Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MAKALAH MIASTHENIA GRAVIS

Oleh :

Aprillia Trisnawatik

19560102

Fakultas Ilmu Kesehatan

Profesi Ners

Universitas Muhammadiyah Ponorogo

2020
BAB I

Pendahuluan

1. Latar Belakang
Miastenia Gravis (MG) yang berarti kelemahan otot yang serius merupakan
penyakit neuromuskular menggambarkan kelelahan cepat otot. Penyakit ini timbul
karena adanya gangguan dari sinaps transmission atau pada neuromuscular
junction,bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot
akan pulih kembali.Miastenia gravis mempunyai prevalensi 85-125 per satu juta
jiwa dan insiden per tahun 2-4 per satu juta jiwa.
Puncak insiden penyakit ini dijumpai pada usia 20 hingga 40 tahun
yang didominasi oleh wanita dan pada usia 60 hingga 80 tahun sama antara
wanita dan pria. Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang, namun
prevelansinya meningkat baru-baru ini dengan estimasi terbaru mencapai 20 per
100000 orang di Amerika. Angka kejadian miastenia gravis dipengaruhi oleh
jenis kelamin dan umur. Angka kejadian miastenia gravis pada wanita 3 kali
lipat lebih tinggi dibandingkan pada pria pada usia dewasa muda. Insiden pada
pubertas hampir sama dengan populasi di atas 40 tahun. Miastenia gravis pada
anak-anak di Eropa dan Amerika Utara cukup jarang, kira-kira 10-15% dari
keseluruhan kasus, namun lebih sering di negara-negara Asia, dimana 50%
pasien mempunyai awitan dibawah umur 15 tahun, kebanyakan dengan manifestasi
okular.
Berdasarkan laporan RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) 2010, insiden
miastenia gravis di Indonesia diperkirakan 1 kasus dari 100.000. Data yang
didapatkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta terdapat 94 kasus
dengan diagnosis miastenia gravis pada periode tahun 2010-2011.Gejala klinis khas
pada miastenia gravis adalah kelemahan yang sering terkait dengan otot yang rentan
dan spesifik. Pasien sering mengeluhkan kelemahan otot yang berfluktuasi dari hari
ke hari atau dari jam ke jam, memburuk dengan aktivitas,dan membaik dengan
istirahat. Pasien dapat mempunyai gejala seperti ptosis, diplopia, disartria, disfagia,
dispnea, kelemahan otot wajah, atau tungkai atau kelemahan aksial yang berbeda
tingkat keparahannya bergantung terhadap kuantitas neuromuskular yang terlibat.
Kelemahan otot okular menyebabkan ptosis dan merupakan gejala paling sering
dan paling awal terjadi pada pasien miastenia gravis. Kelemahan otot okular ini
berfluktuasi dan penyakit biasanya berkembang menjadi kelemahan seluruh
tubuhdalam waktu 2 tahun setelah awitan penyakit. Penyebabnya diduga karena
serangan autoimun terhadap reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction.
Antibodi terhadap reseptor asetilkolin atau reseptor decamethonium complex
(anti-AchR) ditemukan dalam serum dari tigaperempat penderita miastenia gravis.
Abnormalitas timus juga ditemukan pada sebagian besar penderita miastenia
gravis, sekitar 75% dengan hiperplasia folikel kelenjar, dan 10-15% dengan
tumor thymic jenis lymphoblastic. Tindakan thymectomy menyebabkan remisi
dan perbaikan pada masing-masing 35% dan 50% penderita sehingga diduga
miastenia gravis berhubungan dengan serangan autoimun terhadap antigen pada
timus dan motor end plate atau abnormal clone dari sel-sel imun di thymus.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan prosedur
konfirmasi diagnostik.
2. Tujuan dan Rumusan Masalah
1. Tujuan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
 Tujuan umum
Untuk mengetahui secara umum penyakit Miastenia Gravis
keperawatan tentang penyakit Miastenia Gravis.
 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi miastenia gravis
2. Mengetahui etiologi miastenia gravis
3. Mengetahui patofisiologi myasthenia gravis
4. Mengetahui Klasifikasi miastenia gravis
5. Mengetahui manifestasi klinis miastenia gravis
6. Mengetahui pemeriksaan diagnostik miastenia gravis
7. Mengetahui penatalaksanaan miastenia gravis
8. Mengetahui komplikasi miastenia gravis
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penanganan secara gawat darurat/kritis pada pasien Miasthenia
Gravis ?
BAB II

