Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

“ DEPRESI“

NAMA KELOMPOK : 1. CLEMENTINE GLADYS SETIONO (G 701 17 054 )


2. ANISA SASKIA (G 701 17 144)
3. NURFITRIANI (G 701 17 059 )
4. FITRIYANI (G 701 17 036)
5.
KELOMPOK : VI (ENAM)

KELAS :D

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmatNya sehingga
dapat menyelesaikan karya tulis dengan topik ”DEPRESI”.

Penyusunan karya tulis ini mendapat bantuan dari berbagai pihak dan berbagai sumber yang tidak
dapat kami sebutkan satu persatu, untuk itu disampaikan ucapan terima kasih.

Harapan kami semoga karya tulis ini dapat menambah pengetahuan dan sebagai bahan pendidikan
terbaru dalam bidang Kedokteran Jiwa di FK-UNUD Denpasar. Karya tulis ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan karya tulis ini
sangat diharapkan.

Akhir kata semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan
dan pengetahuan Ilmu Kedokteran Jiwa.

PALU, 23 JANUARI 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................

KATA PENGANTAR .........................................................................................................

DAFTAR ISI ......................................................................................................................

DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................................

DAFTAR TABEL ................................................................................................................

DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................................

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................................

1.1. Latar Belakang ..............................................................................................................

1.2. Ruang Lingkup ...........................................................................................................

1.3. Tujuan ...................................................................................................................

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................

A. Definisi ..........................................................................................................................

B. Epidemiologi .................................................................................................................

C. Etiologi…………………….......................................................................................... ……..

D. Patofisiologi dan patogenesis …………………………………………….........................................

E Factor resiko……………………........................................................................................

F. Klasifikasi……………………..........................................................................................

G. Tanda/gejala…………………….........................................................................................

H. Diagnosa……………………..............................................................................................

I. Prognosis monitoring……………………...............................................................................

J. Tatalaksana Terapi…………………….....................................................................................

BAB III. RINGKASAN.. ..........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Setiap orang tentu akan menemukan kesulitan dan cobaan hidup. Mungkin dia tidak merasa
sedemikian berputus asa sehingga bunuh diri, tetapi dia mempunyai pengalaman depresi sewaktu-
waktu.Yang terkadang diaplikasikan atau dicurahkan dalam beberapa bentuk, dan tak jarang
membawa mereka kedalam pemikiran yang menyulitkan, dan lain sebagainya.

Biasanya semua orang tidak mengakui bahwa mereka telah terpelosok ke dalam kancah
penderitaan. Banyak dari mereka berpikir tentang tingkat-tingkat depresi yang mereka sebut
”perasaan sedih” atau seperti yang dilakukan oleh wanita dengan menangis. Tapi mereka sadar
bahwa sekali waktu kehidupan mereka tidak bahagia.Jelaslah ada perbedaan antara
ketidakbahagiaan dan penyakit mental. Bagaimanapun juga, bentuk depresi yang paling ringan akan
menumpulkan ketajaman kehidupan yang paling keras. Sehingga beberapa orang yang terjebak
dalam kesedihan ataupun ketidakbahagiaan lainnya, mengambil langkah berbahaya yang dapat
merugikan dirinya, yaitu dengan tindakan bunuh diri dan sebagainya.

Untuk itu makalah ini disusun sedemikian rupa guna membantu pembaca agar lebih mudah
memahami maksud dari depresi.Selain itu, agar dapat memberikan pengetahuan atau wawasan bagi
para pembaca.

Pada zaman modern ini, banyak manusia yang mengalami stress, kecemasan, dan
kegelisahan.Sayangnya, masih saja ada orang yang berpikir bahwa stress dan depresi bukan benar-
benar suatu penyakit.Padahal, dibandingkan AIDS yang menjadi momok saat ini, stres dan depresi
jauh lebih bertanggung jawab terhadap banyak kematian.Karena, kedua hal tersebut merupakan
sumber dari berbagai penyakit.

Stres dan depresi yang dibiarkan berlarut membebani pikiran dan dapat mengganggu
system kekebalan tubuh.Apabila kita berada dalam emosi yang negative seperti rasa sedih, benci, iri,
putus asa, kecemasan, dan kurang bersyukur dengan nikmat yang ada, maka system kekebalan kita
menjadi lemah.

Depresi merupakan salah satu masalah kesehatan mental utama saat ini, yang mendapat
perhatian serius. Dinegara-negara berkembang, WHO memprediksikan bahwa pada tahun 2020
nanti depresi akan menjadi salah satu penyakit mental yang banyak dialami dan depresi berat akan
menjadi penyebab kedua terbesar kematian setelah serangan jantung. Berdasarkan data WHO
tahun 1980, hampir 20%-30% dari pasien rumah sakit di Negara berkembang mengalami gangguan
mental emosional seperti depresi.
B. Ruang Lingkup
Makalah ini membahas tentang depresi secara general atau universal.Namun, sesuai dengan
literatur yang kami miliki maka makalah ini dibatasi oleh ruang lingkup bahasan yang meliputi
pengertian depresi dan tanda gejalanya serta ciri-ciri kepribadian penderita depresi.

C.Tujuan
Adapun tujuan yang inin dicapai dalam penulisan makalah ini antara lain:
1. Memahami tentang pengertian depresi;
2. Faktor penyebab depresi;
3. Memahami tentang gejala depresi;
4. Memahami tentang ciri-ciri kepribadian penderita depresi;
5. Membantu mengurangi timbulnya gejala depresi baik di lingkungan masyarakat maupun
pribadinya;
6. Cara menanggulangi depresi dalam diri;
7. Memperluas wawasan mengenai penyakit psikis, khusunya depresi, agar dapat digunakan
sebagai dasar pengetahuan untuk berpartisipasi dalam memberikan informasi bagi masyarakat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN

istilah depresi sudah begitu populer dalam masyarakat dan semua orang
mengetahuinya, termasuk orang yang awam dalam bidang kedokteran dan psikologi.
Akan tetapi, arti sebenarnya dari depresi itu sukar didefinisikan secara tepat. Istilah dan
kata yeng identik maknanya dengan depresi dalam bahasa Indoresia sehari-hari tidak ada,
"Sedih" tidak identik dengan depresi demikian juga dengan "putus asa", meski keduanya
merupakan gejala penting dari depresi. Orang awam menggunakan istilah depresi dengan
sangat bebas dan umum sehingga mengaburkan makna dari istilah itu sendiri.Ada yang
beranggapan bahwa depresi itu berarti suatu keadaan kesedihan dan ketidakbahagiaan.

Depresi adalan kata yang memiliki tanyak nuansa arti Sebagiar besar di antara
kita pernah merasa sedih atau jengkel, menjalani kehidupan yang penuh masalah, merasa
kecewa, kehilangan dan frustrasi, yang dengan mudah menimbulkan ketidakbahagiaan
dan keputusasaan. Namun, secara umum perasaan demikian itu cukup norman merupakan
reaksi sehat yang berlangsung cukup singkat dan mudah dihalau.

Kadang-kadang kita merasa putus asa tanpa alasan yang jelas atau suasana hati
kita yang tidak seimbang dengan keadaan lingkungan dan apa saja yang kita lakukan
tampaknya tidak dapat membuang perasaan itu Depresi biasanya terjadi saat stres yang
dialami oleh seseorang tidak kunjung reda, dan depresi yang dialami kerkorelasi dengan
kejadian dramatis yang baru saja terjadi atau menimpa seseorang, misalnya kematian
seseorang yang sangat dicintai atau kehilangan pekerjaan yang sangat dibanggakan
Depresi yang seperti ini merupakan penyakit yang memerlukan bantuan medis. Dengan
kata lain, depresi menjadi suata masalah bilamana ia timbul tanpa sebab yang jelas atau
bertahan lama sesudah stres yang menyebabkan timbulnya depresi hilang atau telah
diselasaikan. Misalnya ketika seseorang berada dalam kondisi berduka karena kehilangan
orang yang dicintai, maka hal tersebut merupakan kejadian wajar bıla terjadı
padaminggu-minggu pertama kehilangan tersebut, Tetapi keadaan ini disebut depresi jika
kesedihan yang mendalam tetap ada dalam jangka waktu yang lama, misalnya enambulan
setelah kehilangan orang yang dicintai.

Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah


masyarakat.Berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke fase
depresi Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang sendiri tanpa
pengobatan. Rathus (1901) menyatakan orang yang mengalami depresi umumnya
mengalami gangguan yang meliputi keadaan emosi, motivasi, fungsional, dan gerakan
tingkah laku serta kognisi Menurut Atkinson (1991) depresi sebagai suatu gangguan
mood yang dicirikan tak ada harapan dan patah hati, ketidakberdayaan yang berlebihan,
tak mampu mengambil keputusan memulai suatu kegiatan, tak mampu konsentrasi, tak
punya semangat hidup, melalu tegang, dan mencoba bunuh diri.

B. Epidemiologi

Ganguar mood merupakan gangguan mental yang paling umum dalam populasi
dewasa dengar beberapa bukti yang mengarah pada peningkatan prevalensinya.
Diproyeksikan bahwa pada tahun 2020, depresi mayor merupakan gangguan yang paling
banyak, juga dari segi beban pada kesejahteraan manusia yang paling besar Semertara itu,
bakti yang muncul menunjukkan bahwa gangguan bipolar mulai lebih sering terdapat
daripada yang diduga sebelumnya, dalam lingkup gangguan spektrum bipolar. Laporan
gangguan mood yang tersedia dari studi klinis tidak dapat mencerminkan data yang ada
di populasi, karena bias seleksi, yaitu indivicu yang datang mencari pengobatan.

