Anda di halaman 1dari 31

STEMI

1. Definisi
Infark Miokard Akut (IMA) adalah nekrosis miokardium yang disebabkan tidak
adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut pada arteri koroner. Sumbatan ini
sebagian besar disebabkan oleh rupture plak ateroma pada arteri koroner yang kemudian
diikuti oleh terjadinya thrombosis, vasokonstriksi, reaksi inflamasi, dan mikroembolisasi
distal. Kadang-kadang sumbatan akut ini dapat pula disebabkan oleh spasme arteri
koroner, emboli, atau vaskulitis. Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan
menyebabkan kerusakan seluler yang permanen dan kematian otot atau nekrosis. Area
miokardium yang mengalami infark atau nekrosis akan berhenti berkontraksi secara
permanen. Jaringan yang mengalami infark dikelilingi oleh suatu daerah iskemik yang
berpotensi dapat hidup. Ukuran infark akhir bergantung pada keadaan daerah iskemik
tersebut. Bila tepi daerah yang mengelilingi area iskemik ini mengalami nekrosis maka
area infark akan bertambah luas, sedangkan perbaikan iskemia akan memperkecil area
nekrosis. Infark miokardium biasanya menyerang ventrikel kiri (Muttaqin, 2009).
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct)
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina
pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST (Sudoyo, 2010).
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah
ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi
lipid. STEMI terjadi sebagian besar disebabkan karena oklusi total trombus kaya fibrin di
pembuluh koroner epikardial. Oklusi ini akan mengakibatkan berhentinya aliran darah
(perfusi) ke jaringan miokard (Firdaus, 2011).

2. Epidemiologi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr.Kariadi Semarang didapatkan
hasil bahwa sebagian besar penderita STEMI (81,9%) adalah laki-laki. Usia termuda
pada laki-laki pada kasus STEMI yang ada di RSUP Dr. Kariadi adalah 24 tahun
sedangkan wanita 40 tahun. Laki-laki lebih cepat mengalami STEMI dari pada
perempuan karena beberapa faktor seperti seringnya merokok, hipertensi, diabetes dan
obesitas (Frissa, Inne P, 2012).
Pasien STEMI yang tidak mendapatkan terapi reperfusi sebanyak 84 kasus dari
105 kasus (80%). Pada pasien tersebut diberikan obat seperti heparin, enoxapamin,
clopidrogel, ISDN, aspilet, captopril, bisoprolol dan ranitidin. Semua pasien yang
mendapatkan terapi reperfusi adalah mereka yang bertempat tinggal di Semarang. Lama
perawatan pasien STEMI yang telah mendapatkan terapi reperfusi lebih singkat dari pada
mereka yang tidak mendapatkan terapi. Perawatan rata-rata pada pasien yang telah
mendapatkan reperfusi adalah 6 hari sedangkan yang tidak mendapatkan terapi 8 hari.
Pasien STEMI yang dirawat di RSUP Dr.Kariadi dengan kecepatan datang ke rumah
sakit >12 jam (61,9%) lebih banyak daripada pasien yang datang ≤12 jam (35,2%).
Jumlah pasien dengan kecepatan datang ke rumah sakit ≤12 jam yang mendapat
reperfusi (18,1%) sedikit lebih banyak daripada pasien yang tidak mendapat reperfusi
(17,1%). Kejadian komplikasi STEMI lebih sering terjadi pada pasien yang tidak
mendapat terapi reperfusi. Hal ini tampak pada gagal jantung sebagai komplikasi
tersering, lebih banyak terjadi pada pasien yang tidak mendapat terapi reperfusi (25%).
Pada pasien yang mendapat terapi reperfusi, komplikasi yang sering terjadi adalah
perdarahan minor (19,1%) (Frissa, Inne P, 2012).

3. Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi menurut Tierney (2002):
1. Ruptur plak
Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak
stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang
sebelumya mempunyai penyempitan yang mininal. Dua pertiga dari pembuluh yang
mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada
97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak
arterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan
fibrotic (fibrotic cap). Plak tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak
dan adanya infiltrasi sel makrofag.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang
normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada
dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang di hasilkan
makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap). Terjadinya
ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi
terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi
infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%
dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.
2. Trombosis dan agregasi trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya
angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu di sebabkan karena
interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada
dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil.
Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa
untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin
dan fibrin.

3. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil.
Diperkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet
berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme.
Spasme yang terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga menyebabkan angina
tak stabil. Adanya spasme sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai
peran dalam pembentukan trombus.

4. Erosi pada plak tanpa ruptur


Terjadinya penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya proliferasi dan
migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan
bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.

a) Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi


Faktor resiko yang tidak bisa dirubah atau dikendalikan, yaitu di antaranya:
 Usia
Resiko meningkat pada pria datas 45 tahun dan wanita di atas 55 tahun
(umumnnya setelah menopause)
 Jenis Kelamin
Morbiditas akibat IMA (Infark Miokard Akut) pada laki-laki dua kali lebih besar
dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan dengan estrogen endogen
yang bersifat protektif pada perempuan. Hal ini terbukti insidensi IMA
meningkat dengan cepat dan akhirnya setara dengan laki pada wanita setelah
masa menopause
 Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara
atau orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun)
meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur. Pentingnya
pengaruh genetik dan lingkungan masih belum diketahui. Komponen genetik
dapat diduga pada beberapa bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang
cepat perkembangannya, seperti pada gangguan lipid familial. Tetapi, riwayat
keluarga dapat pula mencerminkan komponen lingkungan yang kuat seperti
misalnya gaya hidup yang menimbulkan stres atau obesitas.
 Ras
Orang Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit putih
 Geografi
Tingkat kematian akibat IMA lebih tinggi di Irlandia Utara, Skotlandia, dan
bagian Inggris Utara dan dapat merefleksikan perbedaan diet, kemurnian air,
merokok, struktur sosio-ekonomi, dan kehidupan urban.
 Kelas sosial
Tingkat kematian akibat IMA tiga kali lebih tinggi pada pekerja kasar laki-laki
terlatih dibandingkan dengan kelompok pekerja profesi (missal dokter,
pengacara dll). Selain itu frekuensi istri pekerja kasar ternyata 2 kali lebih
besar untuk mengalami kematian dini akibat IMA dibandingkan istri pekerja
professional/non-manual.

