Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

SAKIT KEPALA BERULANG

Ahmad Muttain (18112010)

Bella Agoestina (18112010)

Bunga Aulya Rahmi (1811201011)

Nurma Yuni Kartika (1811201028)

Santry Indriani Lestari (18112010)

Siska Andriani Rukmana (18112010)

Teguh Satria (18112010)

Yasinta Devi Harahap (1811201051)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ABDURRAB
2019/2020

ii
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah tentang lumpuh sebelah.
   
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

    Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
   
    Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang sakit kepala berulang ini
dapat membantu para pembaca untuk mudah memahami sub modul pertama dari
modul 5.1 gangguan sistem saraf dan gerak.

Pekanbaru, 16 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Skenario
Sakit kepala berulang
Wanita 23 tahun datang ke dokter dengan keluhan nyeri kepala sebelah sejak 3 jam yang lalu.
Nyeri kepala dirasakan berdenyut. Keluhan lain fotofobia dan fonofobia. Setengah jam sebelum
sakit muncul pasienmerasa pandangan berkunang kunang. Pasien sekarang sedang menstruasi.
Keluhan seperti ini sudah sering dialami pasien sejak usia remaja. Pemeriksaan TTV dalam batas
normal. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Dokter memberikan obat penghilang keluhan dan
untuk profilaksis

1.1. STEP 1 :
CLARIFYING UNFAMILIAR TERMS

• Fotofobia : suatu kondisi dimana seseorang sensitif terhadap cahaya

• Fonofobia : kondisi dimana seseorang sensitif terhadap suara

• Profilaksis : prosesur kesehatan masyarakat untuk pencegahan penyakit

• Nyeri kepala : sensasi sensorik yang tidak menyenangkan pada daerah kepala dan tengkuk
leher

Keyword :

• Wanita 23 tahun

• Nyeri kepala sebelah, berdenyut

• Fotofobia dan fonofobia

• Setengah jam sebelum sakit, pandangan berkunang kunang


1
• Menstruasi

• Keluhan dialami sejak remaja

• TTV dan pemfis normal

• Profilaksis

1.3 STEP 2 : PROBLEM DEFINITION


• Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan kasus?
• Apakah ada hubungan antara menstruasi dengan kasus?
• Mengapa nyeri dirasakan hanya kepala sebelah?
• Mengapa pasien merasakan keluhan fotofobia dan fonofobia?
• Mengapa pandangan berkunang muncul setengah jam sebelum sakit?
• Kenapa dokter harus melakukan pemeriksaan TTV pada pasien nyeri kepala?
• Apa kemungkinan diagnosis pada kasus?
• Mengapa nyeri kepala yang dirasakan berdenyut?
• Apa saja klasifikasi dari nyeri kepala?
• Apa saja profilaksis pada kasus?
• Bagaimana cara penegakan diagnosis pada kasus?
• Apa saja diagnosis banding dari nyeri kepala?
• Apa saja pemeriksaan penunjang pada kasus?
• Bagaimana tatalaksana kasus tsb?
• Apakah durasi nyeri kepala mempengaruhi penegakan diagnosis?
• Apa saja etiologi kasus?
• Apa saja faktor resiko dari kasus?
1.4 STEP 3 : BRAINSTORMING

2
1.5 STEP 4 : SPIDER WEB

NYERI KEPALA

KLASIFIKASI (primer
mekanisme
sekunder)

Kriteria Penegakan Diagnosis


Definisi Etiologi Faktor resiko Tatalaksana
diagnosis diagnosis banding

Profilaksis

Abortif

1.6 STEP 5 : LEARNING OBJECTIVE


1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan anatomi mekanisme nyeri
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi nyeri kepala
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan klasifikasi nyeri kepala
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan diagnosis banding nyeri kepala (Migrain,
tension type headache, cluster, neuralgia trigeminal)
 Definisi
 Etiologi
 Faktor resiko
 Patofisiologi
 Kriteria Diagnosis
 Penegakan Diagnosis
 Penatalaksanaan

3
1.7 STEP 6 : SELF STUDY

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Mekanisme Nyeri

2.2 Definisi Nyeri Kepala

2.3 klasifikasi nyeri kepala

2.4 Diagnosis Banding Nyeri Kepala Primer

4
2.4.1 migrain

A. Definisi

Istilah migrain berasal dari kata migraine yang berasal dari bahasa Perancis;
sementara itu dalam bahasa Yunani disebut hemicrania, dalam bahasa Inggris kuno dikenal
dengan megrim. Konsep klasik menyatakan bahwa migrain merupakan gangguan fungsional
otak dengan manifestasi nyeri kepala unilateral yang sifatnya mendenyut atau mendentum,
terjadi secara mendadak disertai mual muntah.1

Konsep tersebut telah diperluas oleh The Research Group on Migraine and Headache
of the World Federation of Neurology. Migrain merupakan gangguan yang bersifat familial
dengan karakteristik serangan nyeri kepala berulang-ulang, yang intensitas, frekuensi dan
lamanya sangat bervariasi.1

Berdasarkan klasifikasi dari Internasional Headache Society, migrain dibagi menjadi:

1. Migrain tanpa aura (migrain umum)


Migrain bentuk ini lebih sering dijumpai, sebelum serangan tidak didapatkan aura.
Nyeri unilateral/separoh kepala bisa bilateral terutama pada fronto temporal.
Migrain jenis ini sering mengenai orang dewasa, remaja dan kadang kadang anak terutama
wanita, durasi lebih sering 4 sampai 24 jam atau bisa lebih lama. Serangan migrain dicetuskan
oleh cuaca terang, alkohol, coklat, dan keju. Keluhan berkurang pada suasana yang gelap dan
tidur serta beberapa kasus disertai mual dan muntah.3

