Bisnis Syariah 2
Bisnis Syariah 2
PENDAHULUAN
2. Identifikasi Masalah
a. Apa itu riba?
b. Apa saja jenis-jenis riba?
c. Bagaimana tahapan pengharaman riba?
d. Apa itu bunga?
e. Bagaimana sistem kerja bunga?
f. Apa hukum riba dengan bunga?
g. Bagaimana fatwa ulama Internasional tentang pengharaman bunga?
h. Bagaimana fatwa ulama Indonesia tentang pengharaman bunga?
1
BAB II
RIBA
1. Pengertian Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan
(azziyadah), berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat (al-irtifa').
Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno
menyatakan sebagai berikut arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan
riba terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu
ma a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu
berikan dengan cara berlebih dari apa yang diberikan).
Pengertian riba secara terminologis adalah mengambil tambahan dari pokok, baik
dalam jual beli maupun dalam pinjam meminjam yang disepakati kedua belah pihak pada
waktu akad atau serah terima.
Riba sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti
tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara', baik
dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak.
ًح ِم ْثال
ِ ض ِة َو ْالبُرُّ بِ ْالبُ ِّر َوال َّش ِع ْي ُر بِال َّش ِعي ِْر َوالتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر َو ْال ِم ْل ُح بِ ْال ِم ْل
َّ ِضةُ بِ ْالف َّ ِب َو ْالفِ َاَل َّذهَبُ بِال َّذه
ت ه ِذ ِه ْاألَصْ نَافُ فَبِ ْيعُوْ ا َك ْيفَ ِش ْئتُ ْم إِ َذا َكانَ يَدًا بِيَ ٍد ْ َاختَلَفْ بِ ِم ْث ٍل َس َوا ًء بِ َس َوا ٍء يَداً بِيَ ٍد فَإ ِ َذ.
Artinya : “(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam
dengan garam, ukurannya harus sama, dan harus dari tangan ke tangan
2
(dilakukan dengan kontan). Jika jenis - jenisnya tidak sama, maka
juallah sesuka kalian asalkan secara kontan”.
َاس فَاَل يَرْ بُو ِع ْن َد هَّللا ِ ۖ َو َما آتَ ْيتُ ْم ِم ْن زَ َكا ٍة تُ ِري ُدونَ َوجْ هَ هَّللا ِ فَأُو ٰلَئِك
ِ ََّو َما آتَ ْيتُ ْم ِم ْن ِربًا لِيَرْ ب َُو فِي أَ ْم َوا ِل الن
َهُ ُم ْال ُمضْ ِعفُون
Artinya : “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”.
Allah menyatakan secara nasihat bahwa Allah tidak menyenangi orang yang
melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah dengan
menjauhkan riba. Di sini, Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah
akan memberikan barakah-Nya dan melipat gandakan pahalaNya. Pada ayat
ini tidaklah menyatakan larangan dan belum mengharamkannya.
b. Tahap Kedua
Surat An-Nisa’ ayat 161-162, yang berbunyi :
3
Artinya : “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan
atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih”.
c. Tahap Ketiga
Surat Ali- Imran ayat 130, yang berbunyi :
َ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا ال ِّربَا أَضْ َعافًا ُم
َضا َعفَةً ۖ َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”.
Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas, tetapi melarang dalam bentuk
lipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah yang melarang
sesuatu yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman
jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah
biasa melakukan riba siap menerimanya.
4
d. Tahap Keempat
Surat Al-Baqarah ayat 275-279, yang berbunyi :
Artinya : “275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.
276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Turunnya surat al-Baqarah ayat 275-27 yang isinya tentang pelarangan riba
secara tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai
bentuknya, dan tidak dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba
telah melakukan kriminalisasi. Dalam ayat tersebut jika ditemukan melakukan
kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
5
BAB III
BUNGA
1. Pengertian Bunga
Bunga adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang yang
diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan pokok
tersebut berdasarkan tempo waktu yang diperhitungkan secara pasti di muka dan pada
umumnya berdasarkan persentase.
Ada beberapa pengertian lain dari bunga, diantaranya yaitu:
a. Sebagai batas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional
kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya.
b. Sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan
yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman).
c. Bunga adalah tambahan yang diberikan oleh bank atas simpanan atau yang di ambil
oleh bank atas hutang.