Banyak studi epidemiologi mendapatkan prevalensi depresi unipolar bervariasi


antara 20-40%. Prevalensi sepanjang hidup dari komorbiditas depresi dar siklotimia
berkisar antara 1,5-2.5% pada populasi umum dewasa. Umur onset untuk depresi berkisar
antara 27,4 tahun (dari studi Epidemiologic Catciment Area/ ECA), 259 tahun (dari
Netherlands Mental Health Survey and Incidence Studv/ NEMESIS) hingga pertengahan
umur 30-an (dari studi International Consortium of Psychiatric Epidemiclogy). Prevalensi
menurut jenis kelamin sangat konsisten pada berbagau studi yaitu wanita dua kali
dibanding pria.Studi epidemiologi di antara orang yang menikah dan tidak menikah
menunjukkan bahwa angka depresi lebih tinggi diantara mereka yang tidak pernah
menikah atau sebelumnya pernah menikah dibandingkan dengan yang masih mempunyai
pasangan nikah.Korelasi antara perpisahan perceraian dengan depresi lebih tinggi pada
pria dibandingkan wanita. Dikatakan bahwa yang tidak pernah menikah berisiko untuk
mengalami depresi pada usia lanjut, sementata orang yang pernah menikah berisiko untuk
mengalami depresi sepanjang hidup. Walaupun masih diperlukan penelitian lebih lanjut
tentang hubungan etnis dan depresi, dari beberapa data didapatkan bahwa golongan etnis
minoritas mempunyai angka depresi yang tinggi.Korelasi antara atatus sosial ekonomi
dengan depresi didapatkan angka yang konsisten untuk peningkatan angka depresi pada
status sosial ekonomi yang rendah. Studi korelasi antara perduduk rural dan urban dengan
depresi mendapatkan hasil bervariasi, namun data terbanyak menunjukkan bahwa angka
depresi ebih sedikit di daerah rural dibardingkan urban dengan alasan yang belum jelas,
tetapi diduga karena angka kriminalitas, pemakaian zat terlarang, pengangguran dan stres
kehidupan yang lebih banyak. Komorbiditas psikiatri didapatkar pada 3 dari 4 individu
dewasa dengan depresi mayor lalam perjalanan hidup.

Penelitian epidemiologi untuk gangguan bipolar masih terbatas. Frevalensi


sepanjarg hidup dilaporkan antara 0,5-1,6% dari berbagai penelitian. Sedangkan
prevalensi spektrum gangguan bipolar diperkirakan 3-6% pada berbagai negara dan
kultur Onset ganggaun antara umur 18-44 tahun dan pada umumnya risiko menurun
setelah umur 50 tahun Nampaknya tidak terdapat perbedaan prevalensi menurut jenis
kelamin pada berbagai studi di berbagai negara dan berbagai kultur. Korelasi dengan
status sosial ekoroni, ras, etnis, status marital dan tempat tinggal rural-urban
mendapatkan hasil yarg bervariasi dan belum dapat disimpulkan. Komorbidias pada
gangguan bipolar menunjukkan hubungan yang sangat tinggi dengan berbagai gangguan
psikiatrik lain, bahkan gangguan bipolar murni tanpa komorbiditas sangat jarang. Ada
bukti yang kuat bahwa gangguan mood adalah familiar, walaupun tidak ada data hingga
kini menunjukkan gen tertentu yang bertanggung jawab untuk gangguan mood atau
depresi mayor.Individu dengan gangguan mood mempunyai risiko lebih tinggi untuk
bunuh diri.Banyak studi menunjukkan bahwa 90% cari korban bunuh diri mempunyai
gangguan psikiatrik saat melakukan bunuh diri.Kira-kira 60% dari semua bunuh diri yang
terjadi berkait dengan gangguan mood, baik itu percobaan (attempt) maupun berhas.l
(completion).

C. Etiologi

1. Faktor genetik Seseorang yang dalam keluarganya diketahui menderita depresi berat
memiliki resiko lebih besar menderita gangguan depresi daripada masyarakat pada
umumnya. Gen berpengaruh dalam terjadinya depresi, tetapi ada banyak gen di dalam
tubuh kita dan tidak ada seorangpun peneliti yang mengetahui secara pasti bagaimana
gen bekerja. Dan tidak ada bukti langsung bahwa ada penyakit depresi yang disebabkan
oleh faktor keturunan.

2. Susunan kimia otak dan tubuh Beberapa bahan kimia di dalam otak dan tubuh
memegang peranan yang besar dalam mengendalikan emosi kita. Pada orang yang
depresi ditemukan adanya perubahan dalam jumlah bahan kimia tersebut.Hormon
adenalin yang memegang peranan utama dalam mengendalikan otak dan aktivitas
tubuh, tampaknya berkurang pada mereka yang mengalami depresi.Pada wanita,
perubahan hormon dihubungkan dengan kelahiran anak dan menopause juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya depresi.

3. Faktor usia Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa golongan usia muda yaitu
remaja dan orang dewasa lebih banyak terkena depresi. Hal ini dapat terjadi karena pada
usia tersebut terdapat tahap-tahap serta tugas perkembangan yang penting, yaitu
peralihan dari masa anak-anak kemasa remaja, remaja ke dewasa, masa sekolah ke masa
kuliah atau bekerja, serta masa pubertas hingga ke pernikahan. Namun sekarang ini usia
rata-rata penderita depresi semakin menurun, yang menunjukkan bahwa remaja dan
anak-anak semakin banyak yang terkena depresi. Survei masyarakat terakhir
melaporkan adanya prevalensi yang tinggi dari gejala-gejala depresi pada golongan usia
dewasa muda yaitu 18- 44 tahun.

4. Gender Wanita dua kali lebih sering terdiagnosis menderita depresi daripada pria. Bukan
berarti wanita lebih mudah terserang depresi, bisa saja karena wanita lebih sering
mengakui adanya depresi daripada pria.Dan dokter lebih dapat mengenali depresi pada
wanita.Bagaimanapun, tekanan pada wanita yang mengarahkan pada depresi.Misalnya,
seorang diri dirumah dengan anak-anak kecil lebih jarang ditemui pada pria daripada
wanita.Ada juga perubahan hormonal dalam siklus menstruasi yang berhubungan
dengan kehamilan dan kelahiran dan juga menopause yang membuat wanita lebih
rentan menjadi depresi atau menjadi pemicu penyakit depresi.

5. Gaya hidup Banyak kebiasaan dan gaya hidup tidak sehat berdampak pada penyakit
misalnya penyakit jantung juga dapat memicu kecemasan dan depresi. Tingginya
tingkat stress dan kecemasan digabung dengan makanan yang tidak sehat dan kebiasaan
tidur serta tidak olahraga untuk jangka waktu yang lama dapat menjadi faktor beberapa
orang yang mengalami depresi penelitian menunjukkan bahwa kecemasan dan depresi
berhubungan dengan gaya hidup yang tidak sehat pada pasien berisiko penyakit jantung.
Gaya hidup yang tidak sehat misalnya tidur tidak teratur, makan tidak teratur, pengawet
dan pewarna buatan, kurang berolahraga, merokok, dan minum-minuman keras.

6. Penyakit fisik Penyakit fisik dapat menyebabkan depresi. Perasaan terkejut karena
mengetahui kita memiliki penyakit serius dapat mengarahkan pada hilangnya
kepercayaan diri dan penghargaan diri, juga depresi.Alasan terjadinya depresi cukup
kompleks.Misalnya, depresi sering terjadi setelah serangan jantung, mungkin karena
seseorang merasa mereka baru saja mengalami kejadian yang dapat menyebabkan
kematian atau karena mereka tiba-tiba menjadi orang yang tidak berdaya. Pada individu
lanjut usia, penyakit fisik adalah penyebab yang paling umum terjadinya depresi.

7. Obat-obatan Beberapa obat-obatan untuk pengobatan dapat menyebabkan depresi.


Namun bukan berarti obat tersebut menyebabkan depresi, dan menghentikan
pengobatan dapat lebih berbahaya daripada depresi.

8. Obat-obatan terlarang Marijuana/Ganja, Heroin/ Putauw, Kokain, Ekstasi dan Sabu-


sabu.

9. Sinar matahari Kebanyakan dari kita merasa lebih baik dibawah sinar matahari daripada
mendung, tetapi hal ini sangat berpengaruh pada beberapa individu. Mereka baik-baik
saja ketika musim panas tetapi menjadi depresi ketika musim dingin.Mereka disebut
menderita seasonal affective disorder (SAD).

10.Kepribadian Aspek-aspek kepribadian ikut pula mempengaruhi tinggi rendahnya


depresi yang dialami serta kerentanan terhadap depresi. Ada individu-individu yang
lebih negative, pesimis, juga tipe kepribadian.

D. Patofisiologi

D.1. Teori Biologi

Telah dipikirkan selama berabad-abad bahwa setidaknya beberapa bentuk


depresi disebabkan oleh atau dipelihara oleh gangguan fungsi otak, dan sejak tahun
1960-an, telah dimungkinkan untuk mempelajari proses neurobiologis tertentu
yang terkait dengan etiologi dan patogenesis gangguan mood. Beberapa penelitian
telah menginformasikan penelitian di bidang ini.Pertama, heritabilitas gangguan
suasana perasaan telah menyarankan bahwa dasar-dasar neurobiologi depresi
mungkin terkait dengan gen tertentu.Kedua, pemahaman yang lebih rinci tentang
neurobiologi respons stres telah menginformasikan model stresdiatesis interaktif
dari kerentanan. Ketiga, penemuan generasi pertama penatalaksanaan "somatik"
(yaitu, ECT dan antidepresan TCA dan MAOI) pada tahun 1940-an dan 1950-an
menunjukkan target neurobiologis yang berpotensi reversibel untuk intervensi.
Metodologi untuk mempelajari neurobiologi gangguan suasana perasaan telah
berkembang lebih canggih, penelitian yang menggunakan indikator tidak langsung
dari fungsi otak, seperti kadar metabolit monoamine atau kortisolurin, plasma, atau
CSF, sebagian besar telah digantikan oleh penelitian yang dipandu secara translasi
dari transkrip gen dan proteomik. Demikian juga, pengukuran kasar fungsi regional
otak , seperti rekaman potensi yang ditimbulkan atau pola aktivitas
electroencephalographic (EEG) saat bangun dan tidur, sebagian besar telah
memberikan cara untuk strategi neuroimaging yang memungkinkan aktivitas
daerah atau sirkuit saraf tertentu untuk diperiksa saat istirahat dan selama tantangan
provokatif.(Sadock, 2017)
Perubahan dalam aktivitas saraf dan dalam efisiensi pemrosesan informasi
dalam masing-masing dari sebelas daerah otak yang ditunjukkan di sini dapat
menyebabkan gejala episode depresi besar.Fungsionalitas di setiap wilayah otak
secara hipotesis dikaitkan dengan konstelasi gejala yang berbeda. PFC, korteks
prefrontal; BF, otak depan basal; S, striatum; NA, nucleus accumbens; T, talamus;
Hy, hipotalamus; A, amygdala; H, hippocampus; NT, pusat neurotransmitter
batang otak; SC, sumsum tulang belakang; C, serebelum.(Stahl,2013)(Sadock,
2017)

