Anda di halaman 1dari 15

Kamis, 2007 September 13

Sejarah PMII

Kelahiran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tidak dapat dipisahkan dari kelahiran dan
keberadaan IPNU-IPPNU. Secara yuridis forml, bahkan dicantumkan dalam mukadimah PD/PRT
(sekarang AD/ART) bahwa PMII adalah kelanjutan dari Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang
telah dibentuk dalam muktamar III IPNU di Cirebon Jawa Barat.

Dalam wadah IPNU-IPPNU itu banyak juga terdapat para mahasiswa yang menjadi anggotanya,
bahkan hampir seluruh anggota pengurus pusat telah berpredikat sebagai mahasiswa. Oleh karena itu
lama kelamaan ada keinginan di kalangan mereka untuk membentuk wadah yang khusus
menghimpun para mahasiswa NU. Suara ini sangat nyaring terdengar terutama dalam muktamar II
IPNU pada tanggal 1-5 Januari 1957 di Pekalongan, tetapi pucuk pimpinan IPNU sendiri masih
belum menanggapi dengan serius usulan-usulan ini, dikarenakan kondisi seperti yang dipaparkan di
atas, yakni banyaknya pengurus IPNU-IPPNU yang telah menjadi mahasiswa. Sehingga
dikhawatirkan kalau wadah khusus mahasiswa ini berdiri, maka akan lenyaplah IPNU-IPPNU.

Tetapi upaya untuk menanggulangi permasalahan ini belum menunjukkan hasilnya. Keberadaan
departemen Perguruan Tinggi IPNU tidak berhasil menjawab permasalahan mahasiswa NU. Terbukti
dalam Konferensi Besar I IPNU pada 14-16 Maret 1960 di Kaliurang Jogjakarta, forum Konferensi
Besar memutuskan menyetujui terbentuknya organisasi mahasiswa NU yang terpisah secara
struktural maupun fungsional dari IPNU-IPPNU.

Upaya untuk mendirikan satu organisasi yang menghimpun para mahasiswa Nahdlatul Ulama
sebenarnya sudah lama ada, hal ini terbukti dengan adanya kegiatan sekelompok mahasiswa NU yang
berdomisili di Jakarta untuk mendirikan IMANU (Ikatan Mahasasisw Nahdlatul Ulama) yakni pada
bulan Desember 1955.

Namun dari keberadaan IMANU ini menghambat laju IPNU yang relatif masih muda (karena
berdirinya pad 24 Februari 1954). Keberhasilan mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi
tersendiri itu dirasakan oleh para mahasiswa NU yang berdomisili di kota bengawan Surakarta.
Sekelompok mahasiswa NU yang dimotori oleh H. Mustahal Ahmad (mahasiswa fakultas Syariah
Universitas Cokroaminoto Surakarta), berhasil mendirikan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama
(KMNU) pada tahun 1955 dan merupakan satu-satunya organisai mahasiswa NU yang masih
bertahan sampai dengan lahirnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada tahun 1960.

Kembali pada usaha untuk mendirikan satu organisasi mahasiswa NU yang berskala nasional masih
terus berlanjut. Keinginan para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi sendiri semakin besar.
Dalam Muktamar II IPNU 1957, mereka mendengungkan keinginan tersebut. Namun usaha itu gagal.
Pimpinan pusat NU beranggapan hendaknya mahasiswa NU memperjuangkan pucuk pimpinan
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Meski demikian, harapan tersebut tidak bisa terwujud. Satu-
satunya mahasiswa NU yang mampu duduk di kepengurusan PB HMI hanyalah Mahbub Junaidi
yang hanya memegang posisi pembantu umum.

Usaha untuk mendirikan organisasi mahasiswa NU terus dilanjutkan. Dalam Muktamar III IPNU pun
keinginan itu kembali disampaikan. Kali ini, titik terang itu akhirnya muncul. Tapi jalan untuk
menuju ke sana benar-benar muncul setelah Ismail Makky dan Muhammad Hartono BA berbicara di
depan Konbes I IPNU di Yogyakarta pada 14-17 Maret 1960. Dan akhirnya atas dasar uraian-uraian
dan berbagai argumentasi tentang arti penting terbentuknya satu wadah organisasi mahasiswa NU
yang lepas baik secara organisatoris maupun adminsitratif, maka diputuskanlah bahwa setelah
Konbes IPNU akan diadakan Musyawarah Mahasiswa NU dengan batas waktu satu bulan setelah
Konbes IPNU. Rencana ini akan dilangsungkan di Kota Surabaya.

Lahirnya PMII dan Pegembangan Sayap Pergerakan


Musyawarah mahasiswa NU di Surabaya sebagai hasil keputusan Konbes I IPNU di Kaliurang
Yogyakarta pada tanggal 14-17 Maret 1960, mempercayakan kepada tiga belas orang sebagai perintis
awal, yaitu:

1. Chalid Mawardi (Jakarta) 8. Nuril Huda Suaidy HA (Surakarta)


2. Said Budairy (Jakarta) 9. Laily Mansur (Surakarta)
3. M. Sobich Ubaid (Jakarta) 10. Abdul Wahab Jaelany (Semarang)
4. M. Makmun Syukri BA (Bandung) 11. Hisbullah Huda (Surabaya)
5. Hilman Badrudinsyah (Bandung) 12. Cholid Marbuko (Malang)
6. H. Ismail Makky (Jogjakarta) 13. Ahmad Hussain (Ujung Pandang)
7. Munsif Nahrowi (Jogjakarta)

Ketiga belas orang ini sebelumnya menghadap Idham Cholid yang waktu itu menjabat sebagai Ketua
PB Partai NU. Dalam pertemuan itu, selain memberikan petunjuk-petunjuk yang merupakan landasan
pokok untuk musyawarah, Idham juga menekankan hendaknya organisasi yang akan diwujudkan itu
benar-benar merupakan kader Partai NU. Lebih lanjut, Idam mengharapkan organisasi ini
membangun mahasiswa yang berprinsip ilmu diamalkan bagi kepentingan rakyat, bukan ilmu untuk
ilmu, dan lebih penting lagi yaitu menjadi manusia yang cakap serta bertakwa kepada Allah SWT.

Pesan ini tersublimasi dalam tujuan PMII, yakni terbentuknya pribadi muslim yang berbudi luhur,
bertakwa kepada Allah SWT, berilmu, cakap dan bertanggup jawab dalam pengamalan ilmu
pengetahuannya. Setelah itu, beliau menyatakan merestui musyawarah mahasiswa NU yang diadakan
di Surabaya di kemudian hari.
Begitulah awal mula berdirinya PMII. Ia mulanya memang diperuntukkan bagi kekohoan politik
Nahdlatul Ulama. PMII waktu itu betul-betul berfungsi sebagai alat NU sehingga nampak dengan
jelas gerak aktivitas PMII antara tahun 1960 sampai 1972 lebih banyak diwarnai dengan politik.
Menurut Mahbub Junaidi, hal ini disebabkan oleh: pertama, PMII memang dilahirkan sebagai kader
muda partai NU, sehingga gerak aktivitasnya mau tidak mau harus selalu menunjang gerak langkah
kebesaran NU, sebagai organisasi partai politik.

Kedua, suasana kehidupan bernegara dan berbangsa pada waktu itu memang sedang berhembus iklim
yang mengutamakan pembangunan politik, sehingga politik sebagai panglima (istilah waktu itu)
betul-betul menjadi kebijakan pemerintah sehingga PMII sebagai bagian dari bangsa ini mau tak mau
harus berperan aktif dalam konstelasi politik waktu itu.

