Anda di halaman 1dari 10

Paradigma Infrastruktural dan Robin Hood

indoprogress.com/2017/04/paradigma-infrastruktural-dan-robin-hood/

Harian IndoPROGRESS April 17,


2017

Kredit ilustrasi: https://comicvine.gamespot.com

DENGAN mundurnya AS dari Trans-Pacific Partnership (TPP) pasca penarikan-diri Trump


awal tahun ini, lantas apakah tren dan sekaligus fitur-fitur “mengkhawatirkan” dari pakta-
pakta perdagangan baru sejenis ini ikut berlalu?

Baru
Pakta perdagangan baru? Ya, baru. Dikatakan baru, karena pakta-pakta perdagangan ini
berbeda dari yang sebelumnya. Bagi yang familiar dengan studi ekonomi politik global,
tentunya sudah banyak mendengar pakta-pakta lama seperti NAFTA, AFTA, APEC,
FEALAC, dst. Pakta-pakta ini bisa berbentuk preferential trade agreement, free trade area,
custom union, dst., tergantung derajat integrasinya dari fasilitasi perdagangan
langsungnya. Apapun itu, yang mencirikan pakta lama ini adalah bahwa ia
beranggotakan negara, atau setidaknya, untuk kasus APEC, entitas ekonomi teritorial
(disebutnya, ‘economy’). Karena bersifat multilateral, seluruh aktivitasnya disorot oleh
media.

1/10
Berbeda dengan para pendahulunya, pakta-pakta yang baru cenderung melibatkan
pihak-pihak non-negara, seperti pengusaha, asosiasi dagang/pengusaha, dan tentu saja,
perusahaan. Tidak hanya itu, perundingan-perundingan yang dilakukan adalah tipe-tipe
yang disukai para whistleblower liberal semacam Wikileaks. Tertutup, diam-diam dan
serba misterius: ini mungkin ajektif yang kerap dipakai Wikileaks untuk menyebut “Tiga T
Besar” blok ekonomi-legal global: selain TPP, yaitu TTIP (Transatlantic Trade and
Investment Pact) dan TiSA (Trade in Services Agreement).

Mengapa serba misterius? Perundingan-perundingan yang tidak diumumkan ke media


ini ditengarai (dan berdasarkan bocoran wikileaks) mencoba untuk mengemansipasi—
jika saya boleh menggunakan istilah sakral para aktivis ini—investor dan pebisnis untuk
bisa “setara” di hadapan negara. Dengan begini kita bisa memahami mengapa Phillip
Morris, pasca kalah di pengadilan Australia, lantas ia pindah ke Hong Kong dan
kemudian balik menuntut pemerintah Australia, dan menang! Dalam kasus ini,
perusahaan menuntut pemerintah negara karena kebijakan publik yang diambil dapat
melemahkan akselerasi akumulasi profit si perusahaan. Konon pemerintah Australia
menetapkan bahwa dalam bungkus rokok harus ada gambar-gambar mengerikan untuk
menggentarkan orang supaya urung merokok—tentunya berimbas pada pengurangan
sales perusahaan, dan melorotnya neraca profit. Jadi, ya tidak salah kan kalau
pemerintah Australia yang melindungi rakyatnya ini mesti diberi pelajaran—lha wong dia
menghambat kapital!?

Apabila TPP berlaku di Asia Pasifik, TTIP dan TiSA di Trans-Atlantik, dan ketiganya
dimotori negara-negara adidaya tradisional, maka “kearifan lokal” Asia Timur juga
memiliki versinya sendiri, namanya RCEP (Regional Comprehensive Economic
Partnership) yang mencakup 10 negara ASEAN dan enam mitra—Cina, Jepang, Korea
Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru. Secara geopolitik ekonomi global, TPP
(tadinya) dikomandoi oleh AS, sementara RCEP dikomandani oleh Cina. Tentu saja
keduanya bersifat zero-sum—saling berusaha meniadakan: TPP dipakai untuk
membendung dan membatasi Cina; RCEP dipakai untuk menggembosi AS. Permainan
hubungan internasional klasik sebenarnya.

