Anda di halaman 1dari 11

ETIKA BISNIS DAN PROFESI

TEORI KEAGENAN

OLEH:

1. KOMANG SRI TARA DEWI 1717051034


2. PUTU VIRAYANTI 1717051246
3. NI KADEK ERA PUSPITAYANTI 1717051284
4. KADEK FITRI DWICAHYAWATI 1717051320
5. LUH KEWIK SUKRENI PUTRI 1717051397

KELAS 6F

PRODI AKUNTANSI PROGRAM S1

JURUSAN AKUNTANSI EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

SINGARAJA

2019
1. Bagaimana masalah keagenan berhubungan dengan etika bisnis ?
Jawab :
Masalah keagenan dimana hubungan antara pemilik dan manajer pada
hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan
atau adanya ketidak simetrisan sebuah informasi. Hubungan antara principal
dan agent dapat mengarah pada kondisi ketidakseimbangan informasi
(asymmetrical information) karena agent berada pada posisi yang memiliki
informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan dengan
principal. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk
memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang
dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi
yang tidak diketahui principal. Dalam kondisi yang asimetri tersebut, agent
dapat mempengaruhi angka. Masalah keagenan diatas berhubungan dengan
etika bisnis dimana etika bisnis meruakan suatu edoman dalam menentukan
benar atau tidaknya suatu tindakan yang dilakukan oleh perusahaan dalam
menjalankan bisnis dan tana etika bisnis erusahaan bisa menjadi tidak sehat.
Ketika terjadi masalah keagenan dimana agen menyembunyikan suatu
informasi yang tidak diketahui oleh rincial, hal tersebut sudah meruakan
tindakan yang salah dalam etika bisnis sehingga data menjadikan perusahaan
tidak sehat.
2. Antara kontrak berdasarkan perilaku dan berdasarkan hasil, menurut anda
manakah yang lebih tepat untuk mengurangi masalah keagenan ?
Jawab :

Menurut saya, yang lebih tepat untuk mengurangi masalah keagenan


adalah kontrak perilaku dimana dalam hal ini pihak principal dan agen harus
harus melakukan suatu kontrak perilaku, yang mana dalam kontrak ini
dilakukan suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Selain itu kontrak
prilaku ini didasarkan atas pandangan untuk membentuk prilaku yang
diinginkan yang telah disepakati sebelumnya. Dalam hal ini suatu individu
mengantisipasi sebuah perubahan prilaku mereka atas dasar persetujuan
konsekuensi tersebut akan dapat muncul. Kontrak prilaku ini juga dapat
sebagai kontrak kerja yang merupakan suatu kesepakatan secara tertulis antara
pihak principal dan agen, kemudian kedua belah pihak sepakat untuk terlibat
di dalam tingkat tertentu dari suatu perilaku target, guna unuk mencapai tujuan
bersama yang telah disepakati dan untuk menghindari suatu konflik antara
sebelah pihak.

3. Cari contoh kasus moral hazard ( Rekayasa bukan actual ) dan uraian singkat
untuk mengatasinya !
Jawab :
Kasus

Kasus manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh Perusahaan


Enron pada tahun 2001 berupa pengungkapan laba perusahaan sebesar 600 juta
Dollar AS telah merugikan investor saham. Hal ini merupakan contoh perilaku
moral hazard dalam perusahaan karena pada kenyataannya Perusahaan Enron
mengalami kerugian. Tujuan manipulasi laporan keuangan tersebut agar saham
perusahaan diminati publik. Kasus ini menyeret perusahaan Akuntan Publik
Arthur Andersen yang kemudian ditutup ijin operasionalnya (Hafikahadiyanti,
2013). Kasus serupa di US menimpa Perusahaan Worldcom sebagai
perusahaan komunikasi terbesar ke dua yang dinyatakan pailit pada tahun 2002
setelah terbukti melakukan manipulasi dalam laporan keuangannya.
Perusahaan ini memanipulasi pendapatannya sebesar 3,8 Milliar Dollar US.
Audit eksternal yang digunakan saat itu Arthur Andersen (Computesta.com,
2012). Kasus serupa terjadi di Indonesia pada tahun yang sama yang dilakukan
oleh PT Kimia Farma. PT Kima Farma merupakan salah satu perusahaan
BUMN melaporkan laba perusahaan sebesar Rp. 132 Milyar pada 31
Desember 2001. Laporan keuangan tersebut diaudit oleh Hans Tuanakotta &
Mustofa (HTM). Kementerian BUMN dan Bapepem menyatakan adanya
manipulasi laporan keuangan setelah dilakukan audit ulang (Kompasiana.com,
2015).

Pada dunia perbankan, kasus Bank Century di Indonesia yang


mendapatkan dana penyelamatan sebesar Rp. 6,76 Trilyun dari Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) telah merugikan keuangan Negara pada pendanaan
jangka pendek. Bank Century mendapatkan dana penyelamatan setelah
dikategorikan sebagai bank gagal (republika.co.id, 2014). Kasus Bank Lippo
yang memberikan laporan keuangan berbeda antara publik dan Bursa Efek
Indonesia (BEI) merupakan kasus lain pada perbankan di Indonesia. Bank
Lippo menyatakan bahwa per 30 September 2002 memiliki total aktiva sebesar
Rp. 24 Triliun dan laba bersih Rp. 98 Miliar pada publik. Hal tersebut berbeda
dengan yang disampaikan pada laporan BEI pada 27 Desember 2002 yang
menyatakan bahwa Bank Lippo memiliki total aktiva sebesar Rp. 22,8 Triliun
dan perusahaan merugi Rp. 1,3 triliun (suaramerdeka.com, 2003). Kasus-kasus
di atas bersumber pada praktik corporate governance yang buruk. Prinsip-
prinsip corporate governance menurut Komite Nasional Kebijakan Governance
(KNKG) tahun 2006 diantaranya adalah transparancy, accountability,
responsibility, independence, dan fairness. Kasus-kasus Volume 6 Nomor 2,
Desember 2015 91 Konsep Awal Islamic Corporate Governance... tersebut
lebih berkaitan dengan prinsip transparansi dalam corporate governance
(Tjager, 2003).

Dengan adanya kasus manipulasi pelaporan keuangan tersebut, prinsip


transparansi, pengungkapan informasi dan peran akuntan dalam menghasilkan
informasi keuangan mulai dipertanyakan. Ketidakjujuran dalam pengungkapan
informasi akan menyebabkan investor, konsumen, supplier, masyarakat, dan
pemerintah menjadi tidak percaya pada perusahaan, hilangnya potensi
perusahaan untuk berkembang (area pemasaran, produk, produksi, penjualan,
laba) dan hilangnya sumber penghasilan karyawan karena perusahaan menjadi
bangkrut.

Uraian Untuk Mengatasi

MORAL HAZARD DAN SOLUSI TRADISIONAL Moral hazard


dapat didefinisikan menjadi empat berdasarkan kondisi yang berbeda (Mitnick,
1996). Pertama, moral hazard terjadi karena kondisi monitoring disability
(hidden action). Prinsipal tidak dapat mengamati atau memonitor perilaku
agen. Ketidakmampuan memonitor tindakan secara konseptual menunjukkan
ketidakpastian mengenai hubungan antara tindakan agen dengan hasil untuk
principal, ketidaksamaan informasi antara kedua pihak, kebutuhan untuk
melakukan kesepakatan mengenai masalah insentif untuk agen,
ketidakmampuan membuat kontrak untuk menghilangkan masalah (tanpa
kemampuan untuk memonitor perilaku agen, kontrak yang dibuat tidak dapat
dilaksanakan). Prinsipal dan agen diasumsikan mempunyai potensi untuk
konflik kepentingan. Kedua, moral hazard terjadi karena adanya undesirable
behavior production (perilaku yang tidak diinginkan) dipandang dari perspektif
prinsipal. Agen tidak cukup menjamin tindakannya akan menguntungkan
prinsipal atau bisa mengurangi kerugian yang mungkin terjadi. Moral hazard
diidentifikasi sebagai hasil dari perilaku agen yang berisiko. Ketiga, moral
hazard terjadi karena undesirable outcome (impact) production. Moral hazard
merupakan bentuk oportunisme pasca kontraktual yang timbul karena tindakan
yang mempunyai konsekuensi efisiensi yang tidak dapat diobservasi secara
bebas sehingga seseorang bisa memenuhi kepentingan pribadinya atas biaya
pihak lain. Keempat, moral hazard sebagai bentuk dari morals disability. Moral
hazard terjadi karena kecenderungan perilaku-perilaku yang tidak bermoral
seperti ketidakjujuran, ketidakpedulian, ketidaktahuan atau ketidaktabahan
hati.

