Anda di halaman 1dari 80

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia.
Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat
bersifat menetap dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktivitas
menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability
(kecacatan), sehingga menambah penurunan produktivitas serta menurunkan
kualitas hidup. (American Academy of Allergy. 2007)

Obstruksi saluran napas ini memberikan gejala-gejala seperti batuk, mengi,


dan sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi secara
bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat
pula terjadi mendadak, sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang akut.
Derajat obstruksi dipengaruhi oleh diameter lumen saluran napas, edema dinding
bronkus, produksi mukus, kontraksi dan hipertrofi otot polos bronkus. Diduga
baik obstruksi maupun peningkatan respon terhadap berbagai rangsangan didasari
oleh inflamasi saluran napas. (Sundaru. 2014)

Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin,
umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa
kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan
1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada
masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi
asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi
dewasa lebih tinggi dari anak. Di lndonesia prevalensi asma berkisar antara 5 -7%.
(Sundaru. 2014)

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor yang mengakibatkan terjadinya Asma bronkhial pada
pasien?
2. Bagaimanakah menegakkan diagnosa secara klinis dan diagnosa
psikososial?
3. Bagaimanakah tingkat pengetahuan keluarga dalam menyikapi penyakit
Asma bronkhial?
4. Bagaimanakah hasil dari terapi yang telah diberikan kepada penderita
Asma bronkhial?
5. Bagaimana upaya pencegahan yang dapat dilakukan pada penderita
Asma bronkhial?

1.3 Aspek Disiplin Ilmu Yang Terkait Dengan Pendekatan Diagnosis


Holistik Komprehensif Pada Penderita Asma bronkhial
Untuk pengendalian masalah asma bronkhial baik pada tingkat individu
maupun masyarakat dilakukan secara komprehensif dan holistik yang disesuaikan
dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), maka mahasiswa program
profesi dokter Universitas Muslim Indonesia melakukan kegiatan kepaniteraan
klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas
dilayanan primer (Puskesmas) dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi
yang dilandasi oleh profesionalitas yang luhur, mawas diri dan pengembangan
diri, serta komunikasi efektif. Selain itu kompetensi mempunyai landasan berupa
pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran, keterampilan klinis, dan
pengelolaan masalah kesehatan. Kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1.3.1 Profesionalitas yang luhur (Kompetensi 1): Untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan permasalahan dalam pengendalian asma bronkhial secara
individual, masyarakat maupun pihak terkait ditinjau dari nilai agama, etika,
moral, dan peraturan perundangan.
1.3.2 Mawas diri dan pengembangan diri (Kompetensi 2) : Mahasiswa mampu
mengenali dan mengatasi masalah keterbatasan fisik, psikis, sosial dan

2
budaya sendiri dalam penanganan asma bronkhial, melakukan rujukan
sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang berlaku serta
mengembangkan pengetahuan.
1.3.3 Komunikasi efektif (Kompetensi 3) : Mahasiswa mampu melakukan
komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada individu, keluarga,
masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian asma bronkhial.
1.3.4 Pengelolaan Informasi (Kompetensi 4) : Mahasiswa mampu memanfaatkan
teknologi informasi komunikasi dan informasi kesehatan dalam praktik
kedokteran.
1.3.5 Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran (Kompetensi 5) : Mahasiswa mampu
menyelesaikan masalah pengendalian asma bronkhial secara holistik dan
komprehensif baik secara individu, keluarga maupun komunitas berdasarkan
landasan ilmiah yang mutakhir untuk mendapatkan hasil yang optimum.
1.3.6 Keterampilan Klinis (Kompetensi 6) : Mahasiswa mampu melakukan
prosedur klinis yang berkaitan dengan masalah asma bronkhial dengan
menerapkan prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan
keselamatan orang lain.
1.3.7 Pengelolaan Masalah Kesehatan (Kompetensi 7) : Mahasiswa mampu
mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat secara
komprehensif, holistik, koordinatif, kolaboratif dan berkesinambungan
dalam konteks pelayanan kesehatan primer.

1.4 Tujuan Dan Manfaat Studi Kasus


Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah memberikan
tatalaksana masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai individu yang
utuh terdiri dari unsur biopsikososial, serta penerapan prinsip pencegahan
penyakit promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Proses pelayanan dokter
keluarga dapat lebih berkualitas bila didasarkan pada hasil penelitian ilmu
kedokteran terkini (evidence based medicine).

3
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat
menerapkan penatalaksanaan penderita asma bronkhial dengan pendekatan
kedokteran keluarga secara paripurna (komprehensif) dan holistik, sesuai dengan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), berbasis Evidence Based Medicine
(EBM) pada pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko dan masalah klinis serta
prinsip penatalaksanaan penderita asma bronkhial dengan pendekatan kedokteran
keluarga di Puskesmas Minasaupa tahun 2020.

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengidentifikasi faktor risiko yang mengakibatkan terjadinya
asma bronkhial di Puskesmas Minasaupa tahun 2020.
2. Untuk mengetahui cara penegakan diagnosis klinis dan diagnosis
psikososial pada penyakit asma bronkhial di Puskesmas Minasaupa
tahun 2020.
3. Mengidentifikasi permasalahan yang didapatkan dalam keluarga dan
lingkungan sosial yang berkaitan dengan penyakit asma bronkhial di
Puskesmas Minasaupa tahun 2020.
4. Untuk mengetahui upaya penatalaksanaan penyakit asma bronkhial di
Puskesmas Minasaupa tahun 2020.
5. Untuk mengetahui upaya pencegahan yang dapat dilakukan pada
penyakit asma bronkhial di Puskesmas Minasaupa tahun 2020.

1.4.2 Manfaat Studi Kasus


1. Bagi Institusi pendidikan.
Dapat dijadikan acuan (referensi) bagi studi kasus lebih lanjut sekaligus
sebagai bahan atau sumber bacaan di perpustakaan.
2. Bagi Penderita (Pasien).
Menambah wawasan akan asma bronkhial yang meliputi proses
penyakit dan penanganan menyeluruh asma bronkhial sehingga dapat
memberikan keyakinan untuk tetap berobat secara teratur.

4
3. Bagi tenaga kesehatan.
Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah
daerah dan instansi kesehatan beserta paramedis yang terlibat di
dalamnya mengenai pendekatan diagnosis holistik penderita asma
bronkhial.
4. Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)
Sebagai pengalaman berharga bagi penulis sendiri dalam rangka
memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai evidenve based
medicine dan pendekatan diagnosis holistik asma bronkhial serta dalam
hal penulisan studi kasus.

1.5 Indikator Keberhasilan Tindakan


Indikator keberhasilan tindakan setelah dilakukan penatalaksanaan
penderita asma bronkhial dengan pendekatan diagnostik holistik, berbasis
kedokteran keluarga dan evidence based medicine adalah:
1. Pasien mampu mengidentifikasi dan mengeleminasi faktor penyebab asma
bronkhial
2. Kepatuhan penderita datang berobat ke puskesmas secara teratur
3. Perbaikan gejala dapat dievaluasi setelah dilakukan pengobatan pasien asma
bronkhial dan pencegahan terhadap penyakit asma bronkhial
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian
keberhasilan tindakan pengobatan didasarkan pada perbaikan gejala yang dapat
dievaluasi setelah dilakukan penatalaksanaan dan pengobatan serta kepatuhan
pasien berobat secara teratur dan menghindari faktor yang dapat memicu asma
juga merupakan kunci utama untuk keberhasilan pengobatan.

5
BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS

2.1 Kerangka Teori

Host

- Riwayat keluarga
- Jenis kelamin
- Atopi/ alergi
- Olahraga/ aktivitas berlebihan
- Infeksi saluran pernapasan
- Gangguan emosi

Agent

- Alergen indoor : debu perabot Asma


rumah, tungau debu, jamur, Bronkhial
binatang peliharaan
- Alergen outdoor : asap rokok

Environment

- Polusi udara
- Perubahan cuaca
- Kelembaban udara

Gambar 1. Gambaran Penyebab Asma Bronkhial

6
2.2 Pendekatan Konsep Mandala

Gaya Hidup
- Pasien menggunakan
kipas angin secara
langsung
- Konsumsi kalori dan
garam berlebih
- Jarang berolahraga Lingkungan Psiko-Sosial-
Ekonomi
Perilaku Kesehatan
- Pengetahuan tentang asma
Family bronkhial masih kurang
- Pasien kesulitan - Bersikap suportif dan
untuk menghindari - Kehidupan sosial dengan
mengingatkan pasien untuk
meminum obat secara rutin lingkungan baik.
faktor pencetus
- Hubungan antar keluarga
terjadinya asma
baik.