2. Migrain dengan aura (migrain klasik)


Pada migrain jenis ini sebelum serangan nyeri kepala terdapat aura yaitu gejala yang
dapat dirasakan pasien sebelum terjadi serangan nyeri kepala. Aura ini berlangsung antara 4
menit dan tidak lebih dari 60 menit, dapat berupa :
- Gangguan penglihatan, seperti melihat titik garis atau skotoma,
- Kesemutan unilateral
- Kelumpuhan/kelemahan unilateral, dengan atau tanpa afasia, dan gangguan
pembicaraan yang lain.
5
Aura harus dibedakan dengan gejala prodromal dari migrain, yang berlangsung beberapa jam
sampai beberapa hari ditandai dengan: perubahan tingkah laku, gangguan kognitif, kelelahan
(fatigue), kesulitan mendapatkan kata-kata, depresi, ilusi, insomnia, somnolen, lapar, haus,
oliguria dan sering kencing.
Gejala lain hampir sama dengan Common migraine (migrain tanpa aura) akan tetapi pada
klasik migrain cenderung ada faktor keturunan.

B. Etiologi

Migrain memiliki komponen genetik yang kuat. Sekitar 70% pasien migrain memiliki
riwayat migrain pada keluarga. Sakit kepala migrain berlangsung kronik dengan atau tanpa
aura umumnya menunjukkan pola pewarisan multifaktorial, tetapi sifat spesifik dari pengaruh
genetik belum sepenuhnya dipahami.4

Berbagai pencetus kejadian migrain telah diidentifikasi:

- Perubahan hormon; seperti saat menstruasi, kehamilan dan ovulasi


- Stress
- Obat-obatan (misalnya vasodilator)
- Merokok dan alkohol
- Makanan tertentu dan zat tambahan makanan dapat memicu terjadinya migrain; kafein,
pemanis buatan (misal; Aspartam, sakarin), MSG, daging dengan nitrit.4

C. Faktor Resiko
 Usia; dapat terjadi pada semua umur tetapi umumnya onset terjadi pada saat remaja
atau usia dua puluhan.
 Ras; prevalensi migrain lebih rendah di antara orang Afrika-Amerika dan Asia-
Amerika daripada orang kulit putih.
 Jenis kelamin; migrain sering didapatkan pada wanita dibanding laki-laki. Di Amerika
Serikat, migrain menyumbang 64% sakit kepala parah pada wanita dan 43% sakit
kepala parah pada pria.4

D. Patofisiologi
6
Mekanisme migrain masih belum sepenuhnya dipahami.

Teori pembuluh darah

Wolff et al percaya bahwa iskemia yang diinduksi oleh vasokonstriksi intrakranial


bertanggung jawab atas aura migrain diikuti oleh vasodilatasi berikutnya dan aktivasi saraf
nosiseptif perivaskular mengakibatkan sakit kepala.4

Teori ini menyatakan bahwa serangan migrain adalah masalah vaskular, yaitu nyeri
kepala disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah.3
Teori ini berdasarkan penelitian yang menyatakan:
a. Pembuluh darah ekstrakranial vasodilatasi dan berpulsasi selama serangan migrain
terjadi
b. Stimulasi pembuluh darah intrakranial pada individu yang sadar menyebabkan
terjadinya nyeri kepala
c. Vasokonstriktor (misal: ergots) mengurangi nyeri kepala sedangkan vasodilator
(misal: nitrogliserin) mencetuskan terjadinya serangan.3

Teori vaskular tidak didukung sepenuhnya oleh bukti-bukti kimia dan farmakologi
terkini, sehingga mekanisme keseluruhan dari penyakit ini belum diketahui secara pasti.
Sebagai hasil dari temuan anomali ini, teori vaskular digantikan oleh teori neurovaskular.3

Teori neurovaskular
Teori neurovaskular berpendapat bahwa serangkaian peristiwa saraf dan vaskular yang
kompleks memicu migrain. Menurut teori ini, migrain merupakan proses neurogenik dengan
perubahan sekunder pada perfusi otak.4
Yang terpenting dalam patofisiologi migrain adalah neurotransmitter serotonin (5-
hidroksi triptamin = 5HT). 5-HIAA (5-hidroksyindoleaceticacid) merupakan hasil
perombakan dari 5-HT yang dikeluarkan ke urin dalam jumlah banyak setelah suatu serangan
migrain. Dalam darah serotonin terutama terdapat di platelet. Meskipun ada beberapa
penelitian yang kontraindikasi mengenai sistem serotonergik pada migrain, akan tetapi telah
ada bukti yang penting:3

