Anda di halaman 1dari 34

1.

DEFINISI
 Stroke (CVA) atau penyakit serebrovaskular mengacu kepada setiap
gangguan neurologi mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau
terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak sehingga
terjadi gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan terjadinya
kematian otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita
kelumpuhan atau kematian (Fransisca, 2008; Price & Wilson, 2006).
 Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya
penyumbatan lumen pembuluh darah otak karena trombus yang makin
lama makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar.
Penurunan aliran darah ini menyebabkan iskemik. Stroke thrombosis
dapat mengenai pembuluh darah besar termasuk sistem arteri carotis
atau pembuluh darah kecil termasuk percabangan sirkulus wilis dan
sirkulasi posterior. Tempat yang umum terjadi thrombosis adalah titik
percabangan arteri serebral khususnya distribusi arteri carotis
interna.Stroke (CVA) atau penyakit serebrovaskular mengacu kepada
setiap gangguan neurologi mendadak yang terjadi akibat pembatasan
atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak sehingga
terjadi gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan terjadinya
kematian otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita
kelumpuhan atau kematian (WHO, 2009).
 Stroke merupakan penyakit peredarah darah otak yang diakibatkan
oleh tersumbatnya aliran darah ke otak atau pecahnya pembuluh
darah di otak, sehingga suplai darah ke otak berkurang (Smltzer &
Bare, 2005).
 Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya
penyumbatan lumen pembuluh darah otak karena trombus yang makin
lama makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar.
Penurunan aliran darah ini menyebabkan iskemia. Stroke trombotik terjadi
akibat cedera pada dinding pembuluh darah dan pembentukan bekuan
darah. Lumen pembuluh darah menjadi menyempit dan jika tersumbat, maka
infark terjadi. Trombosis mudah berkembang dimana plaque aterosklerotik
telah menyempitkan pembuluh darah. Stroke trombotik, yang merupakan
hasil dari trombosis atau penyempitan pembuluh darah, adalah penyebab
paling umum dari stroke, terhitung sekitar 60% dari stroke. Dua pertiga dari
stroke trombotik berhubungan dengan hipertensi atau diabetes mellitus,
yang keduanya mempercepat aterosklerosis.

2. KLASIFIKASI
Secara patologi, stroke dibedakan menjadi 2 yaitu stroke iskemik dan
stroke hemoragik.
A. Stroke Iskemik (Stroke yang terjadi ketika pembuluh darah ke otak
mengalami penyumbatan).
Penyebab terjadinya penyumbatan dapat terjadi karena thrombus
(bekuan darah di arteri serebri. Misal: atherosklerosis) atau embolus
(bekuan darah yang berjalan ke otak dari tempat lain di tubuh).
Berdasarkan waktunya, stroke iskemik dibedakan menjadi :
a) Transient Ischaemic Attack (TIA)  Gangguan fungsi otak singkat
yang reversibel akibat hipoksia serebral.
Defisit neurologis membaik dalam waktu kurang dari 30 menit.
b) Reversible Ischaemic Neurogical Deficit (RIND)
Defisit neurologis membaik kurang dari 1 minggu.
Berdasarkan penyebabnya, stroke iskemik dibedakan menjadi :
a) Stroke Trombotik
Terjadi akibat oklusi aliran darah, biasanya karena atherosclerosis
berat. Seringkali, individu mengalami satu/lebih serangan iskemik
sementara (TIA) sebelum stroke trombotik yang sebenarnya terjadi.
TIA mungkin terjadi ketika pembuluh darah atherosklerotik mengalami
spasme, atau saat kebutuhan O2 otak meningkat dan kebutuhan ini
tidak dapat dipenuhi.
Stroke trombotik biasanya berkembang dalam periode 24 jam.
Selama periode perkembangan stroke, individu dikatakan mengalami
stroke in evolution. Pada akhir periode tersebut, individu dikatakan
mengalami stroke lengkap (completed stroke).
Ada dua jenis stroke trombotik :
1) Trombosis pembuluh darah besar (large vessel thrombosis),
bentuk paling umum dari stroke trombotik, terjadi di arteri besar
otak (termasuk sistem arteri karotis). Dampak dan kerusakan
cenderung diperbesar karena semua pembuluh darah kecil yang
disuplai arteri telah dicabut dari darah. Dalam kebanyakan kasus,
trombosis pembuluh besar disebabkan oleh kombinasi dari
penumpukan plak jangka panjang (aterosklerosis) diikuti oleh
pembentukan gumpalan darah yang cepat. Kolesterol tinggi
merupakan faktor risiko umum untuk jenis stroke.
2) Trombosis pembuluh darah kecil (infark lacunar) terjadi ketika
aliran darah tersumbat untuk pembuluh darah arteri kecil. Ini telah
dikaitkan dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) dan merupakan
indikator penyakit aterosklerosis.
b) Stroke Embolik
Berkembang setelah oklusi arteri oleh embolus yang terbentuk di luar
otak. Sumber umum embolus yang menyebabkan stroke: jantung
setelah infark miokardium atau fibrilasi atrium, dan embolus yang
merusak arteri karotis komunis atau aorta.

