Anda di halaman 1dari 3

BULAN DI MATA IBU

Oleh Indrian Koto    Selasa, 21 Juli 2009 06:02

Jika ada yang bertanya jumlah bulan, akan kukatakan ada dua; satu di langit, satu lagi di mata Ibu. Aku
tidak tahu sejak kapan bulan muncul di sepasang matanya. Bulan yang hampir selalu mendung dan
berkabut. Kau boleh tidak percaya kalau aku katakan Ibu adalah perempuan bulan. Dulu, aku juga tidak
percaya! Setiap kali purnama datang, Ibu akan berdiri menatap bulan. Ia tahan berlama-lama, sampai
matanya basah. Sejak itu aku percaya, Ibu adalah perempuan dari langit yang sedang rindu akan rumah.
Aku tak tahu apakah aku termakan oleh cerita Ayah yang  mengatakan kalau Ibu adalah bidadari yang
berasal dari ketinggian (apalagi selain langit?). Aku meyakininya sebagai bulan. Sebab setiap Ayah
bercerita kulihat Ibu tersipu-sipu. Padaku Ayah sering bercerita tentang tujuh orang bidadari yang tinggal di
bulan. Mereka -kata Ayah- adalah perempuan cantik yang rajin dan penurut. Setiap hari mereka menjaga
anak-anak kecil yang dibuikan. “Kau lihatlah ke langit,” katanya, “setiap punama muncul, akan kau lihat
sebuah pohon beringin besar yang menutupi hampir sebagian bulan. Di sanalah anak-anak kecil itu
dibuaikan.”
Sesekali waktu ketika Ayah pulang dari pekerjaannnya -Ayah adalah seorang supir truk yang berkeliling
dari Sumatera ke pulau Jawa- ia akan membimbingku ke beranda atau sekedar melongok di jendela. “Kau
lihatlah warna hitam di sisi bulan itu. Itulah pohon beringin besar itu. Tempat anak-anak kecil dan bidadari
tinggal. Dan saat bulan penuh begini pada bidadari akan turun ke bumi untuk mandi.”
Selalu setiap kali Ayah selesai bercerita aku lihat matanya menyala-nyala seperti matahari. Ada nada riang
dan rasa senang dari nada bicaranya. Dan aku merasa ada rasa bangga yang sukar disembunyikan ayah.
Dari ibu aku mendengar kelanjutan kisah ayah. Satu dari sekian bidadari yang tengah mandi itu harus
takluk di tangan seorang lelaki pengelana yang kebetulan -atau memang sengaja, kata Ibu – mengintip
mereka mandi. Celakanya, laki-laki itu telah mencuri pakaian yang akan dikenakan si bidadari untuk
pulang ke bulan. Dengan lelaki itulah kemudian perempuan itu tinggal di bumi, menjadi manusia biasa,
layaknya orang kebanyakan. Kepada sang pengelana itu bidadari membikin sebuah perjanjian, bahwa sang
pengelana berhenti untuk mencuri selendang dan pakaian. Jika dilanggar, sang bidadari begitu saja akan
kembali ke langit (ah, sesungguhnya bulan). Lelaki itu sepakat dan hiduplah mereka dengan bahagia.
Aku mulai mereka-reka sendiri keseluruhan peristiwa itu. Bahwa Ibu adalah perempuan langit yang
selendangnya dicuri ayah.
***
Apakah Ibu seorang perempuan yang bahagia? Itulah yang selalu menjadi pertanyaanku. Meskipun dia
seorang bidadari dari langit, tapi kulihat dia perempuan yang tabah, tak banyak menuntut pada Ayah yang
mulai jarang pulang. “Stt, mengintip bidadari mandi. Siapa tahu Ayah bisa mencuri selendang lagi.”
katanya menggodaku di depan pintu jika kutanya, kenapa Ayah selalu buru-buru. Jawaban itu diberikan
tentu setelah jauh dari Ibu, setelah aku berada dalam gendongannya. “Jangan beritahu Ibu.” katanya sambil
memencet hidungku. Sebagai sesama lelaki aku pantang melanggar sumpah.
Ayah tertawa mendengarnya. “Bagus.” katanya sambil menepuk bahuku.
Tapi kepada ibu jawabannya selalu berbeda. “Perjalanan sumatra-jawa semakin susah. Jalan-jalan
berlobang. Truk tak bisa jalan sendiri. Dimana-mana perjanan tidak pernah aman. Bahaya mengancam
hampir di seluruh perjalanan. Aku juga harus  bekerja lebih keras, si buyung sudah bertambah besar.”
Maka, aku menyimpulkan, ayah bercanda denganku ketika mengatakan ia tengah mengembara dari satu
hutan ke hutan yang lain untuk mengintip bidadari mandi.
Ayah sibuk, itu saja.
Ayah memang jarang pulang. Ia sopir tronton yang membawa kayu-kayu berat ke Jawa. Ini sudah
dilakoninya jauh sebelum aku lahir. Bahkan sebelum bertemu ibu. Pekerjaannya inilah yang sering
diceritakan padaku. Tentang hutan-hutan yang dimasukinya untuk mengambil kayu, mengangkutnya
malam-malam, ular besar yang bergelayutan, harimau yang mengadang jalan, perampok dengan sebilah
parang yang tajam, hantu-hantu yang berjaga malam-malam. Ah, petualangan yang mencekam melewati
jalan kecil dan curam. Kegelapan dan pekat malamlah yang membuat Ayah terbiasa dengan bulan.
Sampai ia bertemu Ibu.
Orang dewasa mempunyai banyak beban kata Ayah. Setelah menikahi Ibu –perempuan yang diam-diam
selendangnya dicuri itu–  Ayah pindah pekerjaan. Ganti jalur tepatnya. Jika dulu ia menjadi sopir yang
mengangkut kayu dari dalam hutan dan mengantarkannya ke gudang, kini ia mengangkut kayu dari gudang
dan membawanya ke pulau Jawa, berhari-hari bahkan berminggu-minggu baru pulang.
“Semakin dewasa, semakin besar tanggung jawabmu. Tapi jangan pernah takut jadi dewasa.” Kata ayah.
“Dewasa,” tambahnya. “Membahagiakan. Ketika kau mengalami sebuah masalah dan persoalan
pelik.Kebahagiaan terbesarmu adalah ketika kau berhasil memecahkan dan keluar dari itu semua. Itu saat
dimana kau merasa bangga menjadi lelaki.”
Aku tidak tahu ada rahasia apa sesungguhnya antara ayah dan ibu. Sepertinya rumit, dan aku belum dewasa
untuk bisa memahami itu, seperti kata ayah, semakin besar, semakin mudah kau memahami banyak hal.
Ah, aku ingin cepat-cepat jadi dewasa saja. “Kau tetap anak kecil, “kata ibu. “anak sepuluhan tahun yang
tidak harus tahu urusan orang dewasa.”
Ayah mulai jarang pulang. Dan setiap ayah pergi ibu lebih banyak mengurung diri di dalam kamar.
Membuka jendela malam-malam, memandang bulan. Tapi bulan tak selalu ada setiap malam. “Ibu
merasakan. Ia ada di belahan bumi yang lain.” katanya. Dan kau tahu? Sejak itu aku melihat bulan tumbuh
di matanya. Sepasang purnama yang perak cahayanya.
Aku menduga ini bermula dari dua perempuan cantik datang ke rumah. Serupa bidadari dengan pesona
yang laur biasa. Tubuhnya dibaluti pakaian bagus dan perhiasan yang tak pernah dikenakan ibu. Padaku,
Ibu menyuruh memanggil mereka dengan sebutan bibi dan tante. Ia bidadari saudara Ibu yang tidak turun
dengan selendang. Ia memarkir sebuah mobil bagus di depan rumah yang sempit. Bukan itu sesungguhnya,
lihatlah kegugupan  dan kekakuan Ibu menyambut mereka. Sorot mata mereka seperti mengejek,
merendahkan. Berkali-kali menatap dinding dan melongok kamar kami. Ia seperti tidak puas dengan apa
yang ada di depannya. Sebuah rumah sederhana di kampung yang tak pernah ramai, rumah yang kecil dan
sempit. Terdiri dari dua kamar yang dibatasi triplek dan sebuah ruang kecil di depannya. Pasti mereka
gerah, karena rumah ini tak punya pintu angin.