Masalah moral hazard atau perilaku oportunistik yang dilakukan oleh


agen muncul ketika prinsipal tidak dapat mengetahui tindakan agen karena ada
biaya untuk mengawasi tindakan agen dan tidak dapat menyimpulkan tindakan
agen dengan melihat hasilnya karena tidak secara lengkap dapat
direpresentasikan. Lalu prinsipal menghadapi dua kesulitan. Pertama, tidak
dapat mendesain kontrak berdasarkan observasinya pada indakan agen karena
secara umum biaya pengawasan menjadi hambatan. Kedua, prinsipal tidak
dapat mendasarkan kontrak pada hasil karena ketidakpastian antara tindakan
agen dan hasil serta agen merupakan pihak yang netral terhadap risiko.
Prinsipal tidak dapat secara kontraktual memberi tugas kepada agen dengan
segala konsekuensi atas tindakannya. Akibatnya mungkin agen membuat
keputusan yang berlawanan dengan kepentingan principal. Moral hazard
merupakan tindakan agen dalam memaksimasi utilitasnya dengan
mengorbankan yang lain, dalam situasi dimana mereka tidak menanggung
semua konsekuensi atau tidak menikmati secara penuh manfaat dari tindakan
tersebut karena ketidakpastian, ketidaklengkapan atau keterbatasan kontrak
(Kotovitz 1987 seperti dikutip oleh Padilla).

Secara tradisional masalah moral hazard diatasi melalui insentif


keuangan berdasarkan tolok ukur kinerja (Gayle dan Miller, 2005). Scott
(2000) memberikan beberapa mekanisme untuk mengatasi atau mengendalikan
masalah moral hazard. Mekanisme tersebut adalah: pertama, laba bersih dapat
dijadikan sebagai dasar penentuan kompensasi manajer. Kedua, laba bersih
dapat menggambarkan kondisi pasar sekuritas dan pasar tenaga kerja
perusahaan, sehingga manajer yang lalai akan mengakibatkan laba bersih
perusahaan menurun, reputasi manajer yang jelek, dan nilai pasar sekuritasnya
menurun. Sementara Baiman (1990) memberikan beberapa acuan untuk
menyelesaikan masalah konflik kepentingan antara manajer dan pemegang
saham, yaitu dengan melakukan kontrol terhadap konflik antara manajer dan
pemegang saham, membuat kontrak kompensasi manajemen dan resolusi
konflik.

4. Carilah contoh kasus adverse selection (rekayasa bukan aktual) dan uraikan
singkat untuk mengatasinya !
Jawab :
Kasus

Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan


Beberapa waktu belakangan kondisi ekonomi Indonesia sedang menjadi
pusat perhatian. Tidak hanya dikarenakan kondisi rupiah yang melemah
terhadap dolar AS, tapi juga berbagai catatan lain seperti tingginya impor beras
yang tidak dapat ditampung oleh Bulog, dan neraca perdagangan Indonesia
yang masih negatif. Salah satu persoalan yang juga cukup menarik untuk
dibahas adalah perkiraan kerugian yang akan diderita oleh Badan Penyelengara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyentuh angka Rp 16,5 triliun. Hal ini
mengacu pada pernyataan Budi Muhammad Arief selaku Deputi Direksi
Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan.
Sebenarnya, ini bukan sebuah hal yang mengejutkan. BPJS Kesehatan
memiliki banyak kelemahan dalam sistem asuransi kesehatannya. Contoh
paling sederhana adalah meratanya nilai premi bagi seluruh peserta Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Bagi para peserta kelas 1, dikenakan biaya sebesar
Rp 80.000 per bulan. Sedangkan bagi para peserta kelas 2 dan 3 berturut turut
dikenakan biaya Rp 51.000 dan Rp 25.500 per bulan. Pada dasarnya nilai ini
sangatlah rendah. Tapi, pada tulisan ini, kita akan berfokus pada masalah lain,
yaitu pemerataan premi.
Pada dasarnya pemerataan ini sangat bertentangan dengan dengan
prinsip asuransi pada umumnya. Pada setiap asuransi, pembayaran premi harus
disesuaikan dengan tingkat risiko dari peserta asuransi. Hal ini tentu tidak
terlepas dari fungsi premi sebagai kompensasi terhadap risiko. Apabila tidak
disesuaikan, BPJS Kesehatan sebagai lembaga yang bergerak dengan konsep
asuransi pasti akan terus mengalami kerugian.
Jauh sebelum BPJS Kesehatan diluncurkan pada 2013, para pakar
keuangan dunia telah menerangkan mengenai kondisi yang menjadi latar
belakang dari masalah yang dialami BPJS Kesehatan, yaitu asimetri informasi.
Asimetri informasi adalah sebuah kondisi di mana agen, dalam hal ini
masyarakat penerima manfaat dari BPJS Kesehatan, memiliki lebih banyak
informasi dari pemberi jasa yaitu BPJS Kesehatan. Kerugian yang dialami
BPJS menjadi sebuah indikator bahwa BPJS tidak mampu mendapatkan
informasi yang cukup (ataupun mengambil kebijakan yang layak) dalam
menghasilkan neraca keuangan yang positif.
Pada tahapan selanjutnya, asimetri informasi ini dapat berujung pada
dua permasalahan agensi berupa adverse selection dan moral hazard. Pada
aspek pertama, BPJS Kesehatan harus memperhatikan dampak moral hazard
yang dapat timbul pada kondisi rendahnya premi produk mereka. Rendahnya
tingkat premi yang ditawarkan oleh BPJS akan membuat masyarakat
cenderung eksploitatif dengan semakin sering menggunakan jasa kesehatan,
meskipun kondisinya tidak cukup mendesak.
Sebenarnya BPJS telah mencoba mengatasi hal ini dengan melakukan
perbaikan dalam segi penyesuaian layanan kesehatan yang ditanggung.
Sayangnya, penyesuaian fasilitas kesehatan yang ditanggung dapat
menyebabkan kondisi yang jauh lebih kompleks pada konteks adverse
selection.
Berkaitan dengan adverse selection, George A. Akerlof menulis sebuah
esai yang berjudul The Market for Lemons. Peraih Nobel Prize 2001 itu
menyatakan bahwa permasalahan adverse selection dapat berujung pada
keputusan untuk menghilangkan produk dari BPJS Kesehatan ini sendiri. Ia
menjelaskan bahwa pemerataan tingkat kompensasi terhadap risiko, dalam hal
ini premi, merupakan sebuah indikasi bahwa BPJS Kesehatan tidak dapat
menilai tingkat risiko yang layak bagi masyarakat. Sebagai dampaknya, BPJS
Kesehatan pasti akan mencari trade off sebagai kompensasi. Pada kasus ini
kompensasi tersebut dapat berupa pembatasan jasa kesehatan yang ditanggung.
Hal ini sendiri mulai terealisasi belakangan ini.
Dampak ini tidak akan berhenti sampai di situ saja. Arkelof
menyatakan bahwa harga yang cenderung rendah dengan kualitas yang juga
kemudian disesuaikan akan membuat para pengguna jasa yang memiliki
kelebihan alokasi dana untuk asuransi akan pergi. Hal ini dikarenakan mereka
berharap untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik, meskipun harus
membayar lebih mahal. Pada akhirnya BPJS Kesehatan hanya akan diikuti oleh
para pengguna dengan tingkat risiko yang lebih besar jika dibandingkan
dengan premi yang dibayarkan. Hal ini tentu akan semakin memperburuk
kondisi BPJS Kesehatan ke depannya.
Pada akhirnya, BPJS Kesehatan akan menyadari bahwa pengguna jasa
jaminan kesehatan yang ada hanyalah pengguna jasa dengan tingkat risiko
yang tinggi. Menurut Akerlof, kondisi ini dapat membuat BPJS Kesehatan
melakukan pemberhentian terhadap produknya. Jika pun tidak begitu, BPJS
Kesehatan dapat membuat penyesuaian premi pada saat tersebut. Hanya saja
tentu telah terjadi kerugian yang cukup besar setelah beberapa waktu. Selain
itu, dikarenakan semakin tingginya konsentrasi pengguna jasa yang memang
menikmati premi yang rendah ini, protes yang akan terjadi tentu akan lebih
masif.
Dampak lain yang dapat menjadi trade off dari kerugian di BPJS
Kesehatan ini adalah keterlambatan BPJS Kesehatan dalam melakukan
pembayaran layanan kesehatan masyarakat ke fasilitas kesehatan.
Permasalahan ini pun dapat dilihat dari sudut pandang asimetri informasi. Pada
satu sisi, banyaknya manfaat yang ditawarkan BPJS Kesehatan akan
menimbulkan moral hazard berupa mudahnya fasilitas kesehatan untuk
memberikan layanan kesehatan yang tidak perlu. Hal ini dikarenakan fasilitas
kesehatan dapat menagih hal ini kepada BPJS Kesehatan.
Kondisi tersebut seringkali terjadi pada fasilitas kesehatan yang
memiliki pelayanan kurang baik di mana sebelum adanya BPJS Kesehatan
mereka kekurangan pasien. Pada tahap yang lebih lanjut, BPJS Kesehatan akan
melakukan perbaikan besar-besaran dalam sisi fasilitas kesehatan ini. Salah
satu perbaikan yang mungkin dapat saja dilakukan adalah penyesuaian nilai
penggantian nilai layanan kesehatan.
Disinilah aspek adverse selection muncul. Penyesuaian nilai
penggantian layanan kesehatan akan membuat fasilitas kesehatan dengan
kualitas yang baik membatasi pelayanan mereka, bahkan tidak menerima
pembayaran melalui BPJS Kesehatan. Hal ini dikarenakan mereka memiliki
standar harga yang lebih tinggi yang kemudian tidak masuk dalam tanggungan
BPJS Kesehatan.
Permasalahan ini memang cenderung kompleks mengingat BPJS
Kesehatan merupakan lembaga pemerintah yang memiliki tugas dalam
memastikan setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
layaknya. Secara sederhana, kita dapat melihat bahwa terdapat dua fungsi di
saat yang sama, yaitu sebagai perusahaan yang bergerak di bidang asuransi dan
pemberi layanan kesehatan. Hal ini tentu saja membuat BPJS memiliki dua
motif yang cukup berbeda, yaitu bisnis dan filantropis. BPJS Kesehatan di satu
sisi diminta untuk dapat memberikan jaminan kesehatan untuk seluruh
kalangan, dan di sisi lain harus mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.

Cara mengatasi kasus Adverse Selection dalam Lingkup Kesehatan yaitu


Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah sebagai
berikut :
Berdasarkan semua permasalahan tersebut, pemerintah harus segera
melakukan perbaikan terhadap proses bisnis BPJS Kesehatan. Pemerintah
sebenarnya telah melakukan perbaikan. Hanya saja perbaikan itu baru berfokus
pada aspek supply layanan kesehatan berupa pembatasan layanan kesehatan
yang ditanggung. Seperti yang diterangkan sebelumnya, hal ini hanya akan
memperbaiki aspek moral hazard dan di satu sisi lain akan menyebabkan aspek
adverse selection semakin membesar.

Oleh karena itu, pemerintah juga harus mulai berani memperbiki aspek
demand dari layanan kesehatan itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan
menyesuaikan premi JKN dengan tingkat risiko penerima manfaat, khususnya
premi untuk kelas 1 dan kelas 2. Sedangkan, pada kelas 3 pemerintah dapat
melakukan penyesuaian dalam bentuk pengelompokan kategori masyarakat
yang ditanggung oleh pemerintah, dalam hal ini masyarakat miskin dan
membutuhkan. Pemerintah juga harus siap menyediakan subsidi sebagai
bentuk bantuan terhadap masyarakat yang menerima pelayanan kelas 3.

Kebijakan ini memang tidak cukup populis. Pemerintah akan mendapat


sentimen yang buruk mengenai BPJS Kesehatan pada saat kebijakan ini
diterapkan. Tidak menutup kemungkinan pula akan terjadi keengganan dari
beberapa kalangan untuk membayar premi. Tapi, apabila kebijakan BPJS
Kesehatan telah cukup baik, kendala itu tidak akan menjadi masalah. Kualitas
yang membaik akan mengembalikan kepercayaan masyarakat, dan pada saat
yang sama BPJS akan mampu mencapai keseimbangan dalam proses bisnisnya.
Jika tidak, BPJS hanya akan membiarkan bom waktu yang dapat berujung pada
menghilangnya JKN yang sejauh ini sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai