Anda di halaman 1dari 16

PENELITIAN PENDIDIKAN SAINS: JENIS, TEKNIS, DAN

INSTRUMENTASI

Makalah Kunci
Seminar Nasional “Pengembangan Profesi Guru Sains Melalui Penelitian dan Karya Teknologi
yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013” diselenggarakan oleh
Jurusan Pendidikan IPA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11 September 2014

Dr. Harry Firman, M.Pd.


Universitas Pendidikan Indonesia
harry.firman@hotmail.com

Abstrak
Makalah ini mengupas elemen-elemen dasar dari penelitian pendidikan pendidikan, baik
penelitian akademik untuk pengembangan teori maupun penelitian berbasis kelas untuk
penyelesaian masalah praktis pembelajaran. Lingkup makalah meliputi hakekat penelitian
pendidikan, paradigm-paradigma penelitian pendidikan, jenis, desain, dan teknis penelitian,
serta instrumen penelitian. Fokus makalah tertumpu pada isu-isu pokok dalam penelitian
pendidikan, yang mencakup fungsi penelitian, kontinum penelitian kuantitatif dan kualitatif,
desain-desain dasar dan ranah-ranah mutakhir bagi penelitian pendidikan IPA, serta
penelitian tindakan kelas (PTK) sebagai penelitian oleh praktisi pendidikan. Secara khusus
makalah menguraikan posisi instrumen penilaian sebagai alat pengumpul data serta obyek
dari penelitian pendidikan itu sendiri.

1. Pendahuluan
Penelitian pendidikan (educational research) dapat dimaknai sebagai penyelidikan secara sistematik,
cermat, dan mendalam, untuk menjawab masalah praktis dalam pendidikan dan/atau berkontribusi
pada pengembangan teori pendidikan (McMillan & Wergin, 2002). Hasil penelitian pendidikan ialah
pengetahuan baru (fakta-fakta, relasi-relasi, dan hubungaan kausal) tentang fenomena pendidikan
tertentu yang belum terungkap sebelumnya. Dengan pengetahuan baru tersebut, fenomena pendidikan
terkait dapat lebih dimengerti. Pengetahuan baru hasil penelitan, disamping mengembangkan teori
kependidikan, juga memperkaya praktisi pendidikan dengan pedoman yang dapat dipakai untuk
memecahkan masalah praktis pendidikan secara efektif.
Dari segi fungsinya, penelitian pendidikan dapat dipandang sebagai suatu kontinum dengan
salah satu ujungnya penelitian dasar (basic research) dan penelitian terapan (applied research)
sebagai ujung lainnya Penelitian terapan berfungsi memecahan masalah praktis pendidikan.
Sementara itu penelitian dasar berfungsi mengembangan teori kependidikan, apakah membangun teori

1
(to generate a theory), menguji teori (to test a theory), atau menyempurnakan teori (to refine a theory)
(McMillan, 2012)
Posisi suatu penelitian pendidikan dapat berada pada satu titik tertentu dalam kontinum
tersebut, bergantung pada sifat penelitiannya. Penelitian dasar tidak dituntut untuk dapat
menghasilkan temuan yang segera dapat diterapkan dalam praktek. Kalaupun ternyata dapat
diterapkan segera untuk pemecahan masalah praktis, hal itu sebetulnya bukan tujuan utamanya.
Sebaliknya, walaupun tidak menjadi tujuannya, penelitian terapan mungkin saja dapat berkontribusi
pada pengembangan ilmu kependidikan. Salah satu jenis penelitian yang tergolong penelitian terapan
dalam bidang pendidikan adalah “penelitian tindakan kelas (PTK)” atau “classroom action research
(CAR)”, yakni penelitian oleh guru sebagai praktisi professional pendidikan untuk memecahkan
masalah sehari-hari pembelajaran yang dihadapi. Selain itu, terdapat jenis penelitian yang dinamakan
penelitian evaluasi, yang diarahkan untuk memberikan informasi sebagai landasan pembuatan
keputusan tentang suatu program pendidikan, apakah dapat dijalankan, apakah efektif, apakah sesuai
dengan tujuannya, apakah dampak-dampaknya, dsb. (Gay, Mills & Airasian, 2009).
Upaya peningkatan mutu pendidikan IPA di Indonesia perlu berbasis pada kajian ilmiah,
sehingga memungkinkan upaya tersebut menghasilkan solusi-solusi yang efektif. Oleh karena itu
penelitian-penelitian perlu dilakukan terhadap permasalahan-permasalahan dalam bidang pendidikan
IPA secara serempak, baik oleh akademisi maupun praktisi pendidikan IPA. Makalah ini selanjutnya
memaparkan secara lebih rinci paradigm-paradigma penelitian, desain dan teknis penelitian, ranah-
ranah penelitian dalam pendidikan IPA, serta instrumen penelitian. Diharapkan paparan ini dapat
menginspirasi dan memperkuat penelitian dalam pendidikan IPA, baik untuk pengembangan teori
maupun pemecahamn masalah praktis pendidikan.

