Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Riba merupakan pendapatan yang di peroleh secara tidak adil. Riba telah
berkembang sejak zaman jahiliyah hingga sekarang ini. Sejak itu banyaknya masalah-
masalah ekonomi yang terjadi di masyarakat dan telah menjadi tradisi bangsa arab
terhadap jual beli maupun pinjam-meminjam barang dan jasa. Sehingga sudah mendarah
daging, bangsa arab memberikan pinjaman kepada seseorang dan memungut biaya jauh
di atas dari pinjaman awal yang di berikan kepada peminjam akibatnya banyaknya orang
lupa akan larangan riba.
Sejak datangnya Islam di masa Rasullullah saw. Islam telah melarang adanya
riba. Karena sudah mendarah daging, Allah SWT melarang riba secara bertahap. Allah
SWT melaknat hamba-hambanya bagi yang melakukan perbuatan riba. Perlu adanya
pemahaman yang luas, agar tidak terjerumus dalam Riba. Karena Riba menyebabkan
tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

2. Identifikasi Masalah
a. Apa itu riba?
b. Apa saja jenis-jenis riba?
c. Bagaimana tahapan pengharaman riba?
d. Apa itu bunga?
e. Bagaimana sistem kerja bunga?
f. Apa hukum riba dengan bunga?
g. Bagaimana fatwa ulama Internasional tentang pengharaman bunga?
h. Bagaimana fatwa ulama Indonesia tentang pengharaman bunga?

1
BAB II

RIBA

1. Pengertian Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan
(azziyadah), berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat (al-irtifa').
Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno
menyatakan sebagai berikut arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan
riba terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu
ma a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu
berikan dengan cara berlebih dari apa yang diberikan).
Pengertian riba secara terminologis adalah mengambil tambahan dari pokok, baik
dalam jual beli maupun dalam pinjam meminjam yang disepakati kedua belah pihak pada
waktu akad atau serah terima.
Riba sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti
tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara', baik
dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak.

2. Jenis – Jenis Riba


Pada dasarnya riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba akibat hutang piutang
yang telah dijelaskan tentang keharamannya dalam Al-Qur'an, dan riba jual beli yang
juga telah dijelaskan boleh dan tidaknya dalam bertransaksi dalam As-Sunnah.
a. Riba akibat hutang-piutang
 Riba Qardh, yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid).
 Riba Jahiliyah, yaitu hutang yang dibayar dari pokoknya, karena si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang
ditetapkan.
b. Riba akibat jual-beli
 Riba Fadl, yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau
takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam
jenis barang ribawi. Ketentuan ini didasarkan pada hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhairi

ً‫ح ِم ْثال‬
ِ ‫ض ِة َو ْالبُرُّ بِ ْالبُ ِّر َوال َّش ِع ْي ُر بِال َّش ِعي ِْر َوالتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر َو ْال ِم ْل ُح بِ ْال ِم ْل‬
َّ ِ‫ضةُ بِ ْالف‬ َّ ِ‫ب َو ْالف‬ِ َ‫اَل َّذهَبُ بِال َّذه‬
‫ت ه ِذ ِه ْاألَصْ نَافُ فَبِ ْيعُوْ ا َك ْيفَ ِش ْئتُ ْم إِ َذا َكانَ يَدًا بِيَ ٍد‬ ْ َ‫اختَلَف‬ْ ‫بِ ِم ْث ٍل َس َوا ًء بِ َس َوا ٍء يَداً بِيَ ٍد فَإ ِ َذ‬.

Artinya : “(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam
dengan garam, ukurannya harus sama, dan harus dari tangan ke tangan

2
(dilakukan dengan kontan). Jika jenis - jenisnya tidak sama, maka
juallah sesuka kalian asalkan secara kontan”.

 Riba Nasi’ah, yaitu penangguhan atas penyerahan atau penerimaan


jenis barang ribawi yang diperlukan dengan jenis barang ribawi
lainnya. Riba nasi’ah muncul dan terjadi karena adanya perbedaan,
perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang
diserahkan kemudian.

