Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

TB MILIER

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi
RSUDZA/FK Unsyiah
Banda Aceh

Disusun Oleh :

Syarifah Faihaa Faisal (1607101030170)

Pembimbing :

dr. NOVITA ANDAYANI, Sp. P(K)


NIP. 19781107 2005012 00 2

BAGIAN/SMF PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN

BANDA ACEH
2018

KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Shalawat
beserta salam kepada Nabi Muhammad SAW, serta kepada sahabat dan keluarga
beliau.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada dr.Novita Andayani,
Sp.P(K) yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis
dalam penyusunan laporan kasus yang berjudul “TB MILIER”, serta dokter-
dokter di Bagian/SMF Pulmonologi dan kedokteran respirasi yang telah
memberikan arahan serta bimbingan hingga terselesaikannya laporan kasus ini.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik pada Bagian/SMF Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi RSUD dr. Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh.
Tidak ada kata sempurna dalam pembuatan sebuah laporan kasus.
Keterbatasan dalam penulisan maupun kajian yang dibahas merupakan beberapa
penyebabnya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan terhadap
laporan kasus ini demi perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu.Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.

Banda Aceh, Oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien.....................................................................................2
2.2 Anamnesis ............................................................................................2
2.3 Pemeriksaan Tanda Vital......................................................................3
2.4 Pemeriksaan Fisik ................................................................................5
2.5 Pemeriksaan Penunjang........................................................................7
2.6 Diagnosis..............................................................................................8
2.7 Tatalaksana ..........................................................................................8
2.8 Planning ...............................................................................................9
2.9 Prognosis ..............................................................................................9
FOLLOW UP HARIAN .............................................................................10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi.................................................................................................12
3.2 Epidemiologi ........................................................................................13
3.3 Etiologi ................................................................................................14
3.4 Faktor resiko ........................................................................................15
3.5 Patogenesis ..........................................................................................15
3.6 Penegakan Diagnosis ...........................................................................19
3.7 Diagnosis Banding. ..............................................................................24
3.8 Tatalaksana ..........................................................................................25
3.9 Komplikasi ...........................................................................................34
3.10Prognosis ..............................................................................................26
BAB IV ANALISA KASUS........................................................................... 38
BAB V KESIMPULAN.................................................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................41

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis yang bersifat kronik, berulang dan merupakan penyakit infeksi pulmo
dan ekstra pulmo yang dikarakteristikan dengan terbentuknya granuloma dengan
kaseosa, fibrosis serta kavitas.1 Basil ini akan masuk ke dalam tubuh melalui
inhalasi lalu masuk ke paru dan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah
dan sistem limfatik atau secara langsung menyebar ke organ target tersebut.2
Tuberkulosis milier merupakan penyakit limfo-hematogen sistemik akibat
penyebaran Mycobacterium tuberculosis (tuberculosis diseminata) dari kompleks
primer yang biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan setelah infeksi awal. TB
milier juga menyebabkan acute respiratory distress syndrome (ARDS).
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan merupakan 3-
7% dari seluruh kasus TB dengan angka kematian yang tinggi.3
Dari seluruh kasus TB, sekitar 1,5% mengalami TB milier. WHO
melaporkan bahwa sekitar 2-3 juta pasien meninggal tiap tahunnya akibat TB
Milier. Insidensi TB Milier nampak lebih tinggi di Afrika. Hal ini disebabkan
faktor risiko sosial ekonomi yang rendah, jenis kelamin yaitu lelaki lebih banyak
dibanding perempuan dan faktor kesehatan. Tidak dibuktikan adanya peran
genetik dalam hal ini. 4,5,6
Berdasarkan data yang didapatkan dari Pedoman Nasional TB 2011
diketahui bahwa TB milier ini merupakan salah satu bentuk TB berat dan dan
memiliki angka kejadian sekitar 3-7% dari seluruh kasus TB dengan angka
kematian yang tinggi. Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada usia kurang
dari 2 tahun. Hal ini dikarenakan imunitas seluler spesifik, fungsi makrofag dan
mekanisme lokal pertahanan parunya belum dapat berkembang sempurna,
sehingga basil TB mudah berkembang biak dan menyebar keseluruh tubuh. Akan
tetapi, TB milier juga dapat terjadi pada anak besar dan remaja akibat pengobatan
penyakit paru primer sebelumnya yang tidak adekuat atau pada usia dewasa akibat
reaktivasi kuman yang dorman.5,6

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama Pasien : Tn. Rahmad Maulizar


Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 21 Tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Status Perkawinan :Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat :Aceh Timur
Tempat Asal :Aceh timur
Tanggal Masuk RS :25 September 2018
Tanggal Pemeriksaan :2 Oktober 2018
No. Rekam Medis : 1-18-35-54

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Lemas


Keluhan Tambahan : Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan lemas sejak seminggu SMRS, pasien juga
mengeluhkan sesak napas sejak 1 hari SMRS, sesak napas dengan aktivitas ringan
dan tidak dipengaruhi oleh cuaca, debu dan tidak disertai oleh suara mengi. Pasien
juga mengeluhkan penurunan berat badan 3 kg dalam sebulan dan selera makan
juga menurun beserta mual sejak 10 hari SMRS, selain itu pasien juga
mengeluhkan demam yang naik turun walau sudah minum obat penurun panas
sejak 3 bulan yang lalu, dan juga pasien mengeluhkan keringat di malam hari.
Batuk disangkal, batuk berdarah disangkal, nyeri dada disangkal. BAB dan BAK
dalam batas normal.

2
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien memiliki riwayat TB milier tahun 2014 yang lalu dan pasien
memiliki riwayat di rawat di ruang saraf karena penurunan kesadaran dengan
diagnosa meningitis TB, sebulan SMRS
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama seperti pasien.
Riwayat Pemakaian Obat :
- Pasien diberikan obat OAT kategori I tahun 2014 dan putus obat setelah
satu bulan, kemudian dilanjutkan obat herbal dari dayah kenalan pasien
selama 6 bulan.
- Pasien diberikan OAT kategori 2 mulai tanggal 10/9/2018

Riwayat Kebiasaan Sosial :


Pasien adalah seorang montir las dan tidak memiliki riwayat merokok
sebelumnya.

Pemeriksaan Tanda Vital


Keadaan umum : sedang
Kesadaran : E4M6V5 (Compos Mentis)
Tekanan darah : 80/50mmHg
Frekuensinadi : 70 kali/menit (regular)
Frekuensi nafas : 28 kali/menit (regular)
Suhu : 36,8oC
SpO2 : 98% tanpa O2

2.3 Pemeriksaan Fisik (2 Oktober 2018)

• Kulit : Berwarna coklat sawo matang, ikterik (-), sianosis (-).


• Kepala :Rambut hitam, distribusi merata, sukar dicabut
• Wajah : Simetris, edema (-)
• Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
sekret (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak
langsung (+/+).

