Anda di halaman 1dari 25

A.

KONSEP STROKE

1. Pengertian
Stroke/Gangguan Pembuluh Darah Otak (GPDO)/Cerebro Vascular Disease
(CVD)/Cerebro Vascular Accident (CVA) merupakan suatu kondisi kehilangan
fungsi otak secara mendadak yang diakibatkan oleh gangguan suplai darah ke
bagian otak atau merupakan suatu kelainan otak baik secara fungsional maupun
struktural yang disebabkan oleh keadaan patologis pembuluh darah serebral atau
dari seluruh sistem pembuluh darah otak .
Stroke atau cedera serebrovaskular (CVA) adalah kehilangan fungsi otak
yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak. Yang biasanya
diakibatkan oleh trombosis, embolisme, iskemia dan hemoragi (Smeltzer, 2011).
2. Klasifikasi
Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas patologi
anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah).
 Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:
a. Stroke iskemik
Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan
aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. Hampir 85%
disebabkan oleh sumbatan karena bekuan darah, penyempitan sebuah
arteri atau beberapa arteri yang mengarah ke otak dan karena embolus
(kotoran) yang terlepas dari jantung atau arteri ekstrakranii (arteri yang
berada di luar tengkorak) yang menyebabkan sumbatan di satu atau
beberapa arteri intrakranii (arteri yang ada di dalam tengkorak). Stroke
iskemik dibagi menjadi :
a) Transient Ischemic Attack (TIA)
Gangguan neurologis setempat yang terjadi selama beberapa menit
sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan
spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
b) Trombosis serebri
Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya
penyumbatan lumen pembuluh darah otak karena trombus yang makin
lama makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar.
Penurunan aliran darah ini menyebabkan iskemia.Trombosis serebri
adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau
lebih pembuluh darah local
c) Emboli serebri
Infark iskemik dapat diakibatkan oleh emboli yang timbul dari lesi
ateromatus yang terletak pada pembuluh yang lebih distal. Gumpalan-
gumpalan kecil dapat terlepas dari trombus yang lebih besar dan
dibawa ke tempat-tempat lain dalam aliran darah. Bila embolus
mencapai arteri yang terlalu sempit untuk dilewati dan menjadi
tersumbat, aliran darah fragmen distal akan terhenti, mengakibatkan
infark jaringan otak distal karena kurangnya nutrisi dan oksigen. Emboli
merupakan 32% dari penyebab stroke non hemoragik.
Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau
lapisan lemak yang lepas, sehingga terjadi penyumbatan pembuluh
darah yang mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri oksigen dan
nutrisi ke otak. Emboli ekstrakranial dapat disebabkan juga oleh :
a) Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat
berasal dari “plaque athersclerotique” yang berulserasi atau dari
trombus yang melekat pada intima arteri akibat trauma tumpul pada
daerah leher.
b) Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
 Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan bagian
kanan dan bagian kiri atrium atau ventrikel.
 Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang
meninggalkan gangguan pada katup mitralis.
 Fibrilasi atrium
 Infarksio kordis akut
 Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
 Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial,
jantung miksomatosus sistemik
c) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai
 Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis
 Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru
 Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti
penyakit “caisson”).
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial,
ataupun dari right-sided circulation (emboli paradoksikal).
Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah trombi valvular
seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan), trombi
mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal
jantung kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3 persen
stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard dan 85 persen di
antaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya infark
miokard.
b. Stroke hemoragik
Stroke hemoragi adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah otak. Hampir 70 persen kasus stroke hemoragi terjadi
pada penderitahipertensi .Stroke hemoragi disebabkan oleh
perdarahan ke dalam jaringan otak atau ke dalam ruang subaraknoid,
yaitu ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang
menutupi otak. Ini adalah jenis stroke yang paling mematikan. Stroke
hemoragik dibagi menjadi :
 Perdarahan intraserebral
 Perdarahan subarakhnoid
 Berdasarkan stadium:
a. Transient Ischemic Attack (TIA) yaitu serangan stroke sementara yang
berlangsung kurang dari 24 jam.
b. Reversible Ischemic Neurologic Defisit (RNID) yaitu gejala neurologis
akan menghilang antara >24 jam sampai dengan 21 hari.
c. Stroke in evolution yaitu kelainan atau defisit neurologik berlangsung
secara bertahap dari yang ringan sampai menjadi berat.
d. Completed stroke yaitu kelainan neurologis sudah menetap dan tidak
berkembang lagi
 Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah):
1. Tipe karotis
2. Tipe vertebrobasiler
3. Etiologi
a. Trombosis (bekuan darah didalam pembuluh darah otak dan leher).
Aterosklerosis serebral dan pelambatan sirkulasi serebral adalah
penyebab utama, trombosis serebral merupakan penyebab yang umum
pada serangan stroke.
b. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke
otak dari bagian tubuh yang lain). Abnormalitas patologik pada jantung
kiri, seperti endokarditis, infeksi, penyakit jantung rematik dan infark
miokard serta infeksi pulmonal adalah tempat-tempat asal emboli.
Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-
cabang yang merusak sirkulasi serebral.
c. Iskemia (penurunan aliran darah ke area otak). Iskemia serebral
(insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena konstriksi ateroma
pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
d. Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan
perdarahan kedalam jaringan otak atau ruang sekitar otak). Hemoragi
dapat terjadi diluar durameter (hemoragi ekstradural dan epidural),
dibawah durameter (hemoragi subdural), diruang subarakhnoid
(hemoragi subarakhnoid) atau didalam subtansi otak (hemoragi
intraserebral) (Smeltzer, 2011).

4. Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan
kemungkinannya untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable, modifiable, atau
potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented atau less well
documented) (Goldstein,2006).
a. Faktor resiko tidak dapat dimodifikasi:
 Usia
 Jenis kelamin
 Berat badan lahir rendah
 Ras/etnis
 genetik
b. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi:
 Hipertensi
 Paparan asap rokok
 Diabetes
 Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi jantung tertentu
 Dislipidemia
 Stenosis arteri karotis
 Sickle cell disease
 Terapi hormonal pasca menopause
 Diet yang buruk
 Inaktivitas fisik
 Obesitas
 Sindroma metabolik
 Penyalahgunaan alkohol
 Penggunaan kontrasepsi oral
 Sleep-disordered breathing
 Nyeri kepala migren
 Hiperhomosisteinemia
 Peningkatan lipoprotein
 Peningkatan lipoprotein-associated phospholipase
 Hypercoagulability
 Inflamasi
 Infeksi

5. Manifestasi Klinis
Menurut Hudak dan Gallo dalam bukunya Keperawatan Kritis: Pendekatan
Holistik (1996: 258-260), terdapat manifestasi akibat stroke, yaitu:
a. Defisit Motorik
 Hemiparese, hemiplegia
 Distria (kerusakan otot-otot bicara)
 Disfagia (kerusakn otot-otot menelan)
b. Defisit Sensori
 Defisit visual (umum karena jaras visual terpotong sebagian besar pada
hemisfer serebri)
̵Hemianopsia homonimosa (kehilangan pandangan pada setengah bidang
pandang pada sisi yang sama)
̵Diplopia (penglihatan ganda)
̵Penurunan ketajaman penglihatan
 Tidak memberikan atau hilangnya respon terhadap sensasi superfisial
(sentuhan, nyeri, tekanan, panas dan dingin)
 Tidak memberikan atau hilangnya respon terhadap proprioresepsi
(pengetahuan tentang posisi bagian tubuh)
c. Defisit Perseptual (Gangguan dalam merasakan dengan tepat dan
menginterpretasi diri dan/atau lingkungan)
 Gangguan skem/maksud tubuh (amnesia atau menyangkal terhadap
ekstremitas yang mengalami paralise; kelainan unilateral)
 Disorientasi (waktu, tempat, orang)
 Apraksia (kehilangan kemampuan untuk menggunakan obyek-obyek dengan
tepat)
 Agnosia (ketidakmampuan untuk mengidentifikasi lingkungan melalui indera)
 Kelainan dalam menemukan letak obyek dalam ruang, memperkirakan
ukurannya dan menilai jauhnya
 Kerusakan memori untuk mengingat letak spasial obyek atau tempat
 Disorientasi kanan kiri
d. Defisit Bahasa/Komunikasi
 Afasia ekspresif (kesulitan dalam mengubah suara menjadi pola-pola bicara
yang dapat difahami) - dapat berbicara dengan menggunakan respons satu
kata
 Afasia reseptif (kerusakan kelengkapan kata yang diucapkan - mampu untuk
berbicara, tetapi menggunakan kata-kata dengan tidak tepat dan tidak sadar
tentang kesalahan ini)
 Afasia global (kombinasi afasia ekspresif dan reseptif) – tidak mampu
berkomunikasi pada setiap tingkat
 Aleksia (ketidakmampuan untuk mengerti kata yang dituliskan)
 Agrafasia (ketidakmampuan untuk mengekspresikan ide-ide dalam tulisan)
e. Defisit Intelektual
 Kehilangan memori
 Rentang perhatian singkat
 Peningkatan distraktibilitas (mudah buyar)
 Penilaian buruk
 Ketidakmampuan untuk mentransfer pembelajaran dari satu situasi ke situasi
yang lain
 Ketidakmampuan untuk menghitung, memberi alasan atau berpikir secara
abstrak
f. Disfungsi Aktivitas Mental dan Psikologis
 Labilitas emosional (menunjukkan reaksi dengan mudah atau tidak tepat)
 Kehilangan kontrol diri dan hambatan sosial
 Penurunan toleransi terhadap stres
 Ketakutan, permusuhan, frustasi, marah
 Kekacauan mental dan keputusasaan
 Menarik diri, isolasi
 Depresi
g. Gangguan Eliminasi (Kandung kemih dan usus)
 Lesi unilateral karena stroke mengakibatkans sensasi dan kontrol partial
kandung kemin, sehingga klien sering mengalami berkemih, dorongan dan
inkontinensia urine.
 Jika lesi stroke ada pada batang otak, maka akan terjadi kerusakan lateral
yang mengakibatkan neuron motorik bagian atas kandung kemih dengan
kehilangan semua kontrol miksi
 Kemungkinan untuk memulihkan fungsi normal kandung kemih sangat baik
 Kerusakan fungsi usus akibat dari penurunan tingkat kesadaran, dehidrasi
dan imobilitas
 Konstipasi dann pengerasan feses
h. Gangguan Kesadaran
Berikut adalah tabel perbedaan antara CVA infark dan CVA Bleeding :
Gejala (anamnesa) Infark Perdarahan
Permulaan (awitan) Sub akut/kurang mendadak Sangat akut/mendadak
Waktu (saat Bangun pagi/istirahat Sedang aktifitas
“serangan”) + 50% TIA -
Peringatan +/- +++
Nyeri Kepala - +
Kejang - +
Muntah Kadang sedikit +++
Kesadaran menurun
Koma/kesadaran +/- +++
menurun - ++
Kaku kuduk - +
Kernig - +
pupil edema - +
Perdarahan Retina hari ke-4 sejak awal
Bradikardia Tanda adanya aterosklerosis Hampir selalu hypertensi,
Penyakit lain di retina, koroner, perifer. aterosklerosis, HHD
Emboli pada ke-lainan katub,
fibrilasi, bising karotis

- +
Pemeriksaan: + Kemungkinan pergeseran
Darah pada LP glandula pineal
X foto Skedel
Oklusi, stenosis Aneurisma. AVM. massa
Angiografi intra hemisfer/ vaso-
spasme.
Densitas berkurang Massa intrakranial
CT Scan (lesi hypodensi) densitas bertambah.
(lesi hyperdensi)
Crossing phenomena Perdarahan retina atau
Opthalmoscope Silver wire art corpus vitreum

