Anda di halaman 1dari 44

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

  National Cancer Institute di Amerika Serikat, melaporkan bahwa pada tahun 1991
terdapat 6 juta penderita tumor ganas. Dari seluruh tumor ganas tersebut, insiden karsinoma sel
  basal dan karsinoma sel skuamosa ialah sebanyak 600.000 penderita. Tercatat pula jumlah
 penderita tumor ganas kepala dan leher sebanyak 78.000 orang, lebih dari 75% adalah karsinoma
1
sel skuamosa.

Dari semua karsinoma sel skuamosa kepala dan leher primer, karsinoma orofaringeal
adalah keganasan ketiga yang paling umum dengan tonsil menjadi lokasi yang paling umum dari
2
keganasan orofaring.

Sebagian besar kanker tonsil terkait dengan paparan dari human papillomavirus (HPV).
Alkohol dan penggunaan tembakau juga merupakan faktor risiko utama untuk perkembangan
kanker tonsil. Kanker tonsil lebih banyak diderita pria daripada wanita.

Gejala ± gejala dari kanker tonsil bervariasi seperti sakit tenggorokan persisten, kesulitan
3
menelan, atau benjolan di tenggorokan atau leher.

Pada pasien yang lebih tua, ukuran tonsil yang asimetris ( dikenal juga sebagai hipertrofi
tonsil asimetris ) dapat menjadi indikator tonsil yang terinfeksi virus atau tumor seperti limfoma
4
atau karsinoma sel skuamosa.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan  Referat  ini adalah dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik 
stase THT di RSUD Cianjur. Serta mengetahui lebih dalam lagi mengenai tumor tonsil yang
akan dibahas mulai dari anatomi, penjalaran kelenjar getah bening, serta penyebab dari tumor 
tonsil.

1
 

BAB II

PEMBAHASAN TEORI

A. Embriologi
Rongga mulut, faring dan esofagus berasal dari  foregut  embrionik.  Foregut  juga
  berkembang menjadi rongga hidung, gigi, kelenjar liur, hipofise anterior, tiroid dan laring,
trakea, bronkus, dan alveoli paru. Mulut terbentuk dari stomodeum primitif yang merupakan
gabungan ektodermal dan endodermal yang membelah. Bibir bagian atas dibentuk oleh bagian
 prosesus nasalis medial dan lateral dan prosesus maksilaris. Celah bibir biasanya tidak terletak di
garis tengah tetapi di lateral dari prosesus nasalis media, yang membentuk premaksila. Bibir 
  bagian bawah berkembang dari bagian prosesus mandibula. Otot bibir berasal dari daerah
  brankial kedua dan dipersarafi oleh saraf fasialis. Batas vermilion bibir tampak seperti busur;
takik pada busur ini merupakan cacat kosmetik yang sangat nyata. 

Gigi berasal dari lamina dentalis, yang berkembang menjadi sementum dan enamel dari
gigi tetap. Perkembangan gigi manusia dari gigi susu sampai pertumbuhan gigi molar ketiga
dewasa berhubungan dengan usia penderita, dan grafik dapat mengikuti pertumbuhan gigi yang
normal. Terdapat beberapa macam kista dan tumor jinak maupun ganas yang beasal dari sisa
lamina dentalis. Gigi dipersarafi oleh cabang dari saraf trigeminus cabang maksilaris dan
mandibularis. Pada rahang atas, ada beberapa variasi dan tumpang tindih pada daerah yang
dipersarafi oleh cabang saraf maksilaris. 

Palatum dibentuk oleh dua bagian yaitu premaksila yang berisi gigi seri dan berasal dari
 prosesus nasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole, dibentuk 
oleh gabungan dari prosesus palatum. Oleh karena itu, celah palatum terdapat garis tengah
  belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila depan. Pada tahap pertama, lempeng palatum
terdapat dilateral lidah dan jika lidah tidak turun maka lempeng palatum tidak dapat menyatu.
Hal ini merupakan dasar di mana celah palatum berhubungan dengan mikrognasia dari Sindrom
Pierre Robin. 


 

Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian depan terutama
  berasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh saraf lingualis, dengan cabang korda
timpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar submandibula. Saraf 
glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga lidah bagian belakang. Otot lidah berasal dari
miotom posbrankial yang bermigrasi ke depan, bersama saraf hipoglosus. Migrasi saraf 
hipoglosus diduga mempunyai hubungan denga fistula brankial. Tiroid berkembang dari foramen
sekum yang terdapat di lidah bagian belakang dan bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke
leher. Jika migrasi ini tidak terjadi, mengakibatkan tiroid lingualis. Sisa dari duktus tiroglosus
dapat menetap, dan letaknya di belakang korpus tulang hyoid. 

Kelenjar liur tumbuh sebagai kantong dari epitel mulut dan terletak dekat sebelah depan
saraf-saraf penting. Duktus submandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis melekat
 pada kelenjar parotis. 

Leher pada masa embrio awal tidak ada leher yang jelas, memisahkan toraks dari kepala.
Leher dibentuk seperti jantung, di mana berasal dari dibawah foregut , yang bermigrasi ke rongga
toraks dan aparatus brankial berkembang menjadi bentuk yang sekarang. Migrasi dari jantung
merupakan sebab mengapa beberapa struktur dari leher bermigrasi terakhir. Pada masa embrio
awal terdapat beberapa tonjolan sepanjang tepi dari foregut yang juga dapat dilihat dari luar.
Tonjolan ini adalah aparatus brankialis.  Meskipun secara filogenetik terdapat enam arkus
  brankialis, arkus kelima tidak pernah berkembang pada manusia, dan hanya membentuk 
ligamentum arteriosum. Hanya empat arkus yang dapat dilihat dari luar. Setiap arkus brankialis
mempunyai sepotong kartilago, yang berhubungan dengan kartilago ini adalah arkus arteri, saraf,
dan beberapa mesenkim yang akan membentuk otot. Dibelakang setiap arkus terdapat alir 
eksternal yang terdiri dari ektodermal. Daerah diantara ektodermal dan endodermal dikenal
dengan lempeng akhir. 

Bagian dari stuktur yang disebut diatas berkembang menjadi struktur dewasa yang tetap.
Bagian yang seharusnya hilang dapat menetap dan membentuk struktur abnormal pada dewasa.1,5


 

B. Anatomi
Pada anatomi, tenggorokan bagian dari leher depan sampai kolumna vertebra. Terdiri dari
faring dan laring. Bagian yang terpenting dari tenggorokan adalah epiglotis, ini menutup jika ada
makanan dan minuman yang lewat dan akan menuju ke esofagus. Tenggorakan jika dipendarahi
oleh bermacam-macam pembuluh darah, otot faring, trakea dan esofagus. Tulang hyoid dan
1,5
klavikula merupakan salah satu tulang tenggorokan untuk mamalia.

Gambar 1. Diagram tenggrokan pada manusia

1. Rongga mulut

Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di
depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah.

Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi
oleh saraf fasialis. Vermilion berwarna merah karena di tutupi oleh lapisan tipis epitel skuamosa.
Ruangan di antara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris. Muara duktus
kelenjar parotis menghadap gigi molar kedua atas.


 

Gigi ditunjang oleh krista alveolar mandibula dibagian bawah dan krista alveolar maksila
di bagian atas. Gigi pada bayi terdiri dari dua gigi seri, satu gigi taring dan dua gigi geraham.
Gigi dewasa terdiri dari dua gigi seri dan satu gigi taring, dua gigi premolar dan tiga gigi molar.
Permukaan oklusal dari gigi seri berbentuk menyerupai pahat dan gigi taring tajam, sedangkan
gigi premolar dan molar mempunyai permukaan oklusal yang datar. Daerah diantara gigi molar 
 paling belakang atas dan bawah dikenal dengan trigonum retromolar.

Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum dibagian depan dan sebagian besar dari
otot palatum mole dibagian belakang. Palatum mole dapat diangkat untuk faring bagian nasal
dari rongga mulut dan orofaring. Ketidakmampuan palatum mole menutup akan mengakibatkan
 bicara yang abnormal ( rinolalia aperta ) dan kesulitan menelan. Dasar mulut diantara lidah dan
gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar submandibula. Muara duktus
mandibularis terletak di depan ditepi frenulum lidah. Kegagalan kelenjar liur untuk 
mengeluarkan liur menyebabkan mulut menjadi kering atau xerostomia. Hal ini merupakan
keluhan yang menyulitkan pada beberapa pasien.

Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga bagian depan dapat digerakkan,
sedangkan pangkalnya terfiksasi. Otot dari lidah dipersarafi oleh saraf hipoglosus. Dua pertiga
lidah bagian depan dipersarafi oleh saraf lingualis dan saraf glosofaringeus pada sepertiga lidah
 bagian belakang.

Korda timpani mempersarafi cita rasa lidah dua pertiga bagian depan, sedangkan saraf 
glosofaringeus mempersarafi cita rasa lidah sepertiga bagian belakang. Cita rasa dibagi dalam
daerah-daerah tertentu. Misalnya, rasa pahit dapat dirasakan pada lidah bagian belakang.
Permukaan lidah bagian atas dibagi menjadi dua pertiga depan dan sepertiga bagian belakang
oleh garis dari papila sirkumvalata yang berbentuk huruf V merupakan tempat asal duktus
tiroglosus. Fungsi lidah untuk berbicara dan menggerakkan bolus makanan pada waktu
 pengunyahan dan penelanan. 1,5


 

Gambar 2. Bagian dari rongga mulut

2. Faring

Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang dari mulut, cavum nasi, kranial
atau superior sampai esofagus, laring dan trakea. Faring adalah suatu kantong fibromuskuler 
yang bentuknya seperti corong yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong
ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikalis ke-6.
Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan
dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan
melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior 
faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding faring yang
terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh ( dari dalam keluar ) selaput lendir, fasia faringobasiler,
 pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan
laringofaring ( hipofaring ).

Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior, kemudian
 bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring membuka ke
arah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior adenoid terletak pada mukosa atap


 

nasofaring. Disamping, muara tuba eustakhius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang
disebut fosa Rosenmuller. Kedua struktur ini berada diatas batas bebas otot konstriktor faringis
superior. Otot tensor veli palatini merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka
tuba eustakhius, masuk ke faring melalui ruangan ini. Otot ini membentuk tendon yang melekat
sekitar hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatini dipersarafi oleh
saraf mandibularis melalui ganglion otik.

Orofaring ke arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam
kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila, arkus faring
anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh
otot palatofaringeus otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semuanya
dipersarafi oleh pleksus faringeus.

Unsur-unsur faring meliputi :

a. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena
fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis
yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena
fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia. Di sepanjang faring
dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang
termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah
 pertahanan tubuh terdepan.

 b. M ucous Blanket  
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian
atas, nasofaring ditutupi oleh mucous blanket  yang terletak diatas silia dan bergerak sesuai
dengan arah gerak silia ke belakang.  M ucous blanket  ini berfungsi untuk menangkap partikel
kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. M ucous blanket  ini mengandung enzim Lyzozyme 
yang penting untuk proteksi.


 

c. Otot
Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke laring juga dilalui oleh
makanan dari rongga mulut ke esofagus. Oleh karena itu, kegagalan dari otot-otot faringeal,

Gambar 3. Ukuran perbandingan posisi dan hubungan ketiga otot konstriktor faringis

terutama yang menyusun ketiga otot konstriktor faringis, akan menyebabkan kesulitan dalam
menelan dan biasanya juga terjadi aspirasi air liur dan makanan ke dalam cabang trakeobronkial.

Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang


(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m. Konstriktor faring superior, media dan
inferior. Otot-otot ini terletak disebelah luar. Disebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama
lain dan dibelakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut ´rafe faring´ ( raphe pharyngis ).
Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersarafi oleh n.Vagus (n.
X ). Otot-otot yang longitudial adalah m. Stilofaring dan m. Palatofaring. letak otot-otot ini
sebelah dalam. M. Stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan
m. Palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring.
Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting pada waktu menelan.
M. Stilofaring dipersarafi oleh n. IX sedangkan m. Palatofaring dipersarafi dan m. Azigos uvula.


 

M. Levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk 
menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba eustacius. Otot ini dipersarafi oleh n.
X. M. Tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk mengencangkan
 bagian anterior palatum mole dan membuka tuba eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n. X

M. Palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus


faring. Otot ini dipersarafi oleh n. X. M. Palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini
dipersarafi oleh n. X. M. Azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan
menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n. X.

1) Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang - kadang tidak beraturan. Yang
utama berasal dari cabang a. Karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fasial) serta
dari cabang a. Maksila interna yakni cabang a. Palatina superior.

2) Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif.
Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n. Vagus cabang dari n. Glosofaring dan serabut
simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif 
ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m. Stilofaring yang dipersarafi langsung
oleh cabang n. Glosofaring (n. IX).

3) Kelenjar getah bening


Aliran limfa dari dinding faring dapat melaui 3 saluran yakni superior, media dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah
  bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo -
digastrik dan kelenjar servikal dalam atas sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar 
getah bening servikal dalam bawah.

Berdasarkan letak, faring dibagi atas:

a) Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid
  pada dinding lateral faring dengan resessus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong


 

rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang
dilalui oleh nervus glosofaring, n. Vagus dan n. Asesorius spinal saraf kranial dan v. Jugularis
interna bagian petrosus os. Tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.

Tumor ganas yang sering menyerang daerah ini adalah karsinoma nasofaring.
Prevalensinya di Indonesia 4,7 / 100.000 orang. Banyak mengenai pada ras mongoloid seperti
Cina selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia. Tapi ditemukan
  juga pada ras non mongoloid seperti Yunani, Tunisia, Aljazair, Eskimo. Biasanya karsinoma
nasofaring di Indonesia datang setelah stadium lanjut sehingga hasil pengobatan dan
  prognosisnya buruk. Manifestasi awalnya berupa rasa penuh pada telinga, tinnitus, otalgia, tuli
konduktif unilateral, obstruksi hidung, epistaksis, sekret berdarah, anosmia. Sedangkan pada
stadium lanjut bermanifestasi seperti sakit kepala, diplopia, lagoftalmus, optalmoplegia,
limfadenopati, trismus, disfagia, gangguan pengecapan, parese parsial lidah. Diagnosis
didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, biopsi nasofaring. Penatalaksaan bergantung
dari stadium, bila stadium 1 diberikan radioterapi, stadium II & III diberikan kemoradiasi,
stadium IV dengan N < 6 cm yaitu dengan kemoradiasi dan stadium IV dengan N > 6 cm yaitu
dengan kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi.

Selain karsinoma nasofaring, angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak di


  pembuluh darah di nasofaring yang secara histologis jinak tapi secara klinis bersifat ganas,
karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti
ke sinus paranasal, pipi, mata, dan tengkorak serta sangat mudah berdarah dan sulit dihentikan.
Sering menyerang anak laki ± laki remaja usia 7 ± 19 tahun ( jarang > 25 tahun ). Dari semua
1
 pasien THT diperkirakan hanya ditemukan 1 : 5000 ± 1: 60.000 pasien.

 b) Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya
adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra
servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
  palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen
sekum.

10
 

(1) Dinding posterior faring


Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot
  posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n.
Vagus.

(2) Fosa tonsil


Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.
Konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas ( upper pole ) terdapat suatu
ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya
merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang
merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar-benarnya bukan
merupakan kapsul yang sebena-benarnya.

(3) Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya.

Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual
yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang
  biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali
ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil
 biasanya melekat pada dasar lidah.

Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam
kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan.

Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a. Palatina minor, a. Palatina asenden, cabang tonsil a.
Maksila eksterna, a.Faring asenden dan a. Lingualis dorsal.

11
 

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang - kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada
massa tiroid lingual ( lingual thyroid ) atau kista duktus tiroglosus.

Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat
meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.

Gambar 4. Dinding faring lateral

c) Laringofaring ( Hipofaring )
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis
 berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis ( muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan )
dan ke esofagus, n. Laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas
anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra
servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat
muara esofagus. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring
tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur 
  pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah

12 
 

cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum


glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga ³ kantong pil ´ ( pill pockets), sebab
 pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.

Dibawah valekula terdapta epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
 perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega)
ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar 
dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau
 bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.

 N. Laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring.
Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung.

(1) RUANG FARINGEAL 

Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti
 penting, yaitu retrofaring dan ruang parafaring.

(a) Ruang retrofaring ( retropharyngeal space )


Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa
faring, fasia faringobasilaris dan otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia
  prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah
dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di
sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila. Abses retrofaring sering
ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiaannya ialah karena diruang retrofaring terdapat kelenjar-
kelenjar limfa. Pada peradangan kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah,
nanahnya akan tertumpah di dalam ruang retrofaring. Kelenjar limfa diruang retrofaring ini akan
 banyak menghilang pada pertumbuhan anak.

13 
 

(b) Ruang parafaring ( Fosa faringomaksila )

Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat
foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os. Hyoid. Ruang ini dibatasi di bagian
dalam oleh m. Konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang
melekat dengan m,pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis.

Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os Stiloid dengan
melekat padanya. Bagian anterior ( presteloid ) adalah bagian yang lebih luas dan dapat
mengalami supuratif sebagai akibat tonsil meradang, beberapa bentuk mastoid atau petrositis,
atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior ( posterior stiloid ) berisi a.
Karotis interna, v. Jugularis interna, n. Vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut
selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan
fasia yang tipis. 1,5

3. Kelenjar getah bening ( KGB )

Sistim aliran limfe leher penting untuk dipelajari, karena hampir semua bentuk radang
atau keganasan kepala dan leher akan terlihat dan bermanifestasi ke kelenjar limfe regional.
Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang tersebar di seluruh tubuh.
Mempunyai fungsi penting berupa barier atau filter terhadap kuman ± kuman / bakteri ± bakteri
yang masuk kedalam badan dan barier pula untuk sel ± sel tumor ganas ( kanker ). Disamping itu
 bertugas pula untuk membentuk sel ± sel limfosit darah tepi. Ukuran normal dari kelenjar getah
 
 bening adalah < 1cm.
Berdasarkan letaknya kelenjar limfa dileher terdiri atas kelenjar preaurikuler,
retroaurikuler, submandibula, submental, juguler atas, juguler tengah, juguler bawah, segitiga
leher dorsal, dan supraklavikula.
Sekitar 75 buah kelenjar limfe terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan pada rangkaian
  jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfe yang selalau terlibat dalam metastasis
tumor adalah kelenjar limfe pada rangkaian juguler interna, yang terbentang antara klavikula
sampai dasar tengkorak. Rangkaian juguler interna ini dibagi dalam kelompok superior, media

14 
 

dan inferior. Kelompok kelenjar limfe yang lain adalah submental, submandibula, servikalis
 
superfisial, retrofaring, paratrakela, spinal asesorius, sklaneus anterior dan supraklavikula.

 
Gambar 5. Anatomi limfa pada leher 
Kelenjar limfe jugularis interna superior menerima aliran limfe yang berasal dari palatum
mole tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus piriformis dan supraglotik laring. Juga
menerima aliran limfe yang berasal dari kelenjar limfe retro faring, spinal asesorius, parotis,
servikalis superfisial dan kelenjar limfe submandibula.
Kelenjar jugularis interna media menerima aliran limfe yang berasal langsung dari
subglotik laring, sinus piriformis bagian inferior dan daerah krikoid posterior. Juga menerima
aliran limfe yang berasal dari kelenjar limfe jugularis interna superior dan kelenjar limfe
 
retrofaring bagian bawah.
Kelenjar jugularis interna inferior menerima aliran limfe yang berasal langsung dari
glandula tiroid, trakea, esofagus, baguan servikal,. Juga menerima aliran limfe yang berasal dari
kelenjar limfe jugularis interna superior dan media dan kelenjar limfe paratrakeal.
Kelenjar limfe submental, terletak pada segitiga submental diantara platisma dan
m.omohioid di dalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima aliran limfe yang berasal dari
dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi, gusi, dasar mulut bagian depan dan 1/3 bagian bawah

15 
 

lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa submandibula sisi homolateral atau
kontralateral, kadang-kadang dapat langsung ke rangkaian kelenjar limfa jugularis interna.
Kelenjar limfa submandibula, terletak disekitar kelenjar liur submandibula dan didalam
kelenjar ludahnya sendiri. Pembuluh aferen menerima aliran limfa yang berasal kelenjar liur 
submandibula, bibir atas, bagian lateral bibir bawah, rongga hidung, bagian anterior rongga
mulut, bagian medial kelopak mata, palatum mole dan 2/3 depan lidah. Pembuluh eferen 
mengalirkan limfa kekelenjar jugularis interna superior.

Gambar 6. Regio kelenjar limfa leher 

Kelenjar limfa servikalis superfisial, terletak disepanjang vena jugularis eksterna,


menerima aliran limfa yang berasal dari kulit muka, sekitar kelenjar parotis, daerah retroaurikula,
kelenjar parotis dan kelenjar limfa oksipital. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar 
 
limfa jugularis interna superior.
Kelenjar limfa retrofaring, terletak diantara faring dan fasia prevertebra, mulai dari dasar 
tengkorak sampai ke perbatasan leher dan toraks. Pembuluh aferen menerima aliran limfe dari
nasofaring, hipofaring, telinga tengah dan tuba eustachius. Pembuluh eferen mengalirkan limfa
ke limfa jugularis interna dan kelenjar limfa spinal asesorius bagian superior. 

16 
 

Kelenjar limfa paratrakeal menerima aliran limfa yang berasal dari laring bagian bawah,
hipofaring, esofagus bagian servikal, trakea bagian atas dan tiroid. Pembuluh eferen mengalirkan
limfa ke kelenjar limfa jugularis interna inferior atau kelenjar limfa mediastinum superior.
Kelenjar limfa spinal asesorius, terletak disepanjang saraf spinal asesorius, menerima
aliran limfa yang berasal dari kulit kepala bagian parietal, dan bagian belakang leher. Kelenjar 
limfa parafaring menerima aliran limfa dari nasofaring, orofaring, dan sinus paranasal. Pembuluh
eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa supraklavikula. 
Rangkaian kelenjar limfa jugularis interna mengalirkan limfa ke trunktus jugularis dan
selanjutnya masuk keduktus torasikus untuk sisi sebelah kiri, dan untuk sisi sebelah kanan masuk 
ke duktus limfatikus kanan atau langsung kesistim vena pada pertemuan vena jugularis interna
dan vena subklavia. Juga duktus torasikus dan duktus limfatikus kanan menerima aliran limfe
dari kelenjar limfa supraklavikula.

Gambar 7. Sistim limfa pada leher dan insidensi metastasenya

Pembesaran kelenjar getah bening dengan konsistensi keras seperti batu mengarah
kepada keganasan, padat seperti karet mengarah kepada limfoma, lunak megarah kepada proses
infeksi, fluktuatif mengarah telah terjadi abses. Pembesaran kelenjar getah bening leher bagian

17 
 

  posterior terdapat pada infeksi rubel dan mononukleosis. Supraklavikula atau kelenjar getah
  bening leher bagian belakang memiliki resiko keganasan lebih besar dari pada pembesaran
1
kelenjar getah bening bagian anterior.
Pada pembesaran kelenjar getah bening oleh infeksi virus, KGB umumnya bilateral,
lunak dan dapat digerakkan. Bila infeksi oleh bakteri kelenjar biasanya nyeri pada penekanan,
  baik satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif dan dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan
suhu lebih panas dari sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan
terjadinya abses. Bila limfadenopati disebabkan oleh keganasan maka tanda-tanda peradangan
1
tidak ada, konsistensi keras dan tidak dapat digerakkan.

C. Fisiologi
1. Fungsi faring
Terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Tiga dari fungsi-
fungsi ini adalah jelas. Fungsi penelanan akan dijelaskan terperinci.

a. Penelanan

Proses menelan dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase oral, fase faringeal dan fase
esofagal.

1) Fase oral

Pada fase oral ini akan terjadi proses pembentukan bolus makanan yang dilaksanakan
oleh gigi geligi, lidah, palatum mole, otot-otot pipi dan saliva untuk menggiling dan membentuk 
  bolus dengan konsistensi dan ukuran yang siap untuk ditelan. Proses ini berlangsung secara
disadari. Proses ini bertahan kira-kira 0.5 detik 

18 
 

Tabel 1. Peranan saraf kranial pada pembentukan bolus fase oral

ORGAN AFFEREN (sensorik) EFFEREN (motorik)

Mandibula n. V.2 (maksilaris)  N. V : M. Temporalis, m. Maseter, m.


Pterigoid

n. VII : M. Orbikularis oris, m.


Bibir  n. V.2 (maksilaris)
Zigomatikum, m. Levator labius oris,
m. Depresor labius oris, m. Levator 

anguli oris, m. Depressor anguli oris

n. VII: M. Mentalis, m. Risorius, m.


Businator 

Mulut & pipi n. V.2 (maksilaris)


n.XII : M. Hioglosus, m. Mioglosus

Lidah n. V.3 (lingualis)

Pada fase oral ini perpindahan bolus dari rongga mulut ke faring segera terjadi, setelah
otot-otot bibir dan pipi berkontraksi meletekkan bolus diatas lidah. Otot intrinsik lidah
  berkontraksi menyebabkan lidah terangkat mulai dari bagian anterior ke posterior. Bagian
anterior lidah menekan palatum durum sehingga bolus terdorong ke faring.

Bolus menyentuh bagian arkus faring anterior, uvula dan dinding posterior faring
sehingga menimbulkan refleks faring. Arkus faring terangkat ke atas akibat kontraksi m. Palato
faringeus ( n. IX, n. X dan n. XII )

19 
 

Tabel 2. Peranan saraf kranial fase oral

ORGAN AFFEREN (sensorik) EFFEREN (motorik)

Bibir  n. V.2 (mandibularis), n. V.3 n. VII : M. Orbikularis oris, m. Levator 

(lingualis) labius oris, m. Depressor labius, m.


Mentalis

n.VII: M. Zigomatikus,levator anguli


n. V.2 (mandibularis)
Mulut & pipi oris, m. Depressor anguli oris, m.
Risorius. m. Businator 

n. IX, X, XI : M. Palatoglosus

n.V.3 (lingualis)
Lidah

n. IX, X, XI : M. Uvulae,

n.V.2 (mandibularis) m. Palatofaring


Uvula

Jadi pada fase oral ini secara garis besar bekerja saraf karanial n. V2 dan n. V.3 sebagai
serabut afferen (sensorik) dan n. V, n. VII, n. IX, n. X, n. XI, n. XII sebagai serabut efferen
(motorik).

20
 

2) Fase Faringeal

Fase ini dimulai ketika bolus makanan menyentuh arkus faring anterior (arkus
 palatoglosus) dan refleks menelan segera timbul. Pada fase faringeal ini terjadi :

a)  M. Tensor veli palatini (n.V) dan m. Levator veli palatini (n. IX, n. X dan n. XI)
  berkontraksi menyebabkan palatum mole terangkat, kemudian uvula tertarik keatas dan
ke posterior sehingga menutup daerah nasofaring.
 b)  M. Genioglosus (n. XII), m. Ariepiglotika (n. IX, n. X) m. Krikoaritenoid lateralis (n.IX,
n. X) berkontraksi menyebabkan aduksi pita suara sehingga laring tertutup.
c)  Laring dan tulang hioid terangkat keatas ke arah dasar lidah karena kontraksi m.
Stilohioid (n.VII), m. Geniohioid, m. Tirohioid (n. XII dan n. servikal I).
d)  Kontraksi m. Konstriktor faring superior (n. IX, n. X, n. XI), m. Konstriktor faring
inermedius (n. IX, n. X, n. XI) dan m. Konstriktor faring inferior (n. X, n. XI)
menyebabkan faring tertekan kebawah yang diikuti oleh relaksasi m. Krikofaring (n. X)
e)  Pergerakan laring ke atas dan ke depan, relaksasi dari introitus esofagus dan dorongan
otot-otot faring ke inferior menyebabkan bolus makanan turun ke bawah dan masuk ke
dalam servikal esofagus. Proses ini hanya berlangsung sekitar satu detik untuk menelan
cairan dan lebih lama bila menelan makanan padat.

Tabel 3. Peranan saraf kranial pada fase faringeal

Organ Afferen Efferen

Lidah n. V.3 n. V :M. Milohyoid, m. Digastrikus

n. VII : M. Stilohyoid

n. XII, n. C1 :M. Geniohyoid, M.Tirohyoid

n. XII :M. Stiloglosus

21
 

Palatum n. V.2, n. V.3 n. IX, n. X, n. XI :M. Levator veli palatini

n.V :M. Tensor veli palatini

n. Laringeus superior  n. V : M. Milohyoid, m. Digastrikus


cab internus (n. X)
Hyoid n. VII : M. Stilohioid
n.X
n. XII, n. C.1 :M. Geniohioid, M.Tirohioid

n.X
 Nasofaring n. IX, n. X, n. XI : n.Salfingofaringeus

n. Rekuren (n. X)
Faring n. IX, n. X, n. XI : M. Palatofaring, m.
Konstriktor faring superior, m. Konstriktor 
faring medial

n. X, n. XI : M. Konstriktor faring inferior 


n. X

n. IX :M. Stilofaring
Laring

n. X : M. Krikofaring
Esofagus

Pada fase faringeal ini saraf yang bekerja saraf karanial n. V.2, n. V.3 dan n. X sebagai
serabut afferen dan n. V, n. VII, n. IX, n. X, n. XI dan n. XII sebagai serabut efferen.

22 
 

Bolus dengan viskositas yang tinggi akan memperlambat fase faringeal, meningkatkan
waktu gelombang peristaltik dan memperpanjang waktu pembukaan sfingter esofagus bagian
atas. Bertambahnya volume bolus menyebabkan lebih cepatnya waktu pergerakan pangkal lidah,
 pergerakan palatum mole dan pergerakan laring serta pembukaan sfingter esofagus bagian atas.
Waktu pharyngeal transit juga bertambah sesuai dengan umur.

Kecepatan gelombang peristaltik faring rata-rata 12 cm/detik. Mc.Connel dalam


 penelitiannya melihat adanya 2 sistem pompa yang bekerja yaitu :

a)  Oropharyngeal propulsion pomp (OOP) adalah tekanan yang ditimbulkan tenaga lidah
2/3 depan yang mendorong bolus ke orofaring yang disertai tenaga kontraksi dari m.
Konstriktor faring.
 b)  Hypopharyngeal suction pomp (HSP) adalah merupakan tekanan negatif akibat
terangkatnya laring ke atas menjauhi dinding posterior faring, sehingga bolus terisap ke
arah sfingter esofagus bagian atas. Sfingter esofagus bagian atas dibentuk oleh m.
Konstriktor faring inferior, m. Krikofaring dan serabut otot longitudinal esofagus bagian
superior.