Pasien

Pasien datang ke
Pelayanan Kesehatan dengan keluhan
- Jarak rumah dengan puskesmas batuk berlendir
Lingkungan Kerja
cukup dekat. sejak 2 hari yang
- Penyuluhan oleh petugas lalu, lendirnya sulit - Pasien tidak bekerja
kesehatan belum maksimal dikeluarkan. - Hubungan kerja sama dalam
Keluhan disertai keluarga baik
dengan sesak yang
memberat sejak 1
hari yang lalu.
Riwayat Asma (+)

Faktor Biologi Lingkungan Fisik


- Kebersihan rumah cukup
- Riwayat keluarga terawat
- Sinar matahari dan ventilasi
yang memiliki
baik
penyakit yang - Ruang gerak pasien dalam
sama Kurang
melakukan bersihcukup
aktivitas
- Perubahan cuaca - Tingkat kebisingan di
Komunitas lingkunagn rumah cukup
-Pemukiman cukup baik
padat dan sanitasi
lingkungan yang baik.
- Dukungan gaya hidup
sehat dari keluarga
masih kurang

Gambar 2. Konsep Mandala

7
2.3 Pendekatan Diagnosis Holistik Pada Pelayanan Kedokteran Keluarga
Di Layanan Primer
Pengertian holistik adalah memandang manusia sebagai makhluk
biopsikososio-kultural pada ekosistemnya. Sebagai makhluk biologis manusia
adalah merupakan sistem organ, terbentuk dari jaringan serta sel-sel yang
kompleks fungsionalnya.
Diagnostik holistik adalah kegiatan untuk mengidentifikasi dan menentukan
dasar dan penyebab penyakit (disease), luka (injury) serta kegawatan yang
diperoleh dari alasan kedatangan, keluhan personal, riwayat penyakit pasien,
pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang,penilaian risiko
internal/individual dan eksternal dalam kehidupan pasien serta keluarganya.
Sesuai dengan arah yang digariskan dalam Sistem Kesehatan Nasional 2004,
maka dokter keluarga secara bertahap akan diperankan sebagai pelaku pelayanan
pertama (layanan primer). Tujuan Diagnosis Holistik:
1. Penyembuhan penyakit dengan pengobatan yang tepat
2. Hilangnya keluhan yang dirasakan pasien
3. Pembatasan kecacatan lanjut
4. Penyelesaian pemicu dalam keluarga (masalah sosial dalam kehidupannya)
5. Jangka waktu pengobatan pendek
6. Tercapainya percepatan perbaikan fungsi sosial
7. Terproteksi dari risiko yang ditemukan
8. Terwujudnya partisipasi keluarga dalam penyelesaian masalah
Diagnosa secara holistik sangat penting dilakukan sebelum melakukan terapi,
tujuannya yakni:
1. Menentukan kedalaman letak penyakit
2. Menentukan kekuatan serangan patogen penyakit
3. Menentukan kekuatan daya tahan tubuh yang meliputi kekuatan fungsi organ
4. Menentukan urutan tatacara terapi dan teknik terapi  yang akan dipilihnya
5. Menentukan interfal kunjungan terapi. (Modul Pelatihan dan Sertifikasi
ASPETRI Jateng 2011)

8
Diagnosis Holistik memiliki standar dasar pelaksanaan yaitu :
1. Membentuk hubungan interpersonal antar petugas administrasi (penerimaan,
pencatatan biodata) dengan pasien
2. Membentuk hubungan interpersonal antara paramedis dengan pasien
3. Melakukan pemeriksaan saringan (Triage), data diisikan dengan lembaran
penyaring
4. Membentuk hubungan interpersonal anatara dokter dengan pasien
5. Melakukan anamnesis
6. Melakukan pemeriksaan fisik
7. Penentuan derajat keparahan penyakit berdasarkan gejala, komplikasi,
prognosis, dan kemungkinan untuk dilakukan intervensi
8. Menentukan resiko individual  diagnosis klinis sangat dipengaruhi faktor
individual termasuk perilaku pasien
9. Menentukan pemicu psikososial  dari pekerjaan maupun komunitas
kehidupan pasien
10. Menilai aspek fungsi sosial
Dasar-dasar dalam pengembangan pelayanan/pendekatan kedokteran keluarga di
layanan primer antara lain :
1. Pelayanan kesehatan menyeluruh (holistik) yang mengutamakan upaya
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
2. Pelayanan kesehatan perorangan yang memandang seseorang sebagai bagian
dari keluarga dan lingkungan komunitasnya
3. Pelayanan yang mempertimbangkan keadaan dan upaya kesehatan secara
terpadu dan paripurna (komprehensif).
4. Pelayanan medis yang bersinambung
5. Pelayanan medis yang terpadu
Pelayanan komprehensif yaitu pelayanan yang memasukkan pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit dan proteksi khusus
(preventive & spesific protection), pemulihan kesehatan (curative), pencegahan
kecacatan (disability limitation) dan rehabilitasi setelah sakit (rehabilitation)

9
dengan memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan mediko-legal etika
kedokteran.
Pelayanan medis yang disediakan dokter keluarga merupakan pelayanan
bersinambung, yang melaksanakan pelayanan kedokteran secara efisien, proaktif
dan terus menerus demi kesehatan pasien.
Pelayanan medis yang terpadu, artinya pelayanan yang disediakan dokter
keluarga bersifat terpadu, selain merupakan kemitraan antara dokter dengan
pasien pada saat proses penatalaksanaan medis, juga merupakan kemitraan lintas
program dengan berbagai institusi yang menunjang pelayanan kedokteran, baik
dari formal maupun informal. Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan
Primer adalah:
a. Comprehensive care and holistic approach
b. Continuous care
c. Prevention first
d. Coordinative and collaborative care
e. Personal care as the integral part of his/her family
f. Family, community, and environment consideration
g. Ethics and law awareness
h. Cost effective care and quality assurance
i. Can be audited and accountable care
Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien
adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan
spiritual, serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.
Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat
dari beberapa aspek yaitu:
1. Aspek Personal : Keluhan utama, harapan, dan kekhawatiran
2. Aspek Klinis : Bila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan cukup
dengan diagnosis kerja dan diagnosis banding
3. Aspek Internal : Kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku.
Karakteristik pribadi amat dipengaruhi oleh umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, kultur,

10
etnis, dan lingkungan.
4. Aspek Eksternal : Psikososial dan ekonomi keluarga.
5. Derajat Fungsi Sosial:
Derajat 1 : Tidak ada kesulitan, dimana pasien dapat hidup mandiri
Derajat 2 : Pasien mengalami sedikit kesulitan
Derajat 3 : Ada beberapa kesulitan, perawatan diri masih bisa dilakukan,
hanya dapat melakukan kerja ringan
Derajat 4 : Banyak kesulitan, dapat melakukan aktifitas kerja, bergantung
pada keluarga
Derajat 5 : Tidak dapat melakukan kegiatan

2.4 ASMA BRONKHIAL


2.4.1 Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004)
Asma merupakan penyakit yang heterogen yang ditandai dengan inflamasi
kronik saluran napas. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan
seperti wheezing (mengi), sesak napas, dada terasa  berat, dan batuk yang
bervariasi diantara waktu dan intensitas dan disertai dengan hambatan jalan napas
ekspirasi yang bervariasi. Variasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor
seperti olahraga, paparan alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus
pada saluran napas. (Global Initiative for Asthma. 2018)

11
2.4.2 Epidemiologi

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di


Indonesia, hal itu tergambar dari studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
di berbagai provinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga Indonesia
(SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki ke-5 dari 10 penyebab kesakitan
berama-sama dengan bronchitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992 asma,
bronchitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-4 di Indonesia
atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, pravelensi asma di seluruh Indonesia sebesar
13/1000 dibandingkan bronchitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.2
Asma dapat ditemukan disegala usia terutama usia dini. Perbandingan laki-
laki dan perempuan pada usia dini 2:1 dan pada usia remaja 1:1. Pravelensi asma
lebih besar pada wanita usia dewasa.3
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan (WHO) hingga saat ini, jumlah
penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan
angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.4
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevelensi penyakit
asma di Indoneisa 5% dari seluruh penduduk di Indonesia, artinya saat ini ada
12,5 juta pasien asma di Indonesia. 5
2.4.3 Klasifikasi
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan faal paru dapat ditentukan
klasifikasi (derajat) Asma sebagai berikut:

12
Klasifikasi berdasarkan GINA, 2018:
a) Lebih dari satu gejala berikut: mengi, sesak napas, batuk, dada terasa
berat, terutama pada orang dewasa.
b) Gejala sering memburuk pada malam hari atau menjelang pagi
c) Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya
d) Ada faktor pencetus seperti infeksi virus, olahraga, terpapar oleh
alergen, perubahan cuaca, merokok, dan sebagainya.

2.4.4 Patogenesis

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi


berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.
Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma
nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.

INFLAMASI AKUT

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri
atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe
lambat.

1) Reaksi Asma Tipe Cepat


Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.

13
2) Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

INFLAMASI KRONIK

Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut
ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot
polos bronkus.

1) Limfosit T

Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-
sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-
CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.

2) Epitel

Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi,
endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma
sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi
dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-
radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.

Eosinofil

Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak


spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah
dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis
sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator

14
lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF
meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein
(ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil
derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.

Sel Mast

Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking
reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi
degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan
protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan
leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4,
IL-5 dan GM-CSF.

15
Inflamasi dan remodelling pada asma

Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan proses remodeling

Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik dan airway


remodeling dengan gejala klinis

Makrofag

Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada


orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh
percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara
lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses
inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran

16
tersebut melalui a.l sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast, sitokin,
PDGF dan TGF-β

AIRWAY REMODELING

Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan


yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process)
yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan
sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan
jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian
jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan
jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses
penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan
struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum
diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat
heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi,
dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh
restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai
fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan


remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga
komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks
interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah,
otot polos, kelenjar mukus.

Perubahan struktur yang terjadi :

 Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas


 Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
 Penebalan membran reticular basal
 Pembuluh darah meningkat
 Matriks ekstraselular fungsinya meningkat

17
 Perubahan struktur parenkim
 Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Perubahan struktur pada airway remodeling dan konsekuensi klinis

Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena


sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus
(longstanding inflammation).
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda
asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas
dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat
dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses
tersebut.
2.4.5 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di
dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada
mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien
akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada
sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi,
dikenal dengan istilah cough voriont osthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai,
perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau
uji provokasi bronkus dengan metakolin.

18
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala
asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala
terhadap faktor pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang,
infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca.

Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada
awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya
tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien
dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan
dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada
di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis.

2.4.6 Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host
factor) dan faktor lingkungan.

19
2.4.7 Diagnosis

Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, dan


pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk,
sesak, mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya
mengeluh batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu
kegiatan jasmani. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien maupun
keluarganya seperti rinitis alergi, atau dermatitis atopik membantu diagnosis
asma. Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul
sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu.
Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan. Dengan mengetahui
faktor pencetus kemudian menghindarinya, maka diharapkan gejala asma dapat
dicegah Faktor-faktor pencetus pada asma yaitu:

a. Infeksi virus saluran napas; influenza


b. Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang
c. Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi
d. Kegiatan jasmani: lari
e. Ekspresi emosional takut, marah, frustasi
f. Obat-obat aspirin, penyekat beta, anti-inflamasi nonsteroid
g. Lingkungan kerja: uap zat kimia
h. Polusi udara: asap rokok
i. Pengawet makanan: sulfit
j. Lain-lain, misalnya haid, kehamilan, sinusitis

Yang membedakan asma dengan penyakit paru yang lain yaitu pada asma
serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan asma tanpa diobati
ada yang hilang sendiri. Tetapi membiarkan pasien asma dalam serangan tanpa
obat selain tidak etis, juga dapat membahayakan nyawa pasien. Gejala asma juga
sangat bervariasi dari satu individu ke individu lain, dan bahkan bervariasi pada
individu sendiri misalnya gejala pada malam hari lebih sering muncul dibanding
siang hari.

