Anda di halaman 1dari 74

KEBIJAKAN LINGKUNGAN NASIONAL DAN INTERNASIONAL

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah:
MANAJEMEN LINGKUNGAN
Dosen pengampu:
Desi Kartikasari, M.Si.

Disusun oleh:
Kelompok 2
1. Miftakhul Khoirroh (12208173035)
2. Friska Yulanda Dewi (12208173039)
3. Novie Risky (12208173058)
4. Yunita Kristanti (12208173089)
5. Yulian Pratiwi (12208173092)
6. Ukhti Sa’diyah (12208173124)
7. M. Fahrur Baihaqi (17208153071)

JURUSAN TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG
MARET 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan syukur kepada Allah SWT atas berkat rahmat,
hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Kebijakan Lingkungan Nasional dan Internasional” ini dengan baik walaupun masih banyak
kekurangan di dalamnya. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag., selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri
Tulungagung yang memberikan fasilitas dalam penyusunan makalah ini.
2. Bapak Desi Kartikasari, M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah “Manajemen
Lingkungan” yang membimbing dan mendampingi penulis dalam penyusunan makalah ini.
3. Kedua orang tua penulis yang memberi dukungan moril dan materil.
4. Serta rekan-rekan Tadris Biologi 6-C tahun ajaran 2019/2020 yang senantiasa sabar
memberi semangat penulis.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Manajemen Lingkungan”. Penulis juga berharap semoga pembuatan makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan. Penulis pun sadar bahwasannya
penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan,
sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
konstruktif akan senantiasa menjadi koreksi bagi penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.

Tulungagung, 17 Maret 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kebijakan Lingkungan......................................................................................4
B. Kebijakan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut UUPLH..............5
C. Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut UUPLH...........................................7
D. Kebijakan-kebijakan lingkungan yang ada di Indonesia..................................9
E. Peranan Hukum Lingkungan............................................................................11
F. Dinamika Pengelolaan Lingkungan..................................................................12
G. Kebijakan Hukum Lingkungan.........................................................................19
H. Kedudukan Hukum Lingkungan dalam Sistem Hukum...................................22
I. Konsep Kebijakan Program Lingkungan Internasional....................................24
J. Hukum Internasional Sebagai Instrumen Kebijakan Lingkungan....................29
K. Agenda 21: Program Implementasi Strategis ...................................................31
L. Program yang Menerapkan Strategi Lingkungan Global ................................32
M. Kasus-Kasus Kebijakan Lingkungan.................................................... ...........36
N. Proyek Tanpa Amdal........................................................................................45
O. Kontradiksi Kebijakan Lingkungan Hidup WALHI Aceh; Masa Konflik dan Pasca
Damai................................................................................................................47
P. Contoh Kasus Kebijakan Lingkungan Internasional........................................50
Q. Cara Mengatasi Persoalan Kebijakan Lingkungan...........................................64
R. Kebijakan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia.....................64

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan........................................................................................................68
B. Saran...................................................................................................................69
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dan lingkungan pada hakekatnya ibarat satu bangunan yang seharusnya saling
menguatkan karena manusia amat bergantung pada lingkungan, sedang lingkungan juga
bergantung pada aktivitas manusia. Namun dilihat dari sisi manusia maka lingkungan adalah
sesuatu yang pasif, sedangkan manusialah yang aktif, sehingga kualitas lingkungan amat
bergantung pada kualitas manusia. Sasaran kebijakan lingkungan hidup adalah merupakan
perwujudan dari pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang
berkelanjutan (sustainability) dan berkeadilan seiring dengan peningkatan kesejahteraan
masyarakat dalam lingkungan yang lebih baik dan sehat.
Pembangunan di seluruh dunia saat ini sedang dilakukan secara besar-besaran,
pembangunan tersebut diharapkan dapat mengakomodasi segala aktivitas di berbagai bidang
kehidupan. Namun nyatanya pembangunan tersebut membawa dampak lain yang tentu tidak
baik bagi lingkungan alam. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan lingkungan untuk
pembangunan yang berkelanjutan yang tidak hanya menguntungkan manusia saja, tetapi juga
makhluk hidup lainnya. Pentingnya pelestarian lingkungan hidup telah diperkuat dengan
ditetapkannya amandemen UUD 1945 pasal 33 ayat 4, yang amandemen tersebut secara
tegas mengkaitkan antara kebijakan pembangunan dan lingkungan lingkungan hidup.
Menyadari perlunya di lakukan pengelolaan lingkungan hidup demi pelestarian
kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan
yang berkesinambungan, maka perlu meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam
dan lingkungan hidup dengan melakukan konversi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan
dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan, serta mendayagunakan sumber daya alam
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi
dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan
ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta, penataan ruang, yang pengusahaannya diatur
dengan undang-undang. Dalam makalah ini membahas mengenai kebijakan lingkungan,
kebijakan lingkungan nasional, kebijakan lingkungan Internasional, persoalan lingkungan dan
cara mengatasinnya .

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kebijakan lingkungan?
2. Bagaimana kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup menurut UUPLH?
3. Bagaimana pengelolaan lingkungan hidup menurut UUPLH?
4. Apa sajakah kebijakan-kebijakan lingkungan yang ada di indonesia?
5. Apa sajakah peranan hukum lingkungan?
6. Bagaimana dinamika pengelolaan lingkungan?
7. Apakah yang dimaksud kebijakan hukum lingkungan?
8. Bagaimana kedudukan hukum lingkungan dalam sistem hukum?
9. Bagaimana konsep kebijakan program lingkungan internasional?
10. Bagaimana hukum internasional sebagai instrumen kebijakan lingkungan?
11. Apakah yang dimaksud agenda 21: program implementasi strategis ?
12. Bagaimana program yang menerapkan strategi lingkungan global?
13. Apa saja kasus-kasus kebijakan lingkungan?
14. Mengapa banyak proyek tanpa amdal
15. Bagaimana kontradiksi kebijakan lingkungan hidup walhi aceh?
16. Apa saja contoh kasus kebijakan lingkungan internasional?
17. Bagaimana cara mengatasi persoalan kebijakan lingkungan?
18. Bagaimana kebijakan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kebijakan lingkungan.
2. Untuk mengetahui kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup menurut UUPLH.
3. Untuk mengetahui pengelolaan lingkungan hidup menurut UUPLH.
4. Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan lingkungan yang ada di indonesia.
5. Untuk mengetahui peranan hukum lingkungan.
6. Untuk mengetahui dinamika pengelolaan lingkungan.
7. Untuk mengetahui yang dimaksud kebijakan hukum lingkungan.
8. Untuk mengetahui kedudukan hukum lingkungan dalam sistem hukum.
9. Untuk mengetahui konsep kebijakan program lingkungan internasional.
10. Untuk mengetahui hukum internasional sebagai instrumen kebijakan lingkungan.
11. Untuk mengetahui yang dimaksud agenda 21: program implementasi strategis.
12. Untuk mengetahui program yang menerapkan strategi lingkungan global.
13. Untuk mengetahui kasus-kasus kebijakan lingkungan.
14. Untuk mengetahui mengapa banyak proyek tanpa amdal
2
15. Untuk mengetahui bagaimana kontradiksi kebijakan lingkungan hidup walhi aceh.
16. Untuk mengetahui kasus kebijakan lingkungan internasional.
17. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi persoalan kebijakan lingkungan.
18. Untuk mengetahui kebijakan hukum pengelolaan lingkungan hidup di indonesia

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebijakan Lingkungan
Lingkungan hidup sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1982
tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup diartikan sebagai kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk didalamnya manusia
dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain. Masalah lingkungan di Indonesia mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah.
Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah negara memberikan keyakinan bagi bangsa
Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan,
keserasian dan keseimbangan baik keseimbangan dalam hubungannya dengan Tuhan,
hubungannya dengan sesama manusia maupun hubungannya dengan alam. Sedangkan UUD
1945 sebagai landasan konstitusional mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam pasal 33 UUD 1945
yakni bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.1
Kebijakan merupakan suatu keputusan dalam upaya memecahkan suatu permasalahan
yang melibatkan banyak pihak. Sumberdaya yang diperlukan pun tidak sedikit. Sehingga
diperlukan suatu pertimbangan yang serius dalam menentukan serta menetapkan suatu
kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup tergolong pada
kebijakan bagi kepentingan umum. Dengan demikian kepentingan seluruh lapisan masyarakat
akan ditentukan oleh kebijakan tersebut.
Menurut Heinz dan Kennerth Prewitt, kebijakan adalah :“Suatu keputusan tetap yang
dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan
mereka yang memenuhi keputusan tersebut. Kebijakan sebagai suatu hasil keputusan
dimaksud untuk menyelesaikan suatu permasalan”.2
Kebijakan (Policy) adalah suatu proses yang terdiri dari serangkaian keputusan yang
sifatnya berkaitan dengan hal-hal yang lebih luas dan banyak aspek, sehingga sumber
kebijakan berasal dari banyak pihak dengan berbagai kepentingan dan kewenangan.
Penyusunan kebijakan pada umumnya dilakukan melalui proses yang panjang dan berkaitan
dengan berbagai aspek, kepentingan dan kewenangan. “Suatu kebijakan biasanya diterima
sebagai suatu hasil keputusan bersama yang dikaitkan secara khusus dengan pembuatannya”.3

1
Siti Ulfah, Ilmu Pengetahuan Alam, (Surakarta: Citra Pustaka Mandiri, 2010), hlm 4-7
2
Heinz Eulau and Kennerth Prewit, Pengantar Kebijakan Publik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),
hlm. 57.
4
Kebijakan lingkungan merupakan jiwa dari manajemen lingkungan karena berisi
persyaratan komitmen atau niat manajemen puncak. Tanpa ada niat tentu saja tidak ada alasan
atau penggerak bagi diterapkannya pengelolaan lingkungan yang baik di Indonesia. Kebijakan
lingkungan merupakan salah satu perwujudan misi dan visi pemerintah di perusahaan-
perusahaan yang merupakan alasan utama kenapa suatu kegiatan berdiri dan dijalankan.
Komitmen-komitmen di dalam kebijakan diperlukan sebagai arahan dan panduan bagi para
karyawan perusahaan.
Kebijakan lingkungan suatu perusahaan di suatu lokasi harus sejalan dengan kebijakan
lingkungan yang ditetapkan pemerintah karena sulit untuk membayangkan suatu sinergi di
dalam satu kebijakan jika berbeda kebijakan dan arah pengembangan. Selain itu,
tujuan/sasaran lingkungan dan PML (Program Manajemen Lingkungan) harus memiliki
hubungan erat dengan kebijakan-kebijakan perusahaan lainnya seperti sasaran produksi
tahunan, sasaran mutu atau kecelakaan kerja. Hal ini penting sebagai bukti bahwa masalah-
masalah lingkungan sudah diintegrasikan dengan keseluruhan misi perusahaan dan bukan
semata-mata sebagai pelengkap.
Ada beberapa hal yang menjadi dasar dalam menentukan kebijakan lingkungan yaitu:
1. Kebijakan lingkungan menjadi manajemen puncak suatu organisasi
2. Sesuai dengan sifat, skala, dan dampak lingkungan kegiatan produk atau jasa
3. Komitmen terhadap peningkatan kualitas lingkungan secara berkelanjutan, pencegahan
pencemaran, kepatuhan terhadap peraturan lingkungan, dan persyaratan lain yang relevan.
4. Memberikan kerangka kerja untuk membuat dan mengkaji tujuan dan sasaran lingkungan
5. Didokumentasikan, diterapkan, dipelihara dan dikomunikasikan kepada semua karyawan
6. Terjadi kepada masyarakat.4

B. Kebijakan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut UUPLH


Kewenangan yang menyangkut masalah pengelolaan lingkungan hidup didasarkan pada
pertimbangan bahwa di dalam negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, masalah
lingkungan hidup terjadi sebagai akibat dari kegiatan pembangunan, dan yang terutama harus
dihadapi adalah rendahnya mutu lingkungan. Oleh karena itu, penanggulangan masalah
lingkungan hidup di Indonesia dilaksanakan dalam rangka mempercepat proses pembangunan
itu sendiri. Untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup serta untuk memelihara
kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan, diupayakan “Pelestarian Fungsi
Lingkungan Hidup”.
3
Sunoto, Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan Analisis Kebijakan Bagi
Pengelola Lingkungan, (Jakarta : Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1971), hlm 10
4
Siti Ulfah, Ilmu Pengetahuan Alam, (Surakarta: Citra Pustaka Mandiri, 2010),hlm 4-7
5
Sebagai penjabaran dari kebijakan tersebut Pemerintah menuangkannya dalam instrumen
izin yang digunakan oleh penguasa pada sejumlah besar bidang kebijaksanaan. Ini terutama
berlaku bagi hukum lingkungan, hukum pengaturan ruang dan hukum perairan. Peraturan
tersebut merupakan perlindungan lingkungan terhadap larangan kegiatan manusia yang
membawa dampak negatif seperti merusak lingkungan hidup, yang dijelaskan dalam surah
Al-Araf: 56 yang berbunyi:

Artinya :
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat
baik.”

Maksud dari ayat diatas adalah Allah melarang manusia berbuat kerusakan lingkungan
hidup. Karena sangatlah jelas bahwa semua kerusakan di bumi adalah akibat tangan-tangan
manusia yang tidak bertanggungjawab dan bencana yang ada juga akibat dari kerusakan yang
diperbuat manusia itu sendiri. Di sinilah pentingnya menyadari bahwa manusia sebagai
khalifah di muka bumi agar tidak membuat kegiatan-kegiatan yang bersifat kerusakan, dalam
Islam mengajarkan agar umat manusia senantiasa menjaga dan mengelola lingkungannya.
Perlindungan lingkungan sangatlah penting karena untuk kelangsungan kehidupan.5
Perlindungan terhadap lingkungan ini semakin penting karena seringnya terjadi
pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan hidup sehingga selanjutnya dapat merusak
ekosistem. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan yang berhubungan
dengan penerbitan izin mendirikan bangunan yang bertujuan untuk melindungi, memulihkan
dan kembali menata tata hubungan secara berimbang dan serasi antara semua sub sistem
dalam keseluruhan ekosistem, dan juga mengatur hak, kewajiban dan wewenang baik kepada
warga negara maupun pemerintah untuk turut serta dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Di dalam berbagai sektor kebijakan pemerintah dapat berdiri secara berdampingan
berbagai sistem izin. Hal ini berhubungan dengan perkembangan, terutama pada tahun-tahun
terakhir, bahwa di dalam bidang kebijaksanaan penguasa semakin banyak terjadi
pengkhususan dari tujuan-tujuan kebijaksanaan itu. Dengan demikian timbul berbagai bidang
Muhammad Qomarullah, Lingkungan Dalam Kajian Al-Qur`An: Krisis Lingkungan dan Penanggulangannya
5

Perspektif Al-Qur`an, (Sumatera: STAI Bumi Silampari Lubuklingga, 2014 Vol. 15 No. 1), hlm 157
6
bagian kebijaksanaan penguasa dengan sistem-sistem dalam rangka pengelolaaan lingkungan
hidup.6

C. Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut UUPLH


Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPLH), disebutkan bahwa “pengelolaan lingkungan
hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi
kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan
dan pengendalian lingkungan hidup”. Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 2 UUPLH,
pengelolaan lingkungan hidup merupakan :
1. Upaya terpadu untuk “melestarikan fungsi lingkungan hidup”, yaitu memelihara
kelangsungan lingkungan hidup, sehingga mampu mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lain serta melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap serangan dari
luar;
2. Upaya tersebut dirumuskan dalam pelbagai kegiatan yang merupakan langkah kebijakan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan
pengendalian lingkungan hidup.
Pengelolaan lingkungan hidup Indonesia didasarkan pada asas (prinsip) tertentu
sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UULH yang menyatakan bahwa pengelolaan
lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang
untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan
manusia.
Dalam proses pembangunan itu terjadi dampak yang kurang baik terhadap lingkungan
maka haruslah dilakukan upaya untuk meniadakan atau mengurangi dampak negatif tersebut,
sehingga keadaan lingkungan menjadi serasi dan seimbang lagi. Dalam hal ini yang
dilestarikan bukanlah “lingkungan an sich” melainkan “kemampuan lingkungan”.
Kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang inilah yang perlu dilestarikan, sehingga
setiap perubahan yang diadakan selalu disertai dengan upaya mencapai keserasian dan
keseimbangan lingkungan pada tingkat yang baru.7
Selanjutnya istilah “pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang”
membawa kepada keserasian antara “pembangunan” dan “lingkungan”, sehinga kedua
pengertian itu, yaitu pembangunan dan lingkungan tidak dipertentangkan satu dengan yang
6
Eliyuzar Siregar, Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang - Undang Nomor 23 Tahun
1997, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2007), hlm 44
7
Eliyuzar Siregar, Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang - Undang Nomor 23 Tahun
1997, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2007), hlm 46-47
7
lain. Adapun “pelestarian lingkungan” yang bermakna melestarikan lingkungan itu an sich
digunakan dalam rangka pelestarian alam dan kawasan suaka alam.
Dalam UUPLH terdapat istilah “pelestarian fungsi lingkungan”, yang bermakna pelestarian
fungsi lingkungan kawasan budidaya dan kawasan lindung. Pasal 1 angka 5 mengartikan
pelestarian fungsi lingkungan adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Asas dan tujuan pengelolaan lingkungan disebutkan dalam Pasal 3 UUPLH bahwa
pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas
berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan.
Dari bunyi Pasal 3 UULH, asas pengelolaan lingkungan hidup tidak lagi berasaskan
pelestarian kemampuan fungsi lingkungan hidup tetapi dilaksanakan berdasarkan pada asas
tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat.
Berdasarkan asas tanggungjawab negara, disatu sisi, negara menjamin pemanfaatan
sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan
mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. Sedangkan dilain
sisi, negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah
yurisdiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah yurisdiksi negara lain serta
melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah Indonesia.8
Menurut Pasal 4 UUPLH, terdapat 6 (enam) sasaran yang hendak dicapai dalam pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia, yaitu :
1. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan kesimbangan antara manusia dan lingkungan
hidup.
Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara memberikan keyakinan kepada rakyat dan
bangsa Indonesia bahwa kebahagian hidup akan dapat tercapai jika didasarkan atas
keselarasan, keserasian, dan kesimbangan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan
Yang Maha Esa maupun manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia
sebagai pribadi, dalam rangka mencapai kemajuan lahir, dan kebahagian bathin.
2. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap
dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup.
Sasaran ini bermaksud menciptakan manusia dan masyarakat Indonesia yang
berbudaya dan cinta pada lingkungan hidup, sehingga memiliki kemampuan untuk

8
Rachmadi Usman, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003),
hlm. 67.
8
memelihara dan meningkatkan daya dukung serta daya tampung lingkungan hidup
yang menjadi tumpuan keberlanjutan pembangunan.
3. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan.
Sasaran ini mengingatkan kita bahwa pemanfaatan sumber daya alam sebagai pokok-
pokok kemakmuran rakyat bukan saja dinikmati oleh generasi masa kini saja, melainkan
harus pula dinikmati oleh generasi masa depan, yang merupakan warisan untuk anak cucu
kita, artinya pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara lestari dan
berkelanjutan.
4. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup.
5. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.
Sasaran ini memiliki arti yang sangat penting dalam kaitannya dengan pemanfaatan
sumber daya tidak terbarui (nonrenewable resource), sehingga aspek-aspek seperti
kehematan, daya guna serta hasil guna menjadi mutlak diperhatikan disamping aspek daur
ulang (recycling) yang senantiasa harus diusahakan dengan menggunakan bermacam-
macam teknologi sederhana atau teknologi pedesaan (rural technology). Pengendalian
pemanfaatan sumber daya secara bijaksana tidak hanya ditujukan kepada penghematan
sumber daya tidak terbarui, tetapi juga kepada pencarian sumber daya alternatif lainnya
guna memperoleh energi.
6. Terlindunginya negara kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan kegiatan
di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
Sasaran yang terakhir ini sebagai wujud hak dari negara yang berdaulat seperti
Indonesia untuk melindungi dirinya dari dampak pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang dilakukan oleh negara lain.9

D. Kebijakan-kebijakan lingkungan yang ada di Indonesia


Kebijakan lingkungan tidak memiliki arti jika tidak dapat diwujudkan dalam praktek kerja
sehari-hari melalui elemen-elemen lain dalam standar. Tidak ada gunanya karyawan dapat
menghafal kata demi kata dalam kebijakan lingkungan tetapi mereka tidak mengenali bahaya
dari asam sulfat sehingga bekerja tanpa sarung tangan atau tidak mengetahui tujuan dari
pemilahan limbah menurut jenisnya sehingga semua jenis sampah dibuang dilokasi yang
sama.
Beberapa kebijakan lingkungan yang ada di Indonesia antara lain:

