KONSEP STROKE
1. Pengertian
Stroke/Gangguan Pembuluh Darah Otak (GPDO)/Cerebro Vascular Disease
(CVD)/Cerebro Vascular Accident (CVA) merupakan suatu kondisi kehilangan
fungsi otak secara mendadak yang diakibatkan oleh gangguan suplai darah ke
bagian otak atau merupakan suatu kelainan otak baik secara fungsional maupun
struktural yang disebabkan oleh keadaan patologis pembuluh darah serebral atau
dari seluruh sistem pembuluh darah otak .
Stroke atau cedera serebrovaskular (CVA) adalah kehilangan fungsi otak
yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak. Yang biasanya
diakibatkan oleh trombosis, embolisme, iskemia dan hemoragi (Smeltzer, 2011).
2. Klasifikasi
Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas patologi
anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah).
Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:
a. Stroke iskemik
Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan
aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. Hampir 85%
disebabkan oleh sumbatan karena bekuan darah, penyempitan sebuah
arteri atau beberapa arteri yang mengarah ke otak dan karena embolus
(kotoran) yang terlepas dari jantung atau arteri ekstrakranii (arteri yang
berada di luar tengkorak) yang menyebabkan sumbatan di satu atau
beberapa arteri intrakranii (arteri yang ada di dalam tengkorak). Stroke
iskemik dibagi menjadi :
a) Transient Ischemic Attack (TIA)
Gangguan neurologis setempat yang terjadi selama beberapa menit
sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan
spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
b) Trombosis serebri
Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya
penyumbatan lumen pembuluh darah otak karena trombus yang makin
lama makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar.
Penurunan aliran darah ini menyebabkan iskemia.Trombosis serebri
adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau
lebih pembuluh darah local
c) Emboli serebri
Infark iskemik dapat diakibatkan oleh emboli yang timbul dari lesi
ateromatus yang terletak pada pembuluh yang lebih distal. Gumpalan-
gumpalan kecil dapat terlepas dari trombus yang lebih besar dan
dibawa ke tempat-tempat lain dalam aliran darah. Bila embolus
mencapai arteri yang terlalu sempit untuk dilewati dan menjadi
tersumbat, aliran darah fragmen distal akan terhenti, mengakibatkan
infark jaringan otak distal karena kurangnya nutrisi dan oksigen. Emboli
merupakan 32% dari penyebab stroke non hemoragik.
Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau
lapisan lemak yang lepas, sehingga terjadi penyumbatan pembuluh
darah yang mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri oksigen dan
nutrisi ke otak. Emboli ekstrakranial dapat disebabkan juga oleh :
a) Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat
berasal dari “plaque athersclerotique” yang berulserasi atau dari
trombus yang melekat pada intima arteri akibat trauma tumpul pada
daerah leher.
b) Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan bagian
kanan dan bagian kiri atrium atau ventrikel.
Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang
meninggalkan gangguan pada katup mitralis.
Fibrilasi atrium
Infarksio kordis akut
Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial,
jantung miksomatosus sistemik
c) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai
Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis
Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru
Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti
penyakit “caisson”).
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial,
ataupun dari right-sided circulation (emboli paradoksikal).
Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah trombi valvular
seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan), trombi
mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal
jantung kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3 persen
stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard dan 85 persen di
antaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya infark
miokard.
b. Stroke hemoragik
Stroke hemoragi adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah otak. Hampir 70 persen kasus stroke hemoragi terjadi
pada penderitahipertensi .Stroke hemoragi disebabkan oleh
perdarahan ke dalam jaringan otak atau ke dalam ruang subaraknoid,
yaitu ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang
menutupi otak. Ini adalah jenis stroke yang paling mematikan. Stroke
hemoragik dibagi menjadi :
Perdarahan intraserebral
Perdarahan subarakhnoid
Berdasarkan stadium:
a. Transient Ischemic Attack (TIA) yaitu serangan stroke sementara yang
berlangsung kurang dari 24 jam.
b. Reversible Ischemic Neurologic Defisit (RNID) yaitu gejala neurologis
akan menghilang antara >24 jam sampai dengan 21 hari.
c. Stroke in evolution yaitu kelainan atau defisit neurologik berlangsung
secara bertahap dari yang ringan sampai menjadi berat.
d. Completed stroke yaitu kelainan neurologis sudah menetap dan tidak
berkembang lagi
Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah):
1. Tipe karotis
2. Tipe vertebrobasiler
3. Etiologi
a. Trombosis (bekuan darah didalam pembuluh darah otak dan leher).
