Anda di halaman 1dari 5

NAMA: ALIFAH OCHTAVIA MARDIYONO

KELAS:1A/14.401.19.006
JURUSAN: DIII KEPERAWATAN

K.H.Abdul Wahid Hasyim

Menteri Agama Indonesia Ke-1


Masa jabatan
30 September 1945 – 14 November 1945

Presiden Soekarno
Pendahulu Tidak ada, jabatan baru
Pengganti Rasjidi
Masa jabatan
20 Desember 1949 – 3 April 1952
Presiden Soekarno
Perdana Menteri Mohammad Hatta
Mohammad Natsir
Soekiman Wirjosandjojo
Pendahulu Masjkur
Pengganti Fakih Usman
Informasi pribadi
Lahir 1 Juni 1914 Jombang, Jawa Timur,
(Masa pendudukan Belanda)
Meninggal dunia
19 April 1953 (umur 38) Cimahi, Jawa Barat
Anak K.H. Abdurrahman Wahid
Aisyah Hamid Baidlowi
K.H. Salahuddin Wahid
dr. Umar Wahid, Sp.P
Lily Chodijah Wahid
Hasyim Wahid
Kelahiran
KH. Abdul Wahid Hasyim anak lelaki dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dengan Nyai
Nafiqah binti Kyai Ilyas, lahir di Jombang, pada hari Jumat legi, Rabiul Awwal 1333 H,
atau dengan 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya sedang ramai dengan pengajian.
Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim
Asy’ari. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang
kemudian lebih dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Demak.
Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu betemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V,
yang menjadi salah satu raja Kerajaan Mataram. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal
dengan sebutan Lembu Peteng. Kesepuluh putra KH. Hasyim Asy’ari itu adalah
Hannah, Khairiyah, Aisyah, Izzah, Abdul Wahid, A. Khaliq, Abdul Karim, Ubaidillah,
Masrurah, dan Muhammad Yusuf. Sementara itu, dengan Nyai Masrurah KH. Hasyim
Asy’ari dikaruniai empat putera, yakni Abdul Kadir, Fatimah, Khodijah dan Ya’kub.
Pendidikan
Abdul Wahid mempunyai otak sangat cerdas. Pada usia kanak-kanak ia sudah pandai
membaca al-Qur’an, dan bahkan sudah khatam al-Qur’an ketika masih berusia tujuh
tahun. Selain mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, Abdul Wahid juga belajar di
bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng.
Pada usia 12 tahun, setamat dari Madrasah, ia sudah membantu ayahnya mengajar
adik-adik dan anak-anak seusianya. Sebagai anak tokoh, Abdul Wahid tidak pernah
mengenyam pendidikan di bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Ia lebih banyak
belajar secara otodidak. Selain belajar di Madrasah, ia juga banyak mempelajari sendiri
kitab-kitab dan buku berbahasa Arab.
Abdul Wahid mendalami syair-syair berbahasa Arab dan hafal di luar kepala, selain
menguasai maknanya dengan baik. Pada usia 13 tahun ia dikirim ke Pondok Siwalan,
Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Ternyata di sana ia hanya bertahan sebulan.
Dari Siwalan ia pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi ia di pesantren ini
mondok dalam waktu yang sangat singkat, hanya beberapa hari saja.
Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu, seolah-
olah yang diperlukan Abdul Wahid hanyalah keberkatan dari sang guru, bukan ilmunya.
Soal ilmu, demikian mungkin ia berpikir, bisa dipelajari di mana saja dan dengan cara
apa saja. Tapi soal memperoleh berkah, adalah masalah lain, harus berhubungan
dengan kyai. Inilah yang sepertinya menjadi pertimbangan utama dari Abdul Wahid
ketika itu.
Sepulang dari Lirboyo, Abdul Wahid tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain,
tetapi memilih tinggal di rumah. Oleh ayahnya pilihan tinggal di rumah dibiarkan saja,
toh Abdul Wahid bisa menentukan sendiri bagaimana harus belajar. Benar juga, selama
berada di rumah semangat belajarnya tidak pernah padam, terutama belajar secara
otodidak. Meskipun tidak sekolah di lembaga pendidikan umum milik pemerintah Hindia
Belanda, pada usia 15 tahun ia sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa
Inggris dan Belanda. Kedua bahasa asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang
diperoleh dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri.
.Menikah
Pada usia 25 tahun, Abdul Wahid mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH.
Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai
enam anak putra, yaitu Abdurrahman ad-Dakhil (mantan Presiden RI), Aisyah (Ketua
Umum PP Muslimat NU, 1995-2000), Shalahudin al-Ayyubi (Insinyur lulusan
ITB/Pengasuh PP. Tebuireng Jombang, sesudah KH. Yusuf Hasyim), Umar (dokter
lulusan UI), Khadijah dan Hasyim.
Tokoh Muda BPUPKI
Karir KH. Abdul Wahid Hasyim dalam pentas politik nasional terus melejit. Dalam
usianya yang masih muda, beberapa jabatan ia sandang. Diantaranya ketika Jepang
membentuk badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan
atau dikenal dengan BPUPKI. Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota termuda
setelah BPH. Bintoro dari 62 orang yang ada. Waktu itu Wahid Hasyim berusia 33
tahun, sementara Bintoro 27 tahun.
Wafatnya
Tanggal 19 April 1953 merupakan hari berkabung. Waktu itu hari Sabtu tanggal 18
April, KH. Abdul Wahhid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri
rapat NU. Berkendaraan mobil Chevrolet miliknya, dengan ditemani seorang sopir dari
harian pemandangan, Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslim, dan putra
sulungnya, Abdurrahman ad-Dakhil. KH. Abdul Wahid Hasyim duduk di jok belakang
bersama Argo Sutjipto. Daerah sekitar Cimahi dan Bandung waktu itu diguyur hujan
dan jalan menjadi licin.
Pada waktu itu lalu lintas di jalan Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung,
cukup ramai. Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi KH.
Abdul Wahid Hasyim selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakang
Chevrolet nahas itu banyak iring-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan sebuah truk
yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag karena selip
dari arah berlawanan.
Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur
badan truk dengan keras. Saat terjadi benturan, KH. A Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto
terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. KH. Abdul
Wahid Hasyim terluka bagian kening, mata serta pipi dan bagian lehernya. Sementara
sang sopir dan Abdurrahman tidak cidera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian
belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.
Lokasi kejadian kecelakaan itu memang agak jauh dari kota. Karena itu usaha
pertolongan datang sangat terlambat. Baru pukul 16.00 datang mobil ambulan untuk
mengangkut korban ke Rumah Sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami
kecelakaan, kedua korban terus tidak sadarkan diri. Pada pukul 10.30 hari Ahad, 19
April 1953, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt dalam usia 39
tahun.
Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00, Argo Sutjipto menyusul menghadap
Sang Khalik. Ditetapkan Sebagai Pahlawan Berdasarkan Surat keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 206 tahun 1964 tertanggal 24 Agustus 1964, KH. Abdul Wahid
Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, mengingat jasa-jasanya
sebagai pemimpin Indonesia yang semasa hidupnya terdorong oleh taqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan rasa cinta tanah air dan bangsa, telah memimpin suatu
kegiatan yang teratur guna mencapai kemerdekaan nusa dan bangsa. Biografi singkat
KH. Abdul Wahid Hasyim disarikan dari buku ”99 Kiai Kharismatik Indonesia” di tulis
oleh KH. A. Aziz Masyhuri, terbitan Kutub, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai