Anda di halaman 1dari 4

MENGAPA BANYAK PROYEK

TANPA AMDAL?

Vompas, 21 April 2004 memberitahukan banyaknya proyek

Adi DIY yang diprakarsai pemerintah, tetapi tidak dilengkapi

dengan analisis mengenai dampak lingkungan. Di antara proyek-

proyek tersebut adalah pembangunan stadion di Sleman dan

Bantul, Lapangan golf di Kulon Progo, Plaza Ambarrukmo, dan RSU

di Sleman. Bahwa banyak proyek-proyek tanpa amdal bukanlah

merupakan berita baru, tetapi ketika hal itu dilakukan pemerintah

menjadi manarik untuk dikaji.

Melalui analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), sebuah

rencana usaha atau kegiatan bisa dibatalkan kalau memang tidak

layak lingkungan atau jika dinyatakan layak perlu disertai dengan

pengelolaan lingkungan. Di Indonesia amadal mulai diadopsi dengan

Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 1982 tentang Pokok-pokok

pengelolaan Lingkungan Hidup dan dengan ketentuan pelaksanaan

yang tertuang dalam Peraturan pemerintah (PP) no 29 tahun 1986.

Sejak amdal diberlakukan tahun 1986, implementasinya

memang tidak begitu menggembirakan. Ketika terjadi revisi PP No.

29 Tahun 1986 menjadi PP No. 51 Tahun 1993 karena tuntutan

deregulasi ditemukan bahwa di Departemen Perindustrian saja,

terdapat lebih dari 50 persen proyek yang belum dilengkapi dengan

Amdal, Di Semarang menurut temuan Bank Dunia (1997), terdapat


61 persen industri do nothing atau tidak melakukan apa-apa dalam

mencegah terjadinya pencemaran. Hal ini berarti bahwa industri

dimaksud tidak melakukan pengelolaan lingkungan sebagai tindak

lanjut dari penyusunan amdal. Sebuah penelitian yang dilakukan

Madi dan kawan-kawan (1995) atas beberapa proyek di Jawa

Tengah yang telah dilengkapi dengan amdal menunjukkan dua hal.

Pertama, dokumen amdal yang disusun oleh pemrakarsa provek

banya diperlakukan sebagai kelengkapan administrasi, Kedua,

upaya pengelolaan yang disarankan oleh penyusun dokumen tidak

sepenuhnya dilaksanakan oleh pemrakarsa proyek.

Pada awal diberlakukannya UU no: 22 tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah terjadi perebutan kewenangan dalam pe-

nilajan dokumen amdal. Pasal 11, UU No.22 Tahun 1999 menetap-

kan bahwa lingkungan hidup jadi kewenangan wajib pemerintah

kota dan kabupaten. PP No.25 Tahun 2000 sebagai aturan pelak-

sanaan dari UU Pemerintah Daerah tersebut mengamanatkan bah-

wa kewenangan pemerintah provinsi adalah untuk lintas kota/

kabupaten. Hal ini berarti bahwa persoalan lingkungan ditingkat

kota/kabupaten menjadi kewenangan pemerintah kota/kabupaten

(pemkot/pemkab) yang bersangkutan. Merasa mendapat angin,

pemkot/pemkab menuntut agarmereka bisa membentuk Komisi

Penilai AMDAL di tingkat kota dan kabupaten. Disisi lain, PP No.27

Tahun 1999 tentang amdal menetapkan bahwa hanya ada dua komisi

penilai amdal, yakni di tingkat pusat yang dikoordinasi Kementerian

Lingkungan Hidup dan Komisi Penilai Provinsi dibawah naungan


Badan Pengedalian Dampak Lingkungan Daerah.

Mulut buaya

Atas tuntutan pemkot/pemkab, Kementerian Lingkungan

Hidup (KLH) pada awalnya menolak dengan alasan masih terbatas-

nya kemampuan pemkot/pemkab, baik dalam arti SDM mapun

laboratorium. Terlebih lagi, menurut para petinggi di KLH tidak se-

mua kota dan kabupaten yang jumlahnya sekirta 412 memliki proyek

dengan skala amdal. Sebagian besar proyek-proyek mereka cukup

dilengkapi dengan upaya kelola dan pemantauan lingkungan. Kalau

di tingkat kota kota/kabupaten dibentuk Komisi Penilai AMDAL,

dikhawatirkan mereka cenderung akan dengan mudah melolosk

rncana usaha dana atau kegiatan yang diprakarsainya sendiri.

Kendati resistensi cukup tinggi, tetapi karena demikian kus

desakan pemkot/pemkab dengan dalih yang menohok "Pemerintah

Pusat setengah hati dalam otonomi" komisi penilai di tingkat

kota/kabupaten dimungkinkan untuk dibentuk dengan syarat.

syarat sebagaimana ditetapkan dalam Kepmen LH no: 41 tahun

2000. Syarat-syarat dimaksud di antaranya tersedianya sumber

daya manusia,adanya organisasi lingkungan hidup, adanya pakar

lingkungan, dan adanya akses terhadap laboratorium.

Kenapa pemkot.pemkab tidak memedulikan kelayakan ling-

kungan? Tak lain karena orientasi mereka lebih pada aspek ekonomi

atau pertumbuhan. Amdal dipandang sebagai beban karena harus

menambah biaya investasi. Kriteria keberhasilan Walikota/Bupati

semata-mata diukur dari pencapaian PAD (Pendapatan Asli Daerah)


sebagaiman ditunjukkan oleh LPJ (laporan pertanggungan jawab)

mereka.

Tidakada kriteria keberhasilan yang diukur darisisi lingkungan,

misalnya makin berkurangnya kerusakan dan pencermaran ling-

kungan, karena prestasi itu memang tidak menghasilkan keun-

tungan finansial. Perlakuan pemkot/pemkab yang demikian ini

tidak berbeda dengan pemerintahan Orde Baru yang sentralistis.

Sekarang ini bahkan lebih berani dan terang-terangan melanggar

persyaratan amdal. Sungguh malang benar nasib lingkungan kita.

Keluar dari mulut haimau,masuk kemulut buaya.

Anda mungkin juga menyukai