9
Eliyuzar Siregar, Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang - Undang Nomor 23 Tahun
1997, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2007), hlm 51-53
9
1. Perubahan kebijakan nasional
a. Otonomi daerah UU No. 20 tahun 1999 (kewenangan provinsi kabupaten/kota)
b. Peran daerah lebih luas
c. Desentralisasi pengambilan keputusan perizinan
d. Desentralisasi proses pengawasan lingkungan (amdal)
2. Kebijakan nasional lingkungan
a. 1973 = pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya secara rasional tanpa
merusak tata lingkungan
b. 1992 = pemanfaatan sumber daya alam dengan memelihara lingkungan
c. 1997 = pelestarian lingkungan dengan mengembangkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan untuk kesejahteraan rakyat
3. Pengelolaan Lingkungan UU No. 23 Tahun 1997 pasal 4:
a. Keserasian manusia dan lingkungan
b. Manusia sebagai pelindung lingkungan
c. Perlindungan lingkungan dari dampak kegiatan ekonomi dan sosial
4. Pelestarian lingkungan UU No. 23 Tahun 1997 pasal 14:
a. Setiap kegiatan dilarang melanggar baku mutu lingkungan
b. Pemerintah pemegang pengawasan baru mutu lingkungan
c. Pemerintah menentukan kriteria dan indikator baku mutu lingkungan
5. Perlindungan Lingkungan UU No. 23 Tahun 1997 pasal 15:
a. Setiap rencana kegiatan wajib memiliki amdal
b. Tata cara penyusunan amdal ditetapkan pemerintah
6. Pertimbangan izin UU No. 23 Tahun 1997 Pasal 19:
a. Rencana tata ruang
b. Rencara masyarakat
c. Analisis profesional
d. Rekomendasi pejabat pemerintah
7. Hak masyarakat dalam lingkungan pasal 36:
a. Gugatan terhadap kerugian masyarakat
b. Pejabat pemerintahan harus bertindak membela masyarakat yang dirugikan
8. Hak dan peran serta masyarakat (Pasal 5):
a. Masyarakat berkedudukan setara
b. Masyarakat berhak atas informasi lingkungan
c. Masyarakat berperan untuk pengelolaan lingkungan
9. Green Politic:
10
a. Perlindungan kearifan lokal
b. Pembatasan konversi lahan pertanian/ekspitasi alam
c. Perluasan hutan lindung
d. Perlindungan hak dan masyarakat adat
e. Program inovasi lingkungan
f. Masyarakat sadar lingkungan10
E. Peranan Hukum Lingkungan
Dalam konteks pengelolaan lingkungan, eksistensi hukum lingkungan diperlukan sebagai
alat pergaulan sosial dalam masalah lingkungan. Perangkat hukum lingkungan dibutuhkan
dalam kerangka menjaga agar supaya lingkungan dan sumber daya alam dapat dimanfaatkan
sesuai dengan daya dukung atau kondisi kemampuan lingkungan itu sendiri. Dalam hukum
lingkungan diatur tentang obyek dan subyek, yang masing-masing adalah lingkungan dan
manusia. Lingkungan hidup sebagai obyek pengaturan dilindungi dari perbuatan manusia
supaya interaksi antara keduanya tetap berada dalam suasan serasi dan saling mendukung.
Dalam perspektif ilmu ekologi, semua benda termasuk semua makhluk hidup, daya, dan
juga keadaan memiliki nilai fungsi ekosistem, yakni berperan dalam mempengaruhi
kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Lingkungan hidup memberi fungsi
yang amat penting dan mutlak bagi manusia. Begitu juga, manusia dapat membina atau
memperkokoh ketahanan lingkungan melalui budi, daya dan karsanya. Dengan demikian
tidak ada yang tidak bernilai dalam pengertian lingkungan hidup karena satu dengan lainnya
memiliki kapasitas mempengaruhi dalam pola ekosistem.
Dalam kehidupan manusia, lingkungan hidup adalah merupakan salah satu aspek
kebutuhan mendasar, dimana dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia berhadapan atau
melibatkan baik secara perorangan maupun antar manusia dan kelompok. Dalam interaksinya,
manusia, baik terhadap lingkungan hidupnya maupun dengan sesamanya (antar manusia)
dengan sasaran lingkungan atau sumber-sumber alam, memerlukan hukum sebagai sarana
pengaturan masyarakat. Pengaturan dapat berwujud dalam bentuk apa yang boleh diperbuat,
yang dalam hal ini disebut dengan hak, dan apa pula yang terlarang atau tidak boleh
dilakukan, yang disebut dengan kewajiban oleh setiap subyek hukum. Pengaturan hukum
selain sebagai alat pengatur ketertiban masyarakat (law as a tool of social order), juga sebagai
alat merekayasa atau membarui masyarakat (law as a tool of social engineering).
Berdasarkan pada gambaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum lingkungan
disini adalah mengandung manfaat sebagai sarana pengatur interaksi manusia dengan
lingkungan agar supaya tercapai suatu keteraturan dan ketertiban (social order). Hal ini tentu
10
Siti Ulfah, Ilmu Pengetahuan Alam, (Surakarta: Citra Pustaka Mandiri, 2010),hal 4-7
11
sejalan dengan tujuan hukum yang tidak hanya semata-mata sebagai suatu alat ketertiban,
maka hukum lingkungan mengandung juga tujuan-tujuan kepada terciptanya sebuah
pembaruan masyarakat (social engineering). Hukum sebagai alat rekayasa sosial sangat
penting artinya dalam dimensi atau substansi hukum lingkungan. Karena dengan demikian,
hukum lingkungan yang memuat kandungan sebagaimana dimaksud, masyarakat dalam
interaksinya dengan lingkungan akan dapat diarahkan untuk menerima dan merespon prinsip-
prinsip pembangunan dan kemajuan.
Dalam pandangan Hari Chand, mengatakan bahwa hukum tidak hanya mengandung
dimensi sebagai sarana alat keteraturan dalam kehidupan manusia, melainkan hukum juga
harus mengandung nilai-nilai keadilan bagi semua orang. Mengartikan substansi keadilan
memang tidak mudah. Keadilan diartikan begitu beragam, suatu kata yang tidak jelas, sarat
dengan berbagai arti, dan tidak begitu mudah kita mencernanya. Hal ini senada dengan apa
yang dikemukakan oleh Ulpianus, yang mengatakan bahwa keadilan adalah merupakan suatu
kemauan yang bersifat terus menerus untuk dapat memberikan kepada setiap orang apa yang
semestinya dimiliki. Bagi Aristoteles, mengartikan keadilan dengan memberikan kepada
seseorang apa yang menjadi haknya (due) atau sesuatu yang menjadi miliknya.
Dengan demikian, peranan hukum lingkungan sangat penting dalam pembangunan.
Hukum berfungsi sebagai alat keteraturan, yakni menata perilaku setiap orang dalam
interaksinya dengan lingkungan. Hukum berfungsi sebagai alat keadilan, memiliki peran
untuk menciptakan keadilan bagi semua dalam kerangka penataan dan pengelolaan
lingkungan atas sumber daya alam. Hukum sebagai alat rekayasa sosial, berperan merubah
sikap sosial masyarakat, mengarahkan perilaku budaya setiap orang kepada paradigma
pemanfaatan, pengelolaan energi/sumber-sumber alam dengan pola efisien dengan
mengurangi kerusakan dan dampak, demikian juga terciptanya interaksi lingkungan yang
bertujuan menyerasikan pembangunan dengan lingkungan.11

F. Dinamika Pengelolaan Lingkungan


Seiring dengan semakin menguatnya kesadaran dan komitmen pemerintah Indonesia
terhadap berbagai macam persoalan di bidang lingkungan hidup khususnya setelah
dilaksanakannya berbagai Konferensi Internasional di bidang lingkungan, mulai dari
Konferensi Stockholm 1972, Konferensi Rio 1992, dan Konferensi Johannesburg 2002,
adalah dengan terbentuknya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat dengan: UUPLH’82).
Lahirnya UUPLH’82 ini dipandang sebagai sebuah momentum penting dalam sejarah
11
Moh. Fadli, dkk, Hukum dan Kebijakan Lingkungan, (Malang: UB Press, 2006), hal 33-34
12
ketatanegaraan Indonesia khususnya berkaitan dengan pengaturan hukum lingkungan secara
modern di Indonesia, hal ini dikarenakan eksistensi UUPLH’82 selain sebagai payung hukum,
erat kaitannya juga dengan aktivitas pembangunan nasional yang secara nyata dapat
mengancam bahkan merusak kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Siahaan N.H.T. memaparkan bahwa kehadiran UUPLH’82 tersebut dinilai begitu penting
karena lahir dalam situasi yang dapat digambarkan sebagai berikut: pertama, Indonesia saat
itu sedang giatnya melancarkan pembangunan nasionalnya di semua bidang kehidupan.
Adapaun kebijakan yang diambil untuk tujuan membangun, UUPLH’82 ini selalu berhadapan
dengan aspek ekologi lingkungan hidup. Kedua, bahwa UUPLH’82 adalah undang-undang
pokok yang merupakan dasar peraturan pelaksanaan bagi semua sektor yang menyangkut
lingkungan hidup. UUPLH’82 ini berfungsi sebagai ketentuan payung (umbrella provision),
baik peraturan-peraturan lingkungan hidup yang sudah ada (lex lata) maupun bagi pengaturan
lebih lanjut (lex feranda) atas lingkungan hidup. Ketiga, bahwa corak ekologis Indonesia
sangat spesifik, yakni merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari dua pertiga wilayah laut
yang terletak antara benua Asia dan Australia serta samudera Hindia dan Pasifik. Indonesia
yang juga kaya dengan sumber daya alamnya itu dihuni oleh penduduk dengan berbagai
macam suku, budaya, agama, tingkatan sosial ekonomi dan lain-lain.
Dari gambaran situasi tersebut, berkaitan dengan lahirnya UUPLH’82, secara objektif
dapat dipahami karena aktivitas pembangunan nasional yang meliputi berbagai macam bidang
kehidupan itu, cepat atau lambat berdampak pada kondisi lingkungan hidup. Oleh karena itu,
diundangkannya UUPLH’82 selain sebagai ketentuan payung, juga menjadi dasar pijakan
pengelolaan lingkungan hidup dalam rutinitas pembangunan nasional. Dengan demikian,
kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup secara teoritis atau praktis diharapkan dapat
dicegah melalui penerapan perangkat hukum dibidang lingkungan hidup tersebut.
Moestadji, mengemukakan bahwa diundangkannya UUPLH’82 tersebut menimbulkan
kegembiraan dan disertai harapan akan terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup yang
menjadi tumpuan kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat. Harapan terlestarikannya
kemampuan lingkungan hidup itu sangat menyentuh hati nurani, bahkan merupakan dambaan
setiap umat manusia. Harapan ini mengandung nilai moral yang bersifat universal.
Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang, adalah menjadi
dasar pengelolaan lingkungan hidup seiring dengan gencarnya pembangunan nasional pada
waktu itu.
Pembangunan nasional dalam semua aspek kehidupan, termasuk dibidang pengelolaan
lingkungan hidup yang dicanangkan oleh pemerintah pada waktu itu, tentu saja akan dapat
membawa dampak yang kurang baik terhadap lingkungan hidup. Hal ini dapat terjadi apabila
13
proses pembangunan hanya berorientasi pada kepentingan-kepentingan ekonomi dengan
mengabaikan fungsi kelestarian dan kemampuan lingkungan hidup. Dalam hal ini, Koesnadi
Hardjasoemantri, menyatakan bahwa dalam proses pembangunan nasional harus dilakukan
suatu upaya untuk meniadakan atau mengurangi dampak negatif tersebut, sehingga keadaan
lingkungan hidup menjadi serasi dan seimbang lagi. Dengan demikian, dilestarikannya bukan
lingkungan an sich, tetapi menyangkut pula tentang kemampuan lingkungan.
Kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang patut untuk dilestarikan,
sehingga setiap perubahan yang diadakan selalu disertai dengan upaya mencapai keserasian
dan keseimbangan lingkungan hidup pada tingkat yang baru. Adanya pelestarian kemampuan
lingkungan hidup yang serasi dan seimbang membawa kepada keserasian antara
pembangunan dan lingkungan hidup, sehingga keduanya tidak dapat dipertentangkan satu
sama lainnya.
Dalam konteks pembangunan nasional, upaya pengelolaan liingkungan hidup, disadari
membutuhkan adanya dukungan perangkat hukum seperti UUPLH’82 itu. Bahkan, secara
teoritis dan praktis, disepakati bahwa kehadiran UUPLH’82 berfungsi sebagai ketentuan
”payung”, baik bagi penyusunan peraturan baru maupun penyesuaian terhadap peraturan
lama. Kesepakatan ini diharapkan untuk menghindarkan tumpang tindih penyusunan dan
penyempurnaan peraturan lain yang bertentangan dengan Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH’82) sebagai landasan instrumen hukumnya.
Dalam pandangan Daud Silalahi, UUPLH’82 mengandung prinsip-prinsip hukum
lingkungan modern yang menjadi dasar bagi pengaturan pelaksanannya lebih lanjut, baik di
tingkat pusat maupun daerah dari semua segi atau aspek lingkungan, dan menjadi landasan
untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat
ketentuan tentang segi-segi lingkungan hidup yang telah berlaku, seperti perundang-undangan
di bidang pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan, industri dan lainnya.
Dalam rangka mewujudkan upaya pengelolaan lingkungan hidup yang berbasis pada
sustainable development dan berwawasan lingkungan hidup, keberadaan UUPLH’82, kiranya
memerlukan sebuah penyempurnaan yang komprehensif seiring semakin berkembangnya dan
tingginya intensitas pengelolaan lingkungan hidup dewasa ini, maka lahirlah UUPLH sebagai
pengganti dari UUPLH’82. Ada beberapa pertimbangan yang menjadi dasar diberlakukannya
UUPLH tersebut, antara lain sebagai berikut:
1. Bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan
umum seperti diamanatkan UUD Tahun 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup
berdasarkan Pancasila, dilaksanakan pembangunan ber-kelanjutan yang berwawasan

14
lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh
dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan;
2. Bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup melestarikan dan
mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras dan seimbang guna
menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup; dan
3. Bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan
berkelanjutan yang ber-wawasan lingkungan hidup harus berdasarkan pada norma hukum
dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan
global serta perangkat hukum Internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Dengan berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan dimaksud, maka diberlakukannya
UUPLH dapat dimaknai bahwa kesadaran dan komitmen dalam pengelolaan lingkungan
hidup selain memperhitungkan dan memperhatikan kebutuhan antar generasi sekarang dan
mendatang, juga menempatkan lingkungan hidup sebagai bagian fundamental dalam basis
pembangunan berkelanjutan di tanah air. Secara teoritis yuridis, karakteristik pengelolaan
lingkungan hidup adalah ”upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang
meliputi kebijksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup”. Berbagai aspek terpadu yang terkandung
dalam konsep pengelolaan lingkungan hidup tersebut, seperti pengendalian lingkungan hidup
dari bahaya pencemaran akibat buangan limbah industri, patut memperoleh perhatian dalam
penyusunan dan aktualisasi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. Semuanya ini pada
hakikatnya adalah dalam kerangka mengantisipasi lingkungan hidup, baik dalam konteks
jangka pendek maupun jangka panjang dapat terhindar dari gangguan berupa perusakan dan
pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan industri dalam
melaksanakan aktivitas ekonominya.12
Konsep pengelolaan lingkungan hidup dalam konteks normatif, mempersyaratkan
beberapa hal penting sebagai filosofi pengelolaan yang tidak dapat terabaikan oleh institusi
pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam pengelolaan lingkungan hidup. Adapun
beberapa persyaratan dimaksud, adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah sebagai pemegang kebijaksanaan nasional dalam pengelolaan lingkungan
hidup, tetap memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat;
2. Pengelolaan lingkungan hidup dilakukan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai
bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing, masyarakat serta pelaku pembangunan

12
Moh. Fadli, dkk, Hukum dan Kebijakan Lingkungan, (Malang: UB Press, 2006), hal 35-38
15
lain dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan
nasional;
3. Keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan
hidup dikoordinasikan oleh Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.
Konsep pengelolaan lingkungan hidup oleh instansi pemerintah, selain memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud diatas, juga berkewajiban melaksanakan beberapa hal
yang dipandang urgensial dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Beberapa hal yang
dimaksudkan dalam ketentuan UUPLH adalah seperti mewujudkan, menumbuhkan,
mengembangkan dan meningkatkan kesadaran tanggung jawab mengambil keputusan,
masyarakat, kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya
pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Secara historis, lahir dan berkembangnya prinsip-prinsip dasar pengelolaan lingkungan
hidup di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip yang tertuang dalam Deklarasi
Stockholm, Deklarasi Rio dan Deklarasi Johannesburg. Berdasarkan pada pengkajian
terhadap ketiga deklarasi tersebut, maka dapat ditemukan berbagai prinsip dan konsep
pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berlaku secara
universal, seperti:
1. Right to healthy environment (hak atas lingkungan hidup yang sehat);
2. Intergenerational and intragenerational equity (keadilan antar dan inter generasi);
3. Biodiversity Conservation (prinsip perlindungan keragaman hayati);
4. Precautionary Principle (prinsip pencegahan dini/prinsip kehati-hatian);
5. Sustainable use of natural resources (penggunaan sumber daya secara berkelanjutan);
6. Eradication of poverty (terbebas dari kemiskinan);
7. Prevention of environmental harms (pencegahan kerusakan lingkungan hidup);
8. Public participation (peran serta masyarakat);
9. Acces to infor mation (hak mendapatkan informasi);
10. Environmental impact assessment and informes decision making (analisis mengenai
dampak lingkungan dan pengumuman dalam pengambilan keputusan);
11. Peaceful settlement of disputes (penyelesaian sengketa secara damai);
12. Equal, expanded and effective access to judicial and administrative proceedings
(penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan dan prosedur hukum administrasi).
13. Souvereignty over natural resources and responsibility not to course damage to the
environment of other states or to areas beyond national jurisdiction (kedaulatan Negara
atas sumber daya alam dan terlindunginya Negara dari tanggung jawab atas kerusakan
lingkungan hidup akibat kegiatan di luar wilayah negara).
16
Prinsip-prinsip tersebut beberapa diantaranya telah terinternalisasikan secara implisit
dalam substansi UUPLH, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Right to healthy environment (hak atas lingkungan hidup yang sehat). Prinsip ini juga
dikenal dengan prinsip lingkungan hidup yang baik dan sehat dan merupakan hak setiap
orang. Prinsip ini dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUPLH.
2. Intergenerational and intragenerational equity (keadilan antar dan inter generasi).
Prinsip ini dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 4 butir c terkait dengan salah satu
sasaran pengelolaan lingkungan hidup yakni “terjaminnya kepentingan generasi masa
kini dan generasi masa depan”.
3. Sustainable use of natural resources (penggunaan sumber daya secara berkelanjutan).
Prinsip ini dapat juga ditemukan dalam ketentuan Pasal 4 butir d yang menetapkan
“tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup” yang bermakna bahwa lingkungan
hidup secara berkelanjutan dapat mendukung kehidupan manusia dan/atau makhluk hidup
lainnya.
4. Public participation (peran serta masyarakat). Prinsip ini secara tersirat ditemukan dalam
Pasal 5 ayat (3) yang menetapkan “setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam
rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Dalam ketentuan lainnya, prinsip ini juga dapat dijumpai dalam Pasal 19 ayat
(1) huruf b yang pada hakikatnya menetapkan dalam menerbitkan izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan wajib diperhatikan pendapat masyarakat.
5. Precautionary Principle (prinsip pencegahan dini/prinsip kehati-hatian). Prinsip ini dapat
ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan “bahwa setiap orang
berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”.
6. Prevention of environmental harms (pencegahan kerusakan lingkungan hidup). Prinsip
ini dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 17 ayat (1) yang menyatakan “setiap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan
berbahaya dan beracun”.
7. Acces to information (hak mendapatkan informasi). Prinsip ini dapat ditemukan dalam
Pasal 5 ayat (2) yang menetapkan “setiap orang mempunyai hak atas informasi
lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup”.
8. Environmental impact assessment and informes decision making (analisis mengenai
dampak lingkungan dan pengumuman dalam pengambilan keputusan). Prinsip ini diatur
dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) yang menetapkan “setiap rencana usaha dan/atau

17
kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup”.
9. Peaceful settlement of disputes (penyelesaian sengketa secara damai). Prinsip ini dapat
dijumpai dalam ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 31 UUPLH.
10. Equal, expanded and effective access to judicial and administrative proceedings
(penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan dan prosedur hukum administrasi). Prinsip
ini secara implisit dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 22 sampai 27 UUPLH.
11. Souvereignty over natural resources and responsibility not to course damage to the
environment of other states or to areas beyond national jurisdiction (kedaulatan Negara
atas sumber daya alam dan terlindunginya Negara dari tanggungjawab atas kerusakan
lingkungan hidup akibat kegiatan di luar wilayah negara). Prinsip ini dikenal juga dengan
prinsip tanggungjawab Negara yang telah mendapat pengaturan melalui ketentuan Pasal 3
UUPLH.
Beberapa prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang telah dituangkan dalam ketentaun
UUPLH tersebut tentunya juga wajib untuk dijadikan sebagai dasar atau acuan dalam
pembentukan produk hukum maupun tindakan hukum pemerintah, baik pemerintah pusat
maupun daerah.
Dalam dinamikanya ketentuan UU No. 23 Tahun 1997 sudah tidak sesuai lagi dengan
dinamika permasalahan lingkungan hidup yang semakin parah maupun perkembangan
kehidupan berbangsa dan bernegara kita. UU tersebut tidak lagi mampu menangani dan
mengatasi segala permasalahan lingkungan hidup: antara lain karena kewenangan
Kementerian Lingkungan Hidup sangat terbatas dan berbagai ketentuan yang tidak tegas dan
rinci sehingga terjadi manipulasi dalam implementasi misalnya (Amdal).
Selain itu dalam UUD 1945 Pasal 28 H menegaskan lingkungan hidup sebagai hak asasi
manusia dan Pasal 33 menegaskan prinsip pembangunan berkelanjutan. Otonomi Daerah
sudah memberikan banyak kewenangan kepada Pemerintah Daerah termasuk tentang
lingkungan hidup. Dalam realitanya lingkungan hidup belum menjadi arus utama kebijakan
dan program pembangunan di Indonesia. Visi pembangunan berkelanjutan hanya menjadi
jargon. Namun menurut hemat penulis sudah saatnya lingkungan hidup harus jadi arus utama.
UU No. 23 Tahun 1997 masih menganut filosofi antroposentris yang tidak sesuai lagi
dengan kesadaran baru tentang lingkungan hidup yang lebih biosentris dan ekosentris.
Lingkungan hidup merupakan salah satu isu global selain demokrasi dan HAM, khususnya isu
pemanasan global, yang memerlukan kebijakan dalam negeri yang pro lingkungan hidup.
Berbagai instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern belum diakomodasi dalam UU No. 23
18
Tahun 1997. Perlu kepastian hukum atas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang lebih tegas dan pasti.
Visi besar tentang implementasi pembangunan berkelanjutan sebagaimana cakupan UU
No. 32 Tahun 2009 cakupan PPLH dengan sedikit tambahan cakupan PPLH: perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Dasar utama
dari PPLH: perencanaan. Sasaran pokok PPLH daya tampung dan daya dukung LH sebagai
tolok ukur keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, eksistensi serta
fungsi pemerintah, baik pemerintah pusat mapun pemerintah daerah dalam konteks
pengelolaan lingkungan hidup segala tindakan hukumnya wajib memperhatikan prinsip-
prinsip dasar pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud.
Oleh karena itu, dari pemaparan berbagai konsep dan prinsip-prinsip dasar sejarah
pengelolaan lingkungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa eksistensi konsep dan prinsip-
prinsip dasar hukum pengelolaan lingkungan adalah merupakan suatu landasan dasar hukum
lingkungan yang dapat dijadikan sebagai pijakan dalam menentukan kebijakan - kebijakan
terkait dengan pengelolaan lingkungan dan mengimplementasikan kebijakan pengelolaan
lingkungan hidup dalam rangka untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development), sehingga fungsi kelestarian lingkungan dapat terjaga dengan baik. Selain itu,
prinsip dasar hukum pengelolaan lingkungan hidup yang tercermin dalam UUPLH adalah
menunjukkan adanya suatu komitmen dalam mempertahankan dan menjaga kelestarian fungsi
lingkungan hidup dalam dinamika pembangunan nasional bukan sekedar filosofis-teoritis
semata, melainkan dengan adanya prinsip-prinsip dasar pengelolaan lingkungan hidup
tersebut adalah menjelma menjadi sebuah agenda praktis-pragmatis dalam tataran empiris
unutk menghindarkan eksistensi kelangsungan lingkungan hidup dari ancaman pencemaran
dan kerusakan akibat dampak yang ditimbulkan dari berbagai macam kegiatan
pembangunan.13

G. Kebijakan Hukum Lingkungan


Kebijaksanaan hukum lingkungan adalah merupakan bagian fundamental didalam
mengartikulasikan sekaligus mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum
lingkungan itu sendiri.
Tidak terlepas dari gerak perkembangan dan perubahan di segala bidang tidak terkecuali
dengan perkembangan masalah pembangunan dan lingkungan hidup, maka pada dasarnya
hukum lingkungan hadir tidak hanya sebagai lembaga yang otonom yang berfungsi sebagai

13
Moh. Fadli, dkk, Hukum dan Kebijakan Lingkungan, (Malang: UB Press, 2006), hal 38-43
19
sarana kontrol sosial, melainkan masuk kedalam segala bidang kehidupan masyarakat modern
yang dapat digunakan sebagai sarana melakukan suatu perubahan.
Kondisi riil ini sejalan dengan apa yang telah digambarkan oleh Soetandyo
Wignyosoebroto, bahwa “lebih menekankan keberhasilan pembangunan, dimana pemikiran-
pemikiran yang terlampau pragmatik mencuat kedepan, tidal urung dalam era Orde Baru yang
menyebut dirinya orde pembangunan ini hukum acap kali diperlakukan sebagai sarana, dan
harus berkhidmat kepada tujuan-tujuan pembangunan itu sendiri. Alih-alih berfungsi sebagai
tujuan, bukan sekali dua kali bahwa hukum itu difungsikan untuk merasionalisasi
kebijaksanaan-kebijaksanaan khususnya kebijkasanaan-kebijaksanaan eksekutif”.
Dalam pandangan Siti Sundari Rangkuti, dinyatakan bahwa Hukum seharusnya
mempunyai kedudukan dan arti penting dalam pemecahan masalah lingkungan dan berfungsi
sebagai dasar yuridis bagi pelaksanaan kebijakan negara/pemerintah dalam mengelola
lingkungan hidup. Apabila kebijakan lingkungan kemudian dirumuskan dalam rangkaian
norma yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan lingkungan, maka dalam arti
sempit dapat disebut sebagai kebijakan hukum lingkungan atau sering pula disebut politik
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Kebijakan hukum lingkungan dalam arti sempit adalah penentuan konsep, proses, strategi,
dan siasat yang terumuskan secara sistematis berkenaan dengan rencana, program, proyek,
dan kegiatan pemerintah dan masyarakat sebagai sarana pencapaian tujuan pengelolaan
lingkungan hidup melalui pendayagunaan peraturan perundang-undangan beserta
kelembagaannya. Sedangkan dalam pengertian luas, bahwa kebijakan hukum lingkungan
adalah bertalian dengan dimensi kebijaksanaan yang mengandung arti serangkaian tindakan
hukum sebagai wujud nyata dari kewenangan pemerintah, atau dengan kata lain
kebijaksanaan adalah berkaitan dengan pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat terkait dengan persoalan lingkungan.
Menurut Druopsteen dalam Siti Sundari Rangkuti, dikatakan bahwa kebijaksanaan
(beleid atau policy) bagi kalangan ilmu administrasi mengandung berbagai definisi mengenai
kebijaksanaan, tetapi pada umumnya semua pandangan tersebut mengandung pengertian
penetapan tujuan dan sarana.
Sedangkan dalam pandangan Jay A. Sigler, dinyatakan bahwa definisi kebijaksanaan
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu dalam [pengertian sempit dan pengertian luas:
“In a sense, any action taken by any govermental agency is a public policy. In broader terms,
according to David Aeston, any authoritative allocation of values for society”.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat digaris bawahi bahwa pengertian kebijaksanaan
adalah merupakan suatu tindakan hukum sebagai wujud kewenangan dari pemerintah, atau
20
dengan kata lain kebijaksanaan adalah berkaitan dengan pembangunan yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam pemahaman ini, tentu yang
dimaksud dengan kebijaksanaan pembangunan adalah relevansinya dengan lingkungan hidup
dan sumber daya alam.
Lebih lanjut Jay A. Sigler, mengatakan bahwa “The boundaries of public policy are not
yet fixed; but by focussing attention “on the intersection of the political system and the
society aro und it” rather than on the social structure or the government, we concentrate on
the product of the political processes, not on decision making”. Dari apa yang telah
diungkapkan oleh Jay A. Sigler dimaksud dapat dipahami bahwa kebijaksanaan hanya
mencakup pada produk kewenangan politik bukan pada proses pembuatan keputusan.
Berdasarkan elaborasi ragam definisi kebijaksanaan yang telah dikemukakan di atas, dapat
kita rumuskan, antara lain: Pertama, kebijaksanaan adalah kebijakan yang dibuat oleh
administratur negara, atau administratur publik. Jadi, kebijaksanaan adalah segala sesuatu
yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. Pertanyaan pertama, kenapa
berkenaan dengan "segala sesuatu"?. Ini karena kebijakan publik berkenaan dengan setiap
aturan main dalam kehidupan bersama, baik yang berkenaan dengan hubungan antar warga
maupun antara warga dan pemerintah. Pertanyaan kedua, kenapa istilah yan dipakai
"dikerjakan"? Ini karena "kerja" sudah merangkum proses "pra" dan "pasca", yaitu bagaimana
pekerjaan tersebut dirumuskan, diterapkan dan dinilai hasilnya. Istilah kerja adalah istilah
yang bersifat aktif dan memaksa karena kata kuncinya adalah keputusan. Ketiga, kenapa
"dikerjakan" dan "tidak dikerjakan"? Ini karena "dikerjakan" dan "tidak dikerjakan" sama-
sama merupakan keputusan. Ketika kita memilih untuk bekerja sebagai pegawai negeri dan
tidak memilih bekerja sebagai pekerja partai adalah keputusan. Pertanyaan terakhir, siapakah
pemerintah itu dan kenapa harus pemerintah yang menjadi pemegang hak atas kebijakan? Ini
pertanyaan mudah, namun sulit dijawab. Alasan pokoknya adalah kerena definisi pemerintah
sangat berbeda-beda. Kita dapat melihat UUD 1945 pada pembukaannya menyebutkan
bahwa:
"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaanya. Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang bedasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial...”

21
Jadi, yang membuat kebijaksanaan adalah pemerintah negara. Siapakah mereka? Jika di
tingkat nasional adalah seluruh lembaga negara, yaitu lembaga legislatif (MPR, DPR),
eksekutif (Pemerintah Pusat, Presiden, dan Kabinet), yudikatif (MA, Peradilan), dan di
Indonesia ditambah lembaga akuntatif (BPK). Di tingkat daerah kota, lembaga administratur
publiknya adalah Pemerintah Daerah Kota dan DPRD Kota. Pada pemahaman yang berlaku
umum, lembaga administrasi negara dibatasi pada pemerintah atau lembaga eksekutif. Secara
khusus, kebijakan publik sering dipahami sebagai keputusan pemerintah atau eksekutif.
Kedua, kebijaksanaan adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan
publik, bukan kehidupan orang seorang atau golongan. Kebijakan publik mengatur semua
yang ada di domain lembaga administratur publik. Kebijakan publik mengatur masalah
bersama atau masalah pribadi atau golongan, yang sudah menjadi masalah bersama dari
seluruh masyarakat didaerah itu.
Ketiga, dikatakan sebagai suatu kebijaksanaan jika manfaat yang diperoleh masyarakat
yang bukan pengguna langsung dari produk yang dihasilkan jauh lebih banyak atau lebih
besar dari pengguna langsungnya. Konsep ini disebut konsep externality atau dijadikan istilah
serapan menjadi eksternalitas. Misalnya, pemerintah membangun jalan raya. Pengguna
manfaat bukan saja pemilik mobil, namun juga masyarakat yang sebelumnya terasing menjadi
terbuka, kegiatan ekonomi meningkat sehingga kesejateraan ikut pula meningkat, dan
seterusnya.
Dengan demikian, dari berbagai macam pengertian tentang kebijaksanaan, maka dapat
disimpulkan bahwa undang-undang adalah merupakan landasan hukum yang mendasari
kebijaksanaan pemerintah khususnya dalam bidang pengelolaan lingkungan dan sumber daya
alam.
Dalam konteks pengelolaan lingkungan, hubungan antara hukum lingkungan dengan
kebijaksanaan lingkungan adalah merupakan bagian dari proses pembangunan hukum
nasional. Pengelolaan lingkungan hidup Indonesia telah mempunyai dasar hukum yang kuat
dan bersifat menyeluruh serta dilandasi oleh prinsip-prinsip hukum lingkungan.
Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam terbatas dan tidak merata, baik dalam
jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan permintaan akan sumber daya alam makin
meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan di segala bidang. Pada lain
pihak, daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya tampung lingkungan hidup
dapat menurun.14

H. Kedudukan Hukum Lingkungan dalam Sistem Hukum


14
Moh. Fadli, dkk, Hukum dan Kebijakan Lingkungan, (Malang: UB Press, 2006), hal 43-47
22
Pada pokok bahasan selanjutnya adalah terkait dengan kedudukan hukum lingkungan
dalam sistem hukum nasional, hal ini menjadi sangat urgen, karena pada posisi manakah
hukum lingkungan di cakupkan, apakah hukum lingkungan termasuk dalam sistem hukum
publik ataukah dalam sistem hukum privat.
Dapat dipahami bahwa pada dasarnya sistem hukum bisa dibedakan ke dalam dua
pembagian besar, yaitu sistem hukum publik dan sistem hukum privat. Hukum publik atau
disebut pula dengan hukum kenegaraan adalah merupakan bidang hukum yang mengatur
hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan
perseorangan (warga negara). Hukum privat atau disebut pula dengan hukum sipil atau hukum
perdata adalah bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antar individu dengan
individu yang lain dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan atau individu.
Berkaitan dengan hukum privat, ada beberapa sarjana yang hanya menggolongkan atau
mencakupkan ke dalam hukum perdata dan hukum dagang. Tetapi ada pula yang
mencakupkan dalam berbagai bidangnya, yang dalam hal ini terdiri dari; hukum pribadi,
hukum keluarga, hukum kekayaan atau hukum kebendaan, hukum perikatan, hukum waris.
Sedangkan hukum publik, yang terdiri dari hukum tata negara, hukum administrasi negara
atau hukum tata usaha negara, hukum pidana, hukum internasional publik dan lainnya.
Pertanyaan yang muncul adalah, dimanakah posisi hukum lingkungan berada di antara
beberapa penggolongan hukum di atas?
Dalam pandangan N.H.T. Siahaan, mengatakan bahwa pada umumnya para sarjana
menggolongkan hukum lingkungan ke dalam hukum publik. Alasannya, bahwa hukum
lingkungan merupakan hukum yang mengatur hubungan-hubungan yang berkenaan dengan
masalah alam (tanah, pegunungan, udara, sungai, laut), sumber daya alam (hutan, tambang,
perairan, perikanan, dan sebagainya) yang dipergunakan untuk kesejahteraan publik. Jika
demikian, muncul pertanyaan, dimanakah posisi hukum lingkungan berada diantara cakupan
hukum publik, apakah merupakan bidang tersendiri ataukah merupakan bagian dari hukum
tata negara atau hukum administrasi negara misalnya?. Hukum lingkungan, substansi
dasarnya adalah berkaitan dengan pengaturan kepentingan publik. Misalnya, mengatur
kekuasaan negara atas lingkungan, peran serta publik atau masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan, kelembagaan negara yang mengatur dan berkuasa atas sumber-sumber alam.
Bidang-bidang demikian menjadi bagian pokok dari hukum administrasi negara. Hukum
lingkungan yang meangatur mengenai kewenangan dan keputusan aparatur pemerintah dalam
rangka menata kewenangan negara atas lingkungan, menjadi bagian dari hukum administrasi
lingkungan.

23
Hukum lingkungan juga pada dasarnya mengandung dimensi hukum pidana lingkungan
maupun hukum keperdataan. Dalam bidang kepidanaan, hukum lingkungan berkiatan dengan
bagaimana pemerintah mengatur dan menegakkan aturan atau norma secara memaksa yang
diperuntukkan untuk lingkungan dan sumber daya alam. Sedangkan dimensi hukum
lingkungan keperdataan adalah mencakup hal-hal yang berkaitan deangan hak-hak
kepemilikan atas sumber daya alam, hak-hak tradisional individu atau kelompok masyarakat
seperti hak ulayat, akses organisasi non pemerintah dalam hal melakukan gugatan atas nama
kepentingan lingkungan, mekanisme penyelesaian sengketa atas lingkungan seperti class
action dan legal standing, dan sebagainya.

Gambar 1: Posisi Hukum Lingkungan dan Sistem Hukum


Berdasarkan pada skema posisi hukum lingkungan dalam sistem hukum nasional
sebagaimana dimaksud, maka dapat disimpulkan bahwa hukum lingkungan belum dapat
dijadikan sebagai golongan tersendiri, sebagai salah satu bagian integral dari hukum publik.
Namun, hukum lingkungan digolongkan sebagai bagian dari hukum administrasi negara. Hal
ini didasarkan bahwa pada prinsipnya hukum lingkungan secara dominan berkaitan dengan
kekuasaan negara atas aset-aset lingkungan atas sumber daya alam.15

I. Konsep Kebijakan Program Lingkungan Internasional16

15
Moh. Fadli, dkk, Hukum dan Kebijakan Lingkungan, (Malang: UB Press, 2006), hal 49
16
Charles H. Eccleston dan Frederic March, Global Environmental Policy : Concepts, Principles, and
Practice, (Boca Raton : CRC Press, Taylor and Francis Group)
24
1. Prinsip-prinsip kebijakan lingkungan global
Kebijakan lingkungan global telah berevolusi pada era pasca-Perang Dunia II ketika
PBB membentuk kerangka kerja konsensus internasional umum mengenai kebijakan
lingkungan sebagai elemen integral dari kebijakan kependudukannya. Sementara
masyarakat dunia mulai menyadari adanya isu kemerosotan dan kerusakan lingkungan
dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan Manusia di Stockholm pada tahun 1972.
Barulah sekitar 20 tahun berselang, dunia mengakui bahwa kemerosotan lingkungan yang
terjadi memiliki keterkaitan erat dengan kegiatan yang tidak berkelanjutan. Yang mana isu
tersebut kemudian menjadi isu sentral yang dibahas dalam pertemuan dalam Earth Summit
di Rio de Janeiro tahun 1992 dan melahirkan suatu kebijakan yang disebut dengan agenda
21. Undang-Undang Kebijakan Lingkungan Nasional di Amerika Serikat telah menjadi
contoh untuk kebijakan lingkungan di banyak negara lain, dan secara tidak langsung juga
menjadi model untuk dokumen kebijakan lingkungan global komprehensif pertama PBB,
yang kemudian disebut sebagai Agenda 21 tersebut.
Agenda 21 menjabarkan 27 prinsip utama yang pada dasarnya menerapkan banyak
dimensi kebijakan. Deklarasi ini terkait erat dengan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia PBB, yang terutama berkaitan dengan hak-hak politik dan sosial. Standar hidup
bergantung pada lingkungan alam dan sosial yang dikelola dengan baik dan berkelanjutan
untuk memastikan kecukupan makanan, pakaian, perumahan, perawatan medis, dan
banyak fasilitas kehidupan lainnya. Deklarasi Rio adalah pencapaian internasional yang
paling luar biasa dalam mengakui hubungan erat antara kesejahteraan komunitas manusia,
kualitas lingkungan tempat kesejahteraan itu bergantung, dan kebijakan maupun undang-
undang yang memungkinkan pencapaian nilai-nilai seperti sosial,ekonomi, kesetaraan, dan
hak asasi manusia dasar.
Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan, setelah pertemuan di Rio de
Janeiro pada 3 hingga 14 Juni 1992, menegaskan kembali Deklarasi Konferensi PBB
tentang Lingkungan Manusia yang telah dilakukan di Stockholm pada 16 Juni 1972.
Tujuan dari diadakannya Deklarasi Rio tersebut adalah untuk membangun kemitraan
global yang baru dan adil melalui penciptaan tingkat kerjasama baru di antara negara,
sektor-sektor utama masyarakat dan masyarakat itu sendiri, berupaya menuju perjanjian
internasional yang menghormati kepentingan semua orang, melindungi integritas
lingkungan global dan sistem pengembangan, mengenali sifat integral dan saling
tergantung dari alam. Deklarasi Rio de Janeiro menyatakan bahwa:
Prinsip 1: Manusia adalah pusat perhatian bagi pembangunan berkelanjutan. Mereka
berhak atas kehidupan yang sehat dan produktif selaras dengan alam.
25
Prinsip 2: Sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip-prinsip
hukum internasional, negara memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber
daya mereka sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungan dan pembangunan, dan
tanggung jawab untuk memastikan bahwa kegiatan dalam yurisdiksi mereka atau
kontrol tidak menyebabkan kerusakan pada lingkungan negara lain atau wilayah di luar
batas yurisdiksi nasional.
Prinsip 3: Hak atas pembangunan harus dipenuhi agar dapat memenuhi kebutuhan
pembangunan dan lingkungan secara adil bagi generasi sekarang dan mendatang.
Prinsip 4: Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan
merupakan bagian integral dari proses pembangunan dan tidak dapat dianggap terpisah
daripadanya.
Prinsip 5: Semua negara dan semua orang harus bekerja sama dalam tugas penting
untuk memberantas kemiskinan sebagai persyaratan yang sangat diperlukan untuk
pembangunan berkelanjutan, untuk mengurangi kesenjangan dalam standar hidup dan
memenuhi kebutuhan mayoritas masyarakat dunia dengan lebih baik.
Prinsip 6: Situasi khusus dan kebutuhan negara-negara berkembang, khususnya yang
paling kurang berkembang dan yang paling rentan terhadap lingkungan, harus diberi
prioritas khusus. Tindakan internasional di bidang lingkungan dan pembangunan juga
harus menjawab kepentingan dan kebutuhan semua negara.
Prinsip 7: Negara-negara harus bekerjasama dalam semangat kemitraan global untuk
melestarikan, melindungi, dan memulihkan kesehatan dan integritas ekosistem bumi.
Mengingat kontribusi yang berbeda untuk degradasi lingkungan global, negara memiliki
tanggung jawab yang sama tetapi berbeda. Negara-negara maju mengakui tanggung
jawab yang mereka tanggung dalam pengejaran internasional untuk pembangunan
berkelanjutan mengingat tekanan yang diberikan masyarakat mereka terhadap
lingkungan global dan teknologi serta sumber daya keuangan yang mereka perintahkan.
Prinsip 8: Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan kualitas hidup yang lebih
tinggi untuk semua orang, negara harus mengurangi dan menghilangkan pola produksi
dan konsumsi yang tidak berkelanjutan dan mempromosikan kebijakan demografis yang
tepat.
Prinsip 9: Negara-negara harus bekerja sama untuk memperkuat pembangunan
kapasitas endogen untuk pembangunan berkelanjutan dengan meningkatkan
pemahaman ilmiah melalui pertukaran pengetahuan ilmiah dan teknologi, dan dengan
meningkatkan pengembangan, adaptasi, difusi, dan transfer teknologi, termasuk
teknologi baru dan inovatif.
26
Prinsip 10: Masalah lingkungan paling baik ditangani dengan partisipasi semua warga
yang peduli, pada tingkat yang relevan. Di tingkat nasional, setiap individu harus
memiliki akses yang tepat ke informasi mengenai lingkungan yang dipegang oleh
otoritas publik, termasuk informasi tentang bahan dan aktivitas berbahaya di komunitas
mereka, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Negara harus memfasilitasi dan mendorong kesadaran dan partisipasi publik dengan
membuat informasi tersedia secara luas. Akses efektif ke proses peradilan dan
administrasi, termasuk ganti rugi dan pemulihan, harus disediakan.
Prinsip 11: Negara harus memberlakukan undang-undang lingkungan yang efektif.
Standar lingkungan, tujuan dan prioritas manajemen harus mencerminkan konteks
lingkungan / perkembangan yang mereka terapkan. Standar yang diterapkan oleh
beberapa negara mungkin tidak sesuai dan dengan biaya ekonomi / sosial yang tidak
beralasan untuk negara berkembang tertentu.
Prinsip 12: Negara harus bekerja sama untuk mempromosikan sistem ekonomi
internasional yang mendukung dan terbuka yang akan mengarah pada pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan berkelanjutan di semua negara, untuk mengatasi masalah
degradasi lingkungan dengan lebih baik. Langkah-langkah kebijakan perdagangan
untuk tujuan lingkungan tidak boleh merupakan sarana diskriminasi sewenang-wenang
atau tidak dapat dibenarkan atau pembatasan terselubung pada perdagangan
internasional. Tindakan sepihak untuk menghadapi tantangan lingkungan di luar
yurisdiksi negara pengimpor harus dihindari. Langkah-langkah lingkungan untuk
mengatasi masalah lingkungan lintas batas atau global harus, sejauh mungkin,
didasarkan pada konsensus internasional.
Prinsip 13: Negara-negara harus mengembangkan hukum nasional tentang
pertanggungjawaban dan kompensasi bagi para korban pencemaran dan kerusakan
lingkungan lainnya. Negara juga harus bekerja sama dengan cara yang lebih cepat dan
lebih bertekad untuk mengembangkan hukum internasional lebih lanjut mengenai
pertanggungjawaban dan kompensasi atas dampak buruk kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh kegiatan di dalam yurisdiksi mereka atau kontrol ke wilayah di luar
yurisdiksi mereka.
Prinsip 14: Negara-negara harus bekerja sama secara efektif untuk mencegah atau
mencegah relokasi dan transfer ke negara-negara lain dari segala kegiatan dan zat yang
menyebabkan degradasi lingkungan yang parah atau yang diketahui berbahaya bagi
kesehatan manusia.