a. Faktor Resiko Yang Dapat Dimodifikasi


Faktor resiko yang bisa dikendalikan sehingga dengan intervensi tertentu maka
bisa dihilangkan. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya:
 Mayor:
1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140
mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan
darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan
darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga
ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses
aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard
berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak
sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang tersedia (Brown, 2006).
2. Hiperlipidemia
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah
hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau
trigliserida serum di atas batas normal. The National Cholesterol
Education Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor
penyebab penyakit jantung koroner. The Coronary Primary Prevention
Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga
menurunkan mortalitas akibat infark miokard (Brown, 2006).
3. Obesitas
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar
25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan
dengan peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan
sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2.
Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di
abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan
metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL,
peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan
diabetes melitus tipe II (Ramrakha, 2006).
4. Kadar Kolesterol Total dan LDL tinggi dan Kadar Kolesterol HDL rendah.
Resiko terjadinya penyakit arteri koroner meningkat pada peningkatan
kadar kolesterol total dan kolesterol LDL (kolesterol jahat) dalam darah.
Jika terjadi peningkatan kadar kolesterol HDL (kolesterol baik), maka
resiko terjadinya penyakit arteri koroner akan menurun (Ramrakha, 2006).
5. Diabetes
Resiko terjadinya penyakit IMA pada pasien dengan DM sebesar 2- 4
lebih tinggi dibandingkan orang biasa. Hal ini berkaitan dengan adanya
abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik, peningkatan
trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan
trombogenesis) (Ramrakha, 2006).
6. Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar
50%. Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard. Di
Inggris, sekitar 300.000 kematian karena penyakit kardiovaskuler
berhubungan dengan rokok (Ramrakha, 2006). Menurut Ismail (2004),
penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard infark akut
prematur di daerah Asia Selatan.
7. Diet: tinggi lemak jenuh, tinggi kalori
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang
mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan
bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki
kecil per hari ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya infark miokard.
Namun bila mengkonsumsi berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per
hari, pasien memiliki peningkatan resiko terkena penyakit (Beers, 2004).
8. Hobi makan junk food
Makanan kaya lemak yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan
penumpukan zat-zat lemak (kolesterol, trigliserida) di bawah lapisan
terdalam (endotelium) dari dinding pembuluh nadi bisa mengakibatkan
penyumbatan dan penyempitan pembuluh arteri kororner (arteroklerosis).
Sedangkan, lemak jenuh yang banyak terdapat dalam makanan sejenis
junk food juga mampu merangsang hati untuk memproduksi banyak
kolesterol. Kolesterol yang mengendap lama-kelamaan akan
menghambat aliran darah dan oksigen sehingga menggangu metabolisme
sel otot jantung.
9. Mengkonsumsi alkohol
Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil per hari ternyata sedikit
mengurangi resiko terjadinya infark miokard. Namun bila mengkonsumsi
berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari, pasien memiliki
peningkatan resiko terkena penyakit (Beers, 2004).

 Minor:
1. Kepribadian tipe A (agresif, ambisius, emosional, kompetitif)
Tipe kepribadian A yang memiliki sifat agresif, kompetitif, kasar, sinis, gila
hormat, ambisius, dan gampang marah sangat rentan untuk terkena IMA.
Terdapat hubungan antara stress dengan abnnormalitas metabolisme
lipid.
2. Stress psikologis berlebihan
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan
sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara
konsisten meningkatkan resiko terkena.
3. Inaktifitas fisik
Wanita yang tidak aktif bergerak mempunyai risiko 2-3 kali lebih besar
menderita serangan jantung. Selain mengurangi berat badan, olahraga
teratur dapat memperkuat otot jantung dan memperbaiki sistem
peredaran darah.
4. Patofisiologi
(terlampir)

5. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala infark miokard menurut Alwi (2006) adalah :
1) Nyeri :
a. Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak mereda,
biasanya dibagian dada depan bawah sternum dan abdomen bagian atas, ini
merupakan gejala utama.
b. Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri tidak
tertahankan lagi.
c. Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat menjalar ke bahu
dan terus ke bawah menuju lengan (biasanya lengan kiri).
d. Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau gangguan
emosional), menetap selama lebih dari 15 detik – 30 menit, dan tidak hilang
dengan bantuan istirahat atau nitrogliserin (NTG).
e. Nyeri dapat menjalar ke arah rahang dan leher, atau seperti sakit gigi, penderita
tdk bisa menunjuk lokasi nyeri dg 1 jari tetapi ditunjukkan dg telapak tangan.
f. Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis berat, pening
atau kepala terasa melayang dan mual muntah.
g. Pasien dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat karena
neuropati yang menyertai diabetes dapat mengganggu neuroreseptor
(mengumpulkan pengalaman nyeri).
2) Sesak nafas: mengidentifikasikan ancaman gagal ventrikel kiri.
3) Gejala GI: peningkatan aktivitas fadal menyebabkan mual dan muntah dan
dikatakan lebih sering terjadi pada infrak inferior. Stimulasi diafragmatik pada infrak
inferior juga dapat menyebabkan cegukan.
4) Gejala lain: palpitasi, rasa pusing, aritmia ventrikel, dan gejala akibat emboli arteri
(stroke, iskemia ekstermitas).
5) Laborat
Pemeriksaan Enzim jantung :
a. CPK-MB/CPK
Merupakan enzim yg spesifik sebagai penanda terjadinya kerusakan pd otot
jantung. Kadar CPK yang ditemukan pada otot jantung meningkat antara 2-6
jam, memuncak pada 24 jam pertama pasca serangan, kembali normal dalam
2-3 hari.
b. LDH/HBDH
Meningkat pada hari ke 2-3 kemudian normal kembali pada hari ke 5-6.