Konsep Teori

1. Pengertian
Miastenia gravis merupakan salah satu kondisi kelainan autoimun yang ditandai
dengan kelemahan otot dan dihubungkan dengan adanya antibodi yang menyerang
reseptor asetilkolin, Muscle-specific Kinase (MUSK), dan Lipoprotein-Related
Protein 4 (LRP4) (Gilhus & Verschuuren, 2015). Miastenia gravis disebabkan
oleh immunoglobulin yang bereaksi terhadap reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction ( elizabeth J. Corwin, 2008). Kelainan ini disebabkan oleh
kegagalan transmisi melewati hubungan myoneural. Miastenia gravis terjadi
hampir selalu bersamaan dengan keterlibatan kelainan bulbar atau mata yaitu
sekitar 40%. Miastenia gravis merupakan salah satu penyakit yang mematikan
dengan prognosis yang buruk namun, seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan berbagai penatalaksanaan pada miastenia gravis dapat diberikan bagi
pasien.
2. Etiologi
Meskipun faktor persipitasi masih belum jelas, tetapi menurut penelitian
menunjukkan bahwa kelemahan myasthenic diakibatkan dari sirkulasi antibodi
ke reseptor Ach. Menurut hipotesis bahwa sel-sel myoid (sel-sel thymus yang
menyerupai sel-sel otot sketel) sebagai tempat yang paling terjangkit penyakit.
Virus bertanggung jawab terhadap cidera sel-sel ini, yang mana menyebabkan
pembentukan antibodi. Penelitian lain mengemukakan bahwa lymphocytic
thymic dari orang yang mengidap MG (Miastenia Gravis) dapat mensintesa Ach
Reseptor Antibody (Achrab) ke dalam vitro dan vivo yang menimbulkan
perbedaan mode thymic yang dipengaruhi.
3. Patofisiologi
Miastenia gravis dapat menyebabkan kelemahan otot yang mengontrol
gerakan mata (miastenia gravis okular) atau dapat memengaruhi otot lain yang
berada di seluruh tubuh (miastenia gravis umum). Perkembangan penyakit
bervariasi yang dapat berkembang lambat, dengan atau tanpa remisi, atau
berkembang cepat hingga menyebabkan kematian akibat paralisis otot pernapasan
yang mengarah pada gagal napas. Penyebab miastenia gravis tidak diketahui,
namun berkaitan dengan kecenderungan anggota keluarga yang mengalami
penyakit autoimun. Kelenjar timus seringkali mengalami hyperplasia, namun pada
masa anak-anak berfungsi normal. Corwin (2008) menyebutkan bahwa kelainan
pada timus dapat mencetuskan atau melanjutkan respons imun. Asetilkolin (ACh)
merupakan neurotransmitter utama pada area tautan neuromuskular
(neuromuscular junction) (Woodward & Mestecky, 2011). Lebih lanjut dijelaskan
ujung serabut saraf mengeluarkan ACh yang akan berikatan dengan Nicotinyl
Acetylcholine Receptor (n-AChR) di membran otot yang akan menginisiasi
terjadinya kontraksi otot. Selanjutnya, sisa ACh yang tidak berikatan dengan
reseptor asetilkolin akan dihancurkan oleh ACh esterase (AChE) pada synaptic
space.
Kerusakan sistem saraf perifer yang terjadi pada miastenia gravis ditandai
dengan pembentukan auto-antibodi yang menyerang reseptor asetilkolin di daerah
motor end-plate otot rangka. Auto-antibodi IgG secara kompetitif berikatan
dengan reseptor asetilkolin (AChR) dan mencegah pengikatan asetilkolin ke
reseptor sehingga merusak reseptor serta mencegah terjadinya kontraksi otot
(Corwin, 2008). Pada sebagian besar kasus, antibodi berikatan dengan Nicotinic
Acetylcholine Receptors (nAChR) maupun struktur lain seperti Muscle Specific
Tyrosin Kinase (MuSK). Ikatan antibodi inilah yang menginisiasi proses imun
pada tubuh yang bertujuan untuk menurunkan jumlah dari nAChR sehingga dapat
menurunkan transmisi pada tautan saraf (Musilek et al., 2012). Terdapat tiga
mekanisme menurunnya fungsi dari AChR diantaranya:
 Antibodi membuat ikatan dan cross-linking pada AChR sehingga
mempercepat degradasi dari AChR
 Aktivasi sistem komplemen yang berujung pada kerusakan pada lapisan
post-sinaps.
 Menghalangi lokasi terjadinya ikatan antara asetilkolin dan reseptornya
(Bufler, 1996 dalam Toyka & Gold, 2007).

AChR dapat ditemukan pada permukaan sel-sel otot dan terkonsentrasi


pada sinaps antara sel-sel saraf dan sel-sel otot. AChR terbentuk dari lima
jenis rantai protein (2αβεδ pada dewasa dan 2δβγδ pada fetus). Rantai α
(alpha) memiliki lokasi tempat ACH berikatan dengan AChR pada sisi
eksternal dan memiliki area immunogenic utama yang dapat dikenali oleh
anti-AChR. Pada kondisi normal, ketika ACh berikatan dengan kedua rantai
tersebut menyebabkan bentuk pada keseluruhan reseptor akan berubah.
Perubahan ini menghasilkan sebuah saluran atau jalan yang merupakan
konfirmasi untuk terjadinya perubahan muatan ion dengan cara perpindahan
ion melintasi membran, menghasilkan potensial pada endplate, dan
menginisiasi terjadinya kontraksi otot ( elizabeth J. Corwin, 2008). Toyka dan
Gold (2007) juga menyebutkan bahwa timus berperan dalam menginisiasi
respon autoimun terhadap AChR pada miastenia gravis. Timus berperan dalam
proses diferensiasi sel T. Pada kebanyakan kasus miastenia gravis,ditemukan
perubahan struktur dan fungsi dari kelenjar timus yakni adanya tumor
(thymoma) maupun tingginya jumlah sel B dalam tubuh (follicular
hyperplasia). Ricciardi et al. (2016) menegaskan bahwa kondisi abnormalnya
produksi antibodi pada pasien miastenia gravis dapat dipicu oleh kelainan
pada timus seperti hyperplasia (65% kasus), thymoma (10-15% kasus), dan
artrofi (1-2% kasus). Pilosso dan Moran (2013) dalam Berrih-aknin & Panse
(2014) menyebutkan bahwa dari 302 pasien dengan thymoma 55%
diantaranya merupakan pasien dengan miastenia gravis dan 39% diketahui
mengalami gangguan autoimun.

