Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN STROKE

A. PENGERTIAN
Menurut Geyer (2009) stroke adalah sindrom klinis yang ditandai dengan
berkembangnya tiba-tiba defisit neurologis persisten fokus sekunder terhadap peristiwa
pembuluh darah. Stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda
klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal
maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau
membawa kematian), yang tidak disebabkan oleh sebab lain selain penyebab vaskuler.
WHO mendefinisikan stroke sebagai gangguan saraf yang menetap baik fokal maupun
global(menyeluruh) yang disebabkan gangguan aliran darah otak, yang mengakibatkan
kerusakan pembuluh darah di otak, yang berlangsung selama 24 jam atau lebih
(Sutrisno,2007).
Menurut Gofir (2009) stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan
atau tanda klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak
fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam. Fase akut stroke adalah jangka
waktu antara awal mula serangan stroke berlangsung sampai satu minggu (Misbach, 1999;
dalam Bangun, 2009).

B. PENYEBAB / FAKTOR DISPOSISI


Penyebab stroke menurut Arif Muttaqin (2008):
1. Thrombosis Cerebral
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti di
sekitarnya. Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun
tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan
darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan gejala neurologis
memburuk pada 48 jam setelah trombosis.
Beberapa keadaan di bawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak:
a. Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan suatu proses dimana terdapat suatu penebalan dan
pengerasan arteri besar dan menengah seperti koronaria, basilar, aorta dan arteri
iliaka (Ruhyanudin, 2007). Aterosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah
serta berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah.
Manifestasi klinis atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat terjadi
melalui mekanisme berikut:
a) Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah.
b) Oklusi mendadak pembuluh darah  karena terjadi trombosis.
c) Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan kepingan
thrombus (embolus).
d) Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan
terjadi perdarahan.
b. Hyperkoagulasi pada polysitemia
Darah bertambah kental, peningkatan viskositas/ hematokrit meningkat dapat
melambatkan aliran darah serebral.
c. Arteritis ( radang pada arteri )
d. Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan
darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung
yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung
cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan dibawah ini
dapat menimbulkan emboli:
a) Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Desease (RHD).
b) Myokard infark
c) Fibrilasi : Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan
ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu
kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-embolus kecil.
d) Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya
gumpalan-gumpalan pada endocardium.
2. Haemorhagi
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang
subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi karena
atherosklerosis dan hypertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan
perembesan darah kedalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan penekanan,
pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan
membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga terjadi infark otak, oedema, dan
mungkin herniasi otak.
3. Hipoksia Umum
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah:
a. Hipertensi yang parah.
b. Cardiac Pulmonary Arrest
c. Cardiac output turun akibat aritmia
d. Hipoksia Setempat
4. Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat adalah:
a. Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subarachnoid.
b. Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain.
Faktor resiko adalah keadaan yang menyebabkan atau memperparah stroke. Menurut

Wiwit. S (2010 : 21 – 23) terdiri dari :

a. Faktor resiko terjadinya stroke yang dapat dikendalikan :

a) Hipertensi

b) Penyakit jantung

c) Diabetes mellitus

d) Hiperlipidemia

e) Gangguan pembuluh darah koroner

f) Mempunyai riwayat terkena serangan stroke (stroke ringan).

b. Yang tidak dapat dikendalikan :

a) Usia

Beberapa penelitian membuktikan bahwa sebagian besar serangan stroke terjaadi

pada usia 65 tahun ke atas.

b) Jenis kelamin

Pria lebih banyak terkena stroke daripada wanita.hal ini disebabkan pria

umumnya terkena serangan stroke pada usia muda, sedangkan wanita saat

usianya sudah tua.


c) Garis keturunan

Dalam hal ini, hipertensi, diabetes, dan cacat pada pembuluh darah menjadi faktor

genetik yang berperan.

d) Kelainan pembuluh darah (atrial fibrilation)

Ketika salah satu bilik jantung bagian atas berdetak tidak sinkron dengan jantung

akibatnya terjadi penggumpalan darah yang menyebabkan sumbatan pembuluh

darah.