Lumbal pungsi Normal Meningkat


 Tekanan Jernih Merah
 Warna < 250/mm3 >1000/mm3

 Eritrosit oklusi ada shift

Arteriografi di tengah shift midline echo

EEG

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Anamnesis
Proses anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah
badan, mulut mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi
dengan baik. Keadaan ini timbul sangat mendadak, dapat sewaktu bangun
tidur, sedang bekerja, ataupun sewaktu istirahat.
b. Pemeriksaan fisik
Penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital seperti tekanan
darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga tingkat kesadaran
penderita.Jika kesadaran menurun, tentukan skor dengan skala koma
glasglow agar pemantauan selanjutnya lebih mudah, tetapi seandainya
penderita sadar tentukan berat kerusakan neurologis yang terjadi, disertai
pemeriksaan saraf – saraf otak dan motorik apakah fungsi komunikasi masih
baik atau adakah disfasia. Jika kesadaran menurun dan nilai skala koma
glasglow telah ditentukan, setelah itu lakukan pemeriksaan refleks – refleks
batang otak yaitu :
 Reaksi pupil terhadap cahaya.
 Refleks kornea.
 Refleks okulosefalik.
Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernafasan Cheyne Stoke,
hiperventilasi neurogen, kluster, apneustik dan ataksik.Setelah itu tentukan
kelumpuhan yang terjadi pada saraf – saraf otak dan anggota
gerak.Kegawatan kehidupan sangat erat hubungannya dengan kesadaran
menurun, karena makin dalam penurunan kesadaran, makin kurang baik
prognosis neurologis maupun kehidupan.Kemungkinan perdarahan intra
serebral dapat luas sekali jika terjadi perdarahan – perdarahan retina atau
preretina pada pemeriksaan funduskopi.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan cek laboratorium, pemeriksaan
neurokardiologi, pemeriksaan radiologi, penjelasanya adalah sebagai berikut :
a) Laboratorium.
 Pemeriksaan darah rutin.
 Pemeriksaan kimia darah lengkap.
 Gula darah sewaktu.
 Stroke akut terjadi hiperglikemia reaktif.Gula darah dapat mencapai
250 mg dalam serum dan kemudian berangsur – angsur kembali
turun.
 Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, enzim
SGOT/SGPT/CPK, dan profil lipid (trigliserid, LDH-HDL kolesterol
serta total lipid).
 Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap).
 Waktu protrombin.
 Kadar fibrinogen.
 Viskositas plasma.
 Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi Homosistein.
b) Pemeriksaan neurokardiologi
Sebagian kecil penderita stroke terdapat perubahan
elektrokardiografi.Perubahan ini dapat berarti kemungkinan mendapat
serangan infark jantung, atau pada stroke dapat terjadi perubahan –
perubahan elektrokardiografi sebagai akibat perdarahan otak yang
menyerupai suatu infark miokard. Pemeriksaan khusus atas indikasi
misalnya CK-MB follow up nya akan memastikan diagnosis. Pada
pemeriksaan EKG dan pemeriksaan fisik mengarah kepada kemungkinan
adanya potensial source of cardiac emboli (PSCE) maka pemeriksaan
echocardiografi terutama transesofagial echocardiografi (TEE) dapat
diminta untuk visualisasi emboli cardial.
c) Pemeriksaan radiologi
 CT-scan otak
Perdarahan intraserebral dapat terlihat segera dan pemeriksaan
ini sangat penting karena perbedaan manajemen perdarahan otak dan
infark otak. Pada infark otak, pemeriksaan CT-scan otak mungkin tidak
memperlihatkan gambaran jelas jika dikerjakan pada hari – hari
pertama, biasanya tampak setelah 72 jam serangan. Jika ukuran infark
cukup besar dan hemisferik. Perdarahan/infark di batang otak sangat
sulit diidentifikasi, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan MRI
untuk memastikan proses patologik di batang otak.
 Pemeriksaan foto thoraks.
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat
pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi
kronis pada penderita stroke dan adakah kelainan lain pada jantung.
Dapat mengidentifikasi kelainan paru yang potensial
mempengaruhi proses manajemen dan memperburuk prognosis.
7. Penatalaksanaan
a. Pengobatan Konservatif
 Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara
percobaan, tetapi maknanya: pada tubuh manusia belum dapat
dibuktikan.
 Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra
arterial.
 Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat
reaksi pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi
alteroma.
 Anti koagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya/
memberatnya trombosis atau emboli di tempat lain di sistem
kardiovaskuler.
b. Pengobatan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral :
 Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan
membuka arteri karotis di leher.
 Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan
manfaatnya paling dirasakan oleh pasien TIA.
 Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
 Ugasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma
B. KONSEP DISFAGIA

1. Definisi Disfagia.
Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan dan atau makanan yang
disebabkan karena adanya gangguan pada proses menelan (Wemer, 2011).
Gejala gangguan menelan bervariasi dari yang paling ringan seperti rasa tidak
nyaman di kerongkongan hingga tidak mampu menelan makanan dan cairan.
Tanda dan gejala disfagia yang lain meliputi mengiler, kesulitan mengunyah,
makanan tertahan di mulut, memerlukan waktu lama saat menelan, batuk,
tersedak, suara serak, makanan melekat di kerongkongan, berat badan
menurun, rasa panas di dada atau heart burn, keluar makanan dari hidung, dan
aspirasi pneumonia.
Insiden disfagia pada pasien stroke dilaporkan mencapai sekitar 27%-
40%.. Komplikasi utama akibat disfagia mencakup malnutrisi, dehidrasi, dan
infeksi. Diperkirakan proses menelan yang tidak aman pada tiga hari pertama
pasca stroke sebagai penyebab infeksi saluran nafas atas, lima sampai 10 kali
lipat risiko infeksi dibanding pasien yang tidak mengalami gangguan fungsi
menelan (Lees, Sharpe, & Edwards, 2013). Penatalaksanaan pasien stroke
yang mengalami disfagia secara tepat sedini mungkin selain menurunkan risiko
aspirasi juga terbukti memperbaiki status gizi, mengoptimalkan program
rehabilitasi, dan memperpendek lama rawat di rumah sakit.
Berbagai studi menunjukkan bahwa seringkali pasien stroke dengan
disfagia belum dikelola secara tepat. Perawat, sebagai anggota dari tim stroke,
dapat dilatih dalam melakukan skrining terhadap adanya gangguan menelan
pada pasien stroke. Menurut Warlow ( 2010 ), tim stroke perlu segera
melakukan identifikasi terhadap pasien stroke yang kemungkinan mengalami
disfagia, misalnya stroke hemisfer yang luas, stroke batang otak, atau pasien
yang mengalami penurunan tingkat kesadaran.

