PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perasaan cemas merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami
oleh anak karena menghadapi stressor yang ada dilingkungan rumah sakit.
Perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan
belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak nyaman dan merasakan sesuatu
yang menyakitkan. Setiap anak yang di hospitalisasi akan menimbulkan
perasaan yang tidak aman seperti lingkungan asing, berpisah dari orangtua,
kurang informasi, kehilangan kebebasan dan kemandirian (Supartini, 2010).
World health organization (WHO) melaporkan bahwa hampir 4 juta
anak didunia dalam setahun mengalami hospitalisasi. Dari 4 juta anak
tersebut, 60% diantaranya berumur dibawah 7 tahun. Berdasarkan hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 anak usia 0-17tahun yang
mengalami keluhan kesehatan sebesar 28,56%. Anak-anak yang mengalami
keluhan kesehatan didaerah perkotaan sebesar 30,60%, relatif lebih tinggi
dibandingkan di pedesaan sebesar 26,39%. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara anak laki-laki dan anak perempuan yang memiliki keluhan
kesehatan baik di perkotaan maupun dipedesaan.Sebagian besar menjalani
rawat inap di rumah sakit pemerintah (39,33%) dan rumah sakit swasta
(38,47%) (Profil Anak Indonesia 2018).
Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan masalah utama pada anak
yang menjalani perawatan di rumah sakit. Anak akan mengalami perasaan
tertekan apabila mengalami hospitalisasi. Reaksi anak dalam mengatasi hal
tersebut dipengaruhi oleh tingkat perkembangan usia,pengalaman pernah
dirawat di rumah sakit, proses penyakit dan dirawat,sistem dukungan yang
tersedia serta keterampilan koping dalam menghadapi stress terutama pada
anak usia prasekolah (Kyle & Carman 2014).
Bagi seorang anak, keadaan sakit dan hospitalisasi menimbulkan stres
bagi kehidupannya. Anak sering menjadi tidak kooperatif terhadap perawatan
dan pengobatan di rumah sakit, anak menjadi sulit/menolak untuk didekati
oleh petugas apalagi berinteraksi. Mereka akan menunjukkan sikap marah,
menolak makan, menangis, berteriak-teriak, bahkan berontak saat melihat
perawat/dokter datang menghampirinya. Mereka beranggapan bahwa
kedatangan petugas hanya akan menyakiti mereka. Keadaan ini akan dapat
menghambat dan dapat menyulitkan proses pengobatan dan perawatan
terhadap anak yang sakit (Adriana 2013).
Reaksi yang sering juga ditunjukkan anak prasekolah yang menjalani
perawatan di rumah sakit adalah menolak tindakan keperawatan dan tidak
kooperatif dengan petugas. Pada saat anak menjalani perawatan, merekadapat
kehilangan kontrol secara signifikan. Anak prasekolah mungkin paham
bahwa berada di rumah sakit karena mereka sakit, tetapi mereka tidak tahu
penyebab penyakit mereka. Anak prasekolah biasanya takut terhadap
prosedur invasif. Pemikiran anak usia prasekolah diantaranya, yaitu berwujud
(konkret), mereka percaya bahwa perbuatan (egosentrik) dan pemikiran
personal menyebabkan mereka sakit,serta pemikiran magis; berpikir fantasi
dan kreativitas. Ketiga pemikiran tersebut menyebabkan anak tidak
kooperatif (tidak bisa diajak kerja sama) selama menjalani perawatan di
rumah sakit (Kyle & Carman 2014).
Respon anak usia prasekolah yang menjalani perawatan di rumah sakit
adalah menolak untuk dirawat, menangis karena berhadapan dengan
lingkungan baru, dan melihat alat-alat medis, takut terhadap tenaga medis
(perawat atau dokter), tidak mau ditinggal oleh orangtua, memberontak, tidak
mau makan, tidak kooperatif, serta rewel (Agustin 2013).
