Anda di halaman 1dari 3

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UJIAN TENGAH SEMESTER GASAL TA 2019/2020
Alamat : Jl. Marsda Adisucipto, Telp. (0274) 519739, Fax. (0274) 540971
E-mail: fst@uin-suka.ac.id Yogyakarta 55281

Mata Kuliah : Biologi Konservasi Hari/ Tanggal : Selasa, 23 Maret 2020


Dosen : Annisa Firanti, S.Pd.Si., M.Pd Waktu : 12.30-14.10
Smt/Prodi : Pendidikan Biologi Ruang : 302
Sifat Ujian : Take Home Nama : Adelia Neni Afifah F.
Nim : 17106080044

Jelaskan Analisismu!
Perdagangan satwa liar:
“Pemerintah Cina secara resmi melarang impor satwa liar sekaligus mengeluarkan
peraturan yang melarang warganya mengkonsumsi satwa liar. Ini memang
dilematis ketika mengkonsumsi satwa liar sudah menjadi budaya. Wuhan adalah
salah satu kota terpadat di Cina, selain Shanghai dan Beijing. Wabah yang terjadi
akibat virus corona (Covid-19) menjadikan kota itu terkenal. Kota ini memiliki
pasar tradisional yang menjual satwa liar, terdapat 112 jenis satwa liar yang dijual
di sana, dari rubah, buaya, anak anjing serigala, salamander, ular, tikus, burung
merak, landak, hingga koala. Wabah corona diduga terjadi karena ada penjual
daging atau pedagang di sana yang terinfeksi virus corona, sehingga pemerintah
akhirnya menutup pasar ini”.