4. Klasifikasi
Terdapat dua target pada membrane end plate yakni reseptor asetilkolin (mencapai
90%) dan Muscle-Specific Kinase (MuSK, mencapai 5%) (Toyka & Gold, 2007).
Gilhus dan Verschuuren (2015) membedakan miastenia gravis
menjadi beberapa sub-grup, diantaranya:
1. Early Onset Myasthenia Gravis With AChR Antibodies (EOMG)
Kelompok ini biasanya terjadi pada kelompok usia di bawah 50 tahun.
Pasien dengan miastenia gravis jenis ini mengalami proses yang berbeda
dikarenakan jumlah AChR pada tautan neuromuskular berkurang yang
berdampak pada perbedaan muatan ion sehingga potensial di area endplate
berkurang dan kontraksi otot tidak dapat maksimal. Tingkat keparahan
penyakit dihubungkan dengan kehilangan AChR yang dapat dikonfirmasi
melalui pemeriksaan biopsi otot. Banyak mekanisme menurunnya jumlah
AChR pada survivals MG salah satunya yaitu rusaknya membran post-sinaps
oleh aktivasi komplemen pada respon imun (Toyka & old, 2007). Gilhus dan
Verschuuren (2015) menambahkan bahwa pasien yang diketahui memiliki
timoma pada saat dilakukan pembedahan dikeluarkan dari sub-grup ini namun
berespon terhadap tindakan timektomi.
2. Late Onset Myasthenia Gravis With AChR Antibodies (LOMG)
Pasien miastenia gravis pada kelompok ini terjadi pada usia di atas 50 tahun.
Pada kelompok ini dapat ditemukan serum AChR namun timoma tidak dapat
dibuktikan melalui pemeriksaan diagnostik maupun saat dilakukan
pembedahan. Berbeda dengan kelompok sebelumnya, pasien pada kelompok
ini tidak berespon terhadap tindakan timektomi. Berdasarkan penelitian
retrospektif diketahui bahwa LOMG pada geritatri lebih mudah untuk
mengalami perburukan status kesehatan (Sakai et al., 2016).
3. Thymoma-Associated Myasthenia Gravis
Kondisi timoma ditemukan pada 10-15 % pasien dengan miastenia gravis.
Pada kelompok ini juga seringkali ditemukan serum AChR.
4. MUSK Associated Myasthenia Gravis
MUSK merupakan salah satu jenis protein yang berada di membran post-
sinaps yang secara fisiologis berhubungan serta mempertahankan fungsi dari
AChR. 1-4% pasien miastenia gravis berada pada kelompok ini.LRP4
associated myasthenia gravis Sama halnya dengan MUSK, LRP4 dapat
ditemukan di area membran post-sinaps. LRP4 berfungsi sebagai reseptor
nerve-derived agrin dan aktivator dari MUSK yang penting dalam
mempertahankan fungsi AChR. LRP4 ditemukan pada 2-27% pasien
miastenia gravis.
5. Antibody- Negative Generalized Myasthenia Gravis
Kelompok ini tidak memiliki AChR, MUSK, dan juga LRP4 dengan titer
antibodi yang sangat rendah. Pasien miastenia gravis sebanyak 20-50% berada
pada kelompok ini.
6. Ocular Myasthenia Gravis
Pada sebagian pasien dengan miastenia gravis, tanda dan gejala terbatas pada
kelemahan pada otot-otot mata. Seorang pasien miastenia gravis dikatakan
memiliki miastenia gravis okular dengan karakteristik miastenia gravis
terbatas pada keluhan di area mata dengan batas waktu 2 tahun ( elizabeth
J.Corwin, 2008). Pasien miastenia gravis yang murni dikelompokan pada
miastenia gravis okular ini memiliki risiko yang tinggi untuk berkembang
menjadi miastenia umum. Berbeda dengan klasifikasi sebelumnya, Myasthenia
Gravis Foundation of America (MGFA) mengklasifikan miastenia gravis ke
dalam lima kelas dengan karakteristik yang berbeda tiap kelasnya. Kelas
pertama (I) memiliki karakteristik seperti miastenia gravis okular sedangkan
kelas kelima (V) membutuhkan tindakan intubasi untuk mendukung sistem
pernapasan pasien. Semakin tinggi kelas maka karakteristik yang dimiliki
pasien semaki berat. otot lurik khususnya yang dipersarafi oleh saraf kranial
termasuk pada otot di area wajah, oral, palatum, juga otot faringeolaringeal.
Lebih lanjut lagi Woodward & Mestecky (2011) dijelaskan pula bahwa
dengan adanya keterbatasan dalam fisik pada pasien miastenia gravis dapat
menyebabkan kemandirian yang berkurang, gangguan citra tubuh, serta
berubahnya fungsi sosial.
5. Manifestasi klinis yang muncul pada pasien miastenia gravis meliputi:
 Kelemahan otot mata, yang menyebabkan ptosis (turunnya kelopak mata).
 Kelemahan otot wajah, leher, dan tenggorokan yang menyebabkan
kesulitan makan dan menelan.
 Penyebaran kelemahan otot yang berkelanjutan.
Pada awalnya terjadi keletihan ringan dengan pemulihan kekuatan
setelah beristirahat. Akhirnya, kekuatan tidak pulih setelah beristirahat.
Gejala yang paling umum adalah diplopia, terjdai pada 90% kasus.
Gangguan persendian dan suara hipernasal sering ditemukan. Kelemahan
laring dan faring muncul pada sepertiga pasien miastenia gravis. Disfonia
juga memburuk pada pemakaian suara yang lama dan berlebihan.yang
terjadi Woodward dan Mestecky (2011) menyebutkan bahwa pasien
miastenia gravis dapat mengalami keterbatasan untuk berpartisipasi dalam