B. Stroke Hemoragik (stroke yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah


yang menuju ke otak).
o Perdarahan Intraserebral (pada jaringan otak)
a) Primer (80-85%)  karena hipertensi tak terkendali.
b) Sekunder (15-20%)  karena kelainan pembuluh darah
(aneurisma atau malformasi arteriovenosa), penggunaan anti
koagulan, penyakit hati, dan penyakit sistem darah (Leukimia).
o Perdarahan Subarachnoid (di bawah jaringan pembungkus otak)
(Corwin, 2009; Dewanto dkk., 2009; Muttaqin, 2008; Pinzon & Asanti, 2010)
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
ETIOLOGI
a. Trombosis
Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau
bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis
dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi
serebral. Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada 48 jam
setelah trombosis. 40 % kaitannya dengan kerusakan lokal dinding
akibat anterosklerosis. Proses aterosklerosis ditandai dengan plak
berlemak pada lapisan intima arteri besar.

1) Atherosklerosis
Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta
berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah.
Kerusakan dapat terjadi melalui mekanisme berikut :
a) Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya
aliran darah.
b) Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis.
c) Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian
melepaskan kepingan thrombus (embolus)
d) Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian
robek dan terjadi perdarahan.
2) Arteritis( radang pada arteri )
3) Hypercoagulasi pada polysitemia
Darah bertambah kental, peningkatan viskositas/hematokrit
meningkat dapat melambatkan aliran darah serebral.

b. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke


otak dari bagian tubuh yang lain)
Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu trombus dalam jantung,
sehingga masalah yang dihadapi sesungguhnya merupakan perwujudan
penyakit jantung, jarang terjadi berasal dari plak ateromatosa sinus
carotikus (carotisintema). Setiap batang otak dapat mengalami
embolisme tetapi biasanya embolus akan menyumbat bagian-bagian
yang sempit. Abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti
endokarditis, infeksi, penyakit jantung rematik dan infark miokard serta
infeksi pulmonal adalah tempat-tempat asal emboli. Embolus biasanya
menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabang yang merusak
sirkulasi serebral.
c. Iskemia (penurunan aliran darah ke area otak)
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena
konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
d. Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan
perdarahan kedalam jaringan otak atau ruang sekitar otak)
Hemoragi dapat terjadi diluar durameter (hemoragi ekstradural dan
epidural), dibawah durameter (hemoragi subdural), diruang
subarakhnoid (hemoragi subarakhnoid) atau didalam subtansi otak
(hemoragi intraserebral) (Smeltzer, 2002).

FAKTOR RISIKO
Faktor risiko stroke dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor-faktor yang tidak
dapat diubah dan yang dapat diubah. Menurut Bustami (2007), penjabaran
faktor risiko tersebut sebagai berikut:
Faktor risiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi :
Faktor Risiko Keterangan
Umur Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke. Usia
berpengaruh pada elastisitas pembuluh darah. Makin tua usia,
pembuluh darah makin tidak elastis. Apabila pembuluh darah
kehilangan elastisitasnya, akan lebih mudah mengalami
aterosklerosis.

Seks Pria lebih berisiko terkena stroke dari pada wanita


Keturunan, Stroke juga terkait dengan keturunan. Faktor genetik yang sangat
riwayat stroke berperan antara lain adalah tekanan darah tinggi, penyakit
dalam jantung, diabetes dan cacat pada bentuk pembuluh darah, gaya
keluarga dan pola hidup keluarga dapat mendukung risiko stroke. Cacat
pada bentuk pembuluh darah mungkin merupakan faktor genetik
yang paling berpengaruh dibandingkan faktor risiko stroke lainnya.

Faktor resiko stroke yang dapat dimodifikasi adalah:


Faktor Risiko Keterangan
Hipertensi Hipertensi merupakan faktor risiko utama yang
menyebabkan pengerasan dan penyumbatan arteri. Insidensi
stroke bertambah dengan meningkatnya tekanan darah dan
berkurang bila tekanan darah dapat dipertahankan di bawah
140/90 mmHg, baik pada stroke iskemik, perdarahan
intrakranial maupun perdarahan subarachnoid.

Diabetes mellitus Diabetes meningkatkan risiko stroke trombo emboli


sekitar dua kali lipat hingga tiga kali lipat berbanding orang-
orang tanpa diabetes. Diabetes dapat mempengaruhi individu
untuk mendapat iskemia serebral melalui percepatan
aterosklerosis pembuluh darah yang besar, seperti arteri
koronari, arteri karotid atau dengan efek lokal pada
mikrosirkulasi serebral.
Penyakit jantung Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun memiliki
lebih dari dua kali lipat risiko stroke dibandingkan dengan
mereka yang fungsi jantungnya normal.
Penyakit Arteri koroner → Indikator kuat kedua dari
keberadaan penyakit difusvaskular aterosklerotik dan potensi
sumber emboli dari thrombi mural karena Miocardiofarction.
Gagal Jantung kongestif, penyakit jantung hipertensi →
Berhubungan dengan meningkatnya kejadian stroke
Fibrilasi atrial → Sangat terkait dengan stroke emboli dan
fibrilasi atrial karena penyakit jantung rematik; meningkatkan
risiko stroke sebesar 17 kali.
Merokok Tingkat risiko berhubungan dengan jumlah batang rokok
yang dihisap. Penghentian merokok mengurangi risiko.
Peningkatan Peningkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika
hematokrit hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas darah
keseluruhan adalah dari isi sel darah merah, plasma protein
terutamanya fibrinogen memainkan peranan penting. Ketika
viskositas meningkat hasil dari polisitemia,
hyperfibrinogenemia, atau paraproteinemia, biasanya
menyebabkan gejala umum, seperti sakit kepala, kelesuan,
tinnitus, dan penglihatan kabur. Infark otak fokal dan oklusi
vena retina jauh kurang umum, dan dapat mengikuti disfungsi
trombosit akibat trombositosis. Perdarahan Intraserebral dan
subarachnoid kadang-kadang dapat terjadi.
Peningkatan Tingkat fibrinogen tinggi merupakan faktor risiko untuk stroke
tingkat fibrinogen trombotik. Kelainan sistem pembekuan darah juga telah
dan kelainan dicatat, seperti antitrombin III dan kekurangan protein C serta
sistem pembekuan protein S dan berhubungan dengan vena thrombotic.
Hiperlipidemia Ada hubungan positif antara meningkatnya kadar lipid
plasma dan lipoprotein dengan aterosklerosis
serebrovaskular; ada hubungan positif antara kadar
kolesterol total dan trigliserida dengan risiko stroke; dan ada
hubungan negatif antara menigkatnya HDL dengan risiko
stroke.

Lifestyle Konsumsi alkohol → Ada peningkatan risiko infark otak,


dan perdarahan subarakhnoid dikaitkan dengan
penyalahgunaan alkohol pada orang dewasa muda.
Mekanisme dimana etanol dapat menghasilkan stroke
termasuk efek pada tekanan darah, platelet, osmolalitas
plasma, hematokrit, dan sel-sel darah merah. Selain itu,
alkohol bisa menyebabkan miokardiopati, aritmia, dan
perubahan di aliran darah otak dan autoregulasi.
Kegemukan/obesitas → Obesitas telah secara konsisten
meramalkan stroke. Asosiasi dengan stroke dapat dijelaskan
sebagian oleh adanya hipertensi dan diabetes.
Stres Jika depresi berkombinasi dengan faktor risiko lain (misalnya,
aterosklerosis berat, penyakit jantung atau hipertensi) dapat
memicu terjadinya stroke. Depresi meningkatkan risiko
terkena stroke sebesar 2 kali.

4. PATOFISIOLOGI
(Terlampir)

5. MANIFESTASI KLINIS
Berikut adalah gejala penyakit stroke :
 Rasa lemas secara tiba-tiba pada wajah, lengan, atau kaki, seringkali
terjadi pada salah satu sisi tubuh.
 Mati rasa pada wajah, lengan atau kaki, terutama pada satu sisi tubuh.
 Kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan.
 Kesulitan melihat dengan satu mata atau kedua mata.
 Kesulitan berjalan, pusing, hilang keseimbangan.
 Sakit kepala parah tanpa penyebab jelas, dan hilang kesadaran atau
pingsan.
(Kemenkes RI, 2014)

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Radiologis
 Angiografi serebri : Membantu menentukan penyebab dari stroke
secara spesifik seperti perdarahan arteriovena atau adanya rupture dan
untuk mencari sumber perdarahan.
 CT scan : Memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
hematoma, adanya jaringan otak yang infark/iskemia, serta posisinya
secara pasti.
 MRI (Magnetic Imaging Resonance) : Menentukan posisi serta besar/luas
terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area
yang mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.

2. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan kimia darah
Pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. gula darah dapat mencapai
250 mg/dL dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.
 Pemeriksaan darah lengkap
Mencari kelainan pada darah. Untuk mengetahui adanya anemia,
trombositopenia dan leukositosis yang dapat menjadi faktor risiko stroke
hemoragik
 Pemeriksaan analisa gas darah
Untuk mengetahui gas darah yang disuplai ke jaringan otak sebagai
sumber untuk metabolisme.
 Pemeriksaan faal hemostatis
Untuk mengetahui adanya risiko perdarahan sebagai komplikasi dan
pencetus stroke hemoragik
(Muttaqin, 2008)

3. Pemeriksaan Fisik Neurologis


Persiapan Alat Pemeriksaan Fisik Neurologis
1. Refleks hammer
2. Garputala
3. Kapas dan lidi
4. Penlight atau senter kecil
5. Opthalmoskop
6. Jarum steril
7. Spatel tongue
8. 2 tabung berisi air hangat dan air dingin
9. Objek yang dapat disentuh seperti peniti atau uang receh
10. Bahan-bahan beraroma tajam seperti kopi, vanilla atau parfum
11. Bahan-bahan yang berasa asin, manis atau asam seperti garam,
gula, atau cuka
12. Baju periksa
13. Sarung tangan