Terapi bermain adalah usaha untuk mengubah sikap yang bermasalah
dengan menempatkan anak dengan metode bermain. Bermain pada anak usia
prasekolah bersifat asosiatif (interaktif dan kooperatif) serta memerlukan
teman sebaya. Terapi bermain diharapkan mampu mengurangi batasan,
hambatan diri, stress, dan masalah emosi.Terapi bermain juga diharapkan
mengubah anak menjadi lebih kooperatif atau mudah diajak kerjasama
selama masa perawatan. Dunia anak adalah dunia bermain. Melalui kegiatan
bermain, semua aspek perkembangan anak ditumbuhkan sehingga anak-anak
menjadi lebih sehat sekaligus cerdas. Saat bermain anak-anak mempelajari
banyak hal penting. Sebagai contoh, dengan bermain bersama teman, anak-
anak akan lebih terasah rasa empatinya, mereka juga bisa mengatasi
penolakan dan dominasi, serta bisa mengelola emosi. Terapi bermain diyakini
mampu menghilangkan batasan, hambatan dalam diri, stres, frustasi serta
mempunyai masalah emosi dengan tujuan mengubah tingkah laku anak yang
tidak sesuai menjadi tingkah laku yang diharapkan dan anak sering diajak
bermain akan lebih kooperatif dan mudah diajak kerjasama selama masa
perawatan. Bermain juga menjadi media terapi yang baik bagi anak-anak
bermasalah selain berguna untuk mengembangkan potensi anak (Adriana
2013).
Menggambar atau mewarnai merupakan salah satu permainan yang
memberikan kesempatan anak untuk bebas berekspresi dan sangat terapeutik
(sebagai permainan penyembuh). Anak dapat mengekspresikan perasaannya
dengan cara mewarnai gambar, ini berarti mewarnai gambar bagi anak
merupakan suatu cara untuk berkomunikasi tanpa menggunakan kata-kata.
Dengan menggambar atau mewarnai gambar juga dapat memberikan rasa
senang karena pada dasarnya anak usia pra sekolah sudah sangat aktif dan
imajinatif selain itu anak masih tetap dapat melanjutkan perkembangan
1
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “lebih efektif mana terapi
mewarnai gambar dan terapi bermain puzzle gambar terhadap penurunan tingkat
kecemasan pada anak usia prasekolah selama menjalani perawatan di ruang samolo 3
RSUD Sayang Cianjur Tahun 2020 ?”
C. TujuanPenelitian
1. Tujuan Umum
2
D. Manfaat Penelitian
1. Ilmu Pengetahuan
Bagi ilmu pengetahuan diharapkan dapat menjadi referensi dan dapat
menambah wawasan tentang pengaruh terapi bermain puzzle terhadap tingkat
kooperatif anak usia prasekolahselama menjalani perawatan.
2. Perawat maupun Masyarakat
Hasil penelitian ini kiranya dapat menambah pengetahuan terutama tentang
pengaruh terapi bermain puzzle terhadap tingkat kooperatifanak usia prasekolah
selama menjalani perawatan, sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
3. RS Woodward Palu
Penelitian ini dapat memberi gambaran tentang pengaruh terapi bermain
puzzle terhadap tingkat kooperatif anak usia prasekolahselama menjalani
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3. Dampak Hospitalisasi
Menurut Hockenberry (2015) dampak hospitalisasi pada anakusia
prasekolahmeliputi :
a) Dampak perpisahan
Perpisahan dengan orang yang dapat memberinya semangat
menimbulkan suatu kecemasan pada anak. Perpisahan dengan figur
pemberi kasih sayang selama prosedur yang menakutkan atau
menyakitkan akan meningkatkan rasa tidak nyaman pada anak.
Lebih jauhnya, anak tidak mampu untuk mengerti bahwa hal
tersebut merupakan perpisahan sementara dan alasan
ketidakhadiran orang tua berakibat perasaan dibiarkan.
b) Kehilangan kontrol
Hospitalisasi pada anak tanpa melihat usia anak sering
menimbulkan kehilangan kontrol pada fungsi tubuh tertentu. Anak
sering membutuhkan bantuan dalam mengerjakan aktifitas yang ia
dapat lakukan sendiri di rumah. Hal ini menyebabkan anak merasa
tidak berdaya dan frustasi serta meningkatkan ketergantungan pada
orang lain.
c) Gangguan body image
Anak sering merasa tidak nyaman terhadap perubahan penampilan
tubuh atau fungsinya yang disebabkan oleh pengobatan, perlukaan
atau ketidak mampuan. Mereka mungkin takut bertemu orang lain
dan tidak memperbolehkan orang lain untuk melihatnya.
d) Sakit/pain
Prosedur yang menyakitkan dan invasif merupakan stresor bagi
anak pada semua usia. Selama masa prasekolah anak belajar
mengasosiasikan nyeri dengan prosedur spesifik misal
pengambilan sampel darah, aspirasi sumsum tulang belakang, ganti
balutan atau injeksi. Anak yang mendapatkan suntikan berulang
tidak mengerti mengapa tubuhnya selalu disakiti. Pengalaman ini
dapat menimbulkan trauma jika orang yang dipercaya anak tidak
memberinya rasa nyaman atau menenangkannya.
