PENDAHULUAN
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin,
umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa
kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan
1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada
masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi
asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi
dewasa lebih tinggi dari anak. Di lndonesia prevalensi asma berkisar antara 5 -7%.
(Sundaru. 2014)
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor yang mengakibatkan terjadinya Asma bronkhial pada
pasien?
2. Bagaimanakah menegakkan diagnosa secara klinis dan diagnosa
psikososial?
3. Bagaimanakah tingkat pengetahuan keluarga dalam menyikapi penyakit
Asma bronkhial?
4. Bagaimanakah hasil dari terapi yang telah diberikan kepada penderita
Asma bronkhial?
5. Bagaimana upaya pencegahan yang dapat dilakukan pada penderita
Asma bronkhial?
2
budaya sendiri dalam penanganan asma bronkhial, melakukan rujukan
sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang berlaku serta
mengembangkan pengetahuan.
1.3.3 Komunikasi efektif (Kompetensi 3) : Mahasiswa mampu melakukan
komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada individu, keluarga,
masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian asma bronkhial.
1.3.4 Pengelolaan Informasi (Kompetensi 4) : Mahasiswa mampu memanfaatkan
teknologi informasi komunikasi dan informasi kesehatan dalam praktik
kedokteran.
1.3.5 Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran (Kompetensi 5) : Mahasiswa mampu
menyelesaikan masalah pengendalian asma bronkhial secara holistik dan
komprehensif baik secara individu, keluarga maupun komunitas berdasarkan
landasan ilmiah yang mutakhir untuk mendapatkan hasil yang optimum.
1.3.6 Keterampilan Klinis (Kompetensi 6) : Mahasiswa mampu melakukan
prosedur klinis yang berkaitan dengan masalah asma bronkhial dengan
menerapkan prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan
keselamatan orang lain.
1.3.7 Pengelolaan Masalah Kesehatan (Kompetensi 7) : Mahasiswa mampu
mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat secara
komprehensif, holistik, koordinatif, kolaboratif dan berkesinambungan
dalam konteks pelayanan kesehatan primer.
3
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat
menerapkan penatalaksanaan penderita asma bronkhial dengan pendekatan
kedokteran keluarga secara paripurna (komprehensif) dan holistik, sesuai dengan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), berbasis Evidence Based Medicine
(EBM) pada pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko dan masalah klinis serta
prinsip penatalaksanaan penderita asma bronkhial dengan pendekatan kedokteran
keluarga di Puskesmas Minasaupa tahun 2020.
4
3. Bagi tenaga kesehatan.
Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah
daerah dan instansi kesehatan beserta paramedis yang terlibat di
dalamnya mengenai pendekatan diagnosis holistik penderita asma
bronkhial.
4. Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)
Sebagai pengalaman berharga bagi penulis sendiri dalam rangka
memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai evidenve based
medicine dan pendekatan diagnosis holistik asma bronkhial serta dalam
hal penulisan studi kasus.
5
BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS
Host
- Riwayat keluarga
- Jenis kelamin
- Atopi/ alergi
- Olahraga/ aktivitas berlebihan
- Infeksi saluran pernapasan
- Gangguan emosi
Agent
Environment
- Polusi udara
- Perubahan cuaca
- Kelembaban udara
6
2.2 Pendekatan Konsep Mandala
Gaya Hidup
- Pasien menggunakan
kipas angin secara
langsung
- Konsumsi kalori dan
garam berlebih
- Jarang berolahraga Lingkungan Psiko-Sosial-
Ekonomi
Perilaku Kesehatan
- Pengetahuan tentang asma
Family bronkhial masih kurang
- Pasien kesulitan - Bersikap suportif dan
untuk menghindari - Kehidupan sosial dengan
mengingatkan pasien untuk
meminum obat secara rutin lingkungan baik.
faktor pencetus
- Hubungan antar keluarga
terjadinya asma
baik.
Pasien
Pasien datang ke
Pelayanan Kesehatan dengan keluhan
- Jarak rumah dengan puskesmas batuk berlendir
Lingkungan Kerja
cukup dekat. sejak 2 hari yang
- Penyuluhan oleh petugas lalu, lendirnya sulit - Pasien tidak bekerja
kesehatan belum maksimal dikeluarkan. - Hubungan kerja sama dalam
Keluhan disertai keluarga baik
dengan sesak yang
memberat sejak 1
hari yang lalu.
Riwayat Asma (+)
7
2.3 Pendekatan Diagnosis Holistik Pada Pelayanan Kedokteran Keluarga
Di Layanan Primer
Pengertian holistik adalah memandang manusia sebagai makhluk
biopsikososio-kultural pada ekosistemnya. Sebagai makhluk biologis manusia
adalah merupakan sistem organ, terbentuk dari jaringan serta sel-sel yang
kompleks fungsionalnya.
Diagnostik holistik adalah kegiatan untuk mengidentifikasi dan menentukan
dasar dan penyebab penyakit (disease), luka (injury) serta kegawatan yang
diperoleh dari alasan kedatangan, keluhan personal, riwayat penyakit pasien,
pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang,penilaian risiko
internal/individual dan eksternal dalam kehidupan pasien serta keluarganya.