Lalu, kembali ke pertanyaan awal di atas, apakah dengan mundurnya AS dari kehebohan
pakta-pakta perdagangan baru ini lantas berarti berita baik (bagi rakyat pekerja)? Lebih
detilnya, apakah RCEP-nya Cina ini bersih dari hal-hal yang mencemaskan dari Tiga T
Besar? Pertanyaan pertama, jawabannya sayangnya ‘tidak’. Pertanyaan kedua, ‘tidak’
juga. Namun demikian, saya akan coba memberikan argumen yang agak berbeda dari
argumen klasik nan standar ala aktivis-aktivis liberal.

Fobia Liberal
Kritik utama terhadap pakta-pakta perdagangan baru ini biasanya berkisar pada tema-
tema klasik seperti “bahaya asing,” “perampasan kedaulatan,” dan “proteksi produk
dalam negeri.” Memang benar, dalam pakta-pakta baru ini, perampasan kedaulatan
negara di bawa ke level yang baru: bukan hanya menyejajarkan investor, pebisnis dan

2/10
perusahaan sama dengan negara, melainkan bahkan jangkauan mekanisme
penyelesaian sengketa (Investment-State Dispute Settlement, ISDS) yang diatur (diam-
diam) pakta ini mampu mengatasi hukum nasional! Seolah-olah, saat berkenaan dengan
bisnis, kita berada di alam hukum yang lain, yang tidak ada kaitannya dengan supremasi
hukum yang berlaku di negara kita. Namun demikian, tetap saja klasik—semenjak
putaran-putaran WTO, sampai G20, sampai IMF, dst., narasi ini tetap saja dominan
dikumandangkan.

Kritik lainnya, yang dominan mewarnai kritik-kritik yang lebih bernuansa “kiri,” adalah
bahwa ini adalah suatu ‘proyek kelas’ atau semacam ‘rekonsolidasi kelas pasca krisis’.
Kita perlu bersimpati dengan kritik ini karena memang terdapat sejumput kebenaran di
dalamnya. Pasca krisis 2008, narasi dominan di fora multilateral dan di tingkatan global
adalah kebutuhan untuk meregulasi bisnis, dan terutama, sektor finansial. Merkel
(Kanselir Jerman), Sarkozy (Presiden Perancis, saat itu), Cameron (PM Inggris, saat itu),
dll., bersepakat dengan ini. Namun demikian, kenyataannya, mereka-mereka inilah yang
justru memotori pakta-pakta perdagangan baru di transatlantik (TTIP dan TiSA), yaitu
yang membantu kelas-kelas pemodal untuk semakin dalam menancapkan pengaruhnya
di ekonomi. Namun demikian, kritik seperti ini sebenarnya nanggung alias kurang
nendang. Soalnya, apakah dengan menyibakkan fakta kebangkitan kelas ini lantas kita
bisa mengubah kondisi? Seolah-olah dengan meneriak-neriaki para pemodal itu lantas
mereka akan membagi tumpukan kue ekonomi yang disimpan di kulkas mereka; seolah
negara (yang notabene berpartisipasi di pakta-pakta ini) lantas akan berpihak pada kita.
Dan, ya, tentu saja kritik seperti ini juga tidak kalah klasiknya dengan kritik tipikal
pertama.