27
Prinsip 15: Untuk melindungi lingkungan, pendekatan kehati-hatian harus diterapkan
secara luas oleh negara sesuai dengan kemampuan mereka. Jika ada ancaman kerusakan
serius atau tidak dapat dipulihkan, kurangnya kepastian ilmiah sepenuhnya tidak boleh
digunakan sebagai alasan untuk menunda langkah-langkah hemat biaya untuk
mencegah degradasi lingkungan.
Prinsip 16: Otoritas nasional harus berusaha untuk mempromosikan internalisasi biaya
lingkungan dan penggunaan instrumen ekonomi, dengan mempertimbangkan
pendekatan bahwa pencemar harus, pada prinsipnya, menanggung biaya polusi, dengan
memperhatikan kepentingan publik dan tanpa mengganggu perdagangan dan investasi
internasional.
Prinsip 17: Penilaian dampak lingkungan, sebagai instrumen nasional, harus dilakukan
untuk kegiatan yang diusulkan yang cenderung memiliki dampak negatif yang
signifikan terhadap lingkungan dan tunduk pada keputusan otoritas nasional yang
kompeten.
Prinsip 18: Negara-negara harus segera memberi tahu negara-negara lain tentang
bencana alam atau keadaan darurat lainnya yang kemungkinan dapat menghasilkan efek
berbahaya yang tiba-tiba pada lingkungan negara-negara tersebut. Setiap upaya harus
dilakukan oleh komunitas internasional untuk membantu negara-negara yang menderita.
Prinsip 19: Negara-negara harus memberikan pemberitahuan sebelum dan tepat waktu
dan informasi yang relevan kepada negara-negara yang berpotensi terkena dampak
kegiatan yang mungkin memiliki efek lingkungan lintas batas yang merugikan dan
harus berkonsultasi dengan negara-negara tersebut pada tahap awal dan dengan itikad
baik.
Prinsip 20: Perempuan memiliki peran vital dalam pengelolaan dan pengembangan
lingkungan. Karena itu, partisipasi penuh mereka sangat penting untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan.
Prinsip 21: Kreativitas, cita-cita, dan keberanian pemuda dunia harus dimobilisasi untuk
menjalin kemitraan global untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan memastikan
masa depan yang lebih baik untuk semua.
Prinsip 22: Masyarakat adat dan komunitas mereka dan komunitas lokal lainnya
memiliki peran vital dalam pengelolaan dan pengembangan lingkungan karena
pengetahuan dan praktik tradisional mereka. Negara-negara harus mengakui dan dengan
sepatutnya mendukung identitas, budaya, dan minat mereka serta memungkinkan
partisipasi efektif mereka dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan.

28
Prinsip 23: Lingkungan dan sumber daya alam orang-orang di bawah penindasan,
penguasaan dan pendudukan harus dilindungi.
Prinsip 24: Peperangan pada dasarnya merusak pembangunan berkelanjutan. Oleh
karena itu, negara harus menghormati hukum internasional yang memberikan
perlindungan bagi lingkungan pada saat konflik bersenjata dan bekerja sama dalam
pengembangan lebih lanjut, sebagaimana diperlukan.
Prinsip 25: Perdamaian, pengembangan dan perlindungan lingkungan saling bergantung
dan tidak dapat dipisahkan.
Prinsip 26 : Negara-negara harus menyelesaikan semua sengketa lingkungan mereka
secara damai dan dengan cara yang tepat sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa.
Prinsip 27 : Negara dan rakyat harus bekerja sama dengan itikad baik dan dalam
semangat kemitraan dalam pemenuhan prinsip-prinsip dalam Deklarasi ini dan dalam
pengembangan lebih lanjut dari hukum internasional di bidang pembangunan
berkelanjutan.

J. Hukum Internasional Sebagai Instrumen Kebijakan Lingkungan


Hukum lingkungan internasional berkenaan dengan perlindungan hak milik bersama global
atas nama komunitas global. PBB telah mengembangkan peran kepemimpinan yang efektif
dalam hal ini sebagaimana dibuktikan oleh perjanjian untuk menghormati prinsip-prinsip
seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Dengan 27 anggota saat ini dan kemungkinan
besar akan tumbuh, Uni Eropa (EU) telah mengembangkan sistem internal undang-undang
lingkungannya sendiri , dan merupakan pemegang peran utama dalam pengembangan
kebijakan lingkungan PBB.
Seperti kebanyakan hukum internasional, salah satu prinsip panduan adalah kedaulatan.
Setiap negara memiliki kekuatan penuh untuk melakukan apa yang diinginkan di wilayahnya
sendiri, sementara tunduk pada hukum internasional yang telah disepakati, sebagaimana
ditekankan dalam Prinsip 2 pada Deklarasi Rio de Janeiro. Kadang-kadang ada sanksi untuk
pelanggaran, tetapi secara umum, kepatuhan terhadap hukum lingkungan internasional
bergantung pada itikad baik bangsa-bangsa untuk menerapkannya dalam kebijakan, hukum,
dan strategi mereka sendiri.
1. Hukum kebiasaan internasional
Hukum kebiasaan internasional mewujudkan norma-norma dan aturan yang diikuti oleh
negara-negara sebagai masalah adat. Mereka begitu meresap sehingga hampir semua
negara di dunia setuju. Misalnya, Prinsip 2 Deklarasi Rio de Janeiro kadang-kadang
29
disebut "kebijakan bertetangga baik dengan lingkungan". Substansi tersebut sudah menjadi
adat untuk sebagian besar negara.
Sesuai dengan Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional, negara memiliki
hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya mereka sendiri sesuai dengan kebijakan
lingkungan dan perkembangan mereka sendiri. Namun, mereka juga memiliki tugas untuk
memastikan bahwa kegiatan dalam yurisdiksi atau kontrol mereka tidak merusak
lingkungan negara bagian lain.
Kewajiban untuk segera memperingatkan negara bagian lain tentang keadaan darurat
yang bersifat lingkungan dan diterima secara lingkungan. Titik di mana prinsip-prinsip
tersebut menjadi "hukum adat" tidak didefinisikan dengan jelas. Banyak argumen dapat
dibuat melawan "hukum" seperti itu oleh negara-negara yang tidak ingin terikat.
2. Kerangka peradilan
Badan hukum lingkungan internasional mencakup penilaian dan pendapat oleh
pengadilan atau pengadilan internasional.
a. Pengadilan Internasional
Mahkamah Internasional (ICJ) adalah lembaga peradilan utama PBB. Mahkamah ini
didirikan pada Juni 1945 oleh Piagam PBB dan mulai aktif pada April 1946. Pengadilan
berada di Istana Perdamaian di Den Haag, Belanda. Pengadilan memiliki yurisdiksi
ganda, yang berarti bahwa pengadilan memutuskan, sesuai dengan hukum internasional,
perselisihan yang bersifat hukum yang diajukan kepadanya oleh negara (yurisdiksi
dalam kasus kontroversial) dan pengadilan memberikan pendapat penasehat tentang
pertanyaan hukum atas permintaan pengadilan. Organ-organ PBB atau badan-badan
khusus yang diotorisasi untuk mengajukan permintaan semacam itu (yurisdiksi
penasehat).17 Pengadilan ini terdiri dari 15 hakim, yang dipilih untuk masa jabatan
selama 9 tahun oleh Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB, dibantu oleh
pendaftar. , organ administratifnya. Bahasa resminya adalah Inggris dan Prancis. ICJ
bertindak sebagai pengadilan dunia. Bagaimana misi telah memastikan, pengadilan
hanya mendengar beberapa kasus lingkungan.18
b. Pengadilan Eropa Kehakiman
Sejak berdirinya Pengadilan Keadilan Masyarakat Eropa pada tahun 1952,
diketahui bahwa "hukum diamati dalam interpretasi dan penerapan" perjanjian.
Sebagai bagian dari misi itu, maka pengadilan :
1) Meninjau legalitas tindakan lembaga-lembaga UE.

17
International Court of Justice, http://www.icj-cij.org/court/index.php?p1=p
18
http://www.icj-cij.org/imformation/en/ibleubook.pdf
30
2) Memastikan bahwa negara-negara anggota mematuhi kewajiban mereka
berdasarkan hukum komunitas.
3) Menafsirkan hukum komunitas atas permintaan pengadilan dan pengadilan
nasional.
Dengan demikian, pengadilan merupakan otoritas yudisial Uni Eropa dan bekerja
sama dengan pengadilan serta pengadilan negara-negara anggota, memastikan
penerapan dan interpretasi yang seragam dari hukum yang ada. Pengadilan
Kehakiman terdiri dari tiga pengadilan: Pengadilan Kehakiman, Pengadilan Tingkat
Pertama (dibentuk tahun 1988), dan Pengadilan Pegawai Negeri Sipil (dibentuk
tahun 2004). Sejak pembentukannya, sekitar 15.000 putusan telah disampaikan oleh
ketiga pengadilan. Dari jumlah tersebut, sekitar 27 telah melibatkan penerapan
hukum lingkungan antara tahun 2001 dan 2009.
c. Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut
Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut adalah badan yudisial independen
yang dibentuk oleh konvensi untuk mengadili perselisihan yang timbul dari
interpretasi dan penerapan konvensi sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Pengadilan telah membentuk ruang Prosedur Ringkasan, ruang untuk Sengketa
Perikanan, ruang untuk Sengketa Lingkungan Laut, dan ruang untuk Sengketa
Pembatasan Maritim. Atas permintaan Chili dan Komunitas Eropa, pengadilan juga
telah membentuk sebuah ruangan khusus untuk menangani kasus Konservasi dan
Eksploitasi Berkelanjutan dari Saham Swordfish di Samudera Pasifik Tenggara
(Komunitas Chili / Eropa). Perselisihan yang berkaitan dengan kegiatan di Wilayah
Dasar Laut Internasional diserahkan ke ruangan Sengketa Dasar Laut Pengadilan,
yang terdiri dari 11 hakim. Setiap pihak yang berselisih tentang ruang yurisdiksi
Sengketa Dasar Laut dapat meminta ruang Sengketa Dasar Laut untuk membentuk
ruangan ad hoc yang terdiri dari tiga anggota ruang Sengketa Dasar Laut. Kecuali
jika para pihak sepakat, yurisdiksi pengadilan wajib dalam kasus-kasus yang
berkaitan dengan pembebasan kapal dan awak secara cepat berdasarkan pasal 292
konvensi.

K. Agenda 21: Program Implementasi Strategis


Program Strategis PBB untuk Agenda 21 secara khusus mengimplementasikan kebijakan
lingkungan sebagai elemen dari Kebijakan Kependudukan.
1. Elemen program Agenda 21

31
Elemen implantasi terprogram terutama berasal dari badan perjanjian yang dilaksanakan
melalui PBB dan jaringan organisasi sekutunya. Deklarasi Stockholm memiliki 7 artikel
dan menyatakan 26 prinsip. Ini pada dasarnya adalah kode etik dan pernyataan filosofis
dari nilai-nilai yang memandu kebijakan lingkungan global. Meskipun tidak menetapkan
aturan apapun, sikap etisnya sangat mirip dengan Undang-Undang Kebijakan Lingkungan
Nasional A.S.
Instrumen kebijakan lingkungan internasional yang mendasar adalah Agenda 21 yang
mengikuti Deklarasi Stockholm. Seluruh susunan perjanjian dan program lingkungan
internasional dihubungkan secara langsung atau tidak langsung dengan Agenda 21.
Program Strategis mencantumkan isi dari apa yang pada dasarnya adalah strategi
implementasi Agenda 21. Hal ini mencakup semua area lingkungan. Hal ini juga
menekankan perhatian utama bagi manusia dalam membingkai program lingkungan dan
menyerukan keterlibatan penuh yang mungkin dari masyarakat yang terkena dampak
dalam keputusan dan tindakan yang membatasi tingkat dampak lingkungan yang
merugikan. Strategi lingkungan ini terkait secara integral dengan kebijakan pembangunan
ekonomi dan sosial PBB. Bahkan, KTT Johannesburg secara bersamaan melakukan PBB
untuk Tujuan Pembangunan Milenium yang membahas masalah kualitas hidup bagi
populasi global.
Seharusnya jelas bahwa kebijakan lingkungan global tidak dipandang sebagai
seperangkat "cerobong asap" yang memiliki domain lingkungan mereka sendiri. Kebijakan
Kependudukan PBB menekankan bahwa program pembangunan manusia harus
mengintegrasikan persyaratan setiap dan semua bidang kebijakan lingkungan karena
sangat penting untuk melindungi populasi global dari bahaya dan menciptakan banyak
peluang untuk kepentingan rakyat.

L. Program yang Menerapkan Strategi Lingkungan Global


Kebijakan lingkungan secara langsung dan tidak langsung dilaksanakan melalui berbagai
organisasi dan program. Satu-satunya cara di mana kebijakan PBB dibuat atau dimodifikasi
adalah melalui perjanjian dan instrumen terkait yang disetujui oleh sejumlah anggota PBB
yang memadai. Majelis Umum PBB memiliki tanggung jawab pengawasan untuk hampir
semua program dan organisasi yang terdaftar. Rincian tentang masing-masing organisasi atau
program dapat diakses dengan mudah dari fitur pencarian situs Web PBB. Berikut
dicantumkan kegiatan-kegiatan yang secara langsung menerapkan kebijakan lingkungan dan
kegiatan yang memiliki faktor lingkungan atau yang memiliki dampak lingkungan :

32
Implementasi Kebijakan Lingkungan PBB19
1. Program lingkungan
a. United Nations Environmental Program (UNEP)/Program Lingkungan Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
b. United Nations Development Program (UNDP)/ Program Pembangunan Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
c. Commission on Sustainable Development/ Komisi Pembangunan Berkelanjutan.
d. United Nations Forum on Forests/ Forum PBB tentang Hutan
e. Committee of Experts on the Transport of Dangerous Goods and on the Globally
Harmonized System of Classification and Labeling of Chemicals/ Komite Ahli tentang
Pengangkutan Barang-Barang Berbahaya dan Sistem Klasifikasi dan Pelabelan Bahan
Kimia yang Harmonis Secara Global
f. International Maritime Organization (IMO)/ Organisasi Maritim Internasional
2. Program yang berhubungan dengan faktor atau dampak lingkungan
a. Umum
1) Commission on Science and Technology for Development/ Komisi Sains dan
Teknologi untuk Pembangunan
b. Komisi Kependudukan dan Pembangunan
1) United Nations Population Fund (UNFP)/ Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-
Bangsa.
2) United Nations Human Settlements Program (UN-HABITAT)/ Program Pemukiman
Manusia PBB
3) Permanent Forum on Indigenous Issues/ Forum Permanen tentang Masalah Pribumi
4) Commission for Social Development/ Komisi untuk Pembangunan Sosial
5) Committee on Economic, Social and Cultural Rights/ Komite Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya
6) International Trade Center (ITC)/ Pusat Perdagangan Internasional
7) Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS)/ Program Gabungan PBB
untuk HIV / AIDS
c. Komisi pengembangan regional
1) Economic Commission for Africa (ECA)/ Komisi Ekonomi untuk Afrika
2) Economic Commission for Europe (ECE)/ Komisi Ekonomi untuk Eropa
3) Economic Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC)/ Komisi
Ekonomi untuk Amerika Latin dan Karibia
19
http://www.un.org/aboutun/chart_en.pdf.
33
4) Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP)/ Komisi
Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik
5) Economic and Social Commission for Western Asia (ESCWA)/ Komisi Ekonomi
dan Sosial untuk Asia Barat
d. Agen khusus
1) United Nations Industrial Development Organization (UNIDO)/ Organisasi
Pengembangan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa
2) United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)/
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB
3) International Maritime Organization (IMO)/ Organisasi Maritim Internasional
4) World Bank Group/ Grup Bank Dunia
5) Food and Agriculture Organization (FAO)/ Organisasi Pangan dan Pertanian
6) International Fund for Agricultural Development (IFAD)/ Dana Internasional untuk
Pembangunan Pertanian
7) World Health Organization/ Organisasi Kesehatan Dunia
8) World Meteorological Organization (WMO)/Organisasi Meteorologi Dunia
9) World Tourism Organization (UNWTO)/Organisasi Pariwisata Dunia
e. Badan hukum internasional PBB lainnya
1) Oceans and Law of the Sea (in force 1994) / Lautan dan Hukum Laut
2) International Law Commission (1949–present)/ Komisi Hukum Internasional
3) International Atomic Energy Agency (IAEA)/ Badan Energi Atom Internasional
4) United Nations Office for Outer Space Affairs/ Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk Luar Angkasa
3. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa
Misi Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) adalah “untuk
memberikan kepemimpinan dan mendorong kemitraan dalam merawat lingkungan dengan
menginspirasi, memberi informasi, dan memungkinkan negara dan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas hidup mereka tanpa mengurangi kualitas generasi mendatang.”
UNEP memiliki enam bidang program prioritas yang berfokus pada apa yang dianggap
PBB sebagai ancaman lingkungan paling menantang pada abad ke-24 :
a. Perubahan iklim.
b. Bencana dan konflik.
c. Pengelolaan ekosistem.
d. Tata kelola lingkungan.
e. Zat berbahaya.
34
f. Efisiensi sumber daya.
1) Perubahan iklim: Protokol Kyoto dan Uni Eropa
Protokol Kyoto mulai berlaku pada tahun 2005. Protokol Kyoto menetapkan
sistem cap-and-trade untuk enam gas rumah kaca utama. Kuota untuk emisi disetujui
oleh masing-masing negara peserta. Tujuan dari perjanjian asli adalah untuk
mengurangi emisi keseluruhan sekitar 5% dari tingkat tahun 1990 pada akhir 2012.
Di bawah perjanjian itu, negara-negara yang memancarkan kurang dari kuota mereka
akan diizinkan untuk menjual kredit emisi ke negara lain yang melebihi kuota
mereka. Negara maju juga dapat mensponsori proyek karbon (mis., Pemeliharaan
hutan alam) yang memberikan pengurangan emisi gas rumah kaca, sebagai cara
menghasilkan kredit yang dapat diperdagangkan.
Panel antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) memproyeksikan bahwa
biaya kepatuhan keuangan melalui perdagangan akan "terbatas" antara 0,1% dan
1,1% dari produk domestik bruto di antara negara-negara perdagangan.25 Menurut
laporan Stern, biaya untuk tidak melakukan apa-apa diperkirakan menjadi 5-20 kali
lebih tinggi, tetapi angka-angka ini kontroversial dan banyak diperdebatkan.
Semua negara Uni Eropa telah meratifikasi Protokol Kyoto. Skema Perdagangan
Emisi UE (EU ETS) adalah sistem perdagangan emisi gas rumah kaca multinasional
terbesar di dunia; itu dibuat bersama dengan Protokol Kyoto. Program ini membatasi
emisi karbon dioksida dari instalasi besar, seperti pembangkit listrik dan pabrik padat
karbon. Ini mengatur hampir setengah dari emisi karbon dioksida Uni Eropa.27 Fase
I dari sistem ini memungkinkan para peserta untuk berdagang di antara mereka
sendiri dan dalam kredit yang divalidasi dari negara-negara berkembang. Fase 1
secara luas dikritik karena menyediakan kelebihan pasokan tunjangan dan untuk
metode distribusi pemberian tunjangan. Perdagangan karbon dioksida saat ini
merupakan bagian terbesar dari perdagangan emisi. Ini memberikan satu cara di
mana negara dapat memenuhi kewajiban mereka berdasarkan Protokol Kyoto. Dalam
beberapa tahun terakhir, perdagangan karbon terus meningkat. Fase II telah berusaha
untuk mengatasi beberapa kritik dari Fase I.
4. Lingkup tambahan Program Lingkungan PBB
a. Penilaian lingkungan
PBB menjelaskan program asesmennya sebagai berikut:
Pendekatan strategis UNEP adalah untuk melakukan dan mendukung penilaian
lingkungan yang tepat waktu, partisipatif, dan dapat dipercaya secara ilmiah yang sah
dan relevan dengan proses pengambilan keputusan, berdasarkan pada keahlian,
35
pengetahuan, data, dan indikator ilmiah terbaik yang tersedia. Penilaian lingkungan
adalah kendaraan utama untuk mempromosikan interaksi antara proses sains dan
berbagai tahapan siklus kebijakan dan pengambilan keputusan. Mereka mendukung
pengambilan keputusan oleh Dewan Pemerintahan UNEP, perjanjian lingkungan
multilateral, forum lingkungan menteri regional, sektor swasta, dan otoritas nasional
dan lokal. PBB memberikan indeks untuk penilaian lingkungan yang diselenggarakan
melalui topik-topik berikut :
1) Proses global environmental outlook (GEO).
2) Ekosistem.
3) Keanekaragaman hayati.
4) Penilaian Internasional Sains dan Teknologi Pertanian.

M. Kasus-Kasus Kebijakan Lingkungan


1. Mencermati Amdal PLTU Batang
Rencana pembangunan PLTU Batang yang digulirkan sekitar dua tahun yang lalu,
menuai pro dan kontra. Yang pro beragymen bahwa proyek itu diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan energi, membuka lapangan kerja dan usaha, memacu pertumbuhan
ekonomi. Disisi lain, yang kontra bersikeras bahwa kehadiran PLTU membawa serta
dampak pencemaran udara karena fly ash (buangan debu ke udara), kerusakan tanah
karena bottom ash, kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena sebaran panas, kehilangan
mata pencaharian karena pembebasan lahan. Kedua kubu yang berseteru itu berharap hasil
studi AMDAL memberikan jawaban atas mimpi dan kecemasan mereka. Setelah AMDAL
disahkan tanggal 21 Agustus 2013, ternyata masih banyak masyarakat dan pemerhati
lingkungan yang mengajukan protes dan menolak kehadiran proyek. Adakah yang salah
dengan AMDALnya?.
a. Kelayakan di Hilir
AMDAL merupakan studi mengenai dampak dari suatu kegiatan terhadap
lingkungan hidup. Lingkungan hidup mencakup aspek fisik kimia seperti kondisi air,
tanahm, udara, lahan, aspek biologi meliputi flora dan fauna, serta aspek sosial ekonomi
dan budaya diantaranya mata pencaharian, tingkat pendapatan, pola hubungan sosial,
kesehatan. Persepsi masyarakat.
Hasil studi AMDAL mencakup tiga dokumen yakni Kerangka Acuan (ruang lingkup
studi) ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan)) atau pernyataan tentang dampak, dan
Rencana Kelola Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkunga atau RKL/RPL.
Sebagai sebuah studi kelayakan ekonomi dan teknologi. AMDAL ibaratnya penjaga
36
gawang yang harus bekrrja keras mengamankan agar lingkungan tidak kebobolan. Yang
tidak menguntungkan juga AMDAL dilakukan setelah lokasi ditetapkan dan spesifikasi
proyek (detail engineering) telah dinyatakan layak.
Secara teoritis, AMDAL masih bias menuyatakan bahwa proyek tidak layak karena
dampak negatif lebih besar dari pada dampak positif dan tidak ada teknologi yang bias
didayagunakan untuk mengelola dampak negative tersebut. Tetapi sangat jarang,
bahkan bias dihitung dengan jari studi AMDAL, yang menolak atau menyatakan proyek
tidak layak. Sebagian besar AMDAL menyatakan bahwa proyek layak dengan
pengelolaan.
Artinya adalah dampak yang diprakirakan terjadi bias dikelola dengan pendekatan
teknologi, kelembagaan maupun social. Dalam kasus AMDAL PLTU Batang, para
pakar yang mereview dokumen AMDAL menyatakan bahwa proyek tersebut layak
pemrakarsa melakukan pengelolaan sebagimana tertuang dalam dokumen RKL/RPL.
Seakan ingin meminta ketegasan komitmen dari pemrakarsa, pernyataan itu ditambah
dengan kalimat kalau pemrakarsa mau melakukan pengelolaan. Rupanya hasil studi
AMDAL baru memyaskan kelompok yang pro, sedangkan yang kontra mempersoalkan
pembebasan lahan dan ganti rugi.
b. Pendekatan Community Development
Idealnya, ketika AMDAL telah disahkan, tidak ada lagi protes dan gejolak social
karena aspek ini telah menjadi bagian dari komponen social yang diamati sejak
penyusunan Kerangka Acuan. Dalam penyusunan AMDAL, bidang sosial terdapat dua
paradigma yang menentukan bagaimana proses studi AMDAL dilakukan yakni
paradigm teknis dan community development (CD) atau pembangunan
masyarakat.Paradigma teknis menekankan pada metode ilmiah sebagai cara yang
obyektif untuk menyajikan informasi kepada para pengambil keputusan. Disisi lain,
paradigm community development berargumen bahwa tuntutan publik bukan pada
pengambilan keputusan yang rasional tetapi pada pengambilan keputusan yang
transparan. Pendekatan teknis menekankan pada hasil, sedang pendekatan CD pada
proses.
Dalam pandangan konteks proyek PLTU Batang, dimana sejak awal telah terjadi
konflik, cara-cara business as usual seharusnya ditanggalkan san, pendekatan
community development menjadi pilihan. Pemrakarsa dan penyusun studi AMDAL
bukan hanya mengumumkan tentang proyek tersebut kepada public dan melaksanakan
konsultasi public pada tahapan penyusunan kerangka acuan tetapi juga pada saat draft
ANDAL, dan RKL/RPL tersebut telah selesai disusun. Hal ini untuk meyakinkan bahwa
37
pandangan, pendapat, kecemasan dari masyarakat diakomodasi dalam kedua dokumen
tersebut.
Disamping itu masyrakat dan phak terkait diajak serta berdiskusi tentang dampak
lingkungan yang kemungkinan terjadi serta bagaimana dampak itu dikelola. Penyusun
studi seharusnya pro aktif memfasilitasi dialog di Balai Kelurahanalai RW, forum temu
warga ditingkat RT. Masyarakat akan merasa nyaman mengemukakan pandangannya di
sekitar tempat dimana mereka tinggal dan keikutsertaan mereka bukan hanya memenuhi
ketentuan formal tetapi memberi kontribusi substansial. Ketika kemudian AMDAL
telah disahkan, masyarakatpun berhak mendapatkan dokumen dimaksud untuk turut
memantau apakah perintah pengelolaan untuk menanggulangi dampak telah
dilaksanakan. Masih adanya pihak-pihak yang menuntut ganti rugi, takut kehilangan
mata pencaharian seharusnya telah dicakup pada tahapan studi AMDAL. Demikian juga
gagasan yang mencuat saat diskusi dengan Gubernur dengan berbagai pihak pada 5
September lalu seperti menyediakan lahan pengganti, memprioritaskan masyarakat local
dan perekrutan tenaga kerja, memberi kompensasi kepada petani dan buruh tani serta
membentuk forum komunikasi seharusnya telah menjadi bagian dari Rencana
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan. ,Memang harus diakui bahwa keputusan
tentang sebuah proyek tidak akan mampu memuaskan psemua pihak. Namun demikian
proyek PLTU ini tidak boleh menegasikan mereka yang kemungkinan terkena dampak
buruk. Belajar dari Kedungombo dan proyek-proyek besar lain di negeri ini, penderitaan
mereka tidak akan terkompensasi oleh dampak positif yang dinikmati oleh pihak-pihak
dan kelompok masyarakat lain. Jika kejadian ini terulang maka prinsip keadilan telah
diabaikan.20
2. Konflik Sosial Pabrik Semen
Suka tidak suka, rencana pendirian pabrik semen di wilayah Sukolilo, Pati memicu
timbulnya konflik, bukan hanya antara kelompok masyarakat dengan pemrakarsa proyek
dan pemerintah tetapi diantara kelompok-kelompok masyarakat itu sendiri. Sebagaimana
diberitakan Harian Suara Merdeka 31 Oktober 2008, Sedulur Sikep bersama Aliansi
Masyarakat Jawa Tengah Tolak Pabrik Semen gagal menemu Gubernur Jawa Tengah
untuk menyampaikan aspirasinya. Dalam orasinya, mereka tetap menolak kehadiran pabrik
semen dan membnatah pernyataan Gubernur Jawa Tengah bahwa Sedulur Sikep sudah
setuju dengan kehadiran pabrik. Sementara itu, Suara Merdeka tanggal 3 November
memberitakan bahwa rombongan Sedulur Sikep yang dipimpin mbah Badi menyatakan

20
Sudharto P. Hadi, Bunga Rampai Manajemen Lingkungan,(Yogyakarta: Thafa Media, 2014), Cet 1, hlm 3-
6
38
tidak menolak kehadiran pabrik semen sepanjang pabrik tersebut tidak bersinggungan
dengan lahan pertanian. Rombongan tersebut bahkan akan melakukan kunjungan ke PT
Semen Gresik di Tuban. Konflik antar masyarakat juga terjadi antara mereka yang telah
terlanjur menjual tanahnya dengan para perantara tanah dan pemilik tanah baru yang akan
meraup keuntungan dengan pendirian pabrik semen.
a. Ngugemi Tetanen
Memang bukan sekali ini saja Sedulur Sikep yang dipelopori Gunritno menolak
kehadiran pabrik semen di sekitar daerah mereka. Ketika PT Semen Gresik (PT SG),
sebagai pemrakarsa mensosialisasikan rencana pendirian pabriknya dan mengatakan
bahwa tujuan pabrik adalah ingin mensejahterakan masyarakat sekitar dengan
memberikan kesempatan kerja bagi yang uda-muda. Bagi yang sudah tua dan tidak
layak kerja akan diberikan ternak sapi dan kambing. Gunritno, dengan lugas balik
bertanya: apakah kami ini tidak sejahtera? Kami merasa cukup dengan bertani dan tidak
pernah meminta bantuan kepada siapaun. Kalau ada bantuan dari Pemerintah, kami
meminta untuk diberikan kepada kelompok masyarakat lain yabg lebih membutuhkan.
Bertani rupanya menjadi kata kunci penolakan terhadap pabrik semen. Dalam
pandagan Sedulur Sikep, tanah adalah jiwa atau spirit mereka. Karena itu harus
dirungkebi dan diugemi karena sesuai dengan keterampilan mereka bercocok tanam.
Terlebih dari itu, dalam falsafah mereka, bumi memberikan kehidupan, karena itu harus
terus dipelihara dan dirawat. Sampai disini, persepsi antar kelompok Gunritno dan mbah
Badi masih selaras. Namun dlam pandangan Guntitno, dampak social dan lingkungan
tidak hanya terjadi kalau tanahnya dibebaskan, tetapi kegiatan pabrik juga
dikhawatirkan akan berpengaruh buruk terhadap lahan pertanian mereka.
Saking eratnya hubungan mereka dengan tanah, pesan nenek moyang mereka yang
masih diegumiadalah bahwa mereka tidak diperbolehkan dol tinuku atau berdagang.
Hasil bertani untuk mencukupi kebutuhan sendiri, kalau ada sisa baru boleh dijual.
Tetapi jual beli dalam arti berdagang tidak diperkenankan. Konsep memenuhi
kebutuhan sendiri menunjukkan bahwa mereka telag menerapkan ketahanan pangan.
Konsep ini seirama dengan tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Badui dan
masyarakat Maluku dan masyarakat Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Kelompok-kelompok masyarakat ini tidak pernah mengalami krisis pangan sekalipun
dalam kondisi krisis keuangana global seperti sekarang ini. Mereka adalah protet
masyarakat mandiri (self reliance community) dalam arti yang sebenarnya.
b. Pengaruh pada Lingkungan

39
Sejauh ini menurut deskripsi prouek yang ada, tidak ada tanah atau sawah milik
sedulur sikep yang terkena pembebasan. Namun kegiatan pabrik semen dikhawatirkan
akan mempengaruhi pasokan air untuk sawah milik sedulur sikep atau sawah dimana
mereka menjadi pekerja. Danpak yang kemungkinan paling crucial adalah kegiatan di
lokasi penambanagn yang merupakan bagian dari pegunungan Kendeng Utara. Secara
administrative penambangan dan lokasi pabrik terletak di desa Kedungmulyo,
Gadudero, Baturejo, Sukolilo, Sumbersoko, Tompegunung dan Gendongan. Dilihat
sepintas, calon lokasi penambangan hanyalah pegunungan kapur. Namun pegunungan
tersebut merupakan kawasan karst yang menyimpan mata iar yang mengalir serta
memberi kehidupan masyarakat sekitar baik sebagai air baku maupun air irigasi.
Menyurut catatan sedulur sikep sendiri terdapat sekitar 72 mata air. PT SG menyatakan
bahwa kegiatan pabrik semen tidak akan merusak mata iar, karena akan dipilih ruas
yang tidak mengandung mata air. Dalam istilah geologi, lokasinya akan dipilih di
daerah karast yang belum ditetapkan. Di samping itu, yang perlu dicermati apakah
pengeprasan perbukitan karst yang tidak menimbulkan pengaruh pada wilayah tersebut
sebagai sebuah ekosistem.
c. Konflik Horisontal
Kondisi sosiologis masyarakat sekitar calon lokasi proyek dalam menunggu
kepastian pendirian pabrik semen ibarat api dalam sekam. Sekitar 90% dari kurang lebih
400 ha lahan milik penduduk yang nerupakan calon lahan penambangan telah beralih
pemilik. Pemilik baru, bukanlah PT SG, tetapi pemodal dari luar yang menanamkan
orang-orang di sekitar calon lokasi karena mendengar adanya pendirian pabrik semen.
Menurut penuturan perangkat di kecamatan Sukolilo, sertifikat tanah memang masih
atas nama penduduk local tetapi surat berharga itu telah berada di tangan pembeli. Tidak
mengherankan jika dedas-desus dan intrik-intrik antar kelompok masyarakat terus
menyebar. Swkitar bulan Mei, banyak spanduk-spanduk terpampang diberbagai sudut
desa calon lokasi pabrik dan jalan-jalan utama yang bernada mendukung kehadiran
pabrik semen. Bahkan ada spanduk di jalan utama yang berbunyi: “ Kami bosan
merantau dan akan kembali membangun Sukolilo bersama pabrik semen”. Bisa ditebak
bahwa pemasangan spanduk adalah mereka yang merasa diuntungkan jikalau pabrik
semen didirikan. Dibalik itu tidak berarti tidak ada kelompok masyarakat yang tidak
setuju. Pemilik tanah tang telah melepaskan haknya tentu merasa dirugikan jika pabrik
didirikan karena mereka telah terlanjur menjualnya denga harga yang murah.Disamping
itu, banyak juga pemilik sawah yang engan melepaskan tanahnya, karena begitu tanah
dijual dan memperoleh uang mereka tidak memiliki gantungan hidup lagi. Membeli
40
sawah di tempat lain tidak semudah yang dibayangkan. Di Sukolilo, kedua kelompok
masyarakat ini seolah tenggelam oleh gemuruh mereka yang setuju melalui spanduk dan
pernyataan para pejabat mulai dari tingkat desa, kecamtaan sampai kabupaten. Peta
konflik ini selayaknya dicermati dengan baik oleh pemrakarsa proyek maupun
pengambil keputusan.
Memang tahapan konflik belum sampai menjurus pada adu kekuatan fisik. Tetapi
perbedaan nilai dan kepentingan antar kelompok sewaktu-waktu ajan bias meledak jika
diantara kelompok tersebut diperlakukan tidak adil atau bahkan ada yang sengaja
mempertentangkan. Dalam prinsip pengambilan keputusan yang mengedepankan etika
keberagaman (ethical pluralism), sekecil apapun perbedaan harus diakomodasi. Prinsip
kesederajatan, keadilan dan demokratis hendaknya dijunjung tinggi dalam memutuskan
sebuah pabrik yang akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Pengambilan keputusan yang hanya mendasarkan pada prinsip lebih banyak orang
yang menerima manfaat (the greatest possible happiness for the greatest number) akan
menimbulkan implikasi dua hal. Pertama, prosesnya akan menghasilkan kelompok-
kelompok yang tidak setuju sehingga mengingkari fitrah demokrasi. Kedua, akan
menimbulkan ketidakadilan, karena dampak buruk yang diderita sebagian masyarakat
tidak akan terkompensasi oleh dampak positif yang kemungkinan diraup sebagian besar
masyarakat.21
3. Dilema Penataan Kawasan Borobudur
Pemerintah berniat untuk menata kawasan sekaligus bertujuan meningkatkan
pendapatan pedagang. Namun demikian, perubahan paradigm perencanaan dari berbau
teknokratik yang menghasilkan PSJJ (Pasar Seni Jagad Jawa) ke community development
yang melahirkan shopping street rupanya tidak berjalan mulus, bahkan resistensi mulai
muncul dari beberapa pihak yang berkepentingan. Dimanakah letak persoalannya?.
Borobudur kembali menjadi berita keitika pemerintah provinsi Jawa Tengah melalui
Tim Mediasi yang ditunjuk mengajukan gagasan dengan apa yang disebut sebagai
shopping street. Proyek ini sebenarnya sebagai respon atas ditolaknya Pasar Seni Jagad
Jawa (PSJJ), sekitar setahun yang lalu.
Sebagaimana diketahui, setelah muncul berbagai penolakan atas PSJJ, Gubernur
kemudian membentuk TIM Mediasi yang meliputi bidang sosial, manajemen dan teknik
bertugas menghimpun masukan dari berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders)
tentang bagaimana sebaiknya kesemrawutan kawasan wisata Borobudur ditata. Dari aspek

21
Ibid., 46-50
41
proses, menurut Tim Mediasi, shopping street merupakan cerminan keinginan berbagai
pihak (pelaku wisata, pedagang kios, pedagang asongan, tokoh masyarakat).
Shopping street akan menjadi tempat para pedagang yang sekarang ini tersebar di
daerah parkir, relokasi dan tempat-tempat lalu di sekitar kawasan wisata Borobudur.
Shoping steer akan berbentuk kios-kios yang berderet di sepanjang jalan Medang
Kamulan yang mencapai 1,4 km. Di antara kios-kios, akan dibangun ruang untuk
pertunjukkan kesenian khas Borobudur sebagai bentuk daya tarik. Pengunjung akan
diarahkan untuk parker di satu titik (kemungkinan di sekitar lapamgan Kujon kemudian
berjalan atau menaiki dokar menuju candi Borobudur.
Dengan pengaturan pintu masuk yang demikian, diharapkan para pedagang memiliki
akses yang sama atas pengunjung. Para pengunjung diharapkan tidak merasa lelah dan
bosan karena bias melihat-lihat dan berbelanja souvenir, mampir di warung serta nonton
pertunjukkan kesenian lokal.
Konsep ini tampaknya memang belum final mengingat masih menunggu kesepakatan
pihak PT Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB) sebagai pengelola zona 2 dan
Direktorat Purbakala serta UNESCO sebagai pengelola zona 1 atau zona inti candi.
Persetujuan TWCB diperlukan karena lahan yang akan dipergunakan sebagai shopping
street akan mencaplok lahan zona 2 dengan cara mengundurkan pagar zona 2 dengan
dengan cara mengundurkan pagar zona sejauh 30 m. Sedangkan Direktorat Purbakala dan
UNESCO tentu saja concerns karena semakin sempitnya zona 2 berarti kemungkinan
tekanan terhadap kelestarian candi akan meningkat. Sementara itu, dikalangan para
pedagang sendiri sebagaimana dibeberkan oleh dua media massa besar di Jawa Tengah
baru-baru ini, sebagian masih ragu akan konsep shopping street, apakah membantu
mengangkat nasib mereka menjadi lebih baik atau sebaliknya.
a. Keluar dari Kesemrawutan
Bahwa salah satu masalah yang krusial di Kawasan Wisata Candi Borobudur adalah
suasana yang semrawut agaknya disepakati oleh semua pihak. Para pengunjung merasa
tidak nyaman ketika baru saja memarkir kendaraannya telah ditawari jasa mencuci
mobil dengan nada memaksa. Berjalan menuju lokasi telah dikerubuti pedagang
asongan. Sepanjang perjalanan menuju ke candi dan sebaliknya juga demikian halnya.
Suasana menjadi tidak mengenakkan. Di mata pedagang sendiri, dengan jumlah mereka
yang semakin banyak, posisi tawarannya menjadi lemah. Sebuah souvenir yang
ditawarkan awal seharga Rp 15.000,- pada akhirnya bias dilepas dengan harga Rp.
5.000,-.

42
Pemerintah berniat untuk menata kawasan sekaligus bertujuan meningkatkan
pendapatan pedagang. Namun demikian, perubahan paradigm perencanaan dari yang
berbau teknokratik yang menghasilkan PSJJ ke community development yang
melahirkan shopping street rupanya tidak berjalan mulus, bahkan resistensi mulai
muncul dari beberapa pihak yang berkepentingan.
b. Dimanakah Letak Persoalannya?
Banyak pihak yang berkepentingan terhadap Candi Borobudur dengan kawasan
wisatanya. Dari zona 1 dimana Candi Borobudur terletak adalah Direktorat Purbakala
yang bertanggungjawab terhadap keutuhan dan kelestarian candid UNESCO yang
memiliki otoritas atas world culture heritage. Zona 2 adalah di bawah kewenangan PT
Taman Wisata Candi Borobudur (PT TWCB). Zona 2 sebagai zona penyangga
dimaksudkan untuk menunjang kelestarian candi. Zona 3 adalah zona yang di bawah
kewenangan Pemerintah Kabupaten Magelang dan di sana tersebar pedagang, jasa
transportasi yang menggantungkan hidupnya dari kehadiran pengunjung candi.
Ketiga pengelola zona ini mendapatkan bagian dari pendapatan karcis masuk
pengunjung. Namun demikian porsi tersebar diraup oleh PT TWCB.
Dengan beragamnya stakeholders sebagaimana disebutkan di atas, setiap rencana
menata atau menambah daya tarik Borobudur selalu memunculkan polemic yang
mencerminkan tarik menarik berbagai kepentingan. Secara historis, keberadaan Taman
Wisata Borobudur itu sendiri masih meninggalkan luka bagi penduduk sekitar yang
sampai sekarang masih membekas.
Di mata penduduk sekitar, semakin dekat dengan candi Borobudur semakin
membawa berkah karena berarti memiliki akses yang lebih besar pada pengunjung.
Tidaklah mengherankan jika proses pembebasan lahan untuk keperluan Taman Wisata
Pada sekitar tahun 1983-1984 menuai banyak protes. Keberatan mereka bukan hanya
karena harus pindah ke tempat lain, yang berarti menjauhkan dari pengunjung candi,
tetapi juga besarnya ganti rugi yang dirasa tidak memadai. Kekecewaan semakin
bertambah ketika mereka mengetahui bahwa di dalam Taman Wisata didirikan hotel
yang tidak jelas fungsinya sebagai penunjang kelestarian candi. Di mata penduduk,
hotel di taman wisata menjadi pesaing hotel-hotel lokal. Di kawasan juga diopersikan
kereta mini yang tentu saja menimbulkan kebisingan dan getaran terhadap candi.
Semenjak peristiwa pembangunan Taman Wisata Borobudur masyarakat menjadi
trauma dan selalu bersikap kritis pada setiap proyek yang menyangkut Borobudur.
Ditambah lagi pada tahap operasi Taman Wisata, hubungan anatar penduduk sekitar dan
dengan Pengelola PT Taman kurang begitu harmonis,. Sebagai penghuni yang telah
43
turun temurun, penduduk merasa bahwa setiap nilai tamabah dari Borobudur,
seharusnya mereka bias menikmati. Di sisi lain, dengan otoritas yang dimiliki mealalui
Keppres, PT Taman merasa memiliki kewenangan mengatur kawasan yang kadang kala
tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.
c. Keterwakilan
Tim Mediasi mengklaim menggunakan teknik PRA (Participatory Rural Appraisal).
Teknik ini memang bukan seperti teknik penelitian konvensional seperti survey yang
mengutamakan jumlah responden dan bukan pula teknik grounded research yang
menjunjung tinggi prinsip kualitas data tetapi dengan konsekuensi membutuhkan waktu
yang lama. PRA memang cocok untuk perencanaan partisipatif di mana para peneliti
bersama-sama dengan berbagai stakeholders merumuskan masalah, menganalisis
kondisi, menjajagi berbagai alternative strategi dan memilih strategi yang paling
mungkin, PRA menggunakan teknik-teknik non-konvensional seperti diskusi kelompok
terfokus, wawancara informal, pengamatan fisik. Kendatipun lebih praktis, tetapi kaidah
keterwakilan dari stakeholders tetap diperlukan. Jika melihat jumlah pedagang yang
demikian banyak, maka dari kelompok pedagang sendiri memerlukan kecermatan dalam
memilih sumber data,
Menurut catatan, jumlah pedagang asongan sebanyak 749 orang. Sedangkan di
wilayah parkir yang menyebut sebagai paguyuban Gotong Royong sebanyak 850 orang.
Memilih responden dari demikian banyak pedagang bukanlah pekerjaan mudah. Karena
itu, tidaklah mengherankan jika diantara pedagang mengatakan merasa tidak
mengetahui tentang rencana pembangunan shopping street. Belum lagi yang lain,
seperti tokoh masyarakat dan jasa wisata. Jika menilik dari pendapat pengelola taman
dan pengelola di zona 1, agaknya mereka juga belum termasuk yang di PRA oleh Tim
Mediasi.
d. Terlibat diikutsertakan
Bahwa UNESCO mengancam akan menghapus Candi Borobudur dari daftar
warisan budaya dunia (world culture heritage) bukanlah baru sekali ini saja. Ketika
pemerintah Pusat (melalui Departemen Porpostel waktu itu) merencanakan membangun
pertunjukkan Sinar dan suara atau Multi Media Show (MMS) Pada sekitar tahun 1996
juga melayangkan ancaman serupa. UNESCO bersama dengan direktorat kepurbakalaan
waktu itu sangat khawatir jika MMS dengan karakteristik kegiatannya akan
menyebabkan getaran pada candi dan mempercepat pelapukan batuan candi. Kalau
kemudian proyek MMS akhirnya batal, bukan hanya karena penolakan UNESCO tetapi
juga akarena datangnya krisis ekonomi pada tahun 1998.
44
Sementara itu, Direktorat Purbakala mengkhawatirkan kalau calon lokasi shopping
steer merupakan situs purbaala yang harus dilestarikan. Sedangkan PT TWCB tentu saja
merasa terusik kewenangannya dengan rencana pengunduran pagar zona 2 sejauh 30
meter. Dalam kondisi seperti sekarang ini, tampaknya jalan terjal dan berliku masih
harus dilalui untuk menata kawasan Borobudur. Berbagai stakeholders memang harus
diajak berbicara sejak awal dan secara serentak supaya merasa tidak ditinggal.
Mengakomodasi berbagai kepentingan yang kadang kala saling berbenturan
memerlukan kesabaran, ketelatenan dan juga komitmen, bukan hanya dari Tim Mediasi
tetapi juga dari pemrakarsa proyek. Perubahan paradigm perencanaan memang bukan
hanya sekedar memindah label tetapi lebih dari itu mempersyaratkan perubahan
perilaku dalam melakukan pendekatan kepada para stakeholders. Hal yang demikian
akan bisa dicapai apabila birokrasi berubah dari pangreh menjadi pamong. Sayang,
kalau keinginan mulai untuk menata kawasan akhirnya gagal karena terbentur
persoalan-persoalan yang bersifat prosedural.22