7
a. Kadar serotonin di plasma terganggu pada saat migrain. Pada saat interiktal kadar 5-HT
menurun, sedangkan kadar 5-HIAA meninggi dibandingkan pada non-migrain. Pada saat
serangan migrain, kadar 5-HT meninggi sedangkan kadar 5-HIAA menurun
b. Pada saat serangan migrain tanpa aura didapati pengurangan kadar serotonin di platelet.
Sedangkan pada serangan migrain dengan aura tidak berkurang
c. Didapati peninggian kadar 5-HIAA di urine pada saat serangan migrain
d. Pada pasien migrain didapati sintesa serotonin di otak dan kadar 5-HIAA di cairan
serebrospinal yang meninggi.
Pada serangan migrain, pembuluh darah memainkan peranan penting. Pada peredaran
darah normal di tengkorak, darah dari arteri karotis mengalir melalui kapiler yang luas.
Pada serangan migrain pembuluh darah shunt akan membuka, yang menyebabkan
pelebaran dari arteriol yang menimbulkan rasa nyeri.3
Kedua pandangan diatas disebut teori neurovaskular karena patologi migrain yang
menyangkut adanya interaksi antara serabut saraf serebral dan pembuluh darah. Pada
dasarnya, pasien migrain saat tidak mengalami nyeri kepala mempunyai hipereksibilitas
neuronal pada korteks serebral terutama di korteks oksipital. Adanya pemicu migrain akan
merangsang disfungsi otak yang menimbulkan perubahan diameter pembuluh darah
meningeal dan aktivasi saraf trigeminal perifer. Aktivasi terminal saraf trigeminal ini
menyebabkan pelepasan neuropeptida, perubahan reaktif di arteri meningeal merupakan
target peptida, dan akhirnya timbul inflamasi perivaskular yang menyebabkan nyeri
calcitonin gene related peptide (CGRP). CGRP merupakan jenis neuropeptida yang
diproduksi di ganglion saraf trigeminal, mempunyai efek vasodilator kuat dan meneruskan
nosiseptif vaskular, sehingga diduga berperan terhadap nyeri kepala migrain.3
Hipotesis yang dianut saat ini menyatakan bahwa pemicu migrain spesifik menyebabkan
disfungsi otak, menyebabkan dilatasi pembuluh darah kranialis yang diinervasi oleh
serabut sensoris saraf trigeminal. Pembuluh darah yang dilatasi secara mekanik
mengaktifkan perivascular trigeminal sensory nerve fibers. Pengaktifan saraf trigeminal
menyebabkan suatu respon nyeri disampaikan kepada brainstem (dan dari sana ke pusat
otak lebih tinggi) menimbulkan pelepasan vasoactive peptides seperti substansi P dan
CGRP dari serabut trigeminal. Peptides mencetuskan vasodilatasi dan menyebabkan
radang neurogenik yang ditandai oleh vasodilatasi, kebocoran pembuluh darah, dan
degranulasi sel mast. Vasodilatasi dan inflamasi neurogenik meningkatkan aktivasi
8
serabut sensorik trigeminal, pelepasan vasoactive peptides termasuk CGRP, dan mengatur
modulasi transmisi impuls ke otak. Brainstem dan medula spinalis adalah yang pertama
untuk menerima impuls nyeri dari saraf trigeminal dan menjadi peka sehingga makin
memperburuk nyeri kepala dan kepekaannya meningkat terhadap lingkungan dan stimuli
lain. CGRP terlibat pada beberapa proses patofisiologi, mencakup dilatasi pembuluh
darah serebral dan dural, pelepasan mediator inflamasi dari sel mast, dan transmisi
informasi nociceptive dari pembuluh darah intrakranial ke sistem saraf.3
Pengaktifan saraf trigeminal dapat menyebabkan CGRP dilepas bebas dari perivascular
nerve endings. Bukti penelitian menunjukkan konsentrasi serum CGRP meninggi pada
serangan migrain dan cluster headache.3

Depresi penyebaran kortikal

Pada tahun 1944, Leao mengusulkan teori depresi penyebaran kortikal (CSD) untuk
menjelaskan mekanisme migrain dengan aura. CSD adalah gelombang eksitasi neuron yang
terdefinisi dengan baik pada substansia grisea kortikal yang menyebar dari tempat asalnya
pada kecepatan 2-6 mm/menit.4
Depolarisasi seluler menyebabkan fenomena kortikal primer atau fase aura. Pada gilirannya,
mengaktifkan serat trigeminal yang menyebabkan fase sakit kepala. Dasar neurokimia CSD
adalah pelepasan kalium atau asam amino glutamat dirangsang dari jaringan saraf. Pelepasan
ini mendepolarisasi jaringan berdekatan, yang pada gilirannya melepaskan lebih banyak
neurotransmiter, menyebarkan penyebaran depresi.4

Sistem trigeminovaskular
Aktivasi sistem trigeminovaskular oleh CSD menstimulasi neuron nosiseptif pada
pembuluh darah dural untuk melepaskan protein plasma dan zat penghasil rasa sakit seperti
peptida terkait gen kalsitonin, zat P, peptida vasoaktif, dan neurokinin A. Keadaan
peradangan ini disertai dengan vasodilatasi lebih lanjut, menghasilkan rasa sakit.4
Hiperperfusi kortikal awal pada CSD sebagian dimediasi oleh pelepasan neurotransmitter
trigeminal dan parasimpatis dari serabut saraf perivaskular, sedangkan peningkatan aliran
darah meningeal dimediasi oleh koneksi batang otak trigeminal-parasimpatis. Menurut
Moulton et al, perubahan modulasi yang menurun di batang otak telah dipostulatkan untuk
9
berkontribusi pada fase sakit kepala migrain; hal ini menyebabkan hilangnya penghambatan
atau peningkatan fasilitasi, yang mengakibatkan hipereksitabilitas neuron trigeminovaskular.4

Metalloproteinase
Selain itu, melalui berbagai mekanisme molekuler, CSD meningkatkan regulasi gen,
seperti yang mengkode cyclo-oxygenase 2 (COX-2), tumor necrosis factor alpha (TNF-
alpha), interleukin-1beta, galanin, dan metalloproteinases. Aktivasi metalloproteinase
menyebabkan kebocoran sawar darah-otak yang memungkinkan kalium, nitrat oksida,
adenosin, dan produk lain dikeluarkan oleh CSD untuk mencapai dan membuat kepekaan
ujung aferen trigeminal perivaskular dural.4

Zat vasoaktif dan neurotransmitter


Aktivitas saraf perivaskular juga menghasilkan pelepasan zat-zat seperti zat P,
neurokinin A, peptida terkait gen kalsitonin, dan nitrat oksida, yang berinteraksi dengan
dinding pembuluh darah untuk menghasilkan pelebaran, ekstravasasi protein, dan
peradangan. Ini menstimulasi kompleks trigeminocervical. Informasi kemudian diteruskan ke
thalamus dan korteks untuk menyebabkan rasa sakit.4
Selain itu, proses nyeri tidak hanya membutuhkan aktivasi nosiseptor pada struktur
intrakranial penghasil rasa sakit, tetapi juga pengurangan dalam fungsi normal jalur kontrol
nyeri endogen yang mengatasi rasa sakit.4

Aktivasi batang otak

Pemindaian PET pada pasien dengan sakit kepala migrain akut menunjukkan aktivasi
pons kontralateral, bahkan setelah obat-obatan menghilangkan rasa sakit. Weiler et al
mengusulkan bahwa aktivasi batang otak mungkin merupakan faktor pemicu migrain.
Setelah CSD terjadi di permukaan otak, ion H + dan K + berdifusi ke pia mater dan
mengaktifkan nociceptor meningeal C-fiber, melepaskan sup proinflamasi neurokimia
(misalnya, peptida terkait gen kalsitonin) dan menyebabkan ekstravasasi plasma terjadi. Oleh
karena itu, inflamasi neurogenik dari kompleks trigeminovaskular hadir.