Aku tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan. Yang pasti setelah kedua perempuan itu pergi aku
melihat Ibu menangis di kamar. Kedua matanya yang bercahaya tertutup awan pekat dan butiran hujan.
Apa yang membuat kedua mata ibu basah? Perempuan itukah?
Aku melihat beberapa bungkusan perempuan itu tergeletak disamping Ibu. Tidak disentuh. Beberapa
kardus dan bungkusan warna warni. Aku tidak berani bertanya. Aku lari ke dalam kamar dan tertidur begitu
saja.
Dan itu tak hanya sekali. Setiap kali mereka sampai di rumah, ibu akan menyuruhku bermain dengan
teman-teman. Selalu, setelah aku pulang aku menemukan mata ibu basah.
***
Malam itu aku terbangun oleh percakapan Ayah dan Ibu dari kamar mereka. Oh, berapa lama aku tertidur?
Seberapa pulas aku, sehingga tidak sadar Ayah telah pulang? Kenapa aku tidak dibangunkan? Ah, aku
kangen pada Ayah. Sudah lama ia tak pulang, sejak dua perempuan itu pernah datang, sejak mata Ibu
dipenuhi kabut. Aku keluar dari kamar, ingin memeluk Ayah dan segera meminta ia bercerita tentang
perjalanannya yang kali ini terasa amat lama.
Aku berhenti tepat di depan pintu kamar yang setengah terbuka. Aku mendengar Ayah marah. Dari balik
pintu kulihat ia membanting barang-barang yang diberikan tante dan bibi bidadari siang tadi. Ibu tersedu di
pinggir ranjang. Dari cahaya lampu minyak aku melihat bulan menyala di mata Ibu.
“Sudah kukatakan. Jangan terima apapun dari mereka. Bukankah kau telah memutuskan apa pun yang
berhubungan dengan mereka. Kau harus sadar, kau bukan lagi perempuan langit. Kau perempuan bumi.
Sejak kau memilih menikahiku kau tak lagi punya kekuatan apa-apa. Kau utuh menjadi orang biasa.
Bukankah dulu kau siap menerima dengan dada terbuka?”
“Aku tidak menuntut apa-apa darimu. Tak pernah.”
“Tapi kau telah melanggar janji.”
“Janji?” Ibu berdiri. “Janji apa. Janji apa yang kulanggar. Apa aku pernah sesekali waktu menyesali
pernikahan ini. Apakah aku pernah meminta hidup layak sebagaimana kita bertemu? Adakah aku pernah
mengutukimu? Bahkan, aku meninggalkan semua, meninggalkan banyak hal yang aku punya. Hidup yang
nyaman, bangku sekolah, saudara-saudara, ayah-bunda. Sama sekali tak penah kusesali dan tak harus
kusesali.”
“Kau masih berhubungan dengan mereka.” kata ayah datar.
Ibu tersenyum, sinis. “Kau tak sepenuhnya bisa menghapus kekerabatan kami. Tak bisa. Apalagi yang  kau
inginkan dariku? Setelah semua menjadi milikmu? Aku meninggalkan apa saja, hidup dalam kutuk
keluarga bertahun-tahun demi perjanjian kita. Aku hidup dalam teror panjang dan siksa. Kau egois. Hidup
dalam ketakutanmu sendiri. Karena kamu memang tak pernah benar-benar bisa  membahagiakanku.”
“Cukup.” Plaakk...!!! Ayah melayangkan tangannya ke pipi ibu. Ibu mengusap pipinya dengan kedua
tangan. Ngungun.
“Pukul lagi. Pukul, kalau itu bisa membuatmu senang.”
Ayah diam. Membelakangi ibu. Sementara ibu tersedu.
“Kembalilah ke langit kalau kau mau.” Terdengar suara ayah pelan, serupa angin malam. “Akan kuberikan
kelendang dan baju kebesaranmu. Kau benar, aku tak cukup kuat membuat kau bahagia.”
Ibu terpekik. “Kenapa sekarang?”
“Dari pada tidak sama sekali.”