Gambar 4. Gejala depresi dan sirkuit di otak.(Stahl, 2013)(Sadock, 2017)

Tanda-tanda, gejala, dan pengalaman subjektif yang terkait dengan depresi


telah lama terkait disfungsi proses sistem saraf pusat dasar (SSP). Sehubungan
dengan fungsi kortikal, depresi melibatkan beberapa gangguan pemrosesan
informasi.Kebanyakan orang yang depresi secara otomatis menafsirkan
pengalaman dari perspektif negatif, dan aksesnya ke memori negatif.Keadaan
depresi yang lebih parah, kognisi dan keterampilan pemecahan masalah semakin
lengkapi dengan konsentrasi yang buruk dan menurunnya kemampuan untuk
menggunakan pemikiran abstrak.Sebuah monolog virtual pikiran dan gambar
negatif tampaknya berjalan dengan autopilot, dan, tidak seperti keadaan normal
kesedihan, ventilasi ke orang kepercayaan memiliki sedikit efek yang
menguntungkan.Pada kasus yang lebih ekstrim, delusi atau halusinasi, atau
keduanya, benar-benar mendistorsi pengujian realitas. Perubahan neurokognitif ini
menunjukkan disfungsi yang melibatkan hipokampus, korteksprefrontal(PFC),
amigdala dan struktur limbik lainnya.

Karakteristik depresi berdasarkan biologis lainnya melibatkan penurunan


minat dan hilangnya reaktivitas suasana hati: Aktivitas yang spontan, tujuan yang
disutradarai menurun, dan peristiwa yang seharusnya meningkatkan suasana
perasaan memiliki sedikit atau tidak berpengaruh sama sekali. Satu berkorelasi
kehilangan minat adalah penurunan arti penting penguatan.Bahkan fungsi dasar
seperti nafsu makandan libido berkurang dalam depresi berat. Anhedonia dan
penurunan titik perilaku nafsu makan untuk disfungsi sirkuit saraf yang terlibat
dalam antisipasi dan penyempurnaan penghargaan, yang melibatkan thalamus,
hipotalamus, nukleus akumbens, anterior cingulate, dan PFC.(Sadock, 2017)
(Marwick K. , 2013)

Tingkat depresi yang lebih berat dan persisten, termasuk yang


diklasifikasikan sebagai gangguan depresi mayor, berhubungan dengan gangguan
neurobiologis yang luas, yang pada gilirannya terkait dengan setidaknya beberapa
perbedaan yang diamati dalam presentasi klinis dan respons terhadap perawatan
khusus. Beberapa gangguan lebih baik dipahami sebagai sifat, yang mungkin
diwariskan atau diperoleh, sedangkan yang lain jelas tergantung pada tingkatan dan
dapat dipulihkan dengan pengobatan atau remisi spontan. Beberapa kelainan yang
bergantung pada tingkatan terkait dengan gangguan depresi mayor, yang terjadi
lebih sering pada pasien yang lebih tua dengan gejala yang lebih berat, termasuk
peningkatan tidur faseRapid Eye Movements (REM), pemeliharaan tidur yang
buruk, hiperkortisolisme, gangguan imunitas seluler, penurunan aliran darah otak
anterior dan metabolisme glukosa, dan peningkatan metabolisme glukosa di
amigdala. Bersama-sama, perubahan ini tampaknya mencerminkan efek progresif
dari respons jangka pendek adaptif terhadap stres berkelanjutan. Begitu
bermanifestasi dalam bentuk ini, episode depresi berat atau depresi melankolis
cenderung lebih lama, lebih melumpuhkan, lebih mudah kambuh, dan lebih
mungkin mendapat manfaat dari farmakoterapi atau ECT (vis-à-vis nonspesifik
atau intervensi psikoterapi).(Sadock, 2017)(Friedman, 2014)

Hipotesis di neurotropik dari tingkat depresi dinyatakan bahwa depresi


dapat disebabkan oleh turunnya sintesis protein yang terlibat dalam neurogenesis
dan plastisitas sinaptik.Salah satu mekanisme kandidat yang telah diusulkan
sebagai tempat kemungkinan cacat dalam transduksi sinyal dari reseptor
monoamina dalam depresi adalah gen target untuk faktor neurotropik yang
diturunkan dari otak (BDNF). Biasanya, BDNF menopang kelangsungan hidup
neuron otak, tetapi di bawah tekanan, gen untuk BDNF dapat ditekan. Stres dapat
menurunkan level 5HT dan dapat meningkat secara akut, kemudian secara kronis
berkurang, baik NE dan DA. Perubahan neurotransmiter monoamine bersama
dengan jumlah BDNF yang kurang dapat menyebabkan atrofi dan kemungkinan
apoptosis neuron yang rentan di hippocampus dan area otak lainnya seperti
prefrontal cortex.Konsep tentang atrofi hippocampal yang telah dilaporkan
berkaitan dengan stres kronis dan depresi mayor dan berbagai gangguan
kecemasan, terutama PTSD.Untungnya, beberapa kehilangan neuronal ini bisa
reversibel.Yaitu, pemulihan transduksi sinyal transduksi yang berhubungan dengan
monoamine oleh antidepresan dapat meningkatkan BDNF dan faktor trofik lainnya
dan berpotensi mengembalikan sinapsis yang hilang. Di beberapa area otak seperti
hippocampus, tidak hanya dapat sinaps berpotensi dipulihkan, tetapi ada
kemungkinan bahwa beberapa neuron yang hilang bahkan mungkin digantikan
oleh neurogenesis.(Stahl, 2013)

Neuron dari daerah hipokampus dan amygdala biasanya menekan aksis


hipotalamushipofisis-adrenal, jadi jika stres menyebabkan neuron hippokampus
dan amigdala menjadi atrofi, dengan hilangnya input penghambatan ke
hipotalamus, ini dapat menyebabkan untuk overaktivitas sumbu HPA. Pada
depresi, kelainan pada aksis HPA telah lama dilaporkan, termasuk peningkatan
kadar glukokortikoid dan ketidakpekaan sumbu HPA terhadap penghambatan
umpan balik. Beberapa bukti menunjukkan bahwa glukokortikoid pada tingkat
tinggi bahkan bisa menjadi racun bagi neuron dan berkontribusi pada atrofi mereka
di bawah tekanan kronis.Pengobatan antidepresan baru dalam pengujian yang
menargetkan reseptor corticotropin-releasing factor 1 (CRF-1), reseptor
vasopresin 1B, dan reseptor glukokortikoid, dalam upaya untuk menghentikan dan
bahkan membalikkan kelainan HPA ini pada depresi dan stres lainnya.terkait
penyakit kejiwaan.(Stahl, 2013).

Peningkatan aktivitas HPA adalah ciri respons stres mamalia dan salah satu
hubungan paling jelas antara depresi dan biologi stres kronis. Hiperkortisolemia
pada depresi menunjukkan satu atau lebih gangguan sentral berikut: penurunan
tonus 5-HT penghambatan; peningkatan drive dari NE, ACh, atau CRH; atau
penurunan inhibisi umpan balik dari hippocampus.

Bukti peningkatan aktivitas HPA terlihat pada 20 hingga 40 persen pasien


rawat jalan yang depresi dan 40 hingga 60 persen pasien rawat inap yang depresi.
Pasien yang lebih tua, terutama mereka dengan gangguan depresi yang sangat
berulang atau psikotik, adalah yang paling mungkin untuk menunjukkan
peningkatan aktivitas HPA.Meskipun hypercortisolism adalah salah satu korelasi
biologis terbaik dari melankolis atau depresi endogen, hampir tidak ada kelainan
spesifik. Misalnya, periode singkat kelaparan atau beberapa minggu kurang tidur
secara parsial dapat menyebabkan hiperkortisolisme pada orang yang sehat.
(Sadock, 2017)

Subkelompok pasien depresi yang lebih besar (20 hingga 30 persen)


menunjukkan respons TSH yang tumpul terhadap tantangan TRH.Jenis respons ini
biasanya menunjukkan hipertiroidisme, namun beberapa pasien depresi memiliki
peningkatan hormon tiroid yang signifikan secara klinis.Respons TSH yang tumpul
pada orang eutiroid dapat diakibatkan oleh penurunan regulasi hipofisis akibat
peningkatan TRH ―drive.‖ Karena neuron yang mengandung TRH telah
diidentifikasi dalam berbagai daerah kortikal, kelainan ini mungkin memiliki asal
suprahypothalamic.Peningkatan sekresi TRH sentral, pada gilirannya, dapat
dihasilkan dari respon homeostasis terhadap penurunan neurotransmisi
noradrenergik.Manfaat terapeutik terapi ajuvan dengan 1-triiodothyronine (T3)
atau hormon tiroid lainnya dapat dimediasi oleh peredam respon homeostasis yang
gagal ini.Kelainan ini mungkin paling umum pada individu yang memiliki
kemampuan untuk mengubah tiroksin menjadi T3.

Implikasi terapeutik utama dari respons TSH yang tumpul adalah bukti
peningkatan risiko kambuh meskipun terapi antidepresan preventif. Dari catatan,
tidak seperti tes penekanan deksametason (DST), respons TSH tumpul terhadap
TRH sering tidak menormalkan dengan pengobatan yang efektif.(Sadock, 2017)

D.2. Teori kognitif

Teori belajar telah lama menjadi cabang psikologi perilaku. Aaron Beck,
menemukan bahwa teori psikoanalitik tidak cukup menjelaskan mimpi pasien
depresi, mengembangkan teori depresi berdasarkan mendidik pasien tentang
pemikiran negatifnya, atau kognisi. Beck dan rekannya kemudian berhasil menguji
CBT, sebuah perawatan yang dibangun di atas teori ini, dalam uji klinis.Model
kognitif didasarkan pada pengakuan bahwa orang tidak objektif; sebaliknya,
persepsi idiosinkratik individu tentang peristiwa memengaruhi emosi dan
perilakunya. Individu yang depresi merasakan realitas dengan cara tertekan yang
subjektif. Pembahasan yang rumit tentang teori kognitif ada, dan penjelasan
kognitif telah diperpanjang dari asal depresif awal mereka ke berbagai
psikopatologi.Brad Alford dan Beck berpendapat bahwa teori kognitif memberikan
paradigma yang komprehensif dan koheren untuk psikopatologi.