10
Setelah sistem trigeminal diaktifkan, ia akan merangsang pembuluh tengkorak untuk
melebar. Jalur umum terakhir menuju sakit kepala yang berdenyut adalah dilatasi pembuluh
darah.4

Kekurangan magnesium

Teori lain mengusulkan bahwa kekurangan magnesium di otak memicu serangkaian


peristiwa, dimulai dengan agregasi trombosit dan pelepasan glutamat dan akhirnya
menghasilkan pelepasan 5-hydroxytryptamine, yang merupakan vasokonstriktor. Dalam studi
klinis, magnesium oral telah menunjukkan manfaat untuk pengobatan pencegahan dan
magnesium intravena mungkin efektif untuk pengobatan akut, terutama pada subset tertentu
dari pasien migrain.4

Disfungsi endotel

Disfungsi sel otot polos pembuluh darah dapat melibatkan gangguan siklik guanosin
monofosfat dan respons hemodinamik terhadap nitrat oksida. Nitrat oksida yang dilepaskan
oleh mikroglia adalah mediator proinflamasi sitotoksik yang berpotensi mengawali dan
mempertahankan peradangan otak melalui aktivasi sistem neuron trigeminal.
Pada wanita premenopause dengan migrain, terutama mereka yang mengalami migrain aura,
peningkatan aktivasi endotel, yang merupakan komponen disfungsi endotel, terbukti.4

E. Kriteria diagnosis
F. Penegakan diagnosis
G. penatalaksanaan

2.4.2 Tension Type headache


a) Definisi
b) Etiologi
Secara umum diklasifasikan sebagai berikut:
A. Organik, seperti: tumor serebral, meningitis, hidrosefalus, dan sifilis
11
B. Gangguan fungsional, misalnya: lelah, bekerja tak kenal waktu, anemia, gout,
ketidaknormalan endokrin, obesitas, intoksikasi, dan nyeri yang direfleksikan.

c) Faktor resiko
 Jenis kelamin; Pada suatu studi yang mengikuti populasi sepanjang 30 tahun, prevalensi
TTH ditemukan sebesar 29,3% lebih banyak dialami wanita dibandingkan laki- laki
(dengan rasio wanita – pria adalah 5:4).
 Umur; Pada usia rata-rata 25 hingga 30 tahun seseorang jarang mengalami TTH.
Prevalensi puncak terjadi antara usia 30 hingga 39 tahun dan sedikit menurun dengan
bertambahnya usia.

d) Patofisiologi
Patofisiologi TTH sangat kompleks dan multifaktorial, dengan kontribusi baik dari
faktor sentral maupun perifer. Hipotesa terdahulu menyatakan bahwa kontraksi otot kepala
dan leher yang menimbulkan iskemik otot sangatlah berperan penting dalam tension type
headache sehingga pada masa itu sering juga disebut muscle contraction headache.
Pendapat ini ternyata disangkal atas dasar beberapa penelitian menggunakan
EMG( elektromiografi). Pasien tension type headache ternyata hanya sedikit sekali terjadi
aktifitas otot, yang tidak mengakibatkan iskemik otot, bila terjadi kenaikan aktifitas otot
maka akan terjadi pula adaptasi protektif terhadap nyeri. Peninggian aktifitas otot itupun
bisa juga terjadi tanpa adanya nyeri kepala.

Penyebab terjadinya TTH yang Iebih dipercaya sekarang berhubungan dengan


sensitifitas saraf abnormal dan fasilitasi nyeri.

Beberapa mekanisme patofisiologi diduga secara bersama-sama mencetuskan TTH.


Ekstrakranial miofasial nosiseptif merupakan salah satunya. Nyeri kepala tidak
berhubungan secara Iangsung dengan kontraksi otot, dan kemungkinan disebabkan
hipersensitifitas neuron nukleus kaudalis trigeminal. Nyeri miofasial adalah suatu nyeri
pada otot lurik termasuk juga struktur fascia dan tendonnya. Dalam keadaan normal, nyeri
miofasial di mediasi oleh serabut kecil bermielin (A) dan serabut tak bermielin (C),
sedangkan serabut tebal yang bermielin (A dan AB) dalam keadaan normal mengantarkan
sensasi yang ringan/tidak merusak. Pada rangsang noxious dan inocuous event, misalnya
proses iskemik, stimuli mekanik, maka mediator kimiawi terangsang dan timbul proses
sensitisasi serabut A dan serabut C yang berperan menambah rasa nyeri tekan pada tension
type headache. Mediator kimiawi substansi endogen seperti serotonin (dilepas dari platelet),
bradikinin (dilepas dari belahan prekursor plasma molekul kallin), Kalium (yang dilepas
dari sel otot), SP (substansi P) dan CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide, suatu
immunoreaktif fibers) dari aferens otot berperan sebagai stimulan sensitisasi terhadap
12
nosiseptor otot skelet. Jadi yang Iebih benar patofisiologi TTH pada saat ini adalah peran
miofasial terhadap timbulnya tension type headache.