c. Cardiac Troponin
Meningkat 3-6 jam pasca serangan dan tetap tinggi selama 14-21 hari. Kadar
kardiak troponin I meningkat 7-14 jam pasca serangan dan tetap tinggi untuk 5-
7 hari pasca serangan. Merupakan Gold standart pemeriksaan laborat untuk
mendiagnosa IMA.
d. AST/SGOT (kurang spesifik/khusus)
Kadar SGOT terdeteksi setelah 8 jam serangan. Kadarnya meningkat hingga
24-48 jam dan menurun pada hari ke 3-4. Oleh karena itu kadar SGOT harus
diperiksa pada 24, 48, dan 72 jam serangan.
6) EKG
Perubahan EKG yang terjadi pada fase awal adanya gelombang T tinggi dan
simetris. Setelah ini terdapat elevasi segmen ST.Perubahan yang terjadi kemudian
ialah adanya gelombang Q/QS yang menandakan adanya nekrosis.
a. Segmen ST elevasi abnormal menunjukkan adanya (dilatasi sekunder) karena
gagal jantung kongesif.
b. Gelombang T invesi (arrow hard) menunjukan adanya askemia miokard.
c. Q patologis menunjukkan adanya nekrosis miokard.
Skor nyeri menurut White :
0 = tidak mengalami nyeri
1 = nyeri pada satu sisi tanpa menggangu aktifitas
2 = nyeri lebih pada satu tempat dan mengakibatkan terganggunya aktifitas,
mislnya kesulitan bangun dari tempat tidur, sulit menekuk kepala dan lainnya.

Manifestasi klinik menurut Corwin (2009):


1. Nyeri dengan awitan yang mendadak, sering digambarkan memiliki sifat
meremukkan dan parah. Nyeri dapat menyebar ke bagian atas tubuh mana saja,
tetapi sebagian besar menyebar ke lengan kiri, leher, atau rahang.
2. Terjadi mual dan muntah yang mungkin berkaitan nyeri hebat
3. Perasaan lemas yang berkaitan dengan penurunan aliran darah ke otot rangka
4. Kulit yang dingin, pucat akibat vasokonstriksi simpatis
5. Pengeluaran urin berkurang karena penurunan aliran darah ginjal serta peningkatan
aldosteron dan ADH
6. Takikardi akibat peningkatan stimulasi simpatis jantung
7. Keadaan mental berupa perasaan sangat cemas disertai perasaan mendekati
kematian sering terjadi, mungkin berhubungan dengan pelepasan hormone stre dan
ADH

6. Pemeriksaan Diagnostik
 Pemeriksaan fisik
Menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat (gelisah) dengan
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30
menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI (Farissa,
2012)
 EKG
Untuk mengetahui fungsi jantung : T. Inverted, ST depresi, Q. patologis
 Creatine Kinase (CK atau CPK)
Dikeluarkan dari otot yang rusak, CK adalah enzim yang ditemukan di jantung, otot
rangka dan otak. Ini terdiri dari 3 isoenzim;. Mm ( ditemukan di otot rangka ), MB
( ditemukan pada otot jantung ) dan BB ( ditemukan dalam jaringan otak ).
Kerusakan pada salah satu jaringan menyebabkan pelepasan CK ke dalam aliran
darah sehingga jumlahnya dalam darah lebih tinggi dari normal.
 CKMB
Setelah cedera jantung, CK dan MB isoenzyme dilepaskan ke dalam aliran darah
pada tingkat yang dapat diprediksi. Dalam waktu 4 sampai 8 jam ( setelah cedera )
tingkat CKMB naik di atas normal dan dalam waktu 12 sampai 24 jam tingkat ini
meningkat sekitar 5 sampai 15 kali normal. Dalam waktu 2 sampai 3 hari CKMB
kembali normal. Karena isoenzyme MB adalah eksklusif untuk jaringan otot jantung,
hal ini dianggap sebagai tes yang sangat definitif untuk mendiagnosa infark miokard
akut.
 Troponin
Troponin adalah protein yang membantu mengatur kontraksi otot jantung dan karena
itu dapat diisolasi dalam darah, itu dianggap sebagai indikator yang sensitif dari
infark miokard akut. Troponin terdiri dari 3 protein yang terpisah yaitu Troponin I,
Troponin T dan Troponin C.
Fungsi dari masing-masing protein spesifik adalah sebagai berikut:
 Troponin C
Mengikat ion kalsium dan tidak digunakan untuk menentukan jaringan sel /
kematian.

Nilai Normal Enzim Jantung


Enzyme/Protein Normal Value
Creatine Kinase 50 – 80 U/L
Total Creatinine Phosphokinase 30 - 200 U/L
(CPK)
CPK MB (Fraction) 0 - 8.8 ng/ml
CPK MB (Fraction with percent of 0-4%
total CPK).
CPK MB2 (Fraction) Less than 1 U/L
Troponin 1 0 – 0.4 ng/ml
Troponin T 0 – 0.1 ng/ml

 Troponin I dan T
Biasanya / normalnya tidak ditemukan dalam aliran darah sehingga setiap
terdeteksi protein ini dalam darah menunjukkan infark atau kematian otot
jantung / jaringan.
 Elektrolit
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan kontraktilitas, missal
hipokalemi, hiperkalemi
 Sel darah putih
Leukosit (10.000 – 20.000) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah IMA
berhubungan dengan proses inflamasi
 Kecepatan sedimentasi
Meningkat pada ke-2 dan ke-3 setelah AMI , menunjukkan inflamasi.
 Kimia
Mungkin normal, tergantung abnormalitas fungsi atau perfusi organ akut atau
kronis
 Analisa Gas Darah
Dapat menunjukkan hipoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.
 Kolesterol atau Trigliserida serum
Meningkat, menunjukkan arteriosclerosis sebagai penyebab AMI
 Foto dada
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK atau
aneurisma ventrikuler.
 Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding
ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup.
 Pemeriksaan pencitraan nuklir
o Talium : mengevaluasi aliran darah miocardia dan status sel miocardia missal
lokasi atau luasnya IMA
o Technetium : terkumpul dalam sel iskemi di sekitar area nekrotik
 Pencitraan darah jantung (MUGA)
Mengevaluasi penampilan ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional
dan fraksi ejeksi (aliran darah)
 Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner. Biasanya dilakukan
sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi dan mengkaji fungsi ventrikel
kiri (fraksi ejeksi). Prosedur tidak selalu dilakukan pad fase AMI kecuali
mendekati bedah jantung angioplasty atau emergensi.
 Digital subtraksion angiografi (PSA)
Teknik yang digunakan untuk menggambarkan
 Nuklear Magnetic Resonance (NMR)
Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi jantung atau katup ventrikel,
lesivaskuler, pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan bekuan darah.
 Tes stress olah raga
Menentukan respon kardiovaskuler terhadap aktifitas atau sering dilakukan
sehubungan dengan pencitraan talium pada fase penyembuhan.(Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, 2010)
Marker Jantung

Tipe marker jantung adalah sebagai berikut:

Rata-
Sensitifitas dan
Tes rata Keterangan
spesifisitas
puncak

Troponin test Tes yang paling sensitif 12 Troponin dilepaskan selama MI dari
dan spesifik untuk hours sitosol dari miosit. Rilis selanjutnya
kerusakan miokard. berkepanjangan dengan degradasi
Karena tingginya aktin dan filament myosin. Isoform
protein, T dan I, khusus untuk
miokardium. Diagnosis elevasi troponin
termasuk infark akut, emboli paru yang
spesifisitas
berat menyebabkan overload jantung
dibandingkan dengan
kanan akut, gagal jantung, miokarditis.
CK-MB, troponin adalah
Troponin juga dapat menghitung ukuran
penanda utama untuk
infark tetapi puncak harus diukur pada
cedera miokard.
hari ke-3. Setelah cedera miosit,
troponin dilepaskan dalam 2-4 jam dan
berlangsung sampai 7 hari.

CK-MB isoform kreatin kinase


dinyatakan dalam otot jantung. Ini
berada di sitosol dan memfasilitasi
pergerakan fosfat ke dalam dan keluar
Specific pada infrak otot
dari mitokondria. Karena memiliki
Creatine Kinase (CK- jantung dan tidak 10–24
durasi pendek, tidak dapat digunakan
MB) test diproduksi pada hours
untuk diagnosis MI akut tetapi dapat
kerusakan otot rangka
digunakan untuk menyarankan ekstensi
infark jika terjadi peningkatan lagi. Hal
ini biasanya kembali normal dalam
waktu 2-3 hari.

dehidrogenase laktat mengkatalisis


konversi piruvat ke laktat. LDH-1 isozim
biasanya ditemukan di otot jantung dan
LDH-2 ditemukan didominasi dalam
serum darah. Tingginya jumlah LDH-1
Lactate LDH kurang specific 72
dari LDH-2 menyarankan diagnosa MI.
dehydrogenase(LDH) disbanding troponin hours
tingkat LDH juga menandakan
kerusakan jaringan atau hemolisis. Ini
bisa berarti kanker, meningitis,
ensefalitis, atau HIV. Hal ini biasanya
kembali normal 10-14 hari.

Ini adalah tes pertama digunakan. Hal


Aspartate ini tidak spesifik untuk kerusakan
transaminase(AST) jantung, dan juga salah satu tes untuk
fungsi hati.

Mioglobin jarang digunakan dari


penanda lainnya. Mioglobin adalah
pigmen pembawa oksigen utama
jaringan otot. Hal ini tinggi ketika
spesifisitas rendah untuk jaringan otot yang rusak tetapi tidak
Myoglobin (Mb) 2 hours
infark miokard specific. Ini memiliki keuntungan dari
respon sangat cepat, naik dan turun
lebih awal dari CK-MB atau troponin.
Hal ini juga telah digunakan dalam
menilai reperfusi setelah trombolisis.
IMA dapat dideteksi melalui kobalt
albumin yang mengikat (ACB) tes,
sebuah tersedia FDA terbatas disetujui
assay. iskemia miokard mengubah N-
terminus albumin mengurangi
kemampuan kobalt untuk mengikat
albumin. IMA mengukur iskemia pada
pembuluh darah dan dengan demikian
Ischemia-modified
Specificity rendah mengembalikan hasil dalam beberapa
albumin (IMA)
menit bukan penanda nekrosis yang
menggunakan jam. Tes ACB memiliki
specificiti yang rendah karena
menghasilkan jumlah positif palsu yang
tinggi dan harus digunakan dalam
hubungannya dengan pendekatan akut
khas seperti EKG dan pemeriksaan
fisik. Studi tambahan yang diperlukan.

Ini meningkat pada pasien dengan


gagal jantung. Telah disetujui sebagai
penanda untuk gagal jantung kongestif
Pro-brain natriuretic akut. Pt dengan <80 memiliki tingkat
peptide yang jauh lebih tinggi dari gejala
kelangsungan hidup bebas dalam
waktu satu tahun. Umumnya, pt dengan
CHF akan memiliki> 100.

Glikogen fosforilase isoenzim BB


(singkatan: GPBB) adalah salah satu
dari tiga isoform dari glikogen
fosforilase. isoform ini enzim yang ada
di jantung (jantung) dan jaringan otak.
Karena penghalang darah-otak, GP-BB
dapat dilihat sebagai spesifik untuk otot
Glycogen jantung. GP-BB adalah salah satu
phosphorylase 7 hours "penanda jantung baru" yang dianggap
isoenzyme BB untuk meningkatkan diagnosis awal
sindrom koroner akut. Selama proses
iskemia, GP-BB diubah menjadi bentuk
larut dan dilepaskan ke dalam darah.
Kenaikan pesat dalam kadar darah
dapat dilihat pada infark miokard dan
angina tidak stabil. GP-BB ditinggikan
1-3 jam setelah proses iskemia.
(Lippi, G, et al 2013; Christenson RH et al 1997)

(Peetz et al, 2005)

7. Penatalaksanaan Medis
a) Terapi reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen
ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi
reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti
klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala
telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak
tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi
fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit
atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika
membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah
ibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan
fasilitas IKP.
1) Intervensi koroner perkutan primer
IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan
dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120
menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien
gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan
bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien dating dengan awitan
gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasty balon
untuk IKP primer.
Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah
tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa
gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis. Bila pasien
tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet
therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting
stents (DES) lebih disarankan daripada Bare Metal Stents (BMS).
2) Terapi fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-
tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang
disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak
bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis
pertama.
Dosis Awal Koterapi Kontraindikasi
antitrombin spesifik
Streptokinase (Sk) 1,5 juta U dalam Heparin IV selama Sebelum Sk atau
100 mL Dextrose 24-48 jam anistreplase
5% atau larutan
salin 0,9% dalam
waktu 30-60
menit
Alteplase (tPA) Bolus 15 mg Heparin IV selama
intravena 0,75 24-48 jam
mg/kg selama 30
menit, kemudian
0,5 mg/kg selama
60 menit
Dosis total tidak
lebih dari 100 mg
 Kontraindikasi terapi fibrinolitik
Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
Stroke hemoragik atau stroke yang Transient Ischaemic Attack (TIA)
penyebabnya belum diketahui, dalam 6 bulan terakhir
dengan awitan kapanpun
Stroke iskemik 6 bulan terakhir Pemakaian antikoagulan oral
Kerusakan sistem saraf sentral dan Kehamilan atau dalam 1 minggu
neoplasma post-partum
Trauma operasi/trauma kepala yang Tempat tusukan yang tidak dapat
berat dalam 3 minggu terakhir dikompresi
Perdarahan saluran cerna dalam 1 Resusitasi traumatic
bulan terakhir
Penyakit perdarahan Hipertensi refrakter (tekanan darah
sistolik >180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut
Infeksi endocarditis
Ulkus peptikum yang aktif
b) Koterapi antikoagulan
1) Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi
antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap, hingga
maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama terapi lebih dari 48 jam
karena risiko heparin-induced thrombocytopenia dengan terapi UFH
berkepanjangan.
2) Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi
antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari
pemberian.
3) Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH atau fondaparinuks dengan
regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi fibrinolisis.
4) Pasien yang menjalani IKP primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut ini
merupakan rekomendasi dosis :
- Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan
untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIa telah diberikan.
- Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8
jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12 jam,
maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg.
- Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan dengan
aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/IIa.
5) Karena adanya risiko thrombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan
digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya ditambahkan
antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa.
c) Terapi jangka panjang
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah :
1) Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,
dengan ketat.
2) Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan tanpa
henti.
3) DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12 bulan
setelah STEMI.
4) Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien dengan
gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri.
5) Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera mungkin
sejak datang.
6) Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien masuk
tumah sakit bil tidak ada kontra indikasi atau riwayat intoleransi, tanpa
memandang nilai kolesterol inisial.
7) ACE-I diindikasikan seak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal ginjal,
disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark anterior. Sebagai alternatif dari
ACE-I, ARB dapat digunakan.
8) Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat gagal
ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015)

Sedangkan menurut Muttaqin (2009), penatalaksanaan medis pada fase serangan akut
IMA adalah sebagai berikut :
1) Penanganan nyeri
Penanganan nyeri dapat berupa terapi farmakologi yaitu morphin sulfat, nitrat,
penghambat beta (beta blocker)
2) Membatasi ukuran infark miokardium
Pemberian :
- Antikoagulan  Mencegah pembentukan bekuan darah yang dapat menyumbat
sirkulasi.
- Trombolitik  Penghancur bekuan darah, menyerang dan melarutkan bekuan
darah.
- Antilipemik/hipolipemik/antihiperlipemik  Menurunkan konsentrasi lipid dalam
darah.
- Vasodilator perifer  Meningkatkan dilatasi pembuluh darah yang menyempit
karena vasospasme.
Secara farmakologis, obat-obatan yang dapat membantu membatasi ukuran infark
miokardium adalah antiplatelet, antikoagulan, dan trombolitik.
3) Pemberian oksigen
Terapi oksigen segera dimulai saat awitan (onset) nyeri terjadi. Oksigen yang dihirup
akan langsung meningkatkan saturasi darah. Efektivitas terapeutik oksigen ditentukan
dengan observasi kecepatan dan irama pertukaran gas. Terapi oksigen dilanjutkan
hingga klien mampu bernapas dengan mudah. Saturasi oksigen dalam darah secara
bersamaan diukur dengan pulse-oxymetry
4) Pembatasan aktivitas fisik
Istirahat merupakan cara paling efektif untuk membatasi aktivitas fisik. Pengurangan
atau penghentian seluruh aktivitas pada umumnya akan mempercepat penghentian
nyeri. Klien boleh diam tidak bergerak atau dipersilahkan untuk duduk atau sedikit
melakukan aktivitas.

Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty


Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) atau Angioplasti Koroner
Transluminal Perkutaneus adalah usaha untuk memperbaiki aliran darah arteri koroner
dengan menghancurkan plak atau ateroma yang telah tertimbun dan mengganggu aliran
darah ke jantung. Kateter dengan ujung yang berbentuk balon dimasukkan ke arteri
koroner yang mengalami gangguan dan diletakkan di antara daerah aterosklerotik. Balon
kemudian dikembangkan dan dikempiskan dengan cepat untuk menghancurkan plak.
PTCA dilakukan pada klien yang mempunyai lesi yang menyumbat minimal 70% lumen
internal arteri koroner besar, sehingga banyak daerah jantung yang beresiko mengalami
iskemia.