3. Tahapan Pengharaman Riba


Sudah jelas diketahuin bahwa Islam melarang riba dan memasukkannya dalam
dosa besar. Tetapi Allah SWT dalam mengharamkan riba menempuh metode secara
gredual (step by step). Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang telah
biasa melakukan perbuatan riba dengan maksud membimbing manusia secara mudah dan
lemah lembut untuk mengalihkan kebiasaan mereka yang telah mengakar, mendarah
daging yang melekat dalam kehidupan perekonomian jahiliyah. Ayat yang diturunkan
pertama dilakukan secara temporer yang pada akhirnya ditetapkan secara permanen dan
tuntas melalui empat tahapan.
a. Tahap Pertama
Surat Ar-Rum ayat 39, yang berbunyi:

َ‫اس فَاَل يَرْ بُو ِع ْن َد هَّللا ِ ۖ َو َما آتَ ْيتُ ْم ِم ْن زَ َكا ٍة تُ ِري ُدونَ َوجْ هَ هَّللا ِ فَأُو ٰلَئِك‬
ِ َّ‫َو َما آتَ ْيتُ ْم ِم ْن ِربًا لِيَرْ ب َُو فِي أَ ْم َوا ِل الن‬
َ‫هُ ُم ْال ُمضْ ِعفُون‬

Artinya : “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”.

Allah menyatakan secara nasihat bahwa Allah tidak menyenangi orang yang
melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah dengan
menjauhkan riba. Di sini, Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah
akan memberikan barakah-Nya dan melipat gandakan pahalaNya. Pada ayat
ini tidaklah menyatakan larangan dan belum mengharamkannya.

b. Tahap Kedua
Surat An-Nisa’ ayat 161-162, yang berbunyi :

3
Artinya : “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan
atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih”.

Allah menurunkan surat An-Nisa' ayat 160-161. Riba digambarkan sebagai


sesuatu pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam ayat ini Allah menceritakan
balasan siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya. Ayat ini juga
menggambarkan Allah lebih tegas lagi tentang riba melalui riwayat orang
Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan bagi orang Islam.
Tetapi ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk menerima
pelarangan riba. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah
terdapat dalam agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat
berikutnya yang akan menyatakan pengharaman riba bagi kaum Muslim.

c. Tahap Ketiga
Surat Ali- Imran ayat 130, yang berbunyi :

َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا ال ِّربَا أَضْ َعافًا ُم‬
َ‫ضا َعفَةً ۖ َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”.

Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas, tetapi melarang dalam bentuk
lipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah yang melarang
sesuatu yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman
jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah
biasa melakukan riba siap menerimanya.

4
d. Tahap Keempat
Surat Al-Baqarah ayat 275-279, yang berbunyi :