Tiga belas orang yang diamanahkan untuk merintis organisasi mahasiswa NU akhirnya melahirkan
keputusan-keputusan berikut:
1. Berdirinya organisasi mahasiswa NU yang bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
2. Dibuatnya susunan Peraturan Dasar PMII yang di dalam mukadimahnya jelas dinyatakan bahwa
PMII adalah merupakan kelanjutan dari IPNU-IPPNU.
3. Karena persidangan dari musyawarah mahasiswa NU (yang mengambil tempat di gedung
Madrasah Mualimin NU Wonokromo Surabaya) dimulai dari tanggal 14 sampai dengan 16 April
1960 dan Pertauran Dasar PMII dinyatakan berlaku pada tanggal 21 Syawal 1379 H atau bertepatan
dengan 17 April 1960 maka mulai hari itulah PMII dinyatakan berdiri dan dinyatakan sebagai Hari
Lahir PMII.
4. Membentuk tiga orang formatur yakni H. Mahbub Junaidi sebagai ketua umum, A. Chalid
Mawardi sebagai Ketua satu dan M Said Budairy selaku Sekretaris Umum Pengurus Pusat PMII.

Kemudian meminta kepda PBNU dengan surat tertanggal 8 Juni 1960 agar mengesahkan
kepengurusan PP PMII. Selang beberapa hari kemudian atau tepatnya pada tanggal 14 Juni 1960
PBNU menyatakan bahwa organisasi PMII dapat diterima dengan sah dan merupakan keluarga besar
partai NU serta diberi mandat untuk membentuk cabang-cbang di seluruh Indonesia.

Dalam usaha memperluas daerah organisasi tidk kecil bantuan organisasi warga NU terutama dari
pucuk pimpinan Lembaga Pendidikan Maarif yang telah memberikan bantuan sepenuhnya baik moril
maupun materiil sejak dari musyawarah mahasiswa NU di Surabaya dengan memberikan pengertian
kepada pesantren-pesantren. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses pengembangan wilayah
PMII juga untuk mempererat hubungan PMII dengan LP Maarif NU sebagai badan induknya saat itu.

PMII dan Pernyataan Independen


Seperti kita ketahui tentang proses kelahiran PMII adalah berasal dari Partai NU ketika itu. Tapi
proses berikutnya tak pernah berhenti. Setidak-tidaknya dalam perjalanan PMII sampai sekarang
mengalami dua fase yang dilalui:

1. Underbow. Yaitu masa awal (1960-1972), saat PMII lebih merupakan tangan panjang kepentingan
NU sebagai partai politik. Karena sebagai underbow, jelas nuansa yang ditampilkan PMII adalah
nuansa ke-NU-an sebagai potret induknya, baik secara ideologis maupun politis.
2. Independen. Adalah sejarah yang mengharuskan PMII untuk mengantisipasi kondisi sosio-politik
yang berkembang pada saat itu sebagai ormas pada umumnya pada tahun 1970-an harus mampu
menempatkan dirinya pada penataan, restrukturisasi, dan transformasi struktural yang dirancang oleh
rezim Orde Baru. Maka dengan berbagai pertimbangan yang masak, pada tanggal 14 Juli 1972 PMII
menyatakan independensinya, dengan menyatakan tidak memiliki hubungan apapun dan kepada
siapapun secara organisatoris. Proklamasi (pernyataan) independen ini dilakukan ketika
berlangsungnya Musyawarah Besar (Mubes) PMII.

Diposting oleh PMII Solo di 23:51

Sejarah
GERAKAN MAHASISWA DALAM SEJARAH INDONESIA

Panggung pergerakan merupakan medan utama mahasiswa dalam menancapkan api perjuangan di
Nusantara. Sejak dirangkai oleh visi kemerdekaan, dunia pemuda dan mahasiswa tidak hanya jadi
penonton “hitam putihnya Indonesia” yang baru lepas dari belenggu kolonialisme. Hasrat yang kuat
untuk membangun bangsa yang berkeadilan tanpa diskriminasi dan berperadaban adalah isu utama
kebangsaan yang diusung oleh mahasiswa.

Sejarah mencatat, gerakan mahasiswa awal yang dipelopori oleh sekelompok mahasiswa STOVIA
yang mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok Budi Utomo (20 Mei 1908) mampu memelopori
perlawanan terhadap kungkungan kolonialisme terhadap bangsa. Mahasiswa pada saat itu mampu
mengejawantahkan dirinya sebagai agent of change yang terus bergeliat mencari makna ke arah
perubahan yang lebih baik.

Pada dekade 1920-an, terdapat fenomena gerakan baru yang dilakukan oleh serombongan mahasiswa
Indonesia. Gerakan mahasiswa pada masa ini terkonsentrasi pada wilayah pembentukan dan
pengembangan kelompok-kelompok studi. Format baru tersebut menjadi orientasi gerakan kala itu,
karena banyak pemuda dan mahasiswa yang kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan
perjuangan di Indonesia. Melalui kelompok studi, pergaulan di antara para mahasiswa pun tidak
dibatasi oleh sekat-sekat kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan yang mungkin memperlemah
perjuangan mahasiswa.

Selanjutnya, sebagai reaksi atas aneka-ragam kecenderungan permusuhan atau perpecahan yang
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dimana ketika itu, di samping organisasi politik, juga
memang terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda yang bersifat keagamaan, kedaerahan, dan
kesukuan yang tumbuh subur, seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, Jong
Ambon, Jong Batak, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain. Maka semangat perjuangan pemuda-
pemuda Indonesia tersebut harus tercetuskan dalam satu tekad tanpa sekat. Akhirnya, pada 27-28
Oktober 1928 diselenggarakan Kongres Pemuda II, yang menghasilkan rumusan-rumusan baru untuk
menyikapi kondisi bangsa. Sumpah setia hasil Kongres Pemuda II tersebut, dibacakan pada 28
Oktober 1928, yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda.

Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda inilah, muncul
generasi baru pemuda Indonesia, angkatan 1928. Sumpah Pemuda sebagai alat pemersatu semangat
kebangsaan mampu mempersatukan tekad para pemuda untuk bersama dan bersatu dalam semangat
persatuan Indonesia.

Era 1940-an, para pemuda dan mahasiswa tidak hanya diam terpaku melihat kondisi realitas bangsa
yang carut marut tanpa kepastian. Pada tahun 1945, pemuda dan mahasiswa mencoba untuk
menyatukan persepsi dan segera merumuskan persiapan kemerdekaan Indonesia. Melalui kalangan
tua, Soekarno dan Hatta, yang didesak beberapa tokoh muda untuk segera merumuskan persiapan
kemerdekaan Indonesia, akhirnya mengabulkan keinginan para pemuda. Dan memproklamasikan
negara Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada momentum inilah, fungsi
gerakan pemuda Indonesia benar-benar menunjukkan partisipasi yang sangat berarti. Indonesia
merdeka yang menjadi impian bangsa Indonesia kini telah terwujud.

Tidak berhenti sampai disini. Paska kemerdekaan Indonesia, pemuda dan mahasiswa terus bergerak
untuk berbenah, menyikapi kondisi bangsanya melalui sistim kepartaian yang ada. Seiring dengan
suasana Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan hingga Demokrasi Parlementer, yang lebih
diwarnai perjuangan partai-partai politik dan saling bertarung berebut kekuasaan, maka pada saat
yang sama, mahasiswa lebih melihat diri mereka sebagai The Future Man; artinya, sebagai calon elit
yang akan mengisi pos-pos birokrasi pemerintahan yang akan dibangun.

