A. ANATOMI FISIOLOGI
Secara harafiah pernapasan berarti pergerakan oksigen dari atmosfer menuju ke sel-sel
dan keluarnya karbon dioksida dari sel-sel ke udara bebas. Proses pernapasan terdiri dari
beberapa langkah di mana sistem pernapasan, sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskuler
memegang peranan yang sangat penting. Pada dasarnya, sistem pernapasan terdiri dari suatu
rangkaian saluran udara yang menghantarkan udara luar agar bersentuhan dengan membran
kapiler alveoli, yang merupakan pemisah antara sistem pernapasan dengan sistem
kardiovaskuler.
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring,
trakea, bronkus, dan bronkiolus atau bronkiolus terminalis. Saluran pernapasan dari hidung
sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk ke
dalam rongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses
ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat,
bersilia dan bersel goblet.
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru-
paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorius, yang
terkadang memiliki kantung udara kecil atau alveoli pada dindingnya, duktus alveolaris,
seluruhnya dibatasi oleh alveoli, dan sakus alveolaris terminalis, merupakan struktur akhir
paru-paru.
Alveolus pada hakekatnya merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi oleh suatu
jalinan kapiler, maka batas antara cairan dan gas membentuk suatu tegangan permukaan yang
cenderung mencegah suatu pengembangan pada waktu inspirasi dan cenderung kolaps pada
waktu ekspirasi. Tetapi, untunglah alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan
surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi terhadap
pengembangan pada waktu inspirasi, dan mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi.
Ruang alveolus dipisahkan dari interstisium paru oleh sel epitel alveoli tipe I, yang
dalam kondisi normal membentuk suatu barrier yang relatif non-permeabel terhadap aliran
cairan dari interstisium ke rongga-rongga udara. Fraksi yang besar ruang interstisial dibentuk
oleh kapiler paru yang dindingnya terdiri dari satu lapis sel endotel di atas membran basal,
sedang sisanya merupakan jaringan ikat yang terdiri dari jalinan kolagen dan jaringan elastik,
fibroblas, sel fagositik, dan beberapa sel lain. Faktor penentu yang penting dalam
pembentukan cairan ekstravaskular adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam
lumen kapiler dan ruang interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, solut, dan
molekul besar seperti protein plasma. Faktor-faktor penentu ini dijabarkan dalam hukum
starling.
B. DEFINISI
Acute Lung Oedema (ALO) adalah adanya akumulasi cairan di paru yang terjadi secara
mendadak dan massif di rongga alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan
respirasi dan ancaman gagal nafas.
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan cairan di paru-paru.
cairan ini terkumpul dalam kantung-kantung udara di paru-paru banyak, sehingga sulit untuk
bernapas. Dalam kebanyakan kasus, masalah jantung menyebabkan edema paru. Tapi cairan
dapat menumpuk karena alasan lain, termasuk pneumonia, paparan terhadap racun tertentu
dan obat-obatan, dan olahraga atau hidup pada ketinggian tinggi.
Pulmonary edema adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru. Area
yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati oleh
kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen
dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan
kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang
sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari
alveoli kecuali dinding-dinding ini kehilangan integritasnya.
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di intersisial dan alveolus paru yang terjadi
secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema
paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non
kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi
gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia (Harun
dan Saly, 2009; Soemantri 2011).
C. ETIOLOGI
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus (Harun dan Sally, 2009):
1. Ketidakseimbangan “Starling Force”
a. Peningkatan tekanan vena pulmonalis
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat
sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang biasanya berkisar 28
mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis
adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya
edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain: tanpa gagal ventrikel
kiri (mis: stenosis mitral), sekunder akibat gagal ventrikel kiri, peningkatan
tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan tekanan arterial paru (sehingga
disebut edema paru overperfusi).
b. Penurunan tekanan onkotik plasma
Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga
peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada
hipoalbuminemia akan menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia dapat
menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial sehingga cairan
dapat berpindah lebih mudah diantara sistem kapiler dan limfatik.
c. Peningkatan negativitas dari tekanan interstitial
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural.
Kedaaan yang sering menjadi etiologi adalah: perpindahan yang cepat pada
pengobatan pneumothoraks dengan tekanan negatif yang besar. Keadaan ini
disebut ‘edema paru re-ekspansi’. Edema biasanya terjadi unilateral dan
seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang
minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan ‘edema paru re-ekspansi’ ini berat
dan membutuhkan tatalaksana yang cepat dan ekstensif, tekanan negatif pleura
yang besar akibat obstruksi jalan nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi
akhir (misalnya pada asma bronkhial).
2. Gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli: (ARDS = Adult Respiratory
Distress Syndrome).
Kedaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan
alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang berhubungan
dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan
‘Straling Force’
· Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
· Terisap toksin (NO, asap)
· Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
· Aspirasi asam lambung
· Pneumonitis akut akibat radiasi
· Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)
· Dissemiated Intravascular Coagulation
· Immunologi: pneumonitis hipersensitif
· Shock-lung pada trauma non thoraks
· Pankreatitis hemoragik akut
3. Insuffisiensi sistem limfe
· Pasca transplantasi paru
· Karsinomatosis, limfangitis
· Limfangitis fibrotik (siilikosis)
4. Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya
· “High altitude pulmonary edema”
· Edema paru neurogenik
· Overdosis obat narkotik
· Emboli paru
· Eklamsia
· Pasca anastesi
· Post cardiopulmonary bypass
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa
kemiripan.
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edema
paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah rutin, fungsi
ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB,
troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan prekursornya Pro BNP
dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada
kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan dengan pulmonary artery
occlusion pressure, left ventricular end-diastolic pressure dan left ventricular
ejection fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar
100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura
dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV
filling Pressure (Pasquate et al, 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test
diagnosis rutin untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman
diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian
menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam
menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya (AHA, 2009).
b. Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel
vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley
A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran ilustrasi 2.5
(Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada
foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel
vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena azygos
dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10mm
sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax terlentang dikatakan
abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika
dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanya
overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak
secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik
juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi,
inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
c. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri.
Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat
dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010).
d. EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau
infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran
EKG biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema
paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukkan gambaran
gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan
membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu.
Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan yang
dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus
simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau
ketokolamin (Harun dan Sally, 2009).
e. Kateterisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal (Pulmonary artery occlusion pressure / PAOP)
dianggap sebagai pemeriksaan gold standard untuk menentukan penyebab edema
paru akut. Lorraine dkk mengusulkan suatu algoritma pendekatan klinis untuk
membedakan kedua jenis edema tersebut (Gambar 2.7). Disamping itu, ada sekitar
10% pasien dengan edema paru akut dengan penyebab multipel. Sebagai contoh,
pasien syok sepsis dengan ALI, dapat mengalami kelebihan cairan karena resusitasi
yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya, pasien dengan gagal jantung kongesti dapat
mengalami ALI karena pneumonia (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Gambaran Radiologi yang ditemukan :
- Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)
- Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
- Kranialisasi vaskuler
- Hilus suram (batas tidak jelas)
- Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul
milier)
H. PENATAKLAKSANAAN
- Posisi ½ duduk.
- Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
- Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
- Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
- Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10
menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena
mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
- Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai
dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg
pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat
dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
- Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
- Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
- Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit
atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
- Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
- Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
- Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel / corda tendinae.
Menurut Lippincott Wiiliams & Wilkins (2008) tindakan keperawatan yang dapat dilakukan oleh
perawat adalah sebagai berikut:
a. Secara seksama pantau pasien yang berisiko untuk melihat apakah ada tanda edema
pulmoner, terutama takipnea, taikardi, dan bunyi napas abnormal. Periksa adanya edema
perifer, yang juga bisa mengindikasikan bahwa cairan terakumulasi dalam jaringan pulmoner.
b. Beri oksigen sesuai perintah dan pantau adanya efek.
c. Pantau tanda vital tiap 15 sampai 30 menit saat memberikan nitroprusside dalam dextrose
5% dalam air melalui tetesan I.V.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah gagal napas. Selain itu kebanyakan
komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-komplikasi
yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema
dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-paru.
Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada pengantaran
oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak (Panji, 2008).
J. PENGKAJIAN
1. Identitas :
2. Umur : Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan
remaja/dewasa muda
3. Riwayat Masuk
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-batuk
disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat
terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan
masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis,
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal
mungkin ditemui pada klien
5. Pemeriksaan fisik
- Sistem Integumen
Subyektif : -
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder),
banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
- Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar
stridor, ronchii pada lapang paru,
- Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas
darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
- Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
- Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot
aksesoris pernafasan
- Sistem genitourinaria
Subyektif : -
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
- Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
6. Pemeriksaan Laboratorium :
- Hb : menurun/normal
- Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah,
kadar karbon darah meningkat/normal
- Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal).
K. DIAGNOSA
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat bantu
nafas
2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme sekunder
terhadap pemasangan selang endotrakeal
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan kontraktilitas otot jantung
5. Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
terhadapprosedur medis
6. Resiko terjadi trauma berhubungan dengan kegelisahan sekunder terhadap pemasangan
alat bantu nafas
7. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis aktual sekunder terhadap
pemasangan alat bantu nafas
8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang endotrakeal
M. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Implementasi
Melakukan tindakan berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul baik yang
actual, maupun potensial sesuai dengan prioritas diagnosa yang sudah ditetapkan.
Evaluasi:
Menyimpulkan hasil dari pengkajian sejauh mana keberhasilan tindakan keperawatan
mencapai kriteria hasil sehingga dapat diputuskan apakah intervensi yang diberikan
akan tetap dilanjutkan, dihentikan atau diganti jika tindakan sebelumnya kurang
berhasil.
Pendahuluan
Oksigen (O2) merupakan salah satu komponen gas dan unsure vital dalam
proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel tubuh.
Secara normal elemen ini iperoleh dengan cara menghirup udara ruangan dalam
setiap kali bernafas.
Penyampaian O2 ke jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi system respirasi,
kardiovaskuler dan keadaan hematologis. Adanya kekurangan O2 ditandai dengan
keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian jaringan
bahkan dapat mengancam kehidupan. Klien dalam situasi demikian mengharapkan
kompetensi perawat dalaam mengenal keadaan hipoksemidengan segera untuk
mengatasi masalah.
Pemberian terapi O2 dalam asuhan keperawatan, memerlukan dasar
pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya O2 dari atmosfir
hingga sampai ke tingkat sel melalui alveoli paru dalam proses respirasi. Berdasarkan
hal tersebut maka perawat harus memahami indikasi pemberian O2, metode
pemberian O2 dan bahaya-bahaya pemberian O2.
Proses Respirasi
Proses respirasi merupakan proses pertukaran gas yang masuk dan keluar
melaluikerjasama dengan sistem kardiovaskuler dan kondisi hematologis.
Oksigen di atmosfir mengandung konsentrasi sebesar 20,9 % akan masuk ke alveoli
melalui mekanisme ventilasi kemudian terjadi proses pertukaran gas yang disebut
proses difusi. Difusi adalah suatu perpindahan/ peralihan O2 dari konsentrasi tinggi
ke konsentrasi rendah dimana konsentrasi O2 yang tinggi di alveoli akan beralih ke
kapiler paru dan selanjutnya didistribusikan lewat darah dalam 2 (dua) bentuk yaitu :
(1) 1,34 ml O2 terikat dengan 1 gram Hemoglobin (Hb) dengan persentasi kejenuhan
yang disebut dengan “Saturasi O2” (SaO2), (2) 0,003 ml O2 terlarut dalam 100 ml
plasma pada tekanan parsial O2 di arteri (PaO2) 1 mmHg. Kedua bentuk
pengangkutan ini disebut sebagai kandungan O2 atau “Oxygen Content” (CaO2)
dengan formulasi :
Ventilasi Alveolar
Ventilasi alveolar adalah salah satu bagian yang penting karena O2 pada
tingkat alveoli inilah yang mengambil bagian dalam proses difusi. Besarnya ventilasi
alveolar berbanding lurus dengan banyaknya udara yang masuk keluar paru, laju
nafas,udara dalam jalan nafas serta keadaan metabolik.
Banyaknya udara masuk keluar paru dalam setiap kali bernafas disebut
sebagai “Volume Tidal” (VT) yang bervariasi tergantung pada berat badan. Nilai VT
normal pada orang dewasa berkisar 500 – 700 ml dengan menggunakan “Wright’s
Spirometer”. Volume nafas yang berada di jalan nafas dan tidak ikut dalam
pertukaran gas disebut sebagai “Dead Space” (VD)(Ruang Rugi) dengan nilai normal
sekitar 150 - 180 ml yang terbagi atas tiga yaitu : (1) Anatomic Dead Space, (2)
Alveolar Dead Space, (3) Physiologic Dead Space. Anatomic Dead Space yaitu
volume nafas yang berada di dalam mulut, hidung dan jalan nafas yang tidak terlibat
dalam pertukaran gas.