2. Paradigma-Paradigma Penelitian Pendidikan


Istilah paradigm (paradigm) digunakan untuk mendeskripsikan pendekatan penelitian yang
diterapkan oleh peneliti pada umumnya dalam satu kurun waktu tertentu (Taber, 2013).
Dalam konteks pendidikan, sampai sekarang banyak penelitian dilakukan dalam paradigma
positivistik, yaitu merujuk pada penelitian dalam Sains yang menitikberatkan pengujian-
pengujian hipotesis dengan eksperimen terkendali, randomisasi, dan analisis statistik
inferensial, untuk menemukan hukum umum (generalisasi) dalam fenomena pendidikan.
Namun, kompleksitas fenomena pendidikan dipandang kurang memadai jika dikaji dengan
paradigm positivistic. Bersamaan dengan itu sejumlah peneliti mengembangkan paradigm
baru dalam penelitian pendidikan, yang dikenal sebagai paradigm interpretif (pasca-
positivistik), yang bertumpu pada eksplorasi dan interpretasi sifat-sifat khusus kasus-kasus
individual secara kualitatif. Jika paradigma positivistik mengarahkan penelitian konfirmatori

2
(pembuktian) teori secara kuantitatif, maka paradigma pasca-positivistik (interpretif)
mengarahkan penelitian eksploratori secara kualitatif.
Penelitian pendidikan dapat berupa penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif.
Kembali perlu ditegaskan bahwa perbedaan keduanya bukan dikhotomi, melainkan suatu
kontinum. Banyak penelitian berada pada posisi tertentu dalam kontinum itu, dalam arti
menggunakan prosedur penelitian kualitatif dan kuantitatif sekaligus sesuai dengan
permasalahan yang akan dipecahkannya. Penelitian kualitatif dilakukan untuk memahami
suatu fenomena pendidikan secara mendalam dan holistik. Sedangkan penelitian kuantitatif
dilakukan untuk menentukan fakta, hubungan, dan pengaruh. Penelitian kualitatif terikat
konteks (context-bound) sehingga tak dapat digeneralisasi ke dalam konteks lain, sementara
itu penelitian kuantitatif justru mencari generalisasi (kesimpulan umum) yang bebas konteks
(context-free). Jika penelitian kualitatif mempelajari fenomena secara holistik (menyeluruh),
maka penelitian kuantitatif justru terfokus pada faktor atau variabel tertentu secara terpisah.
Dalam pengumpulan data, penelitian kuantitatif bertumpu pada desain, prosedur dan
alat ukur standar yang telah ditetapkan sebelumnya, sedangkan dalam penelitian kualitatif
prosedur pengumpulan data lebih fleksibel, dilakukan oleh peneliti sendiri (peneliti sebagai
instrumen) dan memanfaatkan banyak cara (multi-methods). Untuk meyakinkan peneliti
dalam menarik kesimpulan, peneliti melakukan “triangulasi”, yakni memperhatikan informasi
tentang suatu aspek yang diteliti dari lebih dari satu sumber. Sementara itu, laporan penelitian
kuantitatif lebih menitikberatkan pada presentasi angka dan statistik, sedangkan laporan
penelitian kualitatif didominasi oleh deskripsi naratif.
Dewasa ini berkembang penelitian pendidikan yang menerapkan kedua paradigm
penelitian secara terintegrasi dalam bentuk metode campuran (mixed-method), yang
memungkinkan peneliti dapat mengatasi keterbatasan tradisi penelitian kuantitatif dan
penelitian kuantitatif. Metode campuran dapat menjadi metode yang tepat untuk penelitian
yang bertujuan mengungkap sekaligus suatu keterkaitan dan menyediakan eksplanasi bagi
keterkaitan tersebut (McMillan, 2012).

3. Desain dan Teknik Penelitian


Teknik penelitian tidak terlepas dari desain penelitian, yaitu bagaimana penelitian dijalankan.
Oleh karena itu paparan tentang teknik-teknik penelitian dikemukakan dengan merujuk pada
desain penelitiannya.