berbagai aktivitas fisik dan juga kurangnya kepercayaan diri pada pasien.
Manifestasi dari miastenia gravis tidak hanya berfokus pada penurunan
kesehatan fisik pada pasien namun juga aspek psikologis dan sosial pasien
sebagai manifetasi tanda dan gejala fisik yang dialaminya. Ketidakpastian,
kecemasan, denial, keraguan, maupun ketakutan dapat dirasakan oleh
pasien dan juga keluarga. Namun dijelaskan pula bahwa psikoterapi tidak
dibutuhkan sampai muncul gejala psikotik reaktif. Sedangkan kemandirian
pasien miastenia gravis dapat terganggu akibat kelemahan otot yang terjadi
dan dapat mempengaruhi fungsi normal tubuh, basic life style, maupun
konsep diri pasien (Woodward & Mestecky, 2011). Meskipun miastenia
gravis termasuk salah satu penyakit yang mematikan, namun kondisi
pasien dapat mengalami perbaikan dengan pemberian terapi baik dengan
pemberian medikasi maupun operatif sehingga diharapkan dapat
mengembalikan pasien pada kehidupan normalnya. Namun hal ini berbeda
bagi setiap individu, karenanya rencana terapi harus disesuaikan dengan
kemampuan tubuh pasien. Perawat sebagai pemberi asuhan tetap harus
mempertimbangkan aspek etik dengan mengedepankan keuntungan bagi
pasien, meminimalkan risiko dan juga aspek kualitas hidup pasien.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Perangkat diagnostik yang dapat dilakukan untuk mengangkat diagnosa miastenia
gravis diantaranya:
 Tes farmakologi (Pharmacologic Test). Pada kondisi normal asetilkolin
diurai di tautan neuromuskular oleh enzim asetilkolinerase. Diagnosis
klinis miastenia gravis dapat ditegaskan berdasarkan kembalinya kekuatan
otot setelah pemberian intravena obat yang mencegah aktivitas
asetilkolinerase sehingga memperpanjang waktu paruh asetilkolin.
Edrofonium klorida atau tensilon merupakan kolinesterase inhibitor
dengan cara kerja short acting yang memungkinkan asetilkolin untuk
berikatan dengan reseptornya sehingga untuk sementara dapat terjadi
kontraksi otot volunteer (Woodward & Mestecky, 2011). Efek tensilon
berlangsung beberapa menit, kemudian kelemahan otot muncul kembali.
Dosis yang diberikan biasanya 10 mg, 2 mg, 3 mg, dan 5 mg, hal ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya risis koligernik. Miastenia gravis
dapat ditegakan apabila pasien menunjukan perbaikan pada kekuatan otot
(secara signifikan dapat dilihat pada otot okular) . Efek samping dari
pemeriksaan ini adalah penurunan frekuensi nadi pada pasien (Woodward
& Mestecky, 2011). Maka harus disiapkan alat resusitasi apabila terjadi
penurunan kondisi pasien.
 Pemeriksaan dengan menggunakan es dapat dilakukan. Pasien diminta
untuk memegang ice packs lalu pasien diminta untuk menutup mata
selama satu sampai dengan dua menit dan diobservasi adanya ptosis yang
bertambah.
 Pemeriksaan serum antibodi reseptor asetilkolin. Keberadaan antibodi
reseptor asetilkolin terjadi pada sebagian besar kasus miastenia gravis.
Pada miastenia gravis yang berhubungan dengan timoma, antibodi Muscle-
Specific Kinase (MuSK) lebih sering ditemukan.
 Pemeriksaan radiografi seperti CT-Scan atau MRI di area mediastinum
dapat dilakukan untuk screening timoma.
 Pengukuran elektromiografi (EMG) potensial aksi otot rangka
memperlihatkan penurunan amplitudo pada stimulasi neuron motorik.
Pemeriksaan dengan menggunakan EMG dapat mengahsilkan hasil negatif
terutama pada miastenia gravis okular (Cantor, 2010; E. Corwin, 2009;
Hickey, 2014; Nair, Chhablani, Venkatramani, & Gandhi, 2014;
Woodward & Mestecky, 2011).
7. Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan medis klien myasthenia gravis meliputi :
a. Medikamentosa
- Piridostigmin ( tablet 60 mg) Dosis awal 4 x 15 mg ( ¼ tablet ) setelah
2 haridtingkatkan menjadi 4x30 mg jika perlu dapat ditingkatkan
menjadi 4x60 mg. Dosis maksimum 6 table/hari (360 mg /hari) Jika
tidak berespons dapat diberi kortikosteroid maupun Azathioprine. Bila
Pasien usia <45 tahun dengan AChR + ,dapat dipertimbangkan
timektomi dini.
- Kortikosteroid ( Prednison) dapat diberikan selang beberapa hari.
Dosis mencapai 1,5mg/kg/selang sehari atau ,misalnya 100
mg/hari.Dosis ini dipertahankan sampaipasien menagalami remisi
( beberapa bulan ). Dosis dapat dikurangi per 10 mg setiap3-4 mgg
sampai 20 mg / selang sehari. Dosis kemudian dikurangi 1 mg setiap
bulan dan diberikan kembali dengan dosis tinggi bila relaps.
- Azathiropin, dapat diberikan dengan dosis awal 2 x 25mg. Dosis
dapat ditingkatkan menjadi 25 /hari sampai mencapai 2,5 mg
/kg/hari. Sebelum dilakukan terapi dilakukan evaluasi darah rutin
(hitung jenis dan fungsi hati). Evaluasi dilakukan setiap 3 minggu
selama 8 minggu kemudian setiap 3 bulan. (Dewanto dkk,2009:64).

b. Timektomi
Kelenjar Timus Memproduksi T- Limfosit yang berperan dalam
system imun. Ada penderita Miastenia Gravis,kelenjar tymus dapat mengalami
peningkatan jumlah sel (hyperplasia timus) atau tumor (Tinoma), sehingga
merangsang, pembentukan antibody berlebihan. Tindakan Timektomi terbukti
memperbaiki kondisi klinis paseien MG. (Dewanto dkk,2009:64).
c. Plasmaferesis ( Plasma Exchange)
Efektif sebagai terapi jangka pendek pada pasien MG dengan
exaserasi akut. Pada Plasma ferensis dilakukan pengantian darah dengan
sel darah merah merah, sehingga plasma darah dibuang dan diganti dengan
suplemen yaitu human albumin dan larutan normal salin.
d. Intavenous Imunoglobulin ( IV ig)
Mekanisme kerja adalah mengurangi kemotaksis atau aktivasi
makrofag.
e. Pembedahan
f. Plasmapharesi
g. Thymectomy
h. Ventilasi mekanik/terapi oksigen
i. Terapi fisik
j. Terapi okupasi
k. Obat-obatan : anticholinesterase, kortikosteroid, hormon pituitary
l. Dukungan nutrisi.(Dewantodkk,2009:63)
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien miastenia gravis yakni krisis
miastenik dan krisis koligernik. Krisis miastenik memiliki karakteristik sepeti
kelemahan pada otot-otot pernapasan, tidak mampu memenuhi ventilasi yang
adekuat sehingga menyebabkan gagal napas bahkan kematian. Krisis miastenik,
yang ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada
gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh.
Krisis miastenik dapat terjadi setelah pengalaman yang menimbulkan stress
seperti penyakit, gangguan emosional, pembedahan, tapering off prednisone atau
selama kehamilan (Hickey, 2014). Meskipun dengan pemberian medikasi, pasien
dapat dengan cepat mengalami perburukan seperti pembengkakan dan kesulitan
bernapas sehingga membutuhkan intubasi dan dukungan ventilator. Kondisi krisis
miastenik seringkali membutuhkan perawatan intensif, observasi ketat, intubasi
untuk penggunaan ventilasi mekanik, dan juga dukungan asupan nutrisi (Cereda et
al., 2009).
Berdasarkan hasil studi kohort selama 5 tahun diketahui bahwa perburukan
dari miastenia gravis paling banyak terjadi di tahun pertama dan jenis miastenia
gravis okular memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami perburukan
dibandingkan dengan miastenia gravis umum (Khadilkar et al., 2014). Krisis
koligernik merupakan salah satu kondisi respons toksik yang kadang dijumpai
pada penggunaan obat antikolinerase yang terlalu banyak ( elizabeth J. Corwin,
2008).
Status hiperkolinergik dapat terjadi yang ditandai dengan peningkatan
motilitas usus, konstriksi pupil, dan bradikardia.Individu dapat mengalami mual,
muntah, berkeringat, dan diare yang akhirnya dapat mengarah pada kondisi gagal
napas. Hickey (2014) mendeskripsikan krisis koligernik sebagai kejadian pada
pasien miastenia gravis dikarenakan efek toksik dari obat-obatan seperti
muscarine dan nicotinic. Efek muscarine bekerja dengan lambat sedangkan efek
nicotinic biasanya diawali dengan keram di area abdomen dan diare sebelum
akhirnya menyebabkan krisis koligernik. Selain obat-obatan tersebut, pemberian
steroid dosis yang tinggi maupun penatalaksanaan yang inadekuat dapat
menginisiasi terjadinya krisis (Thanvi & Lo, 2004).
Pasien miastenia gravis yang mengalami krisis harus menjalani masa rawat di
intensive care unit (ICU) dan mendapatkan bantuan pernapasan dengan
menggunakan ventilator (Toyka & Gold, 2007). Dengan adanya penurunan
kemampuan menelan dan juga pemasangan intubasi pada pasien miastenia gravis,
tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya infeksi di saluran pernapasan akibat
aspirasi (Cereda et al., 2009). Hal ini mengarah pada kejadian VAP (Ventilator
Acquired Pneumonia) maupun pneumonia yang diakibatkan oleh aspirasi. Dalam
tulisannya disebutkan juga apabila pemberian terapi asetilkolinerase tidak
menunjukan peningkatan kondisi kesehatan pasien secara bermakna maka pasien
membutuhkan bantuan napas dengan ventilator pada waktu yang lama. Masa
perawatan yang lama mengarah pada kejadian infeksi akibat ventilator maupun
karena hospitalisasi.