Dari kutipan artikel di atas, apa pendapatmu mengenai eksploitasi satwa liar yang digunakan untuk
kepentingan manusia dan jelaskan berdasar sudut pandang biologi konservasi!
Analisis saya :
Pendapat saya mengenai satwa liar yang dieksploitasi demi kepentingan manusia, baik yang
diperdagangkan sebagai satwa peliharaan, sebagai obat, sebagai fashion, sirkus, hiburan, bekerja dan
sebagainya tanpa memperhatikan keadaan dan kelestariannya di bumi sangatlah ironis. Manusia yang
seharusnya melindungi dan melestarikan kekayaan alam yang salah satunya satwa liar, justru
merusaknya dan membuat jumlah keanekaragaman satwa menjadi semakin berkurang bahkan punah.
Eksploitasi satwa merupakan ancaman utama terhadap keberlangsungan berbagai jenis satwa. Nilai
ekonomi yang tinggi dari satwa-satwa tersebut baik secara utuh maupun bagian-bagian tubuhnya telah
mendorong manusia untuk terus melakukan perburuan dan perdagangan ilegal. Perburuaan dan
perdagangan ilegal satwa sudah merupakan kejahatan terhadap satwa yang dilakukan secara
terorganisir dengan rapi dan memiliki jaringan luas.
Berkurangnya bahkan punahnya populasi dari suatu spesies satwa ini juga dapat memberikan
dampak, salah satunya pada ekosistem, yakni terganggunya keseimbangan ekosistem. Yakni ketika
populasi dari suatu satwa berkurang bahkan punah akibat dieksploitasi menyebabkan terganggunya
rantai makanan pada suatu ekosistem, yang menyebabkan populasi spesies satwa lain yang berperan
sebagai konsumen berikutnya dari satwa tersebut menjadi turut berkurang karena kehilangan sumber
makanan dan spesies satwa yang menjadi sumber makanan bagi satwa yang telah pertama kali
berkurang atau punah tersebut dapat mengalami peledakan jumlah populasi. Hal ini tentu akan
mengganggu keseimbangan ekosistem.
Disamping itu fenomena tersebut juga berdampak pada manusia. Munculnya serangan hama baik
dari serangga misalnya belalang, maupun mamalia seperti babi hutan, tikus dan sebagainya yang
merusak pertanian masyarakat merupakan bentuk nyata ketidakseimbangan ekosistem yang dirasakan
manusia, yang terjadi akibat hilangnya hewan pemangsa sebagai pengendali jenis-jenis hewan yang
dapat menjadi hama tersebut. Kemudian, terjadinya konflik antara satwa dengan manusia penduduk di
sekitar habitat satwa tersebut, misalnya antara manusia dan harimau yang merugikan kedua belah
pihak. Hal tersebut terjadi dimana satwa tersebut kehilangan sumber makanan di habitatnya dan keluar
habitat untuk mencari sumber makanan lain hingga sampailah ke wilayah penduduk, seperti yang telah
diberitakan di media masa.
Terkait dengan pandemi penyakit Covid-19 pun sejatinya adalah buah perilaku manusia yang
mengeksploitasi satwa liar. Virus corona baru itu diyakini bersumber dari virus pada kelelawar liar
yang dikonsumsi manusia. Kejadian ini semestinya dapat menjadi pelajaran dan pengalaman berharga
untuk melindungi satwa.
Oleh karena itu, apabila manusia ingin mengambil manfaat dari eksplorasi alam ini harus
mempertimbangkan dampak dari apa yang dilakukannya. Karena dampak tersebut pasti akan erat
terkait dengan manusia sendiri. Misalnya dalam memanfaatkan hewan untuk kepentingan manusia,
harus memerhatikan dampak daripadanya. Pemanfaatan hewan tanpa mempertimbangkan
proporsionalitas akan berdampak buruk pada keseimbangan ekologisnya dan akan menimbulkan
kerusakan alam itu sendiri, yang pada gilirannya akan merugikan manusia itu sendiri. Dalam norma
agama maupun hukum pun kita sudah diajarkan untuk berbuat baik pada binatang dengan cara
memberikan perlindungan dari kepunahan. Bahkan dalam ajaran Islam perlakuan pada binatang
memiliki nilai ibadah.
Berdasarkan sudut pandang biologi konsevasi terkait eksploitasi satwa liar merupakan ancaman
terbesar terhadap kelangsungan hidup satwa dan keanekaragaman satwa di suatu daerah nasional
bahkan dunia. Kesejahteraan satwa masih menjadi suatu keprihatinan. Oleh karena itu, organisasi
pecinta alam yaitu yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup serta konservasi alam, seperti World
Wide Fund for Nature (WWF), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan
Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), Friend of The Earth International (FOEI) dan lainnya,
mengupayakan kesejahteraan pada satwa, menurunkan tingkat eksploitasi, menjaga berlangsungnya
proses ekologis dalam dalam sistem kehidupan, menjaga keanekaragamannya, serta menjamin
kelestarian pemanfaatan makhluk hidup dan ekosistem. Mengenai pemanfaatan jenis satwa liar
(maupun tumbuhan) serta konservasinya sebenarnya sudah diatur regulasinya dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 8 tahun 1999. Namun seperti yang diketahui, masih banyak terjadi
eksploitasi seperti perburuan dan perdagangan ilegal berbagai jenis satwa .Hal ini diduga disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain: penegakan hukum yang belum optimal kepada para pelaku kejahatan
terhadap satwa; kurangnya sosialisasi informasi tentang status perlindungan dan fungsi ekologi satwa
kepada masyarakat; persepsi yang salah dalam menyayangi satwa yang seharusnya dengan
membiarkan satwa tersebut hidup liar dihabitatnya untuk menjalan peran ekologinya untuk menjaga
keseimbangan ekosistem yang menjadi habitatnya; dan nilai ekonomi tinggi dari satwa yang
diperdagangkan baik utuh maupun bagian tubuhnya dan masih rendahnya penghargaan terhadap
keberadaan satwa yang masih bertumpu pada nilai ekonomi.

“Tanamlah kebaikan, maka kau akan memetik kebaikan”

Anda mungkin juga menyukai