20
Pemeriksaan Fisis:
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisis pasien asma, tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada,
pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Dalam
praktek jarang dijumpai kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering
pula dijumpai pasien bukan asma mempunyai mengi, sehingga diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis

Pemeriksaan Penunjang

a) Spirometri
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis
asma adalah melihat respons pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator hirup (inholer alau nebulizer) golongan adrenergik beta.
Peningkatan VEP1 sebanyak > 1T%io atau (> 200m1) menunjukkan
diagnosis asma. Tetapi respons yang kurang dari 12% atau 200m1, tidak
berarti bukan asma. Hal-hal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang
sudah normal atau mendekati normal. Demikian pula respons terhadap
bronkodilator tidak d'rjumpai pada obstruksi saluran napas yang berat,
oleh karena obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat memberikan efek
yang diharapkan. Untuk melihat reversibilitas pada hal yang disebutkan di
atas mungkin diperlukan kombinasi obat golongan adrenergik beta,
teofilin dan bahkan kortikosteroid untuk jangka waktu pengobatan 2-3
minggu. Reversibilitas dapat terjadi tanpa pengobatan yang dapat dilihat
dari hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan pada saat yang berbeda-
beda misalnya beberapa hari atau beberapa bulan kemudian.

Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan


diagnosis, juga penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek
pengobatan. Kegunaan spirometri pada asma dapat disamakan dengan
tensimeter pada penatalaksanaan hipertensi atau glukometer pada diabetes

21
melitus. Banyak pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini mengakibatkan pasien
mudah mendapat serangan asma dan bahkan bila berlangsung lama atau
kronik dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruktif kronik.

b) Uji Provokasi Bronkus


Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya
hipereaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus. Ada beberapa
cara untuk melakukan uji provokasi bronkus seperti uji provokasi dengan
histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam
hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. Penurunan VEPl sebesar
20% atau lebih dianggap bermakna. Uji dengan kegiatan jasmani,
dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga
mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dianggap bermakna
bila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak Ekspirasi) paling sedikit
10%. Akan halnya uji provokasi dengan alergen, hanya dilakukan pada
pasien yang alergi terhadap alergen yang diuji.
c) Pemeriksaan Sputum
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan
neutrofil sangat dominan pada bronkhitis kronik. Selain untuk melihat
adanya eosinofil, kristal Charcot-Leyden, dan Spirol Curschmann;
pemeriksaan ini juga penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus
fumigatus.
d) Pemeriksaan Eosinofil Total
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien
asma dan hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis
kronik. Pemeriksaan ini juga dapat dipakai sebagai patokan untuk
menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pasien
asma.
e) Uji Kulit

22
Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi lgE
spesifik dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji
alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula
sebaliknya.
f) Pemeriksan Kadar IgE total dan IgE Spesifik dalam Sputum
Kegunaan pemeriksaan lgE total hanya untuk menyokong adanya
atopi. Pemeriksaan lgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit
tidak dapat dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.
g) Foto Rontgen Dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis
di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis, dan lain-lain.
h) Analisis Gas Darah

Pemeriksaan Ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase
awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO, < 35 mmHg)
kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO, justru mendekati normal
sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya
hiperkapnia (PaCO, > 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.

i) Tes Kontrol Asma


Diperkenalkan oleh Nathan dkk yang berisi 5 pertanyaan dan
masing-masing pertanyaan mempunyai skor 1 sampai 5, sehingga nilai
terendah ACT adalah 5 dan tertinggi 25. lnterpretasi dari skor tersebut
adalah :
 bila kurang atau sama dengan 19 berarti asma tidak terkontrol,
sedangkan dibawah 15 dikatakan terkontrol buruk
 20-24 dikatakan terkontrol baik
 25 dikatakan terkontrol total atau sempurna

23
Pengobatan dimulai sesuai dengan tahap atau tingkat beratnya
asma. Bila gejala asma tidak terkendali, lanjutkan pengobatan ke tingkat
berikutnya. Tetapi sebelumnya perhatikan lebih dahulu apakah teknik
pengobatan, ketaatan berobat serta pengendalian Iingkungan
(penghindaran alergen atau faktor pencetus) telah dilaksanakan dengan
baik. Setelah asma terkinelali paling tidak untuk jangka waktu 3 bulan,
dapat dicoba menurunkan obat-obat anti asma secara bertahap, sampai
mencapai dosis minimum yang dapat mengendalikan gejala.

24
2. Perhatian khusus terhadap gejala klinis dan faktor yang mempengaruhi
pilihan terapi/ penatalaksanaan Asma Bronkhial.4
a. Singkirkan diagnosis banding.
b. Pada kasus dengan diagnosis yang meragukan, sebaiknya dikonsulkan
pada ahli pulmologi untukmenyingkirkan diagnosis lain yang menyerupai
asma. Umumnya dilakukan artrosentesis diagnosis.
c. Perhatikan dampak penyakit pada status sosial seseorang
d. Perhatikan tujuan terapi yang ingin dicapai, harapan pasien, mana yang
lebih disukai pasien, bagaimana respon pengobatannya.
e. Faktor psikologis yang mempengaruhi

2.4.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.

Tujuan penatalaksanaan asma:


1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation)
ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma


dikatakan terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya
tidak diperlukan)

25
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma


adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas
yang menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat
episodik. Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai
pendekatan yang dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman
dan dari segi harga terjangkau. Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal
dengan:

Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :

1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan


bahasa yang mudah dan dikenal (dalam edukasi) dengan “7 langkah
mengatasi asma”, yaitu :

1. Mengenal seluk beluk asma


2. Menentukan klasifikasi
3. Mengenali dan menghindari pencetus
4. Merencanakan pengobatan jangka panjang
5. Mengatasi serangan asma dengan tepat
6. Memeriksakan diri dengan teratur

26
7. Menjaga kebugaran dan olahraga

Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut


sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam
waktu satu bulan (asma terkontrol, lihat program penatalaksanaan)

Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk


mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat 3
faktor yang perlu dipertimbangkan :

1. Medikasi (obat-obatan)
2. Tahapan pengobatan
3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)

Medikasi Asma

Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi


jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.

Pengontrol (Controllers)

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,


diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol :

 Kortikosteroid inhalasi
 Kortikosteroid sistemik
 Sodium kromoglikat
 Nedokromil sodium
 Metilsantin
 Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
 Agonis beta-2 kerja lama, oral
 Leukotrien modifiers

27
 Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
 Lain-lain

Pelega (Reliever)

Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,


memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega
adalah :

 Agonis beta2 kerja singkat


 Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat
pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal
tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan
bronkodilator lain).
 Antikolinergik
 Aminofillin
 Adrenalin

Rute pemberian medikasi

Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral
dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian
medikasi langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :

 lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan


napas
 efek sistemik minimal atau dihindarkan
 beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak
terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin).
Waktu kerja bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan
inhalasi daripada oral.

28
Macam-macam cara pemberian obat inhalasi

 Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI)


 IDT dengan alat Bantu (spacer)
 Breath-actuated MDI
 Dry powder inhaler (DPI)
 Turbuhaler
 Nebuliser

Pengontrol

Glukokortikosteroid inhalasi

Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid
inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat).
Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang
direkomendasikan.

29
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis
orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Semua efek
samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer, atau mencuci mulut
dengan berkumur-kumur dan membuang keluar setelah inhalasi. Absorpsi
sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui absorpsi obat di paru. Risiko terjadi
efek samping sistemik bergantung kepada dosis dan potensi obat yang berkaitan
dengan biovailibiliti, absorpsi di usus, metabolisme di hati (first-pass
metabolism), waktu paruh berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus; sehingga
masing-masing obat steroid inhalasi berbeda kemungkinannya untuk
menimbulkan efek sistemik. Penelitian menunjukkan budesonid dan flutikason
propionate mempunyai efek sistemik yang rendah dibandingkan beklometason
dipropionat dan triamsinolon. Risiko efek sistemik juga bergantung sistem
penghantaran. Penggunaan spacer dapat menurunkan bioavailabiliti sistemik dan
mengurangi efek samping sistemik untuk semua glukokortikosteroid inhalasi.

Glukokortikosteroid sistemik

Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai


pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari),
tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Harus selalu
diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih
baik daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih efektif
menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral
terpaksa harus diberikan misalnya pada keadaan asma persisten berat yang dalam
terapi maksimal belum terkontrol (walau telah menggunakan paduan pengobatan
sesuai berat asma), maka dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu.
Hal itu terjadi juga pada steroid dependen. Di Indonesia, steroid oral jangka
panjang terpaksa diberikan apabila penderita asma persisten sedang-berat tetapi
tidak mampu untuk membeli steroid inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya
mempertimbangkan berbagai hal di bawah ini untuk mengurangi efek samping
sistemik. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberi steroid oral :

30
 Gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena
mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek
striae pada otot minimal
 Bentuk oral, bukan parenteral
 Penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari

Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid oral/ parenteral jangka


panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari
hipotalamus, katarak, glaukoma, obesiti, penipisan kulit, striae dan kelemahan
otot.

Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan nedokromil sodium belum
sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid,
menghambat penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai
IgE yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu
(makrofag, eosinofil, monosit); selain kemungkinan menghambat saluran kalsium
pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol
pada asma persisten ringan. Studi klinis menunjukkan pemberian sodium
kromoglikat dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif
jalan napas walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi. Dibutuhkan waktu
4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat
melakukan inhalasi.