Revaskularisasi Arteri Koroner


Penyakit arteri koroner telah ditangani dengan berbagai cara revaskularisasi jantng sejak
30 tahun yang lalu. Teknik terbaru yaitu tandur pintas arteri koroner (Coronary Artery
Bypass Graft—CABG) telah dilakukan selama kurang lebih 25 tahun. Pertimbangan
dilakukannnya pintasan CABG adalah arteri koroner telah mengalami sumbatan minimal
70% (60% pada arteri koroner utama kiri). Jika sumbatan pada arteri kurang dari 70%
maka aliran darah melalui arteri tersebut masih adekuat sehingga dapat mencegah aliran
darah yang adekuat pada pintasan. Akibatnya akan terjadi bekuan pada CABG, sehingga
koreksi melalui pembedahan menjadi sia-sia.
(Muttaqin, 2009).
8. Komplikasi
Komplikasi STEMI menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
(2015) adalah sebagai berikut:
a) Gangguan hemodinamik
1) Gagal jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi
miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan PCI atau trombolisis,
perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejas
transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior,
dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling
patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir
dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai komplikasi
mekanis.
Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase akut dan subakut STEMI
didasari oleh gejala-gejala khas seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardia,
suara jantung ketiga atau ronchi pulmonal, dan bukti-bukti objektif disfungsi
kardiak seperti dilatasi ventrikel kiri, dan berkurangnya fraksi ejeksi.
2) Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90 mmHg.
Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan oleh
hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi
dapat menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis, dan berkurangnya
urine output.
3) Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronkhi basah paru di segmen basal,
berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada rontgen dada dan
perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator.
4) Keadaan output rendah
Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk dengan
hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin. Ekokardiografi dapat
menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk, komplikasi mekanis atau infark
ventrikel kanan.
5) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan penyebab
kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%. Meskipun
syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard akut, ia biasanya
tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry
SHOCK (Should we emergently revascularize Occluded coronaries for
Cardiogenic shoCK) menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6
jam dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis syok kardiogenik
yang dapat ditemukan beragam dan menentukan berat tidaknya syok serta
berkaitan dengan luaran jangka pendek. Pasien biasanya dating dengan
hipotensi, bukti output kardiak yang rendah (takikardia saat istirahat, perubahan
status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti paru.
Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung <2,2 L/menit/m 2
dan peningkatan wedge pressure >18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya <20
mL/jam. Pasien juga dianggap menderita syok apabila agen inotropik intravena
dan/atau IABP dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90
mmHg. Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas,
namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan.
6) Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama
setelah infark miokard. Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa
manifestasi dari kondisi berat yang mendasarinya, seperti iskemia miokard,
kegagalan pompa, perubahan tonus otonom, hipoksia, dan gangguan elektrolit
(seperti hipokalemia) dan gangguan asam-basa.
b) Komplikasi kardiak
1) Regugirtasi katup mitral
Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi ventrikel
kiri, gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung m. Papilaris atau chordate
tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perburukan hemodinamis
dengan dispnea akut, kongesti paru dan murmur sistolik baru, yang biasanya
tidak terlalu diperhatikan dalam konteks ini. Diagnosis ini dicurigai dengan
pemeriksaan klinis dan perlu segera konfirmasi dengan ekokardiografi darurat.
Edema paru dan syok kardiogenik dapat terjadi dengan cepat.
2) Ruptur jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut setelah infark
transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan kolaps kardiovaskular dengan
disosiasi elektromekanis. Hemoperikardium dan tamponade jantung kemudian
akan terjadi secara cepat dan bersifat fatal. Diagnosis dikonfirmasi dengan
ekokardiografi. Apabila tersumbat oleh formasi thrombus, rupture dinding subakut
yang terdeteksi dengan cepat dapat dilakukan perikardiosentesis dan operasi
segera.
3) Ruptur septum ventrikel
Ruptur septum ventrikel biasanya ditandai perburukan klinis yang terjadi dengan
cepat dengan gagal jantung akut dan murmur sistolik yang kencang yang terjadi
pada fase subakut. Diagnosis ini dikonfirmasi dengan ekokardiografi, yang dapat
membedakan keadaan ini dengan regurgitasi mitral akut dan dapat menentukan
lkasi dan besarnya ruptur. Left-to-right shunt yang terjadi sebagai akibat dari
ruptur ini dapat meghasilkan tanda dan gejala gagal jantung kanan akut awitan
baru.
4) Infark ventrikel kanan
Biasanya gejalanya muncul sebagai triad hipotensi, lapangan paru yang bersih
serta peningkatan tekanan vena jugularis. Elevasi segmen ST 1 mV di V1 dan
V4R merupakan ciri infark ventrikel kanan dan perlu secara rutin dicari pada
pasien dengan STEMI inferior yang disertai dengan hipotensi. Ekokardiografi
Doppler biasanya menunjukkan dilatasi ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal
yang rendah, dilatasi vena hepatica dan jejas dinding inferior dalam berbagai
derajat.
5) Perikarditis
Insidensi perikarditis setelah STEMI semakin berkurang dengan semakin majunya
terapi reperfusi yang modern dan efektif. Gejala perikarditis antara lain nyeri dada
berulang, biasanya khas yaitu tajam dan, bertentangan dengan iskemia rekuren,
terkait dengan postur dan pernapasan. Perikarditis dapat muncul sebagai re-
elevasi segmen ST dan biasanya ringan dan progresif, yang membedakannya
dengan re-elevasi segmen ST yang tiba-tiba seperti pada re-oklusi koroner akibat
trombosis stent, misalnya.
6) Aneurisma ventrikel kiri
Pasien dengan infark transmural besar, terutama di dinding anterolateral, dapat
mengalami perluasan infark yang diikuti dengan pembentukan aneurisma
ventrikel kiri. Proses remodeling ini terjadi akibat kombinasi gangguan sistolik dan