Observasi awal Beck tentang depresi besar memiliki arti-penting dan


kesederhanaan yang patut diulang. Dia mencatat bahwa pasien yang depresi
cenderung memiliki pikiran miring dan negatif tentang :

1) diri mereka sendiri,

2) lingkungan mereka, dan

3) masa depan, suatu klaster yang ia disebut trias kognitif.


Teori kognitif telah mengeksplorasi bentuk serta isi karakteristik berpikir
pasien depresi.Tidak hanya kognisi yang condong ke negatif dan pesimis, tetapi
jenis distorsi tertentu terjadi. Orang yang depresi cenderung terlibat dalam "semua
atau tidak sama sekali," pemikiran dikotomi: Jika segala sesuatu tidak sepenuhnya
satu arah, maka mereka harus menjadi lawan. Individu yang depresi membuat
kesimpulan yang tidak berdasarkan akal sehat (negatif) tentang peristiwa, secara
selektif mendeskripsikan detail negatif di luar konteks, generalisasi berlebihan
(menyimpulkan aturan negatif dari satu kejadian), memperbesar (negatif) dan
meminimalkan (yang positif), dan mengambil peristiwa pribadi yang mungkin
tidak secara langsung tentang mereka.

Terapi kognitif, penatalaksanaan yang mengikuti dari pendekatan ini,


termasuk diskusi Socrates dan evaluasi pikiran pasien, menimbang bukti yang
mendukung dan bertentangan dengan pemikiran tersebut. Pasien secara aktif
menguji hipotesis berdasarkan pemikiran otomatis (―Saya akan gagal pada apa
pun yang saya lakukan‖) dengan mencoba berbagai perilaku yang dipilih sebagai
pekerjaan rumah. Ketika pasien belajar untuk mengenali sifat irasional dari
pemikiran depresif, dia dapat menantang dan bukan sekadar memercayainya dan
dapat mulai memadamkan pemikiran tersebut, menggantikan pemikiran irasional
otomatis dengan tanggapan rasional. Hasil penelitian berulang kali menunjukkan
bahwa pendekatan ini berkhasiat dalam mengobati gangguan mood dan sindrom
kejiwaan lainnya.(Sadock, 2017), (Friedman, 2014)

Memang, individu yang depresi sering melaporkan pemikiran negatif


tentang diri mereka sendiri: "Saya pecundang," "Semua yang saya lakukan salah,"
"Saya lemah dan rusak." Lingkungan tampak bermusuhan dan luar biasa: "Bahkan
jika saya merasa mampu— yang tidak saya lakukan — tidak mungkin saya bisa
mengatasi apa yang harus saya lakukan Teman-teman saya akan bereaksi buruk
jika saya mencoba berbicara‖; ―Dia akan menolak saya.‖ Akhirnya, bukan hanya
hal-hal yang terlihat suram di masa sekarang, tetapi tidak ada prospek yang
melegakan di masa depan: ―Tidak akan pernah menjadi lebih baik.‖ Ketiga aspek
dari perspektif negatif ini bertemu untuk menyediakan secara meyakinkan,
pandangan dunia yang suram dan putus asa. Pandangan ini membantu menjelaskan
mengapa pasien depresi tidak melihat jalan keluar dari kesengsaraan dan
memikirkan untuk bunuh diri.Model kognitif, yang dikembangkan oleh Aaron
Beck di University of Pennsylvania, berhipotesis bahwa berpikir sepanjang garis
negatif (misalnya, berpikir bahwa seseorang tidak berdaya, tidak layak, atau tidak
berguna) adalah ciri khas depresi klinis. Akibatnya, depresi didefinisikan ulang
dalam hal trias kognitif, yang menurut pasien menganggap diri mereka tidak
berdaya, menafsirkan sebagian besar peristiwa yang tidak menguntungkan vis-à-
vis the self, dan percaya masa depan menjadi putus asa. Dalam formulasi terbaru
dalam psikologi akademis, kognisi ini dikatakan dicirikan oleh gaya atribusi
negatif yang bersifat global, internal, dan stabil dan yang ada dalam bentuk skema
mental laten yang menghasilkan interpretasi bias dari peristiwa kehidupan. Karena
model kognitif didasarkan pada pengamatan retrospektif dari orang yang sudah
depresi, hampir tidak mungkin untuk membuktikan bahwa atribusi kausal seperti
skemata mental negatif mendahului dan, oleh karena itu, predisposisi untuk depresi
klinis; mereka dapat dengan mudah dianggap sebagai manifestasi subklinis depresi.
Kepentingan teoritis dari model kognitif terletak pada jembatan konseptual yang
disediakan antara model depresi egopsikologis dan perilaku. Hal ini juga
menyebabkan sistem psikoterapi baru dan diterima secara luas yang mencoba
untuk mengubah gaya atribusi negatif, untuk meringankan keadaan depresi, dan,
akhirnya, untuk membentengi pasien dari penyimpangan di masa depan menjadi
berpikir negatif, putus asa, dan depresi.(Sadock, 2017).(Friedman, 2014)
D.3. Teori interpersonal

Teori interpersonal berasal dari era setelah Perang Dunia II, ketika muncul
sebagai respons sesat terhadap penekanan psikoanalisis yang lebih intrapsikis.Teori
psikoanalitik menekankan pentingnya pengalaman hidup awal, dan banyak terapis
pada waktu itu melihat struktur psikis pasien sebagai dasarnya dibentuk pada akhir
masa remaja. Psikiater seperti Adolf Meyer, Harry Stack Sullivan, Erich Fromm,
dan Frieda Fromm-Reichmann menantang teori saat ini dengan menekankan
pengaruh dampak nyata dari peristiwa kehidupan saat ini pada psikopatologi pasien
mereka, yang berfokus pada pertemuan lingkungan dan interpersonal daripada
intrapsychic yang mendasarinya. drive dan struktur.

Sullivan menciptakan istilah "interpersonal" sebagai rubrik untuk


mempertimbangkan pengalaman hidup saat ini.Dia meneliti komunikasi di bidang
sosial, pandangan yang lebih "eksternal" daripada psikoanalisis tradisional.

Para peneliti mengembangkan sejumlah data terkait tentang masalah


interpersonal yang terkait dengan depresi. Sebagai contoh, penelitian menunjukkan
bahwa dukungan antarpribadi melindungi seseorang terhadap depresi: Memiliki
orang yang dapat dipercaya untuk berbicara mengurangi risiko mengembangkan
episode depresi. Pemicu utama kehidupan, termasuk kematian orang lain yang
signifikan, perjuangan dalam hubungan penting, dan pergolakan seperti perubahan
status perkawinan, perumahan, status pekerjaan, atau kesehatan fisik telah terbukti
meningkatkan risiko episode depresi pada individu yang rentan. Selain itu, onset
episode depresif menyebabkan kerusakan dalam hubungan dan fungsi sosial.

John Bowlby mendalilkan bahwa orang-orang memiliki dorongan insting


yang evolusioner untuk membentuk ikatan emosional.Bukti binatang sekarang
mendukung teori ini. Komponen dasar dari sifat manusia ini menjamin
kelangsungan hidup bayi: Anak-anak harus memiliki orang tua terdekat atau
tersedia untuk makan dan perlindungan. Ketika anakanak berkembang, mereka
mulai mengeksplorasi lingkungan mereka, secara bertahap bergerak keluar dari
"basis aman" dari sosok lampiran mereka. Gangguan dalam hubungan pengasuhan
awal ini dapat menyebabkan kerentanan gaya lampiran. Misalnya, kehilangan ibu
seseorang di dekade pertama kehidupan telah terbukti menjadi faktor risiko untuk
depresi berikutnya. Anak-anak dengan keterikatan masa kecil yang tidak aman
mungkin tidak belajar untuk meminta bantuan dari orang lain. Ketika individu
yang rentan menghadapi stressor atau merasa tidak adanya atau tidak memadainya
dukungan interpersonal selama masa stres, mereka mungkin tidak berdaya untuk
merespons secara efektif dan rentan untuk mengembangkan gejala. Lebih jauh lagi,
individu dengan gaya keterikatan yang tidak aman mungkin mengalami kesulitan
dalam mengembangkan hubungan yang nyaman di mana mereka dapat
mengandalkan dukungan pada saat dibutuhkan.(Sadock, 2017),(Friedman, 2014)

D.4. Teori Psikoanalitik

Fitur umum untuk banyak teori psikoanalitik depresi termasuk perasaan


kerentanan narsistik yang indah yang berasal dari berbagai sumber, termasuk
kehilangan awal atau pengalaman dengan orang tua dirasakan sebagai traumatis
unempathic, frustasi, atau menolak.Rasa tidak berdaya atau ketidakmampuan
dalam kaitannya dengan pengalamanpengalaman ini, disertai fantasi kerusakan
atau pengebirian, dapat berkontribusi pada kerentanan ini.Kerusakan yang
dihasilkan dalam regulasi self-esteem adalah umum untuk semua pasien yang
depresi, yang rentan terhadap citra diri yang tidak mudah dicintai, rusak, atau tidak
memadai.

Pasien depresi merasa bahwa mereka gagal memenuhi ambisi mereka atau
nilai moral mereka dalam ego ideal, mekanisme intrapsik yang memicu rasa
bersalah dalam depresi.Banyak psikoanalis yang berhipotesis bahwa agresi yang
diakibatkannya terhadap orangtua yang frustasi, atau terhadap diri sendiri sebagai
rusak, berkontribusi secara meyakinkan terhadap kecenderungan terhadap
depresi.Pada pasien yang depresi, agresi sebagian besar diarahkan sendiri.Rasa
bersalah (sadar atau tidak sadar) atau rasa malu secara teoretis dihasilkan dari
perasaan gagal yang dirasakan pasien, dengan perasaan diri yang berkurang.

Kesulitan dalam pengaturan harga diri berkontribusi pada representasi diri


menjadi "buruk" atau memalukan di luar kendali, memperparah masalah asli dalam
lingkaran setan.(Sadock, 2017)(Friedman, 2014)

• Respon terhadap kehilangan / Kemarahan ke Dalam

Pemahaman psikoanalitik klasik tentang depresi dinyatakan oleh Karl


Abraham, Freud, dan Sandor Rado dan menekankan reaksi pasien yang depresi
terhadap kehilangan objek, dalam kenyataan atau dalam fantasi.Dalam
formulasi-formulasi ini, respons yang sangat besar terhadap kehilangan
diyakini terjadi sebagian karena kerugian saat ini memicu kerugian
sebelumnya, kehilangan masa kanak-kanak, juga baik dari alam fantasi atau
realitas.Para penulis ini mencatat hubungan objek ambivalen atau bermusuhan
pasien yang lemah, bersama dengan lampiran objek yang ditandai oleh
ketergantungan berlebihan, ditandai dengan penekanan pada kebutuhan
kepuasan dalam hubungan emosional.Depresi besar hanya terjadi setelah ikatan
ke objek hancur. Dalam Mourning and Melancholia, Freud menyoroti cara di
mana pasien depresi secara irasional menyerang diri mereka sendiri. Dalam
formulasinya, ini terjadi karena aspek objek ambivalen menjadi terinternalisasi,
atau dimasukkan, ke dalam rasa diri pasien, dan permusuhan yang diarahkan ke
objek justru diarahkan pada diri. Keadaan ini berfungsi untuk mempertahankan
hubungan dengan orang lain (objek) dalam kenyataan.

• Merasa bersalah (Guilt)

Melanie Klein mendalilkan bahwa pasien yang depresi takut bahwa


mereka tidak dapat melindungi "yang lain" yang diidealkan, atau yang baik,
yang diinternalisasi dari kerusakan, impuls yang penuh kemarahan.Meskipun
menekankan sisi yang berbeda dari depresi mayor, pandangan ini bertepatan
dengan fokus Freud pada penghancuran ikatan objek pada depresi
mayor.Akibatnya, karakteristik pasien depresi yaitu rasa bersalah,
penghambatan, dan berkembangnya superego yang menghukum.Namun, tidak
semua depresi ditandai oleh rasa bersalah yang berlebihan, dan deskripsi Klein
hanya berlaku untuk subset pasien ini. Klein juga menyoroti bahaya bahwa
pasien yang depresi memprediksikan ―kemenangan‖ atas orang tua atau
saudara kandung melalui kesuksesan hidup apa pun: Keberhasilan dialami
sebagai penghinaan yang agresif terhadap orang yang dicintai atau sebagai
perusakan kepada orang lain. Klein berteori bahwa idealisasi dan devaluasi
adalah "pertahanan manik" melawan rasa bersalah dan rasa kehilangan yang
dialami dalam depresi.
• Penurunan dalam Regulasi Self-Esteem

Ciri umum pasien dengan depresi berat adalah hilangnya harga


diri.Namun kehilangan harga diri dapat terjadi tanpa adanya depresi.Edward
Bibring tidak setuju dengan formulasi Klein yang menekankan pentingnya
superego hukuman dan berpendapat bahwa konflik tentang agresi dan
kehilangan objek adalah penentu sekunder dalam depresi. Dia memandang
depresi sebagai akibat dari perasaan tidak berdaya, gangguan harga diri, dan
kemarahan yang diarahkan sendiri yang dipicu oleh kegagalan untuk hidup
sesuai dengan aspirasi narsistik dari setiap fase perkembangan.Brenner
menyatakan bahwa fantasi-fantasi ini disertai dengan agresi reaktif terhadap
orang-orang yang disalahkan atas pengaruh menyakitkan, dengan konsekuensi
rasa bersalah.Banyak psikoanalis kontemporer memperkuat model-model ini
dalam pemahaman mereka tentang depresi, sementara mengakui pentingnya
regulasi harga diri yang lemah. Edith Jacobson menekankan pengembangan
representasi diri dan objek pada pasien depresi.Dia mencatat kekecewaan
pasien depresi dengan angka orang tua, yang mengakibatkan devaluasi dan
degradasi citra mereka dan representasi diri, terutama ketika pemisahan yang
matang belum tercapai.

• Kekurangan dari Caregiver Awal

Psikoanalis telah memberikan pribadi, wajah intrapsikik ke pengamatan


epidemiologi terkenal tentang hubungan antara depresi orangtua (terutama ibu)
dan depresi berikutnya pada anak-anak.Hans Kohut menggambarkan depresi
terkait dengan pengalaman kekosongan mendalam pada pasien yang orang
tuanya tidak dapat berempati dengan pengalaman afektif awal
mereka.Begitulah yang terjadi, karena banyak orang tua dari pasien yang
depresi itu sendiri mengalami depresi. Pasien-pasien ini mendambakan
hubungan kompensasi (hubungan "selfobject", pengalaman mirroring, dan
hubungan idealisasi), membuat mereka rentan terhadap kekecewaan, karena
hubungan nyata tidak dapat memenuhi fantasi kompensasi ini.(Sadock, 2017)
(Friedman, 2014)
Gambar 5. Ringkasan pengobatan lini pertama untuk depresi (NICE Guidelines
2009).(Marwick K. , 2013)

Gangguan depresi mayor biasanya merupakan gangguan episode depresi


berulang daripada satu episode.Beberapa pilihan pengobatan tersedia untuk menangani
pasien dengan gangguan depresi mayor dan daftar perawatan terus berkembang.

Depresi adalah self-limiting, dan tanpa pengobatan episode depresi pertama


umumnya akan membaik dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun. Namun, jalannya
depresi sering kronis dan kambuh dan sekitar 80% pasien mengalami episode depresi
lebih lanjut, dengan risiko episode masa depan meningkat dengan setiap kekambuhan.
Depresi adalah salah satu faktor risiko paling penting pada kejadian bunuh diri; tingkat
bunuh diri lebih dari 20 kali lebih besar pada pasien dengan depresi dibandingkan
dengan mereka pada populasi umum.(Sadock, 2017),(Marwick K. , 2013).

E. Factor resiko (tamher,m dan NOOERKASIANI. 2009. KESEHATAN USIA


LANJUT DENGAN PENDEKATAN ASUHAN KEPERAWATAN.SALEMBA
MEDIKA. JAKARTA)

Factor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya depresi adalah sebagai berikut :
1. Kehilangan /meninggal orang (objek) atau yang dicintai
2. Sikap pesimistik
3. Kecenderungan berasumsi negative terhadap suatu pengalaman yang
mengecewakan.
4. Kehilangan integritas pribadi
5. Berpenyakit degenerative kronik, tanpa dukungan social yang adekuat.

F. Klasifikasi

KLASIFIKASI DEPRESI

Menurut DSM IV Gangguan depresi terbagi dalam 3 kategori (Wenar & Kerig, 2000), yaitu:
1. Gangguan depresi berat (Mayor depressive disorder). Mensyaratkan kehadiran 5 atau lebih
simptom depresi menurut kriteria DSM-IV selama 2 minggu. Kriteria terebut adalah:

a. Suasana perasaan depresif hampir sepanjang hari yang diakui sendiri oleh subjek ataupun
observasi orang lain. Pada anak-anak dan remaja perilaku yang biasa muncul adalah mudah
terpancing amarahnya.
b. Kehilangan interes atau perasaan senang yang sangat signifikan dalam menjalani sebagian
besar aktivitas sehari-hari.
c. Berat badan turun secara siginifkan tanpa ada progran diet atau justru ada kenaikan berat
badan yang drastis.
d. Insomnia atau hipersomnia berkelanjutan.
e. Agitasi atau retadasi psikomotorik.
f. Letih atau kehilangan energi.
g. Perasaan tak berharga atau perasaan bersalah yang eksesif.
h. Kemampuan berpikir atau konsentrasi yang menurun.
i. Pikiran-pikiran mengenai mati, bunuh diri, atau usaha bunuh diri yang muncul berulang kali.
j. Distres dan hendaya yang signifikan secara klinis.
k. Tidak berhubugan dengan belasungkawa karena kehilangan seseorang.
2. Gangguan distimik (Dysthymic disorder) Suatu bentuk depresi yang lebih kronis tanpa
ada bukti suatu episode depresi berat. Dahulu disebut depresi neurosis. Kriteria DSM-IV
untuk gangguan distimik:
a. Perasaan depresi seama beberapa hari, paling sedikit selama 2 tahun (atau 1 tahun
pada anak-anak dan remaja)
b. Selama depresi, paling tidak ada dua hal berikut yang hadir: tidak nafsu makan atau
makan berlebihan, insomnia atau hipersomnia, lemah atau keletihan, self esteem
rendah, daya konsentrasi rendah, atau sulit membuat keputusan, perasaan putus asa.
c. Selama 2 tahun atau lebih mengalami gangguan, orang itu tanpa gejala-gejala selama
2 bulan.
d. Tidak ada episode manik yang terjadi dan kriteria gangguan siklotimia tidak
ditemukan.
e. Gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh efek psikologis langsung darib kondisi obat
atau medis.
f. Signifikansi klinis distress (hendaya) atau ketidaksempurnaan dalam fungsi.