Aterosklerosis serebral dan pelambatan sirkulasi serebral adalah
penyebab utama, trombosis serebral merupakan penyebab yang umum
pada serangan stroke.
b. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke
otak dari bagian tubuh yang lain). Abnormalitas patologik pada jantung
kiri, seperti endokarditis, infeksi, penyakit jantung rematik dan infark
miokard serta infeksi pulmonal adalah tempat-tempat asal emboli.
Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-
cabang yang merusak sirkulasi serebral.
c. Iskemia (penurunan aliran darah ke area otak). Iskemia serebral
(insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena konstriksi ateroma
pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
d. Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan
perdarahan kedalam jaringan otak atau ruang sekitar otak). Hemoragi
dapat terjadi diluar durameter (hemoragi ekstradural dan epidural),
dibawah durameter (hemoragi subdural), diruang subarakhnoid
(hemoragi subarakhnoid) atau didalam subtansi otak (hemoragi
intraserebral) (Smeltzer, 2011).
4. Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan
kemungkinannya untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable, modifiable, atau
potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented atau less well
documented) (Goldstein,2006).
a. Faktor resiko tidak dapat dimodifikasi:
Usia
Jenis kelamin
Berat badan lahir rendah
Ras/etnis
genetik
b. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi:
Hipertensi
Paparan asap rokok
Diabetes
Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi jantung tertentu
Dislipidemia
Stenosis arteri karotis
Sickle cell disease
Terapi hormonal pasca menopause
Diet yang buruk
Inaktivitas fisik
Obesitas
Sindroma metabolik
Penyalahgunaan alkohol
Penggunaan kontrasepsi oral
Sleep-disordered breathing
Nyeri kepala migren
Hiperhomosisteinemia
Peningkatan lipoprotein
Peningkatan lipoprotein-associated phospholipase
Hypercoagulability
Inflamasi
Infeksi
5. Manifestasi Klinis
Menurut Hudak dan Gallo dalam bukunya Keperawatan Kritis: Pendekatan
Holistik (1996: 258-260), terdapat manifestasi akibat stroke, yaitu:
a. Defisit Motorik
Hemiparese, hemiplegia
Distria (kerusakan otot-otot bicara)
Disfagia (kerusakn otot-otot menelan)
b. Defisit Sensori
Defisit visual (umum karena jaras visual terpotong sebagian besar pada
hemisfer serebri)
̵Hemianopsia homonimosa (kehilangan pandangan pada setengah bidang
pandang pada sisi yang sama)
̵Diplopia (penglihatan ganda)
̵Penurunan ketajaman penglihatan
Tidak memberikan atau hilangnya respon terhadap sensasi superfisial
(sentuhan, nyeri, tekanan, panas dan dingin)
Tidak memberikan atau hilangnya respon terhadap proprioresepsi
(pengetahuan tentang posisi bagian tubuh)
c. Defisit Perseptual (Gangguan dalam merasakan dengan tepat dan
menginterpretasi diri dan/atau lingkungan)
Gangguan skem/maksud tubuh (amnesia atau menyangkal terhadap
ekstremitas yang mengalami paralise; kelainan unilateral)
Disorientasi (waktu, tempat, orang)
Apraksia (kehilangan kemampuan untuk menggunakan obyek-obyek dengan
tepat)
Agnosia (ketidakmampuan untuk mengidentifikasi lingkungan melalui indera)
Kelainan dalam menemukan letak obyek dalam ruang, memperkirakan
ukurannya dan menilai jauhnya
Kerusakan memori untuk mengingat letak spasial obyek atau tempat
Disorientasi kanan kiri
d. Defisit Bahasa/Komunikasi
Afasia ekspresif (kesulitan dalam mengubah suara menjadi pola-pola bicara
yang dapat difahami) - dapat berbicara dengan menggunakan respons satu
kata