Pemberian antibiotik dapat diberikan untuk mencegah komplikasi tersebut.


Namun yang harus menjadi pertimbangan tenaga kesehatan yakni efek merugikan
dalam pemberian antibiotik yang pada sebagian pasien akan memperburuk kondisi
kesehatannya (Berkel, Twilla, & England, 2016). Gilhus dan Verschuuren (2015)
menyebutkan bahwa pemberian immunoglobulin secara intra vena dan
plasmaferesis dapat menurunkan gejala penyakit, menurunkan risiko komplikasi
dan berkontribusi pada pemulihan yang lebih dini.
BAB III
Critical Thinking
Berdasarkan pendapat beberapa jurnal untuk mendukung penatalaksaan
Miastenia Gravis :

Judul Jurnal :

1. Pengaruhnya tindakan Tymectomy/imunosupresif pada miasthenia gravis terhadap sel


regulator T
2. Manajemen gawat darurat pasien miasthenia gravis dengan antibiotik awal pada
pasien kritis/penyembuhan dengan pneumonia di mayarakat

Penulis :

1. Jakubíková, M., Ha, jin pit, Mare, H., Týblová, M., Nováková, I., & Schutzner, J.
pada tahun 2015, Jurnal Ilmu Neurologis
2. Berkel, M. A. Van, Twilla, J. D. Pada tahun 2016, Jurnal Kedokteran

Penatalaksanaan yang dapat diberikan diantaranya timektomi, asetikolinerase,


imunosupresan, plasmaferesis, hingga tindakan operatif timektomi. Setiap pasien
memiliki hasil yang berbeda-beda setelah menjalani pengobatan dan masa perawatan lalu
kembali ke rutinitas sehari-hari. Bisa jadi hanya sedikit perubahan yang muncul dalam
kemampuan mereka atau bahkan sampai mengalami keterbatasan baik secara fisik,
kognitif, maupun keduanya. Sampai saat ini belum ada penatalaksanaan yang pasti bagi
tiap-tiap pasien miastenia gravis. Terapi farmakologi yang dapat dikonsumsi oleh pasien
pun terbatas dikarenakan respon alergi yang berbeda-beda untuk masing-masing individu.
Hal ini dipertegas dengan studi kasus pada pasien miastenia gravis berusia 85 tahun yang
mengalami CAP (Community Acquired Pneumonia) dan penurunan fungsi pernapasan.
Pemberian antibiotik untuk meredakan gejala CAP menjadi faktor pemberat dari
miastenia gravisnya akibat proses alergi (Berkel et al., 2016).

Penatalaksanaan pada miastenia gravis dengan terapi konvensional tidak dapat


memberikan hasil akhir kesembuhan pasien secara menyeluruh sedangkan pemberian
immunosupresan pada pasien juga dapat memberikan efek samping yang berat (Twork et
al., 2010). Kondisi ini membuat pemberian terapi dan pengawasan penatalaksanaan pada
pasien miastenia gravis memerlukan perhatian dari tenaga kesehatan sebagai provider
pemberi asuhan. Penatalaksanaan pada fase akut difokuskan untuk mengurangi titer
antibodi yang ada pada tubuh dengan dilakukannya plasmaferesis, pemberian
immunoglobulin (IVIg), dan pemberian kortikosteroid (Godoy, Mello, Masotti, & Napoli,
2013).

Salah satu penatalaksanaan yang dapat diberikan yaitu therapeutic plasma exchange
atau yang lebih dikenal dengan plasmaferesis. Pada kebanyakan kelainan neurologi sepeti
miastenia gravis, cairan pengganti yang dianjurkan adalah albumin 5% (McLeod, 2010;
Winters, 2008 dalam Dyar, 2013). Setelah atau pada saat dilakukan plasmaferesis, reaksi
vasovagal dapat terjadi yang ditandai dengan nyeri, diaphoresis, hipotensi, dan bradikardi
(frekuensi denyut nadi dapat menurun hingga 30 kali dalam satu menit). Penatalaksanaan
lain yang dapat diberikan pada pasien miastenia gravis adalah dilakukannya prosedur
timektomi. Meta-analisis yang dilakukan Gronseth dan Barohn (2000) dalam Schneider-
gold dan Toyka (2007) menyatakan bahwa thymectomy yang dilakukan pada pasien
miastenia gravis di bawah usia 45 tahun menunjukan peningkatan prognosis penyakit.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan Twork, Wiesmeth, Klewer, Pöhlau, dan Kugler
(2010) dalam penelitiannya yang menyebutkan bahwa pasien miastenia gravis yang
menjalani timektomi memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan pasien
yang hanya menjalani pengobatan konservatif. Mendukung penelitian sebelumnya,
Jakubíková et al. (2015) dalam penelitiannya terkait tindakan timektomi pada pasien
miastenia gravis menunjukkan peningkatan yang signifikan pada jumlah sel imun pasien
setelah dilakukannya timektomi yang dikombinasikan dengan pemberian imunosupresan.
Akan tetapi, pemberian imunosupresan dan tindakan timektomi harus menjadi perhatian
tenaga kesehatan dikarenakan dampaknya yang dapat meningkatkan risiko penyakit dan
menurunkan fungsi kesehatan terutama pada geriatri.

Dalam bukunya Corwin (2009) menjabarkan penatalaksanaan yang dapat diberikan


pada pasien miastenia gravis, meliputi peningkatan periode waktu istirahat, antikolinerase
untuk memperpanjang waktu paruh asetilkolin, anti-inflamasi untuk membatasi serangan
autoimun, atropine (penyekat asetilkolin) pada krisis koligernik, bantuan napas pada
kondisi krisis yang menyebabkan gagal napas, plasmaferesis (dialisis darah dengan
pengeluaran IgG), dan timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan).
Penatalaksaan pada pasien miastenia gravis seringkali dilakukan dengan hasil jangka
panjang yang bervariasi.Pemberian asetilkolinerase pada pasienmiastenia gravis
merupakan basic symptomatic treatment yang pemberiannya harus diperhatikan karena
harus dikonsumsi secara teratur dan berkelanjutan (Gilhus & Verschuuren, 2015; Meyer
& Levy, 2010; Toyka & Gold, 2007). Toyka dan Gold (2007) menambahkan bahwa
pemberian asetilkolinerase memiliki efek samping seperti anoreksia, mual dan muntah,
bronkhokonstriksi, kongesti pada konjungtiva, bradikardi, dan hipotensi. Bahan
pertimbangan lain yang harus menjadi perhatian tenaga kesehatan yakni pemberian
antikolinerase yang harus dibatasi hanya untuk meredakan gejala miastenik yang muncul
agar efek samping obat tidak terjadi.

Pemberian asetilkolinerase pada dosis tinggi dapat membahayakan kondisi pasien dan
menyebabkan krisis koligernik (Ricciardi et al., 2016). Pemberian asetilkolinerase pada
pasien dengan prognosis yang buruk dan semakin berkurangnya jumlah AChR tidak akan
efektif dan harus ditunjang dengan metode yang lain, salah satunya yakni plasmaferesis.
Pemberian plasmaferesis merupakan manajemen akut dan pada kelemahan otot yang luas.
Pada plasmaferesis, plasma pasien akan terpisah dari darah dan digantikan dengan saline
maupun cairan yang lain. Cairan yang sering digunakan untuk tindakan plasmaferesi pada
pasien miastenia gravis yakni albumin 5%. Plasmaferesis bertujuan untuk menurunkan
jumlah antibodi AChR. Plasmaferesis yang berulang (5 kali dalam waktu 5-10 hari)
dibutuhkan untuk menurunkan titer antibodi dan total IgG. Plasmaferesis biasanya
dilakukan pada kondisi krisis maupun sebelum dilakukan prosedur pembedahan seperti
timektomi maupun prosedur pembedahan lainnya (Dyar, 2013; Nair et al., 2014).

Miastenia gravis seringkali dihubungkan dengan kondisi timoma sehingga timektomi


menjadi salah satu pilihan penatalaksanaan medis bagi pasien dengan miastenia gravis.
Secara klinis timektomi menunjukan peningkatan kondisi kesehatan dan menurunkan
kesempatan terjadinya komplikasi seperti krisis miastenik bahkan pada beberapa kasus
tidak ditemukan lagi kekambuhan (Hammoumi, Arsalane, Fayc¸al El Oueriachi, &
Kabiri, 2013; Bykov & Smolin.,2015; Ricciardi et al., 2016). Gilhus dan Verschuuren
(2015) menyebutkan bahwa tindakan timektomi harus dilakukan sedini mungkin namun
tidak menjadi kondisi emergency. Sejalan pentingnya timektomi pada pasien dengan
miastenia gravis, Ricciardi et al. (2016) yang menyebutkan bahwa pada pasien miastenia
gravis, prosedur timektomi universally recommended dengan kata lain prosedur
timektomi dianjurkan bagi semua tipe miastenia gravis khususnya bagi pasien dengan
miastenia gravis positif antibodi AChR. Pada pasien dengan usia yang relatif muda
dengan tidak terbuktinya terdapat timoma, penatalaksanaan timektomi membuat
manifestasi klinis akibat miastenia gravis dapat terkontrol (Cantor, 2010).