Metilsantin

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner


seperti antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan hambatan
fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan
efek antiinflamasi melalui mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi
rendah (5-10 mg/dl). Pada dosis yang sangat rendah efek antiinflamasinya minim

31
pada inflamasi kronik jalan napas dan studi menunjukkan tidak berefek pada
hiperesponsif jalan napas. Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator
tambahan pada serangan asma berat. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral
diberikan bersama/kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat, sebagai
alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.

Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat


pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif
mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai
aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma
malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim.

Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( ≥ 10 mg/kgBB/ hari atau
lebih); hal itu dapat dicegah dengan pemberian dosis yang tepat dengan monitor
ketat. Gejala gastrointestinal nausea, muntah adalah efek samping yang paling
dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardia, aritmia dan
kadangkala merangsang pusat napas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan
kejang bahkan kematian.

Agonis beta-2 kerja lama

Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya
agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi
penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. Kenyataannya pada pemberian
jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2
kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap
rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama,
menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral.

32
Perannya dalam terapi sebagai pengontrol bersama dengan glukokortikosteroid
inhalasi dibuktikan oleh berbagai penelitian, inhalasi agonis beta-2 kerja lama
sebaiknya diberikan ketika dosis standar glukokortikosteroid inhalasi gagal
mengontrol dan, sebelum meningkatkan dosis glukokortikosteroid inhalasi
tersebut. Karena pengobatan jangka lama dengan agonis beta-2 kerja lama tidak
mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasikan
dengan glukokortikosteroid inhalasi. Penambahan agonis beta-2 kerja lama
inhalasi pada pengobatan harian dengan glukokortikosteroid inhalasi,
memperbaiki gejala, menurunkan asma malam, memperbaiki faal paru,
menurunkan kebutuhan agonis beta-2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan
frekuensi serangan asma.

Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik
(rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih
sedikit atau jarang daripada pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol
asma, yang beredar di Indonesia adalah salbutamol lepas lambat, prokaterol dan
bambuterol. Mekanisme kerja dan perannya dalam terapi sama saja dengan bentuk
inhalasi agonis beta-2 kerja lama, hanya efek sampingnya lebih banyak. Efek
samping berupa rangsangan kardiovaskular, ansieti dan tremor otot rangka.

Leukotriene modifiers

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis
semua leukotrin (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien
sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme
kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.

Pelega

Agonis beta-2 kerja singkat

33
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol
yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang
cepat. Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat
secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat
dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-
2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator
dari sel mast.

Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan


hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek
samping daripada oral. Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita
yang tidak dapat/mungkin menggunakan terapi inhalasi.

Metilsantin

Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah


dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.

Teofilin kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta2 kerja
singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk respiratory drive,
memperkuat fungsi otot pernapasan dan mempertahankan respons terhadap agonis
beta-2 kerja singkat di antara pemberian satu dengan berikutnya. Teofilin
berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana metilsantin, tetapi dapat
dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin kerja
singkat sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi
teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam
serum.

Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan


asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi
dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat

34
refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif
agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk
mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun
tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi. Termasuk dalam
golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.

Tidak bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif


pelega pada penderita yang menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2
kerja singkat inhalasi seperti takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping
berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit.

Adrenalin

Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak
tersedia agonis beta-2, atau tidak respons dengan agonis beta2 kerja singkat.
Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut
atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila
dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).

Pengobatan berdasarkan derajat asma

Asma Intermitten

Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan alergen,
asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal. Demikian
pula penderita exercise-induced asthma atau kambuh hanya bila cuaca

35
buruk,tetapi di luar pajanan pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal paru
normal.

Serangan berat umumnya jarang pada asma intermiten walaupun mungkin


terjadi. Bila terjadi serangan berat pada asma intermiten, selanjutnya penderita
diobati sebagai asma persisten sedang.

Asma Persisten Ringan

Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap hari


untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah bera;
sehingga terapi utama pada asma persisten ringan adalah antiinflamasi setiap hari
dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Dosis yang dianjurkan 200-400
ug BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari atau ekivalennya, diberikan sekaligus atau
terbagi 2 kali sehari.

Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila
penderita membutuhkan pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari,
pertimbangkan kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan
berikutnya.

Asma Persisten Sedang

Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol setiap


hari untuk mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya
pengontrol adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari
atau 250-500 ug FP/ hari atau ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis
beta-2 kerja lama 2 kali sehari.

Jika penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah


( 400 ug BD atau ekivalennya) dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan
agonis beta-2 kerja lama inhalasi atau alternatifnya. Jika masih belum terkontrol,
dosis glukokortikosteroid inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan alat

36
bantu/ spacer pada inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi dalam satu kemasan
(fix combination) agar lebih mudah.

Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan, tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Alternatif agonis
beta-2 kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat
oral, atau kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat.
Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah
menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol.

Asma Persisten Berat

Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin,
gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru
(APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek
samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai hal tersebut umumnya
membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu pengontrol.
Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800
ug BD/ hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari.
Kadangkala kontrol lebih tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi
terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari.

Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers
dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai
kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat sebagai
tambahan terapi selain kombinasi terapi yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi
dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi) Jika sangat dibutuhkan, maka dapat
diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis seminimal mungkin, dianjurkan
sekaligus single dose pagi hari untuk mengurangi efek samping. Pemberian
budesonid secara nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis
tinggi glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik
yang sama dengan pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan
menimbulkan efek samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehingga tidak

37
dianjurkan untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar
serangan/ stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang.

Obat asma yang tersedia di Indonesia

38
Sediaan dan Dosis Obat Pengontrol Asma

39
Sediaan dan Dosis Obat Pengontrol Asma

40
Sediaan dan Dosis Obat Pelega untuk mengatasi gejala Asma

41
Sediaan dan Dosis Obat Pelega untuk mengatasi gejala Asma

2.4.9 Diagnosis banding2


1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
2. Bronkhitis Kronik
3. Gagal jantung kongestif
4. Batuk kronik akibat lain-lain
5. Disfungsi larings
6. Obstruksi mekanis
7. Emboli paru

42
BAB III
METODOLOGI DAN LOKASI STUDI KASUS
3.1 Metodologi Studi Kasus
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif. Penelitian yang
digunakan yaitu penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif
adalah berupa penelitian dengan metode atau pendekatan studi kasus (case study).
Penelitian ini memusatkan diri secarab intensif pada obyek tertentu yang
mempelajarinya sebagai suatu kasus. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua
pihak yang bersangkutan, dengan kata lain dalam studi ini dikumpulkan dari
berbagai sumber.
Cara pengumpulan data dengan melakukan wawancara dan pengamatan
terhadap pasien dan keluarganya dengan cara melakukan home visit untuk
mengetahui secara holistik keadaan dari penderita.
3.2 Lokasi dan Waktu Melakukan Studi Kasus
3.2.1 Waktu Studi Kasus
Studi kasus dilakukan pertama kali saat penderita datang berobat di
Puskesmas Minasaupa pada tanggal 09 Januari 2020. Selanjutnya dilakukan
home visit untuk mengetahui secara holistik keadaan dari penderita. Studi kasus
dilakukan pertama kali saat pasien datang berobat di Puskesmas Minasa Upa pada
tanggal 09 Januari 2020. Selanjutnya dilakukan home visit untuk mengetahui
secara holistik keadaan dari pasien.

3.2.2 Lokasi Studi Kasus

Studi kasus bertempat di Puskesmas Minasa Upa yang berlokasi di Jalan


Minasa Upa Raya No. 18, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.

Gambar 9. Puskesmas Minasaupa

43
3.3 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
3.3.1 Letak Geografis
Puskesmas Minasa Upa terletak di Jalan Minasa Upa Raya No.18,

Tamarunang, Merupakan salah satu Puskesmas yang ada dipuskesmas yang ada

di Kecamatan Makassar Kota Makassar. Wilayah kerja puskesmas minasa upa

terdiri dari kelurahan gunung sari dengan 18 RW dan karunrung dengan 1 RW

dengan batasan sebagai berikut:

1. Sebelah utara berbatasan dengan RW V kelurahan Karunrung

2. Sebelah selatan berbatasan dengan Keluarahan Mangasa

3. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Somba Opu Kabupaten

Gowa

4. Sebelah barat berbatasan dengan RW II Kelurahan Gunung Sari

Gambar 10. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Minasaupa

Wilayah kerja Karunrung sebagian besar wilayah kerja Puskesmas Minasa

Upa berada dalam wilayah Kelurahan Gunung Sari dengan luas 2,31 km2 dan

Kelurahan Karunrung 1,52 km2. Serta total jumlah penduduk dan wilayah

kerja adalah 30.825 jiwa. Oleh karena berada didepan jalan poros maka

Puskesmas Minasa Upa terjangkau oleh kendaraan umum.

44
3.3.2 Keadaan Demografi Lokasi Studi Kasus

Jumlah Penduduk di wilayah kerja Puskesmas Minasa Upa pada tahun

2016 sebanyak 55.719 jiwa dengan perincian laki-laki 27.689 orang dan

perempuan 28.030.

Pria (Jiwa) Wanita (Jiwa) Jumlah (Jiwa)


27.689 28.030 55.719
Tabel 1. Distribusi Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Minasa Upa

Kelurahan Jumlah Penduduk (Jiwa)


Gunung Sari 41.609
Karunrung 14.110
Total 55.719
Tabel 2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelurahan

3.3.3 Pertumbuhan Penduduk/Jumlah Penduduk

Jumlah pertumbuhan penduduk adalah 683 jiwa per tahun 2016.Dalam

upaya menekan laju pertumbuhan penduduk dilaksanakan melalui tingkat

kelahiran dan penurunan angka kematian (bayi, anak balita dan ibu) dimana

pertumbuhan yang tinggi akan menambah beban pembangunan.

