PENDAHULUAN
∗ Yosef Keladu Koten, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, NTT.
E-mail: yosaya_25@yahoo.com.
167
168 Hannah Arendt dan Etika Keduniawian (Yosef Keladu Koten)
yang berbagi ruang politis bersama. Karena itu, pemikiran etikanya lebih
tepat diformulasikan sebagai etika keduniawian (ethics of worldliness).1
ETIKA KEDUNIAWIAN
1 Bagi Arendt, dunia selalu bersifat plural karena manusia dalam bentuk jamak (men)
dan bukannya tunggal (man) yang hidup dalam dunia ini. Karena itu, etika kedunia-
wian sering disebut dengan etika pluralitas. Alice MacLachlan menggambarkan
etika Arendt sebagai sebuah etika pluralitas bertolak dari karakter politis tindakan
manusia. Dia beragumen bahwa teori Arendt tentang tindakan politik meng-
ungkapkan keprihatian etisnya terhadap kondisi hidup manusia Bdk. Alice
MacLachlan, “An Ethics of Plurality: Reconciling Politics and Morality in Arendt,”
in History and Judgment, eds. A. MacLachlan dan I. Torsen. Vienna: IWM Junior Visiting
Fellows Conference, 2006, p. 6. Sementara itu, Garrath Williams menyebutnya dengan
etika politik karena ketika kita bertindak dalam dunia, kita memberikan perhatian
penuh pada ide tentang tanggungjawab dan jawaban yang berkelanjutan terhadap
dunia di mana kita hidup. Tanggungjawab terhadap dunia inheren dalam tindakan
itu sendiri. Bdk. Williams Garrath, “Love and Responsibility: A Political Ethics for
Hannah Arendt,” in Political Studies, 1998, p. 940.
2 Aung San Suu Kyi, dalam: http//www.nobleprize.org, 2012.
170 Hannah Arendt dan Etika Keduniawian (Yosef Keladu Koten)
lain dan juga kebebasan untuk bertindak dan berbicara dalam situasi
tanpa tekanan atau paksaan. Inilah yang Arendt maksudkan dengan
dunia bersama, yang terbentuk ketika manusia ada bersama dan meng-
aktualisasikan kemampuan bertindak dan berbicara mereka. Itu berarti
bahwa ada bersama orang lain, bertindak dan berbicara merupakan
kondisi fundamental terbentuknya sebuah dunia atau politik.
Di lain pihak, daerah isolasi yang dikemukakan oleh Suu Kyi tidak
lain adalah pengalamannya sendiri ketika dipenjarakan selama lebih
dari 20 tahun oleh rezim militer yang memerintah negaranya Myanmar.
Dengan memasukan Suu Kyi ke dalam penjara, rezim militer berharap
untuk melenyapkannya dengan menyangkal hak-haknya untuk ber-
tindak dan berbicara di depan umum. Inilah yang disebut oleh Arendt
dengan worldlessness, sebuah kondisi di mana warga negara dirampas
hak-hak asasi mereka dan dijadikan mengambang di luar dunia bersama
orang lain. Atau, sebuah kondisi di mana orang tidak memiliki dunia
yang mendefinisikan mereka sebagai pribadi, atau orang dicabut dari
sebuah tempat dalam dunia yang menjadikan pendapat signifikan dan
tindak-tindakan efektif. Elemen-elemen etis pemikiran Arendt justru
muncul ketika dia mengelaborasi kedua fenomena ganda tersebut di
atas.
4 Hannah Arendt, The Human Condition, Chicago: The University of Chicago Press,
1958, p. 9
172 Hannah Arendt dan Etika Keduniawian (Yosef Keladu Koten)
5 Hannah Arendt, Between Past and Future, New York: The Viking Press, Inc., 1961, p.
209.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 2, Oktokber 2016: 167-187 173
6 Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism, New York: A Harvest Book and
Hartcourt Inc., 1951, p. 478.
7 Arendt mengagumi ide Jaspers tentang humanitas, yang didefinisikannya sebagai
“sesuatu yang sangat tinggi dari kemanusiaan karena hal itu valid tanpa harus men-
jadi obyektif.” Humanitas bukanlah sebuah obyek yang didemonstrasikan secara
obyektif atau sebuah properti dari sebuah subyek yang terisolasi, tetapi “sebuah
elemen personal yang melampaui kontrol subyek.” Bdk. Hannah Arendt, Men in
Dark Times, New York: A Harvest Book & Harcourt Inc., 1955, p. 73.
174 Hannah Arendt dan Etika Keduniawian (Yosef Keladu Koten)
8 Roger Berkowitz, “Solitude and the Activity of Thinking,” in Thinking in Dark Times:
Hannah Arendt on Ethics and Politics, ed. Roger Berkowitz, New York: Fordham
University Press, 2010, p. 241.
9 Hannah Arendt, The Promise of Politics, New York: Schocken Books, 2005, p. 21.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 2, Oktokber 2016: 167-187 175
dijadikan dasar untuk berpikir tetapi kita harus bersikap kritis terhadap-
nya. Atau, yang dibutuhkan adalah “to look around to that we are standing
in the midst of a veritable rubble heap of such pillars.”10
upon the past with eyes undistracted by any tradition” dan “to dispose of a
tremendous wealth of raw experience.”13
13 Hannah Arendt, The Life of the Mind, New York: A Harvest Book and Hartcourt, Inc.,
1978, p. 12.
