Anda di halaman 1dari 15

Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Pasien Dengan

Fraktur (Emergensi)

OLEH:
PUTU PAMELA KENWA PRAWESTI
1002105081

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2015
Konsep Dasar Fraktur
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontunitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh ruda paksa (Sjamsuhidajat R.,1997).
Fraktur adalah patah tulang , biasanya disebabkan oleh trum atau tenaga fisik (Price an
Wilson 2006).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan tulang rawan (Mansjoer,dkk,2000).
Pengertian fraktur Femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), kelelahan
otot, kondisikondisi tertentu seperti degenerasi tulang/ osteoporosis.

2. Epidemiologi
Fraktur femur adalah salah satu jenis fraktur yang sering terjadi. Insiden fraktur femur di USA diperkirakan 1
orang setiap 10.000 penduduk setiap tahunnya.Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Unit Pelaksana
Teknis Terpadu Imunoendokrinologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 2006 di
Indonesia dari 1.690 kasus kecelakaan lalu lintas, 249 kasus atau 14,7% nya mengalami fraktur femur.

3. Etiologi
1) Cedera traumatic
a. Cedera lansung, adalah pukulan langsung pada tulang sehingga tulang patah secara
spontan.
b. Cedera tidak langsung yaitu pukulan benda jauh dari benturan , misalnya jatuh
dengan tangan menjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras dari otot yang kuat.
2) Fraktur patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses peyakit, dimana jika terjadi trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada keadaan :
a. Tumor tulang (jinak atau ganas)
b. Infeksi seperti osteomielitis
c. Rakhitis,suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh devisiensi vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain.
3) Secara spontan , disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

4. Klasifikasi
Klasifikasi Fraktur berdasarkan luas/garis fraktur:
1) Fraktur komplit
Bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua tulang.
2) Fraktur tidak komplit/incomplete
Bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang, misal:
a. Buckle fracture: terjadi pada lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang
spongiosa dibawahnya.
b. Green stick fracture: fraktur tidak sempurna dan sering terjadi pada anak-anak,
korteks tulang masih utuh begitu pula periosteum.
Berdasarkan posisi fragmen:
1) Fraktur undisplaced/tidak bergeser
Tulang patah, posisi pada tempatnya normal/garis patah komplit tetapi kedua fragmen
tidak bergeser, periosteum masih utuh.
2) Fraktur displaced/bergeser
Ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat patah dan terjadi pergeseran fragmen-
fragmen tulang.
Berdasarkan bentuk/jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif
Garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
2) Fraktur segmental
Garis patah lebih dari satu, tidak saling berhubungan karena tulang tertekan menjadi
beberapa bagian.
3) Fraktur multiple
Garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang, tempat yang berlainan.
Berdasarkan tempat
Misal: Fraktur femur, fraktur humerus, fraktur radius, ulna, tibia, fibula, vertebra dll.
Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
1) Fraktur transversal : Fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang
tulang.
2) Fraktur oblik : Fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang.
3) Fraktur spinal : Fraktur tulang yang melingkari tulang
4) Fraktur kompresi : Fraktur dimana 2 tulang menumbuk tulang ketiga yang berada
diantaranya.
5) Fraktur avulseFraktur yang memisahkan fragmen tulang pada tempat inverse tendon
ataupun ligament.
Berdasarkan hubungan tulang dengan dunia luar:
1) Fraktur tertutup (closed/simple fracture)Bila tidak ada hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar.
2) Fraktur terbuka (open/compound fracture)Karena terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan dikulit.Menurut R. Gustillo (2001),
Fraktur terbuka terbagi atas 3 derajad:
a. Derajad I
Luka < 1 cm. Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk. Fraktur
sederhana, tranversal, obliq atau komunitif ringan. Kontaminasi minimal
b. Derajat II
Laserasi > 1 cm. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse. Fraktur komunitif
sedang. Kontaminasi sedang
c. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi. Terbagi atas:
 Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat
kerusakan jaringan lunak.
 Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur yang tulang yang
terpapar/kontaminasi masif.
 Jaringan lunak yang menutupi fraktur yang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas/flap/avulsi/fraktur segmental atau sangat komunitif yang
disebabkan trauma berenergi tanpa melihat besar luasnya luka.
5. Manifestasi Klinis
a) Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya
perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti :
 Rotasi pemendekan tulang
 Penekanan tulang
b) Bengkak Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan
yang berdekatan dengan fraktur
c) Ekimosis dari perdarahan subculaneous
d) Spasme otot, spasme involunters dekat fraktur
e) Tenderness
f) Nyeri mungkin disebabkan oleh spame otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
g) Kehilangan sensani (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/ perdarahan).
h) Pergerakan abnormal
i) Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
j) Krepitasi

6. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang dengan cedera
ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita.
Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi,
laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta
adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila
terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di
mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat
kesadaran dengan skor GCS.
- Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor atau anisokor
serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis,
adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah
konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis,
exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
- Hidung : periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman,
apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi
dari suatu fraktur.
- Telinga : periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan atau hilangnya
pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani atau
adanya hemotimpanum
- Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
- Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
- Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah
tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/
tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak
(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi, edema,
ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak
harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot
tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan,
deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris
dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan,
cegah kerusakan otak sekunder.
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya
trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan
kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan
tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan
irama denyut jantung, (lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema subkutan,
nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi jantung
(murmur, gallop, friction rub)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan cedera
kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita
tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada).
- Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul
dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar,
ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma.
- Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan).
- Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,
splenomegali, defans muskuler, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila
ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL
(Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi
organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan
segera karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan
transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis menjadi
stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok,
yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol
perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema, atau
kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum
memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen
rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus
musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya
darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan
jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20
sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur.
Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun
jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit
dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan
Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk
frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa
sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang,
Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa untuk
memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi jangan
lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan
dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam
ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis
pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010).
Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus
diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari
periksa adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik
kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat pada
ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan
sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan
sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf
perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik
dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako
lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan
muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita.
Permasalahan yang muncul adalah:
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi syok
yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam keadaan
tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita mulai
sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan penderita
dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan
punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma,
ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra
periksa adanya deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat
dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan
kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine
board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur
servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas
kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher
sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada
trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran
penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan
kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan
ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau fraktur
kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau
hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam mengkoordinasi otot),
rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon sensori.

7. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan diagnostic
a) Sinar-X untuk mengevaluasi klien dengan kelainan muskuloskeletal, sinar-X tulang
menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, porosi dan perubahan hubungan tulang.
b) CT-scan untuk menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat
memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cidera ligamen atau tendon.
c) MRI adalah teknik pencitraan khusus, non invasif yang menggunakan medan magnet,
gelombang radio dan komputer untuk memperlihatkan abnormalitas jaringan lunak
seperti jaringan otot, tendon dan tulang rawan.
2) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin (biasanya rendah bila terjadi
pendarahan karena trauma) hitung sel darah putih. Ht mungkin meningkat
(Hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ
jauh pada multiple). Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respon stress normal
setelah trauma. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
multiple atau cedera hati
b) Pemeriksaan kimia darah
Kadar kalsium serum berubah pada oesteomalasea, tumor tulang metastase dan pada
immobilisasi lama dan creatinin kinase serta SGOT yang meningkat pada kerusakan
otot.

8. Komplikasi
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Syndrome kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasial
yang tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan
oksigen jaringan. Gejala utama dari sindrom kompartemen adalah rasa sakit yang
bertambah parah terutama pada pergerakan pasif dan nyeri tersebut tidak hilang oleh
narkotik. Tanda lain adalah terjadinya paralysis, dan berkurangnnya denyut nadi. 
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah
rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam. Serangan biasanya 2-3 hari setelah cedera.
d. Infeksi 
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu
yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s
Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.
2) Komplikasi Akhir / Lanjutan
a. Mal union yaitu proses penyembuhan tulang berjalan dengan normal tetapi bentuknya
abnormal.
b. Non union yaitu suatu kegagalan dalam penyembuhan tulang, walaupun sudah pada
waktunya ditandai dengan nyeri pada waktu digerakkan.
c. Delayed union yaitu proses penyembuhan tulang yang berjalan dalam waktu lama
dari proses penyembuhan tulang yang diperkirakan (lebih dari 4 bulan).
d. Kerusakan pembuluh darah seperti iskhemia.
e. Kerusakan saraf seperti kelumpuhan.
f. Infeksi tulang seperti osteomyelitis.
g. Kekakuan sendi seperti ankylosis

9. Penatalaksanaan
a. Pertolongan Darurat (emergency)
Fraktur biasanya menyertai trauma. Sangat penting utnuk melakukan pemeriksaan
terhadap jalan nafas (air way) proses pernafasan (Breathin) dan sirkulasi (circulation),
terjadi syok atau tidak. Jika tidak ada masalah lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Ingat golden period 1 – 6 jam pada waktu terjadi kecelakaan sampai pasien dibawa ke
RS. Bila lebih dari 6 jam komplikasi ini akan semakin besar. Kemudian lakukan foto
radiologis, pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih besar pada jaringan lunak selain memudahkan proses
pembuatan foto. (Mansjoer Arif, 2000 : 348)
b. Pengobatan
Tujuan pengobatan fraktur adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah tulang
supaya satu sama lain saling berdekatan, selain itu menjaga agar tulang tetap menempel
sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan memerlukan waktu minimal 4 minggu,
tetapi pada usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah sembuh,
tulang biasanya kuat dan kembali berfungsi (Corwin, 2010). Fraktur biasanya menyertai
trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas
(airway), proses pernafasan (breathing), dan sirkulasi (circulating), apakah terjadi syok
atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi , baru lakukan amnesis dan
pemeriksaan fisik  secara terperinci. Waktu terjadinya kecelakaan penting ditanyakan
untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam , bila
lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan amnesis dan pemeriksaan
fisis secara cepat , singkat dan lengkap. Kemudian, lakukan foto radiologis. Pemasangan
bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang
lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto (Mansjoer,
2000)
Prinsip-prinsip penanganan fraktur meliputi:
1. Reduksi fraktur
Reduksi fraktur (setting ulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka dapat
dilakukan untuk mereduksi fraktur. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan. Sebelum reduksi dan
imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur, harus
mendapatkan izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika yang diberikan sesuai
dengan ketentuan. Reduksi tertutup banyak dilakukan dengan cara mengembalikan
fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan). Traksi dapat
digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan
dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan
aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukkan kalus
pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat, dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan
imobilisasi. Reduksi terbuka diperlukan pada beberapa fraktur tertentu. Dengan
pendekatan pembedahan, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk
pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang terjadi.
Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau dipasang melalui fragmen tulang atau
langsung ke rongga sumsum tulang.
2. Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam
posisi dan kesejajaran yang benar sampai trjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
3. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai dengan kebutuhan. Status neurovaskuler
(misalnya: pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, dan gerakan) harus selalu
dipantau. Kegelisahan, ansietas, dan ketidaknyamanan harus selalu dikontrol dengan
berbagai pendekatan. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.
DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat R.1997. Buku Ajar Ilmu bedah. Edisi revisi. ECG:Jakarta

Price an Wilson.2006. Patofisiologi kosep klinis proses-proses penyakit.volume 2.Edisi 6


ECG:Jakarta

Mansjoer,dkk.2000. Kapita selekta kedokteran ,edisi 3. Medis Aesculapius: jakarta

Rahmasari I. Pengaruh range of motion (ROM) secara dini terhadap kemampuanactivity daily
living (ADL) pasien post operasi fraktur femur di RSUI Surakarta.Surakarta: Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah; 2008.

Anda mungkin juga menyukai