Anda di halaman 1dari 8

PERPAJAKAN I

PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

OLEH :

Ida Ayu Ary Putri Adnyani (1707531083)


I Made Andika Wicaksana (1707531116)
Alfredo Samuel Naibaho (1707531154)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dalam melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, terdapat dua


pihak yang berada dalam posisi yang berseberangan. Mereka adalah Wajib Pajak yang diberi
beban untuk membayar pajak dan Aparat Pajak yang merupakan pihak yang berwenang
dalam mengawasi pemenehuhan kewajiban pajak serta diberi target untuk mengumpulkan
pajak untuk membiayai pengeluaran Negara. Dalam posisi yang saling berlawanan
kepentingan ini, kedua pihak seringkali berbeda pendapat dalam hal-
hal tertentu. Perbedaan ini biasa disebut sengketa pajak. Sengketa pajak ini biasanya timbul
jika pihak aparat pajak mengeluarkan produk-produk hukum dalam rangka penagihan pajak
yaitu Surat Tagihan Pajak (STP) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP), baik berupa SKPKB,
SKPLB, SKPN atau SKPKBT. Untuk menyelesaian masalah sengketa pajak ini, Undang-
undang KUP telah memberikan beberapa prosedur penyelesaian.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana penyelesaian sengketa melalui Direktorat Jendral Pajak?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Pajak?
3. Bagaimana kontroversi penyelesaian melalui PTUN?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa melalui Direktorat Jendral Pajak
2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
3. Untuk mengetahui kontroversi penyelesaian melalui PTUN
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penyelesaian Sengketa Melalui Direktorat Jendral Pajak


Ketika Wajib Pajak memperoleh Surat Ketetapan Pajak dan merasa tidak puas atas
ketetapannya, sesuai Pasal 25 UU KUP Wajib Pajak bisa mengajukan upaya hukum
keberatan ke Direktorat Jenderal Pajak yakni Ke Kantor Pelayanan Pajak/ Kantor Pelayanan
Pajak Bumi Bangunan. Selengkapnya ketentuan pasal 25 UU KUP menyatakan sebagai
berikut :

Ayat (1) : Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak
atas suatu:

a. Suatu Ketetapan Pajak Kurang Bayar


b. Suatu Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
c. Suatu Ketetapan Pajak Bayar Lebih
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan

Ayat (2) : Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut
atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

Ayat (3) : Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali
apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena
keadaan diluar kekuasaannya.

Ayat (4) : Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga tidak
dipertimbangkan
Ayat (5) : Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat
Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat keberatan pos tercatat
menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan

Ayat (6) : Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,
Direktorat Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi
dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, pemotongan atau pemungutan pajak.

Ayat (7) : Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak

Sementara untuk masalah kepabeanan, Wajib Pajak bisa mengajukan keberatan


kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai sesuai UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
dalam waktu 30 hari sejak penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar Bea Masuk yang
harus dibayar sesuai Pasal 93 dan juga terhadap pengenaan sanksi administrasi sebagaimana
diatur dalam Pasal 94 ayat 1 UU tersebut.

Begitu juga dengan pajak daerah yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000, bahwa
wajib pajak bisa mengajukan keberatan kepada kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk
yang telah menertibkan ketetapan pajak yang berupa:

1. Surat Ketetapan Pajak Daerah


2. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
3. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan
4. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar
5. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil
6. Pemotongan atau pungutan oleh pihak ketiga berdasar peraturan perundang-undangan
pajak daerah yang berlaku.

Untuk dapat mengajukan upaya hukum keberatan, maka Wajib Pajak harus memenuhi
persyaratan berikut yakni :

1. Diajukan tertulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia


2. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan
atau pemungutan, kecuali wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu
tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya
3. Mengemukakan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut
atau jumlah rugi menurut penghitungan wajib pajak disertai alasan yang jelas
4. Untuk satu surat keberatan diajukan terhadap satu ketetapan pajak atau
pemotongan/pemungutan pajak

Setelah kantor pajak melakukan proses pemeriksaan, sesuai Pasal 26 ayat 3 UU


KUP, ada 4 kemungkinan keputusan yang diterbitkan Direktur Jendral Pajak yakni :

1. Ditolak karena tidak ditemukan cukup bukti. Dengan keputusan seperti itu Wajib
Pajak hanya bisa membayar utang pajak yang ditentukan atau banding ke
Pengadilan Pajak
2. Diterima Sebagian jika hanya sebagian alasan dan bukti yang mendukung untuk
dikuranginya jumlah pajak
3. Diterima Seluruhnya karena bukti dan alasan yang mendukung untuk diterimanya
seluruh keberatan
4. Menambah ketetapan pajak apabila setelah pemeriksaan mendapat bukti yang
menambah jumlah ketetapan pajak

2.2 Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Pajak


Jika wajib pajak masih tidak puas dengan keputusan Direktur Jendral Pajak, maka Wajib
pajak bisa mengajukan hukum banding ke pengadilan pajak sesuai UU No. 14 Tahun 2002
Tentang Pengadilan Pajak.

1) Upaya Banding

Jika wajib pajak masih tidak puas dengan keputusan Direktur Jendral Pajak, maka
Wajib pajak bisa mengajukan hukum banding ke pengadilan pajak sesuai UU No. 14
Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
Dalam ketentuan Pasal 1 UU Pengadilan Pajak yang dimaksud dengan banding
adalah upaya hukum yang dapat dilakukan Wajib Pajak terhadap keputusan yang dapat di
bandingkan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Apabila Wajib Pajak akan mengajukan upaya hukum banding, haruslah memenuhi
syarat-syarat berikut :

1. Permohonan diajukan secara tertulis menggunakan Bahasa Indonesia


2. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan
Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatan perpajakan yang diajukan banding atau
60 (enam puluh) hari sejak tanggal diterimanya Keputusan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai mengenai keberatan kepabeanan dan cukai. Pengakuan banding 3 (tiga) bulan
tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan
di luar kekuasaan pemohon banding
3. Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding
4. Mencantumkan alasan-alasan yang jelas dan tanggal diterima surat keputusan yang
dibanding
5. Melampirkan salinan keputusan yang dibanding dan bukti-bukti pendukung lainnya,
termasuk melampirkan Surat Setoran Pajak
6. Melunasi 50% dari jumlah yang terutang atas keputusan yang dibanding

2) Upaya Gugatan

Selain banding, wajib pajak juga bisa melakukan upaya hukum gugatan. Gugatan
adalah upaya hukum yang bisa dilakukan Wajib Pajak terhadap pelaksanaan penagihan
pajak atau terhadap keputusan yang dapat digugat berdasar peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku. Gugatan juga dapat diajukan oleh Wajib Pajak dalam
hal lainnya seperti diatur dalam Pasal 23 ayat 2 UU KUP. Selengkapnya ketentuan Pasal
23 ayat 2 UU KUP menyatakan bahwa ‘Gugatan’ Wajib Pajak terhadap :

a) Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan Pengumuman


Lelang
b) Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang
ditetapkan dalam Pasal 25 ayat 1 dan Pasal 26
c) Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang berkaitan
dengan Surat Tagihan Pajak
d) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan Surat
Tagihan Pajak yang hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak

Untuk dapat mengajukan gugatan, maka harus dipenuhi syarat berikut :

a) Diajukan tertulis dalam Bahasa Indonesia


b) Jangka waktu gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak adalah 14 hari sejak
tanggal pelaksanaan penagihan, sedangkan untuk gugatan terhadap keputusan adalah
30 hari sejak tanggal diterima keputusan yang digugat. Jangka waktu tersebut tidak
mengikat apabila tidak bisa dipenuihi karena keadaan diluar kekuasaan penggugat.
Dan untuk hal itu maka penggugat medapat perpanjangan 14 hari sejak berakhirnya
keadaan di luar kekuasaan penggugat.
c) Terhadap satu pelaksanaan penagihan atau satu keputusan diajukan satu surat
gugatan.

2.3 Kontroversi Penyelesaian Melalui PTUN


Ketika pengadilan pajak masih bernama Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)
berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997, terdapat persoalan hukum yaitu adanya
gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak melalui lembaga Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Kasus bermula ketika dilakukan tindakan penagihan pajak terhadap PT Timor.
Gugatan  yang diajukan PT Timor mendasarkan pada ketentuan Pasal 48 dan Pasal 53
Undang-undang PTUN, yang menegaskan bahwa seseorang atau badan hukum yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan  tata usaha negara dapat mengajukan
gugatannya ke PTUN. Di sisi lain,  pasal 27 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 1983 (UU KUP)
menyatakan bahwa putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha
negara.
Keracunan hukum adanya kelembagaan untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa
pajak yang terjadi dalam praktek membuat pemerintahan bersama-sama dengan DPR sepakat
melakukan reformasi UU No 17 tahun 1997 tentang BPSP dengan UU No 14 tahun 2002
tentang pengadilan pajak. Dalam UU peradilan pajak adanya beberapa ketentuan yang
menegaskan adanya independensi pengadilan dalam memeriksa suatu kasus sengketa pajak.
Dengan kata lain, untuk menghindari adanya duplikasi penafsiran lembaga yang menangani
sengketa pajak, maka hanya pengadilan pajak saja yang diberikan kewenangan untuk
memeriksa sengketa pajak.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dalam melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, terdapat dua


fihak yang berada dalam posisi yang berseberangan yaitu Wajib Pajak yang diberi beban
untuk membayar pajak dan Petugas Pajak yang merupakan fihak yang berwenang dalam
mengawasi pemenuhan kewajiban pajak serta diberi target untuk mengumpulkan pajak
untuk membiayai pengeluaran negara.

Sengketa pajak biasanya timbul jika petugas pajak mengeluarkan produk-produk hukum
dalam rangka penagihan pajak yaitu Surat Tagihan Pajak (STP) dan Surat Ketetapan
Pajak (SKP), baik berupa SKPKB, SKPLB, SKPN atau SKPKBT. Sengketa pajak dapat
diselesaikan melalui Direktorat Jendral Pajak dengan mengajukan keberatan dan melalui
Pengadilan Pajak dengan mengajukan banding serta gugatan.

Anda mungkin juga menyukai