Disusun oleh :
Firda Annisa Anwar 2015730046
Jermansyah DD Khairari 2015730065
Kriswindari 2015730074
Mahda Lathifa 2015730082
M. Aditya Nugraha 2015730087
Saarah Khansa Kiasati 2015730116
Sri Febriyanti Dewi 2015730124
Ulayya Ghina Nabilla 2015730129
Utari Hanggialevi 2015730131
Yayan Samayang Putra L. 2015730133
2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.
Tugas ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas Tutorial pada Stase Ilmu
Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Islam Klender. Bahan-bahan dalam pembuatan tugas
ini didapat dari buku-buku dan beberapa sumber lainnya.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat penyusun harapkan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk para pembaca.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................................................1
1.1. Skenario................................................................................................................................1
1.2. Kata/Kalimat Sulit................................................................................................................1
1.3. Kata/Kalimat Kunci..............................................................................................................1
1.4. Mind Map.............................................................................................................................2
1.5. Identifikasi Masalah..............................................................................................................3
BAB 2 ANALISA MASALAH.......................................................................................................4
2.1. Hal yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan mengantuk dan tidur sepanjang hari..........4
2.2. Obat - obatan yang dapat menyebabkan keluhan pada skenario..............................................5
2.3. Hubungan antara minum obat dengan terjadinya kejang.........................................................8
2.4. Macam-macam penyakit yang mengarah kedalam skenario....................................................8
2.5. Alur diagnosis pada kasus diatas............................................................................................10
2.6. Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan...................................................................12
2.7. Definisi, klasifikasi dan komplikasi pada diagnosis kasus skenario......................................13
2.8. Faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penyakit pada pasien tersebut...........................15
2.9. Penatalaksanaan pada kasus di skenario.................................................................................16
2.10. Prognosis pada kasus di skenario.........................................................................................18
BAB 3 KESIMPULAN.................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................21
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Skenario
Seorang laki-laki berusia 23 tahun dibawa ke UGD oleh keluarganya dengan keluhan
mengantuk dan hanya ingin tidur sepanjang hari. Pasien adalah seorang mahasiswa yang
baru saja di keluarkan dari kampusnya. Semenjak dikeluarkan, ia selalu mengurung diri
di kamar dan malas melakukan apapun. Satu hari sebelumnya, keluarga mendapati pasien
minum obat yang membuatnya mengantuk dan tidur sepanjang hari. Sore harinya
sebelum dibawa ke UGD, keluarga menemukan pasien kejang, padahal tidak ada riwayat
epilepsi pada pasien dan keluarga.
1. Laki-laki 23 tahun
2. Ku: mengantuk sepanjang hari
3. Pasien seorang mahasiswa yang baru di DO
4. Pasien selalu mengurung diri
5. Pasien juga malas beraktivitas
6. Sehari SMRS pasien minum obat
7. Obat yang diminum pasien menyebabkan pasien tidur sepanjang hari
8. Sore hari sebelum masuk UGD, pasien mengalami kejang
9. Tidak ada riwayat epilepsi pada pasien
10. Tidak ada riwayat epilepsi pada keluarga pasien
Pemeriksaan
Penunjang
Tatalaksana
WD
Working Diagnosis
Tatalaksana Farmakologi
Non Farmakologi
Prognosis
1.5. Identifikasi Masalah
1. Apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan mengantuk dan tidur sepanjang
hari seperti pada skenario?
2. Obat - obatan apa saja yang dapat menyebabkan keluhan pada skenario ?
3. Apakah terdapat hubungan antara minum obat dengan terjadinya kejang?
4. Apa saja penyakit yang mengarah kedalam skenario?
5. Bagaimana Alur diagnosis pada kasus diatas?
6. Perlukah dilakukan pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan penunjang lain? jika
perlu, pemeriksaan apa yang harus dilakukan?
7. Bagaimana definisi, klasifikasi dan komplikasi pada diagnosis kasus skenario?
8. Apa saja faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penyakit pada pasien tersebut?
9. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus di skenario?
10. Bagaimana prognosis pada kasus skenario ?
BAB 2
ANALISA MASALAH
2.1. Hal yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan mengantuk dan tidur sepanjang hari
Rasa kantuk yang berlebihan atau yang sering disebut dengan hipersomnolensi adalah
kondisi noncommunicable yang serius, melemahkan, dan berpotensi mengancam jiwa.
Keadaan ini tidak hanya memengaruhi individu yang menderita, tetapi juga keluarganya,
rekan kerja, dan masyarakat luas.
