Anda di halaman 1dari 15

I’TIKAF

Jangka Waktu Minimal I’tikaf


Mengenai waktu minimal disebut i’tikaf terdapat empat pendapat di antara para ulama.
Pendapat pertama: Yang dianut oleh jumhur (mayoritas) ulama hanya disyaratkan berdiam di masjid. Jadi telah dikatakan
beri’tikaf jika berdiam di masjid dalam waktu yang lama atau sebentar walau hanya beberapa saat atau sekejap (lahzhoh).
Imam Al Haromain dan ulama lainnya berkata, “Tidak cukup sekedar tenang seperti dalam ruku’ dan sujud atau
semacamnya, tetapi harus lebih dari itu sehingga bisa disebut i’tikaf.”
Pendapat kedua: Sebagaimana diceritakan oleh Imam Al Haromain dan selainnya bahwa i’tikaf cukup dengan hadir dan
sekedar lewat tanpa berdiam (dalam waktu yang lama). Mereka analogikan dengan hadir dan sekedar lewat saat wukuf di
Arofah. Imam Al Haromain berkata, “Menurut pendapat ini, jika seseorang beri’tikaf dengan sekedar melewati suatu tempat
seperti ia masuk di satu pintu dan keluar dari pintu yang lain, ketika itu ia sudah berniat beri’tikaf, maka sudah disebut i’tikaf.
Oleh karenanya, jika seseorang berniat i’tikaf mutlak untuk nadzar, maka ia dianggap telah beri’tikaf dengan sekedar lewat di
dalam masjid.”
Pendapat ketiga: Diceritakan oleh Ash Shoidalani dan Imam Al Haromain, juga selainnya bahwa i’tikaf dianggap sah jika
telah berdiam selama satu hari atau mendekati waktu itu.
Pendapat keempat: Diceritakan oleh Al Mutawalli dan selainnya yaitu disyaratkan i’tikaf lebih dari separuh hari atau lebih dari
separuh malam. Karena kebiasaan mesti dibedakan dengan ibadah. Jika seseorang duduk beberapa saat untuk menunggu
shalat atau mendengarkan khutbah atau selain itu tidaklah disebut i’tikaf, haruslah ada syarat berdiam lebih dari itu sehingga
terbedakanlah antara ibadah dan kebiasaan (adat). Demikian disebutkan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 6: 513.[1]
Pendapat Jumhur Ulama
Sebagaimana dikemukakan di atas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat minimal waktu i’tikaf adalah lahzhoh, yaitu hanya
berdiam di masjid beberapa saat. Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.
Imam Nawawi berkata, “Waktu minimal itikaf sebagaimana dipilih oleh jumhur ulama cukup disyaratkan berdiam sesaat di
masjid. Berdiam di sini boleh jadi waktu yang lama dan boleh jadi singkat hingga beberapa saat atau hanya sekejap hadir.”
Lihat Al Majmu’ 6: 489.
Alasan jumhur ulama:
1. I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). Berdiam di sini bisa jadi dalam waktu lama maupun singkat. Dalam
syari’at tidak ada ketetapan khusus yang membatasi waktu minimal I’tikaf.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). … Setiap yang disebut berdiam di
masjid dengan niatan mendekatkan diri pada Allah, maka dinamakan i’tikaf, baik dilakukan dalam waktu singkat atau pun
lama. Karena tidak ada dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang membatasi waktu minimalnya dengan bilangan tertentu
atau menetapkannya dengan waktu tertentu.” Lihat Al Muhalla, 5; 179.
2. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata,

‫ وما أمكث إال ألعتكف‬، ‫إين ألمكث يف املسجد الساعة‬


“Aku pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain berniat beri’tikaf.” Demikian menjadi dalil Ibnu
Hazm dalam Al Muhalla 5: 179. Al Hafizh Ibnu Hajr juga menyebutkannya dalam Fathul Bari lantas beliau mendiamkannya.
3. Allah Ta’ala berfirman,