Pemberian obat-obatan jenis immunosupresan seringkali tidak dapat diterima dengan


baik oleh pasien miastenia gravis dikarenakan efek samping obat dalam pemberian yang
lama dapat menurunkan kondisi imunitas dari pasien (Dalakas, 2013). Pengembangan
terapi medikasi berdasarkan evidence based practice pada kasus miastenia gravis masih
terus dilakukan dengan cara clinical trial demi mendapatkan hasil yang maksimal dalam
pemberian terapi (Punga, Kaminski, Richman, & Benatar, 2015).

Kesimpulan

Miastenia gravis ialah penyakit dengan gangguan pada ujung-ujung saraf


motorik di dalam otot yang mengakibatkan otot menjadi lekas lelah. Otot-otot
pada pergerakan berulang-ulang atau terus-menerus menjadi lelah dan ampuh.
Miastenia gravis merupakan penyakit kronis, neuromuskular, autoimun yang bisa
menurunkan jumlah dan aktifitas reseptor Acethylcholaline (ACH) pada
Neuromuscular junction, Meskipun faktor persipitasi masih belum jelas, tetapi
menurut penelitian menunjukkan bahwa kelemahan myasthenic diakibatkan dari
sirkulasi antibodi ke reseptor Ach. Tanda dan gejala klien myasthenia gravis meliputi
: Kelelahan, Wajah tanpa ekspresi, Kelemahan secara umum, khususnya pada
wajah, rahang, leher, lengan, tangan dan atau tungkai. Kelemahan meningkat
pada saat pergerakan, Kesulitan dalam menyangkut lengan diatas kepala atau
meluruskan jari, Kesulitan mengunyah, Kelemahan, nada tinggi, suara lembut,
Ptosis dari satu atau kedua kelopak mata, Kelumpuhan okular, Diplopia,
Ketidakseimbangan berjalan dengan tumit, namun berjalan dengan jari kaki,
Kekuatan makin menurun sesuai dengan perkembangan , Inkontinensia stress,
Kelemahan pada sphincter anal, Pernapasan dalam, menurun kapsitas vital,
penggunaan otot-otot aksesori.
Daftar Pustaka

Berkel, M. A. Van, Twilla, J. D., & England, B. S. (2016). emergency department


management of myasthenia gravis patient with community-acquired pneumonia:
does initial antibiotic choice lead to cure or crisis? Journal of Emergency Medicine,
50(2), 281–285
Corwin, elizabeth J. (2008). handbook of pathophysiology (third edit). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Corwin, E. (2009). Buku Saku Patofisiologi. (E. K. Yudha, E. Wahyuningsih, D. Yulianti, &
P. E. Karyuni, Eds.) (3rd ed.). Jakarta: EGC.

Gilhus, N. E., & Verschuuren, J. J. (2015). Myasthenia gravis : subgroup classification and
therapeutic strategies. The Lancet Neurology, 14(10), 1023 1036

Hickey, joanne V. (2014). The clinical Practice of neurological and neurosurgical nursing
(seventh ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

Jakubíková, M., Ha, jin pit, Mare, H., Týblová, M., Nováková, I., & Schutzner, J. (2015).
Two-year outcome of thymectomy with or without immunosuppressive treatment in
nonthymomatous myasthenia gravis and its effect on regulatory T cells. Journal of
the Neurological Sciences, 358, 101–106

Khadilkar, S. V, Chaudhari, C. R., Patil, T. R., Desai, N. D., Jagiasi, K. A., & Bhutada, A. G.
(2014). Once myasthenic , always myasthenic ? Observations on the behavior and
prognosis of myasthenia gravis in a cohort of 100 patients. Neurology India, 62(5),
492–497.

Musilek, K., Komloova, M., Holas, O., Horova, A., Zdarova-karasova, J., & Kuca, K. (2012).
myasthenia gravis-current treatment standards and emerging drugs, a look into
myasthenia gravis. ( joseph a Pruitt, Ed.)

Punga, anna rostedt, Kaminski, henry j, Richman, david p, & Benatar, M. (2015). How
clinical trials of myasthenia gravis can inform pre-clinical drug development.
Experimental Neurology, 270, 78–81

Ricciardi, R., Melfi, F., Maestri, M., Rosa, A. De, Petsa, A., & Mussi, A. (2016). Endoscopic
thymectomy : a neurologist’ s perspective. Annals of Cardiothoracic Surgery, 5(1),
38–44.

Sakai, W., Matsui, N., Ishida, M., Furukawa, T., Miyazaki, Y., Fujita, K., … Kaji, R. (2016).
Late-onset myasthenia gravis is predisposed to become generalized in the elderly.
ENSCI, 2, 17–20
Woodward, S., & Mestecky, A. (2011). neroscience nursing evidence-based practice. (S.
Woodward & A. Mestecky, Eds.). chichester: wiley-blackwell

Anda mungkin juga menyukai