Perasaan mengantuk dapat menjadi konsekuensi dari (1) kurang tidur, (2) disfungsi
neurologis dasar dalam sistem otak yang mengatur tidur, (3) gangguan tidur, atau (4) fase
ritme sirkadian individu yang terganggu.
Hal-hal yang dapat menyebabkan gangguan tidur antara lain adalah faktor psikologis,
idiopatik, higienitas tidur yang tidak adekuat, gangguan mental, serta obat-obatan, berikut
penjabarannya:
Salah satu gangguan tidur yang ditandai adanya tidur berlebihan di malam hari dan rasa
mengantuk berlebihan di siang hari dalah hipersomnia. Etiologi atau penyebab dari
hypersomnia bermacam-macam, diantaranya adalah karena obat (contohnya withdrawal
amfetamin), depresi, penggunaan sedatif yang berlebihan ataupun gangguan medis lain2.
2.2. Obat - obatan yang dapat menyebabkan keluhan pada skenario
Sedatif adalah zat-zat yang dalam dosis terapi yang rendah dapat menekan aktivitas
mental, menurunkan respons terhadap rangsangan emosi sehingga menenangkan. Obat
sedatif merupakan golongan obat pendepresi susunan saraf pusat (SSP). Efeknya bergantung
pada dosis, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan,
hingga yang berat yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesia,koma dan mati.
Pada dosis terapi, obat sedatif menekan aktivitas mental, menurunkan respons terhadap
rangsangan emosi sehingga menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan
mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.
Penggolongan Benzodiazepin
1) Long acting.
Obat-obat ini dirombak dengan jalan demetilasi dan hidroksilasi menjadi metabolit
aktif (sehingga memperpanjang waktu kerja) yang kemudian dirombak kembali menjadi
oksazepam yang dikonjugasi menjadi glukoronida tak aktif.
2) Short acting
Obat-obat ini dimetabolisme tanpa menghasilkan zat aktif. Sehingga waktu kerjanya
tidak diperpanjang. Obat-obat ini jarang menghasilkan efek sisa karena tidak
terakumulasi pada penggunaan berulang.
Lama kerjanya sangat kurang dari short acting. Hanya kurang dari 5,5 jam. Efek
abstinensia lebih besar terjadi pada obat-obatan jenis ini. Selain sisa metabolit aktif
menentukan untuk perpanjangan waktu kerja, afinitas terhadap reseptor juga sangat
menentukan lamanya efek yang terjadi saat penggunaan
a. Midazolam
Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin yang
stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Selain itu afinitas terhadap reseptor
GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia pada obat ini lebih kuat
dibandingkan efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan ingat
kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama beberapa jam.
b. Diazepam
Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut dalam lemak dan memiliki durasi
kerja yang lebih panjang dibandingkan midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut
organic (propilen glikol, sodium benzoat) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat
dengan pH 6,6-6,9.
c. Lorazepam
Lorazepam memiliki struktur yang sama dengan oxazepam, hanya berbeda pada
adanya klorida ekstra pada posisi orto 5-pheynil moiety. Lorazepam lebih kuat dalam
sedasi dan amnesia dibanding midazolam dan diazepam sedangkan efek sampingnya
sama.
d. Flurazepam
Flurazepam diindikasikan sebagai obat untuk mengatasi insomnia. Hasil dari uji klinik
terkontrol telah menunjukkan bahwa Flurazepam mengurangi secara bermakna waktu
induksi tidur, jumlah dan lama terbangun selama tidur, maupun lamanya tidur. Mula efek
hipnotik rata-rata 17 menit setelah pemberian obat secara oral dan berakhir hingga 8 jam.
Efek residu sedasi di siang hari terjadi pada sebagian besar penderita, oleh metabolit
aktifnya yang masa kerjanya panjang, karena itu obat Fluarazepam cocok untuk
pengobatan insomia jangka panjang dan insomnia jangka pendek yang disertai gejala
ansietas di siang hari.
e. Nitrazepam
f. Estazolam
Estazolam digunakan jangka pendek untuk membantu agar mudah tidur dan tetap tidur
sepanjang malam. Estazolam tersedia dalam bentuk tablet digunakan secara oral diminum
sebelum atau sesudah makan. Estazolam biasanya digunakan sebelum tidur bila
diperlukan. Penggunaannya harus sesuai dengan resep yang dibuat oleh dokter.
Estazolam dapat menyebabkan kecanduan. Jangan minum lebih dari dosis yang
diberikan, lebih sering, atau untuk waktu yang lebih lama daripada petunjuk resep.