3.3.4 Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk di wilayah kerja Puskesmas Minasa Upa adalah

sebanyak 26.960 jiwa per km2. Kepadatan penduduk sangat mempengaruhi

tingkat kesejahteraan anak serta masalah sosial ekonomi. Hal ini terjadi karena

faktor gizi yang berhubungan dengan lingkungan, perumahan dan sanitasi yang

kotor menyebabkan berbagai macam penyakit yang muncul.

3.3.5 Struktur Penduduk Menurut Usia dan Jenis Kelamin

Berdasakan komponen umur dan jenis kelamin maka karakteristik

penduduk dari suatu negara dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu:

45
1. Ekspansif, jika sebagian besar penduduk berada dalam kelompok umur

termuda.

2. Konstruktif, jika penduduk berada dalam kelompok termuda hampir

sama besarnya

3. Stasioner, jika banyaknya penduduk sama dalam tiap kelompok umur

tertentu

No Kelompok Jumlah Penduduk


. Umur (thn) Laki-Laki Perempuan Laki-Laki+Perempuan
1. 0-4 2338 2340 4678
2. 5-9 1879 2242 4121
3. 10-14 1902 2224 4126
4. 15-19 2052 2078 4130
5. 20-24 2132 2396 4528
6. 25-29 2408 2258 4666
7. 30-34 2344 2184 4528
8. 35-39 1950 2178 4128
9. 40-44 1768 2012 3780
10. 45-49 1906 1754 3660
11. 50-54 1628 1460 3088
12. 55-59 1626 1502 3128
13. 60-64 1328 1196 2524
14. 65-69 1060 1136 2196
15. 70-74 764 624 1388
16. +75 604 446 1050
Jumlah 27.689 28.030 55.719
Tabel 3. Distribusi Penduduk berdasarkan Penggolongan Usia

3.3.6 Perkawinan dan Fertilitas

Rata-rata kawin pertama dari tahun ke tahun berdasarkan profil

kesehatan propinsi Sulawesi Selatan mengalami kenaikan dari umur 19,4

tahun.

46
3.3.7 Tingkat Pendidikan Penduduk

Pendidikan salah satu upaya membentuk manusia terampil dan produktif

sehingga pada gilirannya dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan

masyarakat.

No Sarana Pendidikan Jumlah


1 Taman Kanak-kanak 7 buah
2 SD Neg/Inpres 9 buah
3 SMP 1 buah
4 SMA 1 buah
5 Akademi 1 buah
Tabel 4. Distribusi Sarana Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Minasa Upa

3.3.8 Kegiatan Ekonomi

Mata pencaharian penduduk di wilayah kerja Puskesmas Minasa Upa

dapat dilihat pada tabel berikut:

Pekerjaan Jumlah Penduduk


PNS 2012 orang ( 51.2%)
ABRI 75 orang ( 1,9 %)
Pensiunan ABRI 228 orang (5,8%)
Pedagang 1466 orang ( 37,3 %)
Buruh 149 orang ( 3,8%)
Tabel 5. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Wilayah Kerja Puskesmas Minasa Upa

3.3.9 Agama

Jumlah penduduk dalam wilayah Puskesmas Minasa Upa sebagian

beragama Islam sebanyak 45.657 orang, beragama Protestan 2.588 orang,

beragama Khatolik 1.286 orang, beragama Hindu 113 orang, selebihnya beragama

Budha 173 orang

No Agama Jumlah
1 Islam 45.657 Jiwa
2 Protestan 2.588 Jiwa
3 Katholik 1286 Jiwa
4 Hindu 113 Jiwa

47
5 Budha 173 Jiwa
Tabel 6. Distribusi Penduduk Menurut Agama di Wilayah Kerja Puskesmas Minasa Upa

3.4 Sarana Kesehatan

3.4.1 Data Dasar Puskesmas

Pusat Kesehatan Masyarakat atau yang selanjutnya disebut

PUSKESMAS adalah fasilitas pelayananan kesehatan yang

menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya

kesehatan perorangan tingkat pertama dengan lebih

mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah

kerjanya.

Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan

masyarakat tingkat pertama esensial dan pengembangan, dan

upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama berupa rawat

jalan, pelayanan gawat darurat, one day care, dan home care

berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan.

3.4.2 Sarana Pelayanan Kesehatan

1. Gedung Puskesmas

Terdiri dari 1 (satu) gedung bertingkat, lantai 1 digunakan untuk

pelayanan pasien rawat jalan dan lantai 2 digunakan untuk pelayanan pasien rawat

inap.

2. Kendaraan

Dua unit kendaraan beroda empat yang sampai saat ini masih dalam

keadaan baik dan terpakai, yakni mobil Home Care (Dottoro’ta). Ruangan medis

48
terdiri dari ruang poliklinik umum, laboratorium, ruang poliklinik gigi, apotek, /

kamar obat, ruang rawat inap, dapur umum, gudang, WC, ruang kepegawaian,

ruang KIA dan imunisasi, ruang KB dan IMS, ruang kepala puskesmas, ruang

keuangan, ruang P2M dan kesling.

3.4.3 Struktur Organisasi

Gambar 6. Struktur Organisasi PKM Minasa Upa

Struktur Organisasi Puskesmas Minasa Upa terdiri atas:

 Kepala Puskesmas

 Kepala Tata Usaha :

- Upaya Kesehatan Masyarakat Esensial dan Keperawatan

Kesehatan Masyarakat

- Upaya Kesehatan Masyarakat Pengembangan

- Upaya Kesehatan Masyarakat Perorangan Kefarmasian dan

Laboratorium

- Jaringan Pelayanan Puskesmas dan Jejaring.

49
3.4.4 Tenaga Kesehatan
Jumlah tenaga kesehatan yang terdapat di Puskesmas Minasa Upa
sebanyak 37 orang dengan berbagai spesifikasi, yang terdiri dari:
No Tenaga Kesehatan Jumlah
1 Dokter umum 2 Orang
2 Dokter Gigi 1 Orang
3 Apoteker 2 Orang
4 Perawat 11 Orang
5 Bidan 6 Orang
6 Perawat Gigi 2 Orang
7 Nutrisionist 2 Orang
8 Epidemiologi 1 orang
9 Sanitarian 2 Orang
10 Laboratorium 1 orang
11 Asisten apoteker 1 Orang
12 Bendahara 1 Orang
13 Tata Usaha 1 Orang
14 Staf 1 Orang
15 Juru Masak 1 Orang

Tabel 7. Tenaga Kesehatan Puskesmas Minasa Upa

3.4.5 Visi Dan Misi Puskesmas

A. Visi Puskesmas Minasa Upa

“Terwujudnya Puskesmas Minasa Upa Sebagai Sentra Pelayanan Kesehatan

Yang Berkualitas”.

B. Misi Puskesmas Minasa Upa

- Memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau

- Mengembangkan sarana dan prasarana yang mengedepankan kualitas

pelayanan

- Meningkatkan akses dan keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan

kesehatan

50
- Mendorong pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan paradigma sehat

- Meningkatkan pembangunan yang berwawasan kesehatan.

3.4.6 Upaya Kesehatan

Puskesmas Minasa Upa sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)

Dinas Kesehatan Kota Makassar yang bertanggung jawab terhadap pembangunan

kesehatan di wilayah kerjanya. Puskesmas berperan menyelenggarakan upaya

kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat

bagi setiap penduduk agar memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

Dengan demikian Puskesmas berfungsi sebagai pusat penggerak

pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan keluarga dan

masyarakat serta pusat pelayanan kesehatan strata pertama.

Upaya kesehatan di Puskesmas Minasa Upa terbagi atas dua upaya

kesehatan yaitu :

1. Upaya kesehatan wajib puskesmas

- Upaya Promosi Kesehatan

- Upaya Kesehatan Lingkungan

- Upaya Kesehatan Ibu Dan Anak Serta Keluarga Berencana

- Upaya Perbaikan Gizi

- Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Penyakit Menular

- Upaya Pengobatan

2. Upaya kesehatan pengembangan

- Upaya Kesehatan Sekolah

- Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat

51
- Upaya Kesehatan Kerja

- Upaya Kesehatan Gigi Dan Mulut

- Upaya Kesehatan Jiwa

- Upaya Kesehatan Usia Lanjut

Berikut adalah penjabaran upaya kesehatan wajib puskesmas:

Upaya promosi kesehatan

1. Pembinaan dan pelayanan di posyandu

2. Penyegaran kader

3. Survei mawas diri

4. Musyawarah masyarakat kelurahan

5. Pemantauan PHBS rumah tangga

6. Pendataan Indikator Keluarga Sehat

Upaya kesehatan lingkungan

1. Pendataan TTU, dan TPM

2. Pemicu sanitasi total masyarakat

3. Inspeksi sanitasi

4. Pendataan dan pemantauan lingkungan pemukiman

5. Abatesasi

6. Penyuluhan kesehatan lingkungan

7. Pemantauan jentik

8. Penyuluhan tentang stop BAB sembarangan

9. Pemicu stop BAB sembarangan

10. Pemantauan kualitas air (damicu, SGL, S.bor)

52
Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana

1. Pemeriksaan ibu hamil (pemeriksaan, penjaringan ibu hamil,

kunjungan rumah bumil DO, kunjungan rumah ibu hamil RESTI)

2. Kelas ibu hamil

3. Pelaksanaan program perencanaan persalinan dan komplikasi

4. Skrining HIV

5. Penjemputan data ibu bersalin di RS, RSB, dan RSIA

6. PMT ibu hamil KEK

7. Pemeriksaan IVA

8. Pelacakan kasus kematian ibu termaksud otopsi

9. Pemantauan kesehatan ibu nifas

10. Pelayanan nifas termasuk KB

11. Pemeriksaan neonatus

12. Pemantauan kesehatan neonatus termasuk neonatus resiko tinggi

13. Pelacakan kematian neonatus termasuk otopsi verbal

14. Pemeriksaan bayi

15. Pemantauan bayi resti

16. Pelayanan dan konseling keluarga berencana

Upaya perbaikan kesehatan gizi masyarakat

1. Pemantauan pertumbuhan bayi dan balita di posyandu setiap bulan

2. Pemantauan status gizi

3. Pelacakan bayi/ balita rawan gizi

53
4. Pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan gizi pada balita

gizi kurang dan gizi buruk

5. Pemberian PMT penyuluhan

6. Edukasi pendidikan kesehatan

7. Pemantauan garam beryodium

8. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada bayi dan balita.