‫ك بِاَنَّهُمۡ قَالُ ۡۤوا اِنَّ َما ۡالبَ ۡي ُع ِم ۡث ُل ال ِّر ٰبوا‬


َ ِ‫اَلَّ ِذ ۡينَ يَ ۡا ُكلُ ۡونَ ال ِّر ٰبوا اَل يَقُ ۡو ُم ۡونَ اِاَّل َك َما يَقُ ۡو ُم الَّ ِذ ۡى يَتَ َخبَّطُهُ ال َّش ۡي ٰطنُ ِمنَ ۡال َمسِّ ؕ ٰذ ل‬
‫ك‬ ٓ
َ ِ‫ۘ َواَ َح َّل هّٰللا ُ ۡالبَ ۡي َع َو َح َّر َم الرِّ ٰبوا ؕ فَ َم ۡن َجٓا َء ٗه َم ۡو ِعظَةٌ ِّم ۡن َّرب ِّٖه فَ ۡانتَ ٰهى فَلَهٗ َما َسلَفَ ؕ َواَمۡ ر ُٗه اِلَى ِؕ َو َم ۡن عَا َد فَاُولـئ‬
ٰ ‫هّٰللا‬ ۤ
‫هّٰللا‬ َّ ‫ق هّٰللا ُ ال ِّر ٰبوا َوي ُۡربِى ال‬
﴾2:276﴿ ‫ار اَثِ ۡي ٍم‬ ٍ َّ‫تؕ َو ُ اَل ي ُِحبُّ ُك َّل َكف‬ ِ ‫صد َٰق‬ ُ ‫﴾ يَمۡ َح‬2:275﴿ َ‫ارۚ هُمۡ فِ ۡيهَا ٰخلِد ُۡون‬ ِ َّ‫ص ٰحبُ الن‬ ۡ َ‫ا‬
‫اَل‬ ۡ َ ٌ ۡ ‫اَل‬ ۡ ۡ َ َ ٰ َّ
ۡ‫ت َواقا ُموا الصَّلوةَ َواتَ ُوا الزكوةَ لهُمۡ اج ُرهُمۡ ِعن َد َربِّ ِهمۡ ۚ َو َخوف َعلي ِهمۡ َو هُم‬ ٰ ٰ َ َ ٰ
ِ ‫صلِح‬ ٰ ُ ُ ٰ
ّ ‫اِ َّن ال ِذينَ ا َمنوا َو َع ِملوا ال‬
ۡ ۡ َّ
‫﴾ فَاِ ۡن لَّمۡ ت َۡف َعلُ ۡوا‬2:278﴿ َ‫﴾ ٰۤيـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ا َمنُوا اتَّقُوا َ َو َذر ُۡوا َما بَقِ َى ِمنَ الرِّ ٰبٓوا اِ ۡن ُك ۡنتُمۡ ُّم ۡؤ ِمنِ ۡين‬2:277﴿ َ‫يَ ۡحزَ نُ ۡون‬
‫هّٰللا‬ ٰ
2:279﴿ َ‫ب ِّمنَ هّٰللا ِ َو َرس ُۡولِ ٖهۚ َواِ ۡن تُ ۡبتُمۡ فَلَـ ُكمۡ ُر ُء ۡوسُ اَمۡ َوالِ ُكمۡ ۚ اَل ت َۡظلِ ُم ۡونَ َواَل تُ ۡظلَ ُم ۡون‬ ٍ ‫﴾فَ ۡا َذنُ ۡوا بِ َح ۡر‬

Artinya : “275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.

276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Turunnya surat al-Baqarah ayat 275-27 yang isinya tentang pelarangan riba
secara tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai
bentuknya, dan tidak dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba
telah melakukan kriminalisasi. Dalam ayat tersebut jika ditemukan melakukan
kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.

5
BAB III

BUNGA

1. Pengertian Bunga
Bunga adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang yang
diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan pokok
tersebut berdasarkan tempo waktu yang diperhitungkan secara pasti di muka dan pada
umumnya berdasarkan persentase.
Ada beberapa pengertian lain dari bunga, diantaranya yaitu:
a. Sebagai batas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional
kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya.
b. Sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan
yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman).
c. Bunga adalah tambahan yang diberikan oleh bank atas simpanan atau yang di ambil
oleh bank atas hutang.
2. Macam – Macam Bunga

Dalam kegiatan perbankan sehari-hari ada 2 macam bunga yang diberikan kepada
nasabahnya yaitu:

a. Bunga Simpanan
Bunga simpanan adalah bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa
bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Bunga simpanan merupakan harga
yang harus dibayar bank kepada nasabahnya. Sebagai contoh jasa giro, bunga
tabungan dan bunga deposito.
b. Bunga Pinjaman
Bunga pinjaman adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam atau harga
yang harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai cotoh bunga kredit.

Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan
pendapatan bagi bank konvensional. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus
dikeluarkan kepada nasabah sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang
diterima dari nasabah. Baik bunga simpanan maupun bunga pinjaman masing-masing
saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sebagai contoh seandainya bunga simpanan
tinggi, maka secara otomatis bunga pinjaman juga terpengaruh ikut naik dan demikian
pula sebaliknya.

