1. Definisi
Infark Miokard Akut (IMA) adalah nekrosis miokardium yang disebabkan tidak
adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut pada arteri koroner. Sumbatan ini
sebagian besar disebabkan oleh rupture plak ateroma pada arteri koroner yang kemudian
diikuti oleh terjadinya thrombosis, vasokonstriksi, reaksi inflamasi, dan mikroembolisasi
distal. Kadang-kadang sumbatan akut ini dapat pula disebabkan oleh spasme arteri
koroner, emboli, atau vaskulitis. Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan
menyebabkan kerusakan seluler yang permanen dan kematian otot atau nekrosis. Area
miokardium yang mengalami infark atau nekrosis akan berhenti berkontraksi secara
permanen. Jaringan yang mengalami infark dikelilingi oleh suatu daerah iskemik yang
berpotensi dapat hidup. Ukuran infark akhir bergantung pada keadaan daerah iskemik
tersebut. Bila tepi daerah yang mengelilingi area iskemik ini mengalami nekrosis maka
area infark akan bertambah luas, sedangkan perbaikan iskemia akan memperkecil area
nekrosis. Infark miokardium biasanya menyerang ventrikel kiri (Muttaqin, 2009).
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct)
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina
pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST (Sudoyo, 2010).
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah
ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi
lipid. STEMI terjadi sebagian besar disebabkan karena oklusi total trombus kaya fibrin di
pembuluh koroner epikardial. Oklusi ini akan mengakibatkan berhentinya aliran darah
(perfusi) ke jaringan miokard (Firdaus, 2011).
2. Epidemiologi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr.Kariadi Semarang didapatkan
hasil bahwa sebagian besar penderita STEMI (81,9%) adalah laki-laki. Usia termuda
pada laki-laki pada kasus STEMI yang ada di RSUP Dr. Kariadi adalah 24 tahun
sedangkan wanita 40 tahun. Laki-laki lebih cepat mengalami STEMI dari pada
perempuan karena beberapa faktor seperti seringnya merokok, hipertensi, diabetes dan
obesitas (Frissa, Inne P, 2012).
Pasien STEMI yang tidak mendapatkan terapi reperfusi sebanyak 84 kasus dari
105 kasus (80%). Pada pasien tersebut diberikan obat seperti heparin, enoxapamin,
clopidrogel, ISDN, aspilet, captopril, bisoprolol dan ranitidin. Semua pasien yang
mendapatkan terapi reperfusi adalah mereka yang bertempat tinggal di Semarang. Lama
perawatan pasien STEMI yang telah mendapatkan terapi reperfusi lebih singkat dari pada
mereka yang tidak mendapatkan terapi. Perawatan rata-rata pada pasien yang telah
mendapatkan reperfusi adalah 6 hari sedangkan yang tidak mendapatkan terapi 8 hari.
Pasien STEMI yang dirawat di RSUP Dr.Kariadi dengan kecepatan datang ke rumah
sakit >12 jam (61,9%) lebih banyak daripada pasien yang datang ≤12 jam (35,2%).
Jumlah pasien dengan kecepatan datang ke rumah sakit ≤12 jam yang mendapat
reperfusi (18,1%) sedikit lebih banyak daripada pasien yang tidak mendapat reperfusi
(17,1%). Kejadian komplikasi STEMI lebih sering terjadi pada pasien yang tidak
mendapat terapi reperfusi. Hal ini tampak pada gagal jantung sebagai komplikasi
tersering, lebih banyak terjadi pada pasien yang tidak mendapat terapi reperfusi (25%).
Pada pasien yang mendapat terapi reperfusi, komplikasi yang sering terjadi adalah
perdarahan minor (19,1%) (Frissa, Inne P, 2012).
3. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil.
Diperkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet
berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme.
Spasme yang terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga menyebabkan angina
tak stabil. Adanya spasme sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai
peran dalam pembentukan trombus.
Minor:
1. Kepribadian tipe A (agresif, ambisius, emosional, kompetitif)
Tipe kepribadian A yang memiliki sifat agresif, kompetitif, kasar, sinis, gila
hormat, ambisius, dan gampang marah sangat rentan untuk terkena IMA.
Terdapat hubungan antara stress dengan abnnormalitas metabolisme
lipid.
2. Stress psikologis berlebihan
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan
sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara
konsisten meningkatkan resiko terkena.
3. Inaktifitas fisik
Wanita yang tidak aktif bergerak mempunyai risiko 2-3 kali lebih besar
menderita serangan jantung. Selain mengurangi berat badan, olahraga
teratur dapat memperkuat otot jantung dan memperbaiki sistem
peredaran darah.
4. Patofisiologi
(terlampir)
5. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala infark miokard menurut Alwi (2006) adalah :
1) Nyeri :
a. Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak mereda,
biasanya dibagian dada depan bawah sternum dan abdomen bagian atas, ini
merupakan gejala utama.
b. Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri tidak
tertahankan lagi.
c. Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat menjalar ke bahu
dan terus ke bawah menuju lengan (biasanya lengan kiri).
d. Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau gangguan
emosional), menetap selama lebih dari 15 detik – 30 menit, dan tidak hilang
dengan bantuan istirahat atau nitrogliserin (NTG).
e. Nyeri dapat menjalar ke arah rahang dan leher, atau seperti sakit gigi, penderita
tdk bisa menunjuk lokasi nyeri dg 1 jari tetapi ditunjukkan dg telapak tangan.
f. Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis berat, pening
atau kepala terasa melayang dan mual muntah.
g. Pasien dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat karena
neuropati yang menyertai diabetes dapat mengganggu neuroreseptor
(mengumpulkan pengalaman nyeri).
2) Sesak nafas: mengidentifikasikan ancaman gagal ventrikel kiri.
3) Gejala GI: peningkatan aktivitas fadal menyebabkan mual dan muntah dan
dikatakan lebih sering terjadi pada infrak inferior. Stimulasi diafragmatik pada infrak
inferior juga dapat menyebabkan cegukan.
4) Gejala lain: palpitasi, rasa pusing, aritmia ventrikel, dan gejala akibat emboli arteri
(stroke, iskemia ekstermitas).
5) Laborat
Pemeriksaan Enzim jantung :
a. CPK-MB/CPK
Merupakan enzim yg spesifik sebagai penanda terjadinya kerusakan pd otot
jantung. Kadar CPK yang ditemukan pada otot jantung meningkat antara 2-6
jam, memuncak pada 24 jam pertama pasca serangan, kembali normal dalam
2-3 hari.
b. LDH/HBDH
Meningkat pada hari ke 2-3 kemudian normal kembali pada hari ke 5-6.
c. Cardiac Troponin
Meningkat 3-6 jam pasca serangan dan tetap tinggi selama 14-21 hari. Kadar
kardiak troponin I meningkat 7-14 jam pasca serangan dan tetap tinggi untuk 5-
7 hari pasca serangan. Merupakan Gold standart pemeriksaan laborat untuk
mendiagnosa IMA.
d. AST/SGOT (kurang spesifik/khusus)
Kadar SGOT terdeteksi setelah 8 jam serangan. Kadarnya meningkat hingga
24-48 jam dan menurun pada hari ke 3-4. Oleh karena itu kadar SGOT harus
diperiksa pada 24, 48, dan 72 jam serangan.
6) EKG
Perubahan EKG yang terjadi pada fase awal adanya gelombang T tinggi dan
simetris. Setelah ini terdapat elevasi segmen ST.Perubahan yang terjadi kemudian
ialah adanya gelombang Q/QS yang menandakan adanya nekrosis.
a. Segmen ST elevasi abnormal menunjukkan adanya (dilatasi sekunder) karena
gagal jantung kongesif.
b. Gelombang T invesi (arrow hard) menunjukan adanya askemia miokard.
c. Q patologis menunjukkan adanya nekrosis miokard.
Skor nyeri menurut White :
0 = tidak mengalami nyeri
1 = nyeri pada satu sisi tanpa menggangu aktifitas
2 = nyeri lebih pada satu tempat dan mengakibatkan terganggunya aktifitas,
mislnya kesulitan bangun dari tempat tidur, sulit menekuk kepala dan lainnya.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan fisik
Menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat (gelisah) dengan
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30
menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI (Farissa,
2012)
EKG
Untuk mengetahui fungsi jantung : T. Inverted, ST depresi, Q. patologis
Creatine Kinase (CK atau CPK)
Dikeluarkan dari otot yang rusak, CK adalah enzim yang ditemukan di jantung, otot
rangka dan otak. Ini terdiri dari 3 isoenzim;. Mm ( ditemukan di otot rangka ), MB
( ditemukan pada otot jantung ) dan BB ( ditemukan dalam jaringan otak ).
Kerusakan pada salah satu jaringan menyebabkan pelepasan CK ke dalam aliran
darah sehingga jumlahnya dalam darah lebih tinggi dari normal.
CKMB
Setelah cedera jantung, CK dan MB isoenzyme dilepaskan ke dalam aliran darah
pada tingkat yang dapat diprediksi. Dalam waktu 4 sampai 8 jam ( setelah cedera )
tingkat CKMB naik di atas normal dan dalam waktu 12 sampai 24 jam tingkat ini
meningkat sekitar 5 sampai 15 kali normal. Dalam waktu 2 sampai 3 hari CKMB
kembali normal. Karena isoenzyme MB adalah eksklusif untuk jaringan otot jantung,
hal ini dianggap sebagai tes yang sangat definitif untuk mendiagnosa infark miokard
akut.
Troponin
Troponin adalah protein yang membantu mengatur kontraksi otot jantung dan karena
itu dapat diisolasi dalam darah, itu dianggap sebagai indikator yang sensitif dari
infark miokard akut. Troponin terdiri dari 3 protein yang terpisah yaitu Troponin I,
Troponin T dan Troponin C.
Fungsi dari masing-masing protein spesifik adalah sebagai berikut:
Troponin C
Mengikat ion kalsium dan tidak digunakan untuk menentukan jaringan sel /
kematian.
Troponin I dan T
Biasanya / normalnya tidak ditemukan dalam aliran darah sehingga setiap
terdeteksi protein ini dalam darah menunjukkan infark atau kematian otot
jantung / jaringan.
Elektrolit
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan kontraktilitas, missal
hipokalemi, hiperkalemi
Sel darah putih
Leukosit (10.000 – 20.000) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah IMA
berhubungan dengan proses inflamasi
Kecepatan sedimentasi
Meningkat pada ke-2 dan ke-3 setelah AMI , menunjukkan inflamasi.
Kimia
Mungkin normal, tergantung abnormalitas fungsi atau perfusi organ akut atau
kronis
Analisa Gas Darah
Dapat menunjukkan hipoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.
Kolesterol atau Trigliserida serum
Meningkat, menunjukkan arteriosclerosis sebagai penyebab AMI
Foto dada
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK atau
aneurisma ventrikuler.
Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding
ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup.
Pemeriksaan pencitraan nuklir
o Talium : mengevaluasi aliran darah miocardia dan status sel miocardia missal
lokasi atau luasnya IMA
o Technetium : terkumpul dalam sel iskemi di sekitar area nekrotik
Pencitraan darah jantung (MUGA)
Mengevaluasi penampilan ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional
dan fraksi ejeksi (aliran darah)
Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner. Biasanya dilakukan
sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi dan mengkaji fungsi ventrikel
kiri (fraksi ejeksi). Prosedur tidak selalu dilakukan pad fase AMI kecuali
mendekati bedah jantung angioplasty atau emergensi.
Digital subtraksion angiografi (PSA)
Teknik yang digunakan untuk menggambarkan
Nuklear Magnetic Resonance (NMR)
Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi jantung atau katup ventrikel,
lesivaskuler, pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan bekuan darah.
Tes stress olah raga
Menentukan respon kardiovaskuler terhadap aktifitas atau sering dilakukan
sehubungan dengan pencitraan talium pada fase penyembuhan.(Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, 2010)
Marker Jantung
Rata-
Sensitifitas dan
Tes rata Keterangan
spesifisitas
puncak
Troponin test Tes yang paling sensitif 12 Troponin dilepaskan selama MI dari
dan spesifik untuk hours sitosol dari miosit. Rilis selanjutnya
kerusakan miokard. berkepanjangan dengan degradasi
Karena tingginya aktin dan filament myosin. Isoform
protein, T dan I, khusus untuk
miokardium. Diagnosis elevasi troponin
termasuk infark akut, emboli paru yang
spesifisitas
berat menyebabkan overload jantung
dibandingkan dengan
kanan akut, gagal jantung, miokarditis.
CK-MB, troponin adalah
Troponin juga dapat menghitung ukuran
penanda utama untuk
infark tetapi puncak harus diukur pada
cedera miokard.
hari ke-3. Setelah cedera miosit,
troponin dilepaskan dalam 2-4 jam dan
berlangsung sampai 7 hari.
7. Penatalaksanaan Medis
a) Terapi reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen
ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi
reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti
klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala
telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak
tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi
fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit
atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika
membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah
ibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan
fasilitas IKP.
1) Intervensi koroner perkutan primer
IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan
dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120
menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien
gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan
bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien dating dengan awitan
gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasty balon
untuk IKP primer.
Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah
tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa
gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis. Bila pasien
tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet
therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting
stents (DES) lebih disarankan daripada Bare Metal Stents (BMS).
2) Terapi fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-
tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang
disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak
bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis
pertama.
Dosis Awal Koterapi Kontraindikasi
antitrombin spesifik
Streptokinase (Sk) 1,5 juta U dalam Heparin IV selama Sebelum Sk atau
100 mL Dextrose 24-48 jam anistreplase
5% atau larutan
salin 0,9% dalam
waktu 30-60
menit
Alteplase (tPA) Bolus 15 mg Heparin IV selama
intravena 0,75 24-48 jam
mg/kg selama 30
menit, kemudian
0,5 mg/kg selama
60 menit
Dosis total tidak
lebih dari 100 mg
Kontraindikasi terapi fibrinolitik
Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
Stroke hemoragik atau stroke yang Transient Ischaemic Attack (TIA)
penyebabnya belum diketahui, dalam 6 bulan terakhir
dengan awitan kapanpun
Stroke iskemik 6 bulan terakhir Pemakaian antikoagulan oral
Kerusakan sistem saraf sentral dan Kehamilan atau dalam 1 minggu
neoplasma post-partum
Trauma operasi/trauma kepala yang Tempat tusukan yang tidak dapat
berat dalam 3 minggu terakhir dikompresi
Perdarahan saluran cerna dalam 1 Resusitasi traumatic
bulan terakhir
Penyakit perdarahan Hipertensi refrakter (tekanan darah
sistolik >180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut
Infeksi endocarditis
Ulkus peptikum yang aktif
b) Koterapi antikoagulan
1) Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi
antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap, hingga
maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama terapi lebih dari 48 jam
karena risiko heparin-induced thrombocytopenia dengan terapi UFH
berkepanjangan.
2) Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi
antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari
pemberian.
3) Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH atau fondaparinuks dengan
regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi fibrinolisis.
4) Pasien yang menjalani IKP primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut ini
merupakan rekomendasi dosis :
- Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan
untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIa telah diberikan.
- Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8
jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12 jam,
maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg.
- Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan dengan
aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/IIa.
5) Karena adanya risiko thrombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan
digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya ditambahkan
antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa.
c) Terapi jangka panjang
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah :
1) Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,
dengan ketat.
2) Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan tanpa
henti.
3) DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12 bulan
setelah STEMI.
4) Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien dengan
gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri.
5) Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera mungkin
sejak datang.
6) Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien masuk
tumah sakit bil tidak ada kontra indikasi atau riwayat intoleransi, tanpa
memandang nilai kolesterol inisial.
7) ACE-I diindikasikan seak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal ginjal,
disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark anterior. Sebagai alternatif dari
ACE-I, ARB dapat digunakan.
8) Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat gagal
ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015)
Sedangkan menurut Muttaqin (2009), penatalaksanaan medis pada fase serangan akut
IMA adalah sebagai berikut :
1) Penanganan nyeri
Penanganan nyeri dapat berupa terapi farmakologi yaitu morphin sulfat, nitrat,
penghambat beta (beta blocker)
2) Membatasi ukuran infark miokardium
Pemberian :
- Antikoagulan Mencegah pembentukan bekuan darah yang dapat menyumbat
sirkulasi.
- Trombolitik Penghancur bekuan darah, menyerang dan melarutkan bekuan
darah.
- Antilipemik/hipolipemik/antihiperlipemik Menurunkan konsentrasi lipid dalam
darah.
- Vasodilator perifer Meningkatkan dilatasi pembuluh darah yang menyempit
karena vasospasme.
Secara farmakologis, obat-obatan yang dapat membantu membatasi ukuran infark
miokardium adalah antiplatelet, antikoagulan, dan trombolitik.
3) Pemberian oksigen
Terapi oksigen segera dimulai saat awitan (onset) nyeri terjadi. Oksigen yang dihirup
akan langsung meningkatkan saturasi darah. Efektivitas terapeutik oksigen ditentukan
dengan observasi kecepatan dan irama pertukaran gas. Terapi oksigen dilanjutkan
hingga klien mampu bernapas dengan mudah. Saturasi oksigen dalam darah secara
bersamaan diukur dengan pulse-oxymetry
4) Pembatasan aktivitas fisik
Istirahat merupakan cara paling efektif untuk membatasi aktivitas fisik. Pengurangan
atau penghentian seluruh aktivitas pada umumnya akan mempercepat penghentian
nyeri. Klien boleh diam tidak bergerak atau dipersilahkan untuk duduk atau sedikit
melakukan aktivitas.
1. Definisi
Primary PCI adalah suatu tindakan untuk mengalirkan kembali arteri koroner yang
tersumbat thrombus, yang menyebabkan infark miokard dengan ST elevasi (STEMI),
dengan menggunakan balon-kateter koroner, baik diikuti dengan pemasangan stent
maupun tidak (Rifqi, 2012).
2. Prosedur
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda
(DAPT) berupa aspirin dn penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum
angiografi, disertai dengan antikoagulan intravena. Aspirin dapat dikonsumsi secara oral
(160-320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain :
1) Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari)
2) Atau clopidogrel (disarannkan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading 600 mg
diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau dikontraindikasikan.
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara lain :
a. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP lib/llla
rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan bivarlirudin atau
enoksaparin.
b. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP lib/llla) dapat lebih
dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi.
c. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer.
d. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan
untuk IKP primer.
Prosedur
Teknik PCI tergolong aman dan pasien hanya butuh satu sampai dua hari masa
pemulihan. Munawar memaparkan, proses tindakan PCI, di antaranya melakukan
sayatan kecil di bagian kulit pangkal paha atau pergelangan lengan. Lalu, dimasukkan
sebuah guide wire atau kawat yang didesain khusus untuk menembus lesi atau plak
koroner yang telah tersumbat total. Kemudian lewat kawat itu diselipkan balloon yang
sesuai ukuran hingga sampai di lokasi penyempitan. Balloon yang tipis namun kuat dan
fleksibel tersebut kemudian dikembangkan dengan tekanan tertentu hingga penyempitan
terbuka. Setelah itu, dilanjutkan dengan pemasangan cincin penyangRah (sferni. Stern
yang umumnya terbuat dari metal anti-karat dan berlapis obat ini bertujuan menekan
penyempitan ulang.
3. Efek Samping
Komplikasi dari tindakan Primary PCI antara lain : komplikasi vaskuler meliputi
perdarahan, hematoma, pseudoaneurisma dan fistula arteriovenous (2-3%), nefropati
karena kontras radiografi (2%) terjadi pada pasien insufiensi renal, usia tua, dan shock
kardiogenik. Takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel dilaporkan pada 4,3% pasien yang
mendapatkan terapi Primary PCI (Rifqi, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Christenson RH; Ohman EM; Topol EJ; et al. (September 1997)."Assessment of coronary
reperfusion after thrombolysis with a model combining myoglobin, creatine kinase-MB,
and clinical variables. TAMI-7 Study Group. Thrombolysis and Angioplasty in
Myocardial Infarction-7". Circulation 96 (6): 1776–82.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi edisi revisi 3. Jakarta : EGC.
Farissa, Inne P. 2012. Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard Akut ST-Elevasi (STEMI)
yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi (Studi di RSUP Dr.Kariadi
Semarang). Pogram Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Didponegoro, Semarang.
Firdaus, 2011. Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI, Jurnal Kardiologi Indonesia. 32 :
266-71.
Judith M Wilkinson & Nancy R Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 9.
Jakarta: EGC.
Lippi, G.; Mattiuzzi, C.; Comelli, I.; Cervellin, G. (2013). "Glycogen phosphorylase isoenzyme
BB in the diagnosis of acute myocardial infarction: a meta-analysis.". Biochem Med
(Zagreb) 23(1): 78–82. doi:10.11613/bm.2013.010
Muttaqin, A. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular. Jakarta : Salemba Medika.
Peetz et all. Glycogen phosphorylase BB in acute coronary syndromes; Clin Chem Lab Med.
2005; 43(12):1351-1358 Rabitzsch et al. Immunoenzymometric Assay of Human
Glycogen Phosphorylase Isoenzyme BB in Diagnosis of Ishchemic Myocardial Injury;
Clin Chem Lab Med. 1995; 41(7):966-978.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Ed. 3. Jakarta : Centra Communications.
Price, S.A. dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC.
Ramrakha, Suwiryo. 2005. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler. Jakarta:Gramedia.
Rifqi, Sodiqur. Primary Percutaneous Coronary Intervention (Primary PCI), Senjata Baru
untuk Melawan Serangan Jantung Akut. Medica Hospitalia. 1 (2) : 139-142.
Selwyn, Andina. 2005. Buku Ajar Kardiologi: Fakultas Kedokteran. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing.
Suhastutik. 2012. Pasien dengan Akut Miokard Infark (STEMI). Yogyakarta : JAY.