diastolic dan, seringkali, regurgitasi mitral.
7) Trombus ventrikel kiri
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hampir seperempat infark miokard
anterior memiliki thrombus ventrikel kiri yang dapat terdeteksi, keadaan ini
dikaitkan dengan prognosis yang buruk karena berhubungan dengan infark yang
luas, terutama bagian anterior dengan keterlibatan apical, dan risiko embolisme
sistemik.
9. Asuhan Keperawatan
a) Pengkajian
 Keluhan utama
Keluhan utama biasanya nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan.
 Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian PQRST yang mendukung keluhan utama dilakukan dengan
mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai nyeri dada pada klien secara
PQRST yang meliputi :
Provoking Incident : Nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang dengan
istirahat dan setelah diberikan nitrogliserin.
Quality of pain : Seperti apa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Sifat
nyeri dapat seperti tertekan, diperas, atau diremas.
Region : Lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di atas pericardium.
Penyebaran nyeri dapat meluas hingga area dada. Dapat terjadi nyeri dan
ketidakmampuan menggerakkan bahu dan tangan.
Severity of pain : Klien ditanya dengan menggunakan rentang 0-4 atau 0-10
(visual analog scale) dan klien akan menilai seberapa berat nyeri yang dirasakan.
Biasanya pada saat angina terjadi, skala nyeri berkisar antara 3-4 (skala 0-4) atau
7-9 (skala 0-10).
Time : Sifat mula timbulnya (onset). Biasanya gejala nyeri timbul mendadak. Lama
timbulnya (durasi) nyeri dada umumnya dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri oleh
infark miokardium dapat timbul pada waktu istirahat, nyeri biasanya dirasakan
lebih berat dan berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang menyertai infark
miokardium meliputi dispnea, berkeringat, ansietas, dan pingsan.
 Riwayat penyakit dahulu
Data ini diperoleh dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah menderita
nyeri dada, hipertensi, diabetes mellitus, atau hiperlipidemia. Cara mengkaji
sebaikya sekuens dan terinci. Tanyakan mengenai obat-obatan yang biasa
diminum oleh klien pada masa yang lalu yang masih relevan dengan obat-obatan
antiangina seperti nitrat dan penghambat beta serta obat-obat antihipertensi.
Catat adanya efek samping yang terjadi di masa lalu, alergi obat, dan reaksi alergi
yang timbul. Seringkali klien menafsirkan suatu alergi sebagai efek samping obat.
 Riwayat penyakit keluarga
Perawat senantiasa harus menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami
oleh keluarga, anggota keluarga yang meninggal, dan penyebab kematian.
Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda
merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit jantung iskemik pada
keturunannya.
 Riwayat pekerjaan dan pola hidup
Perawat menanyakan situasi tempat bekerja dan lingkungannya. Demikian pula
dengan kebiasaan sosial dengan menanyakan kebiasaan dan pola hidup
misalnya minum alkohol atau obat tertentu. Kebiasaan merokok dikaji dengan
menanyakan kebiasaan merokok sudah berapa lama, berapa batang per hari, dan
jenis rokok. Di samping pertanyaan-pertanyaan di atas, data biografi juga
merupakan data yang perlu diketahui seperti nama, umur, jenis kelamin, tempat
tinggal, suku, dan agama yang dianut oleh klien.
Dalam mengajukan pertanyaan kepada klien, hendaknya perhatikan kondisi klien.
Bila klien dalam keadaan kritis, maka pertanyaan yang diajukan bukan pertanyaan
terbuka tetapi pertanyaan tertutup, yaitu pertanyaan yang jawabannya adalah “ya”
dan “tidak”. Atau pertanyaan yang dapat dijawab dengan gerakan tubuh seperti
mengangguk atau menggelengkan kepala sehingga tidak memerlukan energy
yang besar.
 Pengkajian psikososial
Perubahan integritas ego terjadi bila klien menyangkal, takut mati, perasaan ajal
sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan yang tak perlu, khawatir
tentang keluarga, pekerjaan, dan keuangan. Gejala perubahan integritas ego
yang dapat dikaji adalah klien menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata,
gelisah, marah, perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri.
Perubahan interaksi sosial yang dialami klien terjadi karena stress yang dialami
klien dari berbagai aspek seperti keluarga, pekerjaan, kesulitan biaya ekonomi,
atau kesulitan koping dengan stressor yang ada.
 Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum : kesadaran klien IMA biasanya baik atau composmentis dan
akan berubah sesuai tingkat gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf
pusat.
- B1 (Breathing) :
Klien tampak sesak, frekuensi napas melebihi normal dan mengeluh sesak
napas seperti tercekik. Dispnea kardiak biasanya ditemukan. Sesak napas
terjadi akibat pengerahan tenaga dan disebabkan oleh kenaikan tekanan
akhir diastolic ventrikel kiri yang meningkatkan tekanan vena pulmonalis. Hal
ini terjadi karena terdapat kegagalan peningkatan curah darah oleh ventrikel
kiri pada saat melakukan kegiatan fisik. Dispnea kardiak pada infark
miokardium yang kronis dapat timbul pada saat istirahat.
- B2 (Blood) :
 Inspeksi
Inspeksi adanya jaringan parut pada dada klien. Keluhan lokasi nyeri
biasanya di daerah substernal atau nyeri di atas pericardium.
Penyebaran nyeri dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri dan
ketidakmampuan menggerakkan bahu dan tangan.
 Palpasi
Denyut nadi perifer melemah. Thrill pada IMA tanpa komplikasi biasanya
tidak ditemukan.
 Auskultasi
Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan volume sekuncup
yang disebabkan IMA. Bunyi jantung tambahan akibat kelainan katup
biasanya tidak ditemukan pada IMA tanpa komplikasi.
 Perkusi
Batas jantung tidak mengalami pergeseran.
- B3 (Brain) :
Kesadaran umum klien biasanya composmentis. Tidak ditemukan sianosis
perifer. Pengkajian objektif klien, yaitu wajah meringis, perubahan postur
tubuh, menangis, merintih, meregang, dan menggeliat yang merupakan
respons dari adanya nyeri dada akibat infark pada miokardium.
- B4 (Bladder) :
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan klien.
Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria pada klien dengan
IMA karena merupakan tanda awal syok kardiogenik.
- B5 (Bowel) :
Klien biasanya mengalami mual dan muntah. Pada palpasi abdomen
ditemukan nyeri tekan pada keempat kuadran, penurunan peristaltik usus
yang merupakan tanda utama IMA.
- B6 (Bone) :
Aktivitas klien biasanya mengalami perubahan. Klien sering merasa
kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap, dan jadwal
olahraga tak teratur. Tanda klinis lain yang ditemukan adalah takikardia,
dispnea pada saat istirahat maupun saat beraktivitas.
Kaji higienis personal klien dengan menanyakan apakah klien mengalami
kesulitan melakukan tugas perawatan diri.
(Muttaqin, 2009)

b) Rencana asuhan keperawatan


Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
Nyeri Tujuan NIC : Pain
Setelah dilakukan tindakan Management
keperawatan selama 1 x 24 jam, nyeri 1. Kaji karakteristik
dada klien berkurang nyeri : PQRST
2. Observasi isyarat
Kriteria Hasil nonverbal dari
NOC : Pain Level ketidaknyamanan
Indikator 1 2 3 4 5 3. Lakukan manajemen
Reported nyeri non
pain farmakologis :
Facial
- Atur posisi
expressions fisiologis
of pain - Istirahatkan klien
Diaphoresis - Berikan O2 sesuai
Respiratory
indikasi
rate
Blood - Manajemen
pressure lingkungan :
lingkungan
tenang dan batasi
pengunjung
- Ajarkan teknik
relaksasi napas
dalam dan teknik
distraksi
4. Kolaborasi
pemberian terapi
farmakologis
antiangina
Penurunan curah Tujuan NIC : Cardiac Care :
jantung Setelah dilakukan tindakan Acute
keperawatan selama 2 x 24 jam, curah 1. Evaluasi nyeri dada
jantung meningkat 2. Monitor ritme dan
frekuensi jantung
Kriteria Hasil 3. Auskultasi bunyi
NOC : Cardiac Pump Effectiveness jantung
Indikator 1 2 3 4 5 4. Auskultasi paru (ada
Systolic suara napas
blood tambahan/tidak)
pressure 5. Monitor status
Diastolic
neurologis
blood
6. Monitor intake dan
pressure
Dysrhytmia output
24-hour 7. Lakukan
intake and pemeriksaan EKG
output 8. Monitor TD dan
balance parameter
Urine output
hemodinamik
9. Monitor hasil lab
10. Kolaborasi
pemberian obat
sesuai
Intoleransi Tujuan NIC : Energy
aktivitas Setelah dilakukan tindakan Management
keperawatan selama 6 x 24 jam, 1. Kaji keterbatasan
toleransi klien dalam beraktivitas fisik klien
meningkat 2. Monitor intake
nutrisi
Kriteria Hasil 3. Monitor respon
NOC : Activity Tolerance kardiorespiratori
Indikator 1 2 3 4 5 saat beraktivitas
Oxygen saturation (takikardi, disritmia,
with activity dispnea,
Respiratory rate
diaphoresis,
with activity
Systolic blood tekanan
pressure with hemodinamik, RR)
activity 4. Monitor pola tidur
Diastolic blood klien dan jumlah
pressure with jam tidur
activity 5. Batasi aktivitas fisik
Electrocardiogram
yang berlebihan
findings
Ease of 6. Gunakan latihan

performing ROM aktif/pasif

activities of Daily untuk

Living (ADL) mengembalikan


kekuatan otot

PERCUTANEUS CORONARY INTERVENTION (PCI)

1. Definisi
Primary PCI adalah suatu tindakan untuk mengalirkan kembali arteri koroner yang
tersumbat thrombus, yang menyebabkan infark miokard dengan ST elevasi (STEMI),
dengan menggunakan balon-kateter koroner, baik diikuti dengan pemasangan stent
maupun tidak (Rifqi, 2012).

2. Prosedur
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda
(DAPT) berupa aspirin dn penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum
angiografi, disertai dengan antikoagulan intravena. Aspirin dapat dikonsumsi secara oral
(160-320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain :
1) Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari)
2) Atau clopidogrel (disarannkan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading 600 mg
diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau dikontraindikasikan.
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara lain :
a. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP lib/llla
rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan bivarlirudin atau
enoksaparin.
b. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP lib/llla) dapat lebih
dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi.
c. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer.
d. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan
untuk IKP primer.

Prosedur
Teknik PCI tergolong aman dan pasien hanya butuh satu sampai dua hari masa
pemulihan. Munawar memaparkan, proses tindakan PCI, di antaranya melakukan
sayatan kecil di bagian kulit pangkal paha atau pergelangan lengan. Lalu, dimasukkan
sebuah guide wire atau kawat yang didesain khusus untuk menembus lesi atau plak
koroner yang telah tersumbat total. Kemudian lewat kawat itu diselipkan balloon yang
sesuai ukuran hingga sampai di lokasi penyempitan. Balloon yang tipis namun kuat dan
fleksibel tersebut kemudian dikembangkan dengan tekanan tertentu hingga penyempitan
terbuka. Setelah itu, dilanjutkan dengan pemasangan cincin penyangRah (sferni. Stern
yang umumnya terbuat dari metal anti-karat dan berlapis obat ini bertujuan menekan
penyempitan ulang.

3. Efek Samping
Komplikasi dari tindakan Primary PCI antara lain : komplikasi vaskuler meliputi
perdarahan, hematoma, pseudoaneurisma dan fistula arteriovenous (2-3%), nefropati
karena kontras radiografi (2%) terjadi pada pasien insufiensi renal, usia tua, dan shock
kardiogenik. Takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel dilaporkan pada 4,3% pasien yang
mendapatkan terapi Primary PCI (Rifqi, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Christenson RH; Ohman EM; Topol EJ; et al. (September 1997)."Assessment of coronary
reperfusion after thrombolysis with a model combining myoglobin, creatine kinase-MB,
and clinical variables. TAMI-7 Study Group. Thrombolysis and Angioplasty in
Myocardial Infarction-7". Circulation 96 (6): 1776–82.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi edisi revisi 3. Jakarta : EGC.
Farissa, Inne P. 2012. Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard Akut ST-Elevasi (STEMI)
yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi (Studi di RSUP Dr.Kariadi
Semarang). Pogram Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Didponegoro, Semarang.
Firdaus, 2011. Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI, Jurnal Kardiologi Indonesia. 32 :
266-71.
Judith M Wilkinson & Nancy R Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 9.
Jakarta: EGC.
Lippi, G.; Mattiuzzi, C.; Comelli, I.; Cervellin, G. (2013). "Glycogen phosphorylase isoenzyme
BB in the diagnosis of acute myocardial infarction: a meta-analysis.". Biochem Med
(Zagreb) 23(1): 78–82. doi:10.11613/bm.2013.010
Muttaqin, A. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular. Jakarta : Salemba Medika.
Peetz et all. Glycogen phosphorylase BB in acute coronary syndromes; Clin Chem Lab Med.
2005; 43(12):1351-1358 Rabitzsch et al. Immunoenzymometric Assay of Human
Glycogen Phosphorylase Isoenzyme BB in Diagnosis of Ishchemic Myocardial Injury;
Clin Chem Lab Med. 1995; 41(7):966-978.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Ed. 3. Jakarta : Centra Communications.
Price, S.A. dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC.
Ramrakha, Suwiryo. 2005. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler. Jakarta:Gramedia.
Rifqi, Sodiqur. Primary Percutaneous Coronary Intervention (Primary PCI), Senjata Baru
untuk Melawan Serangan Jantung Akut. Medica Hospitalia. 1 (2) : 139-142.
Selwyn, Andina. 2005. Buku Ajar Kardiologi: Fakultas Kedokteran. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing.
Suhastutik. 2012. Pasien dengan Akut Miokard Infark (STEMI). Yogyakarta : JAY.

Anda mungkin juga menyukai