‫اج ِد‬
ِ ‫وأَْنتم عاكِ ُفو َن يِف الْمس‬
ََ َ ُْ َ
“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka
waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” Lihat Al Muhalla, 5: 180.
Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak
adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (Al Inshof, 6: 17)
Bedakan dengan I’tikaf Nadzar
Beda halnya jika i’tikafnya adalah i’tikaf nadzar, maka harus ditunaikan sesuai dengan hari yang ditentukan. Misalnya, jika ia
bernadzar i’tikaf 3 hari 3 malam, maka ia harus menjalaninya tanpa keluar-keluar dari masjid ketika itu. Contohnya saja dari
perbuatan ‘Umar bin Khottob yang bernadzar untuk i’tikaf semalam. ‘Umar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِ ‫فَأَو‬  ‫ قَ َال‬، ‫اهلِيَّ ِة أَ ْن أَعت ِكف لَيلَةً ىِف الْمس ِج ِد احْل ر ِام‬
‫ف بِنَ ْذ ِر َك‬ ِ ‫ُكْنت نَ َذرت ىِف اجْل‬
ْ ََ َْ ْ َ َْ َ ُ ْ ُ
“Aku dahulu pernah bernadzar di masa Jahiliyah untuk beri’tikaf selama satu malam di masjidil harom.” Beliau pun bersabda,
“Tunaikanlah nadzarmu.” (HR. Bukhari no. 2032 dan Muslim no. 1656). Ibnu Hazm berkata, “Dalil ini adalah umum yaitu
perintah untuk menunaikan nadzar berupa i’tikaf. Dan dalil tersebut tidak khusus menerangkan jangka waktu i’tikaf. Sehingga
kelirulah yang menyelisihi pendapat kami ini.” (Al Muhalla, 5: 180)
Jawaban …
Sehingga jika ada yang bertanya, bolehkah beri’tikaf di akhir-akhir Ramadhan hanya pada malam hari saja karena pagi
harinya mesti kerja? Jawabannya, boleh. Karena syarat i’tikaf hanya berdiam walau sekejap, terserah di malam atau di siang
hari. Misalnya sehabis shalat tarawih, seseorang berniat diam di masjid dengan niatan i’tikaf dan kembali pulang ke rumah
ketika waktu makan sahur, maka itu dibolehkan.
Baca penjelasan selengkapnya mengenai masalah ini di artikel: Batasan Minimal Waktu I’tikaf.
I’TIKAF (BERDIAM DIRI)

Oleh
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
1. Hikmahnya.
Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata : “Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqamah
(konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah Ta’ala tergantung pada kumpulnya (unsur
pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati
tersebut kepada Allah Ta’ala secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan dapat
sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah Ta’ala, sedangkan makan dan
minum yang berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan
tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan
mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan
perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkan, menghalangi dan menghentikannya.
Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyariatkan bagi
mereka puasa yang bisa menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada hamba-
Nya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat
tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta’ala, dan disyariatkannya (i’tikaf)
berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat
mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Tidak akan
merusak dan memutuskannya (jalan) hamba tersebut dari (memperoleh) kebaikannya di
dunia maupun di akhirat kelak.

Dan disyariatkannya i’tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah
berdiamnya hati kepada Allah Ta’ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-
Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada
Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepada-Nya
sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu
mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semuanya kepadanya dan semua betikan-
betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu
yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan ketika berkhalwat dengan
Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat
demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di
dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan
(manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka
inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu” [1]

2. Makna I’tikaf
Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di
masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu’takif dan ‘Akif. [2]
3. Disyari’atkannya I’tikaf
Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainya sepanjang tahun. Telah shahih
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir bulan
Syawwal [3] Dan Umar pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
َ‫ف بِن َْذ ِرك‬
ِ ْ‫ فَأَو‬: ‫ال‬
َ َ‫ت فِ ْي َجا ِهلِيَّ ٍة أَ ْن أَ ْعتَ ِكفَ لَ ْيلَةً فِ ْي ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام ق‬
ُ ْ‫يَا َرسُوْ ُل هَّللا إِ ْن نَ َذر‬

“Artinya : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernadzar pada zaman jahiliyah
(dahulu), (yaitu) aku akan beritikaf pada malam hari di Masjidil Haram’. Beliau menjawab
:Tunaikanlah nadzarmu”.
Maka ia (Umar Radhiyallahu ‘anhu) pun beritikaf pada malam harinya. [4]

Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan beradasarkan hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering beritikaf
pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang dimana
beliau diwafatkan padanya, beliau (pun) beritikaf selama dua puluh hari. [5]

Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam seringkali beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah
Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau.[6]

4. Syarat-Syarat I’tikaf
a. Tidak disyari’atkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Ta’ala.
ۚ ‫د‬:ِ ‫َواَل تُبَا ِشرُوه َُّن َوأَ ْنتُ ْم عَا ِكفُونَ فِي ْال َم َسا ِج‬

“Artinya : Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu [7] sedangkan kamu beritikaf di
dalam masjid” [Al-Baqarah : 187]

b. Dan masjid-masjid disini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid ,-pent), tapi telah
dibatasi oleh hadits shahih yang mulai (yaitu) sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Tidak ada I’tikaf kecuali pada tiga masjid (saja). [8]

Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beritikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana
dalam (riwayat) Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang telah disebutkan. [9]

5. Perkara-Perkara Yang Boleh Dilakukan


a. Diperbolehkan keluar dari masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari
masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya). Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata.
‫ فَأ َ ْغ ِسلُهُ) { َوإِنَ بَ ْينِ ْي َو بَ ْينَهُ لعتبة‬: ‫(وفِ ْي رواية‬ َ ُ‫{وأَنَا فِ ْي حُجْ َرتِ ْي} فَأ ُ َرجْ لُه‬ ٌ ‫ي َر ْأ َسهُ َوهُ َو {ل ُم ْعتَ ِك‬
َ ‫ف} فِ ْي ْال َم ْس ِجد‬ َّ َ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم لَيُ ْد ِخ ُل َعل‬
َ ‫َوإِ ْن َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬
ْ َ ْ ْ
‫ان} إِ َذا َكانَ ُم ْعتَ ِك ْيفًا‬
ِ ‫اج ِة {اال ْن َس‬ َ ‫}{وأنَا َحائِضٌ } َو َكانَ الَ يَ ْد ُخ ُل البَيْتَ إِالَّ لِ َح‬َ ‫ب‬ ِ ‫البَا‬
“Dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukkan kepalanya
kepadaku, padahal beliau sedang itikaf di masjid (dan aku berada di kamarku) kemudian
aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain : aku cuci rambutnya) [dan antara aku dan beliau
(ada) sebuah pintu] (dan waktu itu aku sedang haid) dan adalah Rasulullah tidak masuk ke
rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang I’tikaf” [10]

b. Orang yang sedang Itikaf dan yang yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid
berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
ُ ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِ ْي ْال َم ْس ِج ِد ُو‬
‫ض ًؤ خَ فِ ْيفًا‬ َ ‫ضا َ النَّبِ ِّي‬
َ ‫تَ َو‬
“Artinya : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu di dalam masjid dengan wudhu yang
ringan” [11]

c. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang I’tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil
pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia beri’tikaf, karena Aisyah Radhiyallahu
‘anha (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan
dua atau tiga tiang) apabila beliau beri’tikaf [12] dan hal ini atas perintah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. [13]

d. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beritikaf untuk meletakkan kasur atau
ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika i’tikaf dihamparkan
untuk kasur atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang At-Taubah.[14]
6. I’tikafnya Wanita Dan Kunjungannya Ke Masjid
a. Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat
i’tikaf, dan suami diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu masjid. Shafiyyah
Radhiyallahu ‘anha berkata.
“: Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tatkala beliau sedang) i’tikaf [pada sepuluh
(hari) terkahir di bulan Ramadhan] aku datang mengunjungi pada malam hari [ketika itu di
sisinya ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria] maka aku pun berbincang
sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata : jangan engkau
tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliaupun berdiri besamaku untuk
mengantar aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah bin Zaid-
[sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah]
lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi-pun bersabda :
“Tenanglah [15], ini adalah Shafiyah binti Huyaiy”, kemudian keduanya berkata :
‘Subhanahallah (Maha Suci Allah) ya Rasullullah”. Beliaupun bersabda : “Sesungguhnya
syaitan itu menjalar (menggoda) anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku
khawatir akan bersarangnya kejelakan di hati kalian -atau kalian berkata sesuatu”[16]

b. Seorang wanita boleh i’tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian.


berdasarkan ucapan Aisyah Radhiyallahu ‘anha : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf
pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau,
kemudian isteri-isteri beliau i’tikaf setelah itu”.[17]

Berkata Syaikh kami (yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah,


-pent) :”Pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita i’tikaf
dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) adanya izin dari wali-wali
mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak mengenai larangan
berkhalwat dan kaidah fiqhiyah.

َ ‫ب ْال َم‬
‫صا لِح‬ ِ ‫اس ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَى َج ْل‬
ِ َ‫َدرْ ُء ْال َمف‬
“Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat”

[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi
Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-
Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah
Abdurrahman Mubarak Ata]
_______
Footnote
[1]. Zaadul Ma’ad 2/86-87
[2]. Al-Mishbahul Munir 3/424 oleh Al-Fayumi, dan Lisanul Arab 9/252 oleh Ibnu Mandhur
[3]. Riwayat Bukhari 4/226 dan Muslim 1173
[4]. Riwayat Bukhari 4/237 dan Muslim 1656
[5]. Riwayat Bukhari 4/245
[6]. [Riwayat Bukhari 4/266 dan Muslim 1173 dari Aisyah
[7]. Yakni “Janganlah kami mejimai mereka” pendapat tersebut merupakan pendapat
jumhur (ulama). Lihat Zaadul Masir 1/193 oleh Ibnul Jauzi
[8]. Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh para imam serta para ulama, dapat dilihat
takhrijnya serta pembicaraan hal ini pada kitab yang berjudul Al-Inshaf fi Ahkamil I’tikaf
oleh Ali Hasan Abdul Hamid
[9]. Dikeluarkan oleh Abdur Razak di dalam Al-Mushannaf 8037 dan riwayat 8033 dengan
maknanya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.
[10]. Hadits Riwayat Bukhari 1/342 dan Muslim 297 dan lihat Mukhtashar Shahih Bukhari no.
167 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah dan Jami’ul Ushul 1/3452 oleh Ibnu Asir
[11]. Dikeluarkan oleh Ahmad 5/364 dengan sanad yang shahih
[12]. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari 4/226
[13]. Sebagaimana dalam Shahih Muslim 1173
[14]. Dikeluarkan oleh Ibnu Majah 642-zawaidnya dan Al-Baihaqi, sebagaimana yang
dikatakan oleh Al-Bushiri dari dua jalan. Dan sanadnya Hasan
[15]. Janganlah kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yang kami benci.
[16]. Dikeluarkan oleh Bukhari 4/240 dan Muslim 2157 dan tambahan yang terkahir ada pada
Abu Dawud 7/142-143 di dalam Aunul Ma’bud
[17]. Telah lewat takhrijnya