7
e) Ketakutan
Terjadi karena anak berada di lingkungan rumah sakit yang
mungkin asing baginya dan karena perpisahan dengan orang-orang
yang sudah dikenalnya.
f) Lingkungan asing
Lingkungan asing merupakan lingkungan yang berbeda dari
lingkungan rumah atau tempat tinggalnya dan tidak dikenali
sebelumnya.Lingkungan rumah sakit yang menakutkan atau
mengerikan bagi anak, tidak ada orang yang dikenalinya dan
banyak perawat dan dokter yang berbaju putih serta peralatan yang
mengerikan seperti jarum suntik, infus, kateter maupun alat-alat
pemeriksaan radiologis. Lingkungan yang ramah, suasana seperti
di rumah, terbuka pada anak di rumah sakit dan tempat diatur
seperti di rumah misalnya seperti tempat makan, tempat minum,
duduk dan istirahat sehingga dapat meminimalkan dampak
hospitalisasi.
g) Immobilisasi fisik
Seorang anak dimasa pertumbuhan dan perkembangannya, dimana
dalam kesehariannya tampak begitu aktif harus terganggu karena ia
harus dirawat di rumah sakit. Anak harus berbaring di tempat tidur
dan tidak dapat bermain dengan teman-teman serta orang-orang
terdekatnya. Perilaku anak menjadi tidak kooperatif yang
menyebabkan harus diberikan pembatasan fisik dengan cara
mengikat. Reaksi anak prasekolah terhadap sakit dan dirawat di
rumah sakit antara laindengan menolak makan, sering bertanya,
menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap
petugas kesehatan. Perawatan di rumah sakit juga membuat anak
kehilangan kontrol terhadap dirinya. Perawatan di rumah sakit
mengharuskan adanya pembatasan aktifitas anak sehingga anak
merasa kehilangan kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit sering
kali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga
anak akan merasa malu, bersalah atau takut. Ketakutan anak
8
Peplau (1963, dalam Stuart, 2009) mengidentifikasi empat tingkat kecemasan dan
menggambarkan efek pada tiap individu sebagai berikut:
a. Kecemasan ringan: cemas yang normal yang menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan
lahan persepsinya. Cemas ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan
pertumbuhan dan kreativitas.
d. Kecemasan sangat berat atau Panik: tingkat panik dari suatu cemas
berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Karena mengalami
kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan
sesuatu walaupun dengan pengarahan. Dengan panik, terjadi peningkatan
aktivitas motorik, menurunya kemampuan untuk berhubungan dengan orang
lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional.
Tingkat cemas ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus
menerus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan
kematian.
11
Adapun hal-hal yang dinilai dalam alat ukur HRSA ini adalah
sebagai berikut:
a. Perasaan cemas, ditandai dengan rasa cemas, firasat buruk, takut
akan pikiran sendiri, mudah tersinggung.
diberikan pada anak agar diketahui perkembangan anak lebih lanjut, mengingat
anak memiliki berbagai masa dalam tumbuh kembang yang membutuhkan
stimulasi dalam mencapai puncaknya seperti masa kritis, optimal, dan sensitif.
Fungsi bermain pada anak diantaranya (Adriana 2013):
a) Membantu perkembangan sensorik dan motorik.
Fungsi bermain pada anak ini adalah dapat dilakukan dengan
melakukan rangsangan pada sensorik dan motorik melalui rangsangan ini
aktivitas anak dapat mengeksplorasikan alam sekitarnya, sebagai contoh
bayi dapat dilakukan dengan rangsangan taktil, audio dan visual melalui
rangsangan ini perkembangan sensorik dan motorik akan meningkat. Hal
tersebut dapat dicontohkan kepada anak sejak lahir. Anak yang telah
dikenalkan atau dirangsang visualnya dikemudian hari akan memiliki
kemampuan visual yang lebih menonjol seperti lebih cepat mengenal
sesuatu yang baru dilihatnya. Demikian juga pendengaran, apabila sejak
bayi dikenalkan atau dirangsang melalui suara-suara maka daya
pendengaran dikemudian hari anak lebih cepat berkembang dibandingkan
dengan tidak ada stimulasi sejak dini. Kemudian pada perkembangan
motorik apabila sejak dia bayi kemampuan motorik sudah dilakukan
rangsangan maka kemampuan motorik akan cepat berkembang
dibandingkan dengan tanpa stimulasi seperti rangsangan kemampuan
menggenggam, ini akan memberikan dasar dalam perkembangan motorik
selanjutnya. Jadi rangsangan atau stimulasi yang dimaksud tersebut adalah
melalui suatu permainan.
