Anda di halaman 1dari 20

REFRESHING

EPIDURAL HEMATOMA

Pembimbing:

dr. Zaini Hamzah, Sp.BS

Disusun Oleh:

Andri Dwiputra Pasopati 2015730008

Ikhlima Pramista J 2015730057

Ulayya Ghina Nabilla 2015730129

Yayan Samayang P. Latuconsina 2015730133

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH

PERIODE 13 APRIL – 10 MEI 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan refreshing yang
berjudul Epidural Hematoma.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada tim pengajar FKK
Universitas Muhammadiyah Jakarta dan rekan-rekan yang telah membantu
penulis dalam pembuatan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih


banyak terdapat kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam pembuatan makalah berikutnya.

Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi
dokter muda yang sedang menjalani stase ilmu bedah.

Jakarta, April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

1.1. Latar Belakang.......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................2

2.1. Definisi..................................................................................................2

2.2. Epidemiologi..........................................................................................2

2.3. Anatomi.................................................................................................2

2.4. Etiologi..................................................................................................5

2.5. Patofisiologi...........................................................................................6

2.6. Manifestasi Klinis..................................................................................7

2.7. Diagnosis...............................................................................................8

2.8. Tatalaksana..........................................................................................10

2.9. Prognosis..............................................................................................14

2.10. Komplikasi.......................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, tulang dan beberapa
lapisan yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan
mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu
rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi.

Epidural Hematoma ( EDH ) adalah akumulasi darah yang berada


diantara tengkorak dan dura. Dura melekat pada tulang dan beberapa tekanan
seperti kepala terbentur atau dipukul oleh benda tumpul dapat menyebabkan
keduanya terpisah. EDH biasanya adalah hasil dari gangguan yang terjadi
pada arteri, terutama arteri meningeal. Ketika volume hematoma bertambah
maka akan menyebabkan Intracranial preasure ( ICP ) meningkat, dan pasien
dengan cepat menjadi lesu serta bisa terjadi herniasi pada otak akibat dari
adanya penekanan.1

EDH dikaitkan dengan trauma energi yang rendah dengan cedera otak
primer yang lebih sedikit. Hasil yang baik dapat dilihat pada 85% hingga 90%
pasien, dengan CT scan dan intervensi cepat. Dalam beberapa kasus, EDH
juga dapat disebabkan oleh robekan sinus vena dural yang berkembang
dengan cepat dan biasanya dikaitkan dengan tingkat morbiditas yang tinggi
ketika dirawat.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi
Epidural hematoma (EDH)adalah adanya darah di ruang epidural yaitu
antara peiosteum dan durameter.2

II.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan EDH
dan sekitar 10% mengakibatkan koma, 60% penderita EDH adalah berusia 20
tahun. Laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 4 : 1.3

II.3. Anatomi
II.3.1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit,connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau
galeaaponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar
danpericranium.4

2
Gambar 1. Anatomi lapisan pembungkus otak

II.3.2. Tulang Tengkorak


Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal
danoksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi.Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior
tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.5

II.3.3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri
dari 3 lapisan yaitu: 4

a. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisanendosteal dan lapisan meningeal.4 Duramater merupakan selaput
yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada
permukaan dalam darikranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, makaterdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara duramater danarachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,pembuluh-pembuluh vena
yang berjalan pada permukaan otak menuju sinussagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-
sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak
antara duramater dan permukaan dalam darikranium (ruang epidural).
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-
arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang palingsering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada
fosatemporalis (fosa media). 4

3
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan
dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari
dura mater oleh ruangpotensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatiumsubarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.4
Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala. 4

c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.3 Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi
gyri dan masukkedalam sulci yang paling dalam. Membran ini
membungkus saraf otak danmenyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri
yang masuk kedalam substansi otakjuga diliputi oleh pia mater.4

II.3.4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat
padaorangdewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu;
proensefalon (otakdepan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon
(otak tengah) danrhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula
oblongata danserebellum retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.
Serebellum bertanggung jawab dalamfungsi koordinasi dan keseimbangan. 4

Gambar 2. Lobus Otak

4
II.3.5. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari. 4

II.3.6. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior). 4

II.3.7. Vaskularisasi otak


Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot
didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena
tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis. 4

II.4. Etiologi
Penyebab perdarahan epidural dapat dibagi menjadi trauma dan non
trauma. Penyebab trauma sering berupa benturan tumpul pada kepala akibat
serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma akselerasi-deselerasi dan gaya
melintang. Selain itu perdarahan epidural intrakranial pada bayi baru lahir
dapat terjadi akibat distosia, ektraksi forseps, dan tekanan kranium berlebihan
pada jalan lahir. Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan
struktur duramater dan pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur. Akibat
trauma kapitis,tengkorak retak. Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur
linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa
bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya

5
menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai
jaringan otak (laserasio). Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika
pecahnya pembuluh darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam
ruang antara duramater dan tengkorak. 6

Penyebab non trauma perdarahan epidural diantaranya adalah obat


antikoagulan, agen trombolisis, lumbal pungsi, anesthesia epidural,
koagulopati, penyakit hepar dengan hipertensi portal, kanker, alkholisme
kronik malformasi vascular, herniasi diskus, penyakit paget pada6 tulang,
valsava manuever. Gangguan sinus venosus dura (sinus transversum atau
sigmoid) oleh fraktur dapat menyebabkan perdarahan epidural di fossa
posterior sedangkan gangguan sinus sagitalis superior dapat menyebabkan
perdarahan epidural pada vertex. Sumber perdarahan epidural yang non
arterial diantaranya adalah venous lakes, dipoic veins, granulatio arachnoid
dan sinus petrosus.

Epidural hematoma terjadi pada sekitar 10% dari cedera otak traumatis
(traumatic brain injury/TBI) yang membutuhkan rawat inap. Baik dengan
mekanisme traumatik dan non-trauma dapat menyebabkan hematoma
epidural. Sebagian besar kasus yang terkait dengan mekanisme traumatis
adalah akibat dari cedera kepala baik itu akibat dari kecelakaan kendaraan
bermotor, serangan fisik, atau jatuh secara tidak sengaja.7

Sedangkan penyebab non traumanya terdiri dari:7

 Infeksi/ abses
 Koagulopati
 Tumor hemoragik
 Malformasi vascular

II.5. Patofisiologi
II.5.1. Arterial injury
Sebagian besar hematoma epidural dihasilkan dari perdarahan arteri
dari cabang arteri meningeal tengah. Arteri meningeal anterior atau fistula
dural arteriovenous (AV) pada verteks mungkin terlibat.8,9

6
II.5.2. Venous injury
Sebanyak 10% epidural hematoma disebabkan oleh perdarahan vena
setelah laserasi sinus vena dural. Pada orang dewasa, hingga 75% epidural
hematom terjadi di wilayah temporal. Namun, pada anak-anak, epidural
hematoma terjadi dengan frekuensi yang sama di daerah fossa temporal,
oksipital, frontal, dan posterior. Fraktur tengkorak terjadi pada sebagian besar
pasien dengan epidural hematoma. Hematoma ini sering hadir di bawah
fraktur bagian skuamosa tulang temporal. Jika kondisi ini terjadi dalam tulang
belakang, entitas ini digambarkan sebagai hematoma epidural tulang
belakang.8,9

II.6. Manifestasi Klinis


Perdarahan epidural secara klinis ditandai dengan adanya interval
lusid, yaitu periode kesadaran pulih diantara dua penurunan kesadaran. Pada
awal terjadi cedera kepala, kesadaran pasien akan menurun. Selanjutnya
pasien akan sadar penuh, tetapi kembali kehilangan kesadaran beberapa saat
kemudian karena adanya akumulasi darah. Sementara itu, 15% pasien
diketahui tidak mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala
terjadi. Dengan demikian, pasien dengan perdarahan epidural membutuhkan
pemantauan ketat untuk mencegah pasien jatuh perburukan.3

Selain interval lusid, juga dapat ditemukan tanda dan gejala


peningkatan TIK, di antaranya nyeri kepala dan muntah karena akumulasi
darah akan meningkatkan volume di dalam tengkorak, sementara tengkorak
memliki daya akomodasi yang terbatas.3

Seiring progresifitas penyakit, bebrapa pasien dapat ditemukan


penurunan frekuensi nadi, menurunnya frekuensi pernapasan, dan
meningkatnya tekanan darah (refleks Cushing). Gejala lain yang juga dapat
menandakan perdarahan epidural sudah berada dalam tahap lanjut adalah
ditemukannya hemiparesis, refleks patologis Babinski positif, dilatasi pupil
yang menetap pada satu atau kedua mata, serta deserebrasi, Tanda-tanda
tersebut mengindikasikan terjadinya herniasi otak.3

7
II.7. Diagnosis
II.7.1. Anamnesis
Berikut ini adalah hal – hal yang perlu digali pada kasus trauma:

 Mekanisme cedera kepala secara detail, meliputi proses terjadinya, posisi


pasien saat kejadian, bagian tubuh yang pertama kali terkena, kecepatan
(jika kecelakaan lalu lintas) atau besarnya kekuatan (jika pukulan atau
barang) obyek yang menyebabkan cedera kepala.
 Tingkat kesadaran, perlu ditanyakan kesadaran memang sudah hilang se-
jak setelah trauma atau hilang setelah pasien sempat sadar.
 Durasi hilangnya kesadaran.
 Amnesia pascatrauma, tanyakan kondisi pasien sebelum, saat, dan setelah
trauma.
 Nyeri kepala, perlu dibedakan nyeri akibat peningkatan tekanan
intrakranial atau disebabkan oleh nyeri somatik akibat cedera scalp.
 Gejala neurologis lain, seperti anosmia, kejang, kelemahan tubuh sesisi
atau dua sisi, bingung, diplopia, dan orientasi pasien terhadap waktu,
tempat, serta orang perlu ditanyakan saat anamnesis.

