Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH IMMUNOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

GAGAL GINJAL

Disusun Oleh :

Nama : Dwi Rizky Ersanella

Nim :180500170

Golongan/Kelompok : 3/F

Hari/Tanggal Praktikum :

Dosen Jaga Praktikum :

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ALMA ATA

YOGYAKARTA

2020
A. Definisi

Penyakit gagal ginjal merupakan masalah kesehatan dunia dilihat dari terjadinya peningkatan
insidensi, prevalensi, dan tingkat morbiditasnya. Berdasarkan data di United States Renal Data
System, penyakit gagal ginjal kronik meningkat sebesar 20-25% setiap tahunnya (USRD, 2006).
Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi. Hasil survei
yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) diperkirakan ada sekitar 12,5
persen dari populasi atau sebesar 25 juta penduduk mengalami penurunan fungsi ginjal. Penyakit
gagal ginjal kronik menyebabkan fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya
tidak mampu melakukan fungsinya dengan baik (Cahyaningsih, 2009). Teknik pengobatan yang
selama ini diakui dapat meningkatkan fungsi ginjal adalah transplantasi atau cangkok ginjal,
peritoneal dialisis (PD), dan hemodialisis (HD). Namun, diantara ketiga terapi tersebut, terapi
yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat adalah hemodialisis (Colvy, 2010).

Gambar 1

B. MACAM GAGAL GINJAL

Gagal Ginjal Akut (GGA):

Sering berkaitan dengan penyakit kritis

Berjalan cepat dalam hitungan hari – minggu

Biasanya reversibel bila penderita dapat bertahan dengan penyakit kritisnya

Gagal Ginjal Kronik (GGK):

Dimulai dengan kerusakan yang progresif pada nefron dalam waktu lama dan ireversibel (Wilson 2005)
C. Patofisiologi

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus)diduga utuh
sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuhhipertrofi dan memproduksi
volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalamkeadaan penurunan daya saring.
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsisampai ¾ dari nefron nefron rusak. !eban
bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripadayang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik
disertai poliuri dan haus."elanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul
disertai retensi produk sisa.Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80%- 90%. Pada
tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin Clearance turun sampai 15ml/menit atau lebih
rendah itu.,ungsirenal menurun produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke
dalam urin)tertimbun dalam darah.Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin
banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik
setelah dialisis (Brunner et al.,2002).

D. HUBUNGAN GAGAL GINJAL DENGAN GAGAL JANTUNG

penyakit gagal jantung merupakan faktor resiko yang signifikan untuk penyakit ginjal. Ketika jantung
tidak mampu memompa darah secara efisien, maka akan terjadi hambatan laju darah yang menyebabkan
tekanan di pembuluh darah utama ginjal yang juga akan menghambat laju darah di ginjal. Ginjal akan
mengalami kekurangan suplai darah kaya oksigen. Begitu pula sebaliknya, ketika ginjal mengalami
gangguan, sistem hormon yang bertanggung jawab terhadap regulasi tekanan darah mengupayakan agar
kebutuhan darah ke ginjal meningkat sehingga mengakibatkan jantung harus memompa lebih keras, yang
pada akhirnya jantung menderita kelebihan beban, selain itu aliran darah yang telah tersaring oleh ginjal
ke jantung juga melemah dan akan mengakibatkan komplikasi di jantung. Jadi, kelemahan atau kegagalan
satu organ (jantung atau ginjal) akan memiliki dampak buruk kelainnya. oleh karena itu, dokter akan
melakukan pengecekan rutin fungsi ginjal pada penderita gagal jantung, dan sebaliknya dokter akan
memeriksa rutin tekanan darah dan kemungkinan komplikasi jantung pada penderita gagal ginjal. Gagal
jantung, atau penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pada pasien gagal ginjal kronik. Hipertensi merupakan gejala awal terjadinya, dan terjadi pada sekitar
60% pasien gagal ginjal (Schrier, 2009). nemia merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh
diderita oleh pasien gagal ginjal kronik. Anemia dapat memperburuk fungsi ginjal. Bersamaan dengan
timbulnya hipertensi atau penyakit jantung, meenyebabkan pasien sulit merespon peningkatan kebutuhan
oksigen selama aktifitas fisik. Hal ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup
pasien dengan anemia pada gagal ginjal kronik (Lukito, 2008). Teknik pengobatan yang selama ini
diakui dapat meningkatkan fungsi ginjal adalah transplantasi atau cangkok ginjal, peritoneal dialisis (PD),
dan hemodialisis (HD). Namun, diantara ketiga terapi tersebut, terapi yang paling banyak dilakukan oleh
masyarakat adalah hemodialisis (Colvy, 2010).

E. Prevelensi gagal ginjal kronik

Menurut data dari United States Renal Data System (USRDS) tahun 2014 prevalensi kejadian gagal ginjal
kronik di Amerika Serikat dari tahun ke tahun semakin meningkat tercatat pada tahun 2011 ada 2,7 juta
jiwa dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 2,8 juta jiwa. Di Indonesia prevalensi kejadian gagal ginjal
kronik melalui data dari Riset KesehatanDasar (Riskesdas) tahun 2013 yaitu 0,2%. Kelompok umur ≥ 75
tahun mempunyai prevalensi kejadian gagal ginjal kronik lebih tinggi dari pada kelompok umur lainnya
yaitu 0,6%. Prevalensi kejadian gagal ginjal kronik menurut jenis kelamin, laki-laki lebih banyak
denganangka 0,3% sedangkan perempuan hanya 0,2%. Dan prevalensi kejadian gagal ginjal kronikpada
Provinsi Jawa Tengah yaitu 0,3% (Pernefri, 2012).

F. Pemeriksaan ginjal

1. Pemeriksaan kadar kreatinin

Kadar kreatinin serum sudah banyak digunakan untuk mengukur fungsi ginjal melalui pengukuran
glomerulus fi ltration rate (GFR). Rehbeg menyatakan peningkatan kadar kreatinin serum antara 1,2–2,5
mg/dL berkorelasi positif terhadap tingkat kematian pasien yang diteliti selama 96 bulan. Pada beberapa
penelitian mengevaluasi adanya hubungan positif antara penyakit kardiovaskuler dengan peningkatan
kadar kreatinin serum. Pasien dengan nilai kreatinin 1,5 mg/dL atau memiliki faktor risiko dua kali lebih
besar dibandingkan pasien dengan nilai kreatinin kurang dari 1,5 mg/dL untuk mengalami gangguan
kardiovaskuler.

2.Pemeriksaan kadar ureum serum

Pengukuran ureum serum dapat dipergunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal, status hidrasi, menilai
keseimbangan nitrogen, menilai progresivitas penyakit ginjal, dan menilai hasil hemodialisis. Kadar urea
nitrogen dapat dikonversi menjadi
ureum perhitungan perkalian
2,14 yang melalui persamaan:

The National Kidney Disease Education Program merekomendasikan penggunaan serum kreatinin untuk
mengukur kemampuan filtrasi glomerulus, digunakan untuk memantau perjalanan penyakit ginjal.
Diagnosis gagal ginjal dapat ditegakkan saat nilai kreatinin serum meningkat di atas nilai rujukan normal.
Pada keadaan gagal ginjal dan u remia, ekskresi kreatinin oleh glomerulus dan tubulus ginjal menurun.

4 Tes urine, untuk mengetahui adanya protein dan darah dalam urine yang menandakan penurunan fungsi
ginjal.

3. Kreatinin darah, yaitu tes untuk menentukan kadar kreatinin dalam darah. Kreatinin merupakan zat sisa
hasil pemecahan otot yang akan dibuang melalui ginjal. Kadar kreatinin yang tinggi dalam darah dapat
menjadi tanda adanya gangguan pada ginjal.

4. Glomerulo filtration rate (GFR), yaitu tes untuk melihat kemampuan ginjal dalam menyaring zat sisa
metabolisme dari dalam tubuh.
Sedangkan pemeriksaan fungsi ginjal tambahan, di antaranya adalah:

-Tes kandungan albumin dalam darah.

-Tes rasio albumin-kreatinin.

-Tes kandungan elektrolit dalam darah dan urine.

-Bersihan kreatinin (CCT) dan protein dalam urine 24 jam.

-Biopsi ginjal.

-Sistoskopi dan ureteroskopi.

 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah lengkap: ureum meningkat, kreatinin serum meningkat.

b. Pemeriksaan elektrolit: hyperkalemia, hipokalsemia, hipermagnesemia

c. Pemeriksaan kadar glukosa darah, profil lipid: hiperkolesterolemia,hipertrigliserida,


LDL meningkat

d. Analisis gas darah: asidosis metabolic (pH menurun, HCO3menurun)

G. Kesimpulan
Ginjal merupakan organ vital yang berfungsi untuk melakukan beberapa fungsi penting dalam
metabolisme tubuh. Pemeriksaan laboratorium sangat membantu dalam mengidentifi kasi dan
mengevaluasi fungsi ginjal. Pada saat ini telah dikembangkan beberapa pemeriksaan
laboratorium yang bertujuan untuk menilai fungsi ginjal. Pemeriksaan laboratorium tersebut
antara lain pemeriksaan kadar kreatinin, ureum, asam urat, Cystatin C, β2 microglobulin, inulin
dan juga zat berlabel radioisotop. Pemeriksaan zat-zat di atas bertujuan untuk menilai GFR
ginjal. Penentuan GFR dapat memberikan informasi mengenai fungsi ginjal pasien. Pemilihan
pemeriksaan laboratorium yang tepat dapat memberikan informasi yang akurat mengenai fungsi
ginjal pasien. Hal ini dapat membantu dokter klinisi dalam melakukan pencegahan dan
penatalaksanaan lebih awal untuk mencegah progresivitas gangguan ginjal menjadi gagal ginjal

H. Daftar pustaka
1. Cahyaningsih, N. D. (2009). Hemodialisis (cuci darah). Jogjakarta: Mitra Cendekia Press.
2. Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC : Jakarta
3. PERNEFRI. (2012). Fifth Report Of Indonesian Renal Registry 2012. Diakses tanggal 8
Februari 2016 dari http://www.pernefri.inasn.org/gallery.html
4. Edmund L. Kidney function tests. Clinical chemistry and molecular diagnosis. 4th ed.
America: Elsevier; 2010. p.797-831.
5. Kara A. Renal function. Clinical chemistry. 6th ed. Philadephia: Wolters Kluwer; 2012.
6. Toussaint N. Screening for early chronic kidney disease. The CARI guidelines. Australia:
aunder; 2012. p.30-55.
7. Dine A. Renal physiology anatomy and physiology. USA: Addison Weisley; 2012. p.78-
90
8. Gaedeke. Renal function test. Laboratory and diagnostic test handbook. New York: Ad;
2000. p.706-15

Anda mungkin juga menyukai