Toleransi bisa terjadi pada pemakaian jangka panjang dan berlebihan. Tidak boleh
digunakan lebih dari 12 minggu atau berhenti menggunakannya tanpa konsultasi dengan
dokter. Dokter akan mengurangi dosis secara bertahap. Pengguna akan mengalami sulit
tidur satu atau dua hari setelah berhenti menggunakan obat ini
g. Zolpidem Tartrate
Kejang merupakan komplikasi yang umum terjadi pada keracunan obat atau efek
samping obat, penelitian menunjukan 6% onset kejang baru dan 9% kasus epilepticus
diakibatkan oleh keracunan obat1. Selain obat-obatan, pada beberapa kasus juga terdeteksi
zat lain yang dapat menyebabkan kejang. Obat yang dapat menyebabkan kejang adalah
Anti-depresan, diphenhydramine, stimulants (termasuk Kokain and methamphetamine),
tramadol dan isoniazidaccount (penyebab mayoritas kejang karena obat-obatan.
Dari data yang ada, kasus kejang karena obat di Amerika Serikat paling banyak
berhubungan denga bupropion, di swiss dilaporkan bahwa asam mefenamat dan citalopram
paling sering menyebabkan kejang akibat obat, di Iran dan Australia, overdosis tramadol
dilaporkan menjadi penyebab kejang akibat obat tersering, sedangkan di negera berkembang
dan negara agrikultur perlu diperhatikan kejang akibat herbisida dan insektisida.
Kejang karena obat-obatan terjadi karena efek langsung perubahan neural pathway
dan juga penghambatan reseptor. Gamma aminobutyric acid (GABA) reseptor yang
dimediasi dan di hambat, melibatkan glutamate sebagai eksistatori. Pada kejang karena obat-
obatan terjadi penghambatan aktivitas GABA, sehingga terjadi kejang
Intensitas intoksikasi berkurang dengan berlalunya waktu dan pada akhirnya efeknya
menghilang bila tidak terjadi penggunaan zat lagi. Dengan demikian orang tersebut akan
kembali ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan yang rusak atau terjadi komplikasi
lainnya.
Kode lima karakter berikut digunakan untuk menunjukkan apakah lrrioksikasi akut itu
disertai dengan suatu komplikasi :
Berdasarkan karakteristik yang ada pada pasien diduga mengalami intoksikasi dengan
delirium. Berdasarkan PPDGJ III, ICD X dan Peraturan Kemenkes
HK.02.02/MENKES/73/2015, diagnosis intoksikasi akut dengan delirium adalah sebagai
berikut:
- Identitas Pasien
Pada saat anamnesis yang pertama kali ditanyakan adalah identitas pasien. Pada
identitas pasien harus dijelaskan nama, jenis kelamin, usia, status pekerjaan, dan
beberapa pertanyaan lain yang berguna mencegah terjadinya kesalahan saat memeriksa
atau saat pemberian obat, kelengkapan identitas juga membantu sebagai apakah adanya
factor risiko atau factor komorbid dari suatu penyakit. Alamat pasien juga bisa membantu
untuk memikirkan terjadinya suatu penyakit yang memang endemik pada tempat tinggal
pasien tersebut.
Pada kasus skenario, identitas pasien hanya dijelaskan mengenai usia dan jenis
kelaminnya saja
- Riwayat psikiatri
Pada riwayat psikiatri terdapat beberapa hal yang harus ditanyakan seperti:
1. Keluhan utama
Pada skenario tutorial, dikatakan pasien selalu mengurung diri di kamar dan tidak
mau beraktivitas setelah dikeluarkan dari kampus, 1 hari SMRS meminum obat
untuk tidur, dan pasien mengalami kejang setelah minum obat sore 1 hari SMRS.
Pada status mentalis yang dinilai adalah deskripsi umum (penampilan, perilaku,
dan sikap terhadap pemeriksa), pembicaraan, mood dan afek, gangguan persepsi, pikiran,
dekorum (gizi, higienis, sopan santun), reality test ability (RTA), tilikan, reliabilitas,
sensorium dan kognisi, pengendalian impuls, dan yang terakhir adalah daya nilai.
Pada penilaian mood dan afek dapat dijabarkan berupa penurunan mood dan afek
dilihat dari kasus dijelaskan pasien tersebut tidak mau atau malas beraktivitas, seharian
hanya mengurung diri di kamar, dan mengantuk serta tidur sepanjang hari dapat
dikatakan pasien sedang dalam episode depresif.