6
3. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
a. Penentuan Besaran
Perbedaan sistem pembagian keuntungan secara bunga dan bagi hasil yang paling
mencolok terlihat pada penentuan besaran. Bunga, seperti pengertiannya ditentukan
menggunakan bentuk presentase besaran kredit utang. Sedangkan bagi hasil
dintentukan menggunakan rasio atau perbadingan terhadap keuntungan usaha yang
dibiayai dari kredit tersebut.
b. Acuan Pembagian
Acuan yang dijadikan dasar penghitungan bunga dan bagi hasil juga berbeda.
Acuan besarnya bunga dipengaruhi oleh seberapa besar pokok hutang atau kredit
yang dikeluarkan. Sedangkan acuan bagi hasil yaitu menggunakan rasio seberapa
besar keuntungan yang dibiayai oleh kredit tersebut.
c. Besarnya Pendapatan dan Jumlah Pembayaran
Pada sistem bunga, pendapatan yang diperoleh bersifat statis yang dimana
walaupun perusahaan merugi, utang tetap memiliki bunga yang tetap serta jumlah
pembayarannya setiap periodenya juga tetap. Sedangkan dalam bagi hasil pendapatan
yang diperoleh akan bersifat dinamis menyesuaikan dengan keadaan usaha. Jika
usaha yang dilakukan mendapat keutungan besar maka bagi hasil pendapatnnya juga
besar, begitu pula sebaliknya. Oleh karenannya bank dengan sistem bagi hasil
cenderung hanya akan membiayai usaha dengan keuntungan yang diprediksi besar.
d. Eksistensi
Dalam hal ini biasanya perbedaan muncul penilaian didasari oleh suatu dasar.
Penerapan bagi keuntungan dengan sistem menggunakan bunga sangat diragukan
bahkan dikecam beberapa kalangan karena dirasa mengaplikasikan sistem riba.
Sedangan untuk sistem bagi hasil tidak ada yang meragukan keabsahannya.

4. Sistem Kerja Bunga


a. Bunga Flat (Rata)
Dalam perhitungan bunga flat, nilai pinjaman beserta bunganya akan dihitung
secara proporsional sesuai dengan jangka waktu pinjaman.
Contoh : Indra mengajukan KTA sebesar Rp.120.000.000 dengan jangka waktu
kredit 12 bulan, dan dikenakan bunga pinjaman sebesar 10% per tahun secara flat.
Berapakah angsuran per bulan yang harus dibayar?
Data:
Pokok pinjaman: Rp120.000.000
Bunga per tahun: 10%
Tenor pinjaman: 12 bulan

Cicilan pokok:
Rp120.000.000 : 12 bulan = Rp10.000.000/bulan

7
Bunga:
(Rp120.000.000 x 10%) : 12 bulan = Rp1.000.000

Angsuran per bulan:


Rp10.000.000 + Rp1.000.000 = Rp11.000.000

Jadi, dari pinjaman tersebut setelah dihitung dengan cara hitung bunga flat, angsuran
yang harus Anda bayarkan hingga pinjaman tersebut lunas adalah Rp11.000.000 tiap
bulan. Nilai angsuran ini tidak akan berubah-ubah sebab bunga yang dikenakan
adalah jenis bunga flat.

b. Bunga Efektif (Sliding Rate)


Jenis bunga ini biasa diterapkan pada kredit dengan jangka waktu atau tenor yang
panjang. Alasan bunga efektif lebih ditujukan kepada kredit jangka panjang karena
tenor yang lama membuat pinjaman tidak terburu-buru harus terlunasi, sementara
suku bunganya tidak terlalu besar. Ya, suku bunga efektif biasa lebih rendah
dibandingkan bunga flat. Inilah yang membuatnya cocok untuk digunakan dalam
kredit jangka panjang.
Bunga yang lebih kecil itu didapatkan dari cara hitung bunga efektif yang melihat
sisa pinjaman pokok dari debitur. Jika bunga flat melakukan penghitungan dengan
mematok nilai pokok pinjaman dari awal pinjaman, berbeda dengan penerapan bunga
efektif.
Yang dihitung saat kreditur menggunakan jenis bunga ini adalah jumlah utang
yang belum terbayarkan tiap bulannya. Jadi kian lama, nilai bunga pinjaman Anda
akan semakin rendah sebab sisa pinjaman Anda semakin berkurang.
Contoh : Dani mengajukan kredit KPA sebesar Rp120 juta dengan jangka waktu
kredit 12 bulan, dan dikenakan bunga pinjaman sebesar 10% per tahun secara efektif.
Berapakah angsuran per bulan yang harus dibayar?
Data:
Pokok pinjaman: Rp120.000.000
Bunga per tahun: 10%
Tenor pinjaman: 12 bulan

