1. Artikel :
Dukungan yang Tak Putus untuk Baiq Nuril
Salah satu kasus ketidakadilan yang termasuk dalam pelanggaran HAM dan pembelaan
HAM selanjutnya adalah kasus korban pelecehan yang dipidanakan. Baiq Nuril sedianya
adalah korban pelecehan seksual dalam kasus ini. Namun, dia dijerat UU ITE hingga
divonis bersalah oleh Makamah Agung dan menerima hukuman penjara 6 bulan serta
denda 500 juta karena memiliki rekaman pelecehan seksual yang dilakukan atasannya.
Padahal sebelumnya, Nuril sudah dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri
Mataram. Saat ini kesan profesionalisme putusan hakim dalam memberikan putusan juga
menurun. Hakim, yang harusnya dalam membuat putusan menggali, menemukan, dan
mengikuti cita keadilan masyarakat, justru berjarak dengan cita keadilan masyarakat itu
sendiri, sebagaimana tercermin dalam kasus ini. Kronologis Kasus Baiq Nuril tersebut
adalah, bermula dari Kepsek M sering kali mengajak Baiq Nuril berkencan hingga larut
malam. Menurut pengakuan Baiq Nuril, sejak M menjadi Kepala SMAN 7 Mataram,
keakraban Nuril didasari hubungan kerja antara atasan dan bawahan. Sejak Tahun 2014 M
sudah mulai curhat kepada Baiq Nuril terkait M yang sudah memilki hubungan spesial
dengan wanita lain yang merupakan atasan Baiq Nuril di bagian keuangan sekolah
tempatnya bekerja. Lama kelamaan obrolan M kepada Baiq Nuril semakin menjurus.
Karena merasa tidak nyaman dengan obrolan mesum itu, Baiq Nuril pun merekam
percakapan melalui saluran ponsel antara Baiq Nuril dan M (Harianto, 2018).
Rekaman percakapan dirinya dengan M tersebut hanya ditujukan semata-mata sebagai
alat bukti pembela diri serta menjaga hubungan rumah tangga dengan Isnaini (40), suami
Nuril yang sudah mulai curiga karena Nuril kerap pulang malam. Pada Desember 2014-
Januari 2015 seorang rekan Nuril berinisial IM menyalin rekaman pembicaraan, setelah
disalin, rekaman menyebar luas hingga sampai pada pengawas SMAN 7 Mataram dari
Dinas Dikpora Mataram. Nuril dan IM kemudian dipanggil Kepala Dinas Dikpora
Mataram yang berujung pada pemecatan Nuril oleh Kepsek M. Adapun M dimutasi
menjadi Kepala Sekolah Seksi Dinas Dikpora Mataram (Harianto, 2018).
17 Maret 2015, M melaporkan Nuril ke Polres Mataram dengan Pasal 27 ayat 1 UU
ITE juncto Pasal 45 UU ITE. Mediasi antara M dan M telah dilakukan namun, tidak
berhasil. Nuril pun dipanggil penyidik Polres Mataram dan langsung ditahan dengan
dijerat Pasal 27 ayat 1 UU ITE juncto Pasal 45 UU ITE. Nuril mendapat tuduhan dugaan
tindakan pidana mentransmisikan rekaman elektronik yang bermuatan kesusilaan
(Ristianto, 2019).
Di Pengadilan Negeri Mataram, pada Juli 2017, Nuril divonis bebas dan dinyatakan
tidak terbukti bersalah melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Kendati demikian, Jaksa
Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi Mahkamah Agung. Di tingkat kasasi,
majelis kasasi MA yang diketuai hakim agung Sri Murwahyuni, dengan anggota majelis
hakim agung Maruap Dohmatiga Pasaribu dan hakim agung Eddy Army, memvonis Nuril
6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta. Putusan kasasi Nomor 574K/Pid.Sus/2018 itu
diketuk pada 26 September 2018 atas tindak pidana "mendistribusikan atau
mentransmisikan konten kesusilaan" sebagaimana tertera dalam pasal 27 ayat 1 UU ITE
Tahun 2016 (Ristianto, 2019).
19 November-Desember Presiden Jokowi ikut bersimpati kepada Nuril. Namun
demikian, ia tidak bisa mengintervensi proses hukum. Ia mendukung Nuril mengajukan
Peninjauan Kembali (PK) (Ristianto, 2019).