Pada penilaian pikiran, dapat dinilai adanya penurunan produktivitas proses piker,
namun tidak terdapat keterangan apakah terdapat gangguan isi pikir atau tidak pada
skenario.
- Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan head to toe dimulai dari melihat keadaan
umum pasien, kesadaran, tanda – tanda vital, dan pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi. Pemeriksaan status neorologis juga harus dilakukan apabila ada
kecendrungan gangguan psikiatrik tersebut disebabkan oleh gangguan organik.
Pada kasus skenario tutorial tidak terdapat keterangan mengenai hasil pemeriksaan
fisiknya.
AKSIS I
1. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak terdapat gangguan fisik yang
menyebabkan disfungsi otak. Hal ini dapat dinilai dari tingkat kesadaran, daya ingat atau
daya konsentrasi, orientasi yang cenderung masih baik, sehingga pasien ini bukan
penderita Gangguan Mental Organik (F.0).
2. Berdasarkan kasus skenario tutorial didapatkan adanya riwayat meminum obat yang
menyebabkan pasien kejang dan tidur sepanjang hari, dapat diduga pasien tersebut
menggunakan zat – zat psikoaktif. Keluhan kejang pada pasien diduga berupa suatu
gejala dari intoksikasi obat sedative sehingga dapat disimpulkan pasien terdiagnosis
intoksikasi akut dengan delirium dan konvulsi.
o AKSIS I : F13.03 Intoksikasi akut dengan delirium
Seperti halnya semua tes medis, pasien psikiatrik dan neuropsikiatrik memerlukan
pemeriksaan fisik yang cermat dan dapat dilakukannya evaluasi laboratorium skrining dan
dapat diikuti oleh berbagai tes tambahan untuk meningkatkan spesifisitas diagnosis.
Beberapa pemeriksaan penunjang untuk Intoksikasi akut di antaranya:
a. Pemeriksaan Darah
Beberapa jenis pemeriksaan darah dapat digunakan untuk skrining penggunaan NAPZA.
Tes untuk skrining biologik termasuk:
Tes urin dapat mendeteksi adanya penggunaan berbagai jenis NAPZA (alkohol,
kokain, kanabis, benzodiazepin, barbiturat dll.) berdasarkan sisa metabolitnya. Namun
demikian pemeriksaan urin harus disertai dengan wawancara untuk mendeteksi adanya
penggunaan zat lain yang akan mempengaruhi hasil tes urin (misal: obat batuk yang
mengandung kodein, obat maag yang mengandung benzodiazepin, obat flu yang
mengandung fenilpropanolamin/efedrin).
c. Skrining Etiologi:
Pemeriksaan darah perifer lengkap termasuk hitung lekosit
Tes Fungsi hati
Hepatitis B, C dan HIV/AIDS
d. Elektroensefalogram/EEG
2.8. Faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penyakit pada pasien tersebut
Pengaruh atau efek samping dari berbagai jenis zat obat berbeda pada setiap orang dan
bergantung pada beberapa faktor seperti jenis yang digunakan, jumlah atau dosis yang
dipakai, frekuensi pemakaian, cara pemakaian (oral, inhalan, disuntuk, ditempel dan
lainnya), beberapa obat lain yang digunakan bersamaan, pengalaman penggunaan
sebelumnya, kondisi fisik saat sedang menggunakan, kepribadian, harapan terhadap efek
obat tersebut dan suasana lingkungan.
Seperti pada kasus kemungkinan obat yang dikonsumsi adalah jenis sedasi hipnotik
dimana keluhan yang ditimbulkan tergantung pada jumlah dosis yang dikonsumsi, dimana
dalam jumlah dosis yang besar dapat menginduksi tidur, pembiusan total dan apabila dosis
lebih besar lagi dapat menyebabkan koma, depresi pernafasan dan kematian. Dan dalam
konsumsi dosis paling rendah dapat menghilangkan respon fisik dan mental tetapi tidak
mempengaruhi kesadaran. Bila diberikan berulang kali dalam jangka waktu yang lama dapat
menimbulkan ketagihan dan ketergantungan.
a. Mencari dan mengobati penyebab delirium (diperlukan pemeriksaan fisik yang cermat
dan pemeriksaan penunjang yang adekuat. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit,
analisis gas darah, fungsi hati, dan fungsi ginjal, serta EEG atau pencitraan otak bila
terdapat indikasi disfungsi otak).
b. Memastikan keamanan pasien
c. Mengobati gangguan perilaku terkait dengan delirium, misalnya agitasi psikomotor.
Nonfarmakologis
Tatalaksana non farmakologis yang penting adalah memberikan dukungan fisik, sensorik,
dan lingkungan. Dukungan fisik dibutuhkan agar pasien delirium tidak terjebak dalam
situasi yang mencelakai dirinya sendiri. Pasien delirium sebaiknya tidak mengalami
deprivasi sensorik maupun dirangsang secara berlebihan oleh lingkungan. Mereka biasanya
akan terbantu dengan adanya teman atau saudara di ruangan yang sama atau orang yang
biasa dekat dengannya. Orientasi yang teratur terhadap orang, tempat, dan waktu dapat
membantu membuat pasien delirium merasa nyaman. Kondisi medis diperbaiki seoptimal
mungkin. Sampai kondisi baik, pemantauan harus tetap dilakukan untuk mempertahankan
kesehatan dan keselamatan pasien, termasuk observasi rutin, perawatan konsisten,
menenangkan dengan penjelasan sederhana secara berulang.
Farmakologis
Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis
adalah psikosis dan insomnia. Pada skenario pasien tidak mengalami insomnia, jadi
mungkin farmakologis untuk menangani gejala psikosisnya saja.
1- Obat yang cocok dari gejala psikosis adalah haloperidol, suatu obat antipsikotik golongan
butyrophenone. Dosis tergantung pada usia, berat badan, dan kondisi fisik pasien, dosis
awal dapat diberikan antara 2-10 mg IM, dan dapat diulang dalam satu jam jika pasien
tetap teragitasi. Segera setelah pasien tenang, medikasi oral dalam cairan konsentrat atau
bentuk tablet dapat dimulai. Dua dosis oral harian harus mencukupi yaitu dengan
sepertiga diberikan pada pagi hari dan dua pertiga diberikan sebelum tidur. Untuk
mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral harus kira-kira 1,5 kali lebih tinggi dari
dosis suntik. Dosis harian efektif total dari haloperidol kebanyakan berkisar antara 5-50
mg.
2- Droperidol (Inapsine) adalah suatu butyrophenone yang tersedia sebagai suatu formula
intravena alternatif, walaupun monitoring elektrokardiogram adalah sangat penting dalam
pengobatan ini.
3- Pemberian golongan fenotiazine sebaiknya dihindari karena dihubungkan dengan
aktivitas antikolinergik yang bermakna
Prognosis baik berhubungan dengan status sosioekonomi tinggi, onset gejala yang
tibatiba, tidak adanya gangguan kepribadian, dan tidak adanya kondisi medik non psikiatri
yang menyertai. Pasien dengan prognosis terburuk, dengan atau tanpa pengobatan,
memiliki masalah karakterologi sebelumnya, khusunya pasivitas yang menonjol; terlibat
dalam kewajiban atau mendapatkan kompensasi finansial; menggunakan zat adiktif; dan
memiliki riwayat nyeri yang lama.
BAB 3
KESIMPULAN
Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry.
11th ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2015.
Tanto C. Kapita Selekta Kedokteran. IV. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
Pesola GR, Avasarala J. Bupropion seizure proportion among new-onset generalized seizures
and drug related seizures presenting to an emergency department. J Emerg Med.
2002;22(3):235–9.
Finkelstein Y, Hutson JR, Freedman SB, Wax P, Brent J. Drug-induced seizures in children and
adolescents presenting for emergency care: Current and emerging trends. Clin Toxicol.
2013;51(8):761–6.
Buck KJ, Hahner L, Sikela J, Harris RA. Chronic Ethanol Treatment Alters Brain Levels of γ‐
Aminobutyric AcidA Receptor Subunit mRNAs: Relationship to Genetic Differences in Ethanol
Withdrawal Seizure Severity. J Neurochem. 1991;57(4):1452–5.
Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2017.
Maslim Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III, DSM-5, ICD-11.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya; 2019.
Sadock JB, Sadock AV, Ruiz P. KAPLAN & SADOCK’S Concise Textbook of Clinical
Psychiatry.3th Edition.Philadelpia: LIPPINCOTT; 208. p 48-79
A. H. Assiediqie, "Pengaruh, Dampak dan Komplikasi Penggunaan NAPZA,"
http://yankes.kemkes.go.id/read-pengaruh-dampak-dan-komplikasi-penyalahgunaan-napza--
6488.html, 18 Februari 2019.
H. I. Kaplan, B. J. Sadock and J. A. Grebb, Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis, Tangerang: Binarupa Aksara, 2010.