3) Fase Esofageal

Pada fase esofageal proses menelan berlangsung tanpa disadari. Bolus makanan turun
lebih lambat dari fase faringeal yaitu 3-4 cm/ detik.

Fase ini terdiri dari beberapa tahapan :

a)  Dimulai dengan terjadinya relaksasi m. Krikofaring. Gelombang peristaltik primer terjadi
akibat kontraksi otot longitudinal dan otot sirkuler dinding esofagus bagian proksimal.
Gelombang peristaltik pertama ini akan diikuti oleh gelombang peristaltik kedua yang
merupakan respons akibat regangan dinding esofagus.
 b)  Gerakan peristaltik tengah esofagus dipengaruhi oleh serabut saraf pleksus mienterikus
yang terletak diantara otot longitudinal dan otot sirkuler dinding esofagus dan gelombang
ini bergerak seterusnya secara teratur menuju ke distal esofagus.

23 
 

Cairan biasanya turun akibat gaya berat dan makanan padat turun karena gerak peristaltik 
dan berlangsung selama 8-20 detik.  E   sophagal transit time bertambah pada lansia akibat dari
 berkurangnya tonus otot-otot rongga mulut untuk merangsang gelombang peristaltik primer.

Proses menelan diatur oleh sistem saraf yang dibagi dalam 3 tahap :

a)  Tahap afferen/sensoris dimana begitu ada makanan masuk ke dalam orofaring langsung
akan berespons dan menyampaikan perintah.
 b)  Perintah diterima oleh pusat penelanan di Medula oblongata/batang otak (kedua sisi)
  pada trunkus solitarius di bag. Dorsal (berfungsi utuk mengatur fungsi motorik proses
menelan) dan nukleus ambigius yg berfungsi mengatur distribusi impuls motorik ke
motor neuron otot yg berhubungan dgn proses menelan.
c)  3. Tahap efferen/motorik yang menjalankan perintah

B. Proses berbicara

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring.
Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m. Salpingofaring dan m.
Palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m. Konstriktor faring superior.
Pada gerakan penutupan nasofaring m. Levator veli palatini menarik palatum mole ke atas
  belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan
(  fold of ) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu
  pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m. Palatofaring (bersama m. Salpingofaring) oleh
kontraksi aktif m. Konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu bersamaan.

Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi
ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan
dengan gerakan palatum. 1,5

24 
 

D. Tumor tonsil

Penyakit tonsil dan adenoid merupakan masalah kesehatan yang sering tejadi dalam
masyarakat. Nyeri tenggorokan, infeksi saluran nafas atas dan penyakit telinga yang terkait
adalah keluhan yang paling sering ditemukan pada kunjungan pasien ke Puskesmas, terutamanya
 pada anak kecil dan remaja.

Peranan tonsil dalam mekanisme pertahanan tubuh masih diragukan meskipun fungsinya
memproduksi sel-sel limfosit. Berdasarkan peneletian, ternyata tonsil memegang peranan
  penting dalam fase-fase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara
 pernafasan sebelum masuk kedalam saluran nafas bagian bawah. 

Hasil penelitian, mengenai kadar antibodi tonsil menunjukkan bahwa parenkim tonsil
memang mampu memproduksi antibodi. Penelitian terakhir menyatakan bahwa tonsil memegang
 peranan dalam memproduksi IgA, yang menyebabkan jaringan lokal resisten terhadap organisme
 
 patogen.

Sewaktu baru lahir tonsil secara histologis tidak mempunyai µcentrum germinativum¶ ,
 biasanya berbentuk kecil. Setelah antibodi ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan
adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa kanak-kanak dianggap normal dan dipakai
sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau sebelum masa pubertas, terjadi
kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi. 1,5

1. Epidemiologi

Keganasan tonsil merupakan keganasan di Amerika Serikat dengan angka lebih dari 0,5%
dari semua jenis keganasan setiap tahunnya. Lebih dari 8000 karsinoma orofaringeal didiagnosis
di Amerika Serikat setiap tahunnya. Sebuah badan patologi di Amerika mempunyai data dari
tahun 1945 ± 1976 ada sekitar 70% lebih dari keganasan di wilayah ini adalah karsinoma sel
skuamosa. Karsinoma sel skuamosa menyerang 3 ± 4 kali lebih sering pada laki ± laki
dibandingkan wanita dan sebagian besar berkembang dalam dekade kelima kehidupan. Limfoma
2
tonsil adalah keganasan yang paling sering terjadi nomer dua.

25 
 

2. Etiologi

Menurut   National Cancer Institute, faktor risiko karsinoma sel skuamosa termasuk 
merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru ± baru ini ada indikasi bahwa etiologi virus juga
harus dipertimbangkan. Meskipun virus E  pstein ± Barr ( EBV ) merupakan pertimbangan utama
 pada karsinoma nasofaring, Human Papilloma Virus ( HPV ) telah terbukti sebagai ancaman.

Beberapa studi telah mengidentifikasi indikasi kehadiran HPV pada sekitar 60% dari
karsinoma tonsil.

Bila tonsil termasuk dalam studi wilayah orofaring, maka faktor risiko meliputi :

-  Diet rendah buah dan sayuran


-  Infeksi HPV
-  Merokok 
-  Alkohol  
2

HPV adalah virus DNA rantai ganda yang menginfeksi sel ± sel basal epitel dan dapat
ditemukan sampai dengan 36% dari karsinoma sel skuamosa orofaring. Meskipun lebih dari 100
strain yang telah diisolasi, HPV tipe 16 dan 18 paling sering dikaitkan dengan kanker. Kode
genom virus untuk  oncoproteins E6 dan E7, yang telah meningkatkan aktivitas di strain yang
  bersifat onkogenik. Oncoprotein E6 menyebabkan degradasi tumor suppressor p53.
Oncoprotein E7 merupakan tumor suppressor  retinoblastoma ( Rb ). Hilangnya pRB 
menyebakan akumulasi p16, yang biasanya akan menghambat perkembangan siklus sel melalui
siklin D1 dan CDK4 / CDK6. Karena akumulasi ini, p16 dapat digunakan sebagai penanda
6
aktivitas HPV.

3. Patofisiologi

Karsinoma sel skuamosa tonsil mungkin terbatas pada fosa tonsil, tetapi perluasan pada
ke struktur yang berdekatan sering terjadi. Karsinoma umumnya menyebar sepanjang sulkus
glosotonsilar melibatkan dasar lidah. Selain itu, penyebaran sering melibatkan palatum mole atau
nasofaring. Fosa tonsil dibatasi oleh otot superior konstriktor yang mungkin berisi penyebaran
karsinoma.

26 
 

  Namun ketika otot konstriktor dilampaui, ini menjadi keuntungan tumor untuk 
mengakses ke ruang parafaring. Ini melibatkan otot ± otot pterigoid atau mandibular. Penyebaran
ke arah superior dari ruang parafaring bisa melibatkan dasar tengkorak dan penyebaran ke arah
inferior bisa melibatkan leher bagian lateral. Akhirnya keterlibatan yang luas dalam ruang
 parafaring mungkin melibatkan arteri karotis.

Metastase ke daerah limfatik sering terjadi. Metastase ke leher sebanyak kurang lebih
65%. Karsinoma sel skuamosa tonsil juga dapat bermetastase ke kelenjar getah bening
retrofaring. Metastase jauh dari karsinoma sel skuamosa tonsil terjadi sekitar 15 ± 30%. Lokasi

yang paling umum adalah paru ± paru, diikuti oleh hati dan kemudian tulang.  
7

4. Klasifikasi

a. Tumor Tonsil Jinak 

1) Kista Tonsil

Kista epitel tonsil merupakan


  jenis yang cukup sering. Permukaannya
  berkilau, halus, dan berwarna putih atau
kekuningan. Kista ini tidak memberikan
gejala apapun, akan tetapi kista yang lebih
  besar akan menyebabkan suatu benjolan di
tenggorokan dan mungkin perlu di operasi.