Bersamaan dengan diberikannya ruang dalam sistem politik bagi para aktivis mahasiswa yang
memiliki hubungan dekat dengan elit politik nasional. Maka pada masa ini banyak organisasi
mahasiswa yang tumbuh berafiliasi dengan partai politik. Hingga berujung pada masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1965), dan keinginan pemerintahan Soekarno untuk mereduksi partai-partai, maka
kebanyakan organisasi mahasiswa pun membebaskan diri dari afiliasi partai dan tampil sebagai aktor
kekuatan independen, sebagai kekuatan moral maupun politik yang nyata. Dibuktikan dengan
terbentuk dan tergabungnya organisasi mahasiswa (termasuk PMII, GMKI, HMI, Sekretariat
Bersama Organisasi-organisasi Lokal -SOMAL-, Mahasiswa Pancasila -Mapancas-, dan Ikatan Pers
Mahasiswa -IPMI-) dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk melakukan
perlawanan terhadap paham komunis, memudahkan koordinasi dan memiliki kepemimpinan.

Karena sikap pemerintah yang otoriter, serta terjadinya pemberontakan 30 September 1965,
menyebabkan pemerintahan Demokrasi Terpimpin mengalami keruntuhan. Berakhirnya rezim Orde
Lama yang dipimpin Soekarno tersebut, memulai babak baru perjalanan bangsa Indonesia, dengan
kepemimpinan Soeharto, yang kemudian dikenal dengan rezim Orde Baru.

Pada era 1970-an (era rezim Orde Baru), pemuda dan mahasiswa Indonesia mengalami distorsi
gerakan. Sikap konfrontasi mahasiswa terhadap pemerintahan yang korup, berujung pada permainan
rekayasa dan kebijakan kooptasi pemerintahan Orde Baru, yang mencoba mempertahankan status
quo. Selanjutnya, melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus, gerakan mahasiswa benar-
benar tereduksi oleh sikap otoritarianisme penguasa. Akibatnya mahasiswa hanya disibukkan dengan
berbagai kegiatan kampus, di samping kuliah sebagai rutinitas akademik serta dihiasi dengan
aktivitas kerja sosial, dis natalis, acara penerimaan mahasiswa baru dan wisuda sarjana.

Dengan semakin termarjinalnya gerakan mahasiswa dalam pentas kontrol sosial-politik Indonesia,
akhirnya pada era berikutnya, gerakan mahasiswa mengalami power disaccumulation, yang
kemudian melahirkan angkatan baru, yaitu angkatan 1990-an. Adalah satu keberanian menggulirkan
diskursus gerakan mahasiswa 1990-an di tengah kehancuran politik mahasiswa, yang disebabkan
oleh kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus. Namun gerakan tersebut perlahan mulai kembali
menggelinding bersamaan dengan isu SDSB. Bahkan dalam perkembangannya, keberhasilan gerakan
mahasiswa dalam isu SDSB harus diakui berhasil meskipun sedikit tertolong oleh power block politic
yang ada.

Lahirnya gerakan mahasiswa 1998 dengan segala keberhasilannya meruntuhkan kekuasaan rezim
Orde Baru, adalah merupakan akibat dari akumulasi ketidakpuasan dan kekecewaan politik yang
telah bergejolak selama puluhan tahun dan akhirnya “meledak”. Secara obyektif situasi pada saat itu,
sangat kondusif bagi gerakan mahasiswa berperan sebagai agen perubahan. Krisis legitimasi politik
yang sudah diambang batas, justru terjadi bersamaan dengan datangnya badai krisis moneter di
berbagai sektor. Di sisi lain secara subyektif, gerakan mahasiswa 1998 telah belajar banyak dari
gerakan 1966 dengan mengubah pola gerakan dari kekuatan ekslusif ke inklusif dan menjadi bagian
dari kekuatan rakyat.

Sasaran dari tuntutan “Reformasi” gerakan mahasiswa dan kelompok-kelompok lain yang beroposisi
terhadap rezim Orde Baru, antara lain adalah perubahan kepemimpinan nasional. Soeharto harus
diruntuhkan dari kekuasaan, karena tidak akan ada reformasi selama Soeharto masih berkuasa.
Namun demikian, kenyataan menunjukkan suara-suara kritis yang menuntut perubahan tidak
mendapatkan jawaban dari rezim penguasa, sebagaimana yang diharapkan. Terlebih oleh Golongan
Karya (Golkar), yang dengan enteng mencalonkan kembali Soeharto.

Perjalanan panjang gerakan mahasiswa akhirnya mencapai puncaknya pada Mei 1998, dengan
indikasi turunnya kekuatan otoriter di bawah kepemimpinan Soeharto. Namun keberhasilan yang
mengesankan ini tampaknya tidak dibarengi oleh kesiapan jangka panjang gerakan mahasiswa.
Berbagai kontroversi kemudian timbul di masyarakat, berkenaan dengan pengalihan kekuasaan ini.

Pertama, pandangan yang melihat hal itu sebagai proses inkonstitusional dan sebaliknya pandangan
kedua, beranggapan bahwa langkah tersebut sudah konstitusional.

Menyambut turunnya Soeharto, sejenak mahasiswa benar-benar diliputi kegembiraan. Perjuangan


mereka satu langkah telah berhasil, tetapi kemudian timbul keretakan di antara kelompok-kelompok
mahasiswa mengenai sikap mahasiswa terhadap peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie.

Paska reformasi 1998, tampak terlihat masih amburadulnya konsolidasi gerakan mahasiswa. Gerakan
mahasiswa tahap selanjutnya mengalami krisis identitas. Perbedaan visi yang muncul pada gerakan
mahasiswa seringkali mengarah pada persoalan friksi-friksi yang sifatnya teknis. Kenyataan demikian
menyebabkan friksi-friksi gerakan mahasiswa kehilangan arah dan bentuk. Hal ini menyebabkan
sejumlah gerakan mahasiswa harus melakukan konsolidasi internal organisasi. Konsolidasi internal
ini sebagai upaya untuk mencari format baru gerakan mahasiswa dalam konstalasi politik yang baru
pula. Disamping itu, konsolidasi internal ditujukan agar gerakan mahasiwa harus lebih introspeksi
diri terhadap apa yang dilakukan. Upaya konsolidasi internal ini bukan berarti menegasikan dinamika
politik sekitar, akan tetapi, konsolidasi internal ini agar lebih tepat, baik secara strategis dan taktis
untuk melakukan gerakan kedepan.

REFLEKSI PMII SEBAGAI ORGANISASI KEMAHASISWAAN

Sepintas Sejarah Lahir PMII

Dokumen Sejarah menjadi sangat penting untuk ditinjau ulang sebagai referensi atau cerminan masa
kini dan menempuh masa depan, demikian halnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
sebagai organisasi kemahasiswaan yang gerak perjuangannya adalah membela kaum mustadh’afin
serta membangun kebangsaan yang lebih maju dari berbagai aspek sesuai dengan yang telah dicita-
citakan.

Latar belakang berdirinya PMII terkait dengan kondisi politik pada PEMILU 1955, berada di antara
kekuatan politik yang ada, yaitu MASYUMI, PNI, PKI dan NU. Partai MASYUMI yang diharapkan
mampu untuk menggalang berbagai kekuatan umat Islam pada saat itu ternyata gagal. Serta adanya
indikasi keterlibatan MASYUMI dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) dan Perjuangan Semesta (PERMESTA) yang menimbulkan konflik antara Soekarno dengan
MASYUMI (1958). Hal inilah yang kemudian membuat kalangan mahasiswa NU gusar dan tidak
enjoy beraktivitas di HMI (yang saat itu lebih dekat dengan MASYUMI), sehingga mahasiswa NU
terinspirasi untuk mempunyai wadah tersendiri “di bawah naungan NU”, dan di samping organisasi
kemahasiswaan yang lain seperti HMI (dengan MASYUMI), SEMMI (dengan PSII), IMM (dengan
Muhammadiyah), GMNI (dengan PNI) dan KMI (dengan PERTI), CGMI (dengan PKI).

Proses kelahiran PMII terkait dengan perjalanan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang lahir
pada 24 Februari 1954, dan bertujuan untuk mewadahi dan mendidik kader-kader NU demi
meneruskan perjuangan NU. Namun dengan pertimbangan aspek psikologis dan intelektualitas, para
mahasiswa NU menginginkan sebuah wadah tersendiri. Sehingga berdirilah Ikatan Mahasiswa
Nahdhatul Ulama (IMANU) pada Desember 1955 di Jakarta, yang diprakarsai oleh beberapa
Pimpinan Pusat IPNU, diantaranya Tolchah Mansyur, Ismail Makky dll.

Namun akhirnya IMANU tidak berumur panjang, karena PBNU tidak mengakui keberadaanya. Hal
itu cukup beralasan mengingat pada saat itu baru saja dibentuk IPNU pada tanggal 24 Februari 1954,
“apa jadinya kalau bayi yang baru lahir belum mampu merangkak dengan baik sudah menyusul bayi
baru yang minta diurus dan dirawat dengan baik lagi.”.

Dibubarkannya IMANU tidak membuat semangat mahasiswa NU menjadi luntur, akan tetapi
semakin mengobarkan semangat untuk memperjuangkan kembali pendirian organisasi, sehingga pada
Kongres IPNU ke-3 di Cirebon, 27-31 Desember 1958, diambillah langkah kompromi oleh PBNU
dengan mendirikan Departemen Perguruan Tinggi IPNU untuk menampung aspirasi mahasiswa NU.
Namun setelah disadari bahwa departemen tersebut tidak lagi efektif, serta tidak cukup kuat
menampung aspirasi mahasiswa NU (sepak terjang kebijakan masih harus terikat dengan struktural
PP IPNU), akhirnya pada Konferensi Besar IPNU di Kaliurang, 14-16 Maret 1960, disepakati
berdirinya organisasi tersendiri bagi mahasiswa NU dan terpisah secara struktural dengan IPNU.
Dalam Konferensi Besar tersebut ditetapkanlah 13 orang panitia sponsor untuk mengadakan
musyawarah diantaranya adalah:

1. A. Cholid Mawardi (Jakarta). 8. Nurul Huda Suaidi, BA (Surakarta).


2. M. Said Budairi (Jakarta). 9. Laili Mansur (Surakarta).
3. M. Subich Ubaid (Jakarta). 10. Abdul Wahab Djaelani (Semarang).
4. M. Makmun Sjukri, BA (Bandung). 11. Hizbullah Huda (Surabaya).
5. Hilman (Bandung). 12. M. Cholid Marbuko (Malang).
6. H. Ismail Makky (Yogyakarta). 13. Ahmad Husein (Makassar).
7. Munsif Nachrowi (Yogyakarta).

Lalu berkumpulah tokoh-tokoh mahasiswa yang tergabung dalam organisasi IPNU tersebut untuk
membahas tentang nama organisasi yang akan dibentuk.

Sebelum musyawarah berlangsung, beberapa orang dari panitia tersebut meminta restu kepada Dr.
KH. Idham Cholid, Ketua Umum PBNU, untuk mencari pegangan pokok dalam pelaksanaan
Musyawarah, mereka adalah Hizbullah Huda, M. Said Budairi dan Makmun Sjukri. Dan akhirnya
mereka mendapatkan lampu hijau, beberapa petunjuk, sekaligus harapan agar menjadi kader partai
NU yang cakap dan berprinsip ilmu untuk diamalkan serta berkualitas takwa yang tinggi kepada
Allah SWT.

Akhirnya, pada tanggal 14-16 April 1960 dilaksanakan Musyawarah Nasional Mahasiswa NU
bertempat di Taman Pendidikan Puteri Khadijah Surabaya dengan dihadiri mahasiswa NU dari
berbagai penjuru kota di Indonesia, dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta,
Surabaya, Malang dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah
NU. Pada saat itu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Delegasi Yogyakarta
mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Delegasi Bandung dan
Surakarta mengusulkan nama PMII.

Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan Kongres. Namun kemudian kembali dipersoalkan
kepanjangan dari “P” apakah Perhimpunan atau Persatuan. Akhirnya disepakati huruf “P” merupakan
singkatan dari Pergerakan, sehingga PMII adalah “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”.
Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)
PMII, serta memilih dan menetapkan Kepengurusan. Terpilih Sahabat Mahbub Djunaidi sebagai
Ketua Umum, M. Chalid Mawardi sebagai Ketua I, dan M. Said Budairy sebagai Sekretaris Umum.
Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB
PMII.

PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 Masehi atau bertepatan dengan tanggal
17 Syawwal 1379 Hijriyah. Maka secara resmi pada tanggal 17 April 1960 dinyatakan sebagai hari
lahir PMII. Dua bulan setelah berdiri, pada tanggal 14 Juni 1960 pucuk pimpinan PMII disahkan oleh
PBNU. Sejak saat itu PMII memiliki otoritas dan keabsahan untuk melakukan program-programnya
secara formal organisatoris.
Dalam waktu yang relatif singkat, PMII mampu berkembang pesat sampai berhasil mendirikan 13
cabang yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia karena pengaruh nama besar NU. Dalam
perkembangannya PMII juga terlibat aktif, baik dalam pergulatan politik serta dinamika
perkembangan kehidupan kemahasiswaan dan keagamaan di Indonesia (1960-1965).

Pada 14 Desember 1960 PMII masuk dalam PPMI dan mengikuti Kongres VI PPMI (5 Juli 1961) di
Yogyakarta sebagai pertama kalinya PMII mengikuti kongres federasi organisasi ekstra universitas.
Peran PMII tidak terbatas di dalam negeri saja, tetapi juga terlibat dalam perkembangan dunia
internasional. Terbukti pada bulan September 1960, PMII ikut berperan dalam Konferensi Panitia
Forum Pemuda Sedunia (Konstituen Meeting of Youth Forum) di Moscow, Uni Soviet. Tahun 1962
menghadiri seminar World Assembly of Youth (WAY) di Kuala Lumpur, Malaysia. Festival Pemuda
Sedunia di Helsinki, Irlandia dan seminar General Union of Palestina Student (GUPS) di Kairo,
Mesir.

Di dalam negeri, PMII melibatkan diri terhadap persoalan politik dan kenegaraan, terbukti pada
tanggal 25 Oktober 1965, berawal dari undangan Menteri Perguruan Tinggi Syarif Thoyyib kepada
berbagai aktifis mahasiswa untuk membicarakan situasi nasional saat itu, sehingga dalam ujung
pertemuan disepakati terbentuknya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang terdiri dari
PMII, HMI, IMM, SEMMI, dan GERMAHI yang dimaksudkan untuk menggalang kekuatan
mahasiswa Indonesia dalam melawan rongrongan PKI dan meluruskan penyelewengan yang terjadi.
Sahabat Zamroni sebagai wakil dari PMII dipercaya sebagai Ketua Presidium. Dengan keberadaan
tokoh PMII di posisi strategis menjadi bukti diakuinya komitmen dan kapabilitas PMII untuk
semakin pro aktif dalam menggelorakan semangat juang demi kemajuan dan kejayaan Indonesia.

Usaha konkrit dari KAMI yaitu mengajukan TRITURA dikarenakan persoalan tersebut yang paling
dominan menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Puncak aksi yang dilakukan KAMI adalah
penumbangan rezim Orde Lama yang kemudian melahirkan rezim Orde Baru, yang pada awalnya
diharapkan untuk dapat mengoreksi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Orde Lama dan
bertekad untuk melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen sebagai
cerminan dari pengabdian kepada rakyat.

Pemikiran-pemikiran PMII mengenai berbagai masalah nasional maupun internasional sangat relevan
dengan hasil-hasil rumusan dalam kongresnya antara lain yaitu :

1. Kongres I Solo, 23-26 Desember 1961 menghasilkan Deklarasi Tawang Mangu yang
mengangkat tema Sosialisme Indonesia, Pendidikan Nasional, Kebudayaan dan
Tanggungjawabnya sebagai generasi penerus bangsa.
2. Kongres II di Yogyakarta, 25-29 Desember 1963 penegasan pemikiran Kongres I dan dikenal
sebagai Penegasan Yogyakarta dan sebelumnya ditetapkan 10 Kesepakatan Ponorogo 1962
(sebagai bukti kesadaran PMII akan perannya sebagai kader NU).

Dibalik Nama PMII

Nama PMII merupakan usulan dari delegasi Bandung dan Surabaya yang mendapat dukungan dari
utusan Surakarta. Nama PMII juga mempunyai arti tertentu. Makna “Pergerakan” adalah dinamika
dari hamba yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya yaitu memberi penerang bagi alam
sekitarnya. Oleh karena itu PMII harus terus berkiprah menuju arah yang lebih baik sebagai
perwujudan tanggungjawabnya pada lingkungan sekitarnya. Selain itu PMII juga harus terus
membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju
tujuanya selalu berada dalam kualitas kekhalifahanya.

Makna “Mahasiswa” adalah generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai
identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra sebagai Insan Religius, Insan Akademis,
Insan Sosial dan Insan Mandiri. Dari identitas tersebut terpantul tanggungjawab keagamaan,
intelektualitas, sosial-kemasyarakatan dan tanggungjawab individu sebagai hamba Allah maupun
sebagai warga Negara.
Makna “Islam” yang dipahami sebagai paradigma Ahlussunnah Wal Jamaah yaitu konsep
pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional terhadap Iman, Islam dan Ihsan, yang di
dalam pola pikir dan pola perlakuannya tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif dan integratif.

Makna “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan
ideologi bangsa serta UUD 1945. Dan mempunyai komitmen kebangsaan sesuai dengan asas Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Independensi PMII Sebuah Pilihan

Seiring dengan perjalanan waktu, perubahan dalam kehidupan tidak dapat terelakkan. Setelah
keluarnya SUPERSEMAR 1966, kegiatan demonstrasi massa menurun, hingga akhirnya dilarang
sama sekali. Mahasiswa diperintahkan untuk back to campus. Kondisi yang demikian menggeser
posisi strategis KAMI menjadi termarjinalkan, sehingga diusahakan untuk mengadakan beberapa
rapat mulai 1967 di Ciawi, disusul 11-13 Februari 1969 dengan membahas National Union of
Student. Namun usaha-usaha yang dilakukan menemui jalan buntu, hingga akhirnya KAMI bubar
dan beberapa anggotanya kembali pada organisasi yang semula.

PMII tetap melakukan gerakan-gerakan moral terhadap kasus dan penyelewengan yang dilakukan
oleh penguasa. Sejak Orde Baru berdiri, kemenangan berada di tangan Partai Golkar dengan
dukungan dari ABRI. Perubahan konstalasi politik pun terjadi perlahan dan pasti. Partai-partai politik
Islam termasuk NU dimarjinalkan dan dimandulkan. Dan disisi lain kondisi intern NU dilanda
konflik internal.

Harus diakui bahwa sejarah paling besar dalam PMII adalah ketika dipergunakannya independensi
dalam Deklarasi Murnajati, 14 Juli 1972. Dalam MUBES III tersebut, dilakukan rekonstruksi
perjalanan PMII selama 12 tahun. Analisa untung-rugi ketika PMII tetap bergabung (dependen) pada
induknya (NU). Namun sejauh itu pertimbangan yang ada tidak jauh dari proses pendewasan. PMII
sebagai organisasi kepemudaan ingin lebih eksis di mata bangsanya. Hal ini terlihat jelas dari tiga
butir pertimbangan yang melatarbelakangi Independensi PMII tersebut.

 Butir pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan, mutlak memerlukan insan
Indonesia yang berbudi luhur, takwa kepada Allah, berilmu dan bertanggungjawab, serta
cakap dalam mengamalkan ilmu pengetahuanya.
 Butir Kedua, PMII sebagai organisasi pemuda Indonesia, sadar akan peranananya untuk ikut
bertanggungjawab bagi keberhasilan bangsa untuk dinikmati seluruh rakyat.
 Butir Ketiga, bahwa PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme
sesuai dengan idealisme Tawang Mangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, sikap
keterbukaan dan pembinaan rasa tanggungjawab.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, PMII menyatakan diri sebagai organisasi independen, tidak
terikat baik sikap maupun tindakan dengan siapapun, dan hanya komitmen dengan perjuangan
organisasi dan cita-cita perjuangan nasional, yang berlandaskan Pancasila.

Deklarasi Murnajati tersebut kemudian ditegaskan kembali dalam Kongres V PMII di Ciloto, 28
Desember 1973. Dalam bentuk Manifesto Independensi PMII yang terdiri dari tujuh butir, salah satu
butirnya berbunyi: “…bahwa pengembangan sikap kreatif, keterbukaan dan pembinaan rasa
tanggungjawab sebagai dinamika gerakan dilakukan dengan bermodal dan bersifat kemahasiswaan
serta didorong oleh moralitas untuk memperjuangkan pergerakan dan cita-cita perjuangan nasional
yang berlandaskan Pancasila.”.

Sampai di sini, belum dijumpai adanya motif lain dari independensi itu, kecuali proses pendewasaan.
Hal ini didukung oleh manifesto butir terakhir, yang menyatakan bahwa “dengan independensi PMII
tersedia adanya kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih lengkap lagi bagi cita-cita
perjuangan organisasi yang berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah.”.

Kondisi sosio-akademis, PMII dengan independensinya lebih membuktikan keberadaan dan


keabsahannya sebagai organisasi mahasiswa, kelompok intelektual muda yang sarat dengan
idealisme, bebas membela dan berbuat untuk dan atas nama kebenaran dan keadilan. Dan bersikap
bahwa dunia akademis harus bebas dan mandiri tidak berpihak pada kelompok tertentu. Sedangkan
Cholid Mawardi dalam menyikapi independensi ini penuh dengan penentangan, karena ia khawatir
PMII tidak lagi memperjuangkan apa yang menjadi tujuan partai NU.