3. Gangguan afektif bipolar atau siklotimik (Bipolar affective illness or cyclothymic disorder).
Kriteria menurut DSM-IV:

a. Kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) sebuah sebuah episode depresi
berat atau lebih.
b. Kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) paling tidak satu episode
hipomania.
c. Tidak ada riwayat episode manik penuh atau episode campuran.
d. Gejala-gejala suasan perasaan bukan karena skizofrenia atau menjadi gejala yang
menutupi gangguan lain seprti skizofrenia.
e. Gejala-gejalanya tidak disebabkan oleh efek-efek fisiologis dari substansi tertentu atau
kondisi medis secara umum.
f. Distres atau hendaya dalam fungsi yang signifikan secara klinis.
Menurut PPDGJ klasifikasi depresi adalah sebagai berikut:

1. Episode depresifringanMinimal harus ada dua dari tiga gejala utama depresi seperti
criteria PPDGJ. Ditambah sekurang- kurangnya dua gejala sampingan (yang tidak boleh
ada gejala berat diantaranya)Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya
sekitar 2 minggu Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.
2. episode depresif sedang minimal harus ada dua dari 3 gejala utama
ditambah sekurang kurangnya 3 (dan sebaiknya empat) dari gejala lainnya
seluruh episode berlangsung minimal 2 minggu menghadapi kesulitan nyata untuk
meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga Tanpa gejala somatik
atau dengan gejala somatik.
3. episode depresif berat tanpa gejala psikotiksemua gejala utama harus adaditambah
minimal 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat .episode
depresi terjadi minimal 2 minggu, namun dibenarkan dalam kurung waktu yang lebih
singkat apabila gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.Sangat tidak mungkin
pasien untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, atau urusan rumah tangga kecuali
pada taraf yang sangat terbatas.
4. episode depresif berat dengan gejala psikotik memenuhi seluruh kriteria episode depresif
berat tanpa gejala psikotikdisertai waham, halusinasi, atau stupor depresif

G. TANDA DAN GEJALA

Sebelum mengenali gejala depresi, ada baiknya kita mengenal arti dari
gejala.Gejala adalah sekumpulan peristiwa, perilaku atau perasaan yang sering (namun
tidak selalu) muncul pada waktu yang bersamaan.Gejala depresi adalah kumpulan dari
perilaku dan perasaan yang secara spesifik dapat dikelompokkan sebagai depresi.

Individu yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala fisik, gejala
psikis, dan gejala sosial yang khas, seperti murung, sedih berkepanjangan, sensitif,
mudah marah dan tersinggung, hilang semangat kerja, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya konsentrasi, dan menurunnya daya tahan, seperti berikut ini.
1. Gejala Fisik
a. Kelakuan yang aneh pada waktu tidur
b. Kelesuan – apatis – omong kosong

c. Hilangnya nafsu makan

d. Kehilangan nafsu seks

e. Penyakit-penyakit fisik yang ringan

2. Gejala Psikis
a. Kehilangan rasa percaya diri

Orang yang mengalami depresi cenderung memandang segala sesuatu dari


sisi negatif, termasuk menilai diri sendiri. Mereka senang sekali membandingkan
antara dirinya dengan orang lain. Orang lain dinilai lebih sukses, pandai,
beruntung, kaya, lebih berpendidikan, lebih berpengalaman, lebih diperhatikan
oleh atasan, dan pikiran negatif lainnya.

b. Sensitif

Orang yang mengalami depresi senang sekali mengaitkan segala sesuatu


dengan dirinya.Perasaannya sensitif sekali, sehingga sering peristiwa yang netral
jadi dipandang dari sudut pandang yang berbeda oleh mereka, bahkan
disalahartikan. Akibatnya, mereka mudah tersinggung, mudah marah, perasa,
curiga akan maksud orang lain, mudah sedih, murung, lebih suka menyendiri.

c. Merasa diri tidak berguna

Perasaan ini muncul karena mereka merasa menjadi orang yang gagal
terutama di bidang atau lingkungan yang mereka kuasai.

d. Perasaan bersalah

Mereka memandang suatu kejadian yang menimpa dirinya sebagai suatu


hukuman atau akibat dari kegagalan mereka melaksanakan tanggung jawab yang
seharusnya dikerjakan. Banyak pula yang merasa dirinya menjadi beban bagi
orang lain dan menyalahkan diri mereka atas situasi tersebut.

e. Perasaan terbebani

Banyak orang yang menyalahkan orang lain atas kesusahan yang


dialaminya. Mereka merasa terbeban berat karena merasa terlalu dibebani
tanggung jawab yang berat.

3. Gejala Sosial
Masalah depresi yang berawal dari diri sendiri pada akhirnya
mempengaruhi lingkungan dan pekerjaan atau aktivitas rutin lainnya. Lingkungan
tentu akan bereaksi terhadap perilaku orang yang depresi tersebut yang pada
umumnya negatif. Problem sosial yang terjadi biasanya berkisar pada masalah
interaksi dengan rekan kerja, atasan, atau bawahan.Masalah ini tidak hanya
berbentuk konflik, namun masalah lainnya juga seperti perasaan minder, malu,
cemas jika berada di antara kelompok dan merasa tidak nyaman untuk
berkomunikasi secara normal.Mereka merasa tidak mampu untuk bersikap
terbuka dan secara aktif menjalin hubungan dengan lingkungan sekalipun ada
kesempatan.

H. Diagnosis

Depresi ditandai dengan gejala yang umumnya terbagi dalam dua kategori:
psikologis, dan somatik (atau fisik). Yang pertama dicirikan oleh kesedihan yang
terus-menerus, yang disebut "dysphoria," dan keadaan yang terus-menerus
kekurangan kenikmatan atau kesenangan biasa dalam kegiatan yang sebelumnya
menyenangkan, disebut "anhedonia."

Awalnya dikembangkan di Inggris dan sedang diselidiki di Universitas


Columbia di New York City, depresi atipikal mengacu pada kelelahan yang
ditumpangkan pada sejarah kecemasan dan fobia somatik, bersama dengan tanda
vegetatif terbalik (suasana yang lebih buruk di malam hari, insomnia,
kecenderungan untuk tidur nyenyak dan makan berlebihan).Pengalaman
menunjukkan bahwa tanda vegetatif terbalik lainnya meningkatkan minat dan /
atau hasrat seksual, meskipun tetap tidak terdeskripsikan dalam literatur ini.Tidur
terganggu pada paruh pertama malam pada banyak orang dengan gangguan depresi
atipikal, dan iritabilitas, hipersomnolen, dan kelelahan siang hari.Temperamen
pasien-pasien ini dicirikan oleh sifat-sifat yang sensitif. MAOI dan antidepresan
serotonergik tampaknya menunjukkan beberapa spesifisitas untuk pasien seperti
itu, yang merupakan alasan utama bahwa depresi atipikal dianggap serius.(Sadock,
2017)(Friedman, 2014)

Gambar 3. Dimensi Gejala Episode Depresi mayor(Stahl, 2013)(APA, 2013)

ICD-10 telah menetapkan pedoman diagnostik tertentu untuk mendiagnosis


episode depresif.Durasi minimum episode adalah 2 minggu dan setidaknya dua dari
tiga gejala depresi, kehilangan minat atau kesenangan dan peningkatan kelelahan
harus ada.Episode depresif dapatdinilai ringan, sedang atau berat tergantung pada
jumlah dan keparahan gejala.Episode depresi yang terjadi dengan halusinasi, delusi,
atau pingsan depresif selalu dikodekan sebagai 'parah dengan fitur psikotik.Episode
biasanya mulai selama periode prodromal berminggu-minggu sampai berbulan-
bulan. Pada DSM-5 diagnosis gangguan depresi utama membutuhkan salah satu dari
berikut: (1) suasana hati disforik atau (2) penurunan minat dalam kegiatan biasa.
Gejala seperti itu harus dipertahankan setidaknya selama 2 minggu, dan tidak dapat
dijelaskan dengan proses lain yang diketahui menyebabkan gejala depresi, seperti
berkabung normal, kondisi fisik tertentu yang umumnya terkait dengan depresi, atau
gangguan mental lainnya. Ini bisa menjadi satu episode atau, umumnya, berulang,
atau keduanya. Berdasarkan DSM-5, Gangguan depresi meliputi disruptive mood
dysregulation, gangguan depresi mayor, gangguan depresi persisten (distimia),
premenstual dysphoric disorder, substance/ medication-induce depressive disorder,
gangguan depresi yang berhubungan dengan kondisi medis lainnya, gangguan
depresi yang tidak spesifik, dan gangguan depresi yang tidak tergolongkan. Tidak
seperti DSM-IV, pada DSM-5, gangguan depresi sudah dipisahkan dengan gangguan
afektif bipolar.Gangguan utama pada penyakit ini adalah penampakan sedih saat ini,
kosong, atau mood yang iritabel, diikuti dengan perubahan somatik dan kognitif
secara signifikan mempengaruhi fungsi sehari-hari seseorang. Macam-macam
gangguan depresi pada DSM-5 ini kemudian dibedakan berdasarkan durasinya,
waktu atau etiologinyaKriteria Depresi menurut Diagnostic And Statistical Manual
OfMental Disorder, Fifth Edition(DSM-5),yang menggunakan istilah

Major Depressive Disorder (MDD) atau selanjutnya disebut Gangguan


Depresi Mayor (GDM) yaitu harus memenuhi kriteria :

A. Lima atau lebih dari gejala dibawah ini yang sudah ada bersama-sama selama 2
minggu dan memperlihatkan perubahan fungsi dari sebelumnya; minimal
terdapat 1 gejala dari (1) mood yang depresi atau (2) hilangnya minat.
Catatan : Jangan memasukkan gejala yang merupakan bagian dari gangguan kondisi
medis lainnya.

1. Mood depresi sepanjang hari, hampir setiap hari, yang ditunjukkan oleh baik
laporan subyektif (misalnya perasaan sedih, kosong, tidak ada harapan) atau
observasi orang lain (misalnya terlihat menangis). (Catatan : pada anak-anak
dan remaja, bisa mood yang iritabel).
2. Secara nyata terdapat penurunan minat atas seluruh rasa senang, aktifitas
harian, hampir setiap hari (yang ditandai oleh perasaan subyektif atau
objektif).
3. Kehilangan atau peningkatan berat badan yang nyata tanpa usaha khusus
(contoh : perubahan 5% atau lebih berat badan dalam 1 bulan terakhir), atau
penurunan dan peningkatan nafsu makan yang hampir terjadi setiap hari.
(catatan : Pada anak-anak, perhatikan kegagalan mencapai berat badan yang
diharapkan).
4. Sulit tidur atau tidur berlebih hampir setiap hari.