14 Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism, op. cit., p. 482.
15 Margaret Betz Hull, The Hidden Philosophy of Hannah Arendt, New York dan London:
Routledge Taylor & Francis Group, Ltd., 1982, p. 41.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 2, Oktokber 2016: 167-187 177
For the world is not humane just because it is made by human beings,
and it does not become humane just because the human voice sounds in
it, but only when it has become the object of discourse... We humanize
what is going on in the world and in ourselves only by speaking of it,
and in the course of speaking of it we learn to be human. 17
18 Hannah Arendt, The Jewish Writing, New York: Schocken Books, 2007, p. 26.
19 Williams Garrath, op. cit., p. 946.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 2, Oktokber 2016: 167-187 179
berikan kepada entah itu hidup atau dunia yang mencakupi juga sejarah
kejahatannya.
20 Hannah Arendt, Essays in Understanding, ed. Jerome Kohn, New York, Schocken
Books, 1994., p. 5.
180 Hannah Arendt dan Etika Keduniawian (Yosef Keladu Koten)
PENILAIAN REFLEKTIF
Model penilaian lain yang sangat berbeda dari yang pertama adalah
penilaian estetis, yang muncul ketika kita dikonfrontasikan dengan hal-
hal yang tidak pernah kita lihat sebelumnya dan tidak ada standar yang
cocok untuk hal-hal tersebut. Persyaratan untuk penilaian ini adalah
fakta-fakta dan kemampuan untuk membuat distingsi. Adalah barang-
24 Hannah Arendt, Lectures on Kant’s Political Philosophy, ed. Ronald Beiner. Chicago:
The University of Chicago Press, 1992, 75.
25 Hannah Arendt, Lectures on Kant’s Political Philosophy, ed. Ronald Beiner. Chicago:
The University of Chicago Press, 1992,p. 43.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 2, Oktokber 2016: 167-187 183
Dalam arti bahwa sebuah pendapat bisa valid, tetapi bukan untuk semua
orang.
PENUTUP
27 Ibid., p. 1.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 2, Oktokber 2016: 167-187 185
kontak dengan realitas nyata. Para filsuf seperti ini berfilsafat dari dalam
menara gading sehingga aktivitas mereka untuk berpikir tentang dunia
dan hasil dari proses pemikiran mereka tidak sungguh-sungguh me-
refleksikan dunia sebagaimana adanya. Tetapi sebaliknya, dunia yang
direfleksikan adalah cerminan sebuah dunia fantasi yang diciptakan
dalam pikiran manusia tidak mempunyai hubungan dengan dunia riil.
Inilah model pemikiran yang, menurut Arendt, menghancurkan dunia
bersama yang tercipta lewat tindakan dan pembicaraan.
sesuatu yang ada dalam dunia dan dengan itu kita menunjukkan
tanggungjawab terhadap dunia atau politik yang tercipta karena tin-
dakan dan pembicaraan bersama. Lebih lanjut, kemampuan berpikir
harus selalu dilengkapi dengan kemampuan berimaginasi, yang memam-
pukan kita untuk menghadirkan orang lain dalam pemikiran kita dan
sekaligus menjadikan pemikiran kita sendiri publik, terbuka ke semua
arah atau perspektif. Atau dengan kata lain, dengan berimaginasi kita
menghadirkan perspektif orang lain dalam pemikiran dan penilaian kita
sendiri.
DAFTAR RUJUKAN
Arendt, Hannah. The Origins of Totalitarianism. New York: A Harvest
Book and Hartcourt Inc., 1951.
__________. Men in Dark Times, New York: A Harvest Book & Harcourt
Inc., 1955.
__________. The Human Condition, Chicago: The University of Chicago
Press, 1958.
__________. Between Past and Future. New York: The Viking Press,
Inc., 1961.
__________. The Life of the Mind. New York dan London: A Harvest
Book and Harcourt, Inc., 1978.
__________. Hannah Arendt, Lectures on Kant’s Political Philosophy,
ed. Ronald Beiner. Chicago: The University of Chicago Press, 1992.
__________. Essays in Understanding, ed. Jerome Kohn. New York:
Schocken Books, 1994.
__________. Responsibility and Judgment, ed. Jerome Kohn. New York:
Schocken Books, 2003.
__________. The Promise of Politics. New York: Schocken Books, 2005.
__________. The Jewish Writing, New York: Schocken Books, 2007.
Benhabib, Seyla. “Arendt and Adorno: The Elusiveness of the Particular
and the Benjaminian Moment,” In Arendt and Adorno: Political and
Philosophical Investigations. California: Stanford University Press,
2012.
Berkowitz, Roger.”Solitude and the Activity of Thinking,”in Thinking in
Dark Times: Hannah Arendt on Ethics and Politics, ed. By Roger
Berkowitz. New York: Fordham University Press, 2010.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 2, Oktokber 2016: 167-187 187