Pada TTH terjadi sensitisasi sentral di level kornu dorsalis spinalis atau nukleus
trigeminal dalam kaitannya dengan input nosiseptif yang lama dari jaringan miofasial
perikranial. Perubahan neuroplasti sentral mempengaruhi mekanisme regulasi perifer dan
dapat memicu peningkatan aktifitas otot perikranial atau melepaskan neurotransmitter pada
jaringan miofasial. Sensitisasi sentral ini mungkin masih bertahan meskipun faktor
inisialnya telah kembali normal. Hal ini menyebabkan konversi dari TTH episodik menjadi
TTH kronik. Untuk jenis TTH episodik biasanya terjadi sensitisasi perifer terhadap
nosiseptor, sedangkan yang jenis kronik berlaku sensitisasi sentral. Proses kontraksi otot
sefalik secara involunter, berkurangnya supraspinal descending pain inhibitory activity, dan
hipersensitivitas supraspinal terhadap stimuli nosiseptif amat berperan terhadap timbulnya
nyeri pada tension type headache.

e) Kriteria diagnosis

Kriteria diagnosis TTH Episodik Infrekuen:

A. Paling tidak terdapat 10 episode serangan dengan rata rata<1hr/bln (<12hr/thn)


dan memenuhi kriteria B-D.
B. Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari.
C. Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas:
1. Lokasi bilateral
2. Menekan/mengikat (tidak berdenyut)
3. Intensitas ringan/sedang
4. Tidak diperberat oleh aktivitas rutin seperti berjalan atau naik tangga
D. Tidak didapatkan:
1. Mual atau muntah (bisa anoreksia).
2. Lebih dari satu keluhan: fotofobia atau fonofobia.
E. Tidak ada yang lebih sesuai dengan diagnosis lain dari ICHD-3.

Kriteria Diagnosis TTH Episodik frekuen dan kronis

Disebut sebagai nyeri kepala TTH Episodik frekuen bila terjadi sedikitnya 10
episode yang timbul selama 1–14 hari/bulan selama paling tidak 3 bulan (12– 180

13
hari/tahun) atau TTH kronik bila nyeri kepala timbul > 15 hari per bulan, berlangsung
> 3 bulan (≥180 hari/tahun).

Dapat disertai/tidak adanya nyeri tekan perikranial (pericranial tenderness)


yaitu nyeri tekan pada otot perikranial (otot frontal, temporal, masseter, pterygoid,
sternokleidomastoid, splenius dan trapezius) pada waktu palpasi manual, yaitu
dengan menekan secara keras dengan gerakan kecil memutar oleh jari-jari tangan
kedua dan ketiga pemeriksa. Hal ini merupakan tanda yang paling signifikan pada
pasien TTH.

f) Penegakan diagnosis
1. Anamnesis
 Nyeri tersebar secara difus, intensitas nyeri mulai dari ringan sampai sedang.
 Waktu berlangsung nyeri kepala selama 30 menit hingga 1 minggu penuh. Nyeri
timbul sesaat atau terus menerus.
 Lokasi nyeri pada awalnya dirasakan pasien pada leher bagian belakang kemudian
menjalar ke kepala bagian belakang selanjutnya menjalar ke bagian depan. Selain
itu, nyeri juga dapat menjalar ke bahu.
 Sifat nyeri kepala dirasakan seperti berat di kepala, pegal, rasa kencang pada daerah
bitemporal dan bioksipital, atau seperti diikat di sekeliling kepala. Nyeri kepala
tidak berdenyut.
 Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual ataupun muntah.
 Pada TTH yang kronis biasanya merupakan manifestasi psikologis yang
mendasarinya seperti kecemasan dan depresi.
2. Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis dalam batas normal.

3. Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium: darah rutin, elektrolit, kadar gula darah,dll (atas indikasi untuk
menyingkirkan penyebab sekunder)
 Radiologi: atas indikasi (untuk menyingkirkan penyebab sekunder).

14
g) Penatalaksanaan
Pada serangan akut tidak boleh lebih dari 2 hari/minggu, yaitu dengan:
Analgetik:
1. Aspirin 1000 mg/hari,
2. Asetaminofen 1000 mg/hari,
3. NSAIDs (Naproxen 660-750 mg/hari, Ketoprofen 25-50 mg/hari, asam
mefenamat, ibuprofen 800 mg/hari, diklofenak 50-100 mg/hari).
4. Kafein (analgetik ajuvan) 65 mg.
5. Kombinasi: 325 aspirin, asetaminofen + 40 mg kafein.
Sedangkan pada tipe kronis, adalah dengan:
1. Antidepresan
Jenis trisiklik: amytriptiline, sebagai obat terapeutik maupun sebagai
pencegahan tension-type headache.
2. Antiansietas
Golongan benzodiazepin dan butalbutal sering dipakai. Kekurangan obat
ini bersifat adiktif, dan sulit dikontrol sehingga dapat memperburuk nyeri
kepalanya.
Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis pada tension-type headache pilihannya adalah:
1. Kontrol diet
2. Terapi fisik
3. Hindari pemakaian harian obat analgetik, sedatif dan ergotamin
4. Behaviour treatment

2.4.3 Cluster Headache


a) Definisi
Nyeri kepala klaster merupakan salah satu jenis nyeri kepala yang paling
hebat dan insidensnya jarang, mempunyai gambaran klinis yang khas yaitu
periodesitas serta gejala otonom, yang membedakan dengan bentuk nyeri
kepala yang lain.
Sakit kepala cluster sering terjadi pada malam hari, membangunkan pasien
dari tidur, dan berulang setiap hari pada waktu tertentu yang sama untuk
15
jangka waktu mingguan hingga bulanan. Setelah itu akan ada jeda dimana
pasien mungkin bebas dari sakit kepala cluster selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun.
Predominan pada laki-laki, dengan rasio laki-laki : wanita adalah 9 : 1.
Serangan pertama kali biasanya pada usia 20-40 tahun. Puncak usia onset
awal 20-29 tahun.
b) Etiologi
Penyebab pasti cluster headache tidak diketahui. Kelainan ini bersifat sporadis, meskipun
kasus yang jarang dari pola dominan autosomal dalam satu keluarga telah dilaporkan.
Beberapa faktor telah terbukti memicu serangan CH. Injeksi histamin subkutan memicu
serangan pada 69% pasien. Stres, alergen, perubahan musim, atau nitrogliserin dapat
memicu serangan pada beberapa pasien.
Alkohol menginduksi serangan selama cluster tetapi tidak selama remisi. Sekitar 80% pasien
CH adalah perokok berat, dan 50% memiliki riwayat penggunaan etanol yang berat.

c) Faktor resiko
- Usia; serangan pertama kali biasanya pada usia 20-40 tahun. Puncak usia onset awal 20-
29 tahun.
- Ras; perbedaan ras dan etnis belum diteliti dengan baik, tetapi CH sedikit lebih umum di
Afrika-Amerika dan kurang terdiagnosa pada wanita kulit hitam.
- Jenis kelamin; nyeri kepala cluster dengan rasio 3:1 lebih sering dialami laki-laki daripada
perempuan.
- Sejumlah kecil vasodilator (misalnya alkohol).
- Trauma atau operasi kepala sebelumnya (kadang-kadang).

d) Patofisiologi
e) Kriteria diagnosis
A. Sekurang-kurangnya terdapat 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D
B. Nyeri hebat pada daerah orbita, supraorbita dan/atau temporal yang berlangsung
antara 15-180 menit jika tidak ditangani
C. Nyeri kepala disertai setidaknya satu gejala berikut:
- Injeksi konjungtiva dan/atau lakrimasi pada mata ipsilateral
- Kongesti nasal dan/atau rhinorrhea ipsilateral
16
- Edema palpebra ipsilateral
- Berkeringat pada daerah dahi dan wajah ipsilateral
- Miosis dan/atau ptosis ipsilateral
- Gelisah atau agitasi
- Frekuensi serangan 1-8 kali/hari
D. Tidak berhubungan dengan kelainan lain.

Catatan;
Kriteria Diagnosis Nyeri Kepala Cluster Episodik:
1. Serangan-serangan yang memenuhi kriteria A-E untuk nyeri kepala cluster.
2. Paling sedikit dua periode cluster yang berlangsung 7–365 hari dan dipisahkan
oleh periode remisi bebas nyeri >1 bulan.
Kriteria Diagnosis Nyeri Kepala Cluster Kronis:
1. Serangan-serangan yang memenuhi kriteria A-E untuk nyeri kepala cluster
2. Serangan berulang lebih dari 1 tahun tanpa periode remisi atau dengan periode remisi
yang berlangsung kurang dari 1 bulan

f) Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
 Nyeri kepala yang hebat, nyeri selalu unilateral di orbita, supraorbita,
temporal atau kombinasi dari tempat-tempat tersebut, berlangsung 15–180
menit dan terjadi dengan frekuensi dari sekali tiap dua hari sampai 8 kali
sehari.
 Serangan-serangannya disertai satu atau lebih; semuanya ipsilateral: injeksi
konjungtiva, lakrimasi, kongesti nasal, rhinorrhea, berkeringat di kening dan
wajah, miosis, ptosis, edema palpebra. Selama serangan sebagian besar pasien
gelisah atau agitasi.
2. Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Fisik Umum dan Tanda Vital
 Penilaian skala nyeri
 Pemeriksaan Neurologi

17
 Fokus: kesadaran, saraf kranialis, motorik, sensorik, otot-otot perikranial

Temuan karakteristik meliputi:


 Penampilan wajah yang khas; fasies leonine, kulit multifurrowed dan menebal dengan
lipatan yang menonjol, dagu lebar, kerutan dahi vertikal
 Parasympathetic overactivity; injeksi konjungtiva, rhinorrhea atau kongesti
 Paralisis simpatis okular; sindrom mild horner (ptosis, miosis dan anhidrosis) yang
mungkin menetap diantara serangan
 Wajah memerah atau pucat.

3. Pemeriksaan Penunjang
CT Scan atau MRI Kepala + kontras atas indikasi bila didapatkan defisit neurologi,
atau bila diterapi belum membaik selama 3 bulan serta keluhan makin memberat.

g) Penatalaksanaan

Tatalaksana Terapi Akut:


- Inhalasi oksigen (masker muka): oksigen 100% 7 liter/menit selama 15 menit
- Dihidroergotamin (DHE) 0,5–1,5 mg i.v. akan mengurangi nyeri dalam 10 menit;
pemberian i.m. dan nasal lebih lama
- Sumatriptan injeksi subkutan 6 mg, akan mengurangi nyeri dalam waktu 5-15 menit; dapat
diulang setelah 24 jam. Kontraindikasi: penyakit jantung iskemik, hipertensi tidak
terkontrol. Sumatriptan nasal spray 20 mg (kurang efektif dibanding subkutan).

Efek samping: pusing, letih, parestesia, kelemahan di muka.


- Zolmitriptan 5 mg atau 10 mg per oral.
- Anestesi lokal: 1 ml Lidokain intranasal 4%.
- Indometasin (rectal suppositoria).
- Opioids (rektal, Stadol nasal spray) hindari pemakaian jangka lama.
18
- Ergotamine aerosol 0,36–1,08 mg (1–3 inhalasi) efektif 80%.
- Gabapentin atau Topiramat.