Meskipun independensi ini diliputi dengan pro-kontra yang semakin tajam. Akan tetapi PMII justru
memilih independensi sebagai pilihan hidup dan mengukuhkan Deklarasi Murnajati dalam Kongres
Ciloto, Medan tahun 1973 yang tertuang dalam Manifesto Independensi PMII. Maka sejak 28
Desember 1973 secara resmi PMII independen dan memulai babak baru dengan semangat baru
menuju masa depan yang lebih cerah. Ini berarti PMII mulai terpisah secara strukutural dari NU,
tetapi tetap merasa terikat secara kultur dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai strategi
pergerakan.

PMII secara resmi bergabung dengan Kelompok Cipayung (22 Januari 1972) satu tahun setelah
Kongres Ciloto, yaitu pada Oktober1974, di bawah kepemimpinan Ketua Umum Drs. HM. Abduh
Padare. Dan bergabung secara riil pada Januari 1976 dan dipercaya untuk menyelenggarakan
pertemuan ketiga.

Bergabungnya PMII dalam Kelompok Cipayung merupakan perwujudan arah gerak PMII dalam
lingkup kemahasiswaan, kebangsaan, dan keislaman. Kerjasama dengan berbagai pihak akan terus
dilakukan sejauh masih dalam bingkai visi dan misinya. Terbukti sebelum bergabung dengan
kelompok ini PMII juga terlibat aktif dalam proses menentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia
(KNPI).

Setelah PMII independen, selain melakukan aktifitas strategis dalam konstalasi nasional, PMII juga
melakukan pola pengkaderan secara sistematis yang mengacu pada terbentuknya pemimpin yang
berorientasi kerakyatan, kemahasiswaan dan pembangunan bangsa.

Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Indonesia
(IKAPMI) pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Ciumbeuleuit, Jawa Barat, 1975.
Lahirnya Forum alumni ini merupakan upaya untuk memperkuat barisan PMII dalam gerak
perjuangannya. Dan akhirnya forum inipun disempurnakan lagi pada Musyawarah Nasional Alumni
1988 di hotel Orchid Jakarta, menjadi Forum Komunikasi dan Silaturrahmi Keluarga Alumni
(FOKSIKA) PMII dan Sahabat Abduh Padere ditunjuk sebagai ketuanya.

Hubungan Interdependensi

Pada perkembanagan lebih lanjut saat Kongres X, pola hubungan PMII dengan NU menjadi
interdependen, dimana PMII tetap mempunyai perhatian khusus terhadap NU karena kesamaan kultur
dan wawasan keagamaan yang memperjuangkan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Beberapa
kemungkinan hubungan PMII–NU menjadi interdependen:

1. Kesamaan kultur dan pemahaman keagamaan sebagai ciri perjuangan.


2. Adanya rekayasa politik untuk mengembangkan kekuatan baru.
3. Menghilangkan rasa saling curiga antar tokoh sehingga kader-kader PMII akan lebih mudah
memasuki NU setelah tidak aktif di PMII.

Kendatipun demikian PMII memberikan catatan khusus independensinya yaitu bahwa hubungan
tersebut tetap memegang prinsip kedaulatan organisasi secara penuh dan tidak saling intervensi baik
secara struktural maupun kelembagaan. PMII memanfaatkan hubungan interdependen ini untuk
kerjasama dalam pelaksanaan program-program nyata secara kualitatif fungsional dan
mempersiapkan sumber daya manusia.

Pada tahun 70-an hingga 90-an, dalam perkembangannya, dunia kemahasiswaan berada dalam
kondisi yang tidak kondusif, situasi back to campus lebih riil terjadi. Kebijakan Orde Baru telah
memandulkan posisi strategis mahasiswa dan lebih didominasi oleh kekuatan militer dan Golkar.
PMII hanya sebatas mampu melakukan pengkaderan secara periodik sesuai dengan progran kerja
yang ditetapkan.
Namun awal tahun 90-an, kelompok-kelompok gerakan ekstra universitas secara intensif melakukan
diskusi-diskusi dan aksi pendampingan terhadap kasus-kasus masyarakat kecil. Demikian pula di
kalangan PMII, semangat dan wacana gerakan mengalami proses secara intensif. Sosok Gus Dur
dalam konteks ini sangat berpengaruh bagi penguatan wacana gerakan PMII. Puncaknya adalah
ketika terjadi Kongres XI di Samarinda, 1994, dimana terpilih Sahabat Muhaimin Iskandar sebagai
Ketua Umum PMII. Seorang yang sangat intens dalam pergulatan diskusi serta gerakan aksi.

Periode 1994-1997 dapat disebut sebagai era kebangkitan kembali PMII, dengan identitas tegas, kritis
dan dinamis terhadap persoalan-persoalan kebangsaan. Pemerintahan Soeharto yang semakin
memperparah situasi nasional, menyebabkan kondisi dunia mengalami krisis ekonomi dan politik.
Maka melaui Forum Komunikasi Pemuda Indonesia (FKPI), PMII, GMNI, PMKRI, GMKI, kecuali
HMI, selalu berkonsolidasi baik dalam gagasan maupun organisasi hingga melakukan gerakan aksi.
Mengapa HMI menolak bergabung dengan FKPI? Hal ini karena HMI dalam perkembangannya
masih dikendalikan oleh alumninya (KAHMI) yang saat itu banyak menempati posisi strategis
birokrasi.

Pada tahun 1998 peristiwa nasional yang sangat monumental yaitu lengsernya Soeharto dari kursi
Presiden dan dimulainya masa Reformasi, di saat itu PMII telah dijabat oleh Syaiful Bahri Ansori.
Selama periode ini laju kebangkitan PMII tidak sekuat masa sebelumnya. Demikian pula pada saat
PEMILU 1999, bangunan organisasi PMII tidak tertata secara solid dan sinergis, kegamangan politik
pun terjadi sampai pada tahun 2000, Kongres XII di Medan. Terpilihnya Nusran Wahid sebagai
Ketua Umum, menjadi indikator kekeroposan konsolidasi PMII yang penuh dengan idealisme, telah
kalah diterjang kepentingan pragmatisme beberapa kelompok.

Dependensi, Independensi dan Interdependensi

Sejarah mencatat bahwa PMII dilahirkan dari pergumulan panjang mahasiswa NU. Selama 12 tahun
lamanya PMII menjadi underbow partai NU yang berkhidmat dalam kancah politik praktis, karena
memang situasi politik pada saat itu menghendaki politik dependensi terhadap seluruh partai.
Akhirnya sangat merugikan PMII yang berdiri sebagai organisasi mahasiswa. Akibatnya PMII
mengalami banyak kemunduran dalam segala aspek gerakannya. Dan hal tersebut juga berakibat
buruk pada beberapa Cabang PMII di daerah.

Kondisi ini akhirnya menyadarkan PB PMII untuk mengkaji ulang kiprah yang selama ini dilakukan,
khususnya pada organisasi politik yang gerakannya mengarah pada organisasi kekuatan. Setelah
melalui beberapa pertimbangan matang, maka pada tanggal 14-16 Juni 1972 PMII mengadakan
Musyawarah Besar II, di Murnajati, Malang, Jawa timur, dan menghasilkan Deklarasi Murnajati
PMII yang berisi pernyataan Independensi PMII dari NU. Motivasi itu didorong oleh hal-hal sebagai
berikut:

Pertama, independensi PMII merupakan rekayasa sosial, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, Mahasiswa sebagai insan akademis harus memutuskan suatu sikap yang ukuranya adalah
objektifitas dalam mengemukakan ilmu, cinta kebenaran dan keadilan. Ketiga, PMII merasa
canggung dalam menghadapi masalah-masalah nasional karena harus selalu memihak dan
memperhatikan kepentingan induknya.

Untuk mengembangkan ideologinya, PMII akan mencoba memperjuangkannya sendiri.