9. Pemberian TTD pada anak remaja putri usia 12 – 18 tahun

Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular

1. Sosialisasi dan penyuluhan penyakit TB MDR, HIV/AIDS, IMS,

malaria, DBD, kecacingan, dan tuberculosis

2. Penemuan kasusu secara dini

3. Pelacakan kasusu kontak

4. Pengobatan dan pencegahan (individu, keluarga, dan masyarakat)

5. Kunjungan rumah untuk follow up tata laksana

6. Pengembalian dan pengiriman specimen

7. Monitoring dan evaluasi

8. Screening TB-HIV

9. Penemuan kasus baru

10. Pelacakan penderita mangkir

11. Pemeriksaan kontak kusta

12. Penanganan reaksi pemeriksaan anak sekolah

54
Upaya pengobatan

1. Pemeriksaan: umum dan gigi

2. Pemeriksaan penunjang

3. Pemberian obat

3.4.7 Sepuluh Penyakit Utama di Puskesmas Minasa Upa

Nama Penyakit Jumlah

Common cold 176

Hipertensi 175

Dermatitis dan penyakit lainnya 99

Diabetes mellitus 96

Batuk 67

Demam yang tidak diketahui penyebabnya 67

ISPA 59

Gangguan jaringan lunak lainnya 52

Artritis 49

Asma bronchial 44

Tabel 8. Daftar 10 Penyakit Terbesar di Puskesmas Minasa Upa

3.4.1 Alur Pelayanan

55
PASIEN
DATANG
JKN/Asuransi
Umum kesehatan

KAMAR PERIKSA
Poli Umum RUJUK
Poli Gigi
Poli KIA/KB LABORATORIUM

RUANG TINDAKAN

APOTEK

Gambar 11. Bagan Alur Pelayanan Puskesmas Minasaupa

BAB IV

56
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL STUDI KASUS
4.1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 60 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Bangsa/suku : Indonesia/Bugis
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Tanggal Pemeriksaan : 9 Januari 2020

4.1.2 Riwayat Penyakit


- Anamnesis (Autoanamnesis)

Pasien laki-laki, usia 60 tahun datang ke Puskesmas Minasaupa


dengan keluhan batuk berlendir sejak 2 hari yang lalu, pasien juga
mengeluh lendirnya sulit dikeluarkan. Keluhan disertai dengan sesak yang
memberat sejak 1 hari yang lalu. Keluhan lain seperti demam (-), nyeri
kepala (-), nyeri menelan (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), nafsu
makan baik, BAB dan BAK baik. Riwayat penyakit asma (+) dan berobat
rutin di puskesmas sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat HT (+), DM (-).
Keluhan yang sama dalam keluarga (+) yakni ibunya.

- Riwayat Penyakit Sebelumnya

a. Riwayat penyakit jantung : disangkal


b. Riwayat hipertensi : ada
c. Riwayat diabetes melitus : disangkal
d. Riwayat gastritis : disangkal
e. Riwayat trauma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal

- Riwayat Penyakit Keluarga

57
1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat diabetes : disangkal
3. Riwayat alergi : disangkal

4.1.3 Pemeriksaan Fisik


- Keadaan Umum:
Pasien tampak sakit sedang, obes 1, kesadaran compos mentis
- Vital Sign:
 Tekanan Darah : 140/90 mmHg
 Nadi : 82 x/menit
 Pernapasan : 26 x/menit
 Suhu : 36,6oC
 Tinggi Badan : 166 cm
 Berat Badan : 69 kg
 IMT : 25,09 Kg/m2 (Obesitas tipe I)
Status Generalis:
1. Kepala
Ekspresi : Biasa
Simetris muka : Simetris kiri-kanan
Rambut : Hitam, sulit dicabut
Mata : Eksoptalmus atau enoptalmus tidak ada
Kelopak mata : Dalam batas normal
Konjungtiva : Anemis tidak ada
Kornea : Jernih
Sklera : Ikterus tidak ada
Pupil : Isokor 2,5 mm
2. Telinga
Pendengaran : Dalam batas normal
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : Tidak ada
3. Hidung

58
Perdarahan : Tidak ada
Sekret : Tidak ada
Bibir : Kering tidak ada
Gusi : Perdarahan tidak ada
Tonsil : Hiperemis tidak ada
Lidah : Kotor tidak ada
4. Leher
Kelenjar getah bening : MT tidak ada, NT tidak ada
Kelenjar gondok : MT tidak ada, NT tidak ada
Inspeksi : Simetris kiri-kanan
Bentuk : Normochest
Buah dada : Tidak ada kelainan
Sela iga : Tidak ada pelebaran
5. Thorax
Palpasi : Fremitus Raba : Kiri = Kanan ; Nyeri tekan: (-)
Perkusi : Paru kiri : Sonor
Paru kanan : Sonor
Batas paru hepar : ICS VI Dextra Anterior
Batas paru belakang kanan : V Th IX Dextra Posterior
Batas paru belakang kiri : V Th X Sinistra Posterior
Auskultasi : Bunyi pernapasan : vesikuler
Bunyi tambahan : Rh -/-;Wh +/+
6. Punggung
Inpeksi : kifosis tidak ada
Palpasi : MT tidak ada, NT tidak ada
Nyeri ketok : tidak ada
Auskultasi : Rhonki dan wheezing +/+
7. Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung kesan normal

59
Auskultasi : BJ I/II murni regular
Bunyi tambahan : Bising tidak ada
8. Abdomen
Inspeksi : Ascites tidak ada, datar, ikut gerak napas
Palpasi : MT tidak ada, NT tidak ada daerah epigastrium
Hati& Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement tidak ada
Lain-lain :-
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
9. Alat Kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
10. Anus dan rectum : Tidak dilakukan pemeriksaan
11. Ekstremitas : Tidak tampak kelainan

- Status Neurologis
GCS : E4 M6 V5 = 15
Pupil : di tengah bulat isokor, ukuran 3mm/3mm
a. Anggota gerak atas
Kekuatan : 5/5
Tonus : (+) / (+)
Atrofi : (-) / (-)
Refleks fisiologis
Biceps :(+) / (+)
Triceps : (+)/ (+)
Refleks Patologis
Refleks Hoffman : (-) / (-)
Refleks Trommer : (-) / (-)
Sensibilitas
Taktil : normal/normal
Nyeri : normal/normal
Suhu : Tidak dilakukan

60
Diskriminasi 2 titik : Tidak dilakukan
Getar : Tidak dilakukan
b. Anggota gerak bawah
Kekuatan : 5/5
Tonus : (+) / (+)
Atrofi : (-) / (-)
Refleks fisiologis
Patella : (+) / (+)
Achilles : (+) / (+)
Refleks Patologis
Babinski : (-) / (-)
Chaddock : (-) / (-)
Gordon : (-) / (-)
Oppenheim : (-) / (-)
Sensibilitas
Taktil : (+)/ (+)
Nyeri : (+)/ (+)
Suhu : Tidak dilakukan
Diskriminasi 2 titik : Tidak dilakukan
Getar : Tidak dilakukan
4.1.4 Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan
4.1.5 Diagnosis
- Asma bronkhial
- Hipertensi grade 1

61
4.1.6 Penatalaksanaan dan Edukasi
Non Farmakologis: Edukasi
1. Menghindari faktor pencetus
2. Tidak merokok
3. Menghindari stress
4. Hindari polusi kendaraan dengan menggunakan masker
5. Diet rendah garam untuk menjaga tekanan darah dalam batas normal
6. Istirahat cukup
7. Turunkan berat badan
8. Rutin mengonsumsi obat yang diberikan oleh dokter
9. Rutin kontrol ke Puskesmas atau Rumah Sakit
Farmakologis:
Symbicort 160mcg/12j/inh
Salbutamol 2 mg/8j/oral
Amlodipine 5 mg 0-0-1
Vitamin C 50 mg/8j/oral
4.1.7 Prognosis
Quo Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo Ad Functionem : Dubia ad Bonam
Quo Ad Sanationem : Dubia ad Bonam

4.2 Pendekatan Holistik


4.2.1 Profil Keluarga
Pasien Tn. A (60 tahun) tinggal serumah bersama istri Ny.R (58
tahun) dan 2 orang anak Tn. H (26 tahun) dan Nn. N (17 tahun).
4.2.2 Karakteristik Demografi Keluarga
- Identitas kepala keluarga : Tn. A
- Alamat : BTN Minasaupa blok N5/No.19
- Bentuk Keluarga : Nuclear family

No Nama Status Jenis Usia Pendidikan Pekerjaan

62
Keluarg
Kelamin (tahun) Terakhir
a
Kepala
1 Tn. A Laki-laki 60 S1 Pensiunan
keluarga
2 Ny. R Istri Perempuan 58 SMP IRT

3 Tn. H Anak Laki-laki 26 SMA Wiraswasta

4 Nn.N Anak Perempuan 17 SMA SMA


Tabel 10. Anggota Keluarga Yang Tinggal Serumah

4.2.3 Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup

Status Kepemilikan Rumah : Milik Negara


Daerah perumahan : Padat Penduduk
Karakteristik Rumah dan Lingkungan Kesimpulan
Jumlah penghuni dalam satu rumah : 4 orang Keluarga Tn.A tinggal di
Dapur 1
rumah dengan kepemilikian
Lantai rumah dari : semen dan tegel, terdiri atas 1
milik sendiri. Tn. A tinggal
lantai
Dinding rumah dari : tembok dalam rumah yang cukup
Jamban keluarga : 2 wc sehat dengan lingkungan
Tempat bermain : tidak ada
Penerangan listrik : ada rumah yang padat namun
Ketersediaan air bersih : ada kebersihan tetap terjaga,
Tempat pembuangan sampah : ada
Kamar Tidur : 3 daerah disekitar rumah
Ruang Tamu tertata rapih dan bersih,
ventilasi maupun cahaya
matahari yang masuk cukup
memadai dan rumah dihuni
oleh 4 Orang. Dengan
penerangan listrik serta
ketersediaan Air PDAM
sebagai sarana air bersih
keluarga.
Tabel 11. Lingkungan Tempat Tinggal

63
4.2.4 Kepemilikan Barang-barang Berharga
Keluarga Tn. A memiliki beberapa barang elektronik di rumahnya yaitu satu
buah televisi, kipas angin di kamar tidur dan ruang keluarga, satu buah rice
cooker, satu buah dispenser dan satu buah kulkas. Selain itu, Tn. A juga memiliki
2 sepeda motor.
4.2.5 Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga
- Jenis tempat berobat : Puskesmas
- Asuransi / Jaminan Kesehatan : BPJS

4.2.6 Pola Konsumsi Makanan Keluarga


Menu makanan sehari-hari keluarga ini bervariasi. Menu makanan yang
biasa dihidangkan terdiri dari nasi, sayur, dan lauk yang digoreng atau terkadang
direbus yang biasanya dimasak sendiri. Sayur yang dikonsumsi cukup bervariasi
antara lain sayuran hijau, terutama daun kacang, kangkung dan kacang panjang
baik direbus atau ditumis. Lauk yang dihidangkan bervariasi namun lebih sering
ikan. Untuk buah-buahan, keluarga ini sering mengonsumsi buah pisang. Pola
makan keluarga ini tiga kali sehari, terdiri dari sarapan pagi, makan siang dan
makan malam.