Supresi Periodik Cluster


- Prednison 40–75 mg/hari untuk 3 hari reduksi dosis dengan interval tiap 3 hari 
tappering off dalam 11 hari  jika nyeri kepala cluster muncul lagi  stabilisasi dosis.
- Ergotamine tartrate tab 1 mg  dosis: 1–2 tab ½–1 jam sebelum prediksi serangan (Efektif
pada 1–2 periode klaster pertama)
- Dihidroergotamin; Injeksi 1 mg i.m.  2 kali/hari ½–1 jam sebelum prediksi serangan
- Capsaicin
o Suspensi capsaicin intranasal; 2 tetes di 2 nostril  sensasi burning & rhinorrhoea 
diulang tiap hari untuk 5 hari  serangan nyeri kepala klaster: reduksi 67%.
o Perlu evaluasi lanjut
- Methysergide
1. Aman bila durasi periode klaster < 3 bulan
2. Efek samping: fibrosis 3
3. Dosis: 1–2 mg, 2–3 kali/ hari
- Chlorpromazine: 75–700 mg/hari.
Farmakologi Profilaksis

- Verapamil (pilihan pertama) 120–160 mg, selain itu bisa juga dengan Nimodipin 240
mg/hari atau Nifedipin 40-120 mg/hari
- Steroid (80–90% efektif untuk prevensi serangan), tidak boleh diberikan dalam waktu
lama. 50–75 mg setiap pagi dikurangi 10% pada hari ketiga
- Lithium 300–1500 mg/hari (rata-rata 600–900 mg)
- Methysergide 4–10 mg/hari
- Divalproat Sodium
- Neuroleptik (Chlorpromazine)
- Clonidin transdermal atau oral
- Ergotamin tartrat 2 mg 2–3 kali per hari, 2 mg oral atau 1 mg rektal 2 jam sebelum
serangan terutama malam hari., dihydroergotamin, sumatriptan atau triptan lainnya

19
- Indometasin 150 mg/hari.

Catatan:
o Terapi pilihan pertama: prednison 60–80 mg/hari (selama 7–14 hari) dan verapamil 240
mg/hari. Jika gagal: Methysergide 2 mg (1–2 bulan) jangan diberikan dengan obat lain,
kecuali hydrocodon bitartrat (Vicodin).
o Jika tidak efektif:
1. Lithium atau asam valproat atau keduanya dapat dipakai bersama dengan verapamil.
2. Untuk pasien yang dirawat inap karena nyeri kepala cluster intractable:
dihidroergotamin i.v. setiap 8 jam, juga diberikan sedatif.

Pengobatan bedah untuk nyeri kepala cluster kronis

Jika pengobatan konservatif dan preventif gagal, bisa dipertimbangkan untuk


dilakukan “histamine desensitization” atau tindakan operasi.

2.4.4 neuralgia trigeminal


a) Definisi
b) Etiologi
c) Faktor resiko
d) Patofisiologi

Patofisiologi neuralgia trigeminal masih kontroversial. Umumnya, pada sebagian


besar kasus (85%) tidak ada kelainan pada struktural neuralgia trigeminal, namun
pada sebagian kasus adanya kompresi nervus trigeminus. Teori kompresi nervus
trigeminus ini diungkapkan sebagai berikut. Neuralgia trigeminal dapat disebabkan
karena pembuluh darah yang berjalan bersama nervus trigeminus menekan jalan
keluar cabang cabang nervus trigeminus pada batang otak, misalnya foramen ovale
(NV.3) dan rotundum (NV.2). Pada orang normal, pembuluh darah tidak
bersinggungan dengan nervus trigeminus. Arteri yang sering menekan saraf trigeminal
dalah arti serebral superior. Penekanan yang paling sering terdapat pada ganglion
gasseri, yaitu ganglion yang mempercabangkan 3 ramus nervus trigeminus. Pembuluh
darah yang berdekatan dengan ganglion gessari tersebut menyebabkan rasa nyeri
ketika pembuluh tersebut berdenyut dan bersentuhan dengan ganglion.

20
Kompresi dari pembuluh darah ini lama kelamaan akan menyebabkan mielin
dari nervus tersebut robek atau rusak (demyelinisasi). Seperti yang diketahui, mielin
membungkus serabut saraf dan membantu menghantarkan impuls dengan cepat.
Demyelinasi menyebabkan hilangnya barrier antar serat saraf sehingga terjadi
kegagalan inhibisi pada nukleus inti saraf yang mengakibatkan aksi ektopik (tidak
menentu) dan terjadi mekanisme re-entry yang menyebabkan amplifikasi dari input
sensoris sehingga sentuhan ringan seperti mengunyah, berbicara, senyum, bercukur,
sikat gigi dapat menyebabkan nyeri paroksimal pada neuralgia trigeminal.

Demyelinasi pada serabut saraf trigeminal yang disertai dengan adanya


subsequent ephatic cross talk diantara beberapa akson mengakibatkan terjadinya
perubahan pada voltage gated sodium channels, sehingga serabut saraf dengan nilai
ambang rendah dapat mengaktivasi serabut saraf lainnya atau peningkatan sensitifitas
terhadap nyeri. VGSC berperan dalam impuls nosiseptif dan mekanisme terjadinya
nyeri.

e) Kriteria diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis neuralgia trigeminal, IHS (International Headache


Society) tahun 2005 menetapkan kriteria diagnostik untuk neuralgia trigeminal sebagai
berikut:

1. Serangan nyeri paroksismal yang bertahan selama beberapa detik sampai 2 menit,
mengenai satu atau lebih daerah persarafan cabang saraf trigeminal.

2. Nyeri harus memenuhi satu dari dua kriteria berikut:

a. Intensitas tinggi, tajam, terasa di permukaan, atau seperti ditusuktusuk.

b. Berawal dari trigger zone atau karena sentuhan pemicu.