3
• Telinga : Normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
• Hidung : Sekret (-/-), cavum nasi hiperemis (-), napas cuping hidung (-)
• Mulut : Mukosa bibir lembab (+), sianosis (-), lidah tremor (-),faring
hiperemis (-), tonsil hiperemis (-). Ukuran tonsil (T1/T1)
• Leher : Retraksi suprasternal (-), pembesaran KGB aksila
(-)retroauricula (-) suprasternal (-), kaku kuduk (-)

• Thoraks anterior
Inspeksi
Statis : Simetris
Dinamis : Simetris
Palpasi :Simetris, sf kanan = sf kiri
Perkusi : Sonor / Sonor
Auskultasi : Vesikuler(melemah/melemah), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

• Thoraks posterior
Inspeksi
Statis : Simetris
Dinamis : Simetris
Palpasi :Simetris, sf kanan = sf kiri
Perkusi : Sonor / Sonor
Auskultasi : Vesikuler(mlemah/melemah), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

• Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas-batas jantung
Atas : ICS IIlínea parasternal dextra
Kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I > BJ II ,reguler (+), bising (-)

• Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi (-)

4
Palpasi : Hepar/Limpa/Renal tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : peristaltik 3-4 kali/menit kesan normal

• Ekstremitas :
Ekstremitas superior: sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(-/-),CRT <2 detik
Ekstremitas inferior: sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(-/-),CRT <2 detik

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Darah


Jenis pemeriksaan 25-09-2018 Nilai rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9.7 12,0-15,0 g/dL
Hematokrit 30 37-47 %
Eritrosit 4,5 4,2-5,4 106/mm3
Trombosit 338 150-450 103/mm3
Leukosit 4.5 4,5-10,5 103/mm3
MCV 66 80-100 Fl
MCH 21 27-31 Pg
MCHC 33 32-36 %
RDW 18.4 11,5-14,5 %
MPV 9 7,2-11,1 Fl
PDW 8.4 Fl
Eosinofil 2 0-6 %
Basofil 1 0-2 %
Neutrofil batang 0 2-6 %
Neutrofil segmen 62 50-70 %
Limfosit 19 20-40 %
Monosit 16 2-8 %
KIMIA KLINIK
AST/SGOT 83 <35 ng/mL
ALT/SGPT 87 <45 U/L
Gula darah sewaktu 99 <200 mg/dL
Ureum 34 13-43 mg/dL
Kreatinin 1.2 0,67-1,17 mg/dL
Natrium 139 132-146 mmol/L
Kalium 3,2 3,7-5,4 mmol/L
Klorida 101 98-106 mmol/L

Jenis pemeriksaan 27-09-2018 Nilai rujukan Satuan


Bilirubin Total 34 13-43 mg/dL
Bilirubin Direct 1.2 0,67-1,17 mg/dL
Bilirubin Indirect 139 132-146 mmol/L

5
AST/SGOT 342 <35 ng/mL
ALT/SGPT 184 <45 U/L

Pemeriksaan Radiologi (Rontgent Thoraks)


(tanggal pemeriksaan: 9 September 2018)

6
2.5 Diagnosa Kerja

- TB milier on OAT kategori 2 fase intensif


- Anemia Ringan
- Hipokalemi

2.6 Tatalaksana

- Diet MB TKTP

7
- IVFD Asering 20 gtt/i
- O2 2lpm NK (K/P)
- Injeksi Ondancentron 1 amp/12 jam
- KSR 1x300mg
- Injeksi Streptomicin 750 mg (IM)
- OAT pro TB 4 FDC 1xtab III
- Neurodex 1x1
- Curcuma 3x1

2.7 Planning

- Evaluasi efek samping obat


- Evaluasi SGOT dan SGPT
- Evaluasi elektrolit
- Perbaikan KU

2.8 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam

FOLLOW UP HARIAN

8
Tanggal dan
Hari Anamnesis dan Pemeriksaan
Instruksi
Rawatan ke- Fisik
1
25/09/2018 S/ Sesak napas(+), Batuk(-), Th/
Lemas (+)
O/ TD: 80/50 mmHg - Diet MB TKTP
HR: 85 x/menit - IVFD Asering 20 gtt/i
RR: 20 x/i - O2 2lpm NK (K/P)
T : 37,0°C - Injeksi Ondancentron 1
Sp02: 97% tanpa O2 amp/12 jam
- KSR 1x300mg
PF Thoraks : - Injeksi Streptomicin 750
Inspeksi mg (IM) H-15
Simetris statis dan dinamis - OAT pro TB 4 FDC 1xtab
Palpasi: III
Sf ka = Sf ki - Neurodex 1x1
Perkusi: - Curcuma 3x1
Sonor/sonor
Auskultasi: P/
Vesikuler (melemah/melemah),  Evaluasi efek samping obat
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)  Perbaiki KU
A/
-TB milier on OAT kategori 2
fase intensif (H-15)
- Anemia ringan
-Hipokalemia
Tanggal dan
Hari Anamnesis dan Pemeriksaan
Instruksi
Rawatan ke- Fisik
3
27/09/2018 S/ Sesak napas(+), mual (+) Th/
Lemas (+)
O/ TD: 90/60 mmHg - Diet MB TKTP
HR: 85 x/menit - IVFD Asering 20 gtt/i
RR: 20 x/i - O2 2lpm NK (K/P)
T : 37,0°C - Injeksi Ondancentron 1
Sp02: 95% tanpa O2 amp/12 jam
- KSR 1x300mg
PF Thoraks : - Injeksi Streptomicin 750
Inspeksi mg (IM) H-17
Simetris statis dan dinamis - OAT pro TB 4 FDC 1xtab
Palpasi: III -> stop sementara
Sf ka = Sf ki - Neurodex 1x1
Perkusi: - Curcuma 3x1
Sonor/sonor - Etambutol 1x 1000mg
Auskultasi:

9
Vesikuler (melemah/melemah), P/
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)  Evaluasi efek samping obat
A/  Perbaiki KU
-TB milier on OAT kategori 2
fase intensif (H-17)
- Anemia ringan
-Hipokalemia
Tanggal dan
Hari Anamnesis dan Pemeriksaan
Instruksi
Rawatan ke- Fisik
4
28/09/2018 S/ lemas Th/
O/ TD: 110/70 mmHg
HR: 76 x/menit - Diet MB TKTP
RR: 20 x/i - IVFD Asering 20 gtt/i
T : 36,8°C - O2 2lpm NK (K/P)
Sp02: 98% tanpa O2 - Injeksi Ondancentron 1
amp/12 jam
PF Thoraks : - KSR 1x300mg
Inspeksi - Injeksi Streptomicin 750
Simetris statis dan dinamis mg (IM) H-18
Palpasi: - Neurodex 1x1
Sf ka = Sf ki - Curcuma 3x1
Perkusi: - Etambutol 1x 1000mg
Sonor/sonor
Auskultasi: P/
Vesikuler (melemah/melemah), -Perbaiki KU
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
A/
-TB milier on OAT kategori 2
fase intensif (H-18)-> OAT
stop
- Anemia ringan
-Hipokalemia
Tanggal dan
Hari Anamnesis dan Pemeriksaan
Instruksi
Rawatan ke- Fisik
6
30/09/2018 S/ lemas Th/
O/ TD: 100/60 mmHg
HR: 89 x/menit - Diet MB TKTP
RR: 24 x/i - IVFD Asering 20 gtt/i
T : 36,8°C - O2 2lpm NK (K/P)
Sp02: 95% tanpa O2 - Injeksi Ondancentron 1
amp/12 jam
PF Thoraks :