2. Macam – Macam Bunga
Dalam kegiatan perbankan sehari-hari ada 2 macam bunga yang diberikan kepada
nasabahnya yaitu:
a. Bunga Simpanan
Bunga simpanan adalah bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa
bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Bunga simpanan merupakan harga
yang harus dibayar bank kepada nasabahnya. Sebagai contoh jasa giro, bunga
tabungan dan bunga deposito.
b. Bunga Pinjaman
Bunga pinjaman adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam atau harga
yang harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai cotoh bunga kredit.
Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan
pendapatan bagi bank konvensional. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus
dikeluarkan kepada nasabah sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang
diterima dari nasabah. Baik bunga simpanan maupun bunga pinjaman masing-masing
saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sebagai contoh seandainya bunga simpanan
tinggi, maka secara otomatis bunga pinjaman juga terpengaruh ikut naik dan demikian
pula sebaliknya.
6
3. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
a. Penentuan Besaran
Perbedaan sistem pembagian keuntungan secara bunga dan bagi hasil yang paling
mencolok terlihat pada penentuan besaran. Bunga, seperti pengertiannya ditentukan
menggunakan bentuk presentase besaran kredit utang. Sedangkan bagi hasil
dintentukan menggunakan rasio atau perbadingan terhadap keuntungan usaha yang
dibiayai dari kredit tersebut.
b. Acuan Pembagian
Acuan yang dijadikan dasar penghitungan bunga dan bagi hasil juga berbeda.
Acuan besarnya bunga dipengaruhi oleh seberapa besar pokok hutang atau kredit
yang dikeluarkan. Sedangkan acuan bagi hasil yaitu menggunakan rasio seberapa
besar keuntungan yang dibiayai oleh kredit tersebut.
c. Besarnya Pendapatan dan Jumlah Pembayaran
Pada sistem bunga, pendapatan yang diperoleh bersifat statis yang dimana
walaupun perusahaan merugi, utang tetap memiliki bunga yang tetap serta jumlah
pembayarannya setiap periodenya juga tetap. Sedangkan dalam bagi hasil pendapatan
yang diperoleh akan bersifat dinamis menyesuaikan dengan keadaan usaha. Jika
usaha yang dilakukan mendapat keutungan besar maka bagi hasil pendapatnnya juga
besar, begitu pula sebaliknya. Oleh karenannya bank dengan sistem bagi hasil
cenderung hanya akan membiayai usaha dengan keuntungan yang diprediksi besar.
d. Eksistensi
Dalam hal ini biasanya perbedaan muncul penilaian didasari oleh suatu dasar.
Penerapan bagi keuntungan dengan sistem menggunakan bunga sangat diragukan
bahkan dikecam beberapa kalangan karena dirasa mengaplikasikan sistem riba.
Sedangan untuk sistem bagi hasil tidak ada yang meragukan keabsahannya.
Cicilan pokok:
Rp120.000.000 : 12 bulan = Rp10.000.000/bulan
7
Bunga:
(Rp120.000.000 x 10%) : 12 bulan = Rp1.000.000
Jadi, dari pinjaman tersebut setelah dihitung dengan cara hitung bunga flat, angsuran
yang harus Anda bayarkan hingga pinjaman tersebut lunas adalah Rp11.000.000 tiap
bulan. Nilai angsuran ini tidak akan berubah-ubah sebab bunga yang dikenakan
adalah jenis bunga flat.
Cicilan pokok:
Rp120.000.000 : 12 bulan = Rp10.000.000/bulan
Bunga bulan 1:
((Rp120.000.000 - ((1-1) x Rp10.000.000)) x 10% : 12 = Rp 1.000.000
Maka, cicilan bulan 1 = Rp10.000.000 + Rp1.000.000 = Rp11.000.000
Bunga bulan 2:
8
((Rp120.000.000 - ((2-1) x Rp10.000.000)) x 10% : 12 = Rp916.667
Maka, cicilan bulan 2 = Rp10.000.000 + Rp916.667 = Rp10.916.667
Bunga bulan 3:
((Rp120.000.000 - ((3-1) x Rp10.000.000)) x 10% : 12 = Rp833.333
Maka, cicilan bulan 3 = Rp10.000.000 + Rp833.333 = Rp10.833.333
Terlihat ada pengurangan nilai total angsuran dari bulan pertama, bulan kedua,
dan seterusnya. Ini karena penerapan bunga efektif yang membuat bunga semakin
kecil bergantung sisa pokok pinjaman. Untuk bulan-bulan berikut dengan contoh
kasus di atas, hasil penghitungan bunga akan semakin kecil dan total angsuran akan
semakin rendah.
c. Bunga Anuitas
Jika pada penerapan bunga efektif angsuran pokok didapatkan dari jumlah
pinjaman dibagi dengan tenor kredit, hal berbeda diaplikasikan di pinjaman yang
menerapkan bunga anuitas. Angsuran pokok didapatkan dari total angsuran yang
telah ditetapkan dikurangi dengan hasil penghitungan bunga anuitas.
Contoh : Budi mengajukan kredit KPR sebesar Rp120 juta dengan jangka waktu
kredit 12 bulan, dan dikenai bunga pinjaman sebesar 10% per tahun secara anuitas.
berapakah angsuran per bulan yang harus dibayar?
Data:
Pokok pinjaman: Rp120.000.000
Bunga per tahun: 10%
Tenor pinjaman: 12 bulan
Cicilan pokok:
= Rp10.549.906
Saat menghitung bunga anuitas, Anda perlu berkosentrasi dengan pokok pinjaman
yang terpakai pada bulan ini untuk menyisakan sisa pokok tabungan guna
9
menghitung bunga di bulan berikutnya. Dari sana terlihat, meskipun suku bunganya
sama dengan bunga efektif, dengan cara penghitungan bunga anuitas yang berbeda,
hasilnya pun akan lain.
BAB IV
BUNGA = RIBA
11
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan
zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang- orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya. Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah: 275-280).
Dari Jabir r.a., ia berkata: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan
(mengambil) riba, memberikan, menulis- kan, dan dua orang yang
menyaksikan- nya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR.
Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan datang kepada
umat manusia suatu masa di mana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang
siapa tidak memakan (mengambil)-nya, ia akan terkena debunya.” (HR. al-
Nasa’i).
12
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh
puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang
yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
Dari Abudullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh
puluh tiga pintu (cara, macam).” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan
(mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikan, dan orang yang
menuliskannya.” (HR. Ibn Majah).
c. Ijma’ ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar
(kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al- Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar
al- Fikr, t.th.], juz 9, h. 391).
Memperhatikan Pendapat para ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam
transaksi pinjaman (utang-piutang, al-qardh; al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi
kriteria riba yang diharamkan Allah SWT., seperti dikemukakan, antara lain, oleh :
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’:
Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama
mazhab Syafi’i) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan
oleh al-Qur’an, atas dua pandangan. Pertama, pengharaman tersebut bersifat
mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang
dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap ke-
mujmal-an al-Qur’an, baik riba naqd maupun riba nasi’ah. Kedua, bahwa
pengharaman riba dalam al-Qur’an sesung-guhnya hanya mencakup riba nasa’
yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta
(piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara
mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihak berutang tidak
membayarnya, ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa
pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo
berikutnya. Itulah maksud firman Allah: “… janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda…”. Kemudian sunnah menambahkan riba dalam
13
pertukaran mata uang (naqd) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-
Qur’an.
14
riba; alasan lain bahwa bunga bank berstatus riba adalah firman Allah SWT
… Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu… (QS. Al-Baqarah [2]: 279)
d. Bunga uang atas pinjaman (qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang
diharamkan Allah SWT dalam Al- Quran, karena dalam riba tambahan hanya
dikenakan pada saat si peminjam (berhutang) tidak mampu mengembalikan pinjaman
pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam sistem bunga tambahan sudah langsung
dikenakan sejak terjadi transaksi.
MEMUTUSKAN
15
Menetapkan : FATWA TENTANG BUNGA (INTEREST / FA’IDAH)
1. Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang
(al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan
pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti
di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan ( )بال عـــوضyang terjadi karena
penangguhan dalam pembayaran ( )زيادة األجلyang diperjanjikan sebelumnya, (ً )اشتُ ِرطَ مقدما.
Dan inilah yang disebut riba nasi’ah.
1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman
Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang
termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
2. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank,
Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun
dilakukan oleh individu.
1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah dan mudah
dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan
bunga.
2. Untuk wilayah yang belum ada kantor /jaringan Lembaga Keuangan Syariah,
diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional
berdasarkan prinsip dharurat/ hajat.