Gambar 8. Kista Tonsil

27 
 

2) Papiloma Tonsil

Papilloma skuamosa biasanya terlihat menggantung dari pedicle uvula, tonsil atau pilar.
Tampak massa bergranular yang timbul dari pilar anterior pada bagian posteriornya.

Gambar 9. Papiloma Tonsil

3) Polip Tonsil

Massa tonsil tersebut menunjukkan


8
gambaran polip pada pemeriksaan histologi.

Gambar 10. Polip Tonsil

28 
 

b. Tumor Tonsil Ganas

1) Karsinoma Sel Skuamosa Tonsil

Karsinoma sel skuamosa tonsil


menunjukkan pembesaran dan ulserasi dari tonsil,
tapi bisa juga tidak selalu disertai dengan ulserasi.
Tampilannya hampir sama dengan limfoma dan
hanya dapat dibedakan dengan pemeriksaan
histologis. Sekitar 90% kanker tonsil adalah
karsinoma sel skuamosa. Tumor ini relatif sering
terjadi terutama pada usia 50 dan 70. Perbandingan
laki ± laki dan perempuan adalah 3 ± 4 : 1 dan
sering dikaitkan dengan perokok dan peminum
alcohol. 60% pasien datang dengan metastase ke
serviks bilateral sebanyak 15%, sedangkan
2
metastase jauh ditemukan sekitar 7%. Gambar 11. Karsinoma Sel Skuamosa

a) Etiologi

Menurut   National Cancer Institute, faktor risiko karsinoma sel skuamosa termasuk 
merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru ± baru ini ada indikasi bahwa etiologi virus juga
harus dipertimbangkan. Meskipun virus E  pstein ± Barr ( EBV ) merupakan pertimbangan utama
2
 pada karsinoma nasofaring, Human Papilloma Virus ( HPV ) telah terbukti sebagai ancaman.

HPV adalah virus DNA rantai ganda yang menginfeksi sel ± sel basal epitel dan dapat
ditemukan sampai dengan 36% dari karsinoma sel skuamosa orofaring.9

b) Gambaran histologis

Karsinoma sel skuamosa tonsil palatina adalah sel dengan diferensiasi buruk. Varian
  berikut meskipun pada dasarnya adalah karsinoma sel skuamosa, di daerah ini telah dijelaskan

29 
 

yaitu carcinoma basosquamos Nonkeratinizing carcinoma ( sel transisional atau tipe sinonasal ),
dan yang lainnya yaitu undifferentiated atau lymphoepithelioma type.

2) Limfoma Tonsil

Limfoma sulit dibedakan dengan ³ undifferentiated ³ karsinoma dan limfoma marker 


diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Studi tersebut memerlukan sejumlah besar jaringan
yang dikirim dalam keadaan segar ( dalam normal saline, bukan dalam larutan formaldehida )
kepada ahli patologi. Ini merupakan alasan mengapa setelah tonsilektomi lebih baik di periksa
 jaringannya.

Limfoma merupakan jenis yang paling umum kedua pada keganasan tonsil. Limfoma

tonsil biasanya ditandai dengan massa submukosa dan pembesaran asimetris pada salah satu
tonsil. Bila terdapat limfadenopati , maka pembesaran kelenjar getah bening diamati pada sisi
yang sama.

a) Definisi

Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna / ganas yang muncul dalam

kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstra nodal yang ditandai dengan proliferasi atau akumulasi

sel-sel asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan pra-sel dan derivatnya).

b) Epidemiologi

Di negara maju, limfoma relatif jarang, yaitu kira-kira 2% dari jumlah kanker yang ada.

Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini merupakan

terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara, dan kulit. Limfoma hodgkin sering pada Usia

20-40 tahun dan sesudah 50 tahun sedangkan limfoma non-hodgin sering pada usia tua dengan

 puncak di atas 60 tahun.

30
 

c) Etiologi

Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui,

tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan pada limfoma

Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin pada

kelompok penderita AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV.

d) Klasifikasi

Dua kategori besar limfoma dilakukan atas dasar histopatologi mikroskopik dari kelenjar 

limfe yang terlibat. Kategori tersebut adalah limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin.

e) Gejala Klinis

(1) Pembengkakan kelenjar getah bening

Pada limfoma Hodgkin, 80% terdapat pada kelenjar getah bening leher, kelenjar ini

multiple, tidak nyeri dan bebas. Pada limfoma non-Hodgkin, dapat tumbuh pada kelompok 

kelenjar getah bening lain misalnya pada traktus digestivus atau pada organ-organ parenkim.

(2) Demam

(3) Gatal-gatal

(4) Keringat malam

(5) Berat badan menurun lebih dari 10% tanpa diketahui penyebabnya.

(6) Nafsu makan menurun.

(7) Daya kerja menurun

(8) Terkadang disertai sesak nafas

(9) Nyeri setelah mendapat intake alkohol (15-20%)

31
 

(10)  Pola perluasan limfoma Hodgkin sistematis secara sentripetal dan

relatif lebih lambat, sedangkan pola perluasan pada limfoma non-Hodgkin tidak sistematis dan

relatif lebih cepat bermetastasis ke tempat yang jauh.

f) Diagnosis

Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikuler, aksila dan
inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah
yaitu hemogram dan trombosit. LED sering meninggi dan kemungkinan ada kaitannya dengan
  prognosis. Keterlibatan hati dapat diketahui dari meningkatnya alkali fosfatase, SGOT, dan
SGPT.

Gambar 12. Sel Reed Sternberg

Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH/  FN 


 A B), Ciri khas sitologi biopsi aspirasi limfoma
Hodgkin yaitu populasi limfosit, pleomorfik dan adanya sel Reed-Sternberg . Apabila sel  Reed-
Sternberg sulit ditemukan adanya sel Hodgkin berinti satu atau dua yang berukuran besar dapat
dipertimbangkan sebagai parameter sitologi Limfoma Hodgkin.

32 
 

Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi pada Limfoma non-Hodgkin adalah kurang
sensitif dalam membedakan Limfoma non-Hodgkin folikel dan difus. Pada Limfoma non-
Hodgkin yang hanya mempunyai subtipe difus, sitologi, biopsi aspirasi dapat dipergunakan
sebagai diagnosis definitif.
Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka
 pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
Histopatologi biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi
subtipe histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas limfoma Hodgkin ataupun limfoma
non-Hodgkin.

(1) Limfoma Hodgkin

(a) Limfositik, berdifrensiasi baik 

(b) Limfositik, berdiferensiasi buruk 

( c) Sternberg  Reed cell 

(d) Limfositik histiositik 

( e) M ixed cell 

(2) Limfoma Non Hodgkin

(a) Limfositik predominan

( b) M ixed cell 

( c) Limphositic deplecion

(d) Nodular sklerotik 

33 
 

g. Stadium

I Bila tumor terdapat pada satu kelompok KGB atau pada organ
ekstrlimfatik selama masih soliter 

II Bila tumor didapat pada 2/> kelompok KGB pada pihak yang
sama dari pihak diagfragma/ bila terdapat pada 1 / lebih
kelompok KGB disertai tumor soliter ekstralimfatik, namun
masih dalam suatu pihak diagfragma

III Bila terkena KGB pada 2 pihak diagfragma, dan apabila ada
organ ekstra imfatik terkena, masih soliter 

IV Bila penyakit ditemukan difuse pada 1 organ atau >


dengan/tanpa terserangnya KGB

h. Radiologi

1)  Foto thoraks

2)  Limfangiografi

3)  U SG 

4)  CT scan

i. Terapi

Akhir-akhir ini angka harapan hidup 5 tahun meningkat dan bahkan sembuh berkat

manajemen tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan radioterapi. Peranan pembedahan

  pada penatalaksanaan limfoma maligna terutama hanya untuk diagnosis biopsi dan laparotomi

splenektomi bila ada indikasi.10, 11

34 
 

1) Radiasi

a)  Untuk stadium I dan II secara mantel radikal

 b)  Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi 

c)  Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation 

d)  Untuk stadium IV secara total body irradiation 

2) Kemoterapi untuk stadium III dan IV

Untuk stadium I dan II dapat pula diberi kemoterapi pre radiasi atau pasca radiasi.