N. Mengapa Banyak Proyek Tanpa Amdal?


Kompas, 21 April 2004 memberitahukan banyaknya proyek di DIY yang diprakarsai
pemerintah, tetapi tidak dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan. Di antara
proyek-proyek tersebut adalah pembangunan stadion di Sleman dan Bantul, Lapangan golf di
Kulon Progo, Plaza Ambarrukmo, dan RSU di Sleman. Bahwa banyak proyek-proyek tanpa
amdal bukanlah merupakan berita baru, tetapi ketika hal itu dilakukan pemerintahmenjadi
manarik untuk dikaji.
Melalui analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), sebuah rencana usaha atau
kegiatan bisa dibatalkan kalau memang tidak layak lingkungan atau jika dinyatakan layak
perlu disertai dengan pengelolaan lingkungan. Di Indonesia amadal mulai diadopsi dengan
Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 1982 tentang Pokok-pokok pengelolaan Lingkungan
Hidup dan dengan ketentuan pelaksanaan yang tertuang dalam Peraturan pemerintah (PP) no
29 tahun 1986.
Sejak amdal diberlakukan tahun 1986, implementasinya memang tidak begitu
menggembirakan. Ketika terjadi revisi PP No. 29 Tahun 1986 menjadi PP No. 51 Tahun 1993
karena tuntutan deregulasi ditemukan bahwa di Departemen Perindustrian saja, terdapat lebih
dari 50 persen proyek yang belum dilengkapi dengan Amdal, Di Semarang menurut temuan
Bank Dunia (1997), terdapat 61 persen industri do nothing atau tidak melakukan apa-apa
dalam mencegah terjadinya pencemaran. Hal ini berarti bahwa industri dimaksud tidak
22
Ibid, 51-56
45
melakukan pengelolaan lingkungan sebagai tindak lanjut dari penyusunan amdal. Sebuah
penelitian yang dilakukan Madi dan kawan-kawan (1995) atas beberapa proyek di Jawa
Tengah yang telah dilengkapi dengan amdal menunjukkan dua hal. Pertama, dokumen amdal
yang disusun oleh pemrakarsa provek banya diperlakukan sebagai kelengkapan administrasi,
Kedua, upaya pengelolaan yang disarankan oleh penyusun dokumen tidak sepenuhnya
dilaksanakan oleh pemrakarsa proyek. Pada awal diberlakukannya UU no: 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah terjadi perebutan kewenangan dalam penilaian dokumen amdal.
Pasal 11, UU No.22 Tahun 1999 menetapkan bahwa lingkungan hidup jadi kewenangan wajib
pemerintah kota dan kabupaten. PP No.25 Tahun 2000 sebagai aturan pelaksanaan dari UU
Pemerintah Daerah tersebut mengamanatkan bahwa kewenangan pemerintah provinsi adalah
untuk lintas kota/kabupaten. Hal ini berarti bahwa persoalan lingkungan ditingkat
kota/kabupaten menjadi kewenangan pemerintah kota/kabupaten (pemkot/pemkab) yang
bersangkutan. Merasa mendapat angin, pemkot/pemkab menuntut agarmereka bisa
membentuk Komisi Penilai AMDAL di tingkat kota dan kabupaten. Disisi lain, PP No.27
Tahun 1999 tentang amdal menetapkan bahwa hanya ada dua komisi penilai amdal, yakni di
tingkat pusat yang dikoordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Komisi Penilai Provinsi
dibawah naungan Badan Pengedalian Dampak Lingkungan Daerah.
Atas tuntutan pemkot/pemkab, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada awalnya
menolak dengan alasan masih terbatasnya kemampuan pemkot/pemkab, baik dalam arti SDM
mapun laboratorium. Terlebih lagi, menurut para petinggi di KLH tidak semua kota dan
kabupaten yang jumlahnya sekirta 412 memliki proyek dengan skala amdal. Sebagian besar
proyek-proyek mereka cukup dilengkapi dengan upaya kelola dan pemantauan lingkungan.
Kalau di tingkat kota kota/kabupaten dibentuk Komisi Penilai AMDAL, dikhawatirkan
mereka cenderung akan dengan mudah melolosk rencana usaha dana atau kegiatan yang
diprakarsainya sendiri. Kendati resistensi cukup tinggi, tetapi karena demikian kus desakan
pemkot/pemkab dengan dalih yang menohok "Pemerintah Pusat setengah hati dalam
otonomi" komisi penilai di tingkat kota/kabupaten dimungkinkan untuk dibentuk dengan
syarat. syarat sebagaimana ditetapkan dalam Kepmen LH no: 41 tahun 2000. Syarat-syarat
dimaksud di antaranya tersedianya sumber daya manusia,adanya organisasi lingkungan hidup,
adanya pakar lingkungan, dan adanya akses terhadap laboratorium. Kenapa pemkot.pemkab
tidak memedulikan kelayakan lingkungan? Tak lain karena orientasi mereka lebih pada aspek
ekonomi atau pertumbuhan. Amdal dipandang sebagai beban karena harus menambah biaya
investasi. Kriteria keberhasilan Walikota/Bupati semata-mata diukur dari pencapaian PAD
(Pendapatan Asli Daerah) sebagaiman ditunjukkan oleh LPJ (laporan pertanggungan jawab)
mereka. Tidakada kriteria keberhasilan yang diukur darisisi lingkungan, misalnya makin
46
berkurangnya kerusakan dan pencermaran lingkungan, karena prestasi itu memang tidak
menghasilkan keuntungan finansial. Perlakuan pemkot/pemkab yang demikian ini tidak
berbeda dengan pemerintahan Orde Baru yang sentralistis. Sekarang ini bahkan lebih berani
dan terang-terangan melanggar persyaratan amdal. Sungguh malang benar nasib lingkungan
kita. Keluar dari mulut haimau, masuk kemulut buaya.23

O. Kontradiksi Kebijakan Lingkungan Hidup WALHI Aceh; Masa Konflik

dan Pasca Damai


Direktur WALHI Aceh  paling tidak publik masih ingat bahwa sudah tiga masa
pergantian orang nomor satu di Aceh. periode Abdullah Puteh, Irwandi Yusuf, dan Dr.
Zaini, tanpa membahas masa Pjs Gubernur maupun Gubernur sebelum Abdullah Puteh, di
masa Abdullah Puteh, keberhasilan yang bisa dilihat publik adalah mega proyek yang
dikenal Ladia Galaska, dimana proyek ini tidak sesuai dengan hukum lingkungan hidup
sehingga ditentang WALHI Aceh. Gugatan WALHI Aceh saat itu menguras banyak
energi bagi SKPA menjawab tuntutan hukum di pengadilan, sekalipun WALHI Aceh
kalah dalam gugatan ini, bukan berarti kita menerima putusan pengadilan begitu saja.
Kerjaan WALHI Aceh di masa konflik tidaklah mudah untuk memenangkan sebuah mega
proyek yang diusung Abdullah Puteh kala itu. Di masa Irwandi Yusuf, publik tentu dekat
dengan konsep moratorium logging, dan meningkatnya IUP sektor pertambangan yang
bergerak di Aceh serta terbitnya berbagai HGU di Aceh. Terlepas dari berbagai masalah
yang sangat besar dikerjakan pada masa Irwandi, misalkan menyelesaikan berbagai
agenda rehab-rekon dan isu perdamaian Aceh. Dibawah kontrol berbagai lembaga donor
dan intervensi berbagai negara atas nama rehab-rekon dan perdamaian tentu memberikan
peluang bagi periode Irwandi Yusuf memimpin Aceh mendapatkan pendanan yang cukup
besar kala itu.
Akan tetapi republik tidak boleh lupa akan kasus yang muncul ketika Izin
perluasan perkebunan kelapa sawit  PT Kalista Alam dan tukar guling kawasan hutan
Aceh selatan dengan luas 11 ribu hektar juga tidak luput dari kekurangan sang pemimpin
dalam konteks lemahnya pengelolaan sumberdaya alam hutan Aceh. Lalu pada masa
Dr.Zaini dikeluarkan kebijakan moratorium pertambangan, dan sejumlah kebijakan yang
kontroversi; misalkan persoalan RTRW Aceh yang disahkan pada akhir tahun 2013 lalu

23
Sudharto P. Hadi, Bunga Rampai Manajemen Lingkungan, (Yogyakarta: Thafa Media, 2014), Cet 1, hlm 62-
64
47
membuat Aceh gaduh karena Judicial Review yang dilakukan WALHI Aceh bersama
LSM lainya di Aceh. Sekalipun WALHI Aceh kalah di Mahkamah Agung tahun 2014
lalu karena satu dan lain hal. Namun, ada kesimpulan bahwa RT RW Aceh juga
bermasalah. Lalu di masa yang sama pemerintah Aceh melobi pemerintah pusat
melakukan tukar menukar kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan dengan
pengubahan status peruntukan kawasan dan sebagainya yang jika dianalisis pengubahan
hutan lindung menjadi areal penggunaan lain mencapai hingga 80 ribu hektar lebih yang
tertuang dalam SK Menhut No 941 tahun 2013 yang disahkan pada 23 Desember 2013, di
sisi yang lain pemerintah Zaini juga mengeluarkan kebijakan mempercepat pembangunan
jalan dalam kawasan hutan, paling tidak ada 40 ruas jalan yang akan diselesaikan pada
periode  Dr. Zaini, artinya saat Gubernur Aceh jangan lagi mengatakan bencana alam
yang disebabkan oleh illegal loging atau dikenal perambahan hutan Aceh, jangan lupa
yang menciptakan kasus illegal logging meningkat juga ada kontribusi pembangunan
yang didorong pemerintah saat ini dalam kawasan hutan.
Pembukaan hutan untuk berbagai kegiatan pembangunan, pertambangan maupun
perkebunan menjadi ancaman serius bagi pelestarian kawasan hutan Aceh. Status
kawasan hutan Aceh berdampak signifikan pada kondisi lingkungan hidup. Sepanjang
tahun 2014, Aceh ternyata masih belum lepas dari bencana ekologi, mulai dari banjir,
longsor, kebakaran hutan, konflik satwa, abrasi, erosi, angin kencang, hingga kekeringan.
Bencana ekologi Aceh tersebar di 12 Kabupaten/Kota, dengan catatan banjir sebanyak 31
kasus, longsor 15 kasus, kebakaran hutan 20 kasus, abrasi 9 kasus, erosi 7 kasus, angin
kencang 14 kasus, dan kekeringan 20 kasus serta konflik satwa-manusia yang hampir di
setiap bulan dalam tahun 2014 tercatat kasusnya. Semua bencana tersebut merugikan
masyarakat dari segi kemanusiaan (kematiaan, cacat, penyakit) serta kerugian materi
yang besar dan berdampak. Catatan bencana ini menyisakan pertanyaan besar bagi
pemerintah Aceh, apakah semangat pembangunan  yang digadang-gadang pemerintah
telah berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat? Publik tidak boleh melupakan
sejarah setiap periode telah membuat dampak positif maupun negatif dalam agenda
pengelolaan sumberdaya alam di Aceh, pada akhirnya menciptakan mega proyek,
hadirnya IUP pertambangan, HGU dan berbagai agenda rakusnya ruang telah ikut
berkontribusi pada kerugian Aceh mencapai 18 trilyun lebih atas berbagai kejadian
bencana alam di Aceh, sehingga tidak bisa serta merta bencana alam yang sering terjadi
saat ini hanya dikatakan penyebabnya karena illegal logging saja, sehingga lupa
menyebutkan kebijakan pemerintah sendiri telah berkontribusi menciptkan bencana
diberbagai daerah.
48
Lalu dimana letak kontradiksi kebijakan pemerintah pada setiap periode
kepemimpinan pada agenda lingkungan hidup? Tentu bukanlah rahasia umum lagi bahwa
republik ini sudah memiliki sejumlah regulasi berkaitan kebijakan pembangunan,
misalkan UU 32 tahun 2009 tentang pengelolaan pengendalian lingkungan hidup atau
dikenal UU-PPLH, UU 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, dan berbagai regulasi lainnya
jauh hari sudah ada sebelum tiga pemimpin memimpin Aceh, lalu! apa yang salah
sehingga menimbulkan gejolak di berbagai wilayah. Pertama, partisipasi warga tidak
dijadikan hal yang cukup mendasar atau dikatakan penting dalam setiap pembangunan,
sehingga informasi secara utuh tidak didapatkan warga, kedua izin lingkungan dikenal
satu izin yang paling lama terbit karena berbagai alasan yang cukup bijaksana, sehingga
cenderung dipersingkat oleh pemrakarsa proyek yang juga melibatkan pejabat diberbagai
bidang kerja, pada akhirnya regulasi tidak lagi menjadi pedoman atau satu perintah
hukum yang dipegang teguh, hanya sekedar dipakai dalam diskusi saja. Lihat saja
sejumlah pembangunan tanpa izin lingkungan tetap dikerjakan, tanpa partisipasi warga,
dan pembiaran berbagai kasus lingkungan hidup tak kunjung usai hingga tahun 2015.
Kondisi Lingkungan hidup Aceh pun semakin mengkhawatirkan. Berbagai kepentingan
politik dan ekonomi kini semakin menjadi motif utama pengambilan kebijakan oleh
Pemerintah Aceh yang sarat abaikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip
pembangunan berkelanjutan menekankan pentingnya harmonisasi antara aspek ekonomi,
aspek sosial politik dan budaya, serta aspek lingkungan.
Ketiganya harus bersinergi optimal guna mencapai kesejahteraan masyarakat yang
berkelanjutan dengan terpeliharanya kelestarian lingkungan hidup. Pada akhirnya
masyarakat harus sadar sekalipun ilmu ekonomi tidak ada kaitannya dengan bicara
lingkungan hidup. Tapi berbicara lingkungan hidup adalah berbicara tentang hak setiap
orang untuk mendapatkan kenyamanan menempati bumi yang satu ini sebagai anugerah
dari Tuhan untuk semua makhlukNya. Sejatinya kelestarian lingkungan hidup menjadi
landasan penting yang membawa kesejahteraan ekonomi untuk semua masyarakat.
Kehidupan perekonomian sangat dipengaruhi oleh kestabilan iklim dan kondisi
lingkungan. Sumber daya alam (hutan) melalui semua fungsi yang dimilikinya adalah
sebagai sumber penghidupan untuk seluruh makhluk dan menjadi kewajiban manusia
untuk mengelolanya dengan bijak. Namun, kini kekayaan sumberdaya alam Aceh justru
menjadi mainan pada setiap periode kepemimpinan Aceh maupun secara nasional. Baik
kebijakan mega proyek fisik pembangunan yang merusak keseimbangan ekosistem
seperti (waduk, embung, jalan dan berbagai bentuk lainnya), kehadiran sektor
pertambangan yang menciptakan sejumlah lubang-lubang besar, perkebunan sawit
49
sebagai ekonomi sesaat telah mengubah fungsi hutan dan masalah limbah tanpa terkelola
dengan baik dan berbagai masalah lain bermunculan di tengah masyarakat Aceh pasca
damai.
Pendekatan pengelolaan SDA yang dianggap keliru, seharusnya pemerintah di
periode sekarang dan akan datang idealnya tidak perlu dilanjutkan lagi. Karena
pengelolaan SDA saat ini lebih mengedepan aspek ekonomi atau mengutamakan
pendapatan daerah, dan kurang bahkan tidak mempertimbangkan aspek sosial dan
keberlangsungan lingkungan hidup. Dampak yang terjadi kemudian munculnya sejumlah
persoalan ditengah masyarakat, sengketa lahan, konflik horizontal, hilangnya lahan
pertanian,  dan berbagai bentuk kerugian ekologi lainnya. Seharusnya pemerintah
memiliki proteksi dan lebih selektif dalam mengeluarkan kebijakan pembangunan,
termasuk pemberian izin pengelolaan SDA kepada swasta. Melakukan proteksi terhadap
kawasan – kawasan yang bernilai konservasi, rawan bencana, atau kawasan ekonomi
warga. Juga hal yang sama berlaku pada pemerintah itu sendiri dalam mencanangkan
rencana pembangunan kawasan, sehingga mampu meminimalisir kerusakan lingkungan di
masa depan. Di sisi lain, masyarakat juga dituntut proaktif melakukan pengawasan
terhadap lingkungan hidup, dan pemerintah harus memperhitungkan beban ini. Dari
setiap bencana yang diakibatkan oleh pengelolaan lingkungan yang kurang tepat,
masyarakatlah yang mendapatkan dampak kerugian besar. Oleh karenanya, masyarakat
perlu sensitif terhadap pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, terlebih dalam
kawasan hutan atau kawasan rawan bencana. Untuk menghindari kerugian dan dampak
yang lebih besar, pemerintah sudah saatnya melakukan review semua izin lingkungan di
Aceh. Baik untuk izin perkebunan, pertambangan, maupun izin pemanfataan SDA
lainnya. Hal ini dianggap penting, untuk melihat sejauh mana komitmen dan kepatuhan
pemegang izin terhadap upaya menjaga keselamatan lingkungan hidup. Tentu! Patut
diberikan apresiasi juga menjadi sebuah prestasi jika pemerintah berani mencabut izin
terhadap perusahaan yang melanggar. Dengan demikian, sejumlah kasus lingkungan
hidup termasuk sengketa lahan warga dengan perkebunan akan terselesaikan. 24

P. Contoh Kasus Kebijakan Lingkungan Internasional


1. Balada Kemacetan Kota Bangkok
Angka jumlah penduduk di Bangkok, Thailand lumayan cukup banyak yaitu kurang
lebih sekitar 10 juta jiwa. Hal ini berarti melebihi penduduk di Jakarta yang berjumlah

24
Kontradiksi Kebijakan Lingkungan Hidup; Masa konflik dan Pasca Damai, https://walhi.or.id/kontradiksi-
kebijakan-;kingkunga-hidup-masa-konflik-dan-pasca-damai, diakses pada tanggal 14 Maret 2020 pukul 19.47
50
kurang lebih 8 juta jiwa. Angka jumlah penduduk di kota tersebut memang sering berubah
seiring berjalannya waktu.

Gambar 2: Kemacetan di Bangkok, Thailand


Tahun 1993, berdasarkan penelitian UNEP (United Nations Environment Programme)
Bangkok masuk sebagai kota yang tingkat pencemaran udaranya terburuk kedua setelah
Mexico city. Setelah predikat runner up dalam hal pencemaran udara disandang sebagai
julukan kota ini muncul diantaranya Bangkok phobia dan Bangkok is the victim of success.
Kedua julukan tersebut seakan memberi warning pada kota-kota lain di Asia untuk tidak
mengikuti langkah Bangkok. Bangkok itu dunia lain yang jauh meninggalkan kota-kota
dan daerah lain di Thailand di luar Bangkok. Sebenarnya hal itu menyindir Bangkok
sebagai kota metropolis yang secara fisik gemerlap tetapi rapuh dalam merajut ikatan
sosial warganya. Singkatnya, Bangkok itu ganas, kejam, dan tidak manusiawi dimata
penduduk pedesaan Thailand.
Namun Pemerintah Kota Bangkok sadar akan situasi yang membelit kotanya. Mereka
bergerak cepat untuk menangani kemelut kemacetan. Tahun 1999 mulai diresmikan sky
train yang disebut sebagai Bangkok Transit System (BTS) yang baru mampu melayani 20
% area dan melingkar disekitar pusat kota mulai dari Mochi disisi utara sampai On Nut
disisi timur. Kemudian dua tahun yang akan datang jalur bandara diharapkan rampung dan
akan sangat menolong pengunjung kota Bangkok.
Sky train sangat membantu bagi mereka yang tinggal dan bekerja di sekitar pusat kota
dalam arti lebih cepat dan efisien daripada perjalanan darat, dengan sky train hanya
memerlukan waktu 10 sampai 20 menit. Sky train mampu mengurangi volume kendaraan
di jalur darat. Banyak masyarakat Bangkok yang hijrah dari kendaraan pribadi mencapai
30%.