Afasia reseptif (kerusakan kelengkapan kata yang diucapkan - mampu untuk
berbicara, tetapi menggunakan kata-kata dengan tidak tepat dan tidak sadar
tentang kesalahan ini)
Afasia global (kombinasi afasia ekspresif dan reseptif) – tidak mampu
berkomunikasi pada setiap tingkat
Aleksia (ketidakmampuan untuk mengerti kata yang dituliskan)
Agrafasia (ketidakmampuan untuk mengekspresikan ide-ide dalam tulisan)
e. Defisit Intelektual
Kehilangan memori
Rentang perhatian singkat
Peningkatan distraktibilitas (mudah buyar)
Penilaian buruk
Ketidakmampuan untuk mentransfer pembelajaran dari satu situasi ke situasi
yang lain
Ketidakmampuan untuk menghitung, memberi alasan atau berpikir secara
abstrak
f. Disfungsi Aktivitas Mental dan Psikologis
Labilitas emosional (menunjukkan reaksi dengan mudah atau tidak tepat)
Kehilangan kontrol diri dan hambatan sosial
Penurunan toleransi terhadap stres
Ketakutan, permusuhan, frustasi, marah
Kekacauan mental dan keputusasaan
Menarik diri, isolasi
Depresi
g. Gangguan Eliminasi (Kandung kemih dan usus)
Lesi unilateral karena stroke mengakibatkans sensasi dan kontrol partial
kandung kemin, sehingga klien sering mengalami berkemih, dorongan dan
inkontinensia urine.
Jika lesi stroke ada pada batang otak, maka akan terjadi kerusakan lateral
yang mengakibatkan neuron motorik bagian atas kandung kemih dengan
kehilangan semua kontrol miksi
Kemungkinan untuk memulihkan fungsi normal kandung kemih sangat baik
Kerusakan fungsi usus akibat dari penurunan tingkat kesadaran, dehidrasi
dan imobilitas
Konstipasi dann pengerasan feses
h. Gangguan Kesadaran
Berikut adalah tabel perbedaan antara CVA infark dan CVA Bleeding :
Gejala (anamnesa) Infark Perdarahan
Permulaan (awitan) Sub akut/kurang mendadak Sangat akut/mendadak
Waktu (saat Bangun pagi/istirahat Sedang aktifitas
“serangan”) + 50% TIA -
Peringatan +/- +++
Nyeri Kepala - +
Kejang - +
Muntah Kadang sedikit +++
Kesadaran menurun
Koma/kesadaran +/- +++
menurun - ++
Kaku kuduk - +
Kernig - +
pupil edema - +
Perdarahan Retina hari ke-4 sejak awal
Bradikardia Tanda adanya aterosklerosis Hampir selalu hypertensi,
Penyakit lain di retina, koroner, perifer. aterosklerosis, HHD
Emboli pada ke-lainan katub,
fibrilasi, bising karotis
- +
Pemeriksaan: + Kemungkinan pergeseran
Darah pada LP glandula pineal
X foto Skedel
Oklusi, stenosis Aneurisma. AVM. massa
Angiografi intra hemisfer/ vaso-
spasme.
Densitas berkurang Massa intrakranial
CT Scan (lesi hypodensi) densitas bertambah.
(lesi hyperdensi)
Crossing phenomena Perdarahan retina atau
Opthalmoscope Silver wire art corpus vitreum
EEG
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Anamnesis
Proses anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah
badan, mulut mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi
dengan baik. Keadaan ini timbul sangat mendadak, dapat sewaktu bangun
tidur, sedang bekerja, ataupun sewaktu istirahat.
b. Pemeriksaan fisik
Penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital seperti tekanan
darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga tingkat kesadaran
penderita.Jika kesadaran menurun, tentukan skor dengan skala koma
glasglow agar pemantauan selanjutnya lebih mudah, tetapi seandainya
penderita sadar tentukan berat kerusakan neurologis yang terjadi, disertai
pemeriksaan saraf – saraf otak dan motorik apakah fungsi komunikasi masih
baik atau adakah disfasia. Jika kesadaran menurun dan nilai skala koma
glasglow telah ditentukan, setelah itu lakukan pemeriksaan refleks – refleks
batang otak yaitu :
Reaksi pupil terhadap cahaya.
Refleks kornea.
Refleks okulosefalik.
Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernafasan Cheyne Stoke,
hiperventilasi neurogen, kluster, apneustik dan ataksik.Setelah itu tentukan
kelumpuhan yang terjadi pada saraf – saraf otak dan anggota
gerak.Kegawatan kehidupan sangat erat hubungannya dengan kesadaran
menurun, karena makin dalam penurunan kesadaran, makin kurang baik
prognosis neurologis maupun kehidupan.Kemungkinan perdarahan intra
serebral dapat luas sekali jika terjadi perdarahan – perdarahan retina atau
preretina pada pemeriksaan funduskopi.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan cek laboratorium, pemeriksaan
neurokardiologi, pemeriksaan radiologi, penjelasanya adalah sebagai berikut :
a) Laboratorium.
Pemeriksaan darah rutin.
Pemeriksaan kimia darah lengkap.
Gula darah sewaktu.
Stroke akut terjadi hiperglikemia reaktif.Gula darah dapat mencapai
250 mg dalam serum dan kemudian berangsur – angsur kembali
turun.
Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, enzim
SGOT/SGPT/CPK, dan profil lipid (trigliserid, LDH-HDL kolesterol
serta total lipid).
Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap).
Waktu protrombin.
Kadar fibrinogen.
Viskositas plasma.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi Homosistein.
b) Pemeriksaan neurokardiologi
Sebagian kecil penderita stroke terdapat perubahan
elektrokardiografi.Perubahan ini dapat berarti kemungkinan mendapat
serangan infark jantung, atau pada stroke dapat terjadi perubahan –
perubahan elektrokardiografi sebagai akibat perdarahan otak yang
menyerupai suatu infark miokard. Pemeriksaan khusus atas indikasi
misalnya CK-MB follow up nya akan memastikan diagnosis. Pada
pemeriksaan EKG dan pemeriksaan fisik mengarah kepada kemungkinan
adanya potensial source of cardiac emboli (PSCE) maka pemeriksaan
echocardiografi terutama transesofagial echocardiografi (TEE) dapat
diminta untuk visualisasi emboli cardial.
c) Pemeriksaan radiologi
CT-scan otak
Perdarahan intraserebral dapat terlihat segera dan pemeriksaan
ini sangat penting karena perbedaan manajemen perdarahan otak dan
infark otak. Pada infark otak, pemeriksaan CT-scan otak mungkin tidak
memperlihatkan gambaran jelas jika dikerjakan pada hari – hari
pertama, biasanya tampak setelah 72 jam serangan. Jika ukuran infark
cukup besar dan hemisferik. Perdarahan/infark di batang otak sangat
sulit diidentifikasi, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan MRI
untuk memastikan proses patologik di batang otak.
Pemeriksaan foto thoraks.
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat
pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi
kronis pada penderita stroke dan adakah kelainan lain pada jantung.
Dapat mengidentifikasi kelainan paru yang potensial
mempengaruhi proses manajemen dan memperburuk prognosis.
7. Penatalaksanaan
a. Pengobatan Konservatif
Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara
percobaan, tetapi maknanya: pada tubuh manusia belum dapat
dibuktikan.
Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra
arterial.
Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat
reaksi pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi
alteroma.
Anti koagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya/
memberatnya trombosis atau emboli di tempat lain di sistem
kardiovaskuler.
b. Pengobatan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral :
Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan
membuka arteri karotis di leher.
Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan
manfaatnya paling dirasakan oleh pasien TIA.
Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
Ugasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma
B. KONSEP DISFAGIA
1. Definisi Disfagia.
Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan dan atau makanan yang
disebabkan karena adanya gangguan pada proses menelan (Wemer, 2011).
Gejala gangguan menelan bervariasi dari yang paling ringan seperti rasa tidak
nyaman di kerongkongan hingga tidak mampu menelan makanan dan cairan.
Tanda dan gejala disfagia yang lain meliputi mengiler, kesulitan mengunyah,
makanan tertahan di mulut, memerlukan waktu lama saat menelan, batuk,
tersedak, suara serak, makanan melekat di kerongkongan, berat badan
menurun, rasa panas di dada atau heart burn, keluar makanan dari hidung, dan
aspirasi pneumonia.
Insiden disfagia pada pasien stroke dilaporkan mencapai sekitar 27%-
40%.. Komplikasi utama akibat disfagia mencakup malnutrisi, dehidrasi, dan
infeksi. Diperkirakan proses menelan yang tidak aman pada tiga hari pertama
pasca stroke sebagai penyebab infeksi saluran nafas atas, lima sampai 10 kali
lipat risiko infeksi dibanding pasien yang tidak mengalami gangguan fungsi
menelan (Lees, Sharpe, & Edwards, 2013). Penatalaksanaan pasien stroke
yang mengalami disfagia secara tepat sedini mungkin selain menurunkan risiko
aspirasi juga terbukti memperbaiki status gizi, mengoptimalkan program
rehabilitasi, dan memperpendek lama rawat di rumah sakit.
Berbagai studi menunjukkan bahwa seringkali pasien stroke dengan
disfagia belum dikelola secara tepat. Perawat, sebagai anggota dari tim stroke,
dapat dilatih dalam melakukan skrining terhadap adanya gangguan menelan
pada pasien stroke. Menurut Warlow ( 2010 ), tim stroke perlu segera
melakukan identifikasi terhadap pasien stroke yang kemungkinan mengalami
disfagia, misalnya stroke hemisfer yang luas, stroke batang otak, atau pasien
yang mengalami penurunan tingkat kesadaran.
Gambar 2.1 Anatomi dasar faring dan laring pada gambaran sagital.
Sumber: Palmer, Drennan, and Baba (2000).
Proses menelan terbagi dalam tiga fase berikut:
a. Fase Oral.
Fase oral terbagi lagi dalam fase persiapan oral dan fase transport oral.
Pada fase persiapan oral, meliputi aktifitas menggigit dan mengunyah
makanan, terjadi aktifitas yang terkoordinasi dari gigi, bibir, lidah,
mandibula, palatum dan otot maseter. Dengan bantuan saliva yang
diproduksi oleh tiga pasang kelenjar saliva, sensasi rasa, suhu, dan sensasi
proprioseptif, bahan makanan akan berubah bentuk menjadi bentuk bolus.
Selanjutnya pada fase persiapan oral, bolus makanan bergerak ke atas dan
ke belakang menyentuh palatum durum, dan dibawa ke belakang ke arah
faring oleh lidah. Proses menelan pada fase ini membutuhkan kemampuan
bibir untuk menutup secara rapat supaya bolus tidak keluar dari oral. Fase
oral ini merupakan aktifitas volunter atau gerakan yang disadari, yang
dikontrol oleh korteks serebri melalui traktus kortikobulbar.
Gambar 2.2 Proses menelan fase oral dari sisi lateral pada orang normal,
berdasarkan rekaman Videofluoroscopy.
Keterangan gambar:
(A) Makanan (warna hijau) terlihat telah membentuk bolus dan
bercampur dengan saliva, berada di bagian belakang lidah. (B) Bolus
bergerak keatas dan kebawah, ujung lidah bersentuhan dengan
palatum durum depan. (C)Lidah tetap kontak dengan palatum
mendorong bolus makanan ke arah orofaring.(D) Area dimana lidah
kontak dengan palatum melanjutkan dorongan bolus hingga mencapai
valleculae (statu ruang antara epiglotis dan bagian belakang lidah). (E)
Dagu mencapai posisi bawah maksimum, lidah kebawah menjauhi
palatum, sebagian bolus makanan masih tertinggal di valleculae.