10
Inspeksi
Simetris statis dan dinamis - KSR 1x300mg
Palpasi: - Injeksi Streptomicin 750
Sf ka = Sf ki mg (IM) H-20
Perkusi: - Neurodex 1x1
Sonor/sonor - Curcuma 3x1
Auskultasi: - Etambutol 1x 1000mg
Vesikuler (melemah/melemah),
P/
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
-Perbaiki KU
A/
-TB milier
- Anemia ringan
-DIH
Tanggal dan
Hari Anamnesis dan Pemeriksaan
Instruksi
Rawatan ke- Fisik
8
02/10/2018 S/ lemas Th/
O/ TD: 100/60 mmHg
HR: 89 x/menit - Diet MB TKTP
RR: 24 x/i - IVFD Asering 20 gtt/i
T : 36,8°C - O2 2lpm NK (K/P)
Sp02: 95% tanpa O2 - Injeksi Ondancentron 1
amp/12 jam
PF Thoraks : - KSR 1x300mg
Inspeksi - Injeksi Streptomicin 750
Simetris statis dan dinamis mg (IM) H-20
Palpasi: - Neurodex 1x1
Sf ka = Sf ki - Curcuma 3x1
Perkusi: - Etambutol 1x 1000mg
Sonor/sonor
Auskultasi: P/
Vesikuler (melemah/melemah), -Perbaiki KU
ronkhi (-/-), wheezing (-/-) -cek lab hari ini (LFT, DR)
A/
-TB milier
- Anemia ringan
-DIH

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis yang bersifat kronik, berulang dan merupakan penyakit infeksi pulmo
dan ekstra pulmo yang dikarakteristikan dengan terbentuknya granuloma dengan
kaseosa, fibrosis serta kavitas. 1 Sedangkan, berdasarkan Guidenance for National
Tuberculosis Programmes on Management of Tuberculosis in Children,
tuberculosis merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-
mediated). 1
Basil ini akan masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi lalu masuk ke paru
dan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limfatik atau
secara langsung menyebar ke organ target tersebut. Tuberkulosis paru merupakan
bentuk TB yang sering terjadi yaitu sekitar 80% dari kasus. Tuberkulosis
ekstrapulmo dapat menyerang beberapa organ selain paru. 2
Tuberkulosis milier merupakan penyakit limfo-hematogen sistemik akibat
penyebaran Mycobacterium tuberculosis (tuberculosis diseminata) dari kompleks
primer yang biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan setelah infeksi awal. TB
milier juga menyebabkan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Bentuk
TB ini ditandai dengan adanya penyebaran luas ke seluruh tubuh dengan ukuran
lesi yaitu 1-5 mm. Gambaran lesi ini khas terlihat pada foto rontgen paru, yaitu
adanya bintik-bintik kecil seperti biji atau millet yang distribusinya pada seluruh
paru.3
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan
merupakan 3-7% dari seluruh kasus TB dengan angka kematian yang tinggi.
Terjadinya TB milier dipengaruhi 3 faktor yaitu bakteri Mycobacterium
tuberculosis (jumlah dan virulensi), status imunologis penderita (non spesifik dan
spesifik) dan faktor lingkungan. Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun

12
juga dapat menyebabkan timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi,
infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, penggunaan
kortikosteroid jangka lama. 2

3.2 Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting


di dunia ini. Pada tahun 1992, World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Perkiraan kasus TB secara global
pada tahun 2009 adalah: (3,4,5)
- Insiden kasus : 9,4 juta (8,9 – 9,9 juta)
- Prevalens kasus : 14 juta (12-16 juta)
- Kasus meninggal (HIV negatif) : 1,3 juta (1,2 juta-1,5 juta)
- Kasus meninggal (HIV positif) : 0,38 juta (0,32-0,45 juta)
Jumlah kasus terbanyak adalah regio Asia Tenggara (35%), Afrika (30%),
dan regio Pasifik Barat (20%). Sebanyak 11-13 % kasus TB adalah HIV positif,
dan 80% kasus TB-HIV berasal dari regio Afrika. Pada tahun 2009, diperkirakan
kasus Tbmultidrug- resistant (MDR) sebanyak 250.000 kasus (230.000-270.000
kasus), tetapi hanya 12% atau 30.000 kasus yang sudah terkonfirmasi. Dari hasil
data WHO tahun 2009, lima negara dengan insidens kasus terbanyak yaitu india
(1,6-2,4 juta), China (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,4-0,59 juta), Nigeria (0,37-
0,55 juta), dan Indonesia (0,35-0,52 juta). India menyumbangkan kira-kira
seperlima dari sejumlah kasus didunia (21%). 4,5,6
Dari seluruh kasus TB, sekitar 1,5% mengalami TB milier. WHO
melaporkan bahwa sekitar 2-3 juta pasien meninggal tiap tahunnya akibat TB
Milier. Insidensi TB Milier nampak lebih tinggi di Afrika. Hal ini disebabkan
faktor risiko sosial ekonomi yang rendah, jenis kelamin yaitu lelaki lebih banyak
dibanding perempuan dan faktor kesehatan. Tidak dibuktikan adanya peran
genetik dalam hal ini. 4,5,6
Berdasarkan data yang didapatkan dari Pedoman Nasional TB 2011
diketahui bahwa TB milier ini merupakan salah satu bentuk TB berat dan dan
memiliki angka kejadian sekitar 3-7% dari seluruh kasus TB dengan angka
kematian yang tinggi (25% pada bayi). Tuberkulosis milier lebih sering terjadi

13
pada usia kurang dari 2 tahun. Hal ini dikarenakan imunitas seluler spesifik,
fungsi makrofag dan mekanisme lokal pertahanan parunya belum dapat
berkembang sempurna, sehingga basil TB mudah berkembang biak dan menyebar
keseluruh tubuh. Akan tetapi, TB milier juga dapat terjadi pada anak besar dan
remaja akibat pengobatan penyakit paru primer sebelumnya yang tidak adekuat
atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman yang dorman.5,6

3.3 Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang
merupakan bakteri berbentuk batang (basil) lengkung, gram positif, pleomorfik,
tidak bergerak, dan tidak membentuk spora. Basil tuberkel ini mempunyai
panjang sekitar 2-4µm. Bakteri ini merupakan aerob obligat yang tumbuh pada
media biakan sintetik yang mengandung gliserol sebagai sumber karbon dan
garam ammonium sebagai sumber nitrogen. Oleh sebab itu bakteri ini lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya seperti tekanan oksigen
pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lain, sehingga bagian
apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis. 5,7
Bakteri ini tumbuh paling baik pada suhu 37-41ºC. Dinding selnya kaya
akan kompleks lipid yaitu mengandung mycolic acid, wax-D dan fosfatid.
Mycolic acid ini yang membuat bakteri tersebut tahan asam sehingga warnanya
tidak dapat dihilangkan dengan asam alkohol setelah diberi warna. Ketahanan
terhadap asam ini menyebabkan bakteri memiliki kapasitas untuk membentuk
kompleks mikolat stabil dengan pewarnaan arilmetan. Bila diwarnai maka bakteri
ini akan melawan perubahan warna dengan etanol dan hidrokhlorida atau asam
lain. Wax-D merupakan komponen aktif yang berguna untuk melawan respon
imun dan dapat menimbulkan resistensi terhadap daya bakterisid, antibodi dan
komplemen. Sedangkan fosfatid berperan terhadap terjadinya nekrosis kaseosa. Di
dalam jaringan, bakteri hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma
makrofag.7

14
3.4 Faktor Resiko

Terjadinya TB Milier, dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu basil M.