A. Pemeriksaan Saraf Kranial


1. Fungsi saraf kranial I (N. Olfaktorius)
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup
bersih. Lakukan pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang
hidung klien dan dekatkan bau-bauan seperti kopi dengan mata
tertutup klien diminta menebak bau tersebut. Lakukan untuk
lubang hidung yang satunya.
2. Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
a. Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum
pemeriksaan. Periksa ketajaman dengan membaca,
perhatikan jarak baca atau menggunakan snellenchart untuk
jarak jauh.
b. Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa
60-100 cm, minta untuk menutup sebelah mata dan
pemeriksa juga menutup sebelah mata dengan mata yang
berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda yang berasal
dari arah luar klien dank lien diminta , mengucapkan ya bila
pertama melihat benda tersebut. Ulangi pemeriksaan yang
sama dengan mata yang sebelahnya. Ukur berapa derajat
kemampuan klien saat pertama kali melihat objek. Gunakan
opthalmoskop untuk melihat fundus dan optic disk (warna dan
bentuk)
3. Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan
Abdusen)
a. Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi
konjungtiva, dan ptosis kelopak mata
b. Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil,
dan adanya perdarahan pupil
c. Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang
(enam posisi cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial
atas, medial bawah lateral bawah. Minta klien mengikuti arah
telunjuk pemeriksa dengan bolamatanya
4. Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)
a. Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah
daerah maxilla, mandibula dan frontal dengan mengguanakan
kapas. Minta klien mengucapkan ya bila merasakan sentuhan,
lakukan kanan dan kiri.
b. Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung
jarum atau peniti di ketiga area wajah tadi dan minta
membedakan benda tajam dan tumpul.
c. Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat
dilakukan diketiga area wajah tersebut. Minta klien
menyebabkanutkan area mana yang merasakan sentuhan.
Jangan lupa mata klien ditutup sebelum pemeriksaan.
d. Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan
menggunakan garputala yang digetarkan dan disentuhkan ke
ketiga daerah wajah tadi dan minta klien mengatakan getaran
tersebut terasa atau tidak
e. Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien
melihat lurus ke depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari
samping kea rah mata dan lihat refleks menutup mata.
f. Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan
merapatkan gigi periksa otot maseter dan temporalis kiri dan
kanan periksa kekuatan ototnya, minta klien melakukan
gerakan mengunyah dan lihat kesimetrisan gerakan
mandibula.
5. Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)
a. Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam
dan sentuhkan ke ujung lidah, minta klien mengidentifikasi
rasa ulangi untuk gula dan asam
b. Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul,
mengangkat kedua alis berbarengan, menggembungkan pipi.
Lihat kesimetrisan kanan dan kiri. Periksa kekuatan otot
bagian atas dan bawah, minta klien memejampan mata kuat-
kuat dan coba untuk membukanya, minta pula klien utnuk
menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari.
6. Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)
a. cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran
mengguanakan weber test dan rhinne test
b. Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta
klien berdiri tegak, kedua kaki rapat, kedua lengan disisi
tubuh, lalu observasi adanya ayunan tubuh, minta klien
menutup mata tanpa mengubah posisi, lihat apakah klien
dapat mempertahankan posisi
7. Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)
a. Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum,
normal bila uvula terletak di tengan dan palatum sedikit
terangkat.
b. Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding
belakang faring menggunakan aplikator dan observasi
gerakan faring.
c. Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien
menel;an air sedikit, observasi gerakan meelan dan kesulitan
menelan. Periksa getaran pita suara saat klien berbicara.

8. Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)


a. Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan
kedua bahu secara bersamaan dan observasi kesimetrisan
gerakan.
b. Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta
klien menoleh ke kanan dan ke kiri, minta klien mendekatkan
telinga ke bahu kanan dan kiri bergantian tanpa mengangkat
bahu lalu observasi rentang pergerakan sendi
c. Periksa kekuatan otot trapezius dengan menahan kedua bahu
klien dengan kedua telapak tangan danminta klien mendorong
telapak tangan pemeriksa sekuat-kuatnya ke atas, perhatikan
kekuatan daya dorong.
d. Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan
meminta klien untuk menoleh kesatu sisi melawan tahanan
telapak tangan pemeriksa, perhatikan kekuatan daya dorong
9. Fungsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
a. Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah ke kiri dan ke
kanan, observasi kesimetrisan gerakan lidah
b. Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong
salah satu pipi dengan ujung lidah, dorong bagian luar pipi
dengan ujung lidah, dorong kedua pipi dengan kedua jari,
observasi kekuatan lidah, ulangi pemeriksaan sisi yang lain

B. Pemeriksaan Fungsi Motorik


Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di
corteks cerebri, impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di
batang traktus pyramidal medulla spinalis dan bersinaps dengan
lower motor neuron.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan
pemeriksaan kekuatan.
1. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi
2. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota
gerak pada berbagai persendian secara pasif. Bila tangan /
tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan berulang dapat
dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan
pergerakan pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot.
a. Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi.
Keadaan otot disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak
dapat berubah, melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan
pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana
kekuatan otot tidak tetap tapi bergelombang dalam
melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien.
b. Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test
untuk menguji tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi
lutut dan sendi pergelangan tangan.
c. Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan
halus.
3. Kekuatan otot :
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien
secara aktif menahan tenaga yang ditemukan oleh pemeriksa.
Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan diraba. Gunakan
penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovett’s (memiliki
nilai 0 – 5)
0 = tidak ada kontraksi sama sekali.
1 = gerakan kontraksi.
2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau
melawan tahanan atau gravitasi.
3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 = kekuatan kontraksi yang penuh.

C. Pemeriksaan Fungsi Sensorik


Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit
diantara pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat
subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan paling akhir dan
perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang
menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan karena pasien
belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan baik).
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi respon klien
terhadap beberapa stimulus. Pemeriksaan harus selalu menanyakan
kepada klien jenis stimulus.
Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan
sebagai perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa
terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau perasaan-
perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik
(kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan
sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik. Bahan
yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:
1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum
pada perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2. Kapas untuk rasa raba.
3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4. Garpu tala, untuk rasa getar.
5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti
:
a. Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
b. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan
sebagainya), untuk pemeriksaan stereognosis
c. Pen / pensil, untuk graphesthesia.

