Anda di halaman 1dari 26

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Gangguan kulit adalah masalah utama yang sangat menggangu penampilan,
khususnya bagi kaum wanita. Kelainan kulit yang sering dialami oleh kaum wanita
adalah kelainan yang disebabkan oleh kelenjar palit seperti jerawat dan gangguan
pigmentasi. (Roeswoto, 2001 : 61).
Propionibacterium acnes merupakan bakteri komensial pada kulit manusia
yang beperan menghalangi kolonisasi bakteri-bakteri pathogen pada kulit yang sehat.
Bakteri ini tergolong dalam bakteri Gram positif, bersifat anaerob, tidak berspora,
berbentuk batang pleomorfik yang menghasilkan produk akhir fermentasi berupa
asam propionat. P. acnes merupakan organisme predominan didalam folikel
pilosebasea.
Indonesia merupakan salah satu Negara yang kaya akan sumber daya alam
dengan berbagai wilayah yang memiliki ciri khas masing-masing tanaman unggulan
yang telah digunakan luas dalam bidang pengobatan, makanan dan minuman, serta
kosmetik. Lidah buaya, daun mint, dan mimba merupakan beberapa contoh yang
telah digunakan di Indonesia dengan berbagai tujuan khususnya dalam bidang
kosmetik ( Singh HP, et all, 2015).
Kesehatan dan kecantikan kulit wajah didapatkan dengan menjaga kebersihan
wajah. Toner merupakan salah satu kosmetik yang berbentuk cair dan memiliki
fungsi utama sebagai penyegar. Penggunaan face toner menurut Liao dan Lien (2011)
yaitu setelah pembersih dan sebelum pelembab wajah. Face toner juga dapat
membantu menghilangkan kotoran dan minyak berlebih tanpa mengeringkan kulit
sensitif. Fungsi toner bergantung pada bahan pembuatan toner. Toner dapat berfungsi
sebagai pembersih kulit, mengatur pH kulit, atau melembabkan kulit. Bahan utama
face toner yaitu air, sedangkan bahan lainnya meliputi humektan, emolien, minyak
atsiri, surfaktan, dan pengawet. Banyak terdapat toner yang masih mengandung bahan
kimia yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit, terlebih dengan kulit sensitif.
2

Saat ini, produk-produk kosmetik seperti pembersih wajah antiacne banyak


beredar di masyarakat, baik yang mengandung senyawa aktif antibakteri seperti
triclosan, benzoyl peroxide, sulfur, asam laurat, asam salisilat ataupun senyawa-
senyawa formulasi bahan alam. Berdasarkan penelitian Sartini Marliana dan Abdul
Karim pada tahun 2018 menyatakan bahwa produk CCA yang mengandung 6 bahan
alam memiliki efektivitas paling tinggi sebagai pembersih wajah antiacne terhadap
bakteri Propionibacterium acnes dibandingkan dengan produk pembersih wajah
antiacne BAC yang merupakan produk murni senyawa aktif sintetis.

Bahan alam yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri penyebab


jerawat yaitu kayu manis (Cinnamomum burmannii). Hal ini dibuktikan dengan
adanya penelitian oleh Yosi Mega Apriani dkk, pada tahun 2015. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukkan nilai KHM minyak kayu manis adalah konsentrasi 0,2% yang
memberikan diameter hambat 8,43 mm ±0,023, konsentrasi 0,5% yang memberikan
diameter hambat 11,63mm ±0,028 dan konsentrasi 1% yang memberikan diameter
hambat 13,8 mm ± 0. Zat aktif (Sinamaldehid dan eugenol) dari kayu manis dapat
didapat dengan metode maserasi sehingga di dapat ekstrak kental. Ekstrak kental dari
kayu manis tersebut dapat diformulasikan menjadi sediaan toner antiacne.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, masalah yang dapat
diidentifikasi diantaranya adalah:
1. Apakah ekstrak kayu manis (Cinnamomum burmannii) dapat diformulasi
menjadi sediaan toner anti-akne?
2. Apakah di dalam ekstrak kayu manis (Cinnamomum burmannii) yang telah
dibuat sediaan toner terdapat senyawa antibakteri pada jerawat?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui dapat tidaknya kayu manis (Cinnamomum burmannii)
diformulasikan menjadi sediaan toner.
3

2. Mengetahui ada tidaknya senyawa anti bakteri yang terkandung di dalam


ekstrak kayu manis (Cinnamomum burmannii) setelah dibuat sediaan toner
anti-akne.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan bukti ilmiah yang berkaitan
dengan ekstrak diantaranya adalah:
1. Dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya.
2. Sediaan ekstrak kayu manis (Cinnamomum burmannii) dalam bentuk
sediaan toner antiakne diharapkan dapat mengatasi permasalahan
gangguan kulit yang disebabkan oleh bakteri bakteri Propionibacterium
acnes yang mengakibatkan timbulnya jerawat pada wajah.
1.5 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Bahan Alam Sekolah Tinggi Farmasi
Indonesia (STFI) Jalan Soekarno Hatta No.354 Bandung. Dilakukan pada bulan
Februari 2020 sampai dengan May 2020.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