Sesuai dengan arah yang digariskan dalam Sistem Kesehatan Nasional 2004,
maka dokter keluarga secara bertahap akan diperankan sebagai pelaku pelayanan
pertama (layanan primer). Tujuan Diagnosis Holistik:
1. Penyembuhan penyakit dengan pengobatan yang tepat
2. Hilangnya keluhan yang dirasakan pasien
3. Pembatasan kecacatan lanjut
4. Penyelesaian pemicu dalam keluarga (masalah sosial dalam kehidupannya)
5. Jangka waktu pengobatan pendek
6. Tercapainya percepatan perbaikan fungsi sosial
7. Terproteksi dari risiko yang ditemukan
8. Terwujudnya partisipasi keluarga dalam penyelesaian masalah
Diagnosa secara holistik sangat penting dilakukan sebelum melakukan terapi,
tujuannya yakni:
1. Menentukan kedalaman letak penyakit
2. Menentukan kekuatan serangan patogen penyakit
3. Menentukan kekuatan daya tahan tubuh yang meliputi kekuatan fungsi organ
4. Menentukan urutan tatacara terapi dan teknik terapi yang akan dipilihnya
5. Menentukan interfal kunjungan terapi. (Modul Pelatihan dan Sertifikasi
ASPETRI Jateng 2011)
8
Diagnosis Holistik memiliki standar dasar pelaksanaan yaitu :
1. Membentuk hubungan interpersonal antar petugas administrasi (penerimaan,
pencatatan biodata) dengan pasien
2. Membentuk hubungan interpersonal antara paramedis dengan pasien
3. Melakukan pemeriksaan saringan (Triage), data diisikan dengan lembaran
penyaring
4. Membentuk hubungan interpersonal anatara dokter dengan pasien
5. Melakukan anamnesis
6. Melakukan pemeriksaan fisik
7. Penentuan derajat keparahan penyakit berdasarkan gejala, komplikasi,
prognosis, dan kemungkinan untuk dilakukan intervensi
8. Menentukan resiko individual diagnosis klinis sangat dipengaruhi faktor
individual termasuk perilaku pasien
9. Menentukan pemicu psikososial dari pekerjaan maupun komunitas
kehidupan pasien
10. Menilai aspek fungsi sosial
Dasar-dasar dalam pengembangan pelayanan/pendekatan kedokteran keluarga di
layanan primer antara lain :
1. Pelayanan kesehatan menyeluruh (holistik) yang mengutamakan upaya
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
2. Pelayanan kesehatan perorangan yang memandang seseorang sebagai bagian
dari keluarga dan lingkungan komunitasnya
3. Pelayanan yang mempertimbangkan keadaan dan upaya kesehatan secara
terpadu dan paripurna (komprehensif).
4. Pelayanan medis yang bersinambung
5. Pelayanan medis yang terpadu
Pelayanan komprehensif yaitu pelayanan yang memasukkan pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit dan proteksi khusus
(preventive & spesific protection), pemulihan kesehatan (curative), pencegahan
kecacatan (disability limitation) dan rehabilitasi setelah sakit (rehabilitation)
9
dengan memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan mediko-legal etika
kedokteran.
Pelayanan medis yang disediakan dokter keluarga merupakan pelayanan
bersinambung, yang melaksanakan pelayanan kedokteran secara efisien, proaktif
dan terus menerus demi kesehatan pasien.
Pelayanan medis yang terpadu, artinya pelayanan yang disediakan dokter
keluarga bersifat terpadu, selain merupakan kemitraan antara dokter dengan
pasien pada saat proses penatalaksanaan medis, juga merupakan kemitraan lintas
program dengan berbagai institusi yang menunjang pelayanan kedokteran, baik
dari formal maupun informal. Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan
Primer adalah:
a. Comprehensive care and holistic approach
b. Continuous care
c. Prevention first
d. Coordinative and collaborative care
e. Personal care as the integral part of his/her family
f. Family, community, and environment consideration
g. Ethics and law awareness
h. Cost effective care and quality assurance
i. Can be audited and accountable care
Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien
adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan
spiritual, serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.
Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat
dari beberapa aspek yaitu:
1. Aspek Personal : Keluhan utama, harapan, dan kekhawatiran
2. Aspek Klinis : Bila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan cukup
dengan diagnosis kerja dan diagnosis banding
3. Aspek Internal : Kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku.
Karakteristik pribadi amat dipengaruhi oleh umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, kultur,
10
etnis, dan lingkungan.
4. Aspek Eksternal : Psikososial dan ekonomi keluarga.
5. Derajat Fungsi Sosial:
Derajat 1 : Tidak ada kesulitan, dimana pasien dapat hidup mandiri
Derajat 2 : Pasien mengalami sedikit kesulitan
Derajat 3 : Ada beberapa kesulitan, perawatan diri masih bisa dilakukan,
hanya dapat melakukan kerja ringan
Derajat 4 : Banyak kesulitan, dapat melakukan aktifitas kerja, bergantung
pada keluarga
Derajat 5 : Tidak dapat melakukan kegiatan
11
2.4.2 Epidemiologi
12
Klasifikasi berdasarkan GINA, 2018:
a) Lebih dari satu gejala berikut: mengi, sesak napas, batuk, dada terasa
berat, terutama pada orang dewasa.
b) Gejala sering memburuk pada malam hari atau menjelang pagi
c) Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya
d) Ada faktor pencetus seperti infeksi virus, olahraga, terpapar oleh
alergen, perubahan cuaca, merokok, dan sebagainya.
2.4.4 Patogenesis
INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri
atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe
lambat.
13
2) Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
INFLAMASI KRONIK
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut
ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot
polos bronkus.
1) Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-
sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-
CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.
2) Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi,
endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma
sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi
dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-
radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.
Eosinofil
14
lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF
meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein
(ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil
derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.
Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking
reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi
degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan
protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan
leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4,
IL-5 dan GM-CSF.
15
Inflamasi dan remodelling pada asma
Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan proses remodeling
Makrofag
16
tersebut melalui a.l sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast, sitokin,
PDGF dan TGF-β
AIRWAY REMODELING
17
Perubahan struktur parenkim
Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Perubahan struktur pada airway remodeling dan konsekuensi klinis
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di
dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada
mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien
akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada
sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi,
dikenal dengan istilah cough voriont osthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai,
perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau
uji provokasi bronkus dengan metakolin.
18
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala
asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala
terhadap faktor pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang,
infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca.
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada
awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya
tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien
dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan
dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada
di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
Faktor risiko terjadinya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host
factor) dan faktor lingkungan.
19
2.4.7 Diagnosis
Yang membedakan asma dengan penyakit paru yang lain yaitu pada asma
serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan asma tanpa diobati
ada yang hilang sendiri. Tetapi membiarkan pasien asma dalam serangan tanpa
obat selain tidak etis, juga dapat membahayakan nyawa pasien. Gejala asma juga
sangat bervariasi dari satu individu ke individu lain, dan bahkan bervariasi pada
individu sendiri misalnya gejala pada malam hari lebih sering muncul dibanding
siang hari.
20
Pemeriksaan Fisis:
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisis pasien asma, tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada,
pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Dalam
praktek jarang dijumpai kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering
pula dijumpai pasien bukan asma mempunyai mengi, sehingga diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
a) Spirometri
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis
asma adalah melihat respons pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator hirup (inholer alau nebulizer) golongan adrenergik beta.
Peningkatan VEP1 sebanyak > 1T%io atau (> 200m1) menunjukkan
diagnosis asma. Tetapi respons yang kurang dari 12% atau 200m1, tidak
berarti bukan asma. Hal-hal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang
sudah normal atau mendekati normal. Demikian pula respons terhadap
bronkodilator tidak d'rjumpai pada obstruksi saluran napas yang berat,
oleh karena obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat memberikan efek
yang diharapkan. Untuk melihat reversibilitas pada hal yang disebutkan di
atas mungkin diperlukan kombinasi obat golongan adrenergik beta,
teofilin dan bahkan kortikosteroid untuk jangka waktu pengobatan 2-3
minggu. Reversibilitas dapat terjadi tanpa pengobatan yang dapat dilihat
dari hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan pada saat yang berbeda-
beda misalnya beberapa hari atau beberapa bulan kemudian.
21
melitus. Banyak pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini mengakibatkan pasien
mudah mendapat serangan asma dan bahkan bila berlangsung lama atau
kronik dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruktif kronik.
22
Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi lgE
spesifik dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji
alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula
sebaliknya.
f) Pemeriksan Kadar IgE total dan IgE Spesifik dalam Sputum
Kegunaan pemeriksaan lgE total hanya untuk menyokong adanya
atopi. Pemeriksaan lgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit
tidak dapat dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.
g) Foto Rontgen Dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis
di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis, dan lain-lain.
h) Analisis Gas Darah
Pemeriksaan Ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase
awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO, < 35 mmHg)
kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO, justru mendekati normal
sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya
hiperkapnia (PaCO, > 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.
23
Pengobatan dimulai sesuai dengan tahap atau tingkat beratnya
asma. Bila gejala asma tidak terkendali, lanjutkan pengobatan ke tingkat
berikutnya. Tetapi sebelumnya perhatikan lebih dahulu apakah teknik
pengobatan, ketaatan berobat serta pengendalian Iingkungan
(penghindaran alergen atau faktor pencetus) telah dilaksanakan dengan
baik. Setelah asma terkinelali paling tidak untuk jangka waktu 3 bulan,
dapat dicoba menurunkan obat-obat anti asma secara bertahap, sampai
mencapai dosis minimum yang dapat mengendalikan gejala.
24
2. Perhatian khusus terhadap gejala klinis dan faktor yang mempengaruhi
pilihan terapi/ penatalaksanaan Asma Bronkhial.4
a. Singkirkan diagnosis banding.
b. Pada kasus dengan diagnosis yang meragukan, sebaiknya dikonsulkan
pada ahli pulmologi untukmenyingkirkan diagnosis lain yang menyerupai
asma. Umumnya dilakukan artrosentesis diagnosis.
c. Perhatikan dampak penyakit pada status sosial seseorang
d. Perhatikan tujuan terapi yang ingin dicapai, harapan pasien, mana yang
lebih disukai pasien, bagaimana respon pengobatannya.
e. Faktor psikologis yang mempengaruhi
2.4.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.
25
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
26
7. Menjaga kebugaran dan olahraga
1. Medikasi (obat-obatan)
2. Tahapan pengobatan
3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Medikasi Asma
Pengontrol (Controllers)
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifiers
27
Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
Lain-lain
Pelega (Reliever)
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral
dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian
medikasi langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :
28
Macam-macam cara pemberian obat inhalasi
Pengontrol
Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid
inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat).
Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang
direkomendasikan.
29
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis
orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Semua efek
samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer, atau mencuci mulut
dengan berkumur-kumur dan membuang keluar setelah inhalasi. Absorpsi
sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui absorpsi obat di paru. Risiko terjadi
efek samping sistemik bergantung kepada dosis dan potensi obat yang berkaitan
dengan biovailibiliti, absorpsi di usus, metabolisme di hati (first-pass
metabolism), waktu paruh berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus; sehingga
masing-masing obat steroid inhalasi berbeda kemungkinannya untuk
menimbulkan efek sistemik. Penelitian menunjukkan budesonid dan flutikason
propionate mempunyai efek sistemik yang rendah dibandingkan beklometason
dipropionat dan triamsinolon. Risiko efek sistemik juga bergantung sistem
penghantaran. Penggunaan spacer dapat menurunkan bioavailabiliti sistemik dan
mengurangi efek samping sistemik untuk semua glukokortikosteroid inhalasi.
Glukokortikosteroid sistemik
30
Gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena
mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek
striae pada otot minimal
Bentuk oral, bukan parenteral
Penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari
Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan nedokromil sodium belum
sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid,
menghambat penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai
IgE yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu
(makrofag, eosinofil, monosit); selain kemungkinan menghambat saluran kalsium
pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol
pada asma persisten ringan. Studi klinis menunjukkan pemberian sodium
kromoglikat dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif
jalan napas walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi. Dibutuhkan waktu
4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat
melakukan inhalasi.
Metilsantin
31
pada inflamasi kronik jalan napas dan studi menunjukkan tidak berefek pada
hiperesponsif jalan napas. Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator
tambahan pada serangan asma berat. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral
diberikan bersama/kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat, sebagai
alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( ≥ 10 mg/kgBB/ hari atau
lebih); hal itu dapat dicegah dengan pemberian dosis yang tepat dengan monitor
ketat. Gejala gastrointestinal nausea, muntah adalah efek samping yang paling
dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardia, aritmia dan
kadangkala merangsang pusat napas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan
kejang bahkan kematian.
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya
agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi
penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. Kenyataannya pada pemberian
jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2
kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap
rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama,
menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral.
32
Perannya dalam terapi sebagai pengontrol bersama dengan glukokortikosteroid
inhalasi dibuktikan oleh berbagai penelitian, inhalasi agonis beta-2 kerja lama
sebaiknya diberikan ketika dosis standar glukokortikosteroid inhalasi gagal
mengontrol dan, sebelum meningkatkan dosis glukokortikosteroid inhalasi
tersebut. Karena pengobatan jangka lama dengan agonis beta-2 kerja lama tidak
mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasikan
dengan glukokortikosteroid inhalasi. Penambahan agonis beta-2 kerja lama
inhalasi pada pengobatan harian dengan glukokortikosteroid inhalasi,
memperbaiki gejala, menurunkan asma malam, memperbaiki faal paru,
menurunkan kebutuhan agonis beta-2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan
frekuensi serangan asma.
Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik
(rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih
sedikit atau jarang daripada pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol
asma, yang beredar di Indonesia adalah salbutamol lepas lambat, prokaterol dan
bambuterol. Mekanisme kerja dan perannya dalam terapi sama saja dengan bentuk
inhalasi agonis beta-2 kerja lama, hanya efek sampingnya lebih banyak. Efek
samping berupa rangsangan kardiovaskular, ansieti dan tremor otot rangka.
Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis
semua leukotrin (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien
sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme
kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.
Pelega
33
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol
yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang
cepat. Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat
secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat
dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-
2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator
dari sel mast.
Metilsantin
Teofilin kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta2 kerja
singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk respiratory drive,
memperkuat fungsi otot pernapasan dan mempertahankan respons terhadap agonis
beta-2 kerja singkat di antara pemberian satu dengan berikutnya. Teofilin
berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana metilsantin, tetapi dapat
dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin kerja
singkat sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi
teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam
serum.
Antikolinergik
34
refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif
agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk
mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun
tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi. Termasuk dalam
golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak
tersedia agonis beta-2, atau tidak respons dengan agonis beta2 kerja singkat.
Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut
atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila
dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).
Asma Intermitten
Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan alergen,
asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal. Demikian
pula penderita exercise-induced asthma atau kambuh hanya bila cuaca
35
buruk,tetapi di luar pajanan pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal paru
normal.
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila
penderita membutuhkan pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari,
pertimbangkan kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan
berikutnya.
36
bantu/ spacer pada inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi dalam satu kemasan
(fix combination) agar lebih mudah.
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan, tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Alternatif agonis
beta-2 kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat
oral, atau kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat.
Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah
menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol.
Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin,
gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru
(APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek
samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai hal tersebut umumnya
membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu pengontrol.
Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800
ug BD/ hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari.
Kadangkala kontrol lebih tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi
terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari.
Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers
dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai
kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat sebagai
tambahan terapi selain kombinasi terapi yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi
dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi) Jika sangat dibutuhkan, maka dapat
diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis seminimal mungkin, dianjurkan
sekaligus single dose pagi hari untuk mengurangi efek samping. Pemberian
budesonid secara nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis
tinggi glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik
yang sama dengan pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan
menimbulkan efek samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehingga tidak
37
dianjurkan untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar
serangan/ stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang.
38
Sediaan dan Dosis Obat Pengontrol Asma
39
Sediaan dan Dosis Obat Pengontrol Asma
40
Sediaan dan Dosis Obat Pelega untuk mengatasi gejala Asma
41
Sediaan dan Dosis Obat Pelega untuk mengatasi gejala Asma
42
BAB III
METODOLOGI DAN LOKASI STUDI KASUS
3.1 Metodologi Studi Kasus
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif. Penelitian yang
digunakan yaitu penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif
adalah berupa penelitian dengan metode atau pendekatan studi kasus (case study).