Kemoterapi yang sering dipakai adalah kombinasi.

COP (Untuk limfoma non Hodgkin)

C : Cyclophosphamide 800 mg/m2 hari I

O : Oncovin 1,4 mg/m2 IV hari I

P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d VII lalu tappering off 

MOPP (untuk Limfoma Hodgkin)

M : Nitrogen M ustrad 6 mg/m2 hari 1 dan 8

O : Oncovin 1,4 mg/m2 hari I dan VIII

P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d XIV

10,11
P : Procarbazin 100 mg/m2 hari I s/d XIV.  

5. Manifestasi klinis

Pasien dengan karsinoma tonsil mungkin tampak dengan massa pada leher. Hal ini
karena karsinoma muncul jauh di dalam kriptus. Sebuah karsinoma sel skuamosa mungkin
 berasal dari 1 atau lebih lokasi dari tonsil itu sendiri. Selain itu tonsil juga dapat membesar dan

35 
 

menonjol ke dalam rongga mulut yang menjadikan tanda pada penderita. Tonsil kaya akan
kelenjar limfoid berlimpah yang membantu akses neoplasma dan bermetastase ke kelenjar leher.
Semua faktor itu menjelaskan mengapa pasien datang dengan massa leher.

Pembesaran kelenjar getah bening dengan tumor primer yang tersembunyi harus segera
diperiksa lebih lanjut pada tonsilnya. Karsinoma sel skuamosa primer tersembunyi yang
 bermanifestasi sebagai limfadenopati leher adalah masalah umum yang dihadapi oleh ahli THT.

Sakit tenggorokan, sakit telinga, sensasi benda asing di tenggorokan dan perdarahan
semuanya mungkin terjadi. trismus adalah sebuah tanda yang mengindikasikan keterlibatan
 parafaring. Jika massa leher tidak jelas pada pemeriksaan biasa, palpasi mungkin diarahkan ke
 bagian belakang yang dapat menunjukkan adanya limfadenopati servikal.

Jika tumor telah melibatkan dasar lidah, kelenjar kontra lateral mungkin sudah terlibat.
Tumor tonsil primer dapat tumbuh sepenuhnya di bawah permukaan. Oleh karena itu, dokter 
harus dapat melihat apapun yang mencurigakan atau mungkin hanya melihat sedikit peningkatan
ukuran tonsil .

Tanda dan gejala berupa penurunan berat badan dan kelelahan bukan merupakan hal yang
umum pada tumor ini.2

6. Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium

Tes fungsi hati, diperlukan pengetahuan tentang fungsi hati karena untuk mengetahui
riwayat diet pasien dan penyalahgunaan etanol yang sering menyebabkan fungsi hati. Selain itu
untuk mengetahui metabolisme hepar terhadap pemakaian agen kemoterapi atau obat lain
sebelumnya dan terakhir metastase ke hati yang selalu mungkin terjadi.

Tes fungsi paru diperlukan pada setiap bedah kepala dan leher yang dapat membawa
risiko tambahan komplikasi pernapasan perioperative dan pasca operatif.

36 
 

Tes fungsi ginjal ketika akan memulai kemoterapi, tes fungsi ginjal diperlukan untuk 
memastikan apakah pasien dapat menghilangkan agen yang ditangani oleh ginjal.

Pembekuan dan koagulasi ( termasuk jumlah trombosit dan lain ± lain ). Kepala dan leher 
adalah salah satu daerah yang paling kaya akan vaskularisasi dalam tubuh manusia. Perdarahan
adalah salah satu masalah besar dalam operasi tonsil

b. Radiologi

CT scan leher dengan atau tanpa kontras diperlukan untuk mengevaluasi metastasis dan
untuk menilai sejauh mana perkembangan tumor. Hal ini penting dalam staging tumor tonsil.

MRI juga sangat berguna untuk menilai ukuran tumor dan invasi jaringan lunak. CT scan
dada adalah yang paling sensitive untuk mengungkapkan metastasi ke paru ± paru dan karenanya
harus menjadi modalitas pilihan, setidaknya pada pasien berisiko tinggi ( stadium 4, T4, N 2 atau
12  
 N3 ataupun tumor yang timbul dari orofaring, laring, hipofaring, atau supraglotis.

7. Prosedur diagnostik 

Biopsi adalah satu ± satunya alat untuk mendiagnosis keganasan tonsil berupa limfoma,
karena itu hali patologi dan timnya harus segera siap untuk menangani jaringan dengan tapat.
Beberapa jaringan segar mungkin diperlukan untuk studi, yang tergantung waktu dan
memerlukan penanganan segera. Beberapa jaringan harus dibekukan dalam nitrogen cair.
Pertimbangan lain yang sangat penting adalah kenyataan bahwa karsinoma sel skuamosa
 biasanya timbul jauh di dalam kripta. Hal ini memerlukan ahli bedah untuk mengambil biopsy
yang mendalam sehingga neoplasma tidak meleset. Mengingat kecenderungan lesi ini bisa
menimbulkan perdarahan yang merupakan prosedur yang rumit maka ahli bedah harus siap
untuk yang hal yang tak terduga.

Panendoskopi, endoskopi operatif memungkinkan ahli bedah untuk menilai sepenuhnya


tentang tumor. Hal ini sangat membantu ketika memilih antara pendekatan bedah terbuka dan
endoskopi. Bronkoskopi dan esofagoskopi digunakan untuk menilai tumor primer yang mungkin
hadir pada saat diagnosis.

37 
 

Tes HPV merupakan rekomendasi National Comprehensive Cancer Network ( NCCN )


sebagai faktor prognosis. Quantitative reverse transcriptase pcr ( QRT ± PCR ) memungkinkan
  perhitungan jumlah relatif dari mRNA yang ada pada sampel. HPV ± 16 ini paling sering
digunakan untuk memeriksa karsinoma orofaring. Hal ini bersifar sensitif dan spesifik. P-16
dapat diuji sebagai biomarker untuk aktivitas HPV E7.2

8. Staging

Klasifikasi tumor ganas leher dan kepala pertama kali disampaikan oleh pierre denoy dari
  prancis tahun 1953, terdapat kesepakatan pertama kalinya pada  Internatinal Congress of 
 Radiology tetang perluasan tumor, dalam sistim TNM dan disetujui sebagai sistim dari U nion
 International Centre le Cancer (UICC). Sehingga pada tahun 1954, terbentuklah TNM Commite
untuk pertama kalinya. Disamping itu di Amerika sendiri diterima suatu sistim TNM lain yang
disebut The Amarican Joint Committee On Cancer (AJCC) yang dikeluarkan pertama kali tahun
1959.
Sistem TNM ini digunakan untuk menentukan stadium tumor ganas sebelum dilakukan
terapi. Sistim TNM ini ditujukan untuk mengetahui perluasan tumor secara anatomi dengan
 pengertian :
T : Perluasan untuk tumor primer 
 N : Status terdapatnya kelenjar limfe regional
M : Ada atau tidak adanya metastasis jauh

Klasifikasi UICC dan AJCC ini pada umumnya bersifat sama untuk seluruh keganasan,
kecuali untuk tumor ganas kelenjar liur dan tiroid. Klasifikasi stadium terdapat sedikit
kelemahan bagi tumor ganas asalnya, misalnya perluasan tumor ganas dari rongga mulut ke
1
orofaring atau sebaliknya, juga tumor ganas laring yang meluas ke hipofaring atau sebaliknya.

38 
 

 
Tabel 4. Klasifikasi klinis TNM (1992)

T (tumor primer)
Tx Tumor primer tidak dapat ditemukan
To Tidak ada tumor primer 
Tis Karsinoma in situ
T1,T2,T3,T4 Besarnya tumor primer 
 N (kelenjar limfa regional)
 Nx Tidak menemukan kelenjar limfe regional
 No Tidak ada metastasis kelenjar lemfe regional
 N1,N2,N3 Besarnya kelenjarlimfe regional
M (metastasi jauh)
Mx Tidak ditemukan metastasis jauh
Mo Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

 
Tabel 5. Klasifikasi kelenjar limfe regional (UICC)

  Nx Kelenjar limfe regional tidak ditemukan


  No Tidak ada metastasis kelenjar limfe regional
  N1 Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukuran < 3 cm
 N2 Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukran >3cm - < 6cm, multipel,
  pada satu sisi dan tidak >6cm atau bilateral /kontralateral juga
tidak lebih dari 6cm.
 N2a Metastasis pada satu sisi, tunggal, >3cm - <6cm
 N2b Metastasis pada satu sisi, multipel tidak lebih dari 6 cm
 N2c Metastasis bilateral/kontralateral, tidak lebih dari 6cm
  N3 Metastasis ukuran lebih dari 6cm

39 
 

Tabel 6. Stadium tumor ganas leher dan kepala (UICC & AJCC) kecuali tumor kelenjar 
liur dan tiroid. 

Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3 N0 M0
T1 atau T2 atau T3 N1 M0
Stadium IV T4 N0 atau N1 M0
Tiap T N2 atau N3 M0
Tiap T tiap N M1

9. Terapi

Karsinoma biasanya mengenai daerah tonsil. Daerah ini meluas dari trigonum retromolar 
termasuk arkus tonsila posterior dan anterior demikian juga dengan fosa tonsilanya sendiri.
Tumor yang meluas ke daerah inferior ke dasar lidah dan ke superior pada palatum mole. Jika
tumor kecil ( T1, T2, N0 ) mungkin diatasi dengan penyinaran, sedangkan tumor yang besar ( T3 T4
) memerlukan reseksi pembedahan, seringkali disertai terapi radiasi sebelum dan pasca operasi.
Lesi ± lesi yang kecil dengan metastasis yang dapat dipalpasi biasanya diatasi dengan reseksi
 pembedahan dan penutupan primer. Reseksi ini dianggap sebagai tindakan gabungan. Flap lidah
lateral, dahi, otot kulit, atau servikal dapat menutup cacat yang besar.

Gambar 13. Lokasi radioterapi

40
 

Karsinoma tonsil seringkali bermetastasis ke segitiga digastrik atau kelenjar getah bening
 jugular bagian atas yang dikenal sebagai kelenjar getah bening tonsil. Karena metastasis dini dari
lesi yang berukuran sedang, pembedahan leher biasanya termasuk dalam tindakan bedah.5

Tabel 4. Penatalaksanaan

10. Komplikasi

Komplikasi dari berbagai bentuk terapi saat ini yaitu nyeri,  xerostomia, infeksi,
  penyembuhan luka yang lama, disfagia, fistula, trismus, insufisiensi velofaringeal, kelelahan.
2
Keluarga dan pasien harus memahami semua komplikasinya sebelum melakukan terapi apapun.

11. Prognosis

2
Stage I 80%, stage II 70%, stage III 40%, dan stage IV 30%. Kelangsungan hidup dari
karsinoma tonsil secara historis dianggap buruk, terutama untuk  stage III dan IV. Namun,
literatur yang lebih baru telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dengan terapi bedah
karsinoma tonsil bahkan untuk stadium yang lanjut. Moore dkk melaporkan sebanyak 94%
 bertahan hidup pada stadium III dan IV karsinoma tonsil yang diobati dengan reseksi transoral

41
 

dan terapi adjuvan.  Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien yang diobati dengan
tepat dapat memiliki kelangsungan hidup yang baik, meskipun secara historis hasilnya buruk.13

42 
 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tumor tonsil di klasifikasikan menjadi 2 yaitu tumor tonsil jinak dan tumor tonsil ganas. 

Tonsil menjadi lokasi yang paling umum untuk terjadinya keganasan dari orofaring. Keganasan
tersebut meliputi karsinoma sel skuamosa tonsil dan limfoma maligna.  National Cancer Institute
di Amerika Serikat, melaporkan bahwa pada tahun 1991 terdapat 6 juta penderita tumor ganas.
Dari seluruh tumor ganas tersebut, insidens karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa
ialah sebanyak 600.000 penderita. Tercatat pula jumlah penderita tumor ganas kepala dan leher 
sebanyak 78.000 orang, lebih dari 75% adalah karsinoma sel skuamosa.

Gejala ± gejala dari kanker tonsil bervariasi seperti sakit tenggorokan persisten, kesulitan
menelan, atau benjolan di tenggorokan atau leher.

Pemeriksaan yang digunakan untuk diagnostik meliputi tes laboratorium, radiologi ( CT


scan atau MRI ) dan biopsi.

Penatalaksaana tumor tonsil dilakukan dengan operasf bila jinak tapi bila termasuk ganas
tergantung dari stadium tumor tersebut, mulai dari penyinaran / radiasi, pembedahan ataupun
dengan sitostatika.

B. Saran

Bila seseorang menemukan gejala ± gejala seperti kesulitan menelan, sakit tenggorokan
 persisten, atau ada benjolan di tenggorokan / leher sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter 
karena bila terdiagnosa adanya suatu tumor ganas maka prognosisnya pada stadium awal sangat
 baik.

43 
 

DAFTAR PUSTAKA

1.  Soepardi, Efiaty Arsyad dkk,  Buku  Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok 

 Kepala Leher edisi 6. 2007. FKUI


2.  http://emedicine.medscape.com/article/848034-overview  diunduh  tanggal  27 januari  2012 

pkl.22.08 wib 

3.  http://www.mayoclinic.org/tonsil-cancer/ diunduh tanggal 27 januari 2012 pkl.22.08 wib 

4.  http://www.wikipedia.org/tonsil/ diunduh tanggal 27 januari 2012 pkl.22.08 wib 

5.  Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6 . Penerbit buku kedokteran
EGC. Jakarta 1997
6.  Kreimer AR, Clifford GM, Boyle P, Franceschi S. Human papillomavirus types in head

and neck squamous cell carcinomas worldwide: a systematic review. Cancer  E  pidemiol 


 Biomarkers Prev. Feb 2005;14(2):467-75 
7.  Chung TS, Stefani S. Distant metastases of carcinoma of tonsillar region: a study of 475

 patients.  J  Surg Oncol . 1980;14(1):5-9 


8.  http://www.ghorayeb.com/TonsillarMassesBenign.html  diunduh  tanggal  29 januari  2012  pkl.

21.39 

9.  Kreimer AR, Clifford GM, Boyle P, Franceschi S. Human papillomavirus types in head

and neck squamous cell carcinomas worldwide: a systematic review. Cancer  E  pidemiol 


 Biomarkers Prev. Feb 2005;14(2):467-75 
10. Staf pengajar FKUI.   Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. 2002. Jakarta : BINARUPA
AKSARA

11. De jong, Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. 2002. Jakarta: EGC


12. Loh KS, Brown DH, Baker JT, Gilbert RW, Gullane PJ, Irish JC. A rational approach to
  pulmonary screening in newly diagnosed head and neck cancer.
  Head Neck 
. Nov
2005;27(11):990-4.
13. Moore EJ, Henstrom DK, Olsen KD, Kasperbauer JL, McGree ME. Transoral resection
of tonsillar squamous cell carcinoma. Laryngoscope. Mar 2009;119(3):508-15

44 

Anda mungkin juga menyukai