Cicilan pokok:
Rp120.000.000 : 12 bulan = Rp10.000.000/bulan

Bunga bulan 1:
((Rp120.000.000 - ((1-1) x Rp10.000.000)) x 10% : 12 = Rp 1.000.000
Maka, cicilan bulan 1 = Rp10.000.000 + Rp1.000.000 = Rp11.000.000
Bunga bulan 2:
8
((Rp120.000.000 - ((2-1) x Rp10.000.000)) x 10% : 12 = Rp916.667
Maka, cicilan bulan 2 = Rp10.000.000 + Rp916.667 = Rp10.916.667

Bunga bulan 3:
((Rp120.000.000 - ((3-1) x Rp10.000.000)) x 10% : 12 = Rp833.333
Maka, cicilan bulan 3 = Rp10.000.000 + Rp833.333 = Rp10.833.333

Dan seterusnya, hingga...


Bunga bulan 12:
((Rp120.000.000 - ((12-1) x Rp10.000.000)) x 10% : 12 = Rp83.333
Maka, cicilan bulan 12 = Rp10.000.000 + Rp83.333 = Rp10.083.333

Terlihat ada pengurangan nilai total angsuran dari bulan pertama, bulan kedua,
dan seterusnya. Ini karena penerapan bunga efektif yang membuat bunga semakin
kecil bergantung sisa pokok pinjaman. Untuk bulan-bulan berikut dengan contoh
kasus di atas, hasil penghitungan bunga akan semakin kecil dan total angsuran akan
semakin rendah.

c. Bunga Anuitas
Jika pada penerapan bunga efektif angsuran pokok didapatkan dari jumlah
pinjaman dibagi dengan tenor kredit, hal berbeda diaplikasikan di pinjaman yang
menerapkan bunga anuitas. Angsuran pokok didapatkan dari total angsuran yang
telah ditetapkan dikurangi dengan hasil penghitungan bunga anuitas.
Contoh : Budi mengajukan kredit KPR sebesar Rp120 juta dengan jangka waktu
kredit 12 bulan, dan dikenai bunga pinjaman sebesar 10% per tahun secara anuitas.
berapakah angsuran per bulan yang harus dibayar?
Data:
Pokok pinjaman: Rp120.000.000
Bunga per tahun: 10%
Tenor pinjaman: 12 bulan

Cicilan pokok:

= Rp10.549.906
Saat menghitung bunga anuitas, Anda perlu berkosentrasi dengan pokok pinjaman
yang terpakai pada bulan ini untuk menyisakan sisa pokok tabungan guna

9
menghitung bunga di bulan berikutnya. Dari sana terlihat, meskipun suku bunganya
sama dengan bunga efektif, dengan cara penghitungan bunga anuitas yang berbeda,
hasilnya pun akan lain.

BAB IV
BUNGA = RIBA

1. Hukum Riba Dengan Bunga


10
Menurut islam, hukum riba adalah haram. Tetapi islam memiliki tahapan dalam
mengharamkan riba.
 Surat Ar-Rum ayat 39, dalam ayat ini tidak menyatakan larangan dan
belum mengharamkan riba. Dalam ayat ini hanya dijelaskan bahwa riba
yang diberikan untuk menambah harta manusia, sesungguhnya tidak
bertambah di sisi Allah SWT. Berbeda dengan zakat untuk mencapai
keridhaan Allah, maka yang berbuat demikian itulah orang orang yang
melipat gandakan pahalanya.
 Surat An-Nisa’ ayat 160-161, Riba digambarkan sebagai sesuatu
pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam ayat ini Allah menceritakan
balasan siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya. Ayat ini juga
menggambarkan Allah lebih tegas lagi tentang riba melalui riwayat orang
Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan bagi orang
Islam. Tetapi ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk
menerima pelarangan riba. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba
sudah pernah terdapat dalam agama Yahudi. Ini memberikan isyarat
bahwa akan turun ayat berikutnya yang akan menyatakan pengharaman
riba bagi kaum Muslim.
 Surat Ali-Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas,
tetapi melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan
kebijaksanaan Allah yang melarang sesuatu yang telah mendarah daging,
mengakar pada masyarakat sejak zaman jahiliyah dahulu, sedikit demi
sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah biasa melakukan riba siap
menerimanya.
 Surat Al-Baqarah ayat 275-279, yang isinya tentang pelarangan riba secara
tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai
bentuknya, dan tidak dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba
telah melakukan kriminalisasi. Dalam ayat tersebut jika ditemukan
melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah SWT dan Rasul-
Nya.

2. Fatwa Ulama Pengharaman Bunga


Mengingat :
a. Firman Allah SWT, antara lain:
 “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari

11
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan
zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang- orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya. Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah: 275-280).

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan


berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (Ali ‘Imran [3]: 130).

b. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain:


 Dari Abdullah r.a., ia berkata: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang
memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya bertanya:
“(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua oarang
yang menjadi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab: “kami hanya menceritakan
apa yang kami dengar.” (HR. Muslim).

 Dari Jabir r.a., ia berkata: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan
(mengambil) riba, memberikan, menulis- kan, dan dua orang yang
menyaksikan- nya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR.
Muslim).

 Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan datang kepada
umat manusia suatu masa di mana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang
siapa tidak memakan (mengambil)-nya, ia akan terkena debunya.” (HR. al-
Nasa’i).

12
 Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh
puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang
yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).

 Dari Abudullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh
puluh tiga pintu (cara, macam).” (HR. Ibn Majah).

 Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan
(mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikan, dan orang yang
menuliskannya.” (HR. Ibn Majah).

 Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan


datang kepada umat manusia suatu masa di mana tak ada seorang pun di
antara mereka kecuali (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan
(mengambil)- nya, ia akan terkena debunya.” (HR. Ibn Majah).

c. Ijma’ ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar
(kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al- Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar
al- Fikr, t.th.], juz 9, h. 391).
Memperhatikan Pendapat para ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam
transaksi pinjaman (utang-piutang, al-qardh; al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi
kriteria riba yang diharamkan Allah SWT., seperti dikemukakan, antara lain, oleh :
 Imam Nawawi dalam Al-Majmu’:
Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama
mazhab Syafi’i) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan
oleh al-Qur’an, atas dua pandangan. Pertama, pengharaman tersebut bersifat
mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang
dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap ke-
mujmal-an al-Qur’an, baik riba naqd maupun riba nasi’ah. Kedua, bahwa
pengharaman riba dalam al-Qur’an sesung-guhnya hanya mencakup riba nasa’
yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta
(piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara
mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihak berutang tidak
membayarnya, ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa
pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo
berikutnya. Itulah maksud firman Allah: “… janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda…”. Kemudian sunnah menambahkan riba dalam

13
pertukaran mata uang (naqd) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-
Qur’an.

 Ibn al-‘Araby dalam Ahkam al-Qur’an:


Riba dalam arti bahasa adalah kelebihan (tambahan). Sedangkan yang
dimaksud dengan riba dalam al-Qur’an adalah setiap kelebihan (tambahan)
yang tidak ada imbalannya.

 Al-‘Aini dalam ‘Umdah al- Qari’ :


Arti dasar riba adalah kelebihan (tambahan). Sedangkan arti riba dalam
hukum Islam (syara’) adalah setiap kelebihan (tambahan) pada harta pokok
tanpa melalui akad jual beli.

 Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth :


Riba adalah kelebihan (tambahan) tanpa imbalan yang disyaratkan dalam jual
beli.

 Ar-Raghib al-Isfahani dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an :


Riba adalah kelebihan (tambahan) pada harta pokok.

 Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-i’ al-Bayan :


Riba adalah kelebihan (atas pokok utang) yang diambil oleh kreditur (orang
yang memberikan utang) dari debitur (orang yang berutang) sebagai imbalan
atas masa pembayaran utang.

 Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba :


Riba (yang dimaksud dalam) al- Qur’an adalah riba (tambahan, bunga) yang
dipraktikkan oleh bank dan masyarakat; dan itu hukumnya haram, tanpa
keraguan.

 Yusuf al-Qardhawy dalam Fawa’id al-Bunuk :


Bunga bank adalah riba yang diharamkan.

 Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh :


Bunga bank adalah haram, haram, haram. Riba atau bunga bank adalah riba
nasi’ah, baik bunga tersebut rendah maupun berganda. (Hal itu) karena
kegiatan utama bank adalah memberikan utang (pinjaman) dan menerima
utang (pinjaman)… Bahaya (madharat) riba terwujud sempurna (terdapat
secara penuh) dalam bunga bank. Bunga bank hukumnya haram, haram,
haram, sebagaimana riba. Dosa (karena bertransaksi) bunga sama dengan dosa

14
riba; alasan lain bahwa bunga bank berstatus riba adalah firman Allah SWT
… Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu… (QS. Al-Baqarah [2]: 279)

d. Bunga uang atas pinjaman (qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang
diharamkan Allah SWT dalam Al- Quran, karena dalam riba tambahan hanya
dikenakan pada saat si peminjam (berhutang) tidak mampu mengembalikan pinjaman
pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam sistem bunga tambahan sudah langsung
dikenakan sejak terjadi transaksi.

3. Fatwa Ulama Internasional


a. Majma’ul Buhuts al-Islamiyyah di al-Azhar Mesir pada Mei 1965.
b. Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara- negara OKI yang diselenggarakan di Jeddah tgl 10-16
Rabi’ul Awal 1406
H/22-28 Desember 1985.
c. Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al- Islamy, Keputusan 6 Sidang IX yang
diselenggarakan di Makkah tanggal 12 – 19 Rajab 1406 H.
d. Keputusan Dar al-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979
e. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.

4. Fatwa Ulama Indonesia


a. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai
dengan syari’ah.
b. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang
menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi
sistem perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
c. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang
mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan sistem tanpa bunga.
d. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se- Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/
fa’idah), tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003.
e. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004; 28
Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004; dan 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari 2004. Dengan
memohon ridha Allah SWT,

MEMUTUSKAN

15
Menetapkan : FATWA TENTANG BUNGA (INTEREST / FA’IDAH)

Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba

1. Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang
(al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan
pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti
di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (‫ )بال عـــوض‬yang terjadi karena
penangguhan dalam pembayaran (‫ )زيادة األجل‬yang diperjanjikan sebelumnya, (ً ‫)اشتُ ِرطَ مقدما‬.
Dan inilah yang disebut riba nasi’ah.

Kedua : Hukum Bunga (Interest)

1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman
Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang
termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
2. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank,
Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun
dilakukan oleh individu.

Ketiga : Bermu’amalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional

1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah dan mudah
dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan
bunga.
2. Untuk wilayah yang belum ada kantor /jaringan Lembaga Keuangan Syariah,
diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional
berdasarkan prinsip dharurat/ hajat.