2. Fisiologi Proses Menelan


Proses menelan merupakan suatu sistem kerja neurologik yang sinkron,
berurutan, terkoordinasi, simetris, semiotomatis, unik dan spesifik bagi setiap
individu (Smithard, 2012 ). Diperkirakan proses menelan yang tidak aman pada
tiga hari pertama pasca stroke sebagai penyebab infeksi saluran nafas atas,
lima sampai 10 kali lipat risiko infeksi dibanding pasien yang tidak mengalami
gangguan fungsi menelan (Lees, Sharpe, & Edwards, 2013). Penatalaksanaan
pasien stroke yang mengalami disfagia secara tepat sedini mungkin selain
menurunkan risiko aspirasi juga terbukti memperbaiki status gizi,
mengoptimalkan program rehabilitasi, dan memperpendek lama rawat di rumah
sakit.
Berbagai studi menunjukkan bahwa seringkali pasien stroke dengan
disfagia belum dikelola secara tepat. Perawat, sebagai anggota dari tim stroke,
dapat dilatih dalam melakukan skrining terhadap adanya gangguan menelan
pada pasien stroke. Menurut Warlow ( 2010), tim stroke perlu segera
melakukan identifikasi terhadap pasien stroke yang kemungkinan mengalami
disfagia, misalnya stroke hemisfer yang luas, stroke batang otak, atau pasien
yang mengalami penurunan tingkat kesadaran.

Gambar 2.1 Anatomi dasar faring dan laring pada gambaran sagital.
Sumber: Palmer, Drennan, and Baba (2000).
Proses menelan terbagi dalam tiga fase berikut:
a. Fase Oral.
Fase oral terbagi lagi dalam fase persiapan oral dan fase transport oral.
Pada fase persiapan oral, meliputi aktifitas menggigit dan mengunyah
makanan, terjadi aktifitas yang terkoordinasi dari gigi, bibir, lidah,
mandibula, palatum dan otot maseter. Dengan bantuan saliva yang
diproduksi oleh tiga pasang kelenjar saliva, sensasi rasa, suhu, dan sensasi
proprioseptif, bahan makanan akan berubah bentuk menjadi bentuk bolus.
Selanjutnya pada fase persiapan oral, bolus makanan bergerak ke atas dan
ke belakang menyentuh palatum durum, dan dibawa ke belakang ke arah
faring oleh lidah. Proses menelan pada fase ini membutuhkan kemampuan
bibir untuk menutup secara rapat supaya bolus tidak keluar dari oral. Fase
oral ini merupakan aktifitas volunter atau gerakan yang disadari, yang
dikontrol oleh korteks serebri melalui traktus kortikobulbar.

Gambar 2.2 Proses menelan fase oral dari sisi lateral pada orang normal,
berdasarkan rekaman Videofluoroscopy.

Keterangan gambar:
(A) Makanan (warna hijau) terlihat telah membentuk bolus dan
bercampur dengan saliva, berada di bagian belakang lidah. (B) Bolus
bergerak keatas dan kebawah, ujung lidah bersentuhan dengan
palatum durum depan. (C)Lidah tetap kontak dengan palatum
mendorong bolus makanan ke arah orofaring.(D) Area dimana lidah
kontak dengan palatum melanjutkan dorongan bolus hingga mencapai
valleculae (statu ruang antara epiglotis dan bagian belakang lidah). (E)
Dagu mencapai posisi bawah maksimum, lidah kebawah menjauhi
palatum, sebagian bolus makanan masih tertinggal di valleculae.
(Palmer, Drennan & Baba, 2000)
b. Fase Faringeal
Fase faringeal merupakan suatu gerakan involenter atau refleks, yaitu
berpindahnya bolus dari oral ke esofagus, yang normalnya membutuhkan
waktu kurang dari satu detik. Meninggalkan bagian belakang lidah, bolus
terhenti sebentar di valleculae, daerah antara lidah dan epiglotis. Kemudian,
tergantung ukuran dan konsistensi, melalui atas atau sekitar epiglotis,
melewati laring masuk ke esofagus. Sewaktu bolus makanan memasuki
bagian posterior mulut dan faring, bolus menyentuh reseptor menelan pada
daerah arkus faring anterior atau Faucial Pillar, sehingga pola refleks
menelan dimulai secara otomatis. Terjadi rileksasi otot krikofaring dan
sfingter membuka sehingga bolus masuk ke esopagus. Pada saat yang
hampir bersamaan laring elevasi dan menutup untuk melindungi jalan nafas.

Gambar 2.3. Proses menelan fase faringeal dari sisi lateral pada orang
normal, berdasarkan rekaman Videofluoroscopy

Keterangan gambar:
Bolus makanan berada di bagian belakang lidah. Sebagian bolus masih di
valleculae. (B) Bergerak keatas dan kebawah lidah bersentuhan dengan
palatum durum bagian anterior. (C) Area dimana terjadi kontak antara lidah
dan palatum mendorong makanan kea rah orofaring. Palatum mole dan
laring mulai elevasi, dan epiglottis terangkat keatas.(D) Lidah terus
mendorong makanan kearah belakang bawah melewati hipofaring. Tulang
hioid dan laring tertarik keatas dan kedepan, hasilnya adalah sfingter
esofagus atas membuka. (E) Lidah terus mendorong ke belakang, dan bolus
melewati sfingter esophagus atas. Dinding faring posterior mendorong
kedepan dan bersentuhan dengan permukaan belakang lidah. Gerakan ini
membersihkan faring dari sisa makanan. (F) Lidah kebawah menjauhi
palatum, laring dan nasofaring membuka, dan sfingter esophagus atas
menutup bersamaan dengan bolus turum kebawah melewati esophagus.
(Palmer, Drennan & Baba, 2000).

c. Fase Esofagus.

Fase esofagus dimulai pada saat bolus melewati sfingter esofagus atas
yang rileksasi dan masuk ke dalam lumen esofagus. Fase esofagus
merupakan fase akhir dari proses menelan yang dikendalikan oleh batang
otak dan pleksus mienterikus. Bolus terdorong secara sekuensial oleh gerak
peristaltik yang dimulai dari faring, masuk ke lambung melalui sfingter kardia
yang rileksasi.

3. Kontrol Persarafan Pada Proses Menelan.


Proses menelan memerlukan beberapa elemen: input sensori dari saraf
tepi, koordinasi saraf pusat, dan respon motorik sebagai umpan balik. Input
sensori dari saraf tepi terutama dari saraf cranial V, VII, IX, X, dan XII. Reseptor
sensori memperoleh stimulus dari berbagai macam bentuk rasa, cairan, atau
tekanan. Area paling efektif sebagai rangsang menelan adalah arkus faring
anterior. Meskipun peran yang pasti sebagai pusat menelan belum jelas,
diperkirakan kortikal dan subkortikal mengatur ambang rangsang menelan.
Sedangkan pusat menelan di batang otak menerima input, mengaturnya
menjadi respon yang terprogram, dan mengirim respon tersebut melalui saraf
tepi untuk aktifitas otot-otot mengunyah dan menelan.
Nervus trigeminus atau nervus kranial V merupakan nervus dengan
serabut motorik dan sensorik dengan inti nervus berada di pons. Serabut
motoriknya mempersarafi otot-otot untuk mengunyah, termasuk otot temporalis,
otot maseter, serta otot pterigoid medial dan lateral. Selain itu, nervus
trigeminus juga membantu saraf glosofaringeal mangangkat laring dan
menariknya embali selama fase faringeal. Sedangkan serabut sensoriknya
memiliki 3 cabang. Cabang pertama ke arah optalmika, cabang kedua
mempersarafi palatum, gigi, bibir atas, dan sulkus gingivibukal. Cabang ketiga
mempersarafi lidah, mukosa bukal, dan bibir bawah. Secara umum, serabut
sensorik nervus V ini membawa informasi tentang sensasi yang berasal dari
wajah, mulut dan mandibula (Tortora & Grabowski, 1996). Nervus fasialis atau
nervus kranial VII merupakan nervus dengan serabut motorik, sensorik, dan
parasimpatis. Inti nervus VII ini juga berada di pons.. Serabut motoriknya
mempersarafi otot-otot bibir, termasuk otot orbikularis oris dan otot zigomatikus,
yang berfungsi untuk mencegah makanan keluar dari mulut. Nervus fasialis
juga menginervasi otot-otot businator pada pipi, yang berperan untuk
mencegah makanan terkumpul di celah antara gigi dan pipi. Serabut
sensoriknya mempersarafi dua pertiga lidah depan untuk mengecap Nervus
glosofaringeus atau nervus kranial IX mengandung serabut motorik, sensorik,
dan saraf otonom. Bersama nervus X menginervasi otot konstriktor faring
bagian atas. Inti atau nukleus nervus ini berada di medula oblongata. Serabut
motorik nervus IX ini menginervasi tiga buah kelenjar saliva di mulut. Saliva
inilah yang membantu pembentukan makanan menjadi bolus di mulut. Nervus
ini juga menginervasi otot stilofaringeus, yang mengangkat laring dan
menariknya kembali selama proses menelan fase faringeal. Gerakan laring ini
juga membantu rileksasi dan terbukanya otot krikofaringeal. Serabut sensorik
nervus glosofaringeus ini menerima seluruh sensasi, termasuk rasa, dari
sepertiga lidah bagian belakang (Tortora & Grabowski, 2013).
Nervus vagus atau nervus X mengandung serabut motorik, sensorik dan
nervus otonom. Bersama nervus IX menginervasi otot konstriktor faring bagian
atas. Bersama nervus XI menginervasi otot intrinsik laring. Nervus ini juga
menginervasi otot krikofaringeal dan mengontrol otot-otot yang terlibat selama
fase esofageal. Nervus vagus membawa informasi sensasi dari velum, faring
bagian posterior, faring bagian inferior, dan laring).
Nervus hipoglosus atau nervus XII merupakan nervus motorik tanpa
serabut sensorik. Inti nervus ini berada di medula oblongata sama dengan
nervus IX dan X. Nervus ini memberikan persarafan pada lidah. Perannya pada
proses menelan terutama pada pembentukan bolus dan membawa bolus ke
arah faring.
4. Bentuk Disfagia pada Proses Menelan.

a. Fase Oral.
Kelemahan otot menelan pada fase oral dapat berupa
kelemahan otot lidah, buruknya koordinasi bibir, pipi, dan lidah,
yang menyebabkan terkumpulnya makanan dalam mulut atau
masuknya bolus ke faring sebelum menelan yang dapat
menyebabkan aspirasi. Gangguan pada fase oral ini juga dapat
berupa gangguan inisiasi menelan oleh karena perubahan status
mental dan kognitif, yang berisiko terjadi pengumpulan bolus
makanan di rongga mulut dan risiko terjadi aspirasi.

b. Fase Faringeal.

Pada fase ini, dapat terjadi disfungsi palatum mole dan faring
superior yang menyebabkan makanan atau cairan refluks ke
nasofaring. Dapat juga terjadi berkurangnya elevasi laring dan faring
sehingga meningkatkan risiko aspirasi. Gangguan lain adalah terjadi
kelemahan otot konstriktor faring yang menyebabkan pengumpulan
bolus di valekula dan sinus piriformis yang berisiko terjadi aspirasi,
atau dapat juga terjadi gangguan pada otot krikofaring yang akan
mengganggu koordinasi proses menelan.

c. Fase Esofagus.

Kelainan yang mungkin terjadi pada fase ini adalah kelainan


dinding esofagus atau kelemahan peristaltik esofagus.

5. Disfagia atau Gangguan Fungsi Menelan pada Stroke.


Akibat stroke, sel neuron mengalami nekrose atau kematian jaringan,
sehingga mengalami gangguan fungsi. Gangguan fungsi yang terjadi
tergantung pada besarnya lesi dan lokasi lesi. Pada stroke fase akut, pasien
dapat mengalami gangguan menelan atau disfagia. Disfagia adalah kesulitan
dalam menelan cairan dan atau makanan yang disebabkan karena adanya
gangguan pada proses menelan (Wemer, 2012). Disfagia pada pasien stroke
dapat disebabkan oleh edema otak, menurunnya tingkat kesadaran, ataupun
akibat proses diaschisis, yang biasanya bersifat sementara. Tetapi bila lesi
terjadi di daerah batang otak, kemungkinan pasien akan mengalami disfagia
yang menetap.
Wemer (2012) mengemukakan bahwa lesi pada hemisfer kiri
menyebabkan menurunnya aktifitas motorik di oral dan apraxia, sedangkan
lesi di hemisfer kanan berhubungan dengan terlambatnya refleks menelan,
bolus tertahan di faring, sehingga dapat menyebabkan aspirasi. Peneliti lain
(Smithards, 2011) mengemukakan, bahwa selama fase akut tidak ada
hubungannya antara kejadian aspirasi atau disfagia dengan lokasi stroke dan
letak lesi. Stroke akut pada batang otak kemungkinan dapat menyebabkan
disfagia dengan atau defisit neurologik yang lain. Hampir 62,5 pasien stroke
batang otak mengalami aspirasi, terutama lesi pada medulla atau pons. Risiko
aspirasi akan meningkat bila mengenai bilateral, dan biasanya berupa aspirasi
yang tersembunyi. Parese saraf kranial X sampai XII dismobilitas dan asimetri
faring, laring tidak menutup sempurna, terkumpulnya bolus di vallecula, dan
tidak sempurnanya rileksasi atau spasme dari cricopharingeal.

6. Manifestasi Klinik Disfagia.


Sekitar 27% pasien stroke fase akut mengalami disfagia, atau sekitar
40% bila dihitung termasuk pasien stroke yang penurunan tingkat kesadaran,
kondisi terminal, atau telah mengalami disfagia sebelumnya (Westergren,
Hallberg & Ohlsson, 1999). Studi lain yang dilakukan oleh Horner, Massey, dan
Brazer oada tahun 1990 (Massey & Jedlicka, 2010), membuktikan bahwa
sekitar 30% pasien stroke akan mengalami disfagia. Pasien stroke yang
mengalami disfagia cenderung untuk mengalami malnutrisi, dehidrasi, dan
aspirasi pneumonia. Pasien akan menunjukkan tanda aspirasi pneumonia
sekitar 2 jam setelah terjadi aspirasi. Tetapi seringkali pasien juga bisa
mengalami aspirasi tersembunyi atau silent aspiration. Manifestasi klinik
disfagia pada pasien stroke dapat ditemukan melalui pengkajian keperawatan
baik melalui anamnesa, observasi ataupun pemeriksaan fisik. Hasil anamnesa
menunjukkan pasien atau keluarga menyatakan adanya riwayat pasien
tersedak pada saat pasien makan atau minum. Inspeksi oleh perawat
menunjukkan tanda pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran, atau
kesadaran baik tetapi wajah tidak simetris, mengiler, disartria, atau psien tidak
mampu menopangb kepala. Pemeriksaan fisik memperlihatkan adanya
penurunan tingkat kesadaran, atau adanya gangguan nervus kranial V, VII, IX,
X, dan XII (Westergren, Hallberg, & Ohlsson, 2011).
C. MACAM-MACAM ALAT UKUR DISFAGIA UNTUK PASIEN STROKE

1. Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES)


Penilaian terhadap proses menelan digunakan untuk penilaian awal dari
pasien dengan disfagia, terutama menilai resiko aspirasi saat intake oraldan
untuk menentukan penatalaksanaan selanjutnya. Dikenal beberapa pemeriksaan
terhadap proses menelan seperti Videofluoroskopi Swallow Studies (VFSS),
Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) atau FEES dengan
pemeriksaan sensori dan scintigraphy.
FEES pertama kali diperkenalkan oleh Susan Langmore, Schatz dan
Olson pada tahun 1988 dan mulai diterapkan sebagai pemeriksaan standard
oleh the American SpeechLanguage-Hearing Association (ASHA) sejak tahun
1992.Tujuan dari pemeriksaan FEES adalah memberikan penilaian fungsional
yang komprehensif terutama pada fase faringeal sehingga dapat mengarah pada
rekomendasi mengenai kemampuan menelan, dan kemampuan makan secara
oral serta intervensi yang tepat untuk membantu proses menelan lebih aman dan
efisien.
Pemeriksaan ini memberikan data visualisasi langsung daerah faring dan
laring sesaaat sebelum dan sesudah menelan.Tindakan lanjutan setelah
dilakukan pemeriksaan FEES adalah mengevaluasi efek dari postur tubuh,
manuver, modifikasi bolus, teknik kompensasi dan peningkatan sensoris yang
dapat meningkatkan efisiensi dan keamanan proses menelan. Evaluasi tersebut
dikenal dengan nama theraupetic assessment atau biofeedback. Theraupetic
assessement diberikan kepada pasien dengan pertimbangan tujuan, usia,
kooperatif, dan status kognitif pasien, dan pemeriksa harus memastikan intervensi
tersebut dapat membantu masalah penderita.
Pemeriksaan FEES harus didokumentasi dengan baik dan diakhir
pemeriksaan seorang klinisi akan memberikan rekomendasi bagi pasien dalam
hal metode pemberian nutrisi (oral, non oral atau kombinasi), konsistensi dan
volume makanan yang diberikan, posisi, manuver dan tehnik lain untuk
memperbaiki proses menelan, perencanaan untuk re-evaluasi dan perencanaan
untuk rujukan ke subspesialis lain.
- Evaluasi Endoskopi Serat Optik saat Menelan (ESOM)
Evaluasi Endoskopi Serat Optik saat Menelan (ESOM) biasanya melengkapi
kekurangan dari PVFM. ESOM itu aman dan dapat dilakukan oleh ahli otolaryngologi
dan/atau ahli terapi wicara sendirian. ESOM lebih sensitif dibandingkan PVFM dalam
menilai penundaan awal proses menelan, sisa bolus di faring, dan aspirasi.
Pemeriksaan dengan ESOM menggunakan endoskopi yang lentur untuk
mengevaluasi saat statis dan dinamis dari anatomi faringeal, ada tidaknya serta
pengaturan dari sekresi orofoaringal, dan perbedaan dari proses menelan antara
bolus padat dan cair.
Proses menelan, durasi peralihan, masuknya bolus dan aspirasi, jumlah
menelan untuk membersihkan bolus di rongga orofaring, dan proses menutupnya
jalan nafas dicatat. Area dari trans-nasal sepanjang dasar dari hidung sampai ujung
dari area basis uvula atau ujung dari epiglotis. Hal ini memungkinkan untuk
dilakukannya visualisasi dari dasar lidah, dinding samping dan posterior laringeal,
sinus piriformis, dan endolaring.
Pada pertengahan tahun 1990-an Aviv et al mengenalkan endoskopi dengan
serat optik untuk menilai ransang sensorik dari proses menelan (ESOMRS).
ESOMRS ini mirip dengan ESOM, tetapi melibatkan kendali dari dorongan udara
untuk dimungkinkannya penilaian secara objektif dari sensor laringofaringeal.
Dorongan udara meningkatkan tekanan sampai menimbulkan reflek adduksi laring
(RAL). Normalnya RAL telah stabil pada tekanan 4.0 mmHg Fungsi dari RAL masih
dipertanyakan kegunaannya oleh beberapa peneliti. Sensasi laringeal diukur saat
ESOMRS dan bukan merupakan faktor penting dalam pengukuran proses menelan
saat pemberian makan.81 Secara prospektif, koparasi acak dari ESOMRS dan PVFM
menunjukkan kemampuan yang sama dalam mencegah terjadinya pneumonia akibat
aspirasi.
Beberapa pendukung dari ESOM dan ESOMRS merasakan bahwa tes ini
melampau gold standar dari PVFM. Bagaimanapun juga, perlu diperhatikan bahwa
ketika terjadi kelainan sensasi dan pita suara dapat dinilai dengan sangat baik
menggunakan ESOM, tetapi penilaian pada segmen oral dan laringeal sangat buruk.
PVFM adalah cara terbaik untuk menilai segmen ini. Dengan demikian, PVFM dan
ESOM/ESOMRS mempunyai aplikasi klinis yang berbeda.