4.2.7 Pola Dukungan Keluarga

- Faktor Pendukung Terselesaikannya Masalah dalam Keluarga


Akses sarana yang memadai dan jarak yang cukup dekat memudahkan
pasien untuk menjangkau Puskesmas dan instansi pelayanan kesehatan
terdekat. Selain itu, adanya komunikasi yang cukup baik dalam keluarga,
hubungan yang cukup harmonis, keluarga cukup terbuka untuk setiap
masalah kesehatan yang dihadapi.
- Faktor penghambat terselesaikannya masalah dalam keluarga
Kurangnya pengetahuan keluarga mengenai penyakit yang diderita pasien
sehingga tidak ada upaya pencegahan faktor penyebab asma bronkhial
disertai dukungan gaya hidup sehat yang kurang dari keluarga.

64
4.2.8 Fungsi Fisiologis (APGAR)
Fungsi fisiologis adalah suatu penentu sehat tidaknya suatu keluarga yang
dikembangkan oleh Rosan, Guyman dan Leyton, dengan menilai 5 Fungsi pokok
keluarga, antara lain:

- Adaptasi : Tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan yang


dibutuhkan.
- Partnership : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap komunikasi dalam
mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah.
- Growth : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang
diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan dan kedewasaan semua
anggota keluarga.
- Affection : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta
interaksi emosional yang berlangsung.
- Resolve : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam
membagi waktu, kekayaan dan ruang atas keluarga.

Penilaian:
Hampir Selalu = skor 2
Kadang-kadang = skor 1
Hampir tidak pernah = skor 0
Total Skor:
8-10 = Fungsi keluarga sehat
4-7 = Fungsi keluarga kurang sehat
0-3 = Fungsi keluarga sakit

No Pertanyaan Penilaian

65
Hampir
Hampir Kadang-
Tidak
Selalu Kadang
Pernah
(2) (1)
(0)

1. Adaptasi

Jika obat Anda habis / jadwal kontrol


laboratorium tiba apakah ada anggota
keluarga yang bersedia mengantarkan Anda √
ke Puskesmas?

2. Partnership (Kemitraan)

Jika Anda lupa minum obat, apakah ada √


anggota keluarga yang selalu mengingatkan
untuk konsumsi obat secara rutin?

3. Growth (Pertumbuhan)

Jika Anda tidak dapat melakukan pekerjaan


rumah karena keterbatasan anda akibat

penyakit yang anda derita sehingga
pekerjaan rumah menumpuk, apakah
anggota keluarga anda mau mengerti dengan
anda?

4. Affection (Kasih Sayang)

Jika Anda merasa cemas akibat penyakit



anda, apakah anggota keluarga yang lain
selalu mendampingi Anda dalam mengatasi
kecemasan tersebut?

5. Resolve (Kebersamaan)

Anda disarankan untuk mengurangi


konsumsi makanan secara berlebihan. √
Apakah anggota keluarga yang lain
mengkonsumsi menu yang sama dan makan
bersama?

Total Skor 8

Tabel 12. Penilaian Fungsi Fisiologis (APGAR) Keluarga Penderita Asma bronkhial

66
Dari tabel APGAR diatas total Skor adalah 8 ini menunjukkan Fungsi keluarga
sehat.
4.2.9 Fungsi Patologis (SCREEM)
Aspek sumber daya patologi

- Sosial:
Pasien dapat hidup bermasyarakat dan bertetangga dengan baik, namun pasien
jarang ingin mengikuti nasihat dari keluarganya mengenai masalah
kesehatannya.
- Cultural:
Pasien merupakan orang Indonesia, dimana makanan pokok adalah nasi yang
memiliki kalori tinggi. Selain itu, Makassar juga terkenal dengan makanan
tradisional yang mengandung tinggi glukosa dan tinggi lemak yang dapat
mempengaruhi peningkatan berat badan.
- Religious:
Keluarga pasien rajin melakukan ibadah wajib.
- Ekonomy:
Keluarga pasien merasa kebutuhan ekonomi tercukupi.
- Education:
Tingkat pendidikan tertinggi di keluarga pasien yaitu S1
- Medication:
Pasien dan keluarga tidak menggunakan asuransi kesehatan.

67
4.2.10 Fungsi Keturunan
a. Genogram
Dalam keluarga pasien hanya pasien yang menderita asma dan hipertensi
GENOGRAM

Gambar 12. Genogram Keluarga Tn. A


Keterangan :

b. Bentuk keluarga
Bentuk keluarga ini adalah keluarga inti (Nuclear Family). Terdiri dari
Tn. A sebagai kepala keluarga dan Ny. R sebagai seorang istri dan ibu dari
anaknya. Hasil pernikahan Tn. A dan Ny. R dikaruniai 2 orang anak.
Seluruh anggota keluarga ini tinggal dalam satu rumah.

68
c. Hubungan Anggota Keluarga
Tn. A merupakan pasangan Ny. R tinggal serumah bersama 2 orang
anak Tn. H dan Nn. N. Hubungan antara anggota keluarga cukup baik.

4.3 PEMBAHASAN
Diagnosis pada pasien ini adalah asma bronkhial, didapatkan berdasarkan
anamnesis secara holistik yaitu, aspek personal, aspek klinik, aspek risiko internal,
dan aspek risiko eksternal serta pemeriksaan penunjang dengan melakukan
pendekatan menyeluruh dan pendekatan diagnostik holistik.

4.3.1 Analisa Kasus

Pendekatan Kedokteran Keluarga pada Pasien Asma bronkhial


Skor Resume Hasil Akhir Skor
Masalah Upaya Penyelesaian
Awal Perbaikan Akhir
Faktor biologis - Edukasi kepada pasien -Terselenggara
- Asma bronkhial untuk menghindari penyuluhan
merupakan faktor pencetus, -Keluhan berkurang
penyakit inflamasi memakai masker agar
kronik saluran tidak terkena debu
pernafasan polusi, menghindari
disebabkan oleh 3 paparan angina 5
beberapa faktor langsung dari
seperti olahraga, penggunaan kipas
paparan alergen angina.
atau iritan,
perubahan cuaca,
atau infeksi virus
pada saluran napas.
Faktor ekonomi dan
pemenuhan - Motivasi mengenai - Keluarga menyisihkan
kebutuhan perlunya memiliki pendapatan untuk
- Kondisi ekonomi 4 tabungan tabungan 4
menengah dan - Tetap menjaga - Menjalin hubungan
memiliki tabungan silaturahmi dengan yang baik dengan
- Kehidupan sosial tetangga tetangga

69
dengan lingkungan 3 5
cukup baik

Faktor perilaku
kesehatan - Edukasi tentang - Pasien mulai mengerti
- Pasien tidak patuh 3 menghindari pajanan akan pentingnya 4
atas edukasi dokter dari faktor pencetus dan menghindari faktor
agar menghindari mengatur pola makan pencetus dan mengatur
faktor pencetus dan pola makan
menurunkan berat - Pasien berobat secara
badan - Edukasi untuk berobat teratur
- Berobat tidak secara teratur serta
teratur minum obat sesuai 5
anjuran dokter
Faktor Psikososial
- Perhatian pasien 3 - Menyarankan kepada - Pasien bersedia 4
terhadap penyakit pasien untuk lebih memberi perhatian
yang diderita perhatian dengan lebih kepada dirinya
pasien kondisi dirinya
- Motivasi untuk 3 - Memotivasi pasien - Pasien termotivasi 4
sembuh baik untuk menghindari untuk sembuh dan
faktor pencetus agar tetap beraktivitas
serangan asma tidak sesuai kemampuannya
muncul kembali
sehingga dapat
meningkatkan kualitas
hidup pasien
Total Skor 19 31
Tabel 13. Skoring Kemampuan Pasien dan Keluarga Dalam Penyelesaian Masalah Dalam
Keluarga

Klasifikasi skor kemampuan menyelesaikan masalah


Skor 1 : Tidak dilakukan, keluarga menolak, tidak ada partisipasi.

70
Skor2 : Keluarga mau melakukan tapi tidak mampu, tidak ada sumber
(hanya keinginan), penyelesaian masalah dilakukan sepenuhnya
oleh provider.
Skor 3 : Keluarga mau melakukan namun perlu penggalian sumber yang
belum dimanfaatkan, penyelesaian masalah dilakukan sebagian
besar oleh provider.
Skor 4 : Keluarga mau melakukan namun tak sepenuhnya, masih tergantung
pada upaya provider.
Skor 5 : Dapat dilakukan sepenuhnya oleh keluarga

4.3.2 Diagnosis Holistik, Tanggal Intervensi, dan Penatalaksanaan


Selanjutnya

Pertemuan ke-2 : 13 Januari 2020


Saat kedatangan beberapa hal yang dilakukan yaitu :
1. Memperkenalkan diri dengan pasien.
2. Menjalin hubungan yang baik dengan pasien.
3. Menjelaskan maksud kedatangan dan meminta persetujuan pasien
4. Menganamnesa pasien, mulai dari identitas sampai riwayat psiko-sosio-
ekonomi dan melakukan pemeriksaan fisik.
5. Menjelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan dan mempersiapkan alat
yang akan dipergunakan.
6. Memastikan pasien telah mengerti tujuan prosedur pemeriksaan.
7. Meminta persetujuan pemeriksaan kepada pihak pasien.
8. Membuat diagnosis holistik pada pasien.
9. Mengevaluasi pemberian penatalaksanaan farmakologis.

A. Anamnesis Holistik
- Aspek Personal

71
Saat saya mendatangi rumah pasien, pasien tidak tahu kalau saya
akan datang. Anak-anak pasien sementara sedang pergi bekerja dan
sekolan. Pasien baru pertama kali mendapat kunjungan dari pihak
puskesmas untuk mengontrol keadaan pasien, disamping itu pasien begitu
senang karena ada teman berbagi cerita.

- Aspek Klinik
Pasien laki-laki, usia 60 tahun datang ke Puskesmas Minasaupa
dengan keluhan batuk berlendir sejak 2 hari yang lalu, pasien juga
mengeluh lendirnya sulit dikeluarkan. Keluhan disertai dengan sesak yang
memberat sejak 1 hari yang lalu. Keluhan lain seperti demam (-), nyeri
kepala (-), nyeri menelan (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), nafsu
makan baik, BAB dan BAK baik. Riwayat penyakit asma (+) dan berobat
rutin di puskesmas sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat HT (+), DM (-).
Keluhan yang sama dalam keluarga (+) yakni ibunya.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
penunjang, didapatkan diagnosis Asma bronkhial.
- Aspek Faktor Risiko Internal
Pasien memiliki riwayat penyakit yang sama pada keluarga, yakni ibunya.
Serta obesitas pasien memiliki risiko terkena asma bronkhial. Pasien
kurang menghindari faktor pencetus yakni debu polusi, stress maupun
udara dingin serta tidak menerapkan pola hidup sehat berupa diet rendah
kalori dan diet rendah garam sehingga pasien kesulitan menurunkan berat
badan dan tekanan darahnya.

- Aspek Faktor Risiko Eksternal


Kurangnya pengawasan dari keluarga yang tinggal dalam satu rumah.
- Aspek Fungsional
Tn. A adalah seorang pensiunan. Sehari-hari hanya tinggal dirumah dan
jarang melakukan aktivitas fisik. Pasien sering mengantar istrinya ke
pasar.
- Derajat Fungsional

72
Derajat 1 yaitu tidak ada kesulitan dimana pasien dapat hidup mandiri
- Rencana Pelaksanaan (Plan of Action)
Pertemuan 1 : Puskesmas Minasaupa, tanggal 9 Januari 2020 pukul 10.00
WITA.
Pertemuan 2 : Rumah pasien, tanggal 13 Januari 2020 pukul 14:05 WITA.

Hasil yang
Aspek Kegiatan Sasaran Waktu Biaya Ket.
diharapkan

Aspek Memberikan Pasien Saat Pasien dapat Tidak menolak


personal edukasi kepada pasien sadar dan ada
pasien mengenai berobat mengerti akan
penyakit asma ke pentingnya
bronkhial dan Puskes menghindari
memberikan mas faktor
informasi pencetus
mengenai mengkonsumsi
perkembangan obat teratur
penyakitnya. dan menjaga
diet.

Aspek Memberikan obat Pasien Saat Keluhan yang Tidak Tidak


klinik Asma bronkhial pasien dirasakan ada menolak
untuk mengontrol berobat pasien
serangan penyakit ke berkurang
dan untuk
mengurangi gejala Puskes
mas

Aspek Mengajarkan Pasien Saat Tekanan darah Tidak Tidak


risiko bagaimana pola pasien terkontrol, ada menolak
internal makan yang baik, berobat Berat badan
mengajarkan pola ke dan keluhan
diet yang sehat, Puskes berkurang
diet rendah garam mas
serta
menganjurkan
untuk menurunkan
berat badan

Aspek Menganjurkan Keluarga saat Keluarga Tidak Tidak


risiko keluarga memberi pasien kunjung memberi ada menolak
external dukungan kepada an perhatian dan
pasien agar selalu rumah dukungan

73
menjaga lebih kepada
kesehatannya dan pasien dan
menghindari faktor pasien lebih
pencetus terjadinya
termotivasi
asma
untuk berobat
Menganjurkan
kepada keluarga
pasien untuk
menjaga
komunikasi yang
baik dengan pasien

Aspek Menganjurkan Pasien Pada Agar kondisi Tidak Tidak


fungsional untuk melakukan saat tubuh selalu ada menolak
melakukan hidup kunjung sehat dan
sehat, menghindari an bugar
faktor pencetus rumah
dengan memakai
masker jika
berkendara, tidak
terpapar langsung
dengan kipas
angina,
menghindari stress,
serta olahraga dan
menjaga pola
makan

Tabel 14. Rencana Pelaksanaan (Plan of Action)

B. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum baik.Tanda Vital: Tekanan Darah: 140/90 mmHg, Nadi:
82 x/menit, Pernapasan : 26 x/menit, Suhu : 36,6oC. Tampak sesak dan
batuk berlendir.

C. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

D. Diagnosis Holistik (Bio-Psiko-Sosial)


Diagnose Klinis:

74
Diagnosis pada pasien ini adalah Asma bronkhial, didapatkan
berdasarkan anamnesis secara holistik yaitu, aspek personal, aspek klinik,
aspek risiko internal, dan aspek risiko eksternal serta pemeriksaan
penunjang dengan melakukan pendekatan menyeluruh dan pendekatan
diagnostik holistik.

Diagnose Psikososial:
- Kurangnya kepedulian pasien mengenai penyakit yang ia alami
- Kurangnya pengetahuan pasien akan faktor risiko terjadinya asma
bronkhial.
E. Penatalaksanaan dan Edukasi
Penatalaksanaan secara kedokteran keluarga pada pasien ini meliputi
pencegahan primer, pencegahan sekunder (terapi untuk pasien dan
keluarga pasien).

Pencegahan Primer
Usaha pencegahan asma antara lain: menjaga kebersihan, menjaga kebersihan
lingkungan, menghindari faktor pencetus serangan asma dan menggunakan
obat-obat anti asma.

Pencegahan Sekunder
a. Pengobatan farmakologi berupa:
- Symbicort 160mcg/12j/inh
- Salbutamol 2 mg/8j/oral
- Amlodipine 5 mg 0-0-1
- Vitamin C 50 mg/8j/oral
b. Pengobatan non-farmakologi
- Menghindari faktor pencetus (alergen, polusi udara, debu, terpapar
angin langsung, udara dingin, stress)
- Tidak merokok
- Hindari polusi kendaraan dengan menggunakan masker
- Diet rendah garam untuk menjaga tekanan darah dalam batas normal

75
- Istirahat cukup
- Turunkan berat badan
- Rutin mengonsumsi obat yang diberikan oleh dokter
- Rutin kontrol ke Puskesmas atau Rumah Sakit

Terapi Untuk Keluarga


Terapi untuk keluarga hanya berupa terapi non farmakologi terutama
yang berkaitan dengan emosi, psikis dan proses pengobatan pasien. Dimana
anggota keluarga diberikan pemahaman agar bisa memberikan dukungan dan
motivasi kepada pasien untuk berobat secara teratur dan membantu memantau
terapi pasien.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

76
5.1 KESIMPULAN
Dari studi kasus yang telah dilakukan, dapat diarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Melakukan diagnosis secara klinis meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik
dapat ditegakkan diagnosis klinis pasien yaitu asma bronkhial
2. Melakukan prosedur tatalaksana dan edukasi untuk menghindari faktor
pencetus yang dapat memicu terjadinya asma sesuai dengan standar komptensi
dokter Indonesia
3. Menggunakan landasan ilmu kedokteran klinis dan kesehatan masyarakat
dalam pendekatan holistik dan komprehensif baik secara individu, keluarga,
maupun komunitas.

5.2 SARAN
Dari beberapa masalah yang dapat ditemukan pada Tn. A, maka disarankan :
1. Melakukan edukasi akan pentingnya menghindari faktor pencetus agar
terhindari dari serangan asma
2. Menyarankan pasien untuk senantiasa menjaga pola hidup sehat, diet rendah
garam dan rendah kalori
3. Menyarankan pasien untuk berolahraga agar dapat menurunkan berat badan
4. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit asma
bronkhial
5. Menyarankan kepada keluarga untuk selalu memberi perhatian dan dukungan
lebih kepada pasien dan pasien lebih termotivasi untuk sembuh

DAFTAR PUSTAKA

77
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin Pusat Data dan
Informasi Kemnterian Kesehatan RI. You Can Control Your Asthma.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2017.
2. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan
RI ;2009; 5-11.
3. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma and prevention
Updated 2018. file:///C:/Users/User/Desktop/wms-GINA-2018-report-
tracked_v1.3.pdf Diakses pada tanggal 14 April 2018.
4. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luis
Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma and Immunology Work Group
Report: Exercise-induced asthma. Lowa City, lowa, Rome and Siena,
Italy, Milville, NJ, Hershey, Pa, Porto, Portugal and Colorado Springs,
Colo: American Academy of Allergy:2007.
5. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia.2004
6. Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam.
Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktis Klinis.
Jakarta:Interna Publishing. 2015.
7. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid,
Analog Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h.
496-500.
8. Sundaru, Heru. Sukamto. Asma Bronkial. Buku Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi VI. Jilid II. Jakarta:Interna Publishing. 2015.

LAMPIRAN

78
Gambar 13. Kondisi Kamar Tidur

Gambar 14. Kondisi Dapur

79
Gambar 15. Kondisi Jamban

80

Anda mungkin juga menyukai