Sumber: https://almanhaj.or.id/1146-i-t-i-k-a-f-berdiam-diri.html

I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid
dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]
Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan
bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]
Dari Abu Hurairah, ia berkata,

‫ف‬ ِ ِ ِ‫ َفلَ َّما َكا َن الْعام الَّ ِذى قُب‬، ‫َكا َن النَّىِب – صلى اهلل عليه وسلم – يعتَ ِكف ىِف ُك ِّل رمضا َن ع ْشرةَ أَيَّ ٍام‬
َ ‫ض فيه ْاعتَ َك‬
َ َُ َ َ َ ََ ُ َْ ُّ
ِ
َ ‫ع ْش ِر‬
‫ين َي ْو ًما‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya,
Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits
‘Aisyah, ia berkata,

‫اجهُ ِم ْن َب ْع ِد ِه‬ َ ‫ مُثَّ ْاعتَ َك‬، ُ‫ضا َن َحىَّت َت َوفَّاهُ اللَّه‬


ُ ‫ف أ َْز َو‬
ِ ِ
َ ‫ف الْ َع ْشَر األ ََواخَر م ْن َر َم‬
ِ َّ ‫أ‬
ُ ‫َن النَّىِب َّ – صلى اهلل عليه وسلم – َكا َن َي ْعتَك‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-
isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul
qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a
dan banyak berdzikir ketika itu.[5]
I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

‫اج ِد‬
ِ ‫اشروه َّن وأَْنتم عاكِ ُفو َن يِف الْمس‬
ََ
ِ
َ ْ ُ َ ُ ُ َ‫َواَل تُب‬
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga
dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di
rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah  berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di
masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]
I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya)  “Sedang
kamu beri’tikaf dalam masjid”. [8]
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh
masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa
dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]
Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat
jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen)
karena keumuman firman Allah Ta’ala,

‫اج ِد‬
ِ ‫وأَْنتم عاكِ ُفو َن يِف الْمس‬
ََ َ ُْ َ
“sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy
Syafi’i rahimahullah  menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah
agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.
Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-
laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah,
maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar
dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf.
Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]
Wanita Boleh Beri’tikaf
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

– ‫ف فِ ِيه‬ ِ
َ ‫ َوإِذَا‬، ‫ضا َن‬
َ ‫صلَّى الْغَ َداةَ َد َخ َل َم َكانَهُ الَّذى ْاعتَ َك‬ َ ‫ف ىِف ُك ِّل َر َم‬
ِ ِ ُ ‫َكا َن رس‬
ُ ‫ول اللَّه – صلى اهلل عليه وسلم – َي ْعتَك‬ َُ
ُ‫استَأْ َذ َنْتهُ َعائِ َشة‬
ْ َ‫ال – ف‬
َ َ‫ق‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau
masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin
untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]
Dari ‘Aisyah, ia berkata,

‫اجهُ ِم ْن َب ْع ِد ِه‬ َ ‫ مُثَّ ْاعتَ َك‬، ُ‫ضا َن َحىَّت َت َوفَّاهُ اللَّه‬


ُ ‫ف أ َْز َو‬
ِ ِ
َ ‫ف الْ َع ْشَر األ ََواخَر م ْن َر َم‬
ِ َّ ‫أ‬
ُ ‫َن النَّىِب َّ – صلى اهلل عليه وسلم – َكا َن َي ْعتَك‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-
isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]
Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan
fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak
memakai wewangian.[16]
Lama Waktu Berdiam di Masjid
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu
minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya
mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari.
Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan
puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa
dipersyaratkan harus duduk.[18]
Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama,
i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al
Mardawi rahimahullah  mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang
mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]
Yang Membatalkan I’tikaf
1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
2. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’
(kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
1. Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang
tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
2. Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-
cakap dengan orang lain.
3. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
4. Mandi dan berwudhu di masjid.
5. Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar Masjid
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah
shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana
terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,
– ‫ف فِي ِه – َقا َل‬ َ ‫صلَّى ْال َغدَا َة‬
َ ‫دَخ َل َم َكا َن ُه الَّذِى اعْ َت َك‬ َ ‫ َوإِ َذا‬، ‫ان‬ َ ‫ان َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – َيعْ َتكِفُ فِى ُك ِّل َر َم‬
َ ‫ض‬ َ ‫َك‬
ُ‫َفاسْ َتأْ َذ َن ْت ُه َعا ِئ َشة‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau
masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin
untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]
Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20
Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga
seharusnya dimulai dari awal malam.
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat
pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan
yang tidak bermanfaat.[25]
Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan
amalan tentunya.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
 
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Cuplikan dari Buku Panduan Ramadhan
 

[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.


[2] Al Mughni, 4/456.
[3] HR. Bukhari no. 2044.
[4] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.
[5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338
[6] Fathul Bari, 4/271.
[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.
[9] Fathul Bari, 4/271.
[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom,
masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi)
atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani
rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari,
4/272.
[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu
dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini
berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak
masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan
tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.
[12] Lihat Al Mughni, 4/462.
[13] Al Mugni, 4/461.
[14] HR. Bukhari no. 2041.
[15] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.
[17] Lihat Fathul Bari, 4/272.
[18] Idem.
[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.
[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.
[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.
[22] Al Inshof, 6/17.
[23] Fathul Bari, 4/272.
[24] HR. Bukhari no. 2041.
[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158

Sumber : https://rumaysho.com/1150-panduan-itikaf-ramadhan.html
Definisi I’tikaf
Secara literal (lughatan), kata “‫ ”اال ْعتِكاف‬berarti “‫( ”االحتباس‬memenjarakan)[1]. Ada juga
yang mendefinisikannya dengan:

‫ت ْال َعا ِديَّ ِة‬ ِ ‫َحبْسُ النَّ ْف‬


َ َّ‫س َع ْن الت‬
ِ ‫صرُّ فَا‬
“Menahan diri dari berbagai kegiatan yang rutin dikerjakan” [2].
Dalam terminologi syar’i (syar’an), para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan
i’tikaf  dikarenakan perbedaan pandangan dalam penentuan syarat dan rukun i’tikaf [3].
Namun, kita bisa memberikan definisi yang umum bahwa i’tikaf adalah:

ِ ِ‫ْال ُم ْكث فِي ْال َم ْس ِجد لعبادة هللا ِم ْن َش ْخص َم ْخصُوص ب‬


َ ‫صفَ ٍة َم ْخص‬
‫ُوصة‬
“Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang
tertentu dengan tata cara tertentu” [4].
Dalil Pensyari’atan
I’tikaf  disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-
dalil pensyari’atannya.
Dalil dari Al Quran
a. Firman Allah ta’ala,

َ ِ‫ين َو ْال َعا ِكف‬


‫ين َوالرُّ َّك ِع ال ُّسجُو ِد‬ َ ِ‫َو َع ِه ْدنَا إِلَى إِ ْب َرا ِهي َم َوإِ ْس َما ِعي َل أَ ْن طَهِّ َرا بَ ْيتِ َي لِلطَّائِف‬
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku
untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah:
125).
b. Firman Allah ta’ala,

‫ون فِي ْال َم َسا ِج ِد‬


َ ُ‫اشرُوهُ َّن َوأَ ْنتُ ْم َعا ِكف‬
ِ َ‫َوال تُب‬
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam
masjid.” (Al Baqarah: 187).
Penyandaran i’tikaf kepada masjid yang khusus digunakan untuk beribadah dan perintah
untuk tidak bercampur dengan istri dikarenakan sedang beri’tikaf merupakan indikasi
bahwa i’tikaf merupakan
ibadah.[5]
 
Dalil dari sunnah
a. Hadits dari Ummu al-Mukminin, ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

َ ‫ ثُ َّم ا ْعتَ َك‬، ُ ‫ان َحتَّى تَ َوفَّاهُ هَّللا‬


‫ف‬ َ ‫ض‬َ ‫ف ْال َع ْش َر األَ َوا ِخ َر ِم ْن َر َم‬ َ ‫أَ َّن النَّبِ َّى – صلى هللا عليه وسلم – َك‬
ُ ‫ان يَ ْعتَ ِك‬
‫أَ ْز َوا ُجهُ ِم ْن بَ ْع ِد ِه‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan
hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.”[6]
b. Hadits dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

‫ان‬
َ ‫ض‬َ ‫ف ْال َع ْش َر األَ َوا ِخ َر ِم ْن َر َم‬
ُ ‫ان َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – يَ ْعتَ ِك‬
َ ‫َك‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan.”[7]
Dalil Ijma’
Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma’ bahwa i’tikaf
merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara mereka adalah:
a. Ibnul Mundzir rahimahullah dalam kitab beliau Al Ijma’. Beliau mengatakan,

‫نفسه فيجب عليه‬ ‫ على أن االعتكاف ال يجب على الناس فرضا إال أن يوجبه المرء على‬:‫وأجمعوا‬
“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar
untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk menunaikannya.”[8]
b. An Nawawi rahimahullah mengatakan,

:‫فاالعتكاف سنة باالجماع وال يجب إال بالنذر باالجماع‬


“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak
berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.”[9]
c. Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib
berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”[10]
 
Hukum I’tikaf
Hukum asal i’tikaf adalah sunnah (mustahab) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam
‫يل لِى إِنَّهَا فِى ْال َع ْش ِر‬ ُ ِ‫ت ْال َع ْش َر األَ ْو َسطَ ثُ َّم أُت‬
َ ِ‫يت فَق‬ ُ ‫ت ْال َع ْش َر األَ َّو َل أَ ْلتَ ِمسُ هَ ِذ ِه اللَّ ْيلَةَ ثُ َّم ا ْعتَ َك ْف‬ ُ ‫إِنِّى ا ْعتَ َك ْف‬
ُ‫ف النَّاسُ َم َعه‬ َ ‫ فَا ْعتَ َك‬.» ‫ف‬ ْ ‫ف فَ ْليَ ْعتَ ِك‬ َ ‫ر فَ َم ْن أَ َحبَّ ِم ْن ُك ْم أَ ْن يَ ْعتَ ِك‬:ِ ‫اخ‬
ِ ‫األَ َو‬
“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam
kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan
Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan
terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf,
hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun
beri’tikaf bersama beliau.”[11]
Dalam hadits di atas, nabi memberikan pilihan kepada para sahabat untuk melaksanakan
i’tikaf. Hal ini merupakan indikasi bahwa i’tikaf pada asalnya tidak wajib.
Status sunnah ini dapat menjadi wajib apabila seorang bernadzar untuk beri’tikaf
berdasarkan hadits ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

ُ‫َم ْن نَ َذ َر أَ ْن يُ ِطي َع هَّللا َ فَ ْلي ُِط ْعه‬


“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib
menunaikannya.”[12]
‘Umar radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Wahai rasulullah! Sesungguhnya saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf
selama satu malam di Masjid al-Haram.” Nabi pun menjawab, “Tunaikanlah nadzarmu
itu!”[13]
Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’
kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”[14][15]
 
Pertanyaan: Bagaimanakah hukum i’tikaf bagi wanita?
Jawab:
Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat ulama.
Pendapat pertama adalah pendapat jumhur yang menyatakan itikaf dianjurkan juga
bagi wanita sebagaimana dianjurkan bagi pria. Dalil bagi pendapat pertama ini
diantaranya adalah:

 Keumuman berbagai dalil mengenai pensyari’atan i’tikaf yang turut mencakup pria
dan wanita. Asalnya, segala peribadatan yang ditetapkan bagi pria, juga ditetapkan
bagi wanita kecuali terdapat dalil yang mengecualikan.
 Firman Allah ta’ala,

َ ‫ُكلَّ َما َد َخ َل َعلَ ْيهَا َز َك ِريَّا ْال ِمحْ َر‬


‫اب‬
“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab…” (Ali ‘Imran: 37).

 dan firman-Nya,

ْ ‫فَاتَّ َخ َذ‬
‫ت ِم ْن ُدونِ ِه ْم ِح َجابًا‬
“Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka…” (Maryam: 17).
Ayat ini memberitakan bahwa Maryam telah membaktikan dirinya untuk beribadah
dan berkhidmat kepada-Nya. Dia mengadakan tabir dan menempatkan dirinya di
dalam mihrab untuk menjauhi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa beliau
beri’tikaf. Meskipun perbuatan Maryam itu merupakan syari’at umat terdahulu,
namun hal itu juga termasuk syari’at kita selama tidak terdapat dalil yang
menyatakan syari’at tersebut telah dihapus.

 Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma, yang


keduanya memperoleh izin untuk beri’tikaf sedang mereka berdua masih dalam
keadaan belia saat itu.[16]

Pendapat kedua menyatakan bahwa i’tikaf dimakruhkan bagi pemudi. Dalil yang


menjadi patokan bagi pendapat ini diantaranya adalah sebagai berikut:

 Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa nabi shallallahu


‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah-kemah istrinya ketika
mereka hendak beri’tikaf bersama beliau[17]
 Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

‫يل‬ َ ‫ك َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – َما أَحْ َد‬
ْ ‫ث النِّ َسا ُء لَ َمنَ َعه َُّن َك َما ُمنِ َع‬
َ ِ‫ت نِ َسا ُء بَنِى إِس َْرائ‬ َ ‫لَ ْو أَ ْد َر‬
“Seandainya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui apa kondisi
wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid)
sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani Israil.”[18]
Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang menyatakan bahwa i’tikaf juga
disunnahkan bagi wanita berdasarkan beberapa alasan berikut:

 Berbagai dalil menyatakan bahwasanya wanita juga turut beri’tikaf dan tidak
terdapat dalil tegas yang menerangan bahwa pemudi dimakruhkan untuk beri’tikaf.
 Hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan untuk melepas kemah para istri beliau ketika mereka
beri’tikaf bukanlah menunjukkan ketidaksukaan beliau apabila para pemudi turut
beri’tikaf. Namun, motif beliau memerintahkan hal tersebut adalah kekhawatiran
jika para istri beliau saling cemburu dan berebut untuk melayani beliau shallallahu
‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, dalam hadits tersebut beliau mengatakan,
“Apakah kebaikan yang dikehendaki oleh mereka dengan melakukan tindakan
ini?”. Akhirnya beliau pun baru beri’tikaf di bulan Syawwal.
 Hadits ‘Aisyah ini justru menerangkan bolehnya pemudi untuk beri’tikaf, karena
‘Aisyah dan Hafshah di dalam hadits ini diizinkan nabi untuk beri’tikaf dan pada
saat itu keduanya berusia belia.
 Adapun perkataan ‘Aisyah yang menyatakan nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan melarang wanita untuk keluar ke masjid apabila mengetahui kondisi
wanita saat ini, secara substansial, bukanlah menunjukkan bahwa i’tikaf tidak
disyari’atkan bagi pemudi. Namun, perkataan beliau tersebut menunjukkan akan
larangan bagi wanita untuk keluar ke masjid apabila dikhawatirkan terjadi fitnah.

Hikmah I’tikaf
Seluruh peribadatan yang disyari’atkan dalam Islam pasti memiliki hikmah, baik itu
diketahui oleh hamba maupun tidak. Tidak terkecuali ibadah i’tikaf ini, tentu
mengandung hikmah. Hikmah yang terkandung di dalamnya berusaha diuraikan oleh
imam Ibn al-Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad[19]. Beliau
mengatakan, “Kebaikan dan konsistensi hati dalam berjalan menuju Allah tergantung
kepada terkumpulnya kekuatan hati kepada Allah dan menyalurkannya dengan
menghadapkan hati secara total kepada-Nya, -karena hati yang keruh tidak akan baik
kecuali dengan menghadapkan hati kepada Allah ta’ala secara menyeluruh-, sedangkan
makan dan minum secara berlebihan, terlalu sering bergaul, banyak bicara dan tidur,
merupakan faktor-faktor yang mampu memperkeruh hati, dan semua hal itu bisa
memutus perjalanan hati menuju kepada-Nya, atau melemahkan, menghalangi, dan
menghentikannya.
(Dengan demikian), rahmat Allah yang Maha Perkasa dan Maha Penyayang menuntut
pensyari’atan puasa bagi mereka, yang mampu menyebabkan hilangnya makan dan
minum yang berlebih.
(Begitupula) hati yang keruh tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadap kepada
Allah, padahal (kegiatan manusia banyak yang memperkeruh hati seperti) makan dan
minum secara berlebih, terlalu sering bergaul dengan manusia, serta banyak bicara dan
tidur. (Semua hal itu) memporakporandakan hati, memutus, atau melemahkan, atau
mengganggu dan menghentikan hati dari berjalan kepada Allah. Maka rahmat Allah
kepada hamba-Nya menuntut pensyari’atan puasa untuk mereka yang mampu mengikis
makan dan minum yang berlebih serta mengosongkan hati dari campuran syahwat yang
menghalangi jalan kepada Allah. Allah mensyariatkannya sesuai dengan kadar
kemaslahatan yang dapat bermanfaat bagi hamba di dunia dan akhirat. Namun, tidak
merugikan dan memutus kemaslahatan dunia dan akhiratnya.
Demikian pula, Allah mensyariatkan i’tikaf bagi mereka yang bertujuan agar hati dan
kekuatannya fokus untuk beribadah kepada-Nya, berkhalwat dengan-Nya, memutus diri
dari kesibukan dengan makhluk dan hanya sibuk menghadap kepada-Nya. Sehingga,
berdzikir, kecintaan, dan menghadap kepada-Nya menjadi ganti semua faktor yang
mampu memperkeruh hati. Begitupula, kesedihan dan kekeruhan hati justru akan akan
terhapus dengan mengingat-Nya dan berfikir bagaimana cara untuk meraih ridha-Nya
dan bagaimana melakukan amalan yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya.
Berkhalwat dengan-Nya menjadi ganti dari kelembutannya terhadap makhluk, yang
menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena (mengharapkan) kelembutan-Nya
pada hari yang mengerikan di alam kubur, tatkala tidak ada lagi yang mampu berbuat
lembut kepadanya dan tidak ada lagi yang mampu menolong (dirinya) selain Allah.
Inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu.“
Waktu I’tikaf
Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat i’tikaf dianjurkan setiap saat untuk dilakukan dan
tidak terbatas pada bulan Ramadhan atau di sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan. [20] Berikut beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:
a. Terdapat riwayat yang shahih dari Ummu al-Mukminin, yang menyatakan bahwasanya
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari pertama bulan Syawwal dan
dalam satu riwayat beliau melaksanakannya di sepuluh hari terakhir bulan Syawwal.[21]
b. Hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫ْج ِد ْال َح َر ِام‬


ِ ‫ف لَ ْيلَةً فِى ْال َمس‬
َ ‫ت فِى ْال َجا ِهلِيَّ ِة أَ ْن أَ ْعتَ ِك‬ ُ ‫ُك ْن‬
ُ ْ‫ت نَ َذر‬
“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf semalam di Masjid al-
Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkannya untuk
menunaikan nadzar tersebut.[22]
c. Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