Penelitian ini memusatkan diri secarab intensif pada obyek tertentu yang
mempelajarinya sebagai suatu kasus. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua
pihak yang bersangkutan, dengan kata lain dalam studi ini dikumpulkan dari
berbagai sumber.
Cara pengumpulan data dengan melakukan wawancara dan pengamatan
terhadap pasien dan keluarganya dengan cara melakukan home visit untuk
mengetahui secara holistik keadaan dari penderita.
3.2 Lokasi dan Waktu Melakukan Studi Kasus
3.2.1 Waktu Studi Kasus
Studi kasus dilakukan pertama kali saat penderita datang berobat di
Puskesmas Minasaupa pada tanggal 09 Januari 2020. Selanjutnya dilakukan
home visit untuk mengetahui secara holistik keadaan dari penderita. Studi kasus
dilakukan pertama kali saat pasien datang berobat di Puskesmas Minasa Upa pada
tanggal 09 Januari 2020. Selanjutnya dilakukan home visit untuk mengetahui
secara holistik keadaan dari pasien.
43
3.3 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
3.3.1 Letak Geografis
Puskesmas Minasa Upa terletak di Jalan Minasa Upa Raya No.18,
Tamarunang, Merupakan salah satu Puskesmas yang ada dipuskesmas yang ada
Gowa
Upa berada dalam wilayah Kelurahan Gunung Sari dengan luas 2,31 km2 dan
Kelurahan Karunrung 1,52 km2. Serta total jumlah penduduk dan wilayah
kerja adalah 30.825 jiwa. Oleh karena berada didepan jalan poros maka
44
3.3.2 Keadaan Demografi Lokasi Studi Kasus
2016 sebanyak 55.719 jiwa dengan perincian laki-laki 27.689 orang dan
perempuan 28.030.
kelahiran dan penurunan angka kematian (bayi, anak balita dan ibu) dimana
tingkat kesejahteraan anak serta masalah sosial ekonomi. Hal ini terjadi karena
faktor gizi yang berhubungan dengan lingkungan, perumahan dan sanitasi yang
45
1. Ekspansif, jika sebagian besar penduduk berada dalam kelompok umur
termuda.
sama besarnya
tertentu
tahun.
46
3.3.7 Tingkat Pendidikan Penduduk
masyarakat.
3.3.9 Agama
beragama Khatolik 1.286 orang, beragama Hindu 113 orang, selebihnya beragama
No Agama Jumlah
1 Islam 45.657 Jiwa
2 Protestan 2.588 Jiwa
3 Katholik 1286 Jiwa
4 Hindu 113 Jiwa
47
5 Budha 173 Jiwa
Tabel 6. Distribusi Penduduk Menurut Agama di Wilayah Kerja Puskesmas Minasa Upa
kerjanya.
jalan, pelayanan gawat darurat, one day care, dan home care
1. Gedung Puskesmas
pelayanan pasien rawat jalan dan lantai 2 digunakan untuk pelayanan pasien rawat
inap.
2. Kendaraan
Dua unit kendaraan beroda empat yang sampai saat ini masih dalam
keadaan baik dan terpakai, yakni mobil Home Care (Dottoro’ta). Ruangan medis
48
terdiri dari ruang poliklinik umum, laboratorium, ruang poliklinik gigi, apotek, /
kamar obat, ruang rawat inap, dapur umum, gudang, WC, ruang kepegawaian,
ruang KIA dan imunisasi, ruang KB dan IMS, ruang kepala puskesmas, ruang
Kepala Puskesmas
Kesehatan Masyarakat
Laboratorium
49
3.4.4 Tenaga Kesehatan
Jumlah tenaga kesehatan yang terdapat di Puskesmas Minasa Upa
sebanyak 37 orang dengan berbagai spesifikasi, yang terdiri dari:
No Tenaga Kesehatan Jumlah
1 Dokter umum 2 Orang
2 Dokter Gigi 1 Orang
3 Apoteker 2 Orang
4 Perawat 11 Orang
5 Bidan 6 Orang
6 Perawat Gigi 2 Orang
7 Nutrisionist 2 Orang
8 Epidemiologi 1 orang
9 Sanitarian 2 Orang
10 Laboratorium 1 orang
11 Asisten apoteker 1 Orang
12 Bendahara 1 Orang
13 Tata Usaha 1 Orang
14 Staf 1 Orang
15 Juru Masak 1 Orang
Yang Berkualitas”.
pelayanan
kesehatan
50
- Mendorong pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan paradigma sehat
kesehatan yaitu :
- Upaya Pengobatan
51
- Upaya Kesehatan Kerja
2. Penyegaran kader
3. Inspeksi sanitasi
5. Abatesasi
7. Pemantauan jentik
52
Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana
4. Skrining HIV
7. Pemeriksaan IVA
53
4. Pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan gizi pada balita
8. Screening TB-HIV
54
Upaya pengobatan
2. Pemeriksaan penunjang
3. Pemberian obat
Hipertensi 175
Diabetes mellitus 96
Batuk 67
ISPA 59
Artritis 49
Asma bronchial 44
55
PASIEN
DATANG
JKN/Asuransi
Umum kesehatan
KAMAR PERIKSA
Poli Umum RUJUK
Poli Gigi
Poli KIA/KB LABORATORIUM
RUANG TINDAKAN
APOTEK
BAB IV
56
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL STUDI KASUS
4.1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 60 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Bangsa/suku : Indonesia/Bugis
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Tanggal Pemeriksaan : 9 Januari 2020
57
1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat diabetes : disangkal
3. Riwayat alergi : disangkal
58
Perdarahan : Tidak ada
Sekret : Tidak ada
Bibir : Kering tidak ada
Gusi : Perdarahan tidak ada
Tonsil : Hiperemis tidak ada
Lidah : Kotor tidak ada
4. Leher
Kelenjar getah bening : MT tidak ada, NT tidak ada
Kelenjar gondok : MT tidak ada, NT tidak ada
Inspeksi : Simetris kiri-kanan
Bentuk : Normochest
Buah dada : Tidak ada kelainan
Sela iga : Tidak ada pelebaran
5. Thorax
Palpasi : Fremitus Raba : Kiri = Kanan ; Nyeri tekan: (-)
Perkusi : Paru kiri : Sonor
Paru kanan : Sonor
Batas paru hepar : ICS VI Dextra Anterior
Batas paru belakang kanan : V Th IX Dextra Posterior
Batas paru belakang kiri : V Th X Sinistra Posterior
Auskultasi : Bunyi pernapasan : vesikuler
Bunyi tambahan : Rh -/-;Wh +/+
6. Punggung
Inpeksi : kifosis tidak ada
Palpasi : MT tidak ada, NT tidak ada
Nyeri ketok : tidak ada
Auskultasi : Rhonki dan wheezing +/+
7. Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung kesan normal
59
Auskultasi : BJ I/II murni regular
Bunyi tambahan : Bising tidak ada
8. Abdomen
Inspeksi : Ascites tidak ada, datar, ikut gerak napas
Palpasi : MT tidak ada, NT tidak ada daerah epigastrium
Hati& Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement tidak ada
Lain-lain :-
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
9. Alat Kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
10. Anus dan rectum : Tidak dilakukan pemeriksaan
11. Ekstremitas : Tidak tampak kelainan
- Status Neurologis
GCS : E4 M6 V5 = 15
Pupil : di tengah bulat isokor, ukuran 3mm/3mm
a. Anggota gerak atas
Kekuatan : 5/5
Tonus : (+) / (+)
Atrofi : (-) / (-)
Refleks fisiologis
Biceps :(+) / (+)
Triceps : (+)/ (+)
Refleks Patologis
Refleks Hoffman : (-) / (-)
Refleks Trommer : (-) / (-)
Sensibilitas
Taktil : normal/normal
Nyeri : normal/normal
Suhu : Tidak dilakukan
60
Diskriminasi 2 titik : Tidak dilakukan
Getar : Tidak dilakukan
b. Anggota gerak bawah
Kekuatan : 5/5
Tonus : (+) / (+)
Atrofi : (-) / (-)
Refleks fisiologis
Patella : (+) / (+)
Achilles : (+) / (+)
Refleks Patologis
Babinski : (-) / (-)
Chaddock : (-) / (-)
Gordon : (-) / (-)
Oppenheim : (-) / (-)
Sensibilitas
Taktil : (+)/ (+)
Nyeri : (+)/ (+)
Suhu : Tidak dilakukan
Diskriminasi 2 titik : Tidak dilakukan
Getar : Tidak dilakukan
4.1.4 Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan
4.1.5 Diagnosis
- Asma bronkhial
- Hipertensi grade 1
61
4.1.6 Penatalaksanaan dan Edukasi
Non Farmakologis: Edukasi
1. Menghindari faktor pencetus
2. Tidak merokok
3. Menghindari stress
4. Hindari polusi kendaraan dengan menggunakan masker
5. Diet rendah garam untuk menjaga tekanan darah dalam batas normal
6. Istirahat cukup
7. Turunkan berat badan
8. Rutin mengonsumsi obat yang diberikan oleh dokter
9. Rutin kontrol ke Puskesmas atau Rumah Sakit
Farmakologis:
Symbicort 160mcg/12j/inh
Salbutamol 2 mg/8j/oral
Amlodipine 5 mg 0-0-1
Vitamin C 50 mg/8j/oral
4.1.7 Prognosis
Quo Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo Ad Functionem : Dubia ad Bonam
Quo Ad Sanationem : Dubia ad Bonam
62
Keluarg
Kelamin (tahun) Terakhir
a
Kepala
1 Tn. A Laki-laki 60 S1 Pensiunan
keluarga
2 Ny. R Istri Perempuan 58 SMP IRT
63
4.2.4 Kepemilikan Barang-barang Berharga
Keluarga Tn. A memiliki beberapa barang elektronik di rumahnya yaitu satu
buah televisi, kipas angin di kamar tidur dan ruang keluarga, satu buah rice
cooker, satu buah dispenser dan satu buah kulkas. Selain itu, Tn. A juga memiliki
2 sepeda motor.
4.2.5 Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga
- Jenis tempat berobat : Puskesmas
- Asuransi / Jaminan Kesehatan : BPJS
64
4.2.8 Fungsi Fisiologis (APGAR)
Fungsi fisiologis adalah suatu penentu sehat tidaknya suatu keluarga yang
dikembangkan oleh Rosan, Guyman dan Leyton, dengan menilai 5 Fungsi pokok
keluarga, antara lain:
Penilaian:
Hampir Selalu = skor 2
Kadang-kadang = skor 1
Hampir tidak pernah = skor 0
Total Skor:
8-10 = Fungsi keluarga sehat
4-7 = Fungsi keluarga kurang sehat
0-3 = Fungsi keluarga sakit
No Pertanyaan Penilaian
65
Hampir
Hampir Kadang-
Tidak
Selalu Kadang
Pernah
(2) (1)
(0)
1. Adaptasi
2. Partnership (Kemitraan)
3. Growth (Pertumbuhan)
5. Resolve (Kebersamaan)
Total Skor 8
Tabel 12. Penilaian Fungsi Fisiologis (APGAR) Keluarga Penderita Asma bronkhial
66
Dari tabel APGAR diatas total Skor adalah 8 ini menunjukkan Fungsi keluarga
sehat.