3
3.1 Eksperimen/Quasi-eksperimen/Pra-eksperimen
Eksperimen adalah suatu desain penelitian yang di dalamnya peneliti menyelidiki
pengaruh suatu perlakuan (treatment) terhadap sekelompok subyek (Fraenkel & Wallen,
2006). Dalam penelitian eksperimen satu variabel (variable eksperimen) secara sengaja
“dimanipulasi” (divariasikan) oleh peneliti untuk menentukan pengaruh dari variasi
tersebut. Sementara itu variabel-variabel lain (extraneous variable) yang secara teoritis
berpengaruh pada hasil eksperimen, dikendalikan (dikontrol) dengan pelbagai cara, antara
lain memilih anggota kelompok eksperimen dan anggota kelompok kontrol sebagai
pembanding secara acak (random). Selanjutnya kelompok eksperimen dikenai perlakuan
(treatment), yakni dikenai variabel yang dimanipulasi tersebut, sementara kelompok
pembanding tidak menerima perlakukan tersebut. Dampak variasi dievaluasi dengan
membandingkan hasil pengukuran pasca perlakukan (post-test) terhadap kedua kelompok
tadi. Untuk lebih meyakinkan bahwa dampak tadi memang karena perlakuan, acapkali
pre-test dilakukan dan selisih antara post- dan pre-test (gain atau normalized-gain) turut
diperbandingkan.
Dalam prakteknya sangat sulit untuk memilih anggota kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol secara acak, sebab dalam setting alaminya di persekolahan siswa telah
dikelompokkan ke dalam rombongan-rombongan belajar tertentu. Dengan demikian
keacakan pemilihan sampel penelitian tak terpenuhi. Penelitian yang tidak bertumpu pada
keacakan (randomness) dalam penugasan kelompok eksperimen dan kelompok,
dinamakan penelitian quasi-eksperimen. Namun bukan berarti kedua kelompok sampel
dibiarkan tidak setara, karena yang diambil adalah dua kelompok yang lebih mempunyai
kesamaan di antara keseluruhan kelompok yang tersedia. Berdasarkan indikator-indikator
tertentu ditunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut “setara”, misalnya dari tingkat
kecerdasan rata-rata siswa, perolehan hasil belajar, fasilitas belajar yang dipunyai,
lingkungan belajar yang dialami, dsb.
Sebagai contoh penelitian quasi-eksperimen, seorang peneliti ingin meneliti
dampak dari penggunaan media pembelajaran berbasis ICT terhadap pemahaman siswa
ketika mempelajari topik struktur atom di kelas satu SMA. Ia memilih dua kelas satu di
suatu sekolah yang berdasarkan indikator-indikator rata-rata kelas dalam prestasi belajar,
tingkat status ekonomi sosial, dsb. tidak berbeda. Tidak mungkin peneliti membentuk
kelas eksperimen dan kelas kontrol sendiri secara acak. Oleh karenanya salah satu kelas
ditugasi sebagai kelompok eksperimen (akan menerima perlakukan eskperimen) dan yang
lainnya dijadikan kelompok pembanding. Selanjutnya pembelajaran berbasis ICT
4
diterapkan pada kelas eksperimen, sedangkan kelas pembanding menerima pengalaman
belajar konvensional. Waktu belajar dan ruang lingkup materi pembelajaran kedua kelas
disamakan (dikontrol). Setelah materi pelajaran selesai diajarkan, kepada dua kelas
tersebut diberikan suatu tes yang sama, yang mengukur pemahaman siswa terhadap
materi pelajaran tersebut, untuk kemudian diperbandingkan rata-rata skor tes kedua
kelompok tersebut secara statistika.
Dalam kondisi tertentu yang sangat terbatasi, peneliti terpaksa melakukan
penelitian untuk mengevaluasi pengaruh satu fakor yang dihipotesiskan sebagai sebab
dengan pengendalian minimum bahkan tidak dilakukan sama sekali terhadap fakor-faktor
lain. Metode penelitian seperti ini dinamakan pra-eksperimen. Oleh karena tidak
menggunakan kelompok pembanding, maka sangat sukar untuk menarik kesimpulan yang
meyakinkan tetang hubungan kausal dengan penelitian pra-eksperimen. Perbedaan antara
hasil post-test dan pre-test (Gain dan Normalized Gain) yang seringkali dijadikan andalan
peneliti sebagai bukti adanya pengaruh perlakuan, mungkin saja diakibatkan oleh faktor-
faktor lain selain variabel penelitian. Ada tidaknya pengaruh perlakuan dievaluasi dari
perbedaan antara selisih nilai post-test dan pre-test pada eksperimen pertama dan eksperimen
kedua.

3.2 Bukan-Eksperimen
Beberapa tipe penelitian kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode non-
eksperimen, yakni penelitian deskriptif, penelitian komparatif, penelitian korelasional,
serta penelitian “ex-post facto” (McMillan & Wergin, 2002).
Penelitian deskriptif memaparkan suatu fenomena dalam pembelajaran dengan
ukuran-ukuran statistik, seperti frekuensi, persentase, rata-rata, variabilitas (rentang dan
simpangan baku), serta citra visual dari data misalnya dalam bentuk grafik. Sebagai
contoh, penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi topik-topik materi pelajaran IPA
yang dirasakan sulit oleh siswa kelas VI SMP di Kota Bandung. Untuk mengumpulkan
data, dilakukan survei dengan instrumen kuesioner terhadap sejumlah siswa yang menjadi
“sample”dalam penelitian ini. Kekuatan penelitian seperti ini bergantung pada ketepatan
melakukan “sampling”, sehingga jumlah anggota sampel yang terbatas itu (misalnya 3-
5% dari populasi) dapat representatif (mewakili) populasi. Berdasarkan data yang
diperoleh dari sampel dapat disimpulkan tentang kondisi populasi, yakni topik-topik
materi pelajaran IPA yang dirasakan sulit. Teknik penarikan sampel (sampling technique)
dapat dipelajari secara khusus dari buku-buku statistika.