Terlepas dari aspek klasik dan nanggung, sebenarnya kedua kritik ini khas apa yang jauh-
jauh hari diperingatkan Michel Foucault di The Birth of Biopolitics sebagai ‘fobia liberal
akan negara’ (liberal state-phobia).[1] Keduanya, dengan kata lain, adalah narasi yang
muncul dari ketakutan yang khas dialami oleh para liberal saat berhadapan dengan
negara, baik negaranya sendiri atau negara lain. Apa pasal? Ketakutan liberal setidaknya
punya dua dimensi, domestik dan internasional. Di domestik, ketakutan ini
memanifestasi dalam kritik dan seruan terhadap negara yang membatasi, memata-
matai, menculiki, mengekang ekspresi, memblokir situs porno, menyensor film-film XXI,
dst. Asumsinya jelas, bahwa negara seharusnya—sekali lagi, seharusnya (entah siapa yang
mengharuskan)—memfasilitasi rakyatnya untuk bebas berekspresi, bebas mengkritik,
bebas bermobilisasi, bebas …., dst. (silakan diisi titik-titiknya sendiri). Mendeteksi kritik
model ini amatlah mudah, tunggu saja kata-kata langganan yang sering dipakai untuk
memungkasi kritik mereka: “negara harus… negara harus… negara harus…” Ironisnya,
untuk kritik-kritik model ini, justru teori Foucault banyak dimobilisasi! Padahal kritik
semacam ini justru sangat tidak bermotivasi Foucaultian.

Di tingkatan internasional, fobia liberal terpantik karena intervensi dari eksternal


terhadap “keharmonisan” dalam negeri. Tak pelak, narasi-narasi anti-asing, perampasan
kedaulatan, neokolonialisme dan proteksi dalam negeri ini seakan menjadi obat kumur
yang dipakai semua orang. Narasi-narasi ini, bahkan, hebatnya, membuat kita sulit
3/10
membedakan antara LSM-LSM kritis dengan KADIN! Bagaimana tidak, apakah
‘keharmonisan’ yang diasumsikan ini jika bukan status quo hegemonik tatanan kapitalis
domestik? Para liberal, saat berkaitan dengan hubungan internasional, menjadi sangat
konservatif![2] Itulah mengapa standar ganda yang langganan dipakai AS sejak dulu
harus kita maklumi. Sama perlu kita maklumi juga dengan orang-orang yang mengaku
anti-kapitalis tapi di dalam negeri malah berpihak pada kapitalis domestik yang diberi
moniker ‘borjuis progresif’.

Yang absen dari kritik-kritik ini tidak lain adalah aspek struktural. Oh, ya, tentu saja,
beberapa proponen kritik-kritik model di atas juga selalu menggunakan istilah
“struktural” juga. Tapi apakah ajektif struktural dalam suatu analisis? Menurut hemat
saya, kata “struktural” yang kerap dipakai ini tidak beda dengan yang digunakan agensi-
agensi pemasaran saat mereka berkata “struktur pasar.” Bagi para agensi marketing,
struktur pasar berkaitan dengan sebaran kompetitor berikut berapa porsi penguasaan
pasar masing-masing di suatu sektor. Mirip; bagi kritik model di atas, kritik “struktural”
adalah menunjuk-nunjuk hidung mereka yang berkuasa, mereka yang “mendalangi,” dst.
Kesenangan kritikus model ini adalah menggosok-gosok terus istilah ‘oligarki’ sampai
kinclong. Mengumpulkan data-data kekayaan para pemilik hidung yang mereka tunjuk,
dan mempublikasikan secara jor-joran adalah hobi kritikus model ini. Tidak bisa
disalahkan juga jika kita salah mengira bahwa mereka adalah akuntan publik si pebisnis
yang mereka kritik tersebut.

Oleh karena itu, izinkan saya mengusulkan definisi bagi ajektif “struktural.” Struktural
yang kita pakai harus memotret aspek material yang menjadi basis bagi arti kata
“struktural” di atas. Oligarki misalnya, tidak akan berdiri sendiri apabila para oligarki
tersebut tidak memiliki jejaknya di penguasaan sumber-sumber penghidupan; dengan
kata lain, tidak ada oligarki tanpa oligopoli. Menganalisis oligarki tanpa juga membedah
corak dan mekanisme oligopoli yang memungkinkannya, hampir tidak ada bedanya
dengan mahasiswa ababil yang ditanya mengapa ikut demo tapi tidak bisa menjelaskan
alasannya. Tapi, tentu saja bisa dipahami, lebih seru dan berdebar-debar untuk
menunjuk hidung oligark dan memaki-makinya, ketimbang pekerjaan panjang nan
membosankan untuk mengulik data-data statistik demi menunjukkan rasio konsentrasi
penguasaan pasar, atau membedah doktrin manajemen perusahaan dan rantai produksi
untuk menunjukkan eksploitasi material dari istilah muluk dan mengawang “kapitalisme
neoliberal.”

Aspek struktural yang lebih bernuansa material, dengan demikian, merujuk pada corak
pengorganisasian produksi, kerja, infrastruktur dan keuangan yang memungkinkan
ekspropriasi nilai secara (lebih) masif terhadap kelas pekerja. Tentu saja, ekspropriasi
nilai ini meluncur masuk ke empunya hidung-hidung yang dituding-tuding di atas. Aspek
struktural material ini merujuk pada konsep Marx ‘komposisi kapital’ (terdiri dari dua:
organik dan teknis).[3] Marxis-pekerjais, kemudian, menambahkan konsep ‘komposisi
kelas’ yang mengiringi setiap corak dan evolusi komposisi kapital ini,[4] dengan demikian
semakin menculaskan aspek antagonisme kelas yang sudah ada dalam konsep

4/10
komposisi kapital Marx. Uraian mengenai konsep-konsep ini tentunya menjadi porsi
tulisan di lain kesempatan. Namun setidaknya kita bisa melihat rujukan lain dari istilah
“struktural” yang nampaknya sudah mulai aus ini.

Corak struktural baru


Suatu pertanyaan, apalagi pertanyaan analitis, sudah pasti dan akan selalu bermuatan
idiologis. Pertanyaan saya di awal artikel, tentunya, tak terkecuali. Apa lagi muatannya
jika bukan ala ala fobia liberal. Nah, jika para pembaca sekalian dan saya bisa “bertobat”,
maka kita perlu mengganti pertanyaan di atas itu dengan yang lebih struktural—dengan
artian yang baru saya sampaikan. Pasalnya dengan penjelasan yang lebih struktural,
tema perjuangan kelas menjadi bisa lebih terbayangkan dan lebih mampu mengarah
(sekalipun mungkin belum bisa menunjukkan jalan) ke suatu perubahan yang juga
struktural.

Jadi, pertanyaan kita kemudian adalah: apa yang berubah dari corak eksploitasi ala pakta
baru? Dan bahkan, apa yang berubah dengan tetapnya fitur-fitur pakta baru di RECP,
bahkan saat AS mundur dari keterlibatan di pakta-pakta barunya (TPP, TTIP, TiSA)?

Mustahil menjawab pertanyaan ini di sini, tentunya. Saya pun tidak sedang menulis
proposal penelitian. Namun poin yang hendak disampaikan adalah bahwa cara kita
melihat situasi perlu memiliki kerangka yang jelas keberpihakannya. Saya tidak berani
bilang bahwa keberpihakan itu sudah harus ada sejak dari hati dan pikiran—saya tidak
punya alat untuk memverifikasinya; namun setidaknya yang berani saya sampaikan dan
pertanggungjawabkan adalah bahwa keberpihakan itu sudah harus ada sedari
metodologi, bahkan pertanyaan-pertanyaan kita. Pertanyaan barusan mencoba
menelisik persoalan re-komposisi kapital (dan kelas) di dalam pakta-pakta perdagangan
yang baru, baik versi AS maupun versi Cina. Dengan membedah corak komposisional
dari pengorganisasian kapital dan akumulasinya ini, kita bisa memetakan di titik-titik
mana dan secara teknis bagaimana tepatnya terjadi proses eksploitasi (yi. penghisapan
nilai lebih pekerja). Pengetahuan inilah yang dibutuhkan secara strategis dan taktis,
misalnya, bagi pengorganisasian perlawanan serikat pekerja. (Tentu saja saya
mengasumsikan serikat pekerja ini tidak malah terlibat dalam jejaring oligarki dan ikut
memfasilitasi penundukkan pekerja anggotanya).

5/10
Kredit ilustrasi: nadhila.blog.upi.edu

RECP dan Paradigma Infrastruktural


Kita tahu bahwa hal-hal yang mengkhawatirkan dari Tiga T Besar—yaitu, di antaranya,
pengesampingan hukum nasional dan “privatisasi” sistem keadilan legal dalam
tribunal/mekanisme penyelesaian sengketa—ternyata juga tetap ada di dalam RECP.
Begitu pula dengan emansipasi investor dan pebisnis, bahkan dengan bonus privilese
khusus, di hadapan negara dan sistem internasional. Beberapa negosiasi RECP pun
relatif diam-diam. Namun demikian, apabila kita lihat dengan seksama, satu hal yang
relatif tidak berubah adalah iman terhadap mekanisme pasar. Adalah manifestasi iman
fundamentalis ini di dalam rekomposisi kapital yang menampakkan perubahan. Dari
sekian banyak variabel, satu yang hendak saya bahas di sini adalah tentang paradigma
pengorganisasian kapital dan akumulasinya. Paradigma yang dimaksud adalah
persoalan bagaimana suatu pemikiran dioperasionalisasikan dan diterjemahkan
(translated) ke manifestasi konkritnya. Paradigma pengorganisasian, dengan demikian,
menyangkut corak dan mekanisme penerjemahan suatu ide/logika pengorganisasian ke
dalam seluruh ensembel material di lapangan—baik perangkat keras, lunak, maya (cyber)
maupun manusia.[5]

6/10
Singkat cerita, corak pengorganisasian produksi kontemporer adalah apa yang disebut
dengan jejaring produksi berantai secara global (Global Production Network/Chain).
Apabila tahun 1970-an, demi mengejar efisiensi, perusahaan-perusahaan AS dan Eropa
berbondong-bondong melakukan offshore (relokasi lintas samudera) ke Asia yang
memiliki tenaga kerja murah, maka untuk abad ke-21 pola produksi ini mulai
bercorakkan outsourcing (pengalihan-daya). Perdagangan, yang tadinya didominasi
perdagangan barang dan jasa, kini mulai bergeser ke rezim perdagangan tugas kerja
(trade in tasks). Peralihan perdagangan ini tampak jelas dalam signifikannya perdagangan
barang setengah jadi (intermediate goods), ketimbang perdagangan barang jadi atau
bahan mentah.[6] Suatu bahan mentah, dengan demikian, bisa diproses dimana-mana
sampai akhirnya dirakit (assemble) di tempat akhir, dan kemudian dijual lagi dimana-
mana. Tahap pra-proses, pemrosesan, dan pasca-proses bisa tersebar di banyak tempat.

Secara logika produksi, ini yang disebut dengan disintegrasi produksi alias memecah-
mecah proses produksi sampai titik paling efisien (paling murah). Pemilik merek,
misalnya, tidak perlu memiliki pabrik sendiri untuk memproduksi keseluruhan produk
akhir dari lini produknya. Ia cukup mengalih-dayakan ke orang lain. Efisien, karena ia
tidak perlu membayar tunjangan si pekerjanya, belum lagi kalau mereka rewel dan
membuat serikat pekerja. Sistem inti-plasma sangat jelas terinspirasi dari logika produksi
fragmentaris ini. Perusahaan inti hanya “membeli putus” barang-barang dari plasma-
plasmanya, tanpa perlu menggajinya secara tetap, apalagi membayar ongkos berobat di
hari tuanya. Pikirnya, untuk apa saya membayar hidup pekerja saya di umur 70 tahun
kalau saya cuma membutuhkannya 7 bulan saja? Di sini, saya kira, kita bisa melihat jelas
mengapa sistem pekerja kontrak menjadi marak dan semakin terlihat “normal”—suatu
hal yang tidak terbayangkan setidaknya 30 tahun yang lalu.

Konsekuensinya, kita menyaksikan bagaimana proses penciptaan nilai kini tersebar


secara global. Bisa saja suatu proses penciptaan nilai terjadi di satu tempat (di negara-
negara bertenaga kerja low-skilled, dan karenanya murah), tapi penangkapan nilainya di
tempat lain (di negara-negara pemegang merek dagang, para konseptor, para “inovator,”
dst., gampangnya negara-negara di mana sering diselenggarakan Ted Talks).[7] Karena
“pabrik” produksinya tersebar di mana-mana, maka manajemen berbasis jejaring
menjadi sangat dibutuhkan; begitu pula perkakas untuk menghubungkan hub-hub
dalam jejaring ini, baik secara virtual-digital (melalui sistem komunikasi dan informasi)
maupun secara kongkrit (melalui jalan raya, rel kereta, jalur–jalur transportasi). Koneksi
dan sirkulasi menjadi kunci di dalam perekonomian saat ini; begitu pula jalur-jalur dan
choke point distribusi logistik menjadi urat nadi perekonomian. [8]

Infrastruktur, akhirnya, menjadi hal yang sangat vital bagi penguasaan ekonomi.
Menguasai infrastruktur, berarti menguasai sirkulasi dan koneksi di dalam ekonomi.
Ledakan proyek infrastruktur terjadi dimana-mana; Cina bahkan mendirikan bank
khusus untuk ini (AIIB), dan ASEAN pun kesengsem dengan dana segarnya.[9] Bagi para
pemegang tampuk kekuasaan, menjadi logis untuk memperjuangkan proyek-proyek
infrastruktur karena ini berkorelasi linier dengan nafas kekuasaannya. Pasalnya, lagi-lagi
dari perspektif ini, kekuasaan membutuhkan topangan material, yaitu ekonomis, dan
7/10
ekonomi hari ini utamanya ditentukan oleh kontrol terhadap koneksi dan sirkulasi, yaitu
infrastruktur. Proses pengamanan koneksi dan sirkulasi ini, karena vital, bisa muncul
secara brutal: penggusuran paksa tanpa mengindahkan hukum, penumpasan
perlawanan serikat pekerja, bahkan tindakan represif aparat menjadi pilihan praktis bagi
pola pikir ini. Inilah paradigma pengorganisasian kapital dan akumulasinya yang baru:
saya menyebutnya ‘paradigma infrastruktural’.

Paradigma infrastruktural melihat segala sesuatunya dengan teropong pengamanan


sirkulasi dan koneksi di dalam ekonomi. Siapa yang menghalangi: tumpas; di mana ada
gap: bangun infrastruktur. Kita bisa mengumpulkan banyak data mengenai infrastructure
rush ini. Namun satu hal yang sering luput adalah bahwa kita cenderung
mengesensialisasikan istilah infrastruktur ini ke dalam rupa-rupanya seperti jembatan,
jalan raya, satelit, gedung, dst. Memang benar ini semua adalah infrastruktur. Namun
demikian, jika kita mengacu ke konsepsi infrastruktur sebagai medium terjadinya
sirkulasi dari titik koneksi satu ke titik lainnya, maka sebenarnya konsepsi ini berimplikasi
luas. Bahkan, manusia pun bisa dilihat sebagai spesies infrastruktur!

Manusia sebagai infrastruktur ini pertama kali ditangkap oleh Foucault saat mengatakan
bahwa manusia adalah conduit tempat dialirinya wacana dan pengetahuan, dan
karenanya, kekuasaan. Jika kita tidak terlalu mabuk humanisme, kita bisa melihat sisi lain
dari teori mikro-kekuasaan Foucault ini, yaitu bahwa manusia adalah infrastruktur bagi
mulusnya sirkulasi wacana yang menopang kekuasaan—dalam hal ini paradigma
ekonomi; manusia adalah titik koneksi yang harus memuluskan dan mereproduksi
seperangkat praktik-praktik diskursif yang lagi-lagi seturut paradigma yang ditentukan
oleh kepentingan kelas penguasa. Dengan melihat paradigma infrastruktural secara
Foucaultian ini, maka kita bisa memperluas konsekuensi rekomposisi pengorganisasian
kapital dan akumulasinya sampai ke ranah-ranah yang bisa jadi tak terpikirkan
sebelumnya!