4.2.9 Fungsi Patologis (SCREEM)
Aspek sumber daya patologi
- Sosial:
Pasien dapat hidup bermasyarakat dan bertetangga dengan baik, namun pasien
jarang ingin mengikuti nasihat dari keluarganya mengenai masalah
kesehatannya.
- Cultural:
Pasien merupakan orang Indonesia, dimana makanan pokok adalah nasi yang
memiliki kalori tinggi. Selain itu, Makassar juga terkenal dengan makanan
tradisional yang mengandung tinggi glukosa dan tinggi lemak yang dapat
mempengaruhi peningkatan berat badan.
- Religious:
Keluarga pasien rajin melakukan ibadah wajib.
- Ekonomy:
Keluarga pasien merasa kebutuhan ekonomi tercukupi.
- Education:
Tingkat pendidikan tertinggi di keluarga pasien yaitu S1
- Medication:
Pasien dan keluarga tidak menggunakan asuransi kesehatan.
67
4.2.10 Fungsi Keturunan
a. Genogram
Dalam keluarga pasien hanya pasien yang menderita asma dan hipertensi
GENOGRAM
b. Bentuk keluarga
Bentuk keluarga ini adalah keluarga inti (Nuclear Family). Terdiri dari
Tn. A sebagai kepala keluarga dan Ny. R sebagai seorang istri dan ibu dari
anaknya. Hasil pernikahan Tn. A dan Ny. R dikaruniai 2 orang anak.
Seluruh anggota keluarga ini tinggal dalam satu rumah.
68
c. Hubungan Anggota Keluarga
Tn. A merupakan pasangan Ny. R tinggal serumah bersama 2 orang
anak Tn. H dan Nn. N. Hubungan antara anggota keluarga cukup baik.
4.3 PEMBAHASAN
Diagnosis pada pasien ini adalah asma bronkhial, didapatkan berdasarkan
anamnesis secara holistik yaitu, aspek personal, aspek klinik, aspek risiko internal,
dan aspek risiko eksternal serta pemeriksaan penunjang dengan melakukan
pendekatan menyeluruh dan pendekatan diagnostik holistik.
69
dengan lingkungan 3 5
cukup baik
Faktor perilaku
kesehatan - Edukasi tentang - Pasien mulai mengerti
- Pasien tidak patuh 3 menghindari pajanan akan pentingnya 4
atas edukasi dokter dari faktor pencetus dan menghindari faktor
agar menghindari mengatur pola makan pencetus dan mengatur
faktor pencetus dan pola makan
menurunkan berat - Pasien berobat secara
badan - Edukasi untuk berobat teratur
- Berobat tidak secara teratur serta
teratur minum obat sesuai 5
anjuran dokter
Faktor Psikososial
- Perhatian pasien 3 - Menyarankan kepada - Pasien bersedia 4
terhadap penyakit pasien untuk lebih memberi perhatian
yang diderita perhatian dengan lebih kepada dirinya
pasien kondisi dirinya
- Motivasi untuk 3 - Memotivasi pasien - Pasien termotivasi 4
sembuh baik untuk menghindari untuk sembuh dan
faktor pencetus agar tetap beraktivitas
serangan asma tidak sesuai kemampuannya
muncul kembali
sehingga dapat
meningkatkan kualitas
hidup pasien
Total Skor 19 31
Tabel 13. Skoring Kemampuan Pasien dan Keluarga Dalam Penyelesaian Masalah Dalam
Keluarga
70
Skor2 : Keluarga mau melakukan tapi tidak mampu, tidak ada sumber
(hanya keinginan), penyelesaian masalah dilakukan sepenuhnya
oleh provider.
Skor 3 : Keluarga mau melakukan namun perlu penggalian sumber yang
belum dimanfaatkan, penyelesaian masalah dilakukan sebagian
besar oleh provider.
Skor 4 : Keluarga mau melakukan namun tak sepenuhnya, masih tergantung
pada upaya provider.
Skor 5 : Dapat dilakukan sepenuhnya oleh keluarga
A. Anamnesis Holistik
- Aspek Personal
71
Saat saya mendatangi rumah pasien, pasien tidak tahu kalau saya
akan datang. Anak-anak pasien sementara sedang pergi bekerja dan
sekolan. Pasien baru pertama kali mendapat kunjungan dari pihak
puskesmas untuk mengontrol keadaan pasien, disamping itu pasien begitu
senang karena ada teman berbagi cerita.
- Aspek Klinik
Pasien laki-laki, usia 60 tahun datang ke Puskesmas Minasaupa
dengan keluhan batuk berlendir sejak 2 hari yang lalu, pasien juga
mengeluh lendirnya sulit dikeluarkan. Keluhan disertai dengan sesak yang
memberat sejak 1 hari yang lalu. Keluhan lain seperti demam (-), nyeri
kepala (-), nyeri menelan (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), nafsu
makan baik, BAB dan BAK baik. Riwayat penyakit asma (+) dan berobat
rutin di puskesmas sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat HT (+), DM (-).
Keluhan yang sama dalam keluarga (+) yakni ibunya.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
penunjang, didapatkan diagnosis Asma bronkhial.
- Aspek Faktor Risiko Internal
Pasien memiliki riwayat penyakit yang sama pada keluarga, yakni ibunya.