Sunyi. Hanya suara angin di luar memukul-mukul dahan.
“Sudah waktunya kau kembali. Banyak yang belum selesai. Selama kau masih bersamaku, kutuk itu tak
akan selesai. Kau punya keluarga, punya ayah dan ibu, punya saudara-saudara yang peduli. Cukuplah aku
si anak terbuang ini menyiksamu dalam kemiskinan dan penderitaan. Aku menyiksamu.”Ku engar ayah
mulai  terisak.
“Kembalilah sebelum malam berlalu. Bawalah selendangmu. Kelak, jika kita masih memiliki waktu, aku
akan datang menjemputmu. Saat dimana semuanya benar-benar siap.”
Aku kian gemetar. Kulihat ibu memeluk bapak erat-erat.
“Aku tidak akan meninggalkanmu. Tidak akan.”
“Kita tidak dalam dongeng, sayang. Aku tidak menemukanmu di telaga. Aku mencurimu saat kau masih
gadis muda. Tak ada yang merestui kita. Tak ada. Dan kita memilih lari dan tinggal di sini. Kaubenar.
Betapa pengecutnya aku. Betapa naifnya, aku tak bisa membuatmu bahagia. Aku selalu diliputi ketakutan
yang maha hebat setiap kali meninggalkan kalian. Dan aku tak sungguh-sungguh bisa membuatmu
bahagia.”
“Tidak..” Rintih ibu.   
Ibu banjir air mata. Menggeleng-gelengkan kepala seperti orang gila.
“Dengaarlah,” Ayah merangkulnya, mendudukkannya di ranjang kusut. “Ayahmu sakit keras dan   dosalah
bagimu jika tak menemaninya dalam usia serenta itu. Jika kau masih bersamaku, setidaknya kita masih
serupa ini tak akan ada yang mau mengampunimu. Kita akan hidup dalam siksa yang kita ciptakan sendiri.
Percayalah, aku akan menjemputmu. Aku akan datang padamu saat purnama tiba sebagai seorang
pangeran. Menjemputmu sebagai seorang lelaki, mengambilmu di hadapan seluruh keluarga.”
Ibu tak berkata-kata, dibenamkan kepalanya ke dada ayah, dalam-dalam. Sedalam lubuk matanya yang
tiba-tiba kelam.
“Percayalah. Bahagiakanlah mereka.”
Tak ada suara, selain derit ranjang dan tangis ibu.
“Demi Sutan, anak kita..”
Aku gemetar mendengar namaku disebut-sebut. Brakk!! begitu saja aku menabrak meja kayu dan aku
terjatuh.
***
Kau boleh tidak percaya kalau ibuku adalah perempuan bulan yang kesepian. Setiap purnama datang kau
bisa melihatnya dari jendela (awas matamu basah). Ibu yang sibuk menenun selendang sebagai pengisi
kekosongan waktu sambil menunggu pangerannya datang. Setiap waktunya dihabiskan dengan menjahit
baju yang kelak akan dikenakan bapak kalau ia sempat datang. Sepanjang hari, sepanjang malam.
Jika sewaktu-waktu kau melihat bulan dengan kelebat hitamnya dari jendela kamar yang terbuka, itulah ibu
yang menyanyikan tembang-tembang luka dan kerinduan. Hanya kami berdua. Kalian salah, jika ada yang
mengatakan ibu bersama seekor kucing. Itu aku, anaknya yang tertidur di samping  ibu yang tak selesai-
selesai menenun dan menembang. Kami terkepung di luasnya bulan. Kosong. Tak ada beringin, tak ada
anak-anak dibuaikan. Tak ada ayah yang menjemput.
Semua selesai malam itu. Usiaku tak sepenuhnya bisa membaca banyak kisah. Mungkin nanti, ketika aku
besar, aku bisa membaca lebih jernih, lebih terang.
Kukatakan, ibu adalah perempuan bulan dan kau akan melihat itu di sepasang matanya. Aku percaya itu
sejak dulu.
Kau boleh tidak percaya dengan apa yang aku ceritakan. Bagiku kini tak lagi masalah.
Rumahlebah, Yogyakarta, 2004-2006

Anda mungkin juga menyukai