5
Penelitian komparatif meninjau hubungan antara dua atau lebih variabel dengan
melihat perbedaan yang ada pada dua atau lebih kelompok subyek penelitian. Jadi,
masing-masing kelompok diperbandingkan dari variabel tertentu yang diselidiki. Sebagai
contoh suatu penelitian berusaha meninjau hubungan antara tingkatan kelas dan minat
pada pelajaran kimia di suatu sekolah, dengan mensurvei minat siswa kelas X, kelas XI,
dan kelas XII terhadap pelajaran kimia, dan membedakannya satu sama lain secara
statistika (misalnya analisis varians untuk perbedaan antar rata-rata), sehingga hubungan
antara minat terhadap pelajaran kimia dan tingkatan kelas dapat disimpulkan. Namun
demikian, hubungan yang ditemukan dari penelitian komparatif ini, tidak serta merta
dapat ditafsirkan sebagai hubungan kausal (sebab-akibat).
Penelitian korelasional menyelidiki hubungan di antara variabel-variabel, yang
diungkapkan dengan nilai koefisien korelasi. Untuk mencari korelasi, setiap subyek
penelitian memberikan satu skor untuk masing-masing variabel yang diteliti, sehingga
terdapat dua himpunan skor yang jika dihitung nilai koefisien korelasinya
memperlihatkan derajad kekuatan hubungan di antara variabel-variabel yang diselidiki
hubungannya. Contoh penelitian korelasional adalah penelitian tentang kekuatan
hubungan antara IQ dengan kemampuan belajar fisika siswa SMA. Contoh lain adalah
penelitian tentang daya prediksi nilai kimia tes SBMPTN terhadap IPK mahasiswa
program studi kimia di perguruan tinggi. Jika penelitian korelasional melibatkan lebih
dari dua variabel sekaligus, maka teknik analisis statistikanya yang lebih rumit diperlukan
dalam analisis data, misalnya regresi ganda. Hanya jika keterkaitan hubungan antar
variabel dapat dijelaskan secara teoretik, maka korelasi antarvariabel tersebut dapat
dimaknai sebagai hubungan kausal.
Penelitian “ex-post facto” (setelah terjadi), yang seringkali disebut juga penelitian
kausal-komparatif, pada dasarnya merupakan penelitian non-eksperimen yang dipoles
sehingga nampak seperti suatu eksperimen. Studi ex-post facto menguji suatu fenomena
yang telah terjadi dan berusaha menarik kesimpulan tentang adanya hubungan-hubungan
kausal. Contoh pertayaan penelitian dari studi ex-post facto: Apakah siswa SMA yang
mengikuti bimbingan belajar mempunyai prestasi belajar biologi lebih tinggi daripada
siswa yang tidak mengikuti bimbingan belajar dalam SBMPTN? Pada studi ini mengikuti
bimbingan tes dapat dipandang sebagai “perlakuan”, dan pengaruhnya terhadap
keberhasilan dalam SBMPTN diselidiki dari perbedaan rata-rata nilai prestasi kedua
kelompok tersebut.

6
Analisis konten (content analysis) adalah suatu desain penelitian untuk
menghasilkan deskripsi yang obyektif dan sistematik mengenai isi (content) yang
terungkap dalam suatu komunikasi (Zuchdi, 1993). Analisis konten dimanfaatkan untuk
memahami makna dalam bentuk dokumen, artikel, buku ajar, soal ujian, media
pembelajaran, rekaman video interaksi belajar-mengajar, dll. Tahapan analisis konten
mencakup tahap pendeskripsian yang diikuti dengan tahapan analisis dan inferensi.
Analisis dapat dilakukan secara kuantitatif, seperti frekuensi, asosiasi dan korelasi,
ataupun dilakukan secara kualitatif yang menekankan pola-pola hubungan yang ada dalam
dokumen yang dianalisis. Satu contoh penelitian yang menggunakan analisis konten
adalah penelitian tentang kandungan keterampilan proses dalam soal IPA UN SMA.
Peneliti mula-mula menentukan rentang tahun penerbitan soal-soal UN yang akan
dianalisis, selanjutnya dengan indiator keterampilan-keterampilan proses (interpretasi,
menggunakan konsep, komunikasi, menggunakan alat, merancang eksperimen) ia
menentukan jenis keterampilan proses yang terkandung dalam setiap butir soal. Pada pada
akhirnya peneliti dapat menggambarkan profil soal IPA UN dari segi keterampilan proses
yang dikandungnya secara kuantitatif (frekuensinya dan %-tase), serta pola hubungan
antara jenis keterampilan proses dan materi pelajaran kimia dalam soal tes tersebut.

3.3 Etnografi dan Studi Kasus


Desain penelitian etnografik diadopsi dari tradisi penelitian antropologi. Etnografi adalah
deskripsi analitik secara mendalam tentang suatu situasi budaya (McMillan, 2012). Dalam
konteks pendidikan, penelitian etnografik didefinisikan sebagai pendeskripsian secara
ilmiah sistem, proses, dan fenomena pendidikan dalam konteks khusus. Penelitian
etnografik berkaitan erat dengan observasi, deskripsi, dan pertimbangan kualitatif atau
interpretasi terhadap fenomena yang diselidiki. Penelitian etnografi berlangsung dalam
setting alami dan berfokus pada proses dalam mencoba memperoleh gambaran tentang
obyek studi secara holistik. Seringkali penelitian etnografik tidak mempunyai basis
teoretik yang kuat, dan hanya sedikit hipotesis dirumuskan sebelum penelitian dimulai.
Justru hipotesis dan teori dibangun selama penelitian dilakukan.
Sebagai contoh, suatu penelitian etnografik dalam pendidikan kimia berangkat dari
pertanyaan: “Seperti apa pembelajaran kimia di sebuah sekolah nasional plus?” Observasi
dilakukan dalam kelas dan laboratorium kimia, pusat komputer, dan perpustakaan, dalam
kurun waktu satu tahun pelajaran. Peneliti membuat catatan lapangan (field notes) secara
intensif tentang apa yang diobservasinya, serta melakukan interviu terhadap banyak siswa

7
dan guru. Berdasarkan semua informasi yang dikumpulkannya, peneliti memberikan
paparan dan interpretasi yang akurat tentang pembelajaran kimia di sekolah nasional plus
yang menjadi situs (site) penelitian.
Studi kasus (case study) sering dikaitkan dengan penelitian etnografik. Studi kasus
dapat dipandang sebagai jenis khusus metode penelitian karena dapat berkaitan dengan
metode-metode penelitian lainnya. Pada dasarnya studi kasus melibatkan pengkajian
secara mendalam terhadap sebuah kelompok atau sejumlah sangat terbatas individu.
Sebuah penelitian etnografik yang di dalamnya suatu kelomopok dipelajari secara
mendalam, dapat dikatakan sebagai studi kasus. Studi kasus umunya bertalian dengan--
tetapi tidak terbatas pada--penelitian kualitatif. Penelitian quasi-eksperimen yang
dilakukan terhadap jumlah subyek yang sangat sedikit merupakan juga sebuah studi
kasus.