Serta obesitas pasien memiliki risiko terkena asma bronkhial. Pasien
kurang menghindari faktor pencetus yakni debu polusi, stress maupun
udara dingin serta tidak menerapkan pola hidup sehat berupa diet rendah
kalori dan diet rendah garam sehingga pasien kesulitan menurunkan berat
badan dan tekanan darahnya.
72
Derajat 1 yaitu tidak ada kesulitan dimana pasien dapat hidup mandiri
- Rencana Pelaksanaan (Plan of Action)
Pertemuan 1 : Puskesmas Minasaupa, tanggal 9 Januari 2020 pukul 10.00
WITA.
Pertemuan 2 : Rumah pasien, tanggal 13 Januari 2020 pukul 14:05 WITA.
Hasil yang
Aspek Kegiatan Sasaran Waktu Biaya Ket.
diharapkan
73
menjaga lebih kepada
kesehatannya dan pasien dan
menghindari faktor pasien lebih
pencetus terjadinya
termotivasi
asma
untuk berobat
Menganjurkan
kepada keluarga
pasien untuk
menjaga
komunikasi yang
baik dengan pasien
B. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum baik.Tanda Vital: Tekanan Darah: 140/90 mmHg, Nadi:
82 x/menit, Pernapasan : 26 x/menit, Suhu : 36,6oC. Tampak sesak dan
batuk berlendir.
C. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
74
Diagnosis pada pasien ini adalah Asma bronkhial, didapatkan
berdasarkan anamnesis secara holistik yaitu, aspek personal, aspek klinik,
aspek risiko internal, dan aspek risiko eksternal serta pemeriksaan
penunjang dengan melakukan pendekatan menyeluruh dan pendekatan
diagnostik holistik.
Diagnose Psikososial:
- Kurangnya kepedulian pasien mengenai penyakit yang ia alami
- Kurangnya pengetahuan pasien akan faktor risiko terjadinya asma
bronkhial.
E. Penatalaksanaan dan Edukasi
Penatalaksanaan secara kedokteran keluarga pada pasien ini meliputi
pencegahan primer, pencegahan sekunder (terapi untuk pasien dan
keluarga pasien).
Pencegahan Primer
Usaha pencegahan asma antara lain: menjaga kebersihan, menjaga kebersihan
lingkungan, menghindari faktor pencetus serangan asma dan menggunakan
obat-obat anti asma.
Pencegahan Sekunder
a. Pengobatan farmakologi berupa:
- Symbicort 160mcg/12j/inh
- Salbutamol 2 mg/8j/oral
- Amlodipine 5 mg 0-0-1
- Vitamin C 50 mg/8j/oral
b. Pengobatan non-farmakologi
- Menghindari faktor pencetus (alergen, polusi udara, debu, terpapar
angin langsung, udara dingin, stress)
- Tidak merokok
- Hindari polusi kendaraan dengan menggunakan masker
- Diet rendah garam untuk menjaga tekanan darah dalam batas normal
75
- Istirahat cukup
- Turunkan berat badan
- Rutin mengonsumsi obat yang diberikan oleh dokter
- Rutin kontrol ke Puskesmas atau Rumah Sakit
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
76
5.1 KESIMPULAN
Dari studi kasus yang telah dilakukan, dapat diarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Melakukan diagnosis secara klinis meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik
dapat ditegakkan diagnosis klinis pasien yaitu asma bronkhial
2. Melakukan prosedur tatalaksana dan edukasi untuk menghindari faktor
pencetus yang dapat memicu terjadinya asma sesuai dengan standar komptensi
dokter Indonesia
3. Menggunakan landasan ilmu kedokteran klinis dan kesehatan masyarakat
dalam pendekatan holistik dan komprehensif baik secara individu, keluarga,
maupun komunitas.
5.2 SARAN
Dari beberapa masalah yang dapat ditemukan pada Tn. A, maka disarankan :
1. Melakukan edukasi akan pentingnya menghindari faktor pencetus agar
terhindari dari serangan asma
2. Menyarankan pasien untuk senantiasa menjaga pola hidup sehat, diet rendah
garam dan rendah kalori
3. Menyarankan pasien untuk berolahraga agar dapat menurunkan berat badan
4. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit asma
bronkhial
5. Menyarankan kepada keluarga untuk selalu memberi perhatian dan dukungan
lebih kepada pasien dan pasien lebih termotivasi untuk sembuh
DAFTAR PUSTAKA
77
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin Pusat Data dan
Informasi Kemnterian Kesehatan RI. You Can Control Your Asthma.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2017.
2. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan
RI ;2009; 5-11.
3. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma and prevention
Updated 2018. file:///C:/Users/User/Desktop/wms-GINA-2018-report-
tracked_v1.3.pdf Diakses pada tanggal 14 April 2018.
4. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luis
Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma and Immunology Work Group
Report: Exercise-induced asthma. Lowa City, lowa, Rome and Siena,
Italy, Milville, NJ, Hershey, Pa, Porto, Portugal and Colorado Springs,
Colo: American Academy of Allergy:2007.
5. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia.2004
6. Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam.
Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktis Klinis.
Jakarta:Interna Publishing. 2015.
7. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid,
Analog Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h.
496-500.
8. Sundaru, Heru. Sukamto. Asma Bronkial. Buku Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi VI. Jilid II. Jakarta:Interna Publishing. 2015.
LAMPIRAN
78
Gambar 13. Kondisi Kamar Tidur
79
Gambar 15. Kondisi Jamban
80