Gambar 2.1 Anatomi Kulit


Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan
organ terberat dan terbesar dari tubuh. Kulit memiliki fungsi melindungi bagian tubuh
dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi
melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara
terus menerus keratinisasi dan pelepasan sel-sel kulit ari yang sudah mati), respirasi
dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat serta pembentukan pigmen
melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultra violet matahari.
Kulit tersusun dari tida apisan, yaitu: epidermis, dermis, dan jaringan subkutan.
2.1.1 Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel
berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan merkel.
Fungsi epidermis adalah proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin,
pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel
Langerhans). Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai
yang terdalam) :
5

a. Stratum Korneum. Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan
berganti.
b. Stratum Lusidum. Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal
telapak kaki dan telapak tangan.
c. Stratum Granulosum. Mengandung protein kaya akan histidin.
d. Stratum Spinosum. Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan
tonofibril, dianggap filamen-filamen tersebut memegang peranan penting
untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi.
e. Stratum Basale (Stratum Germinativum). Terdapat aktifitas mitosis yang
hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara
konstan. pidermis diperbaharui setiap 28 hari. Merupakan satu lapis sel yang
mengandung melanosit.

2.1.2 Dermis
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai
“True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan
menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Dermis terdiri dari dua lapisan, yaitu
lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang, dan lapisan retikuler; tebal
terdiri dari jaringan ikat padat. Fungsi dermis adalah struktur penunjang, suplai
nutrisi dan respon inflamasi.
a. Jaringan Subkutan
Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari
lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan
kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Berfungsi menunjang
suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi Subkutis /hipodermis
adalah melekat ke struktur dasar, isolasi panas dan cadangan kalori.
b. Perlindungan
Kulit memberikan perlindungan invasi bakteri dan benda asing lainnya.
Bagian sternum korneum epidermis meripakan barrier yang paling efektif
terhadap berbagai faktor lingkungan, seperti zat-zat kimia, sinar matahari,
6

virus, fungus, gigitan serangga, luka karena gesekan angin, dan trauma.
Lapisan dermis kulit memberikan kekuatan mekanis dan keuletan lewat
jaringan ikat fibrosa dan serabut kolagennya. Serabut elastic dan kolagen
yang saling berjalin dengan epidermis memungkinkan kulit untuk
berperilaku sebagai satu unit.
c. Sensibilitas
Fungsi utama reseptor pada kulit adalah untuk mengindera suhu, rasa nyeri,
sentuhan yang ringan dan tekanan. Berbagai ujung saraf bertanggung jawab
untuk bereaksi terhadap stimuli yang berbeda.
d. Keseimbangan Air
Stratum korneum memiliki kemampuan untuk menyerap air sehingga
lapisan tersebut dapat mencegah kehilangan air dan elektrolit yang
berlebihan dari bagian internal tubuh dan mempertahankan kelembaban
dalam jaringan subkutan. Selain itu, kulit juga akan mengalami evaporasi
secara terus-menerus dari permukaan kulit. Evaporasi ini yang dinamakan
perspirasi tidak kasat mata (insensible perspiration) berjumlah kurang-lebih
600 ml per hari untuk orang dewasa yang normal. Pada penderita demam,
kehilangan ini dapat meningkat. Ketika terendam dalam air, kulit dapat
menimbun air tiga sampai empat kali berat normalnya.
e. Pengatur Suhu
Tubuh secara terus menerus akan menghasilkan panas sebagai proses
metabolisme makanan yang memproduksi energi. Tiga proses fisik yang
penting terlibat dalam kehilangan panas dari tubuh ke lingkungan, yaitu
radiasi (perpindahan panas ke banda lain yang suhunya lebih panas),
konduksi (pemindahan panas dari tubh ke benda lain yang lebih dingin),
dan konveksi (pergerakkan massa molekul udara hangat yang meninggalkan
tubuh). Dalam kondisi normal, produk panas dari metabolism akan
diimbangi oleh kehilangan panas, dan suhu internal tubuh akan
dipertahankan agar tetap konstan pada suhu kurang-lebih 37oC.
f. Fungsi Respons Imun
7

Hasil-hasil penelitian terakhir (Nicholoff, 1993 dalam Brunner dan


Suddarth, 2002) menunjukkan bahwa beberapa sel dermal (sel-sel
Langerhans, IL-1 yang memproduksi keratinosit, dan sub kelompok
limfosit-T) merupakan komponen penting dalam sistem imun.

2.2 Jerawat
2.1.1 Definisi jerawat

Jerawat adalah reaksi dari penyumbatan pori-pori kulit disertai peradangan


yang bermuara pada saluran kelenjar minyak kulit. Sekresi minyak kulit menjadi
tersumbat, membesar dan akhirnya mengering menjadi jerawat (Muliyawan dan
Suriana, 2013). Gangguan kulit yang berupa peradangan dari folikel pilosebasea ini
ditandai dengan adanya erupsi komedo, papul, pustul, nodus dan kista pada tempat
predileksinya (muka, leher, lengan atas, dada dan punggung) (Wasitaatmadja, 1997).
2.1.2 Klasifikasi jerawat
Berdasarkan jenisnya jerawat dapat dibedakan menjadi:
a. Acne punctate
Acne punctata merupakan blackhead comedo atau whitehead comedo yang
bisa menjadi cikal bakal tumbuhnya jerawat. Bila kuman masuk ke dalam
sumbatan pori-pori kulit, maka kedua komedo tersebut berganti rupa
menjadi jerawat dengan tingkatan yang lebih tinggi.
b. Acne papulosa
Acne papulosa merupakan jerawat dalam bentuk papul, yaitu peradangan
disekitar komedo yang berupa tonjolan kecil. Acne pustulosa. Acne
pustulosa merupakan jerawat dalam bentuk pustul, yaitu jerawat papul
dengan puncak berupa pus atau nanah. Biasanya usia pustul lebih pendek
dari pada papul.
c. Acne indurate
Acne indurate merupakan jerawat yang terinfeksi bakteri Staphylococcus
epidermidis sehingga menimbulkan abses.
8

d. Cystic acne (jerawat batu)


