Christian Fuchs
& Sebastian Sevignani, Mengenal Perbedaan Kerja-teralienasi Digital (Digital Labour) dan Kerja-Umum Digital
(Digital Work), terj., Mitrardi Sangkoyo (IndoProgress, 2018).
Saya ingin sedikit menambahkan poin relevansi di sini. Lenin, dalam ‘Left-
Wing’ Communism, an Infantile Disorder, menghardik keras para pentolan
Internasional Kedua sebagai “sangat tidak dialektis” dalam merancang or-
ganisasinya, program-program, dan akhirnya strategi revolusionernya,
Mantra Lenin bahwa “tanpa teori revolusioner tidak akan ada gerakan
revolusioner”2 seringkali diucapkan berulang-ulang dan dimaknai ses-
ederhana bahwa “teori harus disertai praksis.” Namun jarang ditelusuri
maksud Lenin dengan seruan ini, yaitu bahwa suatu gerakan revolusioner
harus didasarkan pada suatu analisis dan teorisasi mengenai kondisi-kon-
disi objektif dan spesifik yang ada di zamannya. Suatu gerakan revolusi-
oner yang dialektis dan yang menyejarah harus mampu mengonfrontir
seluruh aransemen dan ensembel material dari realitas pengkelasan yang
baru (new class reality) di eposnya masing-masing. Itulah mengapa suatu
teorisasi perkembangan kapital adalah mutlak dilakukan untuk menyu-
2 V. I. Lenin, The Tasks of the Russian Social Democrats, dlm. Collected Works (Mos-
cow: Progress Publishers, 1972), 2:343.
2
MENGENAL PERBEDAAN KERJA-TERALIENASI DIGITAL (DIGITAL LABOUR)
sun suatu teori mengenai organisasi kelas pekerja, yang pada gilirannya
akan menentukan strategi-strategi perjuangan revolusioner. Terkait kasus
kita pada kesempatan kali ini, maka adalah penting untuk terlebih dahu-
lu memahami dan menjelaskan kebangkitan kapitalisme digital hari ini
untuk dapat merumuskan bentuk-bentuk yang relevan untuk mengor-
ganisasikan buruh-buruh digital, yang pada gilirannya akan menentukan
strategi-strategi pertarungan kelas di ranah digital. Karya Fuchs dan Sevi-
gnani yang sedang diantarkan di sini adalah contoh baik mengenai kedia-
lektisan suatu analisis.
[..] Tidak akan ada ilmu sosial yang ‘imparsial’ dalam suatu
masyarakat yang didasarkan pada konflik kelas. Dalam satu
dan lain hal, seluruh sains arus-utama dan liberal membela
3
Christian Fuchs dan Sebastian Sevignani
Marxisme, dengan kata lain, adalah nama lain dari perspektif dan/atau
standpoint pekerja. Selain Marxisme, tidak akan ada perspektif lain yang
dapat pertama-tama, memberi sudut pandang dari standpoint pekerja
akan suatu realitas eksploitatif, apalagi merumuskan strategi pengor-
ganisasian dan perlawanan untuk membebaskan pekerja; tidak sekalipun
apabila terucap dalam slogannya ia berpihak pada kelas pekerja atau ia
mendaku berperspektif Marxis.
4 V. I. Lenin, The Three Sources and Three Component Parts of Marxism, dlm. Collect-
ed Works (Moscow: Progress Publishers, 1968), 19:23. Terjemahan bebas penulis, cetak
miring dari teks asli.
4
MENGENAL PERBEDAAN KERJA-TERALIENASI DIGITAL (DIGITAL LABOUR)
form digital) itu sendiri tidak berkeberatan untuk dieksploitasi dan dilang-
gar privasinya. Seperti yang saya temukan dalam wawancara riset saya,
saat ditunjukkan bahwa dalam terms and conditions-nya, aplikasi berba-
gi-kendara (ride-sharing) sebenarnya “menjebak” kita untuk mengizinkan
data-data pribadi dan digital kita supaya bisa dipergunakan dan diper-
jual-belikan, seorang informan mengatakan, “gue sih nggak masalah ker-
ja-klik dan kerja-konten gue diambil, secara gue juga diuntungkan.” Bah-
kan parahnya, informan tersebut terbilang sangat aktif di gerakan pekerja!