َ ‫ ْال َع ِام ْال ُم ْقبِ ِل ِع ْش ِر‬ ‫ف ِم َن‬


‫ين‬ َ ‫ان َوإِ َذا َسافَ َر ا ْعتَ َك‬
َ ‫ض‬َ ‫ر ِم ْن َر َم‬:َ ‫ف ْال َع ْش َر األَ َوا ِخ‬
َ ‫ان ُمقِيما ً ا ْعتَ َك‬
َ ‫إِ َذا َك‬.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan ketika dalam kondisi mukim. Apabila beliau bersafar, maka beliau beri’tikaf
pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”[23]
Begitupula hadits Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
ْ ‫م يَ ْعتَ ِك‬:ْ َ‫ان فَ َسافَ َر َسنَةً فَل‬
‫ف فَلَ َّما‬ َ ‫ض‬َ ‫ َر َم‬ ‫ف فِى ْال َع ْش ِر األَ َوا ِخ ِر ِم ْن‬ َ ‫ َك‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬
ُ ‫ان يَ ْعتَ ِك‬ َ ‫أَ َّن َرس‬
ً ‫ين يَ ْوما‬ َ ‫ان ْال َعا ُم ْال ُم ْقبِ ُل ا ْعتَ َك‬
َ ‫ف ِع ْش ِر‬ َ ‫َك‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan
Ramadhan. Kemudian beliau pernah bersafar selama setahun dan tidak beri’tikaf,
akhirnya beliau pun beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”[24]
Sisi argumen dari hadits di atas adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf
selama dua puluh hari. Hal ini menunjukkan pensyari’atan beri’tikaf pada selain sepuluh
hari terakhir bulan Ramadhan. Tindakan beliau ini bukanlah qadha, karena kalau
terhitung sebagai qadha tentu nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersegera
menunaikannya sebagaimana kebiasaan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
d. Adanya berbagai riwayat dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabat radhiallahu ‘anhu yang menyatakan puasa sebagai syarat i’tikaf dan sebaliknya
terdapat riwayat yang menyatakan puasa bukanlah syarat i’tikaf. Hal ini mengisyaratkan
bahwa i’tikaf disyari’atkan di setiap waktu, tidak hanya di bulan Ramadhan atau pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Karena jika I’tikaf tidak boleh dilaksanakan
kecuali pada bulan Ramadhan atau sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka adanya
perbedaan pendapat dalam penentuan puasa sebagai syarat atau tidak tidak akan
mencuat.
Tujuan i’tikaf adalah mengumpulkan hati kepada Allah ta’ala, menghadap kepada-Nya,
dan berpaling dari selain-Nya dan hal ini tentunya dapat terealisasi di segala waktu.
Namun, pada waktu-waktu tertentu, seperti di bulan Ramadhan terutama pada sepuluh
hari terakhir bulan Ramadhan, ibadah I’tikaf lebih ditekankan untuk dilakukan.
 
-bersambung insya Allah-

[1] Mukhtar ash-Shihhah 1/467.
[2] Al Mishbah al Munir 2/424.
[3] Fiqh al-I’tikaf hal.24.
[4] Syarh Shahih Muslim 8/66, dikutip dari al-Inshaf fi Hukm al-I’tikaf hlm. 5.
[5] Fiqh al-I’tikaf hal. 31
[6] HR. Bukhari dan Muslim
[7] HR. Bukhari dan Muslim
[8] Al Ijma’ hlm. 7; Asy Syamilah.
[9] Al Majmu’ 6/475; Asy Syamilah
[10] Fath al-Baari 4/271
[11] HR. Muslim: 1167.
[12] HR. Bukhari: 6318.
[13] HR. Bukhari: 1927.
[14] Fath al-Baari 4/271
[15] Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid 1/312 menyatakan bahwa imam Malik
menganggap makruh ibadah i’tikaf. Imam Malik berganggapan tidak ada sahabat yang
melakukan I’tikaf. Namun, kita dapat mengetahui bahwa pendapat beliau tersebut
bertentangan dengan dalil-dalil yang telah dipaparkan. Silahkan melihat Fiqh al-
Itikaf hal. 34-37 untuk melihat pembahasan yang lebih luas.
[16] HR. Bukhari: 1940.
[17] HR. Ibnu Khuzaimah: 2224.
[18] HR. Bukhari: 831 dan Muslim: 445
[19] Zaad al-Ma’ad 2/82.
[20] Badai’ ash-Shanai’ 2/273, Kifayah al Akhyar 1/297, Al Mughni 3/122.
[21] HR. Bukhari: 1936 dan Muslim: 1172. Hal ini dilakukan karena beliau pernah
meninggalkan i’tikaf di bulan Ramadhan dan menggantinya di bulan Syawwal.
[22] HR. Bukhari: 1927.
[23] HR. Ahmad: 12036.
[24] HR. Ahmad: 21314.

Anda mungkin juga menyukai