D. Pemeriksaan Fungsi Refleks


Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon
menggunakan refleks hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan (+)
2 = normal (++)
3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)
4 = hyperaktif, dengan klonus (++++)
Refleks-refleks yang diperiksa adalah :
1. Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi
kurang lebih 300. Tendon patella (di tengah-tengah patella dan
tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa
kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari lutut.
2. Refleks Biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan
lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari
pemeriksa ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan
siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila
terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka
akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari
atau sendi bahu.
3. Refleks Triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps
diketok dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak
1-2 cm diatas olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit
meningkat bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku
tersebut menyebabkanar keatas sampai otot-otot bahu atau
mungkin ada klonus yang sementara.
4. Refleks Achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan
refleks ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan/disilangkan di atas
tungkai bawah kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal
berupa gerakan plantar fleksi kaki.
5. Refleks Abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen di atas dan di bawah
umbilikus. Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak
keatas dan kearah daerah yang digores.
6. Refleks Babinski
Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada
penyakit traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah
kuat-kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari
kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon
Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari
lainnya tersebar. Respon yang normal adalah fleksi plantar semua
jari kaki.

Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui


rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan
pemeriksaan :
1. Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu
tidak dapat menempel pada dada, kaku kuduk positif (+).
2. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala
klien dan tangan lain didada klien untuk
mencegah badan tidak terangkat. Kemudian
kepala klien difleksikan kedada secara pasif.
Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah
akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.
3. Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi
panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada
sendi panggul dan lutut.
4. Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba
meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut.
Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut
1350 terhadap tungkai atas.
Kernig (+) bila ekstensi lutut pasif akan
menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.
5. Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan
nyeri sepanjang m. ischiadicus.
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
 STADIUM HIPERAKUT
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan
merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar
kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi
oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan
dekstrosa atau salin dalam H2O.
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks,
darah lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa
darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas
darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan
dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada
keluarganya agar tetap tenang.

 STADIUM AKUT
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik maupun
penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis
serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan
edukasi kepada keluarga pasien, menyangkut dampak stroke terhadap
pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang dapat dilakukan
keluarga.
Stroke Iskemik
Terapi umum:
a. Letakkan kepala pasien pada posisi 30o, kepala dan dada pada satu
bidang
b. Ubah posisi tidur setiap 2 jam
c. Mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil.
d. Bebaskan jalan napas
e. Beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah.
Jika perlu, dilakukan intubasi.
f. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari
penyebabnya.
g. Jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter
intermiten).
h. Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-
2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung
glukosa atau salin isotonic.
i. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika
didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan
melalui selang nasogastrik.
j. Kadar gula darah >150 mg/dL harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu 150 mg/dL dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari
pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg/dL atau < 80 mg/dL
dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali
normal dan harus dicari penyebabnya.
k. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-
obatan sesuai gejala.
l. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan
sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure
(MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30
menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif
serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan
obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-
beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu
tekanan sistolik ≤90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250
mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama
8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu
tekanan darah sistolik masih 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20
μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.
m. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit,
maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral
(fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan
antikonvulsan peroral jangka panjang.
n. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus
intravena 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai
fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan
0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan
pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan
larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus:
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan
anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant
tissue Plasminogen Activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu
sitikolin atau pirasetam (jika didapatkan afasia).

Stroke Hemoragik
Terapi umum
a. Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma
>30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan
klinis cenderung memburuk.
b. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau
15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP
>130 mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal
jantung, tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10
mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10
menit) maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril
3 kali 6,25-25 mg per oral.
c. Jika didapatkan tanda tekanan intracranial meningkat, posisi kepala
dinaikkan 30o, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol
(lihat penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35
mmHg).
d. Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak
lambung diatasi dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor
pompa proton; komplikasi saluran napas dicegah dengan fisioterapi dan
diobati dengan antibiotik spektrum luas.
Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan
bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien
yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter
>3 cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum,
dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar >60 mL dengan tanda
peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi. Pada
perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium (nimodipin)
atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife)
jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena
(arteriovenous malformation, AVM).

STADIUM SUBAKUT
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi
wicara, dan
bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit yang
panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah
sakit dengan tujuan
kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program
preventif primer dan sekunder.
Terapi fase subakut:
a. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya.
b. Penatalaksanaan komplikasi.
c. Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi
wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi.
d. Prevensi sekunder.
e. Edukasi keluarga dan Discharge Planning.
(Setyopranoto, 2011)