Alveolar Dead Space yaitu volume nafas yang telah berada di alveoli, akan
tetapi tidak terjadi pertukaran gas yang dapat disebabkan karena di alveoli tersebut
tidak ada suplai darah. Dan atau udara yang ada di alveoli jauh lebih besar jumlahnya
dari pada aliran darah pada alveoli tersebut.Ventilasi alvealor dapat diperoleh dari
selisih volume tidal dan ruang rugi, dengan laju nafas dalam 1 menit.
VA = (VT – VD) x RR
Sedangkan tekanan parsial O2 di alveolar (PaO2) diperoleh dari fraksi O2 inspirasi
(FiO2) yaitu 20,9 % yang ada di udara, tekanan udara, tekanan uap air, tekanan
parsial CO2 di arteri (PaCO2).
Terapi Oksigen
Terapi O2 merupakan salah satu dari terapi pernafasan dalam mempertahankan
okasigenasi jaringan yang adekuat. Secara klinis tujuan utama pemberian O2 adalah
untuk mengatasi keadaan Hipoksemia sesuai dengan hasil Analisa Gas Darah,
untuk menurunkan kerja nafas dan meurunkan kerja miokard.
Syarat-syarat pemberian O2 meliputi :
1. Konsentrasi O2 udara inspirasi dapat terkontrol
2. Tidak terjadi penumpukan
3. Mempunyai tahanan jalan nafas yang rendah
4. Efisien dan ekonomis
5. Nyaman untuk pasien
Dalam pemberian terapi O2 perlu diperhatikan “Humidification”. Hal ini
penting diperhatikan oleh karena udara yang normal dihirup telah
mengalami humidifikasi sedangkan O2 yang diperoleh dari sumber O2
(Tabung) merupakan udara kering yang belum terhumidifikasi, humidifikasi
yang adekuat dapat mencegah komplikasi pada pernafasan..
Kerugian:
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih dari 45%, tehnik
memasuk kateter nasal lebih sulit dari pada kanula nasal, dapat terjadi
distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput lendir nasofaring, aliran
dengan lebih dari 6 L/mnt dapat menyebabkan nyeri sinus dan
mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah tersumbat.
Nasal Kanula
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu dengan
aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi O2 sama dengan kateter nasal.
Keuntungan:
Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur,
mudah memasukkan kanul disbanding kateter, klien bebas makan,
bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan nyaman.
Kerugian:
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai O2
berkurang bila klien bernafas lewat mulut, mudah lepas karena kedalam
kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.
Simple Mask
Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt
dengan
konsentrasi O2 40 – 60%.
Keuntungan:
Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal,
system humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup
berlobang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol.
Kerugian:
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat
menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah.
Rebreathing Mask
uatu tehinik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80% dengan
aliran 8 – 12 L/mnt.
Keuntungan:
Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak
mengeringkan selaput lendir.
Kerugian:
Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih rendah
dapat menyebabkan penumpukan CO2, kantong O2 bisa terlipat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunner &Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah volume 2. Jakarta:
EGC.
2. Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
3. Harrison. 1995. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume3. Yogyakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Simon, G. 1981. Diagnostik Rontgen untuk Mahasiswa Klinik dan Dokter Umum.
Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga.
5. Smeltzer C.S & Bare B.(2003). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical
Surgical Nursing. 10th Edition. Philadelphia: Lippincott.
6. AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and
Management of Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016.
7. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation In Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N
Engl J Med 2008;359:142-51.
8. Daulat. Tatalaksana Gagal Jantung Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. p. 1515-1519.
9. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96.
10. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis
VAP.Anestesia & Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.
11. McCance KL. 2006. Structure and Function of The Cardiovascular and Lymphatic
Systems. In: McCance KL, Huether SE. Pathophysiology: The Biologic Basis for
Disease in Adults and Children. USA: Elsevier Mosby; p. 1075.
12. Ursella et al. The Use of Non-Invasive Ventilation in The Treatment of Acute
Cardiogenic Pulmonary Edema. European Review for Medical and Pharmacological
Sciences. 2007; 11: 193-205.
13. Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. Applying Consensus Guidelines in the
Management of acute decompensated heart failure. [monograph on the internet].
California : 41st ASHP Midyear Clinical Meeting; 2006 [cited 2015 Okt 4].
Available from www.ashpadvantage.com/website_ images/pdf/adhf_scios_06.pdf.