Tuberculosis (jumlah dan virulensinya) dan status imunologis pasien (nonspesifik
dan spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat
memudahkan timbulnya TB Milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi
morbili, pertusis, diabetes mellitus, gagal ginjal, keganansan dan penggunaan
kortikosteroid jangka panjang. Faktor-faktor lain, yang juga ikut mempengaruhi
perkembangan penyakit ini ialah faktor lingkungan, yaitu kurangnya paparan sinar
matahari, perumahan yang padat, polusi udara, asap rokok, penggunaan alkohol
serta sosial ekonomi yang rendah. 7,8

3.5 Patogenesis dan perjalanan penyakit


Paru merupakan port d’entre lebih dari 98% kasus infeksi tbc. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5um), kuman TBC dalam percik renik (droplet
nuklei) yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus kuman TB
dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik, sehingga
tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus
lainnya tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang
tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan
akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon. 4
Dari fokus primer ghon, kuman TB menyebar melalui limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di seluruh
limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
dalam kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di
apex paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratracheal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer ( primary
kompleks). 4

15
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8
minggu. Selama massa inkubasi tersebut kuman berkembang biak hingga
mencapai jumlah 103 sampai 104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respons imunitas seluler. 4
Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan
telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer imunitas seluler tubuh terhadap TB
terbentuk yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberculo
protein, yaitu uji tuberculin positive, selama masa inkubasi uji tuberkulin masih
negative. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik
pada saat sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB berhenti. Akan
tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (celuler mediated imunity,
CMI). 4
Setelah imunitas seluler terbentuk fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis pengkijuan end capsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan end kapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun di kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala
TB. 4
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi dan pengkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan
keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
4

16
Kerja limfe paratracheal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi akan membesar karena reaksi inflamsi yang berlanjut, sehingga bronkus
dapat terganggu. Obtruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-
valve mechanism). Obtruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronchial atau membentuk
vistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebakan TB
tersebut sebagai penyakit sistemik. 4
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Kuman TBC menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TBC kemudian akan mencapai berbagai organ diseluruh tubuh.
Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi yang
baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri terutama apeks paru. Di
berbagai lokasi tersebut, kuman TBC akan bereplikasi dan membentuk koloni
kuman sebenlum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya. 4
Bentuk penyebaran hematogen lainnya adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (akut generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini
sejumlah besar kuman TBC masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Dapat menyebabkan timbulnya TBC secara akut yang disebut TBC
desiminata atau TB milier timbul dalam 2-6 bulan setelah terjadi infeksi pertama,
atau bila tidak aktif terjadi dalam beberapa tahun sebelum menyebabkan
timbulnya gejala. Timbulnya penyakit tergantung pada jumlah dan virulensi
kuman TBC yang beredar serta frekuensi beredarnya dan berulangnya
penyebaran. TBC diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TBC misalnya balita. 4

17
Perjalanan penyakit

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberculin


biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah awal kontak dengan kumanTB. Pada
awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema
nodusum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi.
TB milier dapat terjadi setiap saat, tapi biasanya berlangsung dalam 12
bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. TB pleura
terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi. TB tulang terjadi sekitar tahun
pertama sampai tahun ketiga. TB ginjal biasanya terjadi lebih lama yaitu 5-25
tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun
pertama, terutama pada 1 tahun pertama. 4,5,6,7

18
Gambar 2.3. Kalender Perjalanan TB Primer

Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan


merupakan 3-7% dari seluruh kasus TB dengan angka kematian yang tinggi
(dapat mencapai 25% pada bayi). TB milier merupakan penyakit limfo-hematogen
sistemik akibat penyebaran M. Tuberculosis dari kompleks primer yang biasanya
terjadi dalam waktu 2-6 bulan pertama setelah infeksi awal. TB milier lebih sering
terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia 2 tahun, karena imunitas seluler
spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme lokal pertahan parunya belum
berkembang sempurna sehingga kuman TB mudah berkembang biak dan
menyebar ke seluruh tubuh. Akan tetapi, TB milier dapat juga terjadi pada anak
besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru primer sebelumnya yang tidak
adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman yang dorman. 4,5,6,7

3.6 Penegakkan Diagnosis

a. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis TB Milier bermacam-macam, bergantung pada


banyaknya kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang sering dijumpai
adalah keluhan kronik yang tidak khas, seperti TB pada umumnya, misalnya

19
anoreksia dan BB turun demam lama dengan penyebab yang tidak jelas, serta
batuk dan sesak nafas.2,5
Pada dewasa, gejala menggigil, keringat malam hari, hemoptisis dan batuk
produkstif sering ditemukan. Tuberkulosis milier, juga dapat diawali dengan
serangan akut berupa demam tinggi yang sering hilang timbul (remittent), pasien
tampak sakit berat dalam beberapa hari, tetapi gejala dan tanda respiratorik belum
ada. Sekitar 50% pasien akan mengalami limfadenopati superfisial, splenomegali,
dan hepatomegali yang akan terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian
bertambah tinggi dan berlangsung terus menerus atau kontinu, tanpa diserti gejala
respiratorik atau disertai gejala minimal dan foto rontgen thorax biasanya masih
normal. Beberapa minggu kemudian, hampir diseluruh organ terbentuk tuberkel
difus multipel, terutama diparu, limpa, hati dan sumsum tulang. 7
Gejala klinis, biasanya timbul akibat gangguan pada paru, yaitu gejala
respiratorik seperti batuk dan sesak nafas yang disertai ronkhi atau mengi. Pada
kelainan paru yang berlanjut, dapat timbul sindrom sumbatan alveolar, sehingga
timbul gejala gangguan pernafasan, hipoksia, pneumothorax, dan
pneumomediastinum. Dapat juga terjadi gangguan fungsi organ, kegagalan
multiorgan serta syok. 4 Gejala lain yang dapat ditemukan ialah kelainan kulit
berupa tuberkuloid, papula nekrotik, nodul atau purpura. 9

b. Pemeriksaan Penunjang
a. Tuberculin Skin Test (TST)
Tuberculin Skin Test (TST) disebut juga Mantoux Test. Ada 2 jenis
tuberkulin yang dipakai yaitu OT (Old Tuberkulin) dan Tuberkulin PPD (Purified
Protein Derivatif) dan ada 2 jenis tuberkulin PPD yang dipakai yaitu PPD-S
(Seibert) dan PPD-RT23.
Tuberculin adalah komponen protein kuman TByang mempunyai sifat
antigenic yang kuat. Jika disuntikkan kepada orang yang terinfeksi TB (telah ada
kompleks primer dan terbentuk imunitas seluler) maka akan terjadi reaksi berupa
indurasi di lokasi suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi local, edema,
endapan fibrin, dan akumulasi sel-sel inflamasi disekitarnya.
Tes ini dilakukan dengan cara menyuntikan 0,1 ml PPD-RT 23 2TU, PPD-
S 5 TU atau OT 1/2000 secara intrakutan dibagian volar lengan bawah.