5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (teramati oleh orang lain,
bukan semata-mata perasaan gelisah atau perlambatan yang subyektif).
6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.

7. Perasaan tidak berguna atau rasa bersalah yang mencolok (bisa bersifat
waham) hampir setiap hari (bukan semata-mata menyalahkan diri atau rasa
bersalah karena menderita sakit).
8. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, atau penuh keragu-
raguan hampir setiap hari (baik sebagai hal yang dirasakan secara subyektif
atau teramati oleh orang lain).
9. Pikiran berulang tentang kematian (bukan sekedar takut mati), pikiran
berulang tentang ide bunuh diri dengan atau tanpa rencana yang jelas, atau
ada usaha bunuh diri atau rencana bunuh diri yang jelas.
B. Gejala-gejala ini secara klinis nyata menyebabkan distress atau hendaya dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting kehidupannya.
C. Episodenya tidak terkait dengan efek fisiologis zat atau kondisi medis lainnya.

Catatan : Kriteria A-C menggambarkan episode depresi.

Respon kehilangan yang bermakna (misalnya berduka, masalah financial, lolos


dari bencana, penyakit berat atau disabilitas) termasuk perasaan sedih yang berat,
pemikiran tentang kehilangan, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, dan penurunan
berat badan seperti yang terdapat di kriteri A, mungkin menyerupai depresi.
Walaupun gejala-gejala tersebut mungkin dapat dipahami atau dipertimbangkan
sebagai respon normal terhadap kehilangan yang bermakna, harus secara hati-hati
tetap dipertimbangkan. Keputusan ini tidak dapat dipungkiri membutuhkan
pelatihan keterampilan klinis berdasarkan riwayat hidup individu dan norma
budaya dalam menentukan distress akibat kehilangan.

D. Keberadaan episode depresi tidak dapat dijelaskan pada gangguan skizoafektif,


skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau spektrum skizofrenia lainnya
yang tidak spesifik.
E. Tidak pernah dijumpai episode manik atau hipomanik.

(APA, 2013)(Sadock, 2017)(Marwick K. , 2013)(Friedman, 2014)

I. MONITORING

Rencana monitoring terapi obat meliputi:


a. Monitoring efektivitas terapi.
Monitoring terapi obat pada gangguan depresif dilakukan dengan memantau tanda dan
gejala klinis.Apoteker perlu memperhatikan kepatuhan penderita dalam menggunakan
obat dan mengetahui alasan ketidakpatuhan penderita.Penderita dirujuk ke dokter
(psikiater) apabila menunjukkan gejala-gejala psikosis atau pikiran bunuh diri;
penderita tidak berespon terhadap satu atau dua pengobatan yang adekuat; atau gejala
memburuk.
b. Monitoring Reaksi Obat Tidak Dikehendaki (ROTD)
Meliputi efek samping obat, alergi dan interaksi obat. Pelaksanaan monitoring terapi
obat bagi penderita rawat jalan memiliki keterbatasan bila dibandingkan dengan
penderita rawat inap, antara lain kesulitan untuk mengikuti perkembangan penderita.
Metode yang digunakan antara lain adalah monitoring melalui telepon baik apoteker
yang menghubungi maupun sebaliknya, penderita melaporkan melalui telepon tentang
kejadian yang tidak diharapkan kepada apoteker. Khususnya dalam memonitor
terjadinya ROTD, perlu disampaikan ROTD yang potensial akan terjadi serta memiliki
signifikansi secara klinik dalam konseling kepada penderita. Selain itu
penderita/keluarga dihimbau untuk melaporkan kejadian yang dicurigai ROTD kepada
apoteker.Selanjutnya apoteker dapat menyusun rekomendasi terkait ROTD tersebut
untuk diteruskan kepada dokter yang bersangkutan.
c. Monitoring ketaatan

Untuk memastikan kalau penderita tidak responsif terhadap terapi, harus dipastikan
dahulu apakah penderita :

 Taat
 Mendapatkan dosis yang cukup untuk periode yang cukup
 Bila minum antidepresan trisiklik, sebaiknya diperiksa kadar obat dalam serum,
terutama pada lanjut usia, dan penderita yang minum obat lain yang dapat merubah
farmakokinetik TCA

J.  Prognosis
Beberapa pasien, MDD dapat menjadi kronis, penyakit yang berulang. Relaps terjadi  pada
enam bulan pertama dari masa penyembuhan terjadi pada 25% pasien, 58% akan relaps
setelah lima tahun, dan 85% akan relaps setelah 15 tahun setelah penyembuhan yang
terdahulu ( Halverson J, 2016 ). individu yang mengalami dua episode depresi terdahulu
memiliki 70 % kemungkinan untuk menjadi ke tiga kalinya, dan yang sudah mengalami
episode ke tiga memiliki kemungkinan 90% untuk relaps. Berdasarkan prodres dari
penyakitnya, interval antara episode depresi menjadi lebih pendek dan lebih berat untuk
setiap episodenya menjadi lebih luas. lebih dari 20 tahun, kekambuhan terjadi sekitar lima
sampai enam. proporsi yang signinifikan dari individu dengan depresi kronis meunjukkan
gejala yang  bervariasi. sekitar dua per tiga dari pasien dengan episode depresi mayor akan
sembuh dengan sempurna, dimana satu per tiga pasien dengan depresi hanya sembuh
sementara atau menjadi kronis .
pada penelitian, pasien dengan satu tahun terdiagnosis post MDD,dan 40 % mengalami
penyembuhan tanpa ada gejala depresi, 2$% mengalami gejala berulang tetapi tidak
memenuhi kriteria MDD, dan 40% tetap menjadi menalami episode depresi mayor. individu
dengan gejala depresi residual yang menetap memiliki resiko tinggi untuk kambuh, bunuh
diri, fungsi psikososial yang buruk, dan tingkat mortalitas yang tinggi dari kondisi medis
lainnya.sebagai tambahan, 5-10% individu depresi yang memiliki pengalaman dari episode
depresi mayor akan sangat memungkinkan terjadinya manic atau episode campuran yang
mengindikasikan kepada gangguan bipolar. Beberapa penemuan sudah di-okuskan kepada
indikator prognosis yang dapat memprediksikan kemungkinan nilai dalam penyembuhan
dan kemungkinan dalam tingkat kekambuhan pada indi"idu dengan depresi ( Halverson J,
2016 ).

K.Terapi

a.terapi faramkologi
Penggolongan Antidepresan
1. Antidepresan Klasik (Trisiklik & Tetrasiklik)
Mekanisme kerja : Obat–obat ini menghambat resorpsi dari serotonin dan noradrenalin dari sela
sinaps di ujung-ujung saraf.
Efek samping :
 Efek jantung ; dapat menimbulkan gangguan penerusan impuls jantung dengan
perubahan ECG, pada overdosis dapat terjadi aritmia berbahaya.

 Efek anti kolinergik ; akibat blokade reseptor muskarin dengan menimbulkan antara lain
mulut kering, obstipasi, retensi urin, tachycardia, serta gangguan potensi dan akomodasi,
keringat berlebihan.

 Sedasi

 Hipotensi ortostatis dan pusing serta mudah jatuh merupakan akibat efek
antinoradrenalin, hal ini sering terjadi pada penderita lansia, mengakibatkan gangguan
fungsi seksual.

 Efek antiserotonin; akibat blokade reseptor 5HT postsinaptis dengan bertambahnya nafsu
makan dan berat badan.

 Kelainan darah; seperti agranulactose dan leucopenia, gangguan kulit

 Gejala penarikan; pada penghentian terapi dengan mendadak dapat timbul antara lain
gangguan lambung-usus, agitasi, sukar tidur, serta nyeri kepala dan otot.
Obat-obat yang termasuk antidepresan klasik :
a. Imipramin

Dosis lazim : 25-50 mg 3x sehari bila perlu dinaikkan sampai maksimum 250-300 mg sehari.
Kontra Indikasi : Infark miokard akut
Interaksi Obat : anti hipertensi, obat simpatomimetik, alkohol, obat penekan SSP
Perhatian :kombinasi dengan MAO, gangguan kardiovaskular, hipotensi, gangguan untuk
mengemudi, ibu hamil dan menyusui.
b. Klomipramin
Dosis lazim : 10 mg dapat ditingkatkan sampai dengan maksimum dosis 250 mg sehari.
Kontra Indikasi : Infark miokard, pemberian bersamaan dengan MAO, gagal jantung,
kerusakan hati yang berat, glaukoma sudut sempit.
Interaksi Obat : dapat menurunkan efek antihipertensi penghambat neuro adrenergik, dapat
meningkatkan efek kardiovaskular dari noradrenalin atau adrenalin, meningkatkan aktivitas dari
obat penekan SSP, alkohol.
Perhatian :terapi bersama dengan preparat tiroid, konstipasi kronik, kombinasi dengan beberapa
obat antihipertensi, simpatomimetik, penekan SSP, anti kolinergik, penghambat reseptor
serotonin selektif, antikoagulan, simetidin. Monitoring hitung darah dan fungsi hati, gangguan
untuk mengemudi.
c. Amitriptilin
Dosis lazim : 25 mg dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis maksimum 150-300 mg sehari.
Kontra Indikasi : penderita koma, diskrasia darah, gangguan depresif sumsum tulang,
kerusakan hati, penggunaan bersama dengan MAO.
Interaksi Obat : bersama guanetidin meniadakan efek antihipertensi, bersama depresan SSP
seperti alkohol, barbiturate, hipnotik atau analgetik opiate mempotensiasi efek gangguan depresif
SSP termasuk gangguan depresif saluran napas, bersama reserpin meniadakan efek
antihipertensi.
Perhatian :ganguan kardiovaskular, kanker payudara, fungsi ginjal menurun, glakuoma,
kecenderungan untuk bunuh diri, kehamilan, menyusui, epilepsi.
d. Lithium karbonat
Dosis lazim : 400-1200 mg dosis tunggal pada pagi hari atau sebelum tidur malam.
Kontra Indikasi : kehamilan, laktasi, gagal ginjal, hati dan jantung.
Interaksi Obat : diuretik, steroid, psikotropik, AINS, diazepam, metildopa, tetrasiklin, fenitoin,
carbamazepin, indometasin.
Perhatian : Monitor asupan diet dan cairan, penyakit infeksi, demam, influenza, gastroentritis.