II.7.2. Pemeriksaan Fisik


a. Tanda dan diagnostik klinik epidural hematoma
Tanda dan diagnostik klinik epidural hematoma yang dapat dilihat
pada status generalis dan status neurologis pemeriksaan fisik:3

o Terdapat interval lusid


o Kesadaran semakin lama semakin menurun
o Hemiparesis kontralateral lesi yang terjadi belakangan
o Pupil anisokor
o Adanya reflex Babinski di kontralateral lesi
o Fraktur di daerah temporal (pada kasus trauma)

8
b. Tanda dan diagnostik epidural hematoma di fossa posterior
Tanda dan diagnostik klinik epidural hematoma di fossa posterior
yang dapat dilihat pada status generalis dan status neurologis pemeriksaan
fisik pada kasus trauma kepala:3

o Interval lusid tidak jelas


o Fraktur kranii oksipital (pada kasus trauma)
o Hilang kesadaran dengan cepat
o Gangguan serebellum, batang otak, dan pernapasan
o Pupil isokor
o Pada CT-scan otak didapatkan gambaran hiperdens di tulang
tengkorak dan dura, umumnya di daerah temporal, dan tampak
bikonveks.

II.7.3. Pemeriksaan Penunjang


a. CT-scan
Pada hematoma epidural akut dapat ditemukan:10

 Ciri khasnya adalah bentuk letikuler atau bikonveks yang hiperdens.


 Terjadi di bawah tengkorak dan menekan gyrus dan sulci di bawahnya.
 Dapat menyebabkan pergeseran ventrikel melewati garis tengah.
 Paling sering terjadi di region temporal atau temporoparietal.

Gambar 3. Hematoma epidural


bikonveks besar di daerah frontotemporal kiri menyebabkan efek massa, pergeseran garis tengah

9
dan herniasi subfalcine. Ada fraktur linear di tulang temporal dan frontal selain fraktur blow-out
kanan orbit dengan herniasi lemak11

b. MRI
MRI dapat dengan jelas menunjukkan dura yang dipindahkan yang
muncul sebagai garis hypointense pada urutan T1 dan T2 yang membantu
dalam membedakannya dari hematoma subdural. EDH akut muncul isointense
pada T1 dan menunjukkan intensitas variabel dari hipo ke hyperintense pada
urutan T2. EDH subakut dini tampak hipointensia pada T2 sedangkan EDH
subakut dan kronik hiperintens pada sekuens T1 dan T2. Kontras intravena
dapat menunjukkan sinus vena yang dipindahkan atau tersumbat dalam kasus
asal vena EDH.10

c. Angiografi
Ini dapat digunakan untuk mengevaluasi penyebab nontraumatic (mis.
AVM) dari EDH. Jarang angiografi dapat menunjukkan laserasi arteri
meningeal tengah dan ekstravasasi kontras dari arteri meningeal tengah ke
dalam vena meningeal tengah berpasangan yang dikenal sebagai "tanda jalur
trem".10

II.8. Tatalaksana
II.8.1. Primary Survey
Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan
prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan
mekanisme trauma. Pada primary survey dilakukan usaha untuk mengenali
keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu dengan berpatokan pada
urutan berikut:12

A : Airway

Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal
ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan
oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maxilla,
fraktur laring/trakhea. Usaha untuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal (servical spine control), dimulai dengan
melakukan chin lift atau jaw trust. Jika dicurigai ada kelainan pada

10
vertebra servikalis berupa fraktur maka harus dipasang alat immobilisasi
serta dilakukan foto lateral servikal.

Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan


gangguan kesadaran atau GCS (Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada
penderita dengan gerakan motorik yang tidak bertujuan.

B : Breathing

Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi


yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan
diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan
dan dilakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam
paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam
rongga pleura. Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan
kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi dan mengenali
kemungkinan terdapat distensi vena jugularis, deviasi trakhea, ekspansi
pernafasan, dan trauma dinding dada.

Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat


adalah tension pneumothoraks, flailchest dengan kontusio paru dan open
pneumotoraks. Sedangkan trauma yang dapat mengganggu ventilasi
dengan derajat lebih ringan adalah hematothoraks, simple pneumothoraks,
patahnya tulang iga, dan kontusio paru.