3.4 Penelitian Tindakan Kelas


Secara sederhana penelitian tindakan kelas (PTK) dapat dikatakan sebagai suatu penelitian
yang dilakukan guru (sebagai praktisi pendidikan) untuk meningkatkan mutu pembelajaran
dengan melakukan tindakan-tindakan praktis terencana dalam setting kelasnya, serta
mengadakan refleksi berdasarkan dampak dari tindakan-tindakan tersebut (Costello,
2011). PTK lahir dari kebutuhan pragmatik guru untuk meningkatkan kinerja profesional
secara berkelanjutan. Dibandingkan dengan “penelitian-penelitian tradisional”, PTK lebih
bersifat informal, praktis, fleksibel, formatif. Ada baiknya PTK dilakukan secara
kolaboratif antara sejawat guru di suatu sekolah MGMP sekolah) agar terjadi proses saling
melengkapi dan saling berbagi pikiran dan pengalaman.
Desain PTK dapat digambarkan sebagai rangkaian siklus yang terdiri atas tahap-
tahap berikut:
(1) Mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan merencanakan strategi dan tindakan
intervensi yang perlu dilakukan (Rencana/Plan);
(2) Melakukan intervensi (Tindakan/Action);
(3) Melakukan observasi dan pengumpulan data ketika dan setelah tindakan dilakukan
(Observasi/Observation);
(4) Melakukan analisis dan penafsiran data, serta pengkajian terhadap dampak dari
tindakan yang dilakukan (Refleksi/Reflection).

8
Refleksi yang dilakukan mengarahkan penyempurnaan atau perbaikan terhadap
rencana yang telah dilakukan, sehingga diperoleh rencana baru untuk dipraktekan dan
diamati dampaknya pada siklus berikutnya. Rangkaian siklus seperti ini berjalan terus,
sehingga PTK dapat diilustrasikan pada Gambar 1. Selain itu, untuk meningkatkan
kemaslahatan hasil PTK, “good practice” yang berhasil dikembangkan perlu disebarluaskan
kepada sejawat guru mata pelajaran lain di satu sekolah serta sejawat di sekolah lain
(melalui publikasi) sebagai model.

Perencanaan

Refleksi SIKLUS I Pelaksanaan

Pengamatan

Perencanaan

Refleksi SIKLUS II Pelaksanaan

Pengamatan

Dari: Arikunto, Suhardjono, Supardi (2006)

Gambar 1. Proses penelitian tindalan kelas

Pada tahap identifikasi masalah, hendaknya pertanyaan yang dirumuskan harus


bermanfaat untuk kelas, yakni yang jawabannya mengarah pada metode dan teknik
pembelajaran yang lebih efektif, misalnya “Apakah pembelajaran aktif menyebabkan
siswa lebih bergairah dalam belajar dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik?” Pada
tahap perencanaan, literatur perlu dirujuk, hanya tidak terlalu merujuk pada sumber
primer (laporan riset), tetapi cukup sumber sekunder, misalnya buku-buku tentang
pengajaran sains atau informasi praktis dari WWW. Sementara itu metode penelitian yang
diterapkan dapat merujuk pada metode-metode standar, namun dapat dibuat lebih praktis,
seperti misalnya cukup dengan desain pre-eksperimen atau quasi-eksperimen untuk
meninjau hubungan sebab-akibat. Data yang dikumpulkan dapat berupa data kuantitatif
(skor tes dan hasil survey) ataupun kualitatif (misalnya komentar dan evaluasi siswa pada
dialog atau focus group discussion (FGD).

9
Analisis data pada PTK terarah untuk menjawab secara langsung pertanyaan
penelitian, misalnya apakah strategi mengajar yang diterapkan membuahkan proses dan
hasil belajar yang lebih baik. Pengujian statistika yang canggih terhadap data kuantitatif
tidak praktis dalam PTK, karena penelitian ini lebih bersifat studi kasus dan terikat pada
konteks sekolah, yang hasilnya tidak dapat digeneralisasi ke setting yang lebih luas.
Sementara itu kesimpulan yang ditarik dari PTK perlu memberikan informasi yang
langsung untuk pengambilan keputusan guru dalam menentukan strategi mengajar ke
depan. Implikasinya perlu jelas, apakah perlu mengadopsi strategi baru yang
dikembangkan (jika ada indikasi memberikan hasil lebih baik), apakah kembali ke
strategi seperti biasa (jika ada indikasi lebih buruk), atau memodifiksi strategi baru
tersebut untuk diujicobakan lagi (tidak ada indikasi lebih baik, tetapi ada potensi untuk
memberikan hasil lebih baik).

4. Ranah-Ranah Penelitian Pendidikan IPA


Penelitian-penelitian untuk tujuan penulisan skripsi/tesis dalam bidang pendidikan IPA
diarahkan terutama pada “classroom based research”, yaitu penelitian yang dilakukan dalam
setting kelas secara nyata untuk mempelajari masalah pembelajaran (Wilson, 2013). Tugas
melakukan penelitian tipe ini akan memberikan pengalaman belajar kepada calon guru yang
dapat mengembangkan profesionalisme guru, termasuk kemampuan mengidentifikasi secara
tajam permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran di kelas, mengembangkan solusi bagi
permasalahan tadi, serta mengujinya secara ilmiah. Duit (2007) menyatakan bahwa dalam
konteks pendidikan IPA, ranah-ranah penelitian yang bersesuaian dengan tujuan itu antara
lain sebagai berikut.