8. KOMPLIKASI
Stroke kadang-kadang dapat menyebabkan cacat sementara atau
permanen, tergantung pada berapa lama otak kekurangan aliran darah dan
bagian mana yang terpengaruh. Komplikasi dapat mencakup :
a. Kelumpuhan atau hilangnya gerakan otot
Penderita mungkin menjadi lumpuh di satu sisi tubuh, atau kehilangan
kontrol otot tertentu, seperti yang di satu sisi wajah atau satu lengan.
Terapi fisik dapat membantu penderita kembali ke aktivitas yang
terhambat oleh kelumpuhan, seperti berjalan, makan dan berpakaian.
b. Kesulitan berbicara atau menelan
Stroke dapat menyebabkan penderita memiliki sedikit kontrol atas kerja
otot mulut dan tenggorokan untuk bergerak, sehingga sulit untuk
berbicara dengan jelas (dysarthria), menelan atau makan (disfagia).
Penderita juga mungkin mengalami kesulitan dengan bahasa (aphasia),
termasuk berbicara, membaca atau menulis. Terapi dengan bicara dan
bahasa patolog dapat membantu.
c. Kehilangan memori atau kesulitan berpikir
Banyak orang yang telah mengalami stroke mengalami beberapa
kehilangan memori. Mungkin memiliki kesulitan dalam berpikir, membuat
penilaian, penalaran dan konsep pemahaman.
d. Masalah emosional
Orang-orang yang telah mengalami stroke mungkin memiliki lebih
banyak kesulitan mengendalikan emosi mereka, atau mungkin depresi
meningkat.
e. Rasa sakit
Orang yang mengalami stroke mungkin memiliki rasa sakit, mati rasa
atau sensasi aneh lainnya di bagian tubuh mereka yang terkena stroke.
Sebagai contoh, jika stroke menyebabkan kehilangan rasa di lengan kiri,
penderita dapat merasa kesemutan di lengan itu.
f. Penderita mungkin juga sensitif terhadap perubahan suhu, terutama
dingin yang ekstrim setelah stroke. Komplikasi ini dikenal sebagai nyeri
stroke yang pusat atau sindrom nyeri sentral. Kondisi ini umumnya
berkembang beberapa minggu setelah stroke, dan mungkin meningkat
dari waktu ke waktu. Tetapi karena rasa sakit yang disebabkan oleh
masalah di otak, daripada luka fisik, ada beberapa perawatan.
g. Perubahan perilaku dan kemampuan perawatan diri
Orang-orang yang telah mengalami stroke mungkin menjadi lebih
menarik diri dan kurang sosial atau lebih impulsif. Mereka mungkin
memerlukan bantuan dengan perawatan dan tugas sehari-hari.
(Mayo Clinic, 2015)

9. ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a. Anamnesis
 Identitas klien
Nama, usia (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan
jam masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnosis medis.
 Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
bantuan kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah
badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan
tingkat kesadaran.
 Riwayat penyakit sekarang
Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai
tidak sadar selain gejala kelumpuhan separuh badan atau
gangguan fungsi otak yang lain.
 Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes
mellitus, penyakit jantung, anemia, riawayat trauma kepala,
kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat antikoagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti
pemakaaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta,
dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan
penggunaan obat kontrasepsi oral.
 Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes
mellitus atau adnya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
 Pengkajian psikososiokultural
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien penting
untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien
mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat ganggguan
bicara. Pola persepsi dan konsep diri yang didapatkan, klien merasa
tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, tidak kooperatif.
Pola penanggulangan stress, klien biasanya mengalami kesulitan
untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan
kesulitan berkomunikasi. Pola tata nilai dan kepercayaan, klien
biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku
yang tidak stabil, kelemahan ataua kelumpuhan pada salah satu sisi
tubuh.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah
keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena
biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak
sedikit.
 Pola-pola fungsi kesehatan
 Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol,
penggunaan obat kontrasepsi oral.
 Pola nutrisi dan metabolisme
Adanya gejala nafsu makan menurun, mual muntah pada fase
akut, kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi,
tenggorokan, disfagia ditandai dengan kesulitan menelan,
obesitas (Doengoes, 2000: 291)
 Pola eliminasi
Gejala menunjukkan adanya perubahan pola berkemih seperti
inkontinensia urine, anuria. Adanya distensi abdomen (distesi
bladder berlebih), bising usus negatif (ilius paralitik), pola defekasi
biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik
usus.(Doengoes, 1998 dan Doengoes, 2000: 290)
 Pola aktivitas dan latihan
Gejala menunjukkan danya kesukaran untuk beraktivitas
karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi,
mudah lelah.
Tanda yang muncul adalah gangguan tonus otot (flaksid,
spastis), paralitik (hemiplegia) dan terjadi kelemahan umum,
gangguan penglihatan, gangguan tingkat kesadaran (Doengoes,
1998, 2000: 290)
 Pola tidur dan istirahat
Biasanya klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena
kejang otot/nyeri otot
 Pola hubungan dan peran
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien
mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan
bicara.
 Pola persepsi dan konsep diri
Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah
marah, tidak kooperatif.
 Pola sensori dan kognitif
Pada pola sensori klien mengalami gangguan penglihatan/
kekaburan pandangan, perabaan/sentuhan menurun pada muka
dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif biasanya terjadi
penurunan memori dan proses berpikir.
 Pola reproduksi seksual
Biasanya terjadi penurunan gairah seksual akibat dari
beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti kejang, anti
hipertensi, antagonis histamin.
 Pola penanggulangan stress
Klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan
masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan
berkomunikasi.
 Integritas ego
Terdapat gejala perasaan tak berdaya, perasaan putus asa
dengan tanda emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah,
sedih dan gembira, kesulian mengekspresikan diri (Doengoes,
2000: 290)
 Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah laku
yang tidak stabil, kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi
tubuh. (Marilynn E. Doenges, 2000)
 Pemeriksaan fisik
 Keadaan umum
 Kesadaran: umumnya mengelami penurunan kesadaran
 Suara bicara: kadang mengalami gangguan yaitu sukar
dimengerti, kadang tidak bisa bicara
 Tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, denyut nadi
bervariasi
 Pemeriksaan integumen
 Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan
jika kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping
itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada
daerah yang menonjol karena klien stroke hemoragik
harus bed rest 2-3 minggu
 Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
 Rambut : umumnya tidak ada kelainan
 Pemeriksaan kepala dan leher
 Kepala : bentuk normocephalik
 Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu
sisi
 Leher : kaku kuduk jarang terjadi (Satyanegara, 1998)
 Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar
ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan
tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan menelan, adanya
hambatan jalan nafas. Merokok merupakan faktor resiko.
 Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang
lama, dan kadang terdapat kembung.
 Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine
 Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
 Pemeriksaan neurologi
Pengkajian saraf kranial
a. Saraf I (N. Olfaktorius). Biasanya pada klien stroke tidak ada
kelainan pada fungsi penciuman.
b. Saraf II (N. Optikus). Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensorik primer diantara mata dan korteks
visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan
hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak
dapat memakai pakaian ke bagian tubuh.
c. Saraf III, IV, dan VI (N. Okulomotoris, Troklear dan
Abdusen). Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis
sesisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan
gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
d. Saraf V (N. Trigeminus). Pada beberapa keadaan stroke
menyebabkan paralisis saraf trigenimus, didapatkan
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah.
Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral dan
kelumpuhan sesisi otot-otot pterigoideus internus
daneksternus.
e. Saraf VII (N. Fasialis). Persepsi pengecapan dalam batas
normal, wajah asimetris, otot wajah tertarik kebagian sisi yang
sehat.
f. Saraf VIII (N. Vestibulokoklear). Tidak ditemukan adanya tuli
konduktif dan tuli persepsi.
g. Saraf IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus). kemampuan
menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
h. Saraf XI (N. Asesoris). Tidak ada atrofi
sternokleidomastoideus dan trapezius.
i. Saraf XII (N. Hipoglosus). Lidah simetris, terdapat devisiasi
pada satu sisi dan fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Catatan:
Pemeriksaan nervus cranialis: Umumnya terdapat
gangguan nervus cranialis VII dan XII central. Penglihatan
menurun, diplopia, gangguan rasa pengecapan dan
penciuman, paralisis atau parese wajah.
 Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan/
kelemahan pada salah satu sisi tubuh, kelemahan,
kesemutan, kebas, genggaman tidak sama, refleks tendon
melemah secara kontralateral, apraksia
 Pemeriksaan sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi, hilangnya
rangsang sensorik kontralteral.
 Pemeriksaan refleks
 Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan
muncul kembali didahuli dengan refleks patologis.
 Sinkop/pusing, sakitkepala, gangguan status mental/tingkat
kesadaran, gangguan fungsi kognitif seperti penurunan
memori, pemecahan masalah, afasia, kekakuan nukhal,
kejang, dll (Jusuf Misbach, 1999, Doengoes, 2000: 291)
 Pemeriksaan penunjang
(a) Pemeriksaan radiologi
(b) Pemeriksaan laboratorium

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan Perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran
darah ke otak terhambat
b. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan
sirkulasi ke otak
c. Defisit perawatan diri: makan, mandi, berpakaian, toileting
berhubungan kerusakan neurovaskuler
d. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler
e. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi
fisik
f. Resiko Aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran
g. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan kesadaranPola nafas
tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


Ketidakefektifan Perfusi Setelah dilakukan tindakan Monitorang neurologis
jaringan serebral b.d aliran keperawatan diharapkan suplai aliran 1. Monitor ukuran, kesimetrisan, reaksi dan bentuk pupil
darah ke otak terhambat. darah keotak lancar dengan kriteria 2. Monitor tingkat kesadaran klien
hasil: 3. Monitir tanda-tanda vital
 Nyeri kepala / vertigo 4. Monitor keluhan nyeri kepala, mual, muntah
berkurang sampai de-ngan 5. Monitor respon klien terhadap pengobatan
hilang 6. Hindari aktivitas jika TIK meningkat
 Berfungsinya saraf dengan 7. Observasi kondisi fisik klien
baik Terapi oksigen
 Tanda-tanda vital stabil 1. Bersihkan jalan nafas dari sekret
2. Pertahankan jalan nafas tetap efektif
3. Berikan oksigen sesuai intruksi
4. Monitor aliran oksigen, kanul oksigen dan sistem
humidifier
5. Beri penjelasan kepada klien tentang pentingnya
pemberian oksigen
6. Observasi tanda-tanda hipo-ventilasi
7. Monitor respon klien terhadap pemberian oksigen
8. Anjurkan klien untuk tetap memakai oksigen selama
aktifitas dan tidur
Kerusakan komunikasi verbal Setelah dilakukan tindakan 1 Libatkan keluarga untuk membantu memahami /
b.d penurunan sirkulasi ke keperawatan, diharapkan klien memahamkan informasi dari / ke klien
otak mampu untuk berkomunikasi lagi 2 Dengarkan setiap ucapan klien dengan penuh
dengan kriteria hasil: perhatian
 Dapat menjawab pertanyaan 3 Gunakan kata-kata sederhana dan pendek dalam
yang diajukan perawat komunikasi dengan klien
 dapat mengerti dan 4 Dorong klien untuk mengulang kata-kata
memahami pesan-pesan 5 Berikan arahan / perintah yang sederhana setiap
melalui gambar interaksi dengan klien
 dapat mengekspresikan 6 Programkan speech-language teraphy
perasaannya secara verbal 7 Lakukan speech-language teraphy setiap interaksi
maupun nonverbal dengan klien
Defisit perawatan diri; Setelah dilakukan tindakan 1 Kaji kamampuan klien untuk perawatan diri
mandi,berpakaian, makan, keperawatan, diharapkan kebutuhan 2 Pantau kebutuhan klien untuk alat-alat bantu dalam
mandiri klien terpenuhi, dengan makan, mandi, berpakaian dan toileting
kriteria hasil: 3 Berikan bantuan pada klien hingga klien sepenuhnya
 Klien dapat makan dengan bisa mandiri
bantuan orang lain / mandiri 4 Berikan dukungan pada klien untuk menunjukkan
 Klien dapat mandi de-ngan aktivitas normal sesuai kemampuannya
bantuan orang lain 5 Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan
 Klien dapat memakai pakaian perawatan diri klien
dengan bantuan orang lain /
mandiri
Kerusakan mobilitas fisik b.d Setelah dilakukan tindakan 1 Ajarkan klien untuk latihan rentang gerak aktif pada sisi
kerusakan neurovas-kuler keperawatan selama, diharapkan ekstrimitas yang sehat
klien dapat melakukan pergerakan 2 Ajarkan rentang gerak pasif pada sisi ekstrimitas yang
fisik dengan kriteria hasil : parese / plegi dalam toleransi nyeri
 Tidak terjadi kontraktur otot 3 Topang ekstrimitas dengan bantal untuk mencegah
dan footdrop atau mangurangi bengkak
 Pasien berpartisipasi dalam 4 Ajarkan ambulasi sesuai dengan tahapan dan
program latihan kemampuan klien
 Pasien mencapai 5 Motivasi klien untuk melakukan latihan sendi seperti
keseimbangan saat duduk yang disarankan
 Pasien mampu menggunakan 6 Libatkan keluarga untuk membantu klien latihan sendi
sisi tubuh yang tidak sakit
untuk kompensasi hilangnya
fungsi pada sisi yang
parese/plegi
Resiko Aspirasi berhubungan Setelah dilakukan tindakan Aspiration Control Management :
dengan penurunan tingkat perawatan, diharapkan tidak terjadi  Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk
kesadaran aspirasi pada pasien dengan kriteria dankemampuan menelan
hasil :  Pelihara jalan nafas
 Dapat bernafas dengan  Lakukan saction bila diperlukan
mudah,frekuensi pernafasan  Haluskan makanan yang akan diberikan
normal  Haluskan obat sebelum pemberian
 Mampu menelan,mengunyah
tanpa terjadi aspirasi
Resiko Injuri berhubungan Setelah dilakukan tindakan Risk Control Injury
dengan penurunan tingkat perawatan, diharapkan tidak terjadi  menyediakan lingkungan yang aman bagi pasien
kesadaran trauma pada pasien dengan kriteria  memberikan informasi mengenai cara mencegah
hasil: cedera
 bebas dari cedera  memberikan penerangan yang cukup
 mampu menjelaskan factor  menganjurkan keluarga untuk selalu menemani pasien
resiko dari lingkungan dan
cara untuk mencegah cedera
 menggunakan fasilitas
kesehatan yang ada
Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Respiratori Status Management
berhubungan dengan perawatan, diharapkan pola nafas  Pertahankan jalan nafas yang paten
penurunan kesadaran pasien efektif dengan kriteria hasil:  Observasi tanda-tanda hipoventilasi
 Menujukkan jalan nafas paten  Berikan terapi O2
( tidak merasa tercekik, irama  Dengarkan adanya kelainan suara tambahan
nafas normal, frekuensi nafas  Monitor vital sign
normal,tidak ada suara nafas
tambahan
 Tanda-tanda vital dalam batas
normal
DAFTAR PUSTAKA

Christensen & Kockrow. 2011. Adult Health Nursing. Ed. 6. Missouri : Mosby
Elsevier.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Dewanto, dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. 2013. Pedoman Pengendalian Stroke. Direktorat Pengendalian
Penyakit Tidak Menular.
Kemenkes RI. 2014. Situasi Kesehatan Jantung. Pusat Data dan Informasi.
Lewis, dkk. 2013. Medical-Surgical Nursing :Assesment and Management of
Clinical Problems. Ed. 9. Missouri : Mosby Elsevier.
Mayo Clinic. 2015. Stroke. http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/stroke/symptoms-causes/dxc-20117265. Diakses tanggal 14
November 2015 pukul 20.16 WIB.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Pinzon, Rizaldy & L. Asanti. 2010. AWAS STROKE! Pengertian, Gejala,
Tindakan, Perawatan dan Pencegahan. Yogyakarta: Andi.
Sacco, dkk. 1997. Stroke : Risk Factors.
http://stroke.ahajournals.org/content/28/7/1507.full. Diakses tanggal 13
maret 2016 pukul 12.50 WIB..
Setyopranoto, Ismail. 2011. Stroke : Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185, 38
(4) : 247 – 250.
Shah, Sid. 2000. Stroke Pathophysiology.
https://www.uic.edu/com/ferne/pdf/pathophys0501.pdf. Diakses tanggal 13
maret 2016 pukul 12.29 WIB.
Smeltzer, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Edisi 8 Vol 2. alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester,
Yasmin asih. Jakarta: EGC
Lampiran : Patofisiologi CVA Trombosis

Anda mungkin juga menyukai