3. Pola serangan sama terus.

4. Tidak ada defisit neurologis.

5. Tidak ada penyakit terkait lain yang dapat ditemukan.

Neuralgia trigeminal hendaknya memenuhi seluruh tersebut; minimal kriteria 1, 2, dan 3.

f) Penegakan diagnosis
1. Anamnesis
- Serangan nyeri paroksismal berlangsung beberapa detik sampai kurang dari 2 menit.
- Nyeri dirasakan sepanjang inervasi satu atau lebih cabang NV
- Awitan nyeri yang tiba-tiba, berat, tajam seperti ditikam, panas atau kesetrum dan
superfisial.
21
- Alodinia (rangsangan antara lain: menggosok gigi, makan , mengunyah, mencukur,
atau mencuci wajah dan tiupan angin, bicara)
- Diantara dua serangan tidak ada rasa nyeri, jika ada hanya berupa nyeri ringan atau
tumpul.
2. Pemeriksaan Fisik
- Sewaktu serangan tampak menderita
- Diluar serangan normal
- Pemeriksaan neurologis : Tidak ditemukan kelainan neurologis
3. Pemeriksaan Penunjang
- MRI kepala
- MRI pada nervus trigeminal dan Brain Stem
MRI sangat bermanfaat karena dengan alat ini dapat melihat hubungan antara saraf dan
pembuluh darah juga dapat mendeteksi tumor yang masih kecil, MRI juga diindikasikan
pada penderita dengan nyeri yang tidak khas distribusinya atau waktunya maupun yang
tidak mempan pengobatan. Selain itu harus diingat, bahwa neuralgia trigeminal yang klasik
dengan hanya sedikit atau tanpa tanda-tanda abnormal ternyata bisa merupakan gejala –
gejala dari tumor fossa posterior.
g) penatalaksanaan
1. Non invasif:
Terapi Farmakologik

Obat Dosis Efek Samping

Lini Pertama

Karbamazepi 200-1200 mg Mual, mengantuk, kelelahan


n

Oxcarbazepin 300-1800 mg dibagi 2-3 Pusing, gangguan konsentrasi, tremor,


sehari kelelahan, penurunan kadar natrium

Lini Kedua

Gabapetin 900-3600 mg dosis dibagi 3- Ataksia, kelelahan, nistagmus, pusing,


4 kali sehari peningkatan BB

Lamotrigine 100-600 mg dosis dibagi 2 Pusing, sakit kepala, ruam, insomia, atralgia,
kali sehari myalgia

Baclofen 40-80 mg dosis dibagi 2 kali Kelelahan yang ekstrem, lemah dan

22
sehari mengantuk

Topiramat 200-400 mg dosis dibagi 2 Kelelahan penurunan BB, parestesia, batu


kali sehari ginjal dan perasaan depresi

Phenytoin 200-400 mg dosis 1 kali atau Pusing, mengantuk, ruam kulit, insomia,
dibagi 2 kali sehari ataksia

Pregabalin 100-600 mg dosis dibagi 2 Mengantuk, pusing, ataksia, kebingungan,


kali sehari penglihatan kabur.

 Karbamazepin merupakan pilihan utama dalam pengobatan Neuralgia Trigeminal.


Karbamazepin berfungsi untuk menurunkan recovery rate dari voltage-gated sodium
channel dan mengaktivasi sistem penghambat impuls.

 Okskarbazepin dapat digunakan sebagai pengganti apabila karbamazepin tidak bisa


ditolensi karena efek samping yang lebih sedikit. Okskarbazepin bekerja dengan
memblokir voltage-gated sodium channel dan memodulasi voltage calcium channel.
 Baklofen merupakan obat lini kedua dalam mengobati neuralgia trigeminal yang bekerja
dengan memfasilitasi inhibisi segmental pada kompleks trigeminal.
 Lamotrigin merupakan obat pilihan lini kedua bersama baclofen, dalam mengobati
neuralgia trigeminal yang bekerja menghambat voltage gated sodium channel yang akan
menstabilisasi membran neural.
 Gabapentin dan pregabalin mengikat α2δ subunit, sebagian mengurangi aktivitas VGSCs
dan mengurangi hiperaktivitas neuron dorsal horn serta hiperalgesia dan allodinia yang
ditimbulkan oleh cedera saraf.
 Topiramate bekerja pada VGSC, reseptor AMPA/kainate. Secara in vitro topiamate
mampu menghambat respon jaringan neuron terhadap kainat.
Non Farmakologik:

Rehabilitasi medik

Minimal invasif: (Atas indikasi)

- Ganglion Gasserian Radiofrekuensi Ablasi


23
o Merupakan tindakan medis untuk menghancurkan serabut saraf yang berperan
untuk menghantarkan sensasi nyeri ke otak. Tindakan ini menggunakan panas
dari gelombang radio untuk menghancurkan saraf tersebut.

- Glycerol rhizolisis

o Pada prosedur ini, dilakukan pemanasan pada ganglion sehingga saraf menjadi
kebas. Jarum spinal menembus muka ke sistem trigeminal, dimana pada jarum
terdapat sisternogram yang diisi material kontras larut air. Kontras larut air
kemudian dikeluarkan dan dimasukkan pula anhydrous glycerol, kemudian
pasien duduk selama 2 jam untuk ablasi saraf yang lebih sempurna.

Konsul bedah saraf: bila terapi farmako adekuat gagal dan ditemukan lesi sinkenesis atau
penekanan N. trigeminus

- Sensory Rhizotomy
o Prinsip terapi ini adalah memutuskan hubungan impuls antara nervus
trigeminus dengan otak, tekniknya dengan memotong ganglion gasseri secara
permanen. Namun, teknik ini menyebabkan muka matirasa secara total. Teknik
ini hanya dilakukan apabila segala teknik operasi dan segala terapi
farmakologi tidak berhasil dilakukan.

Terapi kausal: pada neuralgia trigeminal simtomatik

24
BAB III

PENUTUP
4.1 Kesimpulan

4.2 Saran
Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah kami banyak kesalahan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap para pembaca dapat memberikan kritik
dan saran yang sifatnya membangun mengenai pembahasan dan kesimpulan yang telah kami
buat.

25
DAFTAR PUSTAKA

26

Anda mungkin juga menyukai