Secara politis, konon sikap independensi itu dapat menjadi “bargaining power” antara tokoh PMII
pada saat itu dengan pemerintah. Dengan Deklarasi Murnajati ini, PMII menjadi organisasi yang
bebas menentukan kehendak dan idealismenya, tanpa harus berkonsultasi dengan organisasi
manapun. Termasuk NU yang pernah menjadi induknya.

Akan tetapi independensi ini tidak sampai menghilangkan ikatan emosional antara kedua organisasi
tersebut. Karena antara PMII dan NU masih terdapat benang merah teologis, yaitu faham
Ahlussunnah Wal Jamaah. Pernyataan independensi tersebut ternyata mendapatkan kembali
pengakuan pada Kongres V di Ciloto, Bandung, 28 Desember 1973, yang dikenal dengan Manifesto
Independensi. Khusus mengenai eksistensi NU-PMII, menjelang muktamar NU ke 28, banyak pihak
yang mengharapkan agar PMII dapat mempertimbangkan kembali sikap independensinya yang telah
diputuskan sejak tahun 1972.
Terhadap masalah ini, PB PMII telah mengambil sikap yang tegas untuk menjadikan PMII sebagai
organisasi yang independen, sesuai dengan Deklarasi Murnajati yang telah dikukuhkan dalam
Kongres V di Ciloto. Penegasan ini disebut dengan Penegasan Cibigo. Yang menyatakan :

“PMII adalah organisasi independen yang tidak terikat dalam sikap dan tindakannya kepada siapapun
dan hanya komitmen dengan perjuangan organisasi dan cita-cita nasional yang berlandaskan
Pancasila. Dan akan terus mengaktualisasikan dalam kehidupan berorganisasi. PMII insyaf dan sadar
bahwa dalam perjuangan diperlukan rasa saling menolong, ukhuwah dan kerjasama. Karena
keduanya mempunyai persepsi yang sama dalam keagamaan dan perjuangan, visi sosial dan
kemasyarakatan, maka untuk menghilangkan keragu-raguan dan saling curiga, serta untuk menjalin
kerjasama secara kualitatif dan fungsional, PMII siap meningkatkan kualitas hubungan dengan NU
atas dasar prinsip berkedaulatan organisasi penuh, interdependensi dan tidak ada intervensi secara
struktural dan kelembagaan, serta berprinsip mengembangkan masa depan Islam Ahlussunnah Wal
Jamaah di Indonesia.”. Pernyataan ini dicetuskan tanggal 27 Agustus 1991 di Jakarta pada Kongres
X PMII, yang dikenal sebagai Deklarasi Interdependensi PMII-NU.”.

CIPUTAT; KILASAN SEJARAH PMII

Setelah berdirinya PMII pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya, maka timbullah hasrat mahasiswa
ADIA (sekarang UIN) Jakarta untuk mendirikan Cabang di daerah Ciputat. Hasrat tersebut timbul
dari sahabat-sahabat mantan anggota IPNU dan GP Anshor, bahkan aktivis NU.

Dengan hasrat yang membara, maka pada tanggal 18-22 Juni 1960 mengadakan sidang DEMA
(sementara) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan perwakilan-perwakilan DEMA IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Di antara utusan dari Yogyakarta hadir sahabat Ismail Makky (Dosen Fakultas
Syariah IAIN Yogyakarta), memberikan penjelasan tentang mendesaknya didirikannya PMII Cabang
Ciputat. Kemudian mendapat tanggapan dan respon yang positif. Namun karena adanya beberapa hal,
sehingga tertunda sampai masuknya mahasiswa baru IAIN Jakarta.

Sahabat Fahrur Rozi AH. menemui Sahabat Zamroni dan Sahabat Khotibul Umam untuk segera
merealisasikan ide pembentukan PMII Cabang Ciputat. Kedua sahabat tersebut mempersiapkan
segala sesuatunya dan mulai menemui sahabat-sahabat yang lain untuk mendukung ide ini. Setelah
usaha ini dilaksanakan, ternyata mendapat dukungan sebanyak 54 orang yang sekaligus menyatakan
diri sebagai anggota pertama kali PMII Cabang Ciputat.

Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan semua anggota di Gedung IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 9 September 1960 dan memutuskan penambahan dan penyempurnaan panitia
pembentukan PMII Cabang Ciputat. Tercatat diantaranya adalah Sahabat M. Yasin, Ari Amran dan
Abdurrahman K. sebagai Panitia Persiapan Pembentukan PMII Cabang Ciputat. Kemudian panitia
mengadakan sharing dengan sahabat-sahabat calon pengurus.

Setelah tersusun calon pengurus dengan lengkap, maka pada tanggal 12 Januari 1961 secara resmi
PMII Cabang Ciputat disahkan oleh Ketua Ulama Mentri Agama RI Mr. Sjis Tjangraningrat, Alm.,
Dekan Fakultas Tarbiyah Prof. H. Mubangt Rono Anjojo, Alm., para dosen, senat mahasiswa, utusan
HMI Cabang Jakarta, Ketua Umum PB PMII Sahabat Mahbub Djunaedi dan jajaran PB PMII
lainnya.

PMII Ciputat adalah salah satu Cabang Khusus, yaitu Cabang yang berdomisili di tingkat Kecamatan,
karena cabang lainnya di seluruh Indonesia berdomisili di tingkat Kabupaten/Kota. PMII Ciputat
adalah organisasi ekstra universitas pertama di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan
selanjutnya, berdirilah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan pada bulan Februari 1961
didirikan pula Cabang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Ciputat.

Arus perubahan dari IAIN menjadi UIN, 2001-2002, secara eksplisit turut mempengaruhi corak
gerakan PMII Ciputat. Arus tersebut mampu menyeret PMII Ciputat pada degradasi pemikiran dan
pengkaderan, meskipun secara kuantitas mengalami peningkatan. Paradigma kritis transformatif yang
menjiwainya kini telah tergadai dengan pragmatisme gerakan, yang dinahkodai oleh politik praktis
kampus an sich. Dimana hal tersebut hanya dapat dinikmati oleh segelintir elit dan setengah elit
politik kampus. Perawatan kader sebagai basis gerakan PMII kini telah terabaikan dengan semahin
akutnya penyakit pragmatisme pimpinan PMII Ciputat. Lalu kemana idealisme yang selama ini telah
diperjuangkan oleh para pendahulu?

Mengingat PMII Ciputat terletak di antara pertemuan antara 3 propinsi besar di Indonesia, DKI
Jakarta-Jawa Barat-Banten, seharusnya mampu membuat PMII Ciputat sadar dan membuka mata
untuk terus berbenah dan berkembang menjawab tantangan yang ada. PMII Ciputat seharusnya
mampu membangun paradigma kritis transformatif, mampu memposisikan diri sebagai agent of
social control yang saat ini tidak dimiliki oleh sebagian besar mahasiswa di lingkungan Ciputat.
Dengan demikian akan terwujud gerakan mahasiswa yang tetap memegang amanat agen perubahan
serta misi tranformasi intelektualitas akan tetap terjaga.