4.1 Analisis Konsepsi dan Miskonsepsi Siswa


Penelitian dalam ranah ini mengidentifikasi konsepsi-konsepsi (ide-ide) siswa mengenai
konsep-konsep esensial dalam silabus mata pelajaran kimia di SMP/MTs dan SMA/MA
dengan berbagai macam metode standar, antara lain asesmen dengan tes diagnostik
miskonsepsi dua tingkat (two-tier diagnostic test), interviu klisnis (dengan perekaman)
terhadap siswa, atau pemetaan konsep oleh siswa. Hasil studi tipe ini diharapkan dapat
memperkaya pengetahuan tentang konsepsi-konsepsi alternatif yang ada dalam pikiran
siswa sekolah menengah pada umumnya. Sesuai dengan kaidah pembelajaran
konstruktivis, pengetahuan ini penting sebagai landasan bagi guru untuk merancang
strategi pembelajaran yang efektif.

10
4.2 Remediasi Miskonsepsi dengan Menerapan Teori Pengubahan Konsep
Atas dasar miskonsepsi-miskonsepsi yang teridentifikasi dapat dilakukan penelitian
untuk mengembangkan dan mengevaluasi efektivitas metode, teknik, dan media
(konvensional dan digital) inovatif untuk meremedi kelompok siswa yang mengalami
miskonsepsi tersebut. Metode pembelajaran inovatif untuk meremedi miskonsepsi dapat
dikembangkan dengan merujuk pada teori tentang pengubahan konsep (conceptual
change). Sementara itu metode penelitian yang laik dipakai untuk mengevaluasi
efektivitas metode inovatif yang dikebangkan adalah quasi-ekesperimen.

4.3 Diagnosis Kesalahan Umum Siswa dalam Memecahkan Masalah Numerik IPA
Kompetensi melakukan perhitungan-perhitungan numerik terkait IPA (terutama fisika dan
kimia) menjadi masalah nyata yang dihadapi siswa. Identifikasi perlu dilakukan terhadap
titik kelemahan siswa dalam proses pemecahan masalah, yang menyebabkan mereka
memperoleh jawaban salah. Metode standar yang dapat dipakai dalam mengidentifikasi
kelemahan tersebut adalah analisis terhadap respon tertulis siswa pada penyelesaian soal
hitungan serta teknik “thinking-aloud”. Siswa yang menjadi subyek penelitian diminta
menyelesaikan soal hitungan sambil mengutarakan proses penalaran yang terjadi dalam
pikirkannya, dan peneliti merekam apa yang dikatakan siswa. Dengan teknik thinking
aloud dimungkinkan peneliti menelusuri titik awal siswa berbuat salah dengan metode
analisis konten terhadap transkripsi rekaman yang dibuat.

4.4 Analisis Pembelajaran


Yang dimaksud dengan analisis pengajaran adalah mengobservasi dan merekam interaksi
belajar-mengajar yang dilakukan oleh guru piawai ketika mengajarkan suatu topik
tertentu pada kurikulum, untuk kemudian melakukan analisis konten terhadap transkripsi
interaksi belajar-mengajar tadi untuk menemukan bagaimana guru memfasilitasi siswa
dalam mengkontruksi konsep IPA. Strategi guru dalam menerapkan pedagogi sains yang
membuat materi pelajaran terpahami (tercerna) menjadi temuan-temuan penting dari
penelitian semacam ini. Dapat juga perilaku pengajar guru piawai diperbandingkan
dengan guru pemula, sehingga pengetahuan praktis pembelajaran (practical knowledge of
teaching) guru yang menyebabkan kepiawaian dalam mengajar IPA dapat diidentifikasi
dan dihimpun untuk dijadikan rujukan bagi guru-guru lainnya.

4.5 Pengembangan dan Ujicoba Lapangan Pembelajaran


Penelitian dalam ranah ini berupaya menerapkan teori, prinsip, pendekatan baru dalam
mengajar, atau penggunaan teknologi yang prospektif untuk meningkatkan keberhasilan

11
pembelajaran, khususnya yang menyangkut topik yang sesuai. Dalam penelitian tipe ini
dikembangkan suatu program pembelajaran dengan menerapkan teori, prinsip,
pendekatan yang dirujuk, misalnya konstruktivisme, pedagogical content knowledge
(PCK), contextual teaching-learning (CTL), science –environment-technology-society
(SETS), problem based learning (PBL), project based approach (PBA), pembelajaran
kooperatif/kolaboratif, pembelajaran berbasis ICT, dsb. Program pembelajaran beserta
perangkat penunjangnya, seperti RPP, bahan ajar dan media terkait dikembangkan, untuk
kemudian diimplementasikan dalam kelas (oleh guru mitra atau peneliti sendiri). Desain
quasi-eksperimen diperlukan untuk menguji efektivitas program pembelajaran yang
dirancang, di samping observasi terhadap perilaku belajar siswa dalam pembelajaran
inovatif yang diujicobakan.