Di sinilah pentingnya menegaskan bahwa standpoint Marxisme adalah
standpoint pekerja sebagai suatu kelas, ketimbang pekerja sebagai individu.
Pasalnya, dari perspektif agenda kelas pekerja, ke-“nggak masalah”-an
salah satu pekerja ini berimplikasi panjang. Ia akan semakin mengasupi
profit kepada raksasa digital untuk terus memperbarui permesinannya
(infrastruktur dan gawai fisik) maupun teknik otomasinya (algoritma si-
ber) yang berkorelasi linier dengan semakin murahnya seluruh kerja-kerja
yang terotomasi tersebut.
Tak pelak, dalam karya Fuchs dan Sevignani ini, tersemat pertaruhan para
pekerja: kegagalan Marxisme untuk bisa relevan di situasi kontemporer,
berarti juga hilangnya masa depan mereka (kita!) akan suatu dunia yang
bebas dari relasi upah, akan suatu dunia di mana—dalam bahasa Fuchs
dan Sevignani—seluruh kerja tidaklah teralienasi dan menjadikan peker-
janya buruh.
Refleksi Kritis
Pada dirinya sendiri, karya Fuchs dan Sevignani ini adalah contoh berharga
bagaimana sebuah analisis mengenai relasi kerja dan kapital adalah tidak
terlepaskan dari upaya untuk, tidak hanya mengimajinasikan, melainkan
memformulasikan bentuk pengorganisasian yang anti-tesis terhadap relasi
tersebut. Analisis Fuchs dan Sevignani tentang nilai kerja dan transforma-
sinya di era digital telah setidaknya membukakan mata kita mengenai as-
pek bermain-main (playful) dari kerja yang notabene selalu berada di luar
relasi utilitarian kapitalis (sekalipun terus diupayakan untuk ditundukan dan
dimasukkan ke buku kas melalui berbagai strategi platform, antar-muka
dan algoritma kapital). Dan berangkat dari aspek bermain-main dari kerja
inilah keduanya mulai memikirkan cara pengorganisasian untuk keluar dari
5
Christian Fuchs dan Sebastian Sevignani
5 Hal ini sekaligus menunjukkan kekeliruan Fuchs dan Sevignani dalam mendi-
agnosis kekeliruan para pekerjais (workerist; operaist) dan mazhab kapitalisme kognitif
(h. 256 teks Inggris). Kekeliruan para pekerjais dan “kognitifis” pada umumnya dalam
mendikotomikan material-imaterial, kerja-hidup – kerja-mati, manual-mental, dst.,
bukan karena mereka memisahkan (detach) keduanya (Hardt dan Negri jelas, misalnya
di Empire, bahwa hasrat manusia selalu beradaptasi dengan alam; dan Virno, misalnya
di When Words become Flesh, bahwa bahasa menjelma dalam tubuh dan kemudian mes-
in-mesin kapital) sebagaimana yang dikira Fuchs dan Sevignani. Kekeliruan mendasar
mereka adalah seringkali mereka melupakan kemenyatuan historis dari dikotomi terse-
but—sesuatu yang sudah ditandaskan oleh pendahulu mereka, Mario Tronti, jauh-jauh
hari sebelumnya. Poin ini saya bahas secara ekstensif di, Hizkia Y. Polimpung, “Pekerja
adalah Universal: Manusia dan Subjek dalam Mutasi Kapitalisme,” Jurnal IndoProgress,
II, 8 (2017).
6
MENGENAL PERBEDAAN KERJA-TERALIENASI DIGITAL (DIGITAL LABOUR)
Walau demikian, kedua kritik saya ini tidak hendak mengerdilkan kon-
tribusi penting Fuchs dan Sevignani, melainkan lebih ke arah membuka
lintasan-lintasan baru dalam mengeksplorasi problematika yang muncul
dalam perdebatan digital (The Digital Debate) dari perspetif kelas pekerja.
Digitalisasi kerja, kelas dan kapital, tentu secara dialektis juga menuntut
7
Christian Fuchs dan Sebastian Sevignani