20
Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter
melintang dari indurasi yang terjadi. Seseorang yang menerima vaksin BCG dapat
memberikan hasil yang positif pada TST. Hal ini dikarenakan efek BCG pada
hasil TST kurang lebih bermakna selama 15 tahun dan akan minimal terjadi pada
setelah 10 tahun. Interpretasi hasil test Mantoux: 4,5,6
1) Indurasi 10 mm atau lebih → reaksi positif
Arti klinis adalah sedang atau pernah terinfeksi dengan kuman Mycobacterium
tuberculosis.
2) Indurasi 5 – 9 mm → reaksi meragukan
Arti klinis adalah kesalahan teknik atau memang ada infeksi dengan
Mycobacterium atypis atau setelah BCG. Perlu diulang dengan konsentrasi yang
sama. Kalau reaksi kedua menjadi 10 mm atau lebih berarti infeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis. Kalau tetap 6 – 9 mm berarti cross reaction atau
BCG, kalau tetap 6 – 9 mm tetapi ada tanda – tanda lain dari tubeculosis yang
jelas maka harus dianggap sebagai mungkin sering kali infeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis.
3) Indurasi 0 – 4 mm → reaksi negatif.
Arti klinis adalah tidak ada infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.
Vaksinasi sebelumnya (BCG) juga dapat menimbulkan reaksi terhadap uji
kulit tuberculin. Sekitar setengah dari bayi yang mendapat vaksin BCG tidak
pernah menimbulkan uji kulit tuberculin reaktif, dan reaktivitas akan berkurang 2
– 3 tahun kemudian pada penderita yang pada mulanya memiliki uji kulit positif.

b. Uji serologis
TB umumnya dilakukan dengan cara ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay), untuk mendeteksi antibodi IgG terhadap cord factor
berguna untuk serodiagnosis paru aktif. Titer antibodi faktor anti cord menurun
sampai normal setelah pemberian obat anti tuberkulosis. Uji peroksidase-anti-
peroksidase (PAP) merupakan uji serologis imunoperoksidase yang menggunakan
kit histogen imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik
terhadap basil TB .
c. Pemeriksaan mikrobiologi

21
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan
mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan
kuman M. tuberculosis dan pemeriksaan PCR. Pada anak pemeriksaan
mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit mendapatkan sputum sehingga
harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung didapatkan hanya 10%
anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan positif jika
terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih digunakan
untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.

d. Uji interferon
Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen
tertentu, diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut
telah tersensitisasi dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan
interferon gamma yang kemudian di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini
hingga saat ini belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.10
e. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang-
kadang meragukan. Pada TB bisa didapatkan leukositosis dan Laju Endap Darah
(LED) yang meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali
normal dan laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. 3
Mekanisme imunologi telah berimplikasi menyebabkan supresi sumsum
tulang sehingga menyebabkan pasnsitopenia dan anemia hipoplastik.10
Tabel 2.1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium darah pada
TB milier
Laboratorium Darah
Hematologi Anemia
Leukositosis
Neutrofilia
Lymfositosis
Monositosis
Thrombositosis
Leukopeni
Limfopenia
Thrombositopeni
Peningkatan ESR (Erythrocyte Sedimentation
Rate)
Peningkatan CRP (C-reactive protein)

22
Biokimia Hiponatraemia
Hipoalbuminaemia
Hipercalcaemia
Hipophosphatemia
Hiperbilirubinaemia
Peningkatan serum transaminase
Peningkatan serum alkaline phosphatase
Peningkatan serum ferritin

f. Gambaran Radiologis
Lesi milier dapat terlihat pada foto Rontgen Thorax dalam waktu 2-3
minggu setelah penyebaran basil secara hematogen. TB milier secara klasik
digambarkan sebagai “millet-like” yaitu bintik bulat atau tuberkel halus (millii) 1-
3mm yang tersebar merata di seluruh lapangan paru. Bentukan ini terlihat sekitar
1-3% dari semua kasus TB . Sekitar 1-2 minggu setelah timbulnya penyakit, pada
foto Rontgen thorax, dapat dilihat lesi yang tidak teratur seperti kepingan salju. 5,6,7
Pasien yang terdiagnosis TB milier, harus dipikirkan mengalami TB
tulang. Oleh karena itu dapat dilakukan pemeriksaan foto polos vertebrae dan
ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebrae, disertai
penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara korpus tersebut dan
mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravetebral. pada foto AP, abses
paravetebral di daerah servikal berbentuk sarang burung ( bird’s nest ), di daerah
torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses berbentuk fusiform pada
stadium lanjut terjadi destruksi vertebrae yang hebat sehingga timbul kifosis
pemeriksaan foto dengan zat kontras sedangkan pemeriksaan melografi dilakukan
bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum tulang atau dapat juga dilakukan
pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi serta pemeriksaan MRI. 5,6,7

g. Patologi Anatomi
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang
ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Granuloma tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area

23
nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel
datia langhans (multinucleat giant cell). 5,6,7
c. Diagnosis
Penegakkan diagnosis berdasarkan WHO
1) Dicurigai TB ( suspected tuberculosis)
Riwayat kontak penderita TB dengan BTA positif:
keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk
rejan, berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, batuk dan mengi
yang tidak membaik dengan pengobatan antibiotika untuk penyakit
pernafasan
pembesaran kelenjar superfisial yang tidak sakit
2) Mungkin TB (probable tuberculosis)
Uji tuberculin positif (10 mm atau lebih)
Foto roentgen paru sugestif TB
Pemeriksaan histopatologis biopsy sugestif TB
Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT
3) Pasti TB (confirmed tuberculosis)
Ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan langsung atau biakan.

3.7 Diagnosis Banding


 Acute respiratory distress syndrome merupakan reaksi serius dari berbagai
bentuk kerusakan paru. Terjadi inflamasi parenkim paru yang menyebabkan
ketidakseimbangan dari pertukaran gas dimana terjadi pengeluaran mediator
inflamasi. Gejala lain tachpnea, penurunan level O 2, sesak napas dan terdapat
infiltrat difus bilateral paru . 3,7,8
 Addison disease merupakan kelainan endokrin kronik dimana glandula
adrenal tidak cukup untuk memproduksi hormon steroid (glukokortikoid dan
mineralokortikoid). Gejala yaitu fatigue, nyeri kepala, demam, kelemahan
otot, penurunan berat badan, nausea, vomitting, diare, berkeringat, perubahan
mood, dan kepribadian, serta nyeri sendi dan otot. 3,7,8

24
 Pneumonia akibat bakteri dibagi menjadi dua penyebab yaitu gram positif dan
gram negatif. Gram positif oleh steptococcus pneumonia dan gram negatif
oleh H. Influenza, Klebsiella, Pneumonia, dan lain-lain. 3,7,8
 Pneumocytiss carinii pneumonia atau PCP atau pneumocytosis merupakan
salah satu pneumonia akibat protozoa. Gejalanya yaitu demam, batuk tidak
produktif, sesak napas (terutama ekspirasi), adanya penurunan berat badan dan
keringat malam. 3,7,8
 Pneumonia hipersensitif merupakan inflamasi dari alveolus akibat
hipersensitif terhadap debu organik. 3,7,8
 Blastomycosis merupakan penyakit jamur yang penyebarannya melalui
inhalasi spora dari tanah yang terkontaminasi. Gejalanya yaitu seperti flu,
adanya demam, batuk berdahak, mialgia, atralgia, dan nyeri dada.

3.8 Tatalaksana

Aspek Medikamentosa
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R),
isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin
dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan
pirazinamid,etambutol, dan streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua)
adalah paraaminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide,
prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin,
kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR. 11

11
Tabel 2.7. OAT Lini Pertama
Dosis
Dosis harian
Nama Obat maksimal Efek Samping
(mg/kgBB/hari)
(mg/hari)

Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis,


neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal,

25
reaksi kulit,
hepatitis,

trombositopenia,
peningkatan
enzim hati,
cairan

tubuh berwarna
oranye
kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati,
atralgia,
gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik,
ketajaman
penglihatan
berkurang,

buta warna
merah-hijau,
penyempitan
lapang

pandang,
hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis,
nefrotoks

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak


boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain
karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin
diabsorpsi dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut
kosong (satu jam sebelum makan.

26
Bila > 3 positif
Hal yang mencurigakan
TB : Dianggap TB
Mempunyai sejarah Beri OAT
kontak erat dengan Observasi 2 bulan
penderita TB dengan
BTA (+) Membaik Memburuk/tetap
Tes uji tuberkulin yang Bukan TBTBkebal obat (MDR)
positif (>10 mm) Membaik
Gambaran foto Rö Rujuk ke RS
OAT
sugestif TB
Terdapat reaksi PERHATIAN Rumah Sakit/Rumah
Sakit Pendidikan :
kemerahan yang cepat Bila terdapat tanda-
Gejala klinis
(dalam 3-7 hari) setelah tanda bahaya :
Kejang Uji tuberkulin
imunisasi dengan BCG Foto Rö
Kesadaran menurun
Batuk-batuk lebih dari 3 Kaku kuduk Pemeriksaan
minggu Benjolan di mikrobiologi dan
Sakit dan demam lama punggung serologi Pemeriksaan
patologi anatomi
atau berulang, tanpa Dan kegawatan lain
Prosedur diagnosis
sebab yang jelas Segera rujuk ke
Rumah Sakit dan tatalaksana yang
Berat badan turun tanpa sesuai dengan
sebab yang jelas atau prosedur RS yang
berat badan kurang baik bersangkutan
yang tidak naik dalam
Gambar 1 Alur Penatalaksanaan TB 11
2.18.
bulan meskipun sudah
dengan penanganan gizi
(failure to thrive)
Gejala-gejala
OAT klinis
Lini Pertama
spesifik (pada kelenjar
1) Isoniazid
limfe, otak, tulang, dll)
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang
sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik
terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman,
dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan
pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang
(adverse reaction) yang sangat rendah. 11
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian.

27
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan
dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil,
sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah,
sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling sedikit
6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. 2,11

2) Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum
puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral
dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali
pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis rifampisin
tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.
Distribusinya sama dengan isoniazid. 11,12
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang
menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum dan air
mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin
adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah) dan hepatotoksisitas
(ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase
serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersamaan isoniazid, terjadi
peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis
harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat
menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi
tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin,
siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin.
Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg.11

3) Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan
diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai

28
dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum
puncak 45 μg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif
karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang timbul
akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping lainnya adalah
hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Pirazinamid tersedia dalam
bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan
bersamaan makanan 2,11
4) Etambutol
Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan
pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis
tunggal. Kadar serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam
bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.16
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan
etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optikus dan
buta warna merah-hijau. 11,13
5) Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase
intensif meningitis TB dan MDR-TB . Streptomisin diberikan secara
intramuscular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar
puncak 40-50 μg/ml dalam waktu 1-2 jam. 11,13

29
Tabel 2.8. Obat-obatan Lini Kedua Tuberkulosis 13

Panduan Obat TB
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama)
dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat
pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4
bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman
intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk
membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan.
OAT diberikan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi ketidak teraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat
tidak ditelan setiap hari. 11
Penatalaksanaan TB milier pada fase intesif (selama 2 bulan pertama)
diberikan 4-5 macam OAT kombinasi rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan
etambutol atau streptomisin. Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid
sampai 9-12 bulan sesuai dengan perkembangan klinis. Terapi adjuvan seperti
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga
dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4
minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off hingga 2-6 minggu. 7,11
Kortikosteroid mempunyai kemanpuan mencegah atau menekan
berkembangnya manifestasi inflamasi dan juga mempunyai nilai yang tinggi pada
pengobatan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan reaksi imun, baik
kondisi yang berhubungan dengan imnunitas humoral maupun seluler.

30
Penggunaan kortikosteroid memberi bermacam-macam efek, tetapi yang penting
dalam kaitannya dengan infeksi khususnya tuberkulosa adalah sifat anti inflamasi.
Mekanis kerja korikosteroid yaitu dengan menembus membran sel, kemudian
didalam sitoplasma berikatan dengan suatu reseptor protein interseluler spesifik.
Komplek reseptor steroid selanjutnya meninggalkan sitoplasma dan menuju inti
sel, didalam inti sel mensintesa suatu protein baru yang mempengaruhi transkripsi
dan translasi asam inti, sehingga terjadi perubahan inti sel. Kortikosteroid tidak
hanya menghambat fenomena awal dari inflamasi, tetapi juga mampu menghalau
manifestasi lanjutannya. Dalam proses inflamasi bahan ini selain mampu
mempertahankan tonus pembuluh darah. Agar peristiwa diapedesis leukosit,
ekstravasasi cairan yang menyebabkan terjadinya odema setempat, serta migrasi
sel-sel leukosit ke lokasi radang dapat dihambat. Proliferasi sel-sel fibroblas yang
merupakan bagian dari proses reparasi juga dihambat oleh kortikosteroid. 2,10
Penatalaksanaan yang tepat akan memberikan perbaikan radiologis TB
milier dalam waktu 4 minggu. Respons keberhasilan terapi antara lain hilangnya
demam setelah 2-3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan
kualitas hidup sehari-hari dan peningkatan berat badan. Gambaran milier pada
foto toraks berangsur-angsur menghilang dalam 5-10 minggu tetapi mungkin juga
belum ada perbaikan sampai beberapa bulan. 4,11
Sedangkan, menurut WHO 2006 dalam Guidance for National Tuberculosis
Programmes on the management of tuberculosis in children, pada TB Milier
direkomendasikan diberikan kortikosteroid, yaitu yang sering dipakai ialah
prednison dengan dosis 2mg/kgbb/hari selama 4 minggu full dose (dibagi dalam 3
dosis) kemudian diturunkan secara perlahan (tappering off) selama 1-2 minggu
sebelum obat tersebut dihentikan. 14
Evaluasi Hasil Pengobatan
Evaluasi hasil pengobatan sebaiknya dilakukan tiap bulan. Evaluasi hasil
pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan
LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau
membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan,
misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan

31
nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka pengobatan
dilanjutkan. 1,11
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara
rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB
milier, efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto
rontgen toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan,
sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto rontgen toraks dilakukan
setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila
pada awal pengobatan nilainya tinggi. Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik,
yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap
diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa tidak terjadi perbaikan.
Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi
terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka
pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi. 11
Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis
OAT, keteraturan minum obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta,
serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan
klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir
pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin. Pengobatan selama 6 bulan
bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi persisten M. tuberculosis
(tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh, dan mengurangi secara
bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan.11,12
Evalusai Efek Samping Pengobatan
OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup
sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek
samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas. 11
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak
melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15
mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan
Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-
PiruvatTransaminase (SGPT) hingga ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas

32
normal (40 U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5
mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun yang
disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.4
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang
terjadi. 11
Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali
batas normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian
kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT
diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya
dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis
yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan
laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada
pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (fulldose)
dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan. 1

Aspek Non Medikamentosa


a. Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien
menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan.
Keteraturan dalam menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta
mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan
keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan
(directly observed treatment). Directly observed treatment shortcours (DOTS)
adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan
program penanggulangan TB , dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi. 11
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu
11
sebagai berikut :
1) Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.
2) Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.

33
3) Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung oleh pengawas minum obat (PMO).
4) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
5) Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan TB .
b. Sumber penularan dan case finding
Sumber penularan adalah menderita TB aktif dan kontak erat dengan
penderita. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan
radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). 11
c. Aspek edukasi dan sosial ekonomi
Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan
TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup
lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga
penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin dan
mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan
medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan
kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. 11
d. Pencegahan Kemoprofilaksis
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan
kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah
berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan
isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. 11

3.9 Komplikasi
Tuberkulosis milier dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Komplikasi pada TB milier terbagi atas 3 bagian,
yakni paru, hematogen dan limfogen. Pada paru dapat menyebabkan
pneumothorax dan abses paru. Hematogen dapat menyebabkan meningitis TB ,
tuberculoma dan TB enteritis. Sedangkan penyebaran secara limfogen ialah
lymphodenitis TB .5

34
Pasien yang mengalami tuberkulosis milier dapat mengakibatkan terjadinya
pneumothorax. Insidensi pneumothorax jarang, sekitar 1,3%-1,5% pada
tuberkulosis milier. Gejala-gejala klinis yang dapat terlihat pada pasien
tuberculosis milier yaitu terdapat tanda kesulitan bernafas, batuk kering dan
perubahan fungsi dan struktur anatomi jantung. Gejala-gejala ini, juga terlihat
pada pasien TB milier dengan pneumothorax, akan tetapi jika dengan
pneumothorax akan terlihat peningkatan dispneu dan nafas pendek pada pasien.
Sehingga, dalam pemeriksaan fisik sukar untuk dibedakan antara TB milier saja
atau TB milier dengan pneumothorax. Patogenesis pneumothorax dalam
tuberkulosis milier belum diketahui secara pasti, akan tetapi diduga akibat proses
kaseosa atau nekrosis di subpleural akibat nodul milier dan hal ini dapat terjadi
ruptur sehingga memicu terperangkapnya udara yang menyebabkan
pneumothorax. Selain itu, tuberkulosis milier akut dapat menyebabkan
emphysematous lung. Hal ini dapat disebabkan karena penyebarannya bilateral,
simultan dan atau adanya pneumothorax rekuren pada pasien, sehingga memicu
timbulnya gambaran emphysematous lung.6,12
Tuberkulosis enteritis juga merupakan manifestasi ekstrapulmoner dari
tuberkulosis pulmoner, dan hal ini terjadi sekitar 15-20% dari pasien tuberculosis
pulmoner yang aktif. Chung dkk (2006) melaporkan bahwa tuberkulosis intestinal
dapat merupakan salah satu komplikasi tuberkulosis milier yang ditandai dengan
nyeri abdomen dan demam.5

Tabel 2.11. Komplikasi TB Milier12


Komplikasi Tuberkulosis Milier

Sistemik Cryptic miliary tuberculosis

Pireksia yang tidak diketahui asalnya

Syok, disfungsi multi organ


Pulmo Acute respiratory distress syndrome

“Air leak” syndrome

(pneumothorax, pneumomediastinum)

35
Empiema akut
Hematologi Myelopthisic anaemia

Immune haemolytic anaemia

Endocrinological

Thyrotoxicosis
Renal Failure due to granulomatous destruction of

the interstitium

Immune complex glomerulonephritis


Perikarditis dengan atau tanpa efusi pericardial

Kardiovaskular Sudden cardiac death

Mycotic aneurysm of aorta

Native valve, prosthetic valve endocarditis


Hepatik Cholestatic jaundice
Lainnya Presentation as focal extra-pulmonary tuberculosis

Berdasarkan hal tersebut maka tuberkulosis enteritis merupakan suatu


differential diagnosis pada pasien yang memiliki keluhan bagian abdomen
terutama riwayat tuberkulosis pulmner sebelumnya. Tuberkulosis intestinal
didiagnosis dengan konfirmasi laparotomi dan biopsi darurat. Oleh karena itu,
pasien diberikan OAT selama 12 bulan dan kortikosteroid. Sekitar 25% pasien
dengan TB milier, dapat berlanjut sampai mengenai sistem saraf pusat yaitu
meningitis TB dan tuberculoma. Setelah mendapatkan beberapa minggu terapi
yang efektif, maka diharapkan pasien mengalami perbaikan klinis yang signifikan,
dan memiliki hasil negatif pada pemeriksaan sputum basil tahan asam, dan
retraksi nampak minimal. Namun, yang harus diyakini bahwa pasien benar-benar
tidak lagi menular. Tidak adanya hasil sputum yang positif pada pasien tersebut,
sehingga dapat menjamin perlindungan saat paparan dengan orang lain. Terapi
harus diawasi secara langsung, sehingga hasil dapat optimal untuk memastikan
kepatuhan dan mencegah kekambuhan pada pasien.7