51
Gambar 3: Sky Train di Bangkok, Thailand
Bangkok memang all out dalam mengantisipasi persoalan transportasinya. Sambil
terus memperluas jaringan jalur sky train, tahun 2004 meluncurkan kereta api bawah tanah
yang disebut metro atau underground public transportation system. Disamping itu, sungai-
sungai yang melintas diseantero kota didayagunakan sebagai sarana transportasi
mengangkut penumpang. Ditengah belantara kemacetan di kota Bangkok, jalur sungai
serasa menjadi katup pelepas kemacetan. Hanya air sungainya saja yang berwarna keruh
kehitaman cukup mengganggu.25
2. Pemanasan Global

Gambar 4: Pemanasan Global


Pemanasan global (global warming) terus menghantui umat manusia di bumi.
Kerusakan sistem cuaca akibat gas rumah kaca telah mengubah pola curah hujan,
meningkatkan kekuatan badai, kekeringan, banjir, dan kelangkaan air bersih. Peningkatan
temperatur yang berkisar antara 1 sampai 30 C diperkirakan akan menimpa seluruh
kawasan benua di bumi. Skenario paling rendah dari kenaikan rata-rata permukaan air laut
berkisar antara 18 sampai 38 cm. Hal ini bisa terjadi karena sejak revolusi industri abad ke-
18 atmosfer dimanfaatkan sebagai kawasan buangan asap atas kegiatan industri,
transportasi, dan kegiatan manusia lainnya.
Konsentrasi gas rumah kaca saat ini mencapai sekitar 350 ppmv. Efek rumah kaca
disebabkan oleh emisi lebih dari 20 gas ke atmosfer. Penyumbang terbesar adalah karbon
25
Sudharto, Hadi, Bunga Rampai Manajemen Lingkungan, (Yogyakarta: Thalia Media, 2014), hal 123-126.
52
dioksida (CO2), ozone, metana (CH4), nitrus oksida (N2O) dan CFC yang makin banyak
jumlahnya di atmosfer. Gas-gas tersebut memiliki sifat seperti kaca yang meneruskan
radiasi gelombang pendek yang dipancarkan bumi yang bersifat panas, sehingga suhu
atmosfer bumi makin meningkat. Sumber paling besar gas rumah kaca berasal dari
pembakaran energi fosil seperti minyak, gas alam, dan batu bara.

Gambar 5: Pemanasan Global dan Efek Rumah Kaca


Upaya untuk mengurangi efek rumah kaca telah dilakukan oleh para Kepala
Pemerintahan yang tertuang dalam Protokol Kyoto Jepang yang berkomitmen mengurangi
emisinya sebesar 6%. Negara-negara Uni Eropa menargetkan pengurangan emisi sebesar
8%. Amerika Serikat penyumbang emisi terbesar yang belum bersedia turut dalam
Protokol Kyoto diharapkan mengurangi jumlah emisinya sebesar 7%. Upaya lain yang
dilakukan oleh Forum Energi dan Lingkungan Berkelanjutan di Asia Pasifik yang
diprakarsai Kyoto University. Forum tersebut mendorong peningkatan penggunaan energi
baru terbarukan seperti energi air, angin, panas bumi, surya, bio-massa. Target yang
dicanangkan sampai dengan tahun 2030 sebesar 50%.
Target dipandang sangat ambisius mengingat hampir semua negara yang
menandantangani Protokol Kyoto menyandarkan energinya pada sumber-sumber
konvensional yang beremisi tinggi yang makin menipis ketersediannya. Jepang masih
mengandalkan 70% dari gas alam yang diimpor. Thailand bergantung 80% energinya dari
gas alam. India menggantungkan batu bara yang mencapai 70%. Indonesia baru bisa
memanfaatkan energi terbarukan seperti air, panas bumi dan sumber lain sebesar 4,4%.
Selebihnya bergantung pada sumber minyak bumi, gas alam dan batu bara.

53
Upaya efisiensi energi memiliki manfaat ganda yakni menghemat uang dan
penggunaan energi konvesional yang makin menipis jumlahnya. Pengurangan gas rumah
kaca akan lebih signifikan jika secara simultan diikuti dengan langkah lain misalnya
mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Secara teoritis efisiensi energi relatif lebih
mudah dilakukan daripada mengembangkan energi baru seperti pembangkit tenaga surya
dan angin yang biaya instalasinya masih mahal. Keikutsertaan negara berkembang dalam
mitigasi gas rumah kaca juga terkait dengan ulah kita yang meskipum dalam skala global
masih terbilang kecil tetapu memberikan kontribusi terhadap gas rumah kaca dan membuat
sengsara masyarakat. Catatan terakhir menunjukkan bahwa kebakaran hutan di Indonesia
menyumbang 7% emisi gas rumah kaca.26
3. Kebakaran Hutan di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang melimpah akan sumber daya alam dan lingkungan
dan merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai hutan tropis terluas setelah
hutan amazon. Indonesia sering mengalami kejadian kebakaran hutan yang menimbulkan
banyak dampak antara lain seperti perncemaran lingkungan karena asap, kesehatan
terganggu, perekonomian terganggu bahkan bisa menyebabkan terganggunya hubungan
diplomatik antar negara.
Pencemaran udara akibat kebakaran hutan saat ini sudah sampai pada tingkat
pencemaran yang bersifat lintas batas dan hal ini juga menjadi salah satu masalah di ranah
internasional. Peristiwa pencemaran udara yang melampaui lintas batas dengan segala
konsekuensinya harus disikapi secara serius oleh pihak dalam tingkatan lokal, regional,
maupun internasional. Semua pihak seharusnya bisa melaksanakan sebuah perundingan
untuk memecahkan permasalahan ini. Masalah pencemaran udara yang berdampak kepada
semua pihak termasuk negara lain maupum masyarakat adalah suatu kecemasan yang
dihadi masyarakat saat ini. Masalah pencemaran lingkungan ini telah menjadi perhatian
dalam kawasan ASEAN.

Gambar 6: Kebakaran Hutan

26
Sudharto, Hadi, Bunga Rampai Manajemen Lingkungan, (Yogyakarta: Thalia Media, 2014), hal 221-226.
54
Salah satu permasalahan yang sedang dihadapi lingkungan global saat ini adalah
kebakaran hutan. Indonesia dianggap perusak hutan terbesar di dunia karena tingkat
kerusakan hutan yang sangat tinggi. Penyebab kerusakan hutan yang ada di Indonesia
dapat di golongan kedalam beberapa factor yaitu pembakaran liar, konsensi lahan untuk
looging dan perkebunan, penebangan liar, konsensi hutan untuk pertambangan,
perambahan hutan oleh masyarakat sekitar.
Kebijakan lingkungan internasional terdapat dalam perjanjian-perjanjian internasional.
Secara umum negara bertanggung jawab dala hukum internasional untuk pembuatan atau
tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional negara tersebut. Komisi
hukum internasional telah membahas soal penanggung jawab negara ini sejak 1956 namun
baru tahun 2001 berhasil merumuskan rancangan undang-undang tentang pemuatan yang
dipersalahkan menurut hukum internasional yang kemudian diedarkan oleh majlis umum
PBB.
Pencemaran lintas batas akibat kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia untuk saat
ini memang belum menimbulkan sengketa antara negara-negara ASEAN, terutama antara
negara yang di dalam wilayahnya terjadi kebakaran hutan dengan negara yang menderita
akibat dampak dari kebakaran hutan. Peristiwa kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia
merupakan bentuk-bentuk perwujudan prinsip tanggung jawab negara dalam ASEAN
Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources, dapat dikatakan belum
dijalankan sebagaimana mestinya karena dilihat dari aspek penegakan hukum dengan
segala sanksinya, aspek kelembagaan yang tidak permanen dan profesional, tidak
tersedianya peralatan dan teknologi kebakaran hutan dan lahan yang memadai.
Dalam ASEAN Agreement Transboundarry Haze Pollution dituliskan pada Pasal 27
bahwa untuk menyelesaikan sengketa pencemaran lintas batas akibat kebakaran hutan
wajib diselesaikan secara damai melalui konsultasi dan perundingan. Menurut Pasal 30
ayat (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut dengan
UUPPLH menyatakan bahwa sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui
pengadilan ataupun diluar pengadilan berdasarkan pihak yang bersengketa kebakaran
hutan yang terjadi di Provinsi Riau menjadi perhatian dunia saat ini.
Kebijakan lingkungan global-internasional terdapat dalam kesepakatan-kesepakatan
internasional mengenai lingkungan, baik yang sifatnya multilateral maupun bilateral.
Kesepakatan internasional ini dapat berbentuk deklarasi, konvensi, agenda, dan atau
perjanjian internasional di bidang lingkungan.
Indeks standar polusi (PSI) pernah mencapai level kritis, yakni 400, yang berpotensi
mengancam nyawa orang-orang sakit dan lanjut usia. Di Malaysia, khususnya di negara
55
bagian Johor, ratusan sekolah ditutup karena kabut asap dari Indonesia. Pemerintah di
kedua negara tetangga itu pun mengeluarkan protes. Pasalnya, terindikasi bahwa
perusahaan Malaysialah yang membakar hutan untuk membuka massif. Kedua, terjadinya
penyingkiran terhadap masyarakat lokal dan adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil
hutan. Banyak kawasan tanah ulayat dirampas paksa oleh perusahaan.
Dengan demikian, dalam kasus Kebijakan kehutanan itu bertolak belakang dengan
pasal 33 UUD 1945. Jika benar seperti itu maka citra kedua negara yang menjadi buruk di
mata internasional. Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia sampai sejauh ini tidak
pernah diselesaikan melalui pengadilan oleh negara-negara korban dari pencemaran lintas
batas akibat kebakaran hutan, karena negara-negara ASEAN tersebut menganut prinsip
penyelesaian sengketa secara damai seperti yang terkandung dalam AATHP (ASEAN
Agreement Transboundarry Haze Pollution).
Pencemaran lintas batas akibat kebakaran hutan yang terjadi di indonesia untuk saat
ini memang belum menimbulkan sengketa antara negara-negara ASEAN , namun
Indonesia bertanggungjawab terhadap kebakaran hutan yang terjadi di dalam wilayahnya,
karena tanggungjawab negara dalam hukum Internasional adalah untuk mencegah
terjadinya sengketa antar negara, disamping juga bertujuan memberikan perlindungan
hukum dan prinsip tanggungjawab negara merupakan salah satu prinsip yang penting
dalam hukum Internasional, peristiwa kebakaran hutan di indonesia merupakan
perwujudan prinsip tanggungjawab negara dalam ASEAN Agreement on the Conservation
of Nature and Natural Resourse.27
4. Penipisan Lapisan Ozon
Atmosfer terdiri atas beberapa lapisan (layer) yang berbeda-beda dan setiap lapisan
memiliki fungsi tertentu. Para pakar membagi lapisan-lapisan tersebut berdasarkan
ketinggian dari permukaan bumi. Menurut para pakar, lapisan atmosfer terbagi dalam lima
lapisan berikut: (i) troposphere, (ii) stratosphere, (iii) mesosphere, (iv) thermosphere, dan
(v) exosphere. Untuk jelasnya, dapat dilihat pada chart berikut ini.

27
Shafa Fatiy Al-Adawiyah, Kebijakan Hukum Lingkungan Internasional Atas Peristiwa Kebakaran Hutan
Di Indonesia, (Universitas Darussalam Gontor), hal 1-8.
56
Gambar 7: Lapisan Atmosfer
Perlu diketahui bahwa lapisan ozon (ozone layer) terletak pada bagian bawah lapisan
stratosfer atau pada ketinggian antara 20-30 km dari permukaan laut, tergantung
variabilitas dari geografi alam disekitarnya. Lapisan bawah stratofer ditemukan banyak
senyawa ozon (O3) sehingga lapisan ini di sebut lapisan ozon. Menurut para ahli, senyawa
ozon dapat menyerap radiasi jahat dari sinar matahari sehingga ketika mencapai bumi,
sinar matahari tersebut tidak lagi berbahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.
Penipisan lapisan ozon menjadi masalah penting karena setiap penipisan lapisan ozon
sebesar 10% akan menyebabkan kenaikan intensitas sinar ultraviolet (UV) B sebesar 20%.
Hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa tingginya UV-B bisa menimbulkan katarak
mata, kanker kulit, penurunan kekebalan tubuh, memusnahkan plankton dan menghambat
pertumbuhan tanaman.
Syukur, akibat kontrol yang ketat atas perdagangan dan produksi bahan-bahan kimia
di atas dan ditemukannya bahan-bahan kimia yang lebih ramah dengan lingkungan, maka
“lubang ozon” yang dulunya besar dan luas, sekarang sedikit demi sedikit telah tertutup.
‘Keberhasilan’ ini menunjukkan bahwa jika masyarakat internasional, pemerintah dan
dunia usaha bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan global
pasti bisa dilaksanakan. Oleh karena itu, keberhasilan ini selalu dijadikan contoh
keberhasilan rezim hukum internasional dalam menanggulangi permasalahan lingkungan
global.28
5. Permasalahan Pengrusakan Hutan (Deforestasi) di Lingkungan Global
Isu lingkungan global mulai muncul dalam berberapa dekade belakangan ini.
Kesadaran manusia akan lingkungannya yang telah rusak membuat isu lingkungan ini
mencuat. Isu yang paling penting dalam lingkungan adalah mengenai pemanasan global
akibat pemanasan global yang disebabkan oleh efek rumah kaca yaitu bertambahnya
jumlah gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfir yang menyebabkan energi panas yang

28
Laode M. Syarif, Kadek Sarna, Hukum Lingkungan, (USAID: Amerika, 2014), hal 19-21.
57
seharusnya dilepas ke luar atmosfir bumi dipantulkan kembali ke permukaan dan
menyebabkan temperature permukaan bumi menjadi lebih panas.
Di seluruh dunia, hutan-hutan alami sedang dalam krisis. Tumbuhan dan binatang
yang hidup didalamnya terancam punah. Dan banyak manusia dan kebudayaan yang
menggantungkan hidupnya dari hutan juga sedang terancam. Tapi tidak semuanya
merupakan kabar buruk. Masih ada harapan untuk menyelamatkan hutan-hutan ini dan
menyelamatkan mereka yang hidup dari hutan. Hutan purba dunia sangat beragam. Hutan-
hutan ini meliputi hutan boreal-jenis hutan pinus yang ada di Amerika Utara, hutan hujan
tropis, hutan sub tropis dan hutan mangrove. Bersama, mereka menjaga sistem lingkungan
yang penting bagi kehidupan di bumi. Mereka mempengaruhi cuaca dengan mengontrol
curah hujan dan penguapan air dari tanah. Mereka membantu menstabilkan iklim dunia
dengan menyimpan karbon dalam jumlah besar yang jika tidak tersimpan akan
berkontribusi pada perubahan iklim.

Gambar 8: Pengrusakan (Deforestasi) Hutan


Deforestasi tahunan tercepat di dunia adalah Indonesia. Dengan 1,8 juta hektare hutan
hancur per tahun antara tahun 2000 hingga 2005. Tingkat kehancuran hutan sebesar 2%
setiap tahunnya atau setara 51 kilometer persegi per hari. Total hutan Indonesia mencapai
120,35 juta hektare dari wilayah seluas 1.919.440 kilometer persegi. Negara kita di mata
internasional dianggap sebagai salah satu negara yang menyumbang kerusakan alam global
terbesar. Keadaan ini tidak boleh dibiarkan terus menerus. Pemerintah diharapkan dapat
lebih bijak dalam menggunakan sumber daya alam, khususnya yang berpengaruh dengan
lingkungan global, seperti hutan lindung. Masalah-masalah seperti pembalakan liar harus
disikapi dengan tegas.
Upaya untuk perlindungan hutan telah dilakukan di beberapa negara misalnya
konservasi hutan yang dilakukan di kanada oleh Boreal Canada’s atau perusahan raksasa
multinasional seperti DEkap dan Unilever yang telah mengubah kebijakan eksploitasi
minyak sawit untuk membantu melindungi hutan-hutan Indonesia dan Peatlands. Akan
tetapi, sebagian besar perusahan justru berperan secara signifikan merusak hutan.

58
Hilangnya hutan di sebagian besar negara di dunia dapat mempunyai dampak buruk bagi
yang lain; kerugian hutan di Amazonia dan Afrika Pusat sangat mengurangi curah hujan di
AS bagian Midwest.
Greenpeace mempunyai kantor regional dan nasional pada 41 negara-negara di
seluruh dunia, yang semuanya berhubungan dengan pusat Greenpeace Internasional di
Amsterdam. Organisasi global ini menerima pendanaan melalui kontribusi langsung dari
individu yang diperkirakan mencapai 2,8 juta para pendukung keuangan, dan juga dari
dana dari yayasan amal, tetapi tidak menerima pendanaan dari pemerintah atau korporasi.
Greenpeace sedang berkampanye untuk penebangan hutan secara serentak sampai tahun
2020.
Greenpeace berusaha untuk melobi pemilik kuasa politis untuk mengambil kebijakan
internasional yang co-ordinated dan tindakan politis lokal itu diperlukan untuk melindungi
hutan dunia. Mereka bekerja bersama masyarakat dunia untuk menanggulangi perusakan
hutan di Amazon, Kongo, Indonesia dan menyelidiki, dokumen, menyingkapkan dan mulai
bertindak melawan terhadap pembinasaan hutan. Dengan bantuan beratus ribu para
pendukung, Greenpeace telah membuktikan kinerjanya dengan memenangkan kasus
Penebangan hutan di Amazon.
Siklus terjadinya kebakaran hutan terus menerus serta pengrusakan hutan di Indonesia
harus mulai dianggap sebagai masalah global karena negara kita merupakan penyumbang
besar terhadap perubahan iklim dunia. Pemerintah harus mengambil langkah lebih berani
untuk mencegah masalah ini dengan pertama-tama mendeklarasikan moratorium atas
penghancuran dan konversi hutan gambut secara nasional.
Di lingkungan internasional sebenarnya telah terdapat Deklarasi Rio de Jenerio yang
merupakan konferensi PBB mengenai lingkungan hidup yang kedua setelah konfererensi
PBB mengenai lingkungan hidup yang pertama di Stockholm Swedia tahun 1972. Hasil
konferensi Deklarasi Rio de Jenerio menetapkan serangkaian pedoman pembangunan. Ada
dua hal penting dalam deklarasi ini yaitu program agenda 21 dan prinsip-prinsip tentang
kehutanan.
a. Program agenda 21
Bagian II dari agenda 21 ini menyangkut konservasi dan manajemen Sumber
Daya Alam untuk pembangunan yang memuat ikhtiar sebagai berikut : (a)
menanggulangi masalah-masalah lingkungan udara, sumber daya tanah, penggundulan
hutan, desertifikasi dan kegersangan, erosi, lautan dan pantai dan air tawar, (b)
pengelolaan limbah beracun dan berbahaya, (c) pengembangan pertanian dan
pelestarian sumber alam hayati. Di samping itu, dalam agenda 21 juga disepakati
59
program mengenai deforestasi yang menyangkut empat bidang yaitu fungsi hutan,
peningkatan perlindungan, pemanfaatan dan konservasi hutan, efisiensi pemanfaatan
dan telaahan mengenai nilai dan jas hasil hutan, serta peningkatan kemampuan
perencanaan, monitor, dan evaluasi.
b. Prinsip-prinsip tentang Kehutanan
Prinsip-prinsip tentang kehutanan telah berhasil disepakati dalam dokumen Non-
legally Binding Authoritative Statement of principles for Global Concensus on the
management, Conservation and sustainable Development on all types of forest,
berisikan 15 prinsip yang berkaitan dengan masalah pengelolaan hutan. Dokumen ini
juga memuat pedoman yang tidak bersifat mengikat dan berlaku beerlaku untuk semua
jenis hutan, terdapat pula prinsip-prinsip lainnya yaitu menyangkut perdagangan kayu,
penghapusan hambatan-hambatan tarif, dan perbaikan akses ke pasaran.29
6. Sengketa Lingkungan Internasional
Peristiwa ekologis berupa pencemaran udara yang terjadi di Kanada dapat muncul di
Amerika Serikat maupun belahan dunia lainnya. Semua negara menghadapi tingkat
pencemaran ingkungan dan krisis penyediaan sumber daya energi yang cukup gawat yang
berlangsung begitu cepat. Hal pertama yang terpikirkan tentang manusia modern yang
membenarkan keyakinannya mengenai "api neraka" adalah peningkatan pencemaran
atmostir yang bermula sejak Revolusi Industri di Inggris pada akhir abad ke-18 yang
kemudian menyebar ke hampir seluruh pelosok Bumi. Kegiatan industri telah
menggerogoti sarang manusia sendiri dan memberi ancaman kepada totalitas kehidupan
yang kian mengkhawatirkan.
Yang paling mengkhawatirkan dari kesemena-menaan manusia terhadap Iingkungan
adalah pencemaran udara, tanah, sungai-sungai dan laut dengan bahan-bahan yang
berbahaya dan bahkan mematikan. Semakin penting untuk menyadari dan mengantisipasi
mencuatnya permasalahan sengketa lingkungan internasional yang disebabkan pencemaran
udara lintas batas. Kasus Trail Smelter dan Kebakaran Hutan merupakan bukti realistik
yang mendasari betapa urgensinya memberikan perhatian khusus terhadap tema
"penyelesaian sengketa Iingkungan internasional" atas terjadinya "sengketa lingkungan
internasional akibat pencemarah udara lintas batas". sengketa lingkungan internasional
timbul ketika adanya suatu konflik kepentingan antara dua negara atau lebih mengenai
perubahan situasi dan kondisi (baik kualitatif maupun kuantitatif) lingkungan.

29
Anggraeni Arif, Analisis Yuridis Pengrusakan Hutan (Deforestasi) dan Degradasi Hutan terhadap
Lingkungan, Jurispridentie Volume 3 Nomor 1, hal 33-41.
60
Esensi dan elemen utama sengketa lingkungan internasional terletak pada perubahan
lingkungan (udara) yang dapat mengganggu negara lain atau orang-orang (warga negara)
suatu negara. Dalam kasus Nuclear Test tahun 1974, tindakan Perancis melakukan uji coba
senjata nuklir di wilayah Kepulauan Pasifik telah digugat Australia dan Selandia Baru
dengan alasan telah mengakibatkan perubahan lingkungan di kedua negara akibat uji coba
nuklir tersebut. Nuclear Test menyebabkan bertebaran dan jatuhnya debu zat-zat radioaktif
yang sangat berisiko tinggi pada udara di wilayah Australia dan Selandia Baru.Tragedi
lingkungan lainnya yang menyangkut adanya perubahan kualitas lingkungan terjadi pula
dalam Lac Lanoux Case tahun 1959 antara Spanyol dengan Perancis. Perubahan arus
sungai Perancis dapat mengubah komposisi kimiawi dan temperatur (suhu) air atau sifat-
sifat lainnya yang amat merugikan kepentingan Spanyol.
Oleh karena itu secara prinsip sengketa lingkungan internasional terjadi karena
terjadinya konflik di antara para pihak. Pencemaran lingkungan yang terpapar dalam suatu
negara berkemungkinan (potensial) menimbulkan kerugian pada negara lain. Situasi
tersebut tentu dapat memicu dan memperluas timbulnya sengketa Iingkungan antar negara
apabila tidak segera diselesaikan.Terjadinya sengketa Iingkungan internasional salah
satunya adalah akibat dari pencemaran udara lintas batas diperkirakan tidak terhindarkan
dengan jangkauan konsekuensi hukum yang semakin kompleks. Diperlukanlah
"international procedures and mechanisms of environmental disputes
resolution",mengingat suatu sengketa Iingkungan internasional secara yuridis tidak selalu
cukup diselesaikan dengan kata "maaf" seperti dalam Kasus Kebakaran Hutan di Indonesia
tahun 1997.
Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa Lingkungan Internasional
Ada beberapa bentuk penyelesaian sengketa lingkungan internasional, yaitu sebagai
berikut:
a. Negosiasi
Mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan internasional tidaklah ditentukan
secara berurutan berdasarkan pada prioritas dengan negosiasi sebagai yang pertama.
Namun, negosiasi adalah merupakan sarana utama. Kenyataan praktis menunjukkan
bahwa negosiasi lebih sering digunakan daripada semua cara lainnya. Pada saat
digunakan cara lain sekalipun, negosiasi tidak diabaikan, melainkan diarahkan pada
masalah-masalah instrumental, batasan referensi bagi penyelidikan, konsiliasi, mediasi,
ataupun arbitrasi. Negosiasi mempunyai peran penting dalam setiap tahapan
penyelesaian sengketa internasional.

61
Negosiasi diterapkan sebagai bentuk penyelesaian yang primer dalam sengketa
lingkungan internasional. Disamping itu, bahwa negosiasi antarnegara yang bersengketa
dilakukan melalui saluran diplomatik normal dengan cara pejabat urusan luar negeri
membawa delegasi dari beberapa departemen pemerintahan yang berkepentingan.
Setelah pokok sengketa sudah dipastikan, negosiasi dilakukan oleh departemen yang
berwenang dari masing-masing pihak. Prosesi negosiasi dapat menggunakan summit
discussion atau pertemuan puncak antar kepala negara maupun kepala pemerintahan.
b. Mediasi
Mediasi merupakan "negosiasi tambahan" dengan mediator sebagai pihak yang
aktif menawarkan proposal penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa. Mediasi
dapat dilakukan oleh organisasi internasional, negara maupun individu. Mediasi
mempunyai daya tarik tersendiri bagi negaranegara yang berkonflik untuk mengetahui
suatu sengketa (Iingkungan) diselesaikan secara damai.
Konvensi internasional yang secara tegas mengakomodasi mediasi sebagai sarana
penyelesaian sengketa pencemaran udara lintas batas adalah Vienna Convention. Pasal
11 ayat 2 Vienna Convention menyatakan: "If the Parties concerned cannot reach
agreement by negotiation, they may jointly seek the good offices of, or request
mediation by, athird party".
Prospek keberhasilan penyelesaian sengketa lingkungan internasional melalui
mediasi tergantung pada kemauan para pihak untuk membuat konsensus yang perlu.
Mediator memainkan peranan penting dalam mengupayakan pencapaian kesepakatan.
Sengketa lingkungan yang pelik dapat mengakibatkan para pihak enggan membicarakan
berdasarkan alasan posisi mereka yang "sulit dirundingkan". Terhadap situasi demikian
solusi yang dikembangkan adalah penyelidikan ("inquiry").
c. Penyelidikan
Penyelidikan secara luas menunjuk pada proses "settlement of disputes" yang
dilakukan institusi otoritatif mengenai fakta sengketa. Penyelidikan menjadi komponen
utama konsiliasi, arbitrasi, dan tindakan pihak ketiga lainnya (organisasi internasional).
Penyelidikan diterima pula sebagai institusi peradilan internasional tertentu yang
dikenal dengan nama "Commission-of-lnquiry'259 atau "Inquiry Commission'26o yang
diperkenalkan melalui "The Hague Convention for Peaceful Settlement" tahun 1899 dan
1907,261 Hasil kerja "Commission-ofInquiry" berupa laporan, bukan putusan.
d. Konsiliasi
Konsiliasi dapat diartikan secara luas`dan sempit. Dalam arti luas, konsiliasi adalah
merupakan metode penyelesaian sengketa Internasional secara damai dengan bantuan
62
negara lain atau badan yang tidak memihak. Sedangkan dalam arti sempit konsiliasi
adalah pengajuan sengketa kepada suatu komisi untuk membuat laporan mengenai usul
penyelesaian sengketa bagi para pihak yang tidak mengikat.
Konsiliasi telah mendapat posisi tersendiri di antara prosedur penyelesaian sengketa
lingkungan internasional. Konsiliasi sanggup memenuhi kebutuhan yang dapat diterima
para pihak dan memperlihatkan kelebihan yang berasal dari struktur keterlibatan pihak
ketiga dalam menyelesaikan sengketa. Namun, dalam realitasnya konsiliasi tidak
banyak dipakai. Kecenderungan yang menggejala adalah mencuatnya aktivitas
penyelesaian sengketa internasional yang lebih fleksibel dengan menerapkan lebih dari
satu metode: negosiasi, mediasi, inquiry, konsiliasi, dan jasa-jasa baik secara kombinasi.
e. Arbitrasi
Arbitrasi internasional adalah lembaga yang sudah tua meskipun sejarah
modernnya baru diakui sejak dicetuskannya Traktat Antara Amerika Serikat dan Inggris
tahun 1794 yang menetapkan pembentukan komisi untuk mengatur sengketa yang tidak
dapat diselesaikan selama perundingan. Perkembangan yang amat penting terjadi tahun
1899 ketika Konferensi Den Haag mengkodifikasikan arbitrasi dan menetapkan The
Permanent Court of Arbitration.
The Permanent Court of Arbitration digunakan sebagai lembaga penyelesaian
sengketa lingkungan internasional yang telah berhasil membentuk hukum dan praktik
arbitrasi dalam berbagai traktat multilateral maupun bilateral serta persetujuan-
persetujuan ad hoc. Pada hakikatnya arbitrasi internasional merupakan prosedur
konsensual untuk menghasilkan penyelesaian sengketa atas pilihan yang berlandaskan
persetujuan: negara yang berseteru tidak dapat dipaksa agar menyelesaikan sengketa
secara arbitrasi, kecuali mereka menyetujuinya.
Arbitrasi telah menjadi institusi utama hukum lingkungan internasional. Sengketa-
sengketa lingkungan mengenai penafsiran atau penerapan ketentuah perjanjian
internasional dapat diserahkan kepada badan arbitrasi untuk diselesaikan.Penyelesaian
sengketa lingkungan internasional secara arbitrasi berarti terdapat penyerahan
penyelesaian kepada arbitrator (individual atau institusional) yang dipilih secara bebas
oleh para pihak.
Sengketa lingkungan pencemaran udara lintas batas yang monumental dan
penyelesaiannya menggunakan jalur arbitrasi adalah "Trail Smelter Case" (United
States of America v. Canada). Prosedur arbitrasi internasional dapat dipadukan dengan
proses "fact finding" yang tersedia dalam negosiasi, jasajasa baik, "inquiry", konsiliasi
dan mediasi. Setiap sengketa lingkungan internasional selalu ada tempat bagi arbitrasi
63
yang efektivitasnya tergantung pada tingkah laku yang bertanggung jawab dari negara
yang berkonflik dalam koridor "the relations of nations". Arbitrasi (internasional)
digagas lebih tepat daripada penyelesaian yudisial.30

Q. Cara Mengatasi Persoalan Kebijakan Lingkungan


Pengelolaan lingkungan hidup merupakan usaha pemanfaatan sumberdaya, namun yang
berciri khas yaitu merupakan upaya terpadu pelestarian fungsi limgkungan hidup yang
meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Hal ini sebagaimana yang tertulis dalam
Undangundang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Prinsip pengelolaan lingkungan suatu wilayah dapat dilakukan dengan menggunakan
empat indikator POAC yaitu Planning, Organizing, Actuating dan Controlling. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Planning atau Perencanaan adalah kegiatan perencanaan yang disusun dalam rangka
pengelolaan lingkungan secara terpadu terhadap suatu wilayah;
2. Organizing (Pengorganisasian), yaitu pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan suatu
wilayah secara efektif dan efisien, dalam arti masing-masing pihak yang terlibat dapat
menjalankan tugasnya dengan baik dan bertanggungjawab;
3. Actuating (Pelaksanaan). Pada tahap pelaksanaan, program-program yang dirancang harus
menunjukkan adanya: optimatisasi pemanfaatan sumberdaya alam secara efisien, dorongan
pelaksanaan konservasi sumberdaya alam dalam penambangan, meningkatnya peran
stakeholders dan kelembagaan yang terlibat.31

R. Kebijakan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia

Sejalan dengan terjadinya pergantian pemerintahan di Indonesia, pada tahun 2004 yang
lalu telah diadakan pemilihan umum untuk pertama kalinya memilih langsung Presiden RI,
dan terpilihlah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan
wakil presiden. Dalam pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2004-2009.

30
Moh. Fadli, Mukhlish, Mustafa Lutfi, Hukum dan Kebijakan Lingkungan, (Malang: UB Press, 2016), hal
123-132.
31
Hartuti Purnaweni, Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Di Kawasan Kendeng Utara Provinsi Jawa Tengah,
(Jawa Tengah: UNDIP), 2014, hal 55-56.
64
Ketentuan Perpres Nomor 7 Tahun 2005 pada poin 8 tentang Pemenuhan Hak Atas
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam, dinyatakan bahwa peningkatan akses masyarakat
miskin dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam
dilakukan melalui berbagai program. Program-program tersebut antara lain:

1. Program Pemanfaatan Sumber Daya Hutan. Di dalam program sumber daya hutan ini
tercakup 2 (dua) hal:
a. Pengembangan sistem pemanfaatan sumber daya alam yang berpihak pada masyarakat
dan memperhatikan pelestarian hutan;
b. Pengembangan hutan kemasyarakatan dan usaha perhutanan rakyat. 2. Program
Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam. Di dalam program ini tercakup 8
(delapan) hal, yakni:
1) Restrukturisasi peraturan tentang pemberian Hak Pengelolaan Sumber Daya Alam;
2) Penguatan organisasi masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup;
3) Pengembangan dan penyebarluasan pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya
alam yang berkelanjutan, termasuk kearifan lokal;\
4) Pengembangan sistem insentif bagi masyarakat miskin yang menjaga lingkungan;
5) Pengembangan kerja sama kemitraan dengan lembaga masyarakat setempat dan
dunia usaha dalam pelestarian dan perlindungan sumber daya alam;
6) Kerja sama dan tukar pengalaman dengan negara lain dalam meningkatkan
kemampuan konservasi sumber daya alam;
7) Rehabilitasi ekosistem (lahan kritis, lahan marginal, hutan bakau, terumbu karang,
dan lain - lain) berbasis masyarakat;
8) Meningkatkan dan mengefektifkan kerja sama antarnegara dalam mengatasi dan
mencegah perdagangan hasil alam yang dilakukan secara ilegal dan merusak alam.

Program pengembangan Kapasitas Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Di dalam
program ini terdapat 5 (lima) hal yang menjadi sorotan, yaitu: Pengembangan sistem
pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat; Pengembangan sistem pengelolaan sumber
daya alam yang memberikan hak kepada masyarakat secara langsung; Berorientasi kerja sama
dengan perusahaan multinasional yang memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan
hidup agar lebih berpihak pada masyarakat miskin; Kerja sama dan tukar pengalaman dengan
negara lain dalam meningkatkan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan;
Meningkatkan dan mengefektifkan kerja sama antarnegara dalam mengatasi dan mencegah
perdagangan hasil alam yang dilakukan secara ilegal dan merusak alam.
65
Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup. Di dalam program ini mencakup:
Peningkatan peran sektor informal khususnya pemulung dan lapak dalam upaya pemisahan
sampah;

Penegakan hukum bagi pihak yang merusak sumber daya alam dan lingkungan
hidup;Kerja sama dan tukar pengalaman dengan negara lain dan lembaga internasional dalam
mengatasi dan mencegah pencemaran lingkungan hidup dan mengembangkan kode etik
global bagi perusahaan multinasional. Saat ini kebijakan lingkungan hidup Indonesia untuk
jangka panjang mengacu pada Undang - undang No. 27 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) dalam 20 tahun ke depan dalam berbagai
aspek/sektor pembangunan sebagai upaya menyebarkan dan mencapai tujuan nasional
sebagaimana tersebut dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun misi jangka
panjang Indonesia yang berkaitan dengan lingkungan hidup ada pada Visi dan Misi
Pembangunan Nasional 2005-2025, pada butir ke 6, yaitu: “Mewujudkan Indonesia asri dan
lestari”. Dalam rangka mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari sasaran dan arah
pembangunan Lingkungan Hidup yang digariskan dalam RPJP 2005 -2025 sesuai Undang-
Undang No. 27 tahun 2007 tentang RPJP telah ditetapkan oleh pemerintah. Sasaran RPJP
2005-2025 tentang lingkungan hidup menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, sebagai
berikut (Presiden RI, 2007): “Sasaran RPJP 2005-2025 khususnya Lingkungan Hidup:
Membaiknya pengelolaan dan penggunaan SDA dan pelestarian fungsi LH yang dicerminkan
oleh tetap terjaganya fungsi daya dukung dan kemampuan pemulihannya dalam mendukung
kualitas kehidupan sosial dan ekonomi secara serasi, seimbang dan lestari: terpeliharanya
kekayaan keragaman jenis dan kekhasan SDA untuk me wujudkan nilai tambah, daya saing
bangsa, serta modal pembangunan: Meningkatnya kesadaran, sikap mental dan perilaku
masyarakat dalam pengelolaan SDA dan pelestarian fungsi LH untuk menjaga kenyamanan
dan kualitas kehidupan.” Arah kebijakan RPJP 2005-2025 tentang lingkungan hidup menurut
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 yaitu (Presiden RI, 2007): “Arah RPJP 2005-2025
khususnya Lingkungan Hidup yaitu mendayagunakan SDA yang terbarukan. SDA
terbarukan dimanfaatkan secara rasional, optimal, efisien dan bertanggung jawab dengan
menggunakan seluruh fungsi dan manfaat secara seimbang. :mengelola SDA yang tidak
terbarukan. Pengelolaan SDA tak terbarukan, seperti bahan tambang, mineral, dan sumber
energi diarahkan untuk tidak dikonsumsi secara lang sung, melainkan diperlakukan sebagai
masukan, baik bahan baku maupun bahan bakar, untuk proses produksi yang dapat
menghasilkan nilai tambah optimal di dalam negeri: menjaga keamanan ketersediaan energi.
Menjaga keamanan ketersediaan energi diara hkan untuk menyediakan energi dalam waktu

66
yang terukur antara tingkat ketersediaan sumber-sumber energi dan tingkat kebutuhan
masyarakat: menjaga dan melestarikan sumber daya air.

Pengelolaan diarahkan menjamin keberlanjutan daya dukungnya dengan menjaga


kelestarian fungsi daerah tangkapan air dan keberadaan air tanah. Yaitu dengan
mengembangkan sumber daya kelautan. Pembangunan ke depan perlu memperhatikan
pendayagunaan dan pengawasan wilayah laut yang sangat luas. Pemanfaatan sumber daya
tersebut melalui pendekatan multisektor, integratif dan komprehensif untuk meminimalkan
konflik dan tetap menjaga kelestariannya.

Meningkatkan nilai tambah atas pemanfaatan SDA tropis yang unik dan khas.
Deversifikasi produk dan inovasi pengolahan hasil SDA terus dikembangkan agar mampu
menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai tambah tinggi. Memperhatikan dan
mengelola keragaman jenis SDA yang ada di setiap wilayah. Pengelolaan SDA untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, mengembangkan wilayah strategis dan cepat
tumbuh serta memperkuat daerah dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi Indonesia. Mengembangkan
kemampuan sistem deteksi dini, sosialisasi dan desiminasi informasi terhadap ancaman
kerawanan bencana alam kepada masyarakat. Mengendalikan pencemaran dan kerusakan
lingkungan. Pembangunan ekonomi diarahkan pada pemanfaatan jasa lingkungan yang ramah
lingkungan. Pemulihan kondisi lingkungan untuk meningkatkan daya dukung lingkungan.
Meningkatkan kapasitas pengelolaan SDA dan LH. Meliputi: peningkatan kelembagaan,
penegakan hukum, SDM yang berkualitas, penerapan etika lingkungan, internalisasi etika
lingkungan dalam kegiatan produksi, konsumsi, pendidikan formal dan kehidupan sehari-hari.
Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan.32

BAB III
32
Lusiana Tijow, Kebijakan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, (Gorontalo: UNG), 2014, hal
35-37
67
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebijakan lingkungan merupakan jiwa dari manajemen lingkungan karena berisi
persyaratan komitmen atau niat manajemen puncak. Dan tanpa adanya niat, tentu saja tidak
ada alasan atau penggerak bagi diterapkannya pengelolaan lingkungan yang baik di Indonesia.
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa “pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian
lingkungan hidup. Aktivitas pembangunan nasional yang meliputi berbagai macam bidang
kehidupan itu, cepat atau lambat berdampak pada kondisi lingkungan hidup. Oleh karena itu,
diundangkannya UUPLH’82 selain sebagai ketentuan payung, juga menjadi dasar pijakan
pengelolaan lingkungan hidup dalam rutinitas pembangunan nasional. Dengan demikian,
kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup secara teoritis atau praktis diharapkan dapat
dicegah melalui penerapan perangkat hukum dibidang lingkungan hidup tersebut.
Kebijaksanaan hukum lingkungan merupakan bagian fundamental didalam
mengartikulasikan sekaligus mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum
lingkungan itu sendiri, maka pada dasarnya hukum lingkungan hadir tidak hanya sebagai
lembaga yang otonom yang berfungsi sebagai sarana kontrol sosial, melainkan masuk
kedalam segala bidang kehidupan masyarakat modern yang dapat digunakan sebagai sarana
melakukan suatu perubahan. Dan untuk kebijakan lingkungan global telah berevolusi pada era
pasca-Perang Dunia II ketika PBB membentuk kerangka kerja konsensus internasional umum
mengenai kebijakan lingkungan sebagai elemen integral dari kebijakan kependudukannya.
Hukum lingkungan internasional berkenaan dengan perlindungan hak milik bersama global
atas nama komunitas global. PBB telah mengembangkan peran kepemimpinan yang efektif
salah satu prinsip panduannya yaitu kedaulatan. Setiap negara memiliki kekuatan penuh untuk
melakukan apa yang diinginkan di wilayahnya sendiri, sementara tunduk pada hukum
internasional. Kepatuhan terhadap hukum lingkungan internasional bergantung pada itikad
baik bangsa-bangsa untuk menerapkannya dalam kebijakan, hukum, dan strategi mereka
sendiri. Adapun contoh kasus-kasus kebijakan lingkungan di Indonesia seperti Mencermati
Amdal PLTU Batang, Konflik Sosial Pabrik Semen dan sebaginya, serta kasus-kasus
kebijakan lingkungan secara global seperti Balada Kemacetan Kota Bangkok, Pemanasan
Global, Kebakaran Hutan dan lain sebagainya.

B. Saran
68
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang berhubungan dengan judul makalah
ini.
Penulis berharap penulis berikutnya untuk membahas makalah ini secara lebih lengkap.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis dan pembaca, khususnya pembaca umum.

DAFTAR PUSTAKA
69
Al-Adawiyah, Shafa Fatiy. Kebijakan Hukum Lingkungan Internasional Atas Peristiwa
Kebakaran Hutan Di Indonesia,. Gontor :Universitas Darussalam.

Arif, Anggraeni. Analisis Yuridis Pengrusakan Hutan (Deforestasi) dan Degradasi Hutan
terhadap Lingkungan, Jurispridentie Volume 3 Nomor 1.

Eccleston, Charles dan Frederic March, Global Environmental Policy : Concepts, Principles,
and Practice, Boca Raton : CRC Press, Taylor and Francis Group

Eulau, Heinz and Kennerth Prewit. 1999. Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Fadli, M Mukhlish. 2016. Hukum dan Kebijakan Lingkungan. Malang: UB Press.

Hadi, Sudharto P. 2014 Bunga Rampai Manajemen Lingkungan. Yogyakarta: Thafa Media.

Ulfah, Siti. 2010. Ilmu Pengetahuan Alam. Surakarta: Citra Pustaka Mandiri.

Sunoto. 1971. Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan


Analisis Kebijakan Bagi Pengelola Lingkungan. Jakarta : Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup.

Siregar, Eliyuzar. 2007. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang -


Undang Nomor 23 Tahun 1997. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2007.
Usman, Rachmadi. 2003. Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.

Purnaweni, Hartuti. 2014. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Di Kawasan Kendeng Utara


Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah: UNDIP.

Qomarullah, Muhammad. 2014. Lingkungan Dalam Kajian Al-Qur`An: Krisis Lingkungan


dan Penanggulangannya Perspektif Al-Qur`an. Sumatera: STAI Bumi Silampari
Lubuklingga Jurnal Vol. 15 No. 1
70
Syarif,, Laode M. Kadek Sarna,.2014., Hukum Lingkungan, Amerika:USAID.

Tijow, Lusiana. 2014. Kebijakan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia.


Gorontalo: UNG.

Sumber lain:
International Court of Justice, http://www.icj-cij.org/court/index.php?p1=p
http://www.icj-cij.org/imformation/en/ibleubook.pdf
http://www.un.org/aboutun/chart_en.pdf.

71

Anda mungkin juga menyukai