sungkup muka dengan ventury. Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu
gas yang dialirkan dari tabung akan menuju ke sungkup yang kemudian akan
dihimpit untuk mengatur suplai O2 tercipta tekanan negatif, akibatnya udara luar
dapat diisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada
alat ini sekitas 4 – 14 L/mnt dengan konsentrasi 30 – 55%.
Keuntungan:
Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk pada alat dan
tidak dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap FiO2, suhu dan kelembaban
gas dapat dikontrl serta tidak terjadi penumpukan CO2.
Kerugian:
Kerugian system ini pada umumnya hampir sama dengan sungkup muka
yang lain pada aliran rendah.

Bahaya Pemberian Terapi Oksigen


a. Kebakaran
O2 bukan zat pembakar tetapi O2 dapat memudahkan terjadinya kebakaran, oleh
karena itu klein dengan terapi pemberian O2 harus menghindari : Merokok,
membukan alat listrik dalam area sumber O2, menghindari penggunaan listrik
tanpa “Ground”.
b. Depresi Ventilasi
Pemberian O2 yang tidak dimonitor dengan konsentrasi dan aliran yang tepat
pada klien dengan retensi CO2 dapat menekan ventilasi.
c. Keracunan Oksigen
Dapat terjadi bila terapi O2 yang diberikan dengan konsentrasi tinggi dalam
waktu relatif lama. Keadaan ini dapat merusak struktur jaringan paru seperti
atelektasi dan kerusakan surfaktan. Akibatnya proses difusi di paru akan
terganggu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Brunner &Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah volume 2. Jakarta:
EGC.
2. Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
3. Harrison. 1995. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume3. Yogyakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Simon, G. 1981. Diagnostik Rontgen untuk Mahasiswa Klinik dan Dokter Umum.
Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga.
5. Smeltzer C.S & Bare B.(2003). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical
Surgical Nursing. 10th Edition. Philadelphia: Lippincott.
6. AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and
Management of Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016.
7. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation In Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N
Engl J Med 2008;359:142-51.
8. Daulat. Tatalaksana Gagal Jantung Akut. 2009. In: Sudoyo  AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati  S, editor.  Buku ajar ilmu penyakit  dalam. 5th Ed.
Jakarta:  Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. p. 1515-1519.
9. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96.
10. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis
VAP.Anestesia & Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.
11. McCance KL. 2006. Structure and Function of The Cardiovascular and Lymphatic
Systems. In: McCance KL, Huether SE. Pathophysiology: The Biologic Basis for
Disease in Adults and Children. USA: Elsevier Mosby; p. 1075.
12. Ursella et al. The Use of Non-Invasive Ventilation in The Treatment of Acute
Cardiogenic Pulmonary Edema. European Review for Medical and Pharmacological
Sciences. 2007; 11: 193-205.
13. Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. Applying Consensus Guidelines in the
Management of acute decompensated heart failure. [monograph on the internet].
California : 41st ASHP Midyear Clinical Meeting; 2006 [cited 2015 Okt 4].
Available from www.ashpadvantage.com/website_ images/pdf/adhf_scios_06.pdf.

Anda mungkin juga menyukai