36
3.10 Prognosis
Prognosis tuberkulosis milier dipengaruhi oleh lama infeksi, luas lesi, gizi,
sosial ekonomi, diagnosis dini, pengobatan adekuat dan infeksi lain. Adanya
infeksi HIV, multydug resistance (MDR) dan reaksi obat (rash, hepatitis dan
trombositopenia) dengan TB milier berkontribusi terhadap peningkatan
morbiditas dan mortalitas. Pada TB milier terjadi peningkatan morbiditas dan
mortilitas sebesar 20-25%. 4,12
Prognosis penderita penyakit tuberkolosis milier adalah baik bila diagnosa
dini dapat diketahui dan dilakukan pengobatan yang tepat. Komplikasi yang
sering adalah menigitis tuberkolosis terutama pada dewasa muda. Angka
mortalitas yang diakibatkan oleh TB milier bila tidak diobati 100% dan bila
diobati dengan tepat akan berkurang menjadi 10% hal ini dapat di dapati di
Amerika Serikat , di negara lain angka kematian bervariasi berkisar 10%-28%.2

37
BAB IV
ANALISA KASUS

Datang seorang dengan keluhan lemas sejak seminggu SMRS, pasien juga
mengeluhkan sesak napas sejak 1 hari SMRS, sesak napas dengan aktivitas ringan
dan tidak dipengaruhi oleh cuaca, debu dan tidak disertai oleh suara mengi. Pasien
juga mengeluhkan penurunan berat badan 3 kg dalam sebulan dan selera makan
juga menurun beserta mual sejak 10 hari SMRS, selain itu pasien juga
mengeluhkan demam yang naik turun walau sudah minum obat penurun panas
sejak 3 bulan yang lalu, dan juga pasien mengeluhkan keringat di malam hari.
Batuk disangkal, batuk berdarah disangkal, nyeri dada disangkal. BAB dan BAK
dalam batas normal.
Berdasarkan teori gejala yang dialami penderita adalah demam naik turun,
sesak napas dan keringat malam hari sering ditemukan. Tuberkulosis milier, juga
dapat diawali dengan serangan akut berupa demam tinggi yang sering hilang
timbul (remittent), pasien tampak sakit berat dalam beberapa hari, tetapi gejala
dan tanda respiratorik belum ada. Demam kemudian bertambah tinggi dan
berlangsung terus menerus atau kontinu, tanpa diserti gejala respiratorik atau
disertai gejala minimal.
Pasien memiliki riwayat TB milier tahun 2014 yang lalu dengan riwayat
putus obat dan pasien memiliki riwayat di rawat di ruang saraf karena penurunan
kesadaran dengan diagnosa meningitis TB, sebulan SMRS.

38
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga
macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase
lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk
membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang,
selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan. OAT diberikan dua atau tiga kali dalam seminggu. Pada pasien ini
yang memiliki riwayat putus obat merupakan faktor resiko dari kuman TB yang
belum mati sehingga dapat menimbulkan perburukan keadaan pasien, salah
satunya meningitis TB.
Pasien diberikan OAT kategori 2 mulai tanggal 10/9/2018, sesuai dengan
teori pasien adalah tipe penderita yang lalai berobat yaitu sudah berobat paling
kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih. Pada pasien-pasien seperti ini
berdasarkan panduan OAT diberikan pengobatan TB kategori 2 yaitu
2RHZES/RHZE/5RH3E3 .
Pasien mengalami peningkatan fungsi hati. Salah satu penyebab
peningkatan fungsi hati dikarenakan salah satunya adalah efek dari penggunaan
obat OAT yaitu diantaranya pirazinamid, rifampisin dan isoniazid, Jika rifampisin
diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas. .
Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-Oxaloacetic
Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-PiruvatTransaminase (SGPT) hingga
≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas normal (40 U/I) disertai dengan gejala,
peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT
dengan beberapa nilai beberapapun yang disertai dengan ikterus, anoreksia,
nausea dan muntah.
Pada pasien pengobatan RHZ dihentikan sementara, OAT dapat
menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi
pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,
hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek samping yang perlu
diperhatikan adalah hepatotoksisitas. Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5
kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala, maka semua
OAT dihentikan, kemudian kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1

39
minggu penghentian. OAT diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah
normal. Tetapi berikutnya dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan
rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan
pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul
kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara
penuh (fulldose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.

BAB V
KESIMPULAN

Tuberkulosis milier merupakan penyakit limfo-hematogen sistemik akibat


penyebaran Mycobacterium tuberculosis (tuberculosis diseminata) dari kompleks
primer yang biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan setelah infeksi awal. TB
milier juga menyebabkan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Sehingga
diperlukan diagnosis yang tepat yang dapat ditemukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang agar dapat memberikan
penatalaksanaan yang tepat.

Pasien-pasien dengan TB juga harus diedukasi secara menyeluruh agar


selalu teratur minum obat dan dipantau secara ketat baik dari pihak tenaga
kesehatan maupun PMO, dikarenakan obat TB harus selalu rutin diminum dan
memiliki efek samping terhadap pasien, sehingga harus selalu kontrol untuk
melihat perkembangan pasien.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Management of TB meningitis and miliary TB .


Guidance for national tuberculosis programmes on management of
tuberculosis in children. 2006: p. 10-50.
2. Grange JM, Zumla AI. Tuberculosis. In Cook GC, editor. Manson's Tropical
Disease 22nd edition. Elsevier Ltd; London, 2008 : p. 1-57.
3. Reviono , Probandari AN, Pamungkasari EP. Keterlambatan Diagnosis
Pasien Tuberkulosis Paru di RSUD dr. Moewardi Surakarta. Journal of
Respiratory Indonesian. 2008; 28 1: p. 1-10.
4. Kemenkes RI. Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia. In Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta, 2011: p. 16-59.
5. World Health Organization. WHO. [Online].; 2009 [cited 2016 June 1.
Available from:
http://www.who.int/TBpublications/global_report/2009/key_points/en/index.
html.
6. World Health Organization. Tuberculosis Control in the South-East Asia
Region. The Regional Report. 2012:
7. Kar A. Characterization, Classification and Taxonomy of Microbes. In
Pharmaceutical Microbiology. New Age International Ltd. New Delhi, 2008
8. CDC. CDC. [Online].; 2008 [cited 2016 June 1. Available from:
http://wonder.cdc.gov/wonder/PrevGuid/p0000425/p0000425.asp.
9. World Health Organization. Management of TB meningitis and miliary TB .
Guidance for national tuberculosis programmes on management of
tuberculosis in children. 2006
10. Rahajoe NN, Setiawati L. Tatalaksana TB . In Buku Ajar Resoirologi.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2012
11. Levinson W. Mycobacteria. In Review of Medical Microbiology and
Immunology. The McGraw-Hill Companies. United State of America, 2008
12. Basir D, Yani FF. Tuberkulosis dengan Keadaan Khusus. In Buku Ajar
Respirologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2012

41
13. Said M, Boediman I. In Buku Ajar Respirologi. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta, 2012
14. Barrera L. The Basic of Clinical Bacteriology. In Palomino JC, Leao SC,
Ritacco V, editors. Tuberculosis 2007 From Basic science to patient care.
BourcillierKamps Ltd. Brazil, 2007: p. 93-112.

42

Anda mungkin juga menyukai