b) Membantu perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif dapat dirangsang melalui permainan. Hal ini
dapat terlihat pada saat anak bermain, maka anak akan mencoba melakukan
komunikasi dengan bahasa anak, mampu memahami objek permainan
seperti dunia tempat tinggal, mampu membedakan berbagai manfaat benda
yang digunakan dalam permainan, sehingga fungsi bermain pada model
demikian akan meningkatkan perkembangan kognitif selanjutnya.
c) Meningkatkan sosialisasi anak
Proses sosialisasi dapat terjadi melalui permainan, sebagai contoh
dimana pada usia bayi anak akan merasakan kesenangan, terhadap kehadiran
orang lain dan merasakan ada teman yang dunianya sama, pada usai todler
9
anak sudah mencoba bermain dengan sesamanya dan ini sudah mulai
berpura-pura jadi seorang guru, jadi seorang anak, jadi seorang bapak, jadi
seorang ibu dan lain-lain, kemudian pada usia prasekolah sudah mulai
menyadari akan keberadaan teman sebaya sehingga harapan anak mampu
melakukan sosialisasi dengan teman dan orang lain.
d) Meningkatkan kreativitas
Bermain juga dapat berfungsi dalam peningkatan kreativitas, dimana
anak mulai belajar menciptakan sesuatu dari permainan yang ada dan
mampu memodifikasi objek yang digunakan dalam permainan sehingga
anak akan lebih kreatif melalui model permainan ini, seperti bermain
bongkar pasang mobil-mobilan.
e) Meningkatkan kesadaran diri
Bermain pada anak akan memberikan kemampuan pada anak untuk
eksplorasi tubuh dan merasakan dirinya sadar dengan orang lain yang
merupakan bagian dari individu yang saling berhubungan, anak mau belajar
mengatur perilaku, membandingkan dengan perilaku orang lain.
f) Mempunyai nilai terapeutik
Bermain dapat menjadikan diri anak lebih senang dan nyaman sehingga
adanya stres dan ketegangan dapat dihindarkan, mengingat bermain dapat
menghibur diri anak terhadap dunianya.
g) Mempunyai nilai moral pada anak
Bermain juga dapat memberikan nilai moral tersendiri pada anak, hal ini
dapat dijumpai anak sudah mampu belajar benar atau salah dari budaya di
rumah, di sekolah dan ketika berinteraksi dengan temannya, dan juga ada
beberapa permainan yang memiliki aturan-aturan yang harus dilakukan tidak
boleh dilanggar.
4. Kategori bermain
a) Bermain Aktif
Dalam bermain aktif, kesenangan timbul dari apa yang dilakukan anak,
apakah dalam bentuk kesenangan bermain alat misalnya mewarnai gambar,
melipat kertas origami, puzzle dan menempel gambar.
b) Bermain Pasif
Dalam bermain pasif, hiburan atau kesenangan diperoleh dari kegiatan
orang lain.Pemain menghabiskan sedikit energi, anak hanya menikmati
10
4) Perkembangan Kreativitas
Berkreasi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan
mewujudkannya kedalam bentuk objek dan/atau kegiatan yang
dilakukannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar dan
mencoba untuk merealisasikan ide-idenya. Misalnya, dengan
membongkar dan memasang satu alat permainan akan merangsang
kreativitasnya untuk semakin berkembang.
5) Perkembangan Kesadaran Diri
Melalui bermain, anak mengembangkan kemampuannya dalam
mengatur mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal
kemampuannya dan membandingkannya dengan orang lain dan
menguji kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan
mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain. Misalnya,
jika anak mengambil mainan temannya sehingga temannya menangis,
anak akan belajar mengembangkan diri bahwa perilakunya menyakiti
teman. Dalam hal ini penting peran orang tua untuk menanamkan nilai
moral dan etika, terutama dalam kaitannya dengan kemampuan untuk
memahami dampak positif dan negatif dari perilakunya terhadap orang
lain.
6) Perkembangan Moral
Anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya, terutama
dari orang tua dan guru. Dengan melakukan aktivitas bermain, anak
akan mendapatkan kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut
sehingga dapat diterima di lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri
dengan aturan-aturan kelompok yang ada dalam lingkungannya.
Melalui kegiatan bermain anak juga akan belajar nilai moral dan etika,
belajar membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta
belajar bertanggung-jawab atas segala tindakan yang telah
dilakukannya. Misalnya, merebut mainan teman merupakan perbuatan
yang tidak baik dan membereskan alat permainan sesudah bermain
adalah membelajarkan anak untuk bertanggung-jawab terhadap
tindakan serta barang yang dimilikinya. Sesuai dengan kemampuan
kognitifnya, bagi anak usia toddler dan prasekolah, permainan adalah
media yang efektif untuk mengembangkan nilai moral dibandingkan
13
dengan memberikan nasihat. Oleh karena itu, penting peran orang tua
untuk mengawasi anak saat anak melakukan aktivitas bermain dan
mengajarkan nilai moral, seperti baik/buruk atau benar/salah.
7) Katagori Bermain
Bermain harus seimbang, artinya harus ada keseimbangan antara
bermain aktif dan yang pasif yang biasanya disebut hiburan. Dalam
bermain aktif kesenangan diperoleh dari apa yang diperbuat oleh
mereka sendiri, sedangkan bermain pasif kesenangan didapatkan dari
orang lain.
d) Hal-hal yang harus diperhatikan
1) Bermain/alat bermain harus sesuai dengan taraf perkembangan anak.
4) Jangan memaksa anak bermain, bila anak sedang tidak ingin bermain
B. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat
dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antara
variabel (baik variabel yang diteliti maupun variabel yang tidak diteliti). Kerangka
konsep akan membantu peneliti menghubungkan hasil penemuan dengan teori
(Nursalam 2014). Keterkaitan hasil penemuan dengan teori pada penelitian ini
diuraikan sebagai berikut:
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan
dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yang perlu
diperhatikan yaitu cara ilmiah, data, tujuan dan kugunaan (Sugiyono, 2016).
1. Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian merupakan pola pikir yang menunjukkan hubungan
antara variabel yang akan diteliti yang sekaligus mencerminkan jenis dan jumlah
rumusan masalah yang perlu dijawab melalui penelitian, teori yang digunakan
untuk merumuskan hipotesis, jenis dan jumlah hipotesis dan tekmis analisis
statistik yang akan digunakan (Sugiyono, 2016).
Peneliti melakukan observasi (pretest) untuk melihat tingkat kecemasan
pada anak usia prasekolah selama menjalani perawatan sebelum diberikan terapi
mewarnai gambar dan melakukan observasi (posttest) untuk melihat tingkat kecemasan
pada anak usia prasekolah selama menjalani perawatan sesudah diberikan terapi
mewarnai gambar. Kedua peneliti melakukan observasi (pretest) untuk melihat
tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah selama menjalani perawatan sebelum
diberikan terapi puzzle gambar, dan melakukan observasi (prostest) untuk melihat
tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah selama menjalani perawatan sesudah
diberikan terapi puzzle gambar.
Desain penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut (Notoadmojo 2012):
01 X1 02
03 X3 04
Keterangan :
01 : pretest
27
2. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode quasy experiment yaitu metode
penelitian yang menguji coba suatu intervensi pada sekelompok subjek dengan
atau tanpa kelompok pembanding namun tidak dilakukan randomisasi untuk
memasukan subjek kedalam kelompok perlakuan atau kontrol (Dharma, 2011).
Peneliti ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan menggunakan pra
eksperimental dan desain yang digunakan adalah two group pretest and postest.
3. Hipotesis Penelitian
didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta yang
empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat
Hipotesa nol (H0) : Ada perbedaan antara terapi mewarnai gambar dan
terapi bermain puzzle gambar terhadap penurunan tingkat kecemasan pada anak
usia pra sekolah selama menjalani perawatan di Ruang Samolo 3 RSUD Sayang
Cianjur
Hipotesa alternatif (Ha) : Tidak Ada perbedaan antara terapi mewarnai gambar
dan terapi bermain puzzle gambar terhadap penurunan tingkat kecemasan pada
28
anak usia pra sekolah selama menjalani perawatan di Ruang Samolo 3 RSUD
Sayang Cianjur
4. Variabel Penelitian
dimiliki oleh kelompok lain. Variabel juga dapat diartikan sebagai konsep
konsep ini dapat diubah menjadi variabel dengan cara merumuskan pada
ini adalah terapi mewarnai gambar dan terapi bermain puzzle gambar.
lain (Nursalam, 2013). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah penrunan
tingkat kecemasan
5. Definisi Operasional
29
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono 2017).Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian
pasien anak usia prasekolah di ruang samolo 3 RSUD Sayang Cianjur dengan
kriteria sebagai berikut:
a) Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga, dan dana.
b) Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini
c) Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitiannya yang
resikonya besar, tentu saja jika sampel besar, hasilnya lebih baik (Arikunto,
2013).
a) Besaran Sampel
(t-1) (r-1) ≥ 15
kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat
c) Kriteria Sampel
1) Kriteria Inklusi
a) Pasien bersedia menjadi responden.
b) Pasien dapat berkomunikasi dengan baik.
c) Anak usia prasekolah.
d) Anak usia 3 – 6 tahun
2) Kriteria Eksklusi
a) Pasien tidak bersedia menjadi responden.
b) Pasien tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
c) Anak usia todler dan usia sekolah
C. Pengumpulan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
32
(Nursalam, 2013).
a. Data Primer
prasekolah kembali.
b. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang didapatkan peneliti dari sumber yang
sudah ada yaitu data jumlah pasien anak usia prasekolah dari rekam medis
2. Instrumen Penelitian
mengukur tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah dengan bantuan skala
kecemasan HARS dengan hasil ukur tingkat kecemasan. Lembar observasi ini
merupakan lembar observasi yang sudah baku atau standar yang diambil dari
alat dan cara pengumpulan data yang valid (kesasihan), reliable (andal)
bila fakta atau kenyataan hidup diukur atau diamati berkali-kali dalam
waktu yang berlainan. Alat dan cara mengukur atau mengamati sama-
(Nursalam, 2013).
Uji validitas dan uji reliabilitas dalam penelitian ini tidak diperlukan
D. Prosedur Penelitian
a. Tahap Persiapan
5) Memilih sasaran yaitu dengan cara memilih pasien anak usia prasekolah
b. Tahap Pelaksanaan
c. Tahap Akhir
direvisi.
data. Kegiatan analisis data dimaksudkan untuk memberi arti dan makna pada data
(Arikunto,2013).
1. Pengolahan Data
hipotesis yang akan diuji harus berkaitan dan berhubungan dengan permasalahan
yang akan diajukan (Riduwan, 2014). Adapun yang harus dilakukan adalah :
a. Editing
perbaikan lembar observasi, informasi data pretest dan posttest tentang hasil
c. Coding
yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila
d. Cleaning
e. Tabulating
2. Analisa Data
a. Analisa Univariat
yang dianalisis dalam penelitian ini mencakup data tingkat kecemasan anak
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Setelah melakukan penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 20-22 Januari
2020 terhadap 16 responden yang dirawat di ruang samolo 2 RSUD Sayang Cianjur
yang terdiri dari 8 anak kelompok terapi mewarnai gambar dan 8 anak kelompok
terapi bermain puzzle gambar. Pada bab ini akan dilaporkan hasil penelitian dan
pembahasan mengenai “Efektifitas terapi mewarnai gambar dan terpai bermain puzzle
gambar terhadap penurunan tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah selama
menjalani perawatan di Ruang Samolo 3 RSUD Sayang Cianjur Tahun 2020, yang
akan ditampilkan dalam bentuk tabel berikut :
1. Analisa Univariat
normalitas data untuk menentukan jenis uji statistik yang digunakan. Data
dan sesudah diberikan terapi mewarnai gambar dan terapi bermain puzzle
Gambar
B. Pembahasan
42
43
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Pelayanan Kesehatan Bala Keselamatan di Sulawesi Tengah, telah mulai
dirintis sejak tahun 1932. Pada tanggal 5 Oktober 1986, Rumah
Bersalin/BKIA/Poliklinik Umum Bala Keselamatan Palu secara resmi dinaikkan
statusnya menjadi Rumah Sakit Umum, dengan nama Rumah Sakit
WOODWARD. RS Woodward Palu terletak di Jalan Woodward No.1 Palu,
Kelurahan Lolu Selatan, Kecamatan Palu Selatan Kota Palu 94112. Pelayanan
yang ada di RS Woodward Palu adalah pelayanan rawat jalan yang terdiri dari
poliklinik serta UGD, dan pelayanan rawat inap yang terdiri atas perawatan
bersalin, perawatan bedah umum, perawatan anak-anak, perawatan penyakit
dalam, ICU dan ICCU. Penunjang medis terdiri dari kamar operasi, radiologi,
laboratorium, farmasi, dan fisioterapi. Jumlah perawat yang ada di RS Woodward
Palu yaitu 108 orang dengan lulusan D III Keperawatan 89 orang, SPK 1 orang
dan S. Kep 6 orang dan S. Kep Ners 12 orang, sedangkan bidan berjumlah 8
orang
2. Karakteristik Responden
Karakteristik responden diuraikan dalam tabel berikut dengan
mengelompokan berdasarkan pendidikan dan masa kerja sebagai berikut:
Tabel 4.1 Distribusi responden berdasarkan umur dan jenis kelamin anak di RS
Woodward Palu
B. Pembahasan
1. Tingkat kooperatif pada anak usia prasekolah sebelum dilakukan terapi bermain
puzzle
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata (mean) tingkat kooperatif
pada anak usia prasekolah sebelum dilakukan terapi bermain puzzle yaitu 38,73
dengan standar deviasi 0,961. Menurut peneliti tidak kooperatif anak usia
prasekolah terjadi karena anak merasa tidak nyaman berada di tempat yang asing
selain itu disebabkan trauma yang buruk selama hospitalisasi, waktu bermain yang
kurang efektif serta dari pihak perawat yang kurang komunikatif sehingga
membuat anak selalu menghindar pada saat dilakukan prosedur pemeriksaan dan
selalu mengandalkan orangtuanya selama perawatan. Tidak kooperatif anak selama
perawatan sebelum melakukan terapi bermain disebabkan kecemasan pada saat
perawatan baik dalam hal perlukaan dan rasa nyeri, hal ini terlihat pada saat
dilakukan reaksi anak pada saat perawat mengajak bercakap-cakap sebagian anak
mengusir perawat, mengindari kontak mata dan marah pada perawat pada saat
pemeriksaan dan pada umumnya anak-anak menjerit diiringi tangis pada saat
perawat membawa alat-alat perawat. Pada anak yang kooperatif sebelum dilakukan
intervensi dapat disebabkan adanya koping dari orangtua selama melakukan
perawatan. Salah satu cara untuk menciptakan perilaku kooperatif anak selama
perawatan yaitu memberikan permainan yang mengedukasi dan membuat anak
lupa dengan perasaan cemas selama hospitalisasi
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan bahwa
pengalaman dirawat sebelumnya dapat mempengaruhi tingkat kooperatif anak
dalam menjalani perawatan. Anak usia prasekolah yang menjalani rawat inap di
rumah sakit tanpa adanya pengalaman di rawat akan menyebabkan timbulnya
perilaku agresif dibandingkan dengan anak yang sudah memiliki pengalaman
dirawat sebelumnya. Munculnya perilaku agresif karena ketika anak diharuskan
untuk dirawat di rumah sakit akan membuat merasa kehilangan lingkungan yang
dirasa nyaman bagi anak, permainan, serta teman sepermainannya yang
menyenangkan bagi anak. Perilaku agresif tersebut seperti anak menangis secara
terus menerus, berteriak dan memanggil orang tuanya.
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Subardiah (2009)
menyatakan bahwa pengalaman anak dirawat sebelumnya akan mempengaruhi
respon anak terhadap rawat inap. Hal ini dapat memberikan gambaran pada anak
47
tentang apa yang akan dialaminya sehingga akan mempengaruhi respon anak
dalam menerima tindakan keperawatan serta mempengaruhi kemampuan
kemampuan koping anak dalam beradaptasi dengan perubahan rutinitas dan
lingkungan di rumah sakit.
2. Tingkat kooperatif pada anak usia prasekolah setelah dilakukan terapi bermain
puzzle
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata (mean) tingkat kooperatif
pada anak usia prasekolah setelah dilakukan terapi bermain puzzle yaitu 49,07
dengan standar deviasi 1.751. Menurut asumsi peneliti hal ini terjadi karena anak
sudak mendapat terapi bermain puzzle sehingga mempengaruhi anak lebih
bersahabat dengan perawat dan juga mempengaruhi tingkat kooperatif anak selama
menjalani perawatan termasuk dalam hal pengobatan. Perilaku kooperatif yang
sangat positif ditunjukkan anak dengan memberikan jawaban yang baik ketika
perawat mengajak bercakap-cakap, menunjukkan senyum yang ramah, tidak
menolak petunjuk yang diberikan perawat, dan bersedia bekerjasama dalam
tindakan keperawatan. Peningkatan perilaku kooperatif anak yang terjadi
disebabkan oleh adanya pemberian terapi bermain pada responden anak usia
prasekolah yang menjalani perawatan. Pemberian terapi bermain merupakan
metode pendekatan yang efektif untuk membina hubungan yang positif antara
perawat dan pasien anak, memberikan rasa nyaman, dapat menurunkan rasa
ketakutan anak sehingga lebih kooperatif dalam menjalani perawatan di rumah
sakit
Terapi bermain secara luas digunakan untuk menangani masalah emosi dan
perilaku anak-anak karena terapi bermain bisa berespon terhadap kebutuhan unik
dan beragam dari perkembangan anak-anak. Dalam terapi bermain, bermain
dipandang sebagai kendaraan untuk komunikasi antara anak dan terapis yang
berasumsi bahwa anak-anak akan menggunakan alat-alat permainan secara
langsung atau secara simbolis dengan bertindak menggunakan perasaan, pikiran,
dan pengalaman karena mereka tidak mampu mengekspresikan perasaannya
melalui kata-kata. Pada saat bermain anak mengalihkan perhatiannya terhadap
permainan sehingga anak akan melupakan masalahnya. Permainan dapat
memberikan ketenangan membuat anak lebih rileks sehingga anak merasa tidak
terbebani dengan masalahnya
48
kembang anak, sehingga anak tertarik dengan permainan yang diberikan. Rasa
tertarik anak terhadap permainan akan menimbulkan rasa senang selama menjalani
perawatan dan rasa senang ini merningkatkan perilaku kooperatif anak.
Kesenangan yang dirasakan anak selama terapi bermain mempengaruhi kesiapan
anak ketika dilakukan tindakan keperawatan dan memberikan kesembuhan bagi
anak-anak.
Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahma &
Puspasari pada tahun 2014 dengan judul Pengaruh Terapi Bermain Terhadap
Tingkat Kooperatif Selama Menjalani Perawatan Pada Anak Usia Pra Sekolah (3 –
5 Tahun) Dirumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Dimana pada hasil penelitian
didapatkan ada beda rata – rata antara nilai sebelum perlakuan terapi bermain
dengan setelah perlakuan terapi bermain dimana nilai p = 0,000 (p < 0,05). Sejalan
juga dengan penelitian Zahr LK di Lebanon pada tahun 2007, bahwa terapi
bermain dapat menurunkan tingkat kecemasan serta meningkatkan kooperatif anak.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dilakukan, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Rata-rata (mean) tingkat kooperatif pada anak usia prasekolah sebelum dilakukan
terapi bermain puzzle yaitu 38,73 dengan standar deviasi 0,961.
2. Rata-rata (mean) tingkat kooperatif pada anak usia prasekolah setelah dilakukan
terapi bermain puzzle yaitu 49,07 dengan standar deviasi 1.751.
3. Ada pengaruh terapi bermain puzzle terhadap tingkat kooperatif pada anak usia
prasekolah selama menjalani perawatan di ruang Ratna Cempaka RS Woodward
Palu.
B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan maka peneliti mengajukan beberapa saran
sebagai berikut :
1. Bagi Institusi Pendidikan
Peneliti menyarankan bahwa hasil penelitian ini untuk menambahkan
bahan ajar mengenai psikologi anak pada mata kuliah keperawatan anak.
2. Bagi Perawat
50
DAFTAR PUSTAKA
36
Adriana, D. 2013. Tumbuh Kembang & Terapi Bermain Pada Anak.Jakarta (ID) Salemba
Medika.
Dewi T. 2017. Hubungan Sikap Terapi Bermain dengan Perilaku Kooperatif Anak Usia
Prasekolah yang Menjalani Perawatan di Ruang Melati RSUD Dr. Soedirman
Kebumen. [skripsi] Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong.
Diana Mutiah. 2010. Psikologi Bermain Anak Usia Dini. Jakarta (ID): Kencana.
Handayani & Puspitasari. 2009. Terapi Bermain terhadap Tingkat Kooperatif Selama
Menjalani Perawatan pada Anak Usia Prasekolah (3-5 tahun) di umah Sakit
Panti Rapih Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta.
51
Hockenberry, Marilyn & Wilson, David. 2015. Wong’s Nursing Care Of Infants And
Children. Canada: Elsevier Inc.
Notoatmodjo S, 2010.Kesehatan Masyarakat Ilmu & Seni. Jakarta (ID): Rineka Cipta.
Notoatmodjo S, 2012.Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka Cipta.
Ridha N. 2014. Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar
Salmela M, Salantera S, Aronen ET. 2010. 37
Coping with hospital related fears: [Internet].
[diunduh 2017Maret 6]. Tersedia pada experiences of pre-school-aged
children.Journal Of Advanced Nursing.66 (6): 1222–1231
52
Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung (ID)
Alfabeta, CV
Sukarmin R, Sujono. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Yogyakarta (ID): Graha
Ilmu
Supartini, Y. 2012. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta (ID): EGC.
Umi azizah kusuma ningrum & Nasrudin. 2015. Pengaruh Terapi Bermain Kolase Kartun
Terhadap Tingkat Kooperatif Anak Usia Pra Sekolah Selama Prosedur Nebuleser
Di Rumah Sakit Airlangga Jombang. Jurnal Edu Health ,Vol. 5. 1
Videbeck, Sheila . 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa (Renata Komalasari, penerjemah).
Jakarta (ID) : EGC
Wong DL. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta (ID): EGC
53
Observasi Lapangan
Pengolahan data
Penyajian data