C : Circulation

 Volume darah dan cardiac output

Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi


dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi
pada trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti
sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari
status hemodinamik penderita yang meliputi :

a) Tingkat kesadaran

11
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang
yang mengakibatkan penurunan kesadaran.

b) Warna kulit

Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat


merupakan tanda hipovolemia.

c) Nadi

Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti


arteri femoralis atau arteri karotis kiri dan kanan untuk melihat
kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat,
dan teratur, biasanya merupakan tanda normovolemia. Nadi yang
cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, sedangkan nadi
yang tidak teratur merupakan tanda gangguan jantung. Apabila
tidak ditemukan pulsasi dari arteri besar maka merupakan tanda
perlu dilakukan resusitasi segera.

 Pengelolaan circulation dengan control perdarahan


a) Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta
konsultasi pada ahli bedah
c) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil
sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes
kehamilan (pada wanita usia subur), golongan darah serta Analisis
Gas Darah.
d) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan
cepat.
e) Cegah hipotermia

D : Disability/neurologic evaluation

Pada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat atau level cedera spinal.

12
GCS / Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat
meramal outcome penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh
penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan
trauma langsung.

E : Exposure/environmental

Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan


cara menggunting dengan tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita.
Setelah pakaian dibuka penderita harus diselimuti dan ditempatkan pada
ruangan yang cukup hangat..

II.8.2. Tatalaksana epidural hematom


a. Penangan darurat epidural hematom : 2
o Dekompresi dengan trepanasi sederhana
o Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom.

b. Terapi medikamentosa : 2
o Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital :

Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah
yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk
membuka jalur intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in
saline.

o Mengurangi edema otak :

Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:

a) Hiperventilasi.

Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah


vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat
membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi

13
kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100
mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.

b) Cairan hiperosmoler.

Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk


“menarik” air dari ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk
kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang
dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang cukup dalam
waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030 menit.
Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah. Pada
kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat
dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan
harinya.

II.8.3. Indikasi operasi :


Indikasi dilakukan operasi jika:3

a) > 40 cc dengan midline shifting pada daerah temporal I frontal I


parietal dengan fungsi batang otak masih baik.
b) > 30 cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan
batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih
baik.
c) EDH progresif.
d) EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.

II.9. Prognosis
Prognosis Epidural Hematom tergantung pada :3

 Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )


 Besarnya
 Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya


baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis
sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.3

14
II.10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus epidural hematoma adalah
sebagai berikut:3

 Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis di


mana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada
kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan
intracranial.
 Kompresi batang otak

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi FC, Andersen DK, R. BT, Dunn DL. Schwartz’s


Principle of Surgery. 11th ed. Pennsylvania: Mc Graw Hill
Education Lange; 2019.

2. Kirollos RW. Oxford Textbook of Neurological Surgery. 1st ed.


Oxford University Press; 2019.

3. Ramli Y, Zairinal RA. Cedera Kepala. In: Buku Ajar Neurologi.


1st ed. Jakarta: Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2017.

4. Drake R. Gray’s Basic Anatomy. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier


Saunders; 2018.

5. Brennan PA. Gray’s Surgical Anatomy. 1st ed. Philadelphia:


Elsevier Inc.; 2019.

6. Townsend CM. Sabiston Textbook of Surgery. 20th ed.


Philadelphia: Elsevier Inc.; 2017.

7. Tamburrelli FC, Meluzio MC, Masci G, Perna A, Burrofato A,


Proietti L. Etiopathogenesis of traumatic spinal epidural
hematoma. Neurospine [Internet]. 2018 Mar 1 [cited 2020 Apr
17];15(1):101–7. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29656630

8. Bonow RH, Barber J, Temkin NR, Videtta W, Rondina C,


Petroni G, et al. The Outcome of Severe Traumatic Brain Injury

16
in Latin America. World Neurosurg [Internet]. 2018 Mar 1
[cited 2020 Apr 17];111:e82–90. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29229352

9. Burjorjee JE, Rooney R, Jaeger M. Epidural Hematoma


Following Cessation of a Direct Oral Anticoagulant: A Case
Report. Reg Anesth Pain Med [Internet]. 2018 Apr 1 [cited 2020
Apr 17];43(3):313–6. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29369958

10. Klein JS, Brant WE, Helms CA. Brant and Helms’
Fundamentals of Diagnostic Radiology [Internet]. 5th ed.
Philadelphia: Wolters Kluwer; 2018. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.tws.2012.02.007

11. Extradural haemorrhage | Radiology Reference Article |


Radiopaedia.org [Internet]. [cited 2020 Apr 17]. Available from:
https://radiopaedia.org/articles/extradural-haemorrhage

12. Stewart R, Rotondo M, Henry S. Advanced trauma life support


(ATLS). 10th ed. American College of Surgeons; 2018. 100–169
p.

17

Anda mungkin juga menyukai