BAB V

16
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
Dari uraian makalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa riba merupakan
kegiatan eksploitasi dan tidak memakai konsep etika atau moralitas. Allah
mengharamkan transaksi yang mengandung unsur ribawi, hal ini disebabkan mendhalimi
orang lain dan adanya unsur ketidakadilan (unjustice). Para ulama sepakat dan
menyatakan dengan tegas tentang pelarangan riba, dalam hal ini mengacu pada
Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama'. Transaksi riba biasanya sering
terjadi dan ditemui dalam transaksi hutang piutang dan jual beli. Hutang piutang
merupakan transaksi yang rentan akan riba, di mana kreditor meminta tambahan kepada
debitur atas modala awal yang telah dipinjamkan sebelumnya.
Riba disamaartikan dengan rente yaitu pengambilan tambahan dari harta pokok
atau modal secara batil, karena sama-sama mengandung bunga (interest) uang, maka
hukumnya sama pula.
Sejak pra-Islam riba telah dikenal bahkan sering dilakukan dalam kegiatan
perekonomian sehari-hari. Pada masa Nabi Muhammad SAW riba mulai dilarang dengan
turunnya ayat-ayat al-Qur'an yang menyatakan larangan akan riba, ayat tersebut turun
sesuai dengan masa dan periode turunnya sayat sampai ada ayat yang melarangnya secara
tegas. Tetapi tidak hanya Islam saja yang melarang pengambilan riba, tetapi agama-
agama samawi juga melarang dan mengutuk pra pelaku riba.
Secara garis besar riba riba ada dua yaitu: riba akibat hutang piutang dan riba
akibat jual beli.
Kaum modernis memandang riba lebih menekankan kepada aspek moralitas,
bukan pada aspek legal formalnya, tetapi mereka (kaum modernis) tidak membolehkan
kegiatan pengambilan riba.
Islam mengharamkan riba selain telah tercantum secara tegas dalam al -Qur'an
surat al-Baqarah ayat 278-279 yang merupakan ayat terakhir tentang pengharaman riba,
juga mengandung unsur ksploitasi. Dalam surat al-baqarah disebutkan tidak boleh
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya, maksudnya adalah tidak boleh melipatgandakan
(ad'afan mudhaafan) uang yang telah dihutangkan, juga karena dalam kegiatannya
cenderung merugikan orang lain.

2. Saran
Sebaiknya jauhilah riba, karena riba merupakan perbuatan yang dapat merugikan
orang lain dan sudah dilarang oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan juga Hadits bahkan
sudah menjadi ketentuan yang dibuat oleh ulama internasional maupun ulama Indonesia
yang mengharamkan riba. Sebaiknya jika memang ingin mendapatkan harta yang
berlimpah maka rajinlah berzakat dan jauhi riba.
Daftar Pustaka

17
Abdul Hadi, Abu Sura'i. Bunga Bank dalam Islam. Surabaya: Al-Ukhlas. 1993.

Ash -Shawi, Shalah, dan Abdullah al-Muslih. Fikih Ekonomi Keuangan. Cetakan Pertama.
Jakarta: Darul Haq. 2004.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur'an dan terjemahan. Edisi Revisi.Semarang: PT.
Kumudasmoro Grafindo. 1994.

Lubis, Suhrawardi K. Hukum ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2004.

M. Antonio, Muhammad Syafi'i. Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan. Cetakan
Pertama. Jakarta: Tazkia Institute. 1999.

Muhammad. Manajemen bank Syariah.Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP
YKPN. 2002.

Muhammad dan R. Lukman Fauroni. Visi al-Qur'an tentang Etika dan Bisnis. Jakarta: Salemba
Diniyah. 2002.

Muhammad. Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press. 2001.

Maududi. Syaekh Abul A'la. Al. Berbicara tentang Bunga dan riba. Jakarta: Pustaka Qalami.
2003.

Perwaatmadja, Karnaen. Apakah Bunga sama dengan Riba?. Kertas Kerja Seminar Ekonomi
Islam. Jakarta : LPPBS. 1997.

Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest: a Study of the Prohibition of Riba and its
Contemporary Interpretation. Leiden ; New York ; Koln ; Brill. 1996.

https://www.cermati.com/artikel/bunga-kredit-jenis-dan-cara-perhitungannya/

https://www.hisbah.net/fatwa-mui-tentang-bunga-bank/

18
19

Anda mungkin juga menyukai