4.6 Pengembangan dan Validasi Alat Penilaian Kompetensi


Praktek penilaian kompetensi berbeda dari sekedar penilaian pemahaman konsep.
Ketiadaan alat penilaian kompetensi akan menyebabkan yang dievaluasi hanyalah salah
satu aspek dari kompetensi saja. Di sisi lain ketiadaan alat uji kompetensi yang dapat
dijadikan model dalam mengembangkan soal ujian akhir semester atau bahkan ujian akhir
sekolah dan ujian akhir nasional, bahkan menyebabkan praktek pembelajaran kembali ke
cara-cara lama yang menekankan memorisasi pengetahuan sebagaimana diujikan dalam
tes konvensional (test driven instruction). Oleh karenanya model-model prosedur dan alat
penilaian (dalam format test atau penilaian alternatif) yang efektif untuk menilai
kompetensi IPA (kognitif, afektif dan psikomotor) baik dalam bentuk tes, skala sikap,
ataupun rubrik penilaian keterampilan, perlu digagas, dikembangkan, dan divalidasi
melalui penelitian empirik. Dalam konteks penelitian tipe ini pula test-tes kompetensi IPA
yang digunakan secara internasional (TIMSS & PISA) perlu ditelaah secara mendalam,
baik dari segi konstruksi dan, lingkup kompetensi yang dinilai, untuk kemudian menjadi
model bagi pengembang tes kompetensi IPA di Indonesia ke depan.

5. Instrumen Penelitian Pendidikan


Relasi antara instrumen penilaian dan penelitian pendidikan adalah dua arah. Penelitian
pendidikan memerlukan instrument (alat pengumpul data) yang pada dasarnya adalah alat
penilaian. Variabel-variabel dalam penelitian kuantitatif perlu dipastikan nilainya dengan
menggunakan alat penilaian (instrumen) yang sesuai. Variabel capaian hasil belajar dinilai
dengan tes hasil belajar, variable penalaran dan aspek-aspek kemampuan psikologis lainnya

12
seperti kemahiran berpikir kritis diukur dengan tes psikologis yang sesuai. Variabel sikap dan
motivasi diukur dengan instrumen berbentuk skala sikap dan inventori. Variabel keterampilan
diukur dengan rubrik penilaian kinerja.
Terdapat bermacam-ragam alat pengumpul data digunakan dalam penelitian
pendidikan, antara lain tes, inventori, skala sikap, pedoman observasi, kuesioner (angket),
dan pedoman wawancara (Cohen, Manion & Morrison, 2007). Dalam berbagai studi
kuantitatif, pengumpulan data dinamakan juga pengukuran, sebab peneliti memberikan nilai
numerik (angka) pada fenomena atau obyek yang diamati dan pada respon yang diberikan
oleh subyek penelitian. Oleh karena itu dalam studi kuantitatif alat pengumpul data
dinamakan juga alat ukur (measuring instrument). Sementara itu dalam studi kualitatif,
khususnya studi etnografik, peneliti umumnya mengandalkan dirinya sebagai instrumen
(researcher as instrument), sehingga data dan informasi tentang variable-variabel penelitian
dituliskan peneliti dalam catatan lapangan (fieldnotes). Kalaupun ada wawancara yang
dilakukan dalam studi kualitatif, sifatnya sangat kontekstual dan fleksibel, sehingga peneliti
umumnya tidak menyiapkan pedoman wawancara yang terstruktur, cukup daftar pertanyaan-
pertanyaan utama saja. Secara rinci instrumen-instrumen penelitian yang luas penggunaanya
dipaparkan berikut ini.

5.1 Tes
Test adalah instrumen yang harus direspon oleh subyek penelitian dengan menggunakan
penalaran dan pengetahuannya. Ada dua macam tes yang dipakai dalam penelitian
pendidikan, yakni tes psikologis (psychological test) dan tes prestasi belajar (achievement
test). Test psikologis yang sering dipakai dalam penelitian pendidikan sains umumnya
berbetuk tes penalaran berbasis teori Piaget, seperti Test of Logical Thinking (TOLT),
Test Longeot, Group Assessment of Logical Thinking (GALT). Baik tes psikologis
maupun tes prestasi belajar yang digunakan dalam penelitian harus terstandarisasi
(standardized), dalam pengertian teruji validitas dan reliabilitasnya berdasarkan
pengujian empirik.

5.2 Inventori
Inventori adalah instrumen penelitian yang memuat daftar pernyataan yang direspon
subyek dengan menyatakan persetujuannya (ya) atau ketidaksetujuannya (tidak) secara
pribadi terhadap pernyataan-pernyataan yang diberikan. Inventori disusun sedemikian
rupa sehingga mampu mengungkap kecenderungan kepribadian (personality traits)

13
misalnya inventori untuk mengungkap gaya belajar (learning style) dan profil kecerdasan
majemuk (multiple intelligence) seseorang.

5.3 Skala Sikap


Skala sikap (attitudes scale) adalah suatu bentuk instrumen untuk mengukur sikap
seseorang terhadap obyek sikap tertentu (benda, orang, peristiwa), misalnya pembelajaran
sains, bidang studi kimia, ujian nasional, dan guru kimia. Umumnya skala sikap dituliskan
dalam format skala Likert, yakni terdapat sejumlah pernyataan sikap, yang direspon
subyek dengan menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuannya dalam beberapa tingkatan,
misalnya: Sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).

5.4 Pedoman Observasi


Pedoman observasi merupakan instrumen untuk memfokuskan pengamat terhadap aspek-
aspek tertentu yang diselidiki ketika ia melakukan observasinya. Dengan-instrumen ini
pula aspek-aspek yang diamati dari sejumlah obyek pengamatan (misalnya indikator-
indikator perilaku mengajar guru atau perilaku belajar siswa) dapat diperbandingkan.
Dengan perkembangan pada teknologi kamera video digital, obyek yang diamati dapat
direkam dan disimpan dalam format VCD, sehingga memungkinkan pengamat dapat
mengamati ulang obyek yang diamati ketika menganalisis hasil pengamatannya.