(Palmer, Drennan & Baba, 2000)
b. Fase Faringeal
Fase faringeal merupakan suatu gerakan involenter atau refleks, yaitu
berpindahnya bolus dari oral ke esofagus, yang normalnya membutuhkan
waktu kurang dari satu detik. Meninggalkan bagian belakang lidah, bolus
terhenti sebentar di valleculae, daerah antara lidah dan epiglotis. Kemudian,
tergantung ukuran dan konsistensi, melalui atas atau sekitar epiglotis,
melewati laring masuk ke esofagus. Sewaktu bolus makanan memasuki
bagian posterior mulut dan faring, bolus menyentuh reseptor menelan pada
daerah arkus faring anterior atau Faucial Pillar, sehingga pola refleks
menelan dimulai secara otomatis. Terjadi rileksasi otot krikofaring dan
sfingter membuka sehingga bolus masuk ke esopagus. Pada saat yang
hampir bersamaan laring elevasi dan menutup untuk melindungi jalan nafas.
Gambar 2.3. Proses menelan fase faringeal dari sisi lateral pada orang
normal, berdasarkan rekaman Videofluoroscopy
Keterangan gambar:
Bolus makanan berada di bagian belakang lidah. Sebagian bolus masih di
valleculae. (B) Bergerak keatas dan kebawah lidah bersentuhan dengan
palatum durum bagian anterior. (C) Area dimana terjadi kontak antara lidah
dan palatum mendorong makanan kea rah orofaring. Palatum mole dan
laring mulai elevasi, dan epiglottis terangkat keatas.(D) Lidah terus
mendorong makanan kearah belakang bawah melewati hipofaring. Tulang
hioid dan laring tertarik keatas dan kedepan, hasilnya adalah sfingter
esofagus atas membuka. (E) Lidah terus mendorong ke belakang, dan bolus
melewati sfingter esophagus atas. Dinding faring posterior mendorong
kedepan dan bersentuhan dengan permukaan belakang lidah. Gerakan ini
membersihkan faring dari sisa makanan. (F) Lidah kebawah menjauhi
palatum, laring dan nasofaring membuka, dan sfingter esophagus atas
menutup bersamaan dengan bolus turum kebawah melewati esophagus.
(Palmer, Drennan & Baba, 2000).
c. Fase Esofagus.
Fase esofagus dimulai pada saat bolus melewati sfingter esofagus atas
yang rileksasi dan masuk ke dalam lumen esofagus. Fase esofagus
merupakan fase akhir dari proses menelan yang dikendalikan oleh batang
otak dan pleksus mienterikus. Bolus terdorong secara sekuensial oleh gerak
peristaltik yang dimulai dari faring, masuk ke lambung melalui sfingter kardia
yang rileksasi.
a. Fase Oral.
Kelemahan otot menelan pada fase oral dapat berupa
kelemahan otot lidah, buruknya koordinasi bibir, pipi, dan lidah,
yang menyebabkan terkumpulnya makanan dalam mulut atau
masuknya bolus ke faring sebelum menelan yang dapat
menyebabkan aspirasi. Gangguan pada fase oral ini juga dapat
berupa gangguan inisiasi menelan oleh karena perubahan status
mental dan kognitif, yang berisiko terjadi pengumpulan bolus
makanan di rongga mulut dan risiko terjadi aspirasi.
b. Fase Faringeal.
Pada fase ini, dapat terjadi disfungsi palatum mole dan faring
superior yang menyebabkan makanan atau cairan refluks ke
nasofaring. Dapat juga terjadi berkurangnya elevasi laring dan faring
sehingga meningkatkan risiko aspirasi. Gangguan lain adalah terjadi
kelemahan otot konstriktor faring yang menyebabkan pengumpulan
bolus di valekula dan sinus piriformis yang berisiko terjadi aspirasi,
atau dapat juga terjadi gangguan pada otot krikofaring yang akan
mengganggu koordinasi proses menelan.
c. Fase Esofagus.