Cystic acne (jerawat batu) merupakan jerawat dengan ukuran yang besar dan
apabila terjadi jumlahnya bisa hampir memenuhi wajah (Muliyawan dan
Suriana, 2013).
2.1.3 Epidemiologi jerawat
Gangguan kulit berupa jerawat sering dianggap sebagai gangguan kulit yang
timbul secara fisiologis, hal ini dikarenakan tidak ada seorang pun yang semasa
hidupnya sama sekali tidak pernah menderita gangguan kulit tersebut (Efendi, 2003).
Berdasarkan survei yang dilakukan di kawasan Asia Tenggara, terdapat 40-80%
kasus jerawat. Di Indonesia, menurut catatan kelompok studi dermatologi kosmetika
Indonesia, terdapat 60% penderita jerawat pada tahun 2006 dan 80% pada tahun
2007. Berdasarkan kasus di tahun 2007, kebanyakan penderitanya adalah remaja dan
dewasa muda yang berusia antara 11-30 tahun, sehingga beberapa tahun belakangan
ini para ahli dermatologi di Indonesia mempelajari patogenesis terjadinya penyakit
tersebut (Andy, 2009). Meskipun demikian, jerawat dapat terjadi pada usia lebih tua
ataupun lebih muda dari usia tersebut (Efendi, 2003). Pada wanita jerawat dapat
menetap sampai dekade umur 30-an tahun atau bahkan lebih. Pada pria umumnya
jerawat lebih cepat berkurang, tetapi gejala yang lebih berat justru lebih sering terjadi
pada pria (Cunliffe, 1989).
Diketahui pula bahwa ras Oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih jarang menderita
jerawat dibandingkan dengan ras Kaukasia (Eropa, Amerika) dan lebih sering terjadi
nodul-kistik pada kulit putih daripada negro (Rook, dkk, 1972).

2.1.4 Etiologi jerawat


Faktor penyebab jerawat cukup banyak (multifaktorial), antara lain: Genetik.
Jerawat merupakan penyakit genetik akibat adanya peningkatan kepekaan unit
pilosebasea terhadap kadar androgen yang normal. Faktor genetik ini berperan dalam
9

menentukan bentuk, gambaran klinis, penyebaran lesi dan durasi penyakit. Pada lebih
dari 80% penderita mempunyai minimal seorang saudara kandung yang menderita
jerawat dan pada lebih dari 60% penderita mempunyai minimal salah satu orangtua
dengan jerawat juga (Efendi, 2003). Apabila kedua orangtua pernah menderita
jerawat berat, anak-anak mereka akan memiliki kecenderungan serupa (Ramdani,
dkk, 2015).
Hormonal, diantaranya:
1. Hormon Androgen Hormon ini memegang peranan yang penting karena
kelenjar palit sangat sensitif terhadap hormon ini. Hormon androgen berasal
dari testis dan kelenjar anak ginjal (adrenal). Hormon ini menyebabkan
kelenjar palit bertambah besar dan produksi sebum meningkat.
2. Hormon Estrogen Pada keadaan fisiologi, estrogen tidak berpengaruh
terhadap produksi sebum. Estrogen dapat menurunkan kadar gonadotropin
yang berasal dari kelenjar hipofisis. Hormon gonadotropin mempunyai efek
menurunkan produksi sebum.
3. Hormon Progesteron Progesteron dalam jumlah fisiologis tidak mempunyai
efek pada efektifitas terhadap kelenjar lemak. Produksi sebum tetap selama
siklus menstruasi, akan tetapi kadang-kadang progesteron dapat
menyebabkan jerawat premenstrual (Rook, dkk, 1972).

2.1.5 Patogenesis jerawat


Patogenesis jerawat dipengaruhi banyak faktor (multifaktorial). Ada empat hal
penting yang berhubungan dengan terjadinya jerawat, yaitu:
1. Meningkatnya produksi sebum Gollnick (2003) menyatakan bahwa hormon
androgen merangsang peningkatan produksi dan sekresi sebum. Peningkatan
produksi sebum secara langsung berkorelasi dengan tingkat keparahan dan
terjadinya lesi jerawat. Peningkatan produksi sebum menyebabkan
peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik penyebab terjadinya
lesi jerawat. Kelenjar sebasea dibawah kontrol endokrin. Pituitari akan
menstimulasi adrenal dan gonad untuk memproduksi estrogen dan androgen
10

yang mempunyai efek langsung terhadap unit pilosebaseus. Stimulasi


hormon androgen mengakibatkan pembesaran kelenjar sebasea dan
peningkatan produksi sebum pada penderita jerawat, hal ini disebabkan oleh
peningkatan hormon androgen atau oleh hiperesponsif kelenjar sebasea
terhadap androgen dalam keadaan normal.
2. Hiperproliferasi epidermal dan pembentukan komedo Perubahan pola
keratenisasi folikel sebasea menyebabkan stratum korneum bagian dalam
dari duktus pilosebaseus menjadi lebih tebal dan lebih melekat, akhirnya
akan menimbulkan sumbatan pada saluran folikuler. Bila aliran sebum ke
permukaan kulit terhalang oleh masa keratin tersebut, maka akan terbentuk
mikrokomedo. Mikrokomedo ini merupakan suatu proses awal dari
pembentukan lesi jerawat yang dapat berkembang menjadi lesi non inflamasi
maupun lesi inflamasi. Proses keratenisasi ini dirangsang oleh androgen,
sebum, asam lemak bebas dan skualen.
3. Kolonisasi mikroorganisme di dalam folikel sebaseus Peran mikroorganisme
penting dalam perkembangan jerawat. Dalam hal ini mikroorganisme yang
mungkin berperan adalah Propionibacterium acnes, Staphylococcus
epidermidis dan Corynebacterium acnes. Mikroorganisme tersebut berperan
pada kemotaktik inflamasi serta pada pembentukan enzim lipolitik pengubah
fraksi lipid sebum. Propionibacterium acnes menghasilkan komponen aktif
seperti lipase, protease, hialuronidase dan faktor kemotaktik yang
menyebabkan inflamasi. Lipase berperan dalam menghidrolisis trigliserida
sebum menjadi asam lemak bebas yang berperan dalam menimbulkan
hiperkeratosis, retensi dan pembentukan mikrokomedo.
4. Adanya proses inflamasi Propionibacterium acnes mempunyai aktivitas
kemotaktik yang menarik leukosit polimorfonuklear ke dalam lumen
komedo. Jika leukosit polimorfonuklear memfagosit Propionibacterium
acnes dan mengeluarkan enzim hidrolisis, maka akan menimbulkan
kerusakan dinding folikuler dan menyebabkan ruptur sehingga isi folikel
11

(lipid dan komponen keratin) masuk dalam dermis dan mengakibatkan


terjadinya proses inflamasi (Fox, dkk, 2016).

2.1.6 Manifestasi klinik jerawat

Tempat predileksi jerawat terutama di wajah, leher, lengan atas, dada dan
punggung (Wasitaatmadja, 1997). Jerawat ditandai dengan lesi yang polimorfi,
walaupun dapat terjadi salah satu bentuk lesi yang dominan pada suatu saat atau
sepanjang perjalanan penyakit. Manifestasi klinik jerawat dapat berupa lesi non
inflamasi (komedo terbuka dan komedo tertutup), lesi inflamasi (papul, pustul dan
nodul) (Movita, 2013).
a. Komedo
Komedo adalah suatu tanda awal dari jerawat, dapat berupa komedo terbuka
dan komedo tertutup. Komedo terbuka berwarna hitam karena mengandung
unsur melanin, berdiameter 0,1-3,0 mm dan biasanya memerlukan waktu
beberapa minggu atau lebih untuk berkembang. Komedo tertutup berwarna
putih karena letaknya lebih dalam sehingga tidak mengandung unsur
melanin, berdiameter 0,1-3,0 mm (Cunliffe, 1989).
b. Papul
Papul merupakan peninggian kulit yang solid dengan diameter < 1cm dan
bagian terbesarnya berada di atas permukaan kulit (Jusuf, dkk, 2007). Papul
adalah lesi meradang yang bervariasi dalam ukuran dan kemerahan, 50%
papul muncul dari kulit tampak normal yang bisa menjadi tempat
mikrokomedo, sementara 25% muncul dari whitehead komedo dan 25%
muncul dari blackhead komedo (Cunliffe, 1989).
c. Pustul
Pustul merupakan papul dengan puncak berupa pus atau nanah, berada diatas
kulit yang meradang. Biasanya usia pustul lebih pendek dari pada papul
(Barakbah, dkk, 2007).
12

d. Nodul/Nodus
Nodul merupakan lesi radang dengan diameter 1 cm atau lebih disertai nyeri
(Barakbah, dkk, 2007). Lesi lebih dalam dan cenderung bertahan sampai
delapan minggu atau beberapa bulan yang akhirnya dapat mengeras untuk
membentuk kista di bawah permukaan kulit. Baik nodul dan kista sering kali
menimbulkan jaringan parut yang dalam (Cunliffe, 1989).

2.1.9 Pengobatan jerawat


Pengobatan jerawat dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: cara topikal,
sistemik dan bedah. Cara topikal biasanya digunakan untuk mengobati jerawat dalam
kategori ringan sedangkan cara sistemik dan bedah digunakan untuk mengobati
jerawat dalam kategori sedang hingga berat (Cunliffe, 1989).
A. Cara topikal
Prinsip pengobatan dengan cara topikal adalah mencegah pembentukan
komedo, menekan peradangan dan mempercepat penyembuhan lesi jerawat.
Cara topikal dapat dilakukan dengan penggunaan obat topikal dan
penggunaan cosmedic antijerawat. Obat topikal terdiri dari:
1. Bahan iritan/pengelupas, misalnya sulfur, resorsinol, asam salisilat,
benzoil peroksida, asam vitamin A dan asam azeleat. Efek samping obat
iritan dapat dikurangi dengan pemakaian hati-hati dimulai dari konsentrasi
yang paling rendah.
2. Obat lain, misalnya kortikosteroid topikal atau suntikan intralesi dapat
dipakai untuk mengurangi radang yang terjadi (Wasitaatmadja, 1997).
B. Cara sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan aktivitas jasad renik
disamping dapat juga menekan reaksi radang, menekan produksi sebum dan
mempengaruhi keseimbangan hormonal. Golongan obat sistemik terdiri atas:
1. Antibakteri sistemik, misalnya tetrasiklin, eritromisin dan klindamisin.
13

2. Obat hormonal dapat digunakan untuk menekan produksi androgen atau


secara kompetitif menduduki reseptor organ target di kelenjar sebasea,
seperti etinil estradiol dan anti-androgen siproteron asetat.
3. Retinoid dan asam vitamin A oral dipakai untuk menekan
hiperkeratinisasi sesuai dengan patofisiologi jerawat (Wasitaatmadja, 1997).
C. Cara bedah. Bedah kulit ditujukan untuk memperbaiki jaringan parut yang
terjadi akibat jerawat, dapat berupa bedah listrik, bedah kimia, bedah beku,
bedah pisau, dermabrasi dan bedah laser (Wasitaatmadja, 1997).
2.3 Tanaman Kayu Manis

Gambar 2.2 Kayu Manis (Cinnamomun Burmanni Ness ex Bl) (Inna, et al, 2010:
81).
2.3.1 Klasifikasi Kayu Manis
Kayu manis (Cinnamomun Burmanni Ness ex Bl). Diklasifikasikan sebagai
berikut : (Backer and Brink, 1963: 121 )

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Anak Kelas : Magnoliidae

Bangsa : Laurales

Suku : Lauraceae

Marga : Cinnamomum
14

Jenis : Cinnamomun Burmanni Ness ex Bl

2.3.2 Ciri-Ciri Morfologi Tanaman Kayu Manis


Berikut beberapa ciri-ciri morfologi dari tanaman kayu manis, diantaranya:
Tanaman kayu manis tumbuh secara menjulang ke atas dengan tinggi berkisar
5-15 meter yang mana kulit pohonnya berwarna abu-abu tua dan memiliki bau yang
khas, sedangkan anak kayunya memiliki warna merah cokelat muda. Batang kayu
manis memiliki bentuk yang tegak dan berkayu, bercabang-cabang, agak berat, padat,
memiliki struktur dan serat yang halus. Bagian yang paling sering digunakan dan
dimanfaatkan adalah bagian dalam kulit kayu manis. Pada bagian cabang dan ranting
tanaman kayu manis banyak sekali mengandung minyak atsiri yang biasanya dapat
dijadikan sebagai komoditas ekspor ke negara lain.
2.3.3 Kandungan Kimia Minyak Atsiri Kayu Manis

Minyak atsiri kayu manis mengandung senyawa-senyawa seperti kamfer, safrol,


sinamil aldehid, sinamil asetat, terpen, sineol, sitral, sitronela, polifenol dan
benzaldehid. Komponen terbesar adalah sinamal dehid 55-65% dan eugenol 4-8%,
beberapa jenis aldehida, benzyl benzoate dan felandren yang terdapat dalam kulit
batangnya (Inna, et al, 2010: 81).

2.3.4 Khasiat dan Penggunaan Kayu Manis


Kayu manis (Cinnamomun Burmanni Ness ex Bl) dapat digunakan diantaranya
sebagai peluruh kentut, peluruh keringat, antirematik, penambahan nafsu makan,
penghilang rasa sakit dan memiliki aktivitas antioksidan. Selain untuk rempah –
rempah juga digunkaan sebagai bahan untuk obat, minyak atsirinya dapat digunakan
dalam industry parfum, kosmetik, farmasi, makanan atau minuman (Inna, et al, 2010:
82; Shekar, et al: 2012 : 5). Selain itu kayu manis diketahui sebagai salah satu
tanaman yang mengandung senyawa aktif sinamaldehid dan eugenol yang berkhasiat
sebagai antibakteri (Inna, et al, 2010: 81).
15

2.4 Tanaman Rosella

Gambar 2.3 Tanaman Rosella

2.4.1 Klasifikasi Tanaman


Tanaman rosella dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom    : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio        : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas          : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub-kelas    : Dilleniidae
Ordo           : Malvales
Familia       : Malvaceae (suku kapas-kapasan)
Genus         : Hibiscus
Spesies       : Hibiscus sabdariffa L (Comojime, 2008).

2.4.2 Morfologi tanaman rosella


Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) mempunyai bunga berwarna cerah,
Kelopak bunga atau kaliksnya berwarna merah gelap dan lebih tebal jika
dibandingkan dengan bunga raya/sepatu. Bunganya keluar dari ketiak daun dan
merupakan bunga tunggal, yang berarti pada setiap tangkai hanya terdapat 1 (satu)
bunga. Bunga ini mempunyai 8-11 helai kelopak yang berbulu, panjangnya 1 cm,
16

yang pangkalnya saling berlekatan dan berwarna merah. Kelopak bunga ini sering
dianggap sebagai bunga oleh masyarakat. Bagian inilah yang sering dimanfaatkan
sebagai bahan makanan dan minuman.

2.4.3 Kandungan pada Bunga Rosella


Bunga rosella mempunyai kandungan zat kimia sebagai berikut : kalori, air,
protein, lemak, karbohidrat, kalsium, phosphor, besi, B-karotene, asam askorbat
(Daryanto-Agrina, 2006).
Berbagai kandungan yang terdapat dalam tanaman Rosella membuatnya popular
sebagai tanaman obat tradisional, antara lain: Vitamin, yaitu:
1.      Vitamin A – baik untuk kesehatan mata
2.      Vitamin C – baik untuk antioksidan
Menurut penelitian (Ir. Didah Nurfarida Msi, IPB, 2006), kandungan
antioksidan pada the rosella sebanyak 1,7 mmol/prolox, atau 3 kali lebih banyak
daripada anggur hitam, 9 kali lebih banyak daripada jeruk stirus, 10 kali daripada
buah belimbing dan 2,5 kali daripada jambu biji.
3.      Vitamin D – baik untuk tulang
4.      Vitamin B1 & B2
b.       Omega 3 – bermanfaat untuk pertumbuhan dan kecerdasan otak anak
c.       Kalsium – untuk tulang
d.      Protein, karbohidrat, serat, mineral, kelori  - untuk memulihkan stamina.

2.5 Tanaman Pegagan

Gambar 2.4 Tanaman Pegagan

2.5.1 Klasifikasi Pegagan (Centella asiatica L.) Urban


17

Menurut Besung (2009) klasifikasi ilmiah pegagan adalah sebagai berikut :


Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dikotyledone
Family : Umbilliferae (Apiaceae)
Genus : Centella
Spesies : Centella asiatica (L.) Urban

2.5.2 Kandungan daun pegagan (Centella asiatica L.) Urban


Pegagan mengandung berbagai bahan aktif, kandungan bahan aktif yang
terpenting adalah triterpenoid saponin, termasuk asiaticoside, centelloside,
medecassoide, dan asam asiatik. Komponen yang lain adalah minyak volatile,
flavonoid, tannin, fitosterol, asam amino, dan karbohidrat (Besung, 2009)
Triterpenoid saponin pada pegagan mampu memacu produksi kolagen yaitu
protein pemacu proses penyembuhan luka. Asiatikosida merupakan bagian dari
triterpenoid yang berfungsi menguatkan sel-sel kulit dan meningkatkan perbaikannya.
(Wiranto, 2003).

2.6 Sediaan Toner


2.6.1 Pengertian Toner
Tonner merupakan sediaan yang digunakan untuk
menyempurnakan penggunaan pembersih, membersihkan sisa-sisa
pembersih yang tertinggal serta memberikan kesegaran pada kulit.
Penyegar merupakan sediaan larutan air atau campuran air dan
alkohol. Biasanya jika menggunakan alkohol, hanya dipakai dalam
jumlah kecil. Penyegar umumnya mengandung active
content yang membantu mengencangkan dan memelihara
kelembutan kulit wajah, astringent, humectant dan bahan active
lainnya biasanya ditambahkan (Marlina, 2011).
18

2.6.2 Persyaratan dan Formula Sediaan Toner


Persyaratan sediaan toner yaitu:
1. Larutan jernih
2. Tidak menyebabkan iritasi pada kulit
3. Menyegarkan kulit
4. Tidak memberikan kesan lengket
5. Aroma dan warna yang sesuai dan menarik
6. Memberikan kesan segar pada kulit
7. Stabil (tidak menjadi keruh selama penyimpanan dan
penjualan)
8. Sebaiknya mempunyai pH 4-7 (Marlina, 2011).
Sedangkan formula tonner biasanya terdiri dari:
1. Pelarut (biasanya air atau campuran dengan alkohol)
2. Humektan
3. pH adjuster (asam atau basa)
4. Solibuliser
5. Active
6. Pengawet

2.7 Metode Ekstraksi


2.7.1 Metode Ekstraksi
Maserasi merupakan proses perendaman sampel menggunakan pelarut organic
pada temperature ruangan. Proses sangat menguntungkan dalam isolasi senayawa
bahan alam karena perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding
dan membrane sel sehingga metabolit sekunder yang ada didalam sitoplasma akan
terlarut dalam pelarut organic dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat
diatur lama perendaman yang dilakukan.
19

2.7.2 Metode Reflux


Metode Reflux merupakan metode ektraksi cara panas (membutuhkan
pemanasan pada prosesnya), secara umum pengertian refluks sendiri adalah ekstraksi
dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah
pelarut yang ralatif konstan dengan adanya pendingin balik. Ekstraksi dengan cara ini
pada dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan.
Reaksi kimia kadang dapat berlangsung sempurna pada suhu kamar atau pada
titik didih pelarut yang digunakan pada sistem reaksi. Salah satu alat yang dapat
digunakan untuk reaksi-reaksi yang berlangsung pada suhu tinggi adalah seperangkat
alat refluks. Refluks adalah salah satu metode dalam ilmu kimia untuk mensintesis
suatu senyawa, baik organik maupun anorganik. Umumnya digunakan untuk
mensistesis senyawa-senyawa yang mudah menguap atau volatile. Pada kondisi ini
jika dilakukan pemanasan biasa maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan
sampai selesai. Prinsip dari metode refluks adalah pelarut volatil yang digunakan
akan menguap pada suhu tinggi, namun akan didinginkan dengan kondensor sehingga
pelarut yang tadinya dalam bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan turun
lagi ke dalam wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi
berlangsung. 
20

BAB III
ALAT, BAHAN DAN METODE PEMBUATAN

3.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah timbangan analitik, gelas
piala, labu reaksi, labu ukur, corong, corong pisah, pipet tetes, blender, batang
pengaduk, pinset, spatula, kertas saring, kapas, aluminium foil, vial dan botol 100 ml.

3.2 Bahan
Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman kayu
manis, bunga rosella, tanaman pegagan, aquadest.

3.3 Prosedur
3.3.1 Prosedur penyiapan bahan untuk ektaksi
Sebanyak 300 g kayu manis, bunga rosella dan pegagagn dibersihkan, dicuci
dengan air mengalir, kemudian dirajang sekitar 2-3 nm. Setelah itu dijemur selama 5-
6 hari tanpa terkena sinar matahari. Setelah kering kemudian dihaluskan
menggunakan blender.
3.3.2 Karakterisasi Simplisia
A. Penetapan Kadar Abu Total
Lebih kurang 2 gram simplisia yang telah digilang dan ditimbang sesama,
dimasukan kedalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditarakan. Krus
yang berisi simplisia dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis,
didinginkan dan ditimbang.
3.3.3 Skrining fitokimia simplisia
Untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak
dan simplisia rimpang kencur maka dilakukan penapi fitokimia berdasarkan metode
21

pada Materia Medika Indonesia (1989) terhadap simplisia rimpang kencur dan
ekstrak kental rimpang kencur sebagai berikut:

A. Alkaloid
Sejumlah simplisia dan ekstrak rimpang kencur masing-masing digerus dalam
mortir, dibasakan dengan amonia sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan
kloroform dan digerus kuat cairan kloroform disaring, filtrat ditempatkan dalam
tabung reaksi kemudian ditambahkan HCI 2N, campuran dikocok, lalu
dibiarkan hingga terjadi pemisahan. Dalam tabung reaksi terpisah:
Filtrat I: Sebanyak 1 tetes larutan pereaksi Dragendrof diteteskan ke dalam
filtrat, adanya senyawa alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan atau
kekeruhan berwarna putih.
Filtrat 2: Sebanyak 1 tetes larutan pereaksi Mayer diteteskan ke dalam filtrat,
adanya senyawa alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan atau
kekeruhan berwarna putih.
Filtrat 3: Sebagai blangko atau kontrol negatif (MMI V, 1989)
B. Flavonoid
Sejumlah simplisia dan ekstrak kental rimpang kencur masing masing digerus
dalam mortir dengan sedikit air, kemudian dipindahkan ke dalam tabung reaksi,
tambahkan sedikit logam magnesium dan 5 tetes HCl 2N, seluruh campuran
dipanaskan selama 5-10 menit. Setelah disaring panas-panas dan filtrat
dibiarkan dingin, kepada filtrat ditambahkan amil alkohol, lalu dikocok kuat-
kuat, reaksi positif dengan terbentuknya warna merah pada lapisan amil alkohol
(MMI V, 1989).
C. Fenol
Sebanyak 1 gram simplisia dan ekstrak rimpang kencur masing- masing
ditambahkan 100 mL air panas, dididihkan selama 5 menit kemudian disaring.
Filtrat sebanvak 5 ml. dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan
22

pereaksi besi (III) klorida, timbul warna hijau biru kehitaman menunjukkan
adanya fenol (MMI, 1989).

D. Tanin
Sebanyak 1 gram simplisia dan ekstrak rimpang kencur masing masing
ditambahkan 100 ml. air panas, dididihkan selama 5 memt kemudian disaring
Filtrat sebanyak 5 ml. dimasukkan ke daim tabung reaksi, ditambahkan gelatin
akan timbul endapan putih menunjukkan adanya tanin (MMI, 1989)
E. Monoterpen dan Seskuiterpen
Serbuk simplisia dan ekstrak rimpang kencur masing-masing digerus dengan
eter, kemudian fase eter diuapkan dalam cawan penguap hingga kering, pada
residu ditetesi pereaksi vanilin sulfat Terbentuknyawarna-warni menunjukkan
adanya senyawa monoterpen dan sesquiterpen (MMI V, 1989).
F. Kuinon
Serbuk simplisia dan ekstrak rimpang kencur masing-masing ditambahkan air,
dididihkan selama 5 menit kemudian disaring dengan kapas. Pada filtrat
ditambahkan larutan KOH. (Farmsworth, 1966).
G. Saponin
Serbuk simplisia dan ekstrak rimpang kencur masing- masingditambahkan
dengan air, dididihkan selama3 5 menit kemudian dikocok. Terbentuknya busa
yang konsisten selama 5-10 menit+ 1 cm, berarti menunjukkan bahwa bahan uji
mengandung saponin (MMI V, 1989)

3.3.4 Ekstraksi
Simplisia kayu manis diektraksi menggunakan metode reflux sedangkan untuk
simplisia rosella dan pegagan diekstraksi menggunkan maserasi. Sebanyak 300 g
simplisia kayu manis dimasukan kedalam alat reflux. Reflux pertama yaitu
menggunakan aquadest (800 ml) selama 3 jam. Kemudian ditampung dalam botol,
ekstrak ampas sisa ektrasksi pertama diestraksi kembali menggunakan pelarut yang
23

sama. Dilakukan pergantian pelarut sebanyak 3 kali. Hasil replux yang kedua dan
ketiga disatukan dengan hasil reflux yang pertama. Setelah itu, hasil replux diuapkan
diatas tangas air dan dihitung rendemen ekstrak kental yang didapatkan.
Ditimbang serbuk bunga rosella kering sebanyak 100 gram. Kemudian
diekstraksi dengan cara maserasi dengan menggunakan pelarut aquadest. Dibiarkan
selama 8 jam pada suhu ruang. Maserasi dilakukan dengan pergantian pelarut tiap 2
jam sebanyak 400 ml.
Ditimbang serbuk simplisia pegagan kering sebanyak 200 gram. Kemudian
diekstraksi dengan cara maserasi dengan menggunakan pelarut aquadest. Dibiarkan
selama 8 jam pada suhu ruang. Maserasi dilakukan dengan pergantian pelarut tiap 2
jam sebanyak 600 ml.

3.3.5 Pembuatan Toner

Ektrak kayu manis, bunga rosella dan pegagan disaring menggunakan kertas
saring, kemudian ditambahakan aquadest sedikit demi sedikit sambil disaring sampai
volume 100 ml, sediaan dimasukan kedalam wadah kemudian dievaluasi.

Formula :

Kayu manis 1%

Rosella 0,5%

Pegagan 10%

Aquadest ad 100 ml

3.3.5 Evaluasi Sediaan Toner

A. Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan untuk melihat tampilan fisik sediaan yang


meliputi warna, aroma, daya bersih, kesan lengket, dan rasa lembab.
24

Parameter penilaian adalah warna, aroma, daya bersih, kesan lengket, dan
rasa lembab.

B. Penentuan Viskositas Face Toner (AOAC 1995)


Pengukuran viskositas sediaan face toner dilakukan menggunakan
viskometer Brookfield dengan spindel nomor 2. Sediaan face toner
dimasukkan ke dalam suatu tabung gelas vertikal dengan volume tertentu.
Spindel yang telah dipasang kemudian diturunkan hingga batas spindel
tercelup pada sediaan toner. Kecepatan spindel diatur pada 100 rpm dan
satuan viskositas diatur pada centipoise (Cps). Sediaan toner diukur
viskositasnya dan skala yang terbaca dalam Cps.
C. Nilai pH Face Toner Nilai pH toner diukur menggunakan pH meter yang
terlebih dahulu dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan pH 7. Pengukuran
dilakukan secara langsung dengan mencelupkan sensor pH ke dalam sampel,
lalu ditunggu sampai angka yang muncul pada layar stabil.
D. Uji Stabilitas Fisik Face Toner Uji stabilitas fisik dilakukan dengan
penyimpanan toner pada suhu ruang 26±2 oC dan suhu rendah 4±2 °C
selama 8 minggu. Pengamatan organoleptik, viskositas dan pengukuran pH
dilakukan pada setiap 1 minggu.
25

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.
Awang, dkk. 2005. Petani, Ekonomi dan Konservasi Aspek Penelitian dan Gagasan.
Yogyakarta: Pustaka Hutan Rakyat Press. Dephut.
Backer, A.K. 1990. Handbook Of Nonprescipitaon Drug 9th edition. Washington:
American Pharmaceutical.
Dalimartha, Setiawan. 2008. 1001 Resep Herbal. Jakarta: Penebar Swadaya.
Anonim. 1989. Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
IARC. 2010. IARC Monographs on the Evaluation of the Evaluation of Carcinogenic
Risk to Humans. Vol. 99. Some Aromatic Amines, Organic Dyes, and Related
Exposures. Lyon [FR]: IARC Press.
Lucida, H. 2007. Formulasi Sediaan Antiseptik Mulut dari Katekin Gambir. Jakarta:
Sains Teknologi Farmasi.
Mangundjaja. 1999. Pengaruh Obat Asli Indonesia terhadap Kuman Streptococcus
mutans Asal Saliva. Jakarta: FKG Universitas Indonesia.
Sariningrum, E. 2009. Hubungan Tingkat Pendidikan, Pengetahuan Dan Sikap
Orang Tua Tentang Kebersihan Gigi Dan Mulut Pada Anak Balita Usia 3 – 5
Tahun Dengan Tingkat Kejadian Karies Di Paud Jatipurno. Skripsi.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Staples, G. W., & Bevacqua, R. F. (2006). Areca catechu ( betel nut palm). In
Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. Holualoa, Hawaii: Permanent
Agriculture Resources (PAR).
Sulistyo, Adi. 2011. Buku Informasi Balai Taman Nasional Alas Purwo.
Banyuwangi: Balai Taman Nasional Alas Purwo.
Syamsuhidayat dan Hutapea, J.R. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan: Jakarata.
Wang, C.K. and Lee, W.H. 1996. Separation, characteristics, and biological
activities on phenolics in areca fruit. J. Agric. Food Chem.
Yulineri, T. 2005. Selenium dari Ekstrak Biji dan akar Pinang (Areca catechu L.)
yang difermentasi dangan Konsorium acetobacter Saccharomyces sebagai
antiseptic Obat Kumur, Biodiversitas. Jakarta: Universitas Indonesia.
26

LAMPIRAN

1. Label kemasan

Anda mungkin juga menyukai