Untuk melancarkan sirkulasi rantai suplai dan rantai produksi barang-barang yang
merek-mereknya dipegang oleh negara-negara adidaya di Asia Timur, misalnya, maka
negara-negara ASEAN perlu mengamankan kesinambungan (sustainability) produksinya
dengan menyediakan tenaga-tenaga kerja murahnya. Begitu pula demi memenuhi
kebutuhan dari perusahaan-perusahaan besar di kawasan, maka ASEAN perlu
mempersiapkan jajaran UMKMK (Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi) untuk
selalu siap sedia memfasilitasi sirkulasi bagi capital di kawasan. Ya, omong-omong, persis
inilah hasil kesepakatan bab 2 perjanjian RCEP yang disimpulkan di putaran ke-16-nya di
BSD, Tangerang, Desember 2016 lalu: mempersiapkan UMKMK untuk berpartisipasi di
rantai perdagangan global. Begitu pula dengan keterampilan tenaga kerja. Sadar karena
leverage-nya adalah sebagai penyedia tenaga kerja murah, maka ASEAN pun semakin
menggalakkan upgrade skill para pekerjanya melalui pendidikan dan pelatihan. Dari
paradigma infrastruktural, tenaga kerja adalah spesies infrastruktur tempat dilaluinya
barang mentah/setengah jadi untuk kemudian diprosesnya; tidak lebih.

8/10
Rekomposisi kapital yang melahirkan paradigma infrastruktural ini pada gilirannya juga
menular ke pengorganisasian dan pengunaan (excercise) kekuasaan. Apabila agenda-
agenda RCEP dan pakta perdagangan baru lainnya, atau bahkan pemerintah pada
umumnya adalah secretive alias diam-diam, maka berdasarkan paradigma
infrastruktural, kita tidak perlu heran. Pasalnya, kita, para rakyat memang dilihat sebagai
spesies infrastruktur semata: eksistensinya adalah untuk memuluskan, meneruskan,
mengalirkan dan menyinambungkan aliran dari proses-proses yang menunjang
akumulasi kekayaan dan kekuasaan mereka, tidak lebih. Rakyat, dari paradigma
infrastruktural, adalah entitas yang perlu ditangani, diintervensi, dimodifikasi, dibentuk,
dididik, dst., dan bukan didengarkan aspirasinya sebagai konstituen. Begitu pula sense of
belonging-nya: perlu dibentuk dan dijaga. Apalagi tujuannya apabila bukan untuk bisa
bersemangat dan antusias dalam menjalankan fungsi infrastrukturalnya? Penyediaan
beasiswa pendidikan, sanitasi dan keamanan minimal bagi rakyat adalah hal yang sudah
dikalkulasikan dari paradigma infrastruktural. Jadi, wahai rakyat, jangan telalu ge-er![10]

Penutup
Apabila ekonomi hari ini, yaitu di era rekomposisi kapital dan akumulasi kapital abad ke-
21, telah melahirkan suatu paradigma infrastruktural, maka tentu situs perjuangan kelas
juga harus digelar di lokus vitalnya: yaitu di sirkulasi dan koneksi. Begitu pula dengan
dominannya rezim fragmentasi produksi dan rantai produksi global, maka perjuangan
kelas pekerja harus mampu menginterupsi rantai yang mengalirkan nilai-lebih menjauh
dari para pekerja yang menciptakannya. Mungkin kita perlu mengingat dongeng Robin
Hood dari Sherwood, terutama modus operandi-nya dalam beraksi. Robin Hood selalu
bergerak diam-diam, memantau secara sabar jalur-jalur yang dilalui kurir-kurir penguasa
dalam mengantarkan harta kekayaan dan makanan-makanan mewah, untuk kemudian
menunggu momen yang tepat untuk mencegat kurir tersebut. Seluruh strategi dan taktik
Robin Hood berhubungan dengan penyergapan diam-diam dan penyabotasean harta-
harta kekayaan tersebut. Saya kira strategi Robin Hood ini bisa menjadi counter-paradigm
terhadap paradigma infrastruktural. Memahami dan memetakan sirkulasi dan koneksi di
dalam jejaring ekonomi global hari ini, untuk kemudian memikirkan cara untuk meretas,
menyerobot dan mengalihkan kembali nilai-nilai kerja kita, adalah implementasi
kontemporer strategi Robin Hood ini.

Performa kapital hari-hari ini diukur sejauh mana ia mampu meningkatkan efisiensi
proses akumulasi dirinya secara cepat, tepat dan berkesinambungan. Ia harus
memperderas aliran sirkulasinya, menciptakan semakin banyak koneksi-koneksi baru
dan menjejaringkannya dengan rantai-rantai yang beroperasi secara global. Rantai-
rantai ini, yang membuat rezim sirkulasi dan konektivitas ekonomi tetap terjaga, adalah
yang berusaha terus diamankan oleh kelas berkuasa; kepentingan oligarki hanyalah
pada kesinambungan dan amplifikasi cengkeraman oligopolistik terhadap rantai-rantai
ekonomi ini. Rakyat kelas pekerja karenanya memiliki tantangan terkini, yaitu untuk
memiliki counter-paradigm bagi paradigma infrastruktural, yaitu suatu paradigma yang

9/10
mampu mencekik sirkulasi kapital di lokus-lokus choke points, dan yang mampu
memutus konektivitas eksploitasi global berantai dan berjejaring. Dan, mungkin kita
perlu belajar dari Robin Hood untuk ini.***

Penulis adalah peneliti di Koperasi Riset Purusha

————–

[1] Michel Foucault, The Birth of Biopolitics, Palgrave, 2008.

[2] Salah satu referensi terbaik tentang ini bisa dilihat di Andrew Williams, Liberalism and
War, Routledge, 2006.

[3] Lihat Marx, Capital, v.1, Bab 25.

[4] Lihat Sergio Bologna, “Class Composition and the Theory of the Party at the Origins of
the Workers-Council Movement,” terj.B. Ramirez, Telos, 13 (Fall), 1972.

[5] Definisi paradigma ini lebih ke konsepsi materialis Agamben, ketimbang Foucault
yang lebih epistemologis atau Kuhn yang lebih sosiologis. Lih Agamben, The Signature of
All Things, Zone Book, 2009.

[6] Sturgeon, Timothy & Olga Memedovic, “Mapping Global Value Chains: Intermediate
Goods Trade and Structural Change in the World Economy,” UNIDO Working Paper, 05,
2010.

[7] Dalam ASEAN Investment Report 2013-2014. FDI Development and Regional Value Chains,
2014, terlihat jelas bagaimana rantai produksi di ASEAN dimotori oleh perusahaan-
perusahaan non-ASEAN (biasanya dari Jepang, Cina atau Korea Selatan). Artinya,
memang benar penyerapan tenaga kerja banyak terjadi di kawasan, namun sialnya
penangkapan nilai terbesar tetap saja dari negara-negara non-ASEAN ini. Menjadi
oxymoron apabila kita langsung percaya pada omong kosong pemerintah ASEAN yang
retorikanya hanya berkaitan dengan membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan
sektor produktif dan memperkuat posisi di rantai produksi global, apabila ia tidak
mengindahkan ketimpangan dalam penangkapan nilai (value capture). Diskusi lebih
lanjut tentang ini, lih. uraian Dodi Mantra, dkk., di Membangun Koperasi Transnasional
sebagai Pilar Integrasi Masyarakat ASEAN, Naskah Akademik Koperasi Riset Purusha, 2016.

[8] Deborah Cowen, The Deadly Life of Logistics: Mapping Violence in Global Trade, Uni
Minnesota Press, 2014; Lihat juga situs platform riset Logistical Worlds.

[9] Lih. ASEAN & UNCTAD, ASEAN Investment Report 2015: Infrastructure Investment and
Connectivity, 2015.

[10] Uraian dengan perluasan konsepsi infrastruktural yang mirip dengan pembahasan
saya, lihat Keller Easterling, Extrastatecraft: The Power of Infrastructure Space, Verso (2014).

10/10

Anda mungkin juga menyukai