Di sisi lain, muncul gerakan #SaveIbuNuril dan gerakan koin untuk Nuril. Masyarakat
Indonesia tidak tinggal diam mendengar adanya sisi kemanusiaan yang dilanggar dalam
kasus Baiq Nuril tersebut. Merasa bahwa terjadi pelanggaran dalam hal kemanusiaan dan
juga keadilan, beberapa kelompok masyarakat kemudian angkat suara mengenai kasus ini
mulai dari menunjukkan rasa simpati hingga kegeramannya. Seluruh respon masyarakat
ini telah sampai pada terbentuknya koalisi Save Ibu Nuril yang menyerahkan petisi
#AmenstiUntukNuril yang ditujukan kepada Presiden Jokowi. Petisi adalah pernyataan
warganegara yang disampaikan kepada pemerintah untuk meminta agar pemerintah
mengambil tindakan terhadap suatu hal. Dengan kata lain petisi merupakan bentuk dari
partisipasi politik warganegara untuk mempengaruhi kebijakan/keputusan
negara/pemerintah terkait isu-isu/kebijakan publik, atau bisa dikatakan sebagai permintaan
kepada otoritas publik, biasanya institusi pemerintahan atau parlemen (Lindner dan
Riehm, 2011).
Tujuan petisi ini adalah meminta pengampunan terhadap Baiq Nuril. Oleh sebab
putusan bersalah diterima Baiq Nuril di tingkat kasasi. Lewat laman change.org, Koalisi
Save Ibu Nuril berhasil mengantongi lebih dari 100 ribu dukungan petisi hanya dalam
waktu satu hari setelah dimulai oleh Erasmus Napitupulu.
Kemudian Nuril sebagai bentuk pembelaan dirinya mengajukan PK (Peninjauan
Kembali) melalui mencari novum (bukti baru) dari kasusnya, namun MA menolak PK.
Selain itu, Nuril juga masih berjuang melawan hasil putusan Pengadilan Negeri Mataram.
Nuril bersama kuasa hukumnya melaporkan M, mantan kepsek SMAN 7 ke polisi dengan
pasal pencabulan. Joko selaku kuasa hukum Baiq Nuril, mengatakan pelaporan balik
terhadap M dilakukan karena masifnya dukungan dari masyarakat untuk menuntut
keadilan. Pelaporan ini juga disebut sebagai pembuktian bahwa Nuril adalah korban
(Komara, 2018). Setelah itu, Nuril menemui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Yasonna Laoly di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, untuk membahas wacana
amnesti yang ingin diajukan Nuril kepada Presiden Joko Widodo. Lembaga yang turut
mendesak Presiden Jokowi memberi untuk Baiq Nuril diantaranya Komnas Perempuan,
Dewan Perwakilan Rakyat, Amnesty Internasional Indonesia, dan Lembaga Perindungan
Saksi dan Korban (LPSK) (Ristianto, 2019).
Yassona Laoly mengatakan, pihaknya akan menyiapkan pendapat hukum kepada
Presiden Joko Widodo terkait wacana pemberian amnesti kepada Baiq Nuril. Kemudian
15 Juli, 2019 Presiden Joko Widodo memberikan surat kepada DPR berisi permintaan
pertimbangan permohonan amnesti untuk Nuril. 25 Kemudian DPR menyetujui
pertimbangan pemberian amnesti kepada Nuril yang diajukan oleh Presiden Jokowi.
Dalam rapat paripurna, semua perwakilan fraksi menyetujui pemberian amnesti atas surat
yang dikirimkan Presiden Jokowi. 29 Juli 2019 Presiden Jokowi menandatangani
Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pemberian amnesti bagi Baiq Nuril Maknun.
Dengan terbitnya amnesti ini, maka Nuril yang sebelumnya divonis Mahkamah Agung
(MA) melanggar UU ITE pada tingkat kasasi, bebas dari jerat hukum (Ristianto, 2019).
2. Pembelaan HAM yang belum didapatkan dalam kasus ini :
Dalam kasus ini jelas terdapat pula keadilan yang tidak ditegakkan, dimana hukum
hanya menelisik kasus dengan berat sebelah dan tajam ke bawah. Kasus adanya dugaan
kekerasan seksual sama sekali diabaikan oleh pihak peradilan dan menutup mata bahwa si
terdakwa dalam kasus ini juga merupakan korban. Selain itu, sebagai seorang wanita,
terdapat hal-hal khusus yang harus diperhatikan oleh lembaga peradilan dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, hingga ke persidangan seperti yang telah dinyatakan dalam
PERMA NO 3 Tahun 2017 tentang perempuan berhadapan dengan hukum.
Menurut PERMA No. 3 Tahun 2017, dalam mengadili perempuan yang berhadapan
dengan hukum, hakim diharapkan dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan fakta
persidangan terkait adanya ketidaksetaraan status sosial di masyarakat yang
mengakibatkan adanya ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki. Selanjutnya,
hakim juga diharapkan dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan adanya relasi
kuasa antara para pihak yang berperkara yang mengakibatkan perempuan tidak berdaya.
Selain itu, hakim juga diharapkan dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan riwayat
kekerasan yang dilakukan pelaku serta mempertimbangkan dampak kerugian yang dialami
korban dari ketidakberdayaannya (Sukoyo, 2018).