BAB V
16
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari uraian makalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa riba merupakan
kegiatan eksploitasi dan tidak memakai konsep etika atau moralitas. Allah
mengharamkan transaksi yang mengandung unsur ribawi, hal ini disebabkan mendhalimi
orang lain dan adanya unsur ketidakadilan (unjustice). Para ulama sepakat dan
menyatakan dengan tegas tentang pelarangan riba, dalam hal ini mengacu pada
Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama'. Transaksi riba biasanya sering
terjadi dan ditemui dalam transaksi hutang piutang dan jual beli. Hutang piutang
merupakan transaksi yang rentan akan riba, di mana kreditor meminta tambahan kepada
debitur atas modala awal yang telah dipinjamkan sebelumnya.
Riba disamaartikan dengan rente yaitu pengambilan tambahan dari harta pokok
atau modal secara batil, karena sama-sama mengandung bunga (interest) uang, maka
hukumnya sama pula.
Sejak pra-Islam riba telah dikenal bahkan sering dilakukan dalam kegiatan
perekonomian sehari-hari. Pada masa Nabi Muhammad SAW riba mulai dilarang dengan
turunnya ayat-ayat al-Qur'an yang menyatakan larangan akan riba, ayat tersebut turun
sesuai dengan masa dan periode turunnya sayat sampai ada ayat yang melarangnya secara
tegas. Tetapi tidak hanya Islam saja yang melarang pengambilan riba, tetapi agama-
agama samawi juga melarang dan mengutuk pra pelaku riba.
Secara garis besar riba riba ada dua yaitu: riba akibat hutang piutang dan riba
akibat jual beli.
Kaum modernis memandang riba lebih menekankan kepada aspek moralitas,
bukan pada aspek legal formalnya, tetapi mereka (kaum modernis) tidak membolehkan
kegiatan pengambilan riba.
Islam mengharamkan riba selain telah tercantum secara tegas dalam al -Qur'an
surat al-Baqarah ayat 278-279 yang merupakan ayat terakhir tentang pengharaman riba,
juga mengandung unsur ksploitasi. Dalam surat al-baqarah disebutkan tidak boleh
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya, maksudnya adalah tidak boleh melipatgandakan
(ad'afan mudhaafan) uang yang telah dihutangkan, juga karena dalam kegiatannya
cenderung merugikan orang lain.
2. Saran
Sebaiknya jauhilah riba, karena riba merupakan perbuatan yang dapat merugikan
orang lain dan sudah dilarang oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan juga Hadits bahkan
sudah menjadi ketentuan yang dibuat oleh ulama internasional maupun ulama Indonesia
yang mengharamkan riba. Sebaiknya jika memang ingin mendapatkan harta yang
berlimpah maka rajinlah berzakat dan jauhi riba.
Daftar Pustaka
17
Abdul Hadi, Abu Sura'i. Bunga Bank dalam Islam. Surabaya: Al-Ukhlas. 1993.
Ash -Shawi, Shalah, dan Abdullah al-Muslih. Fikih Ekonomi Keuangan. Cetakan Pertama.
Jakarta: Darul Haq. 2004.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur'an dan terjemahan. Edisi Revisi.Semarang: PT.
Kumudasmoro Grafindo. 1994.
M. Antonio, Muhammad Syafi'i. Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan. Cetakan
Pertama. Jakarta: Tazkia Institute. 1999.
Muhammad. Manajemen bank Syariah.Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP
YKPN. 2002.
Muhammad dan R. Lukman Fauroni. Visi al-Qur'an tentang Etika dan Bisnis. Jakarta: Salemba
Diniyah. 2002.
Muhammad. Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press. 2001.
Maududi. Syaekh Abul A'la. Al. Berbicara tentang Bunga dan riba. Jakarta: Pustaka Qalami.
2003.
Perwaatmadja, Karnaen. Apakah Bunga sama dengan Riba?. Kertas Kerja Seminar Ekonomi
Islam. Jakarta : LPPBS. 1997.
Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest: a Study of the Prohibition of Riba and its
Contemporary Interpretation. Leiden ; New York ; Koln ; Brill. 1996.
https://www.cermati.com/artikel/bunga-kredit-jenis-dan-cara-perhitungannya/
https://www.hisbah.net/fatwa-mui-tentang-bunga-bank/
18
19