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi stroke menurut Muttaqin, (2008 : 129 – 130) :
a. Stroke Hemoragik ( SH )
Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdaraharan subarachnoid yang
disebabkan pecahnya pembuluh darah totak. Biasanya kejadiannya saat melakukan
aktifitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran klien
umumnya menurun.
b. Stroke Non Hemoragik (SNH)
Dapat berupa iskemia, emboli, spasme atau thrombus pembuluh darah otak.
Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau bangun tidur. Tidak terjadi
perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena
hipoksia jaringan otak.
Klasifikasi stroke menurut Tarwoto dkk (2007 : 89) adalah :
a. Berdasarkan keadaan patologis :
a) Stroke iskemia
Terjadi akibat suplay darah ke jaringan otak berkurang, hal ini disebabkan karena
obstruksi total atau sebagian pembuluh darah otak. Penyebab stroke iskemia
adalah trombosis, emboli dan hypoperfusi global.
b) Stroke hemoragik
Terjadi karena perdarahan subarachnoid, mungkin disababkan oleh pecahnya
pembuluh darah otak tertentu. Biasanya terjadi pada saat pasien melakukan
aktifitas atau saat aktif, namun juga pada kondisi istirahat.
b. Berdasarkan perjalanan penyakitnya stroke dibagi menjadi :
a) Transcient iscemic attack (TIA)
Merupakan gangguan neurologi fokal yang timbul secara tiba – tiba dan
menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Gejala yang muncul
akan hilang secara spontan dalam waktu kurang dari 24 jam
b) Stroke in evolution (Progressing stroke)
Perkembangan stroke terjadi perlahan – lahan sampai akut, munculnya gejala
makin memburuk. Proses progresif beberapa jam sampai beberapa hari.
c) Stroke lengkap ( stroke complete)
Gangguan neurologik yang timbul sudah menetap atau permanen, maksimal sejak
awal serangan dan sedikit memperlihatkan kebaikan.

D. PATOFISIOLOGI / PATHWAY
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya
infark tergantung pada faktor - faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan
adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang
tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan
lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum
(hipoksia karena gangguan sirkulasi dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor
penyebab infark pada otak. Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah
dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau
terjadi turbulensi (Muttaqin, 2008).
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam
aliran darah. Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh
darah yang bersangkutan, edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini
menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat
berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena trombosis
biasanya tidak fatal„ jika tidak terjadi perdarahan masif.
Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan
nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh
darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada
pembuluh darah yang tersumbat, menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal
ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur (Muttaqin,
2008).
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arterosklerotik dan hipertensi pembuluh
darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering menyebabkan
kematian di bandingkan keseluruhan penyakit serebro vaskulair. Karena perdarahan yang
luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat
dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum
(Muttaqin, 2008).
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan
darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus,
talamus, dan pons (Muttaqin, 2008).
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral. Perubahan
yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4-6 menit. Perubahan
ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena
gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung (Muttaqin, 2008).
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi otak
serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar dan kaskade
iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena
darah dan sekitarnya tertekan lagi (Muttaqin, 2008).
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih dari 60 cc
maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan luar.
Sedangkan jika terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara 30-60 cc diperkirakan
kemungkinan kematian sebesar 75%, namun volume darah 5 cc dan terdapat di pons
sudah berakibat fatal (Misbach, 1999 dalam Muttaqin, 2008)
Pathway stroke non hemoragik

Penyakit yang mendasari stroke (alkohol,


hiperkolesterol, merokok, stress, depresi, kegemukan)

Aterosklerosis
Kepekatan darah Pembentukan
(elastisitas pembuluh
meningkat trombus
darah menurun)

Penurunan aliran Obstruksi


Spasme darah ke otak trombus diotak
pembuluh darah

Perfusi jaringan
Hipoksia cerebri cerebral tidak efektif
Nyeri akut
efektif

Infark jaringan otak

Kerusakan pusat gerakan Kerusakan nervus Perubahan


motorik di lobus frontalis V, VII, IX, X, XII persepsi sensori
hemisphare / hemiplegi

Penurunan
Hambatan Mobilitas kemampuan otot
mobilitas fisik menurun mengunyah / menelan

Tirah baring

Ketidakseimbangan
Resiko kerusakan Defisit nutrisi kurang dari
integritas kulit perawatan diri kebutuhan tubuh

Pathway stroke non hemoragik Sumber : Muttaqin, (2008).


E. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Menurut Muttaqin, (2008) anamnesa pada stroke meliputi identitas klien, keluhan
utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga,
dan pengkajian psikososial.
1. Identitas klien

Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan,

alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan

diagnosis medis.

2. Keluhan utama

Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongau kesehatan adalah kelemahan

anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan

tingkat kesadaran.

3. Riwayat penyakit sekarang

Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien

sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan

kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan

fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran

disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhari perubahan perilaku juga umum

terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan

koma.

4. Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit

jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-

obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian

pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat

antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok,


penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini

dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data

dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

5. Riwayat penyakit keluarga

Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau

adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.

6. Pengkajian psikososiospiritual

Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan

perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan

perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting

untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan

peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam

kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah

ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan,

rasa cemas, rasa ketidakmarnpuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan

pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).

Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan untuk

berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri menunjukkan

klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, rnudah marah, dan tidak kooperatif.

Dalam pola penanganan stres, klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan

masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi. Dalam pola

rata nilai dan kepercayaan, klien biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena

tingkah laku yang tidak stabil dan kelemahan / kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.

Oleh karena klien harus menjalani rawat inap, maka apakah keadaan ini memberi

dampak pada status ekonomi klien karena biaya perawatan dan pengobatan
memerlukan dana yang tidak sedikit. Stroke memang suatu penyakit yang sangat

mahal. Biaya untuk pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat mernengaruhi

keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat memengaruhi stabilitas emosi serta

pikiran klien dan keluarga. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi

neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup

individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah:

keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurolcgis dalam hubungannya dengan

peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada

gangguan neurologis di dalam sistem dukungan individu.

7. Pemeriksaan Fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,

pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.

Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara persistem (B1-B6) dengan fokus

pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan

keluhan-keluhan dari klien.

1) B1 (Breathing)

Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,

penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi

bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi

sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien

stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien dengan tingkat

kesadaran compos mentis, pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan.

Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi

tidak didapatkan bunyi napas tambahan.


2) B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok hipovolemik)

yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan

dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg).

3) B3 (Brain)

Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi lesi

(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak

adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak

tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan

fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

4) B4 (Bladder)

Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara karena

konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan

untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik dan

postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama

periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia

urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.

5) B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual

muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan

produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola

defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya

inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.


6) B6 (Bone)

Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter


terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang, gangguan
kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan
pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motorik
paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada
sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh,
adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan 02 kulit akan tampak
pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu
juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena
klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise / hemiplegi, serta
mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
Dalam Kozier, et al. (2008); Smeltzer & Bare (2008); Black & Hawks (2009),
kekuatan otot dinyatakan dengan menggunakan angka 0-5 yaitu :
 0 = Paralisis total; tidak ada kekuatan sama sekali;
 1 = Tidak ada gerakan, tetapi terdapat kontraksi otot saat dilakukan
palpasi atau kadang terlihat.
 2 = Terdapat gerakan, tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya
berat (gravitasi).
 3 = Terdapat gerakan normal, tetapi hanya dapat melawan gaya berat
(gravitasi).
 4 = Terdapat gerakan, dapat melawan gaya berat (gravitasi), dan dapat
melawan tahanan ringan yang diberikan
 5 = kekuatan utuh, terdapat gerakan penuh, dapat melawan gaya berat
(gravitasi) dan dapat melawan tahanan penuh dari pemeriksa.
8. Pengkajian Tingkat Kesadaran

Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter

yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan

respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem

persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam

kewaspadaan dan keterjagaan.


Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat

letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian

GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk

pemantauan pemberian asuhan.

9. Pengkajian Fungsi Serebral

Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan bahasa, lobus

frontal, dan hemisfer.

1) Status Mental

Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan

aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status mental klien

mengalami perubahan.

2) Fungsi Intelektual

Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek maupun

jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa

kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal persamaan

dan perbedaan yang tidak begitu nyata.

3) Kemampuan Bahasa

Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang memengaruhi fungsi

dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian posterior dari

girus temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien

tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada

bagian posterior dari girus frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia

ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat
dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan

bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang

bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk

melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika klien

mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.

4) Lobus Frontal

Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan jika kerusakan telah

terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang

lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang

perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang

menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustrasi dalam program rehabilitasi

mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat oleh respons alamiah

klien terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah psikologis lain juga umum terjadi

dan dimanifestasikan oleh emosi yang labil, bermusuhan, frustrasi, dendam, dan

kurang kerja sama.

5) Hemisfer

Stroke hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah kiri tubuh, penilaian buruk

dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh

ke sisi yang berlawanan tersebut. Pada stroke hemifer kiri, mengalami hemiparese

kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah

kanan, disfagia global, afasia, dan mudah frustrasi.

10. Pengkajian Saraf Kranial.

Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I-X11.

1) Saraf I : Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
2) Saraf II : Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara

mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan

hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada klien

dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa

bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.

3) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada satu sisi

otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral

di sisi yang sakit.

4) Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigenimus,

penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang

bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan

eksternus.

5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot

wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.

6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.

7) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka

mulut.

8) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

9) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta indra

pengecapan normal.

11. Pengkajian Sistem Motorik

Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan kehilangan

kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan, gangguan

kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada

UMN di sisi yang berlawanan dari otak.


1) Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi

pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh

adalah tanda yang lain.

2) Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.

3) Tonus Otot. Didapatkan meningkat.

12. Pengkajian Sistem Sensorik

Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terdapat ketidakmampuan untuk

menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori

primer di antara mata dan korteks visual

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah :
1. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah ke
otak
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh ketidakmampuan makan
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neiromuskuler
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler
6. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan ganngguan sirkulasi

G. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


1. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah ke
otak
Tujuan dan kriteria hasil :
NOC :
 Circulation status
 Neurologic status
 Tissue perfusion : cerebral
Setelah dilakukan asuhan selama 3x24 jam ketidakefektifwn perfusi jaringan serebral
teratasi dengan kriteria hasil :
 Tekanan sistol dan diastol dalam rentang yang diharapkan
 Tidak ada hiepertensi ortostatik
 Komunikasi jelas
 Menunjukan konsentrasi dan orientasi
 Pupil seimbang dan reaktif
 Bebas dari aktifitas kejang
 Tidak mengalami nyeri kepala
Intervensi
NIC
 Monitor TTV
 Monitor AGD, ukuran pupil, ketajaman, kesimetriasa dan reaksi
 Monitor adanya diplopia, pandangan kabur, nyeri kepala
 Monitor tonus otot pergeraka
 Monitor levelkebingungan dan orientasi
 Monitor tekanan intrakranial dan respon neurologis
 Catat perubahan pasien dalam merespon stimulus
 Monitor status cairan
 Pertahankan parameter hemodinamik
 Tinggikan kepala 0 - 45º tergantung pada kondis pasien dan order medis
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
Tujuan dan kriteria hasil :
NOC
 Pain level
 Pain manajemen
 Comfort level
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien tidaka mengalami
nyeri, dengan kriteria hasil :
 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untukmengurangi nyeri, mencari batuan)
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda – tanda nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
 Tanda vital dalam rentang normal
 Tidak mengalami gangguan tidur
Intervensi
NIC
 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuklokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
 Observasi reaksi nonverbal ketidaknyamanan
 Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
 Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
 Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
 Ajarkan tentang tehnik nonfarmakologi : nafas dalam, distraks, kompres hangat /
dingin
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan makan
Tujuan dan kriteria hasil :
NOC
 Nuritional status : food and fluid intake
 Nutritional status : nutrient intake
 Weight control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nutrisi kurang teratasi
dengan kriteria hasil :
 Albumin serum
 Pre albumin serum
 Hematokrit
 Haemoglobin
 Total iron binding capacity
 Jumlah limfosit
Intervensi
NIC
 Kaji adanya alergi makanan
 Kolaburasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien
 Yakinkan diit yang dimakan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Monitor adanya penurunan BB dan Gula darah
 Monitor lingkungan selama makan
 Jadwalkan tindakan dan pengobatan tidak selama jam makan
 Monitor turgor kulit
 Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb, dan kadar Ht
 Monitor mual dan muntah
 Monitor intake nutrisi
 Kolaburasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti NGT /
TPN sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan
 Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan
 Pertahankan therapi IV line
 Catat adanya edema hiperemik, hipertonik papila lidah da cavitas oral
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
 Self care ; Activity Daily Living (ADLs)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam 3x24 jam defisit perawatan diri teratasi
dengan kriteria ahsil
 Klien terbebas dari bau badan
 Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLs
 Dapat melakukan ADLs dengan bantuan
Intervensi
NIC
Self care asesmen : ADLs
 Monitor kemampuan klien untuk perawatan diri yang mandiri
 Monitor kebutuhan klien untuk alat – alat bantu untuk kebersihan diri,
berpakaian, berhias, toileting dan makan
 Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self care
 Dorong klien untuk melakukan aktifitas sehari – hari yang normal sesuia
kemampuan yang dimiliki
 Dorong untuk melkauakn secara mandiri, tapi beri bantuan ketika klien tidak
mampu melakukannya
 Ajarkan klien / keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk memberikan
bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukannya
 Berikan aktifitas rutin sehari – hari sesuai kemampuan
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler
Tujuan dan kriteria hasil :
NOC
 Joint movement activity : active
 Mobility level
 Self care : ADLs
 Transfer performance
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kerusakan mobilitas fisik
teratasi dengan kriteria hasil :
 Klien meningkat dalam aktivitas fisik
 Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
 Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah
 Memperagakan pengguanaan alat bantu untuk mobilisasi (walker)
Intervensi
NIC
Exercise therapy : ambulation
 Monitoring vital sign sebelum dan sesudah melakukan latihan dan lihat respon
pada saat latihan
 Konsultasikan dengan terpi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan
kebutuhan
 Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
 Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang tehnik ambulasi
 Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
 Latih pasien dalam pemenuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
 Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs
pasien
 Berikan alat batu jika pasien membutuhkan
 Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
6. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan ganngguan sirkulasi
Tujuan dan kriteria hasil :
NOC
 Status sirkulasi
 Perfusi jaringan perifer
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam 3x24jam diharapkan tidak terjadi
gangguan integritas jaringan dengan kriteria hasil :
 Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur,
hidrasi, pigmentasi)
 Tidak ada luka atau lesi pada kulit
 Perfusi jaringan baik
Intervensi
NIC
 Monitor aktifitas dan mobilisasi pasien
 Monitor status nutrisi pasien
 Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
 Kaji lingkungan dan peralatan yang menyebabkan tekanan
 Kolaburasi dengan ahli gizi untuk pemberian diit TKTP
 Cegah kontaminasi feses dan urin
 Balikkan posisi pasien minimal setiap 2 jam, sesuai jadwal khusus
 Monitor area kulit dari adanya kemerahan dan adanya pecah – pecah
 Gunakan alat yang tepat untulk membuat tumit dan tulang yang menonjol tidak
menyentuh kasur

H. EVALUASI
Dilakukan berdasarkan intervensi
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, A. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan :


Salemba Medika.2008

Tarwoto, W. E. Keperawatan Medikal Bedah (Gangguan Sistem Persarafan). Jakarta: CV.


Sagung Seto 2007

Riskesda. laporan nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan


Departemen Kesehatan, Republik Indonesia Desember 2007

Price, A. S., Wilson M. L. Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit, Alih
Bahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC. 2006

NANDA Internasional. Diagnosis Keperawatan Definisi dan klasifikasi. Penerbit Buku


Kedokteran EGC.Jakarta. 2008

Potter & Perry. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses & pengantar
praktek.Edisi 4. Vol 2. Jakarta : EGC. 2006

Barbara Kozier, Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis, edisi 7 volume : 1, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta 2009.

Asmadi, Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien ;
Penerbit Salemba Medika, Jakarta 2008.

Wiwit, S. Stroke dan Penanganannya : Memahami, Mencegah dan Mengobati Stroke,


Penerbit : Katahati, Jogjakarta 2010.

Carpenito, Lynda Juall. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 13 ; Penerbit Buku
Kedokteran EGC; Jakarta 2013.

Dinas Kesehatan Provinsi Jateng. Profil Kesehatan Provinsi Jateng. 2012.

Gloria M. Bulechek dkk. Nursing Interventions Clasivication edisi 6 ; by Mosby, inc, an


affiliate of Elsivier Inc

Sue Moorhead dkk. Nursing Interventions Clasivication edisi 6 ; by Mosby, inc, an


affiliate of Elsivier Inc

Anda mungkin juga menyukai