PMII KOMFAKSYAHUM; SEJARAH BESAR YANG TAK TERABADIKAN

Memory PMII KOMFAKSYAHUM

Dalam perkembangannya, PMII Cabang Ciputat pada akhirnya pun mendirikan Komisariat-
komisariat untuk mewadahi kader yang berada di lingkungan Fakultas-fakultas yang ada di IAIN
(UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ketika itu). Tidak jelas tanggal dan tahunnya, namun PMII
Komisariat Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum (KOMFUSPERTUM) tercatat dalam sebuah
memory sebagai Komisariat tertua di lingkungan PMII Cabang Ciputat. Mengingat Fakultas
Ushuluddin adalah fakultas tertua yang berada di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Seperti halnya PMII KOMFUSPERTUM, belum ditemukan bukti yang mendukung sejarah
berdirinya PMII Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(KOMFAKSYAHUM). Namun dari penjelasan beberapa sumber, PMII KOMFAKSYAHUM lahir
sebagai kepakan sayap dari PMII Cabang Ciputat untuk menjadi patner dalam mengembangkan
sistim kaderisasi dalam tubuh PMII Cabang Ciputat. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa berdirinya
PMII KOMFAKSYAHUM adalah hampir bersamaan dengan berdirinya PMII Cabang Ciputat, yaitu
sekitar tahun 1961.

Pada masa kelahirannya, PMII KOMFAKSYAHUM lahir dengan nama PMII Komisariat Fakultas
Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (KOMFAKSYA). Namun seiring dengan perkembangan
dan perubahan waktu, serta pengaruh dari terbitnya statuta DEPAG RI mengenai lembaga Perguruan
Tinggi Agama Islam yang menetapkan status IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, serta turunan-turunannya, dan nama Fakultas Syariah menjadi Fakultas Syariah
dan Hukum, maka PMII KOMFAKSYA juga harus turut menyesuaikan dengan perkembangan yang
ada (tanpa mengurangi rasa hormat terhadap sejarah).

Pada RTK XXXV di Bogor, 17 April 2004, yang diketuai oleh Sahabat Widiyono dan
Penanggungjawab RTK, Sahabat Herman, PMII KOMFAKSYA berubah nama menjadi PMII
KOMFAKSYAHUM, yang memang secara sengaja disesuaikan dengan kondisi lapangan yang ada.
Pada hari itu resmilah pergantian nama PMII KOMFAKSYA menjadi PMII KOMFAKSYAHUM,
setelah hasil Sidang Komisi disahkan dalam Sidang Pleno RTK XXXV.

Saat ini, PMII KOMFAKSYAHUM telah menjadi organisasi mahasiswa ekstra universitas yang
tidak asing di kalangan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Komisariat yang mampu
menjadi basis gerakan PMII Cabang Ciputat, baik secara kualitas maupun kuantitas, terbukti mampu
mengukir sejarah dengan lautan tinta emas. Tercatat dalam setiap program/agenda/kegiatan, PMII
KOMFAKSYAHUM selalu mendominasi dan menunjukkan kegagahannya untuk menjadi icon PMII
Cabang Ciputat. Hingga mampu mengubur gerakan PMII Cabang Ciputat, yang secara struktural
organisasoris berkedudukan lebih tinggi daripada PMII KOMFAKSYAHUM.

Banyak sumber daya manusia excellent yang terlahir dari PMII KOMFAKSYAHUM, namun hanya
sedikit yang terdeteksi ruang aktualisasinya, mengingat para alumni PMII KOMFAKSYAHUM
cukup banyak dan tersebar ke berbagai daerah di Nusantara. Ada indikasi bahwa para alumni PMII
KOMFAKSYAHUM lebih banyak mengabdi pada pemberdayaan masyarakat akar rumput
(masyarakat desa/bawah) sebagai ruang transformasi intelektualitas, sehingga sulit untuk mendeteksi
secara keseluruhan. Berikut sedikit daftar tokoh yang terlahir dari geliatnya dalam tubuh PMII
KOMFAKSYAHUM:
1. Prof. Dr. Masykury Abdillah, MA. (Ketua PBNU)
2. Prof. Dr. Hasanudin AF, MA. (Anggota DSN-MUI)
3. Dr. Mukri Adji, MA. (Ketua Umum MUI Bogor)
4. Munawar Fuad (Sekjen KNPI)
5. Heri Heryanto Azumi, S.Ag (Ketua Umum PB PMII)
6. Imam Ma’ruf, S.Ag (Redaktur Majalah Anggun)
7. Asrori S. Karni, S.Ag (Redaktur Majalah Gatra)
8. Dara, M.Si (KBRI untuk Amerika Serikat)
9. Cece, M.Si (Politisi PKB Bogor)
10. Ghozy Fatih, S.Ag (Sekretaris Pribadi KH. Hasyim Muzadi)
11. Rahmat Ferdian, S.HI (Mantan Ketua Umum DPP FORMASI)
12. AM. Hasan Ali, MA. (Staf Eksekutif Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah)
13. Subhi Azhari, S.Ag (Staf Ahli The Wahid Institute)
14. Subhan Anshori, S.HI (PW LAKPESDAM NU DKI Jakarta)
15. Achmad Bakhrul Muhtashib, M.Si (Staf Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah)
16. Ogy Sugiono, S.HI (Asisten Anggota DPR RI)
17. A. Tholabi, MA (Direktur Lab. Syariah FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
18. M. Khoirun Sirrin, MA. (Dosen Hukum Islam FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
19. Mujiburrahman, S.Ag (Dosen Ekonomi Syariah FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
20. Iyan Fitriyana, S.HI (Direktur Biro Hukum dan Kebijakan Publik, KTP Kab. Lebak)
21. M. Sahri Saputra (Ketua Umum DPP FORMASI)
22. Imam Mustofa (Direktur LPM Komunitas Maestro 2012 Ciputat)
23. dan masih banyak yang lain.

Kepemimpinan dalam Barisan Kami

Dari sejarah panjang PMII KOMFAKSYAHUM, hingga saat ini tercatat telah melaksanakan Rapat
Tahunan Komisariat (RTK) sebanyak 38 kali dengan peralihan kepemimpinan yang belum diketahui.
Berikut Khidmat kepemimpinan dalam tubuh PMII KOMFAKSYAHUM:

1. Ketua sebelumnya belum diketahui.


2. Sahabat Imam Ma’ruf (1999-2000)
3. Sahabat Subhi Azhari (2000-2001)
4. Sahabat Lutfi Rahmat (2001-2002)
5. Sahabat Ach. Bakhrul Muhtashib (2002-2003)
6. Sahabat Herman (2003-2004)
7. Sahabat Hasby As-Shiddiqy (2004-2005)
8. Sahabat M. Ikhsan Al-Farisy (2005-2006)
9. Sahabat Wildan Ramadian (2006-Musyawarah)
10. Sahabat Reva Arbano (PJS Rekomendasi Musyawarah-RTK)
11. Sahabat A. Amin Mustofa (2007-Musyawarah)
12. Sahabat Andreansyah Syafi’i (PJS Rekomendasi Musyawarah-RTK)

Dengan usia yang semakin matang tersebut, semoga PMII KOMFAKSYAHUM semakin mapan dan
konsisten dalam memperjuangkan cita-cita PMII sesuai dengan harapan Nilai Dasar Pergerakan
(NDP) PMII, tetap menjaga dan memegang teguh Islam Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai sumber
kerangka berfikir serta tetap mengedepankan nilai-nilai pluralitas berbangsa dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Choirie A. Effendy, Choirul Anam, Pemikiran PMII dalam berbagai Visi dan Persepsi, Majelis NU
Aula Jawa Timur,1991.

Wahid, Nusron, Membongkar Hegemoni NU di balik Independensi PMII, PT Bina Rena Pariwara,
Jakarta 2000.

http://gerakanmahasiswa.blogspot.com/2006/04/gerakan-mahasiswa-dan-organisasi.html

Anda mungkin juga menyukai