2. Gugging Swallowing Screen (GUSS)


Gugging Swallowing Screen (GUSS) untuk menyeleksi dan menilai risiko
aspirasi pada pasien disfagia stroke. GUSS terdiri dari 2 bagian yaitu: 1) GUSS
tahap I yang digunakan untuk menetapkan pasien sudah bisa dilatih atau belum
(tahap penilaian awal). Indikator yang ditetapkan untuk pasien yang sudah dapat
dilatih antara lain pasien mampu batuk dengan sengaja dan mampu menelan air
liurnya sendiri. 2) GUSS tahap II yang digunakan sebagai instrumen penilaian untuk
latihan menelan. Pada GUSS tahap II (latihan menelan) responden diobservasi
berdasarkan empat kriteria GUSS meliputi menelan lambat (>2 detik), batuk
involuntary, air liur menetes, dan adanya suara parau. Skor terendah yang mungkin
didapat adalah 0, sedangkan skor tertinggi yang mungkin didapat dari instrument
GUSS tahap II ini adalah 5.
Metode ini dikembangkan untuk menurunkan risiko aspirasi pada disfagia
stroke dengan penggunaan nutrisi yang bertekstur semisolid. Kelebihan dari
penggunaan nutrisi semisolid untuk pasien disfagia stroke adalah dapat mengurangi
risiko aspirasi karenatekstur nutrisi semisolid menyatu sehingga dapat menurunkan
risiko aspirasi pada pasien. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang
menjelaskan bahwa puding sangat amandigunakan untuk menurunkan risiko aspirasi
pada pasien disfagia stroke. Lebih lanjut dijelaskan bahwa puding memiliki tekstur
yang sesuai untuk menstimulasi koordinasi sarafsensorik-motorik pada lidah dan
saluran pencernaan bagian atas yang berperan dalamproses mengunyah dan
menelan. Dibalik kelebihan yang dimiliki, metode ini memilikikelemahan yaitu tidak
adanya suatu prosedur baku berupa teknik-teknik tertentu seperti pada metode
kompensasi.
3. The Massey Bedside Swallowing Screen Test
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa screening menelan di samping
tempat tidur adalah alat yang efektif untuk digunakan pada pasien stroke. Namun,
alat untuk setiap studi berbeda-beda. Sebagian besar alat tidak mencantumkan
penilaian fungsi otot dalam proses menelan. The Massey Bedside Swallowing
Screen Test dikembangkan untuk dapat digunakan oleh perawat setiap hari untuk
menilai fungsi menelan. Alat ini dikembangkan dari tinjauan literatur, serta masukan
dari perawat, ahli patologi bicara, dan ahli saraf. Didalamnya juga termasuk penilaian
fungsi motorik otot yang terlibat dalam proses menelan dan refleks yang terlibat
dalam menelan. Prosedur The Massey Bedside Swallowing Screen Test adalah
selama Fase 1, proses penelanan di samping tempat tidur dievaluasi dengan
meminta enam ahli memeriksa dan melengkapi kuesioner yang dikembangkan oleh
Massey berisi 14 pertanyaan. Para ahli ini dan perawat memiliki lisensi
kepercayaan dari organisasi terkait stroke nasional. Skala 1-10, 5-poin tipe Likert
digunakan untuk menanyakan pendapat para ahli tentang Massey Bedside
Swallowing Screen. Para responden diminta untuk menunjukkan persetujuan mereka
dengan beberapa pernyataan sebelumnya.
Untuk Fase 2, bagian 1, proses penelanan di samping tempat tidur dilakukan
dalam waktu 48 jam setelah pasien masuk rumah sakit atau dalam waktu 48 jam
setelah terjadinya stroke. Untuk membangun reliabilitas antar penilai, dua asisten
peneliti secara independen mengevaluasi fungsi menelan para peserta
menggunakan layar menelan di samping tempat tidur. Massey awalnya mendekati
para peserta untuk mendapatkan persetujuan. Kemudian salah satu asisten peneliti
mengobservasi di samping tempat tidur.. Untuk Fase 2, bagian 2, validitas ditetapkan
melalui penentuan sensitivitas dan spesifisitas. Massey menggunakan alat pelacak
untuk melacak ada tidaknya disfagia dalam rekam medis masing-masing peserta.
MBS adalah standar emas yang digunakan untuk perbandingan dalam menentukan
adanya disfagia. Indikator tambahan termasuk berkonsultasi dengan ahli terapi
wicara, jenis diet khusus (seperti cairan kental atau makanan murni), dan / atau
gejala klinis pneumonia aspirasi termasuk dalam indicator alat ini.
4. Video fluorographic dari Menelan (PVFM)
PVFM juga dikenal dengan modifikasi dari penelitian proses menelan
menggunakan barium (PPB), yang merupakan gold standar untuk evaluasi dari
disfagia orofaringeal. PVFM biasanya dilakukan oleh ahli terapi wicara dan fisisian
(fisiatris atau radiologis), dan akan menggambarkan dari aliran bolus, fisiologi proses
menelan, dan invasi jalan nafas secara nyata. Kemampuan untuk mengobservasi
dari tahap orofaringeal saat proses menelan memungkinkan seorang klinisi untuk
menggolongkan kelainan mekanisme menelan. PVFM juga memungkinkan seorang
klinisi untuk mengobservasi pentingnya hubungan antara menelan, konsistensi
makanan, posisi, dan ventilasi Protokolnya telah dideskipsikan oleh Logemann etl al
(1993) terus diikuti dengan pengaturan klinis yang paling banyak proses tersebut
melibatkan anteriorposterior dan lateral dari tahap oral-faringeal, dengan pergerakan
yang diperlambat memungkinkan untuk menggolongkan mekanisme menelan dan
letak kelainannya. Pada tampilan lateral memungkinkan dilakukan penilaian dari
waktu singgah, penundaan bolus, dan problem fisiologis. Gambaran dari anterior
akan menampilan keasimetrisan dari valekula dan sinus piriformis, dan gambaran
abduksi/adduksi dari plika vokalis. Terutama penelitian untuk mengukur efisiensi dan
kecepatan menelan dan mendefinisikan pola pergerakan dari rongga mulut, faring
dan laring. Dengan mengetahui dimana, kapan, dan seberapa banyak aspirasi yang
terjadi saat penelitian klinis dapat dievaluasi efektifitasnya dari perencanaan
rehabilitasinya. Baru-baru ini, sebuah protokol telah dikembangkan untuk di
standarisasi dari PVFM. Implementasi penggunaan PPB dikembangan untuk
mengidentifikasi seberapa berat gangguan menelan tersebut terjadi saat proses
PVFM.
5. Manometri Faringeal
Manometri faringoesofageal digunakan untuk menilai fungsi fisiologis dari
sfingter atas esofagus, gerakan peristaltik dari esofagus, dan tekanan intrabolus.
Manometri esofageal merupakan gold standar dalam menilai fungsi motorik
esofagus. Bagaimanapun juga, ini bukan merupakan alat diagnostik primer untuk
disfagia pada stroke, dan hanya dapat dilakukan ketika riwayat, videoflurografi, atau
endoskopi gagal untuk membuktikan diagnosis pada poin gangguan motorik
menelan. Manometri biasanya dilakukan oleh ahli gasteroenterologi, dan
diindikasikan pada disfagia dengan makanan padat yang berhubungan dengan
kegilangan berat badan dan regurgitasi. American Gasteroenterological Association
telah membuktikan secara teknis dari indikasi pengunaan manometri berhubungan
dengan penggunaan alat diasnogtik lain untuk menilai dysphagia.
6. The Toronto Bedside Swallowing Screening Test (TOR-BSST)
Skrining disfagia sering menggunakan metode pemberian air. TOR-BSST
mengizinkan penilaian ini dysphagia pada pasien menggunakan media air. TOR-
BSST awalnya berisi 5 item dengan kemampuan prediksi tinggi untuk disfagia.
Skrining skor TOR-BSST didapatkan dalam waktu kurang dari 10 menit. Metodenya
perawat terlatih dari fasilitas kesehatan dan rehabilitasi secara prospektif
memberikan screening TOR-BSST kepada 311 pasien rawat inap stroke yang
memenuhi syarat. Analisis sensitivitas yang digunakan dalam TOR-BSST ini adalah
k item air sebanyak 10 sendok teh ditambah seteguk air sebagai standar. Proporsi
penapisan efektif adalah 59,2%. Dari keempat item yang membentuk TOR-BSST,
item menelan air berkontribusi pada identifikasi pasien disfagia sebanyak 42,7%
pada pasien akut dan 29,0% pada pasien rehabilitasi.
Meskipun merupakan penyumbang utama, item menelan air saja tidak dapat
mengidentifikasi semua pasien disfagia. Untuk mengidentifikasi disfagia secara
akurat, penting untuk memberikan point lainnya. Poin air TOR-BSST berkontribusi
besar terhadap skor skrining total TOR-BSST.
DAFTAR PUSTAKA
Price, A. Sylvia.2006 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Smeltzer, dkk. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol
2. alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta:
EGC

Anda mungkin juga menyukai