2. Antidepresan Generasi ke-2


Mekanisme kerja :
SSRI ( Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor ) : Obat-obat ini menghambat resorpsi
dari serotonin.
NaSA ( Noradrenalin and Serotonin Antidepressants ): Obat-obat ini tidak berkhasiat
selektif, menghambat re-uptake dari serotonin dan noradrenalin. Terdapat beberapa indikasi
bahwa obat-obat ini lebih efektif daripada SSRI.
Efek samping :
Efek seretogenik; berupa mual ,muntah, malaise umum, nyeri kepala, gangguan tidur dan
nervositas, agitasi atau kegelisahan yang sementara, disfungsi seksual dengan ejakulasi dan
orgasme terlambat.

Sindroma serotonin; berupa antara lain kegelisahan, demam, dan menggigil, konvulsi,
dan kekakuan hebat, tremor, diare, gangguan koordinasi. Kebanyakan terjadi pada penggunaan
kombinasi obat-obat generasi ke-2 bersama obat-obat klasik, MAO, litium atau triptofan,
lazimnya dalam waktu beberapa jam sampai 2-3 minggu. Gejala ini dilawan dengan antagonis
serotonin (metisergida, propanolol).

Efek antikolinergik, antiadrenergik, dan efek jantung sangat kurang atau sama sekali
tidak ada.

Obat-obat yang termasuk antidepresan generasi ke-2 :


a. Fluoxetin

Dosis lazim : 20 mg sehari pada pagi hari, maksimum 80 mg/hari dalam dosis tunggal atau
terbagi.
Kontra Indikasi : hipersensitif terhadap fluoxetin, gagal ginjal yang berat, penggunaan bersama
MAO.
Interaksi Obat : MAO, Lithium, obat yang merangsang aktivitas SSP, anti depresan, triptofan,
karbamazepin, obat yang terkait dengan protein plasma.
Perhatian : penderita epilepsi yang terkendali, penderita kerusakan hati dan ginjal, gagal
jantung, jangan mengemudi / menjalankan mesin.
b. Sertralin
Dosis lazim : 50 mg/hari bila perlu dinaikkan maksimum 200 mg/hr.
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap sertralin.
Interaksi Obat : MAO, Alkohol, Lithium, obat seretogenik.
Perhatian : pada gangguan hati, terapi elektrokonvulsi, hamil, menyusui, mengurangi
kemampuan mengemudi dan mengoperasikan mesin.
Citalopram
Dosis lazim : 20 mg/hari, maksimum 60 mg /hari.
Kontra indikasi : hipersensitif terhadap obat ini.
Interaksi Obat : MAO, sumatripan, simetidin.
Perhatian : kehamilan, menyusui, gangguan mania, kecenderungan bunuh diri.
c. Fluvoxamine

Dosis lazim : 50mg dapat diberikan 1x/hari sebaiknya pada malam hari, maksimum dosis 300
mg.
Interaksi Obat : warfarin, fenitoin, teofilin, propanolol, litium.
Perhatian : Tidak untuk digunakan dalam 2 minggu penghentian terapi MAO, insufiensi hati,
tidak direkomendasikan untuk anak dan epilepsi, hamil dan laktasi.
d. Mianserin
Dosis lazim : 30-40 mg malam hari, dosis maksimum 90 mg/ hari
Kontra Indikasi : mania, gangguan fungsi hati.
Interaksi Obat : mempotensiasi aksi depresan SSP, tidak boleh diberikan dengan atau dalam 2
minggu penghentian terapi.
Perhatian :dapat menganggu psikomotor selama hari pertama terapi, diabetes, insufiensi hati,
ginjal, jantung.
e. Mirtazapin
Dosis lazim : 15-45 mg / hari menjelang tidur.
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap mitrazapin.
Interaksi Obat : dapat memperkuat aksi pengurangan SSP dari alkohol, memperkuat efek
sedatif dari benzodiazepine, MAO.
Perhatian : pada epilepsi sindroma otak organic, insufiensi hati, ginjal, jantung, tekanan darah
rendah, penderita skizofrenia atau gangguan psikotik lain, penghentian terapi secara mendadak,
lansia, hamil, laktasi, mengganggu kemampuan mengemudi atau menjalankan mesin.
f. Venlafaxine
Dosis lazim : 75 mg/hari bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 150-250 mg 1x/hari.
Kontra Indikasi : penggunaan bersama MAO, hamil dan laktasi, anak < 18 tahun.
Interaksi Obat : MAO, obat yang mengaktivasi SSP lain.
Perhatian :riwayat kejang dan penyalahgunaan obat, gangguan ginjal atau sirosis hati, penyakit
jantung tidak stabil, monitor tekanan darah jika penderita mendapat dosis harian > 200 mg.
3. Antidepresan MAO.
Inhibitor Monoamin Oksidase (Monoamine Oxidase Inhibitor, MAOI)
Farmakologi
Monoamin oksidase merupakan suatu sistem enzim kompleks yang terdistribusi luas
dalam tubuh, berperan dalam dekomposisi amin biogenik, seperti norepinefrin,
epinefrin, dopamine, serotonin.MAOI menghambat sistem enzim ini, sehingga
menyebabkan peningkatan konsentrasi amin endogen.Ada dua tipe MAO yang telah
teridentifikasi, yaitu MAO-A dan MAO-B.Kedua enzim ini memiliki substrat yang
berbeda serta perbedaan dalam sensitivitas terhadap inhibitor.MAO-A cenderungan
memiliki aktivitas deaminasi epinefrin, norepinefrin, dan serotonin, sedangkan MAO-B
memetabolisme benzilamin dan fenetilamin.Dopamin dan tiramin dimetabolisme oleh
kedua isoenzim.Pada jaringan syaraf, sistem enzim ini mengatur dekomposisi metabolik
katekolamin dan serotonin.MAOI hepatic menginaktivasi monoamin yang bersirkulasi
atau yang masuk melalui saluran cerna ke dalam sirkulasi portal (misalnya
tiramin).Semua MAOI nonselektif yang digunakan sebagai antidepresan merupakan
inhibitor ireversibel, sehingga dibutuhkan sampai 2 minggu untuk mengembalikan
metabolisme amin normal setelah penghentian obat. Hasil studi juga mengindikasikan
bahwa terapi MAOI kronik menyebabkan penurunan jumlah reseptor (down regulation)
adrenergik dan serotoninergik.

Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi yang dapat menurunkan depresi pada lansia untuk tetap
awet muda dan yang muda tetap muda, serta mempererat hubungan antara anggota
keluarga. (prof Dr. Lucille Name how, pakar yang menangani masalah penuaan
Connecticut, Amerika Serikat). Salah satunya terapi non farmakologis yang dapat
mencegah dan mengatasi depresi pada lansia adalah psikodinamik, psikoterapi
interpersonal, terapi kognitif beck, terapi perilaku, terapi humanistik ekstistensial dan
terapi tertawa (Laughter therapy) Kaplan (2010) dan Setyoadi (2011).

Terapi tertawa merupakan tertawa yang dimulai dengan tahap demi tahap. Sehingga efek
yang dirasakan bagi yang tertawa benar benar bermanfaat. Terapi tertawa untuk
mengurangi stress sudah banyak dilakukan orang. Tertawa 5-10 menit bisa merangsang
pengeluaran endhorphin dan serotonin, yaitu sejenis morfin alami tubuh dan juga
melatonin. Ketiga zat ini merupakan zat baik untuk otak sehingga kita bisa merasa lebih
tenang. Terapi tertawa merupakan teknik yang mudah dilakukan, tetapi efeknya sangat
luar biasa, bahkan dapat menyembuhkan pasien dengan gangguan mental akibat stress
berat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Depresi adalan kata yang memiliki tanyak nuansa arti Sebagiar besar di
antara kita pernah merasa sedih atau jengkel, menjalani kehidupan yang penuh masalah,
merasa kecewa, kehilangan dan frustrasi, yang dengan mudah menimbulkan
ketidakbahagiaan dan keputusasaan. Namun, secara umum perasaan demikian itu cukup
norman merupakan reaksi sehat yang berlangsung cukup singkat dan mudah dihalau.

Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah


masyarakat.Berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke fase
depresi Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang sendiri tanpa
pengobatan. Rathus (1901) menyatakan orang yang mengalami depresi umumnya
mengalami gangguan yang meliputi keadaan emosi, motivasi, fungsional, dan gerakan
tingkah laku serta kognisi Menurut Atkinson (1991) depresi sebagai suatu gangguan
mood yang dicirikan tak ada harapan dan patah hati, ketidakberdayaan yang berlebihan,
tak mampu mengambil keputusan memulai suatu kegiatan, tak mampu konsentrasi, tak
punya semangat hidup, melalu tegang, dan mencoba bunuh diri.

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

APA.(2000). DSM V-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV Text
Revision). Washington, DC: American Psychiantric Association Pres

Friedman, Edward S.; Anderson, Ian M, 2014.Handbook of Depression, second Edition.London :


Springer Healthcare, a part of Springer Science+Business Media.pp:1-29

Marwick,K; Birrel,M., 2013. The Mood (Affective) Disorders in Crash Course Psychiatry, 4 th
Edition.Edinburgh : Elsevier Ltd. Pp:133-137

Halverson J,2016. Tinjauan psikolog. Bandung: alfabeta

NAMORA.L.2009.DEPRESI.KENCANA.JAKARTA
Stahl, Stephen M.; Muntner, Nancy, 2013. Mood Disorders in Stahl‘s Essential
Psychopharmacology, Neuroscientific Basis and Practical Application, 4 th edition. New
York : Cambridge University Press. Pp:237-282

Sadock, Benjamin J.; Sadock, Virginia A.; et al, 2017. Mood Disorders in Comprehensive Textbook
of Psychiatry, Volume I/II, 10th edition. Philadelphia : Wolters Kluwer. pp: 4099-4403

WILLY.F,ALBERT.A.2012.CATATAN ILMU KEDOKTERAN JIWA EDISI 2.AIRLANGGA


UNIVERSITY PRESS.SURABAYA.

Anda mungkin juga menyukai