5.5 Kuesioner (Angket)


Kuesioner (questioner atau questionnaire) adalah instrumen penelitian untuk mensurvei
pilihan, opini, ekspektasi responden dalam jumlah besar. Tidak ada format khusus bagi
kuesioner, namun umumnya berupa: (1) sederetan pertanyaan yang perlu dijawab dengan
esai singkat, (2) sejumlah pertanyaan dengan beberapa opsi jawaban tersedia, (3) rating
scale untuk menentukan nilai suatu obyek, orang atau peristiwa. Oleh karena peneliti dapat
mewakilkan kehadirannya kepada petugas pengumpul data pada saat pengumpulan data
dengan kuesioner, maka setiap pertanyaan harus jelas, tidak menimbulkan salah tafsir dan
munculnya permintaan penjelasan.

5.6 Pedoman Wawancara


Pedoman wawancara adalah daftar pertanyaan yang direncanakan diajukan kepada
responden. Pada pedoman wawancara diberikan pula ruang untuk pewawancara
menuliskan jawaban responden. Namun, pada saat ini terdapat banyak alat perekam audio
dengan sensitivitas yang kuat, yang dapat dipakai merekam jawaban responden. Dengan
demikian pewawancara tak perlu menulis jawaban responden, namun pewawancara dapat

14
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut yang bersifat “menggali”, untuk
memperoleh informasi yang lengkap dari responden.

Apapun bentuk instrumennya, harus memenuhi kriteria valid dan reliable. Validitas
menunjuk pada kesesuaian antara informasi yang dicari dan pertanyaan yang disusun,
sedangkan reliabilitas menunjuk pada konsistensi (keajegan) informasi yang diungkap. Oleh
karena itu pada saat dikembangkan, butir-butir pertanyaan instrumen perlu ditulis dengan
merujuk pada jenis informasi yang akan digali. Kesesuaian tersebut akan lebih terjamin jika
peneliti menyiapkan Tabel Spesifikasi (kisi-kisi) tes yang berformat matriks yang pada kolom
pertama memuat informasi yang dicari dan pada kolom berikutnya pertanyaan yang disusun.
Timbangan panel ahli (expert judgement), 3-5 orang, diperlukan untuk mengevaluasi validitas
isi masing-masing butir pertanyaan. Uji coba tentang keterbacaan pertanyaan-pertanyaan
perlu dilakukan, dengan cara memberikan buram (draft) instrumen tersebut kepada sejumlah
orang yang dapat dipandang setara dengan responden penelitian, untuk memperoleh
informasi tentang aspek-aspek mana dari instrumen yang perlu diperbaiki. Untuk instrumen
berbentuk tes, pengujian validitas dan reliabilitas perlu dilakukan secara intensif, dan ciri-ciri
psikometrik dari tes yang dipakai perlu dimuat dalam paparan tentang instrumen penelitian
sebagai bagian dari metode penelitian.
Di sisi lain, instrumen-instrumen penilaian dapat menjadi obyek penelitian
pendidikan. Sejak lama pengembangan instrumen penilaian kompetensi IPA yang baku
(standardized) menjadi topik-topik penelitian yang dilaporkan dalam jurnal-jurnal ilmiah.
Berdasarkan pandangan teoritis terhadap suatu kompetensi IPA dielaborasi komponen-
komponen dan indikator kompetensi tersebut, setelah itu butir-butir (items) yang diprediksi
mengukur indikator-indokator tersebut dikembangkan, ditimbang isinya oleh sebuah panel
pakar untuk memastikan validitasnya, seterusnya diujikan di lapangan terhadap sejumlah
responden yang serupa dengan target pengukuran untuk memastikan reliabilitas instrumen
yang dikembangkan itu.

Rujukan

Arikunto, S., Suhardjono, & Supardi (2006). Penelitian tindakan kelas. Jakarta: Bumi
Aksara.
Cohen, L, Mainon, L., & Morrison, K. (2007). Research methods in education. London:
Routledge.

15
Costello, P. J. M. (2011). Effective action research: Developing reflective thinking and
practice. London: Continuum International Publishing.
Duit, R. (2007). Science education research internationally: Conceptions, research methods,
and domains of research. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology
Education, 3(1), 3-15.
Gay, L. R., Mills, G. E., & Airasian, P. (2009). Educational research: Competencies for
analysis and applications. Upper Saddle River, NJ: Pearsoan Education.
Fraenkel, J. R., & Wallen, N. E. (2006). How to design and evaluate research in education.
New York: McGraw-Hill.
McMillan, J. H., & Wergin, J. F. (2002). Understanding and evaluating educational
research. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education.
McMillan, J. H. (2012). Educational research: Fundamentals for the consumer. Boston, MA:
Pearson Education.
Taber, K. S. (2013). Beyond positivism: Scientific research into education. In E. Wilson
(Ed.), School-based research: A guide for education students (287-304). Los Angeles,
CA: SAGE Publication.
Wilson, E. (2013). Beyond positivism: Scientific research into education. In E. Wilson (Ed.),
School-based research: A guide for education students (24-38). Los Angeles, CA:
SAGE Publication.
Zuchdi, D. (1993). Panduan penelitian analisis konten. Yogyakarta: Lembaga Penelitian
IKIP Yogyakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai