Anda di halaman 1dari 9

POCUT BAREN

Pendahuluan
Jika kita menapaki masa lalu Aceh, kita akan segera mengetahui sejumlah
wanita yang mempunyai karya besar yang tidak kalah dengan para prianya. Banyak
wanita yang turut serta memberikan andil besar, terutama dalam pertumbuhan dan
pengembangan Kerajaan Aceh serta perjuangan dalam melawan imperialisme dan
kolonialisme bangsa asing yang ingin menancapkan kuku penjajahannya di tanah
rencong ini.
Jika di daerah lain, peranan wanitanya belum begitu menonjol, maka Aceh
justru muncul banyak tokoh-tokoh wanita yang menjadi pemimpin, baik pemimpin
militer maupun kepala pemerintahan. Hal ini membuktikan bahwa dalam gerakan
emansipasi wanita, Aceh selangkah lebih maju dibandingkan dengan daerah-daerah
lain di Indonesia Hal ini terbukti dengan adanya wamita yang menjadi Sultanah,
(wanita kepala pemerintahan Kerajaan Aceh), Uleebalang (kepala kenegerian),
Laksamana (pemimpin angkatan perang), pemimpin gerilya melawan Belanda,
penyair dan sastrawan wanita.
Peran wanita dalam bidang pemerintahan dapat dibuktikan dengan
munculnya beberapa Sultanah yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam, di
antaranya yaitu pertama, Sultanah Tajul Alan Safiatuddin Syah yang naik tahta pada
tahun 1641-1675. Sebagai putri Sultan Iskandar Muda, ia berhak menggantikan
kedudukan suaminya yang bernama Sultan Iskandar Thani, yang meninggal tahun
1641. Sultanah kedua adalah Nurul Alam Naqiatuddin Syah, yang memerintah tahun
1675-1678. la naik tahta menggantikan kedudukan Sultanah yang pertama. Setelah
Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah meninggal, kedudukannya digantikan oleh
Sultanah Inayat Syah Zakiatuddin Syah (1678-1688) sebagai Sultanah yang ketiga.
Dari ketiga Sultanah tersebut, ketiga-tiganya pernah mengeluarkan mata
uang deureuham, mata uang emas yang dipergunakan sebagai alat pembayaran
yang syah dalam jual-beli antar bangsa. (Hasan, 1980 : 164-169; Alfian, 1986 : 43-
45). Para wanita yang pernah menduduki jabatan Uleebalang di antaranya yaitu Cut
Nyak Asyiah yang mengepalai kenegerian Chik Keureutoe di Aceh Utara, Pocut Baren
di Tungkop, yang berada dalam wilayah Federasi Kaway XII Aceh Barat.
Dalam perjuangan melawan Belanda baik yang sudah terkenal maupun yang
belum tercatat dalam lembaran sejarah, para wanita banyak yang terlibat. Peranan
wanita pejuang ini dilukiskan oleh penulis Belanda H.C. Zentgraaff yang
menyebutkan bahwa wanita-wanita Aceh, bersama-sama dengan suaminya ikut
berjuang melawan Belanda. Mereka dapat saling bahu-membahu dalam memimpm
perjuangan melawan khaphe Belanda. Bahkan ada di antara mereka yang
menggantikan posisi suaminya memanggul senjata memimpin perlawanan pada saat
suaminya terbunuh oleh serdadu Belanda. Para wanita pejuang tersebut di antaranya
adalah istri Teungku Chik Paya Bakong, Istri Teungku di Mata le, istri Teungku di
Barat.
Ada juga wanita yang tampil sendiri sebagai pemimpin dalam
mempertahankan kedaulatan Aceh dari serangan imperialisme dan Kolonialisme
Belanda, di antaranya yaitu Cut Nyak Meutia, Cut Nyak Dhien, Pocut Baren dan
Pocut Meurah lntan. Cut Nyak Dhien misalnya, ia pada awalnya berjuang bersama-
sama suaminya Teuku Ibrahim Lamnga yang gugur dalam pertempuran melawan
Belanda pada tahun 1878. Kemudian dilanjutkan dengan suaminya yang kedua yang
bernama Teuku Umar, yang juga gugur dalam pertempuran di Aceh Barat tanggal 11
Februari 1899. Setelah suaminya Teuku Umar sahid, Cut Nyak Dhien mengambil alih
posisi suaminya untuk melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Walaupun kondisi
fisiknya sudah sakit-sakitan dan matanya rabun, namun semangat juangnya tetap
membaja. Ia masih mampu mengkoordinir pengikutnya untuk menyerang Belanda.
Perjuangannya baru berakhir setelah ia ditangkap Belanda dan diasingkan ke
Sumedang Jawa Barat sampai pada saatnya meninggal. Ia dimakamkan di tempat
pengasingannya di Sumedang.
Tokoh wanita lainnya yang heroik dalam Pejuangannya melawan Belanda
yaitu cut Nyak Meutia. Demi mempertahankan tanah kelahirannya, ia rela bertempur
sampai titik darah penghabisan dan gugur dalam pertempuran di Krueng Peutoe.
Nasib serupa dialami juga oleh seorang pejuang wanita yang gagah berani, yaitu
Pocut di Biheue. la terkena tembakan peluru tentara Belanda, namun dapat bertahan
hidup dan berhasil sembuh dari lukanya. Walaupun sudah berhasil menangkapnya,
Belanda tetap menganggapnya sebagai soorang pemimpin wanita yang
membahayakan kedudukan Belanda di Aceh. Untuk mengantisipasinya, Belanda
kemudian mengasingkan perempuan tersebut ke Blora, Jawa Tengah sampai saatnya
ia meninggal dan dimakamkan di sana. Sesuai dengan judul dari tulisan ini, penulis
akan mengemukakan Seorang tokoh pejuang yang sepak terjangnya pantas
diteladani oleh generasi sekarang, yaitu Pocut Baren. Wanita ini pada masa Perang
Aceh sangat terkenal keberaniannya melawan Kolonilalisme Belanda. la adalah sosok
wanita pejuang yang heroik. Di samping itu ia juga dikenal sebagai seorang
uleebalang wanita yang mampu membangun daerahnya di Tongkop, Aceh Barat
yang porak poranda sebagai akibat terjadinya perang yang berkepanjangan. Pasca
perjuangan melawan Belanda, ia bekerja keras untuk mensejahterakan rakyatnya.
Melalui perbaikan agronomi, kehidupan masyarakat menjadi lebih makmur dan
sejahtera. Untuk lebih mengetahui kehidupan Pocut Baren, di bawah ini akan
dipaparkan serba sedikit mengenai riwayat hidup dan perjuangannya melawan
Belanda. Di samping itu juga akan dibahas mengenai kepemimpinannya sebagai
seorang uleebalang wanita yang mampu menghidupkan kembali perekonomian
rakyatnya. Sebagai seorang pemimpin yang handal, ia juga seorang sastrawan yang
produktif menuliskan syair-syairnya dalam bahasa Aceh.
Riwayat Masa Kecilnya
Pocut Baren seorang wanita bangsawan yang lahir di Tungkop. la adalah putri
Teuku Cut Amat, seorang Uleebalang Tungkop yang sangat berpengaruh,
terpandang berwatak keras dan pantang menyerah. Daerah keulebalangan Tungkop
merupakan bagian dari daerah federasi Kaway XII yang letaknya berada di Pantai
Barat Aceh, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Aceh barat.
Sebagaimana lazimnya setiap anak perempuan Aceh, Pocut Baren dididik
dengan pelajaran agama Islam. Pendidikan agama ini di bawah asuhan ulama-ulama
yang didatangkan ke tempatnya seperti yang banyak dilakukan oleh keluarga
uleebalang lainnya. Dan hasil pendidikan agama yang diperolehnya selama
bertahun-tahun di meunasah, rangkang dan dayah itulah tertanam dalam jiwanya
satu kepribadian tertentu yang berakar dalam dan teguh. Sesuai dengan ajaran yang
diyakininya, Pocut Baren sanggup berkorban apa saja, baik harta benda, kedudukan
maupun nyawanya, demi tegaknya kepentingan agama dan bangsa keyakinan
serupa itu ia buktikan sendiri dalam kehidupan sehari-hari. la dengan rela
meninggalkan kesenangan dan kemewahan.
Selain pendidikan agama yang kental, situasi politik dan peperangan yang
berkepanjangan di Aceh Barat telah membentuk sikap dan watak Pocut Baren
semakin dewasa. Pada saat wanita itu menginjak , usia dewasa, sebagian Aceh Barat
telah dikuasai oleh Belanda. Maka tidak mengherankan jika ia tumbuh menjadi
seorang wanita yang taat beribadah dan patuh menjalankan syariah Islam, serta
menjadi pejuang yang tangguh melawan Belanda.
Setelah dewasa, Pocut Baren dinikahkan dengan seorang Keujruen yang
menjadi Uleebalang Gume. Suaminya itu juga seorang pejuang yang memimpin
perlawanan di Kawasan Woyla. (Zentgraaff, 1982/1983 : 237; Doup, 1940 : 204).
Daerah yang menjadi federasi Kaway XII ini, di samping daerah Tungkop, juga
darah-daerah lain, seperti daerah Pameue, Geumpang, Tangse, Anoe dan Gume.
Adapun wilayah Tungkop terletak di kawasan Hulu Sungai Woyla. (Zentgraaff;
1982/1983 : 137). Oleh Pemerintah Belanda, pada tahun 1922 Keuleebalangan
Tungkop dimasukkan ke dalam Onderafdelling Meulaboh, bersama-sama daerah
lainnya, seperti Bubon, Lhokbubon, Kaway XVI (Meulaboh), Seuneuam, Betong dan
Pameue. Daerah-daerah ini menjadi daerah swapraja yang dalam istilah Belandanya
disebut Zelfbesturen. Daerah ini oleh pemerintah Belanda diakui sebagai daerah
zelfbesturen menurut peraturan organisasi pemerintah sebagaimana diatur dalam
Stablad 1922 Nomor 451. (Hassan, 1980: 194).
Walaupun kedudukannya masih berada di bawah payung Kerajaan Aceh
Darussalam, Federasi Kaway XII ini telah mempunyai hak mengatur dirinya sendiri
(hak otonom). Kaway XII dan daerah sepanjang Krueng Woyla merupakan daerah
yang banyak menghasilkan emas. Dengan kekayaan emasnya yang melimpah
tersebut, telah mendorong orang-orang dari Minangkabau berdatangan untuk
menambang daerah penghasil emas tersebut. Orang-orang Minangkabau yang
bermukim di daerah Kaway XII dan sepanjang Krueng Woyla, setelah bercampur
baur dengan masyarakat Aceh, keturunannya dikenal dengan nama masyarakat
Aneuk Jamee. Kaway XII merupakan daerah tambang emas di dalam wilayah
Kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Keujruen yang disebut Keujreun Meuih.
Keujreun Meuih mempunyai tugas mengambil hasil emas dan pajak-pajak lainnya
dari pertambangan emas di dalam wilayah federasi tersebut. (Djajadiningrat, 1934 :
693). Dengan hasil penambangan emas yang melimpah tersebut, Aceh Barat mampu
membiayai perangnya melawan Belanda hingga bertahun-tahun lamanya. Tidak
terkecuali di daerah Tungkop dan sekitarnya, juga ikut memanfaatkan penambangan
emas ini untuk biaya perang melawan Belanda.
Sebagaimana pada umumnya gadis-gadis Aceh lainnya, Pocut Baren
dilahirkan dan dibesarkan dalam suasana perang. Suasana peperangan ini telah
membentuk jiwa dan pribadinya sebagai seorang manusia yang harus mampu
menghadapi berbagai tantangan yang menghadangnya. Sejak kecil ia telah dilatih
dengan berbagai ujian berat yang mampu membentak dirinya sebagai seorang yang
kuat, tangguh, ulet, berani dan semangat yang membaja untuk memusuhi Belanda
yang dianggapnya kaphe. Dengan didikan seperti itu, setelah dewasa ia mampu
mendarmabaktikan dirinya untuk kepentingan bangsa dan negaranya. Sebagai
seorang bangsawan, ia rela meninggalkan kehidupan duniawi yang bergelimang
kemewahan. Dengan menggabungkan dri ke dalam barisan pejuang yang hidup di
rimba raya untuk ikut bergerilya memimpin perang melawan Belanda.
Berjuang Melawan Belanda
Pocut Baren merupakan seorang wanita yang tahan menderita, sanggup
hidup dalam waktu lama dalam pengembaraannya di gunung-gunung dan hutan
belantara. Pengalaman dan penderitaan hidup seperti itu mulai ia jalani semasa
berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien. Wataknya yang pemberani, tabah
dan ulet menjadi modal yang berharga dalam perjuangan. la sangat dihormati dan
disegani oleh teman-teman seperjuangannya dan ditaati oleh pengikut pengikutnya
serta ditakuti oleh musuh-musuhnya. Hal ini diakui sendiri oleh Doup, salah seorang
mantan Komandan marsose di Aceh yang ditulisnya dalam buku yang berjudul
Gedenk book van het Korps Marechaussee. Berkat kepemimpinannya dalam
peperangan dengan taktik perang gerilya, Belanda dipaksa menelan kerugian besar.
Pocut Baren telah berjuang dalam waktu yang cukup lama. Sejak masa
muda, ia telah terjun ke kancah pertempuran. Pocut Baren meunjukkan
kesetiaannya yang tinggi pada Cut Nyak Dhien, baik dalam melakukan perlawanan
terhadap Belanda maupun dalam pengembaraan bersama dari satu tempat ke
tempat lain, dari satu hutan ke hutan lain dengan menahan lapar dan penderitaan.
Pengalaman bertempur yang diperoleh dari perjuangan bersama Cut Nyak Dhien
itu, semakin memperteguh pendiriannya dalam perlawanan terhadap Belanda,
terutama ketika ia memimpin sendiri pasukannya. Begitu suaminya gugur dalam
pertempuran, ia bertekad untuk melanjutkan perjuangan suaminya membebaskan
Aceh dari cengkraman Belanda.
Perjuangan dan perlawanan Pocut Baren yang gagah berani dilukiskan sendiri
oleh penulis Belanda yang bernama Doup (1940: 204) yang mengatakan bahwa
Pocut Baren telah melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga
tahun 1910. Pada hal Cut Nyak Dhien tertangkap pada tanggal 4 Nopember 1905.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pocut Baren telah memimpin sendiri
pasukannya ketika Cut Nyak Dhien masih aktif dalam pertempuran. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa, ketika itu di wilayah Aceh barat terdapat dua
orang wanita yang memimpin pasukan melawan Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien dan
Pocut Baren. Keduannya sama-sama dilahirkan sebagai Putri bangsawan dan Sama-
sama sebagai anak Uleebalang. Keduanya juga mempunyai kesamaan tekad dan
cita-cita mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Aceh. Pada saat suaminya
masih hidup ia bersama suaminya memimpin perlawanan mengusir penjajahan
Belanda. Sebenarnya ia tahu dan sadar bahwa setiap saat diri dan suaminya dapat
terancam maut oleh peluru musuh. Tetapi ia tetap berjuang demi tanah air yang
tidak rela diinjak-injak oleh kaphee Belanda. Bagi dirinya, kematian bukanlah hal
yang menakutkan, sehingga ia tetap bcrsemangat dalam menghadapi peperangan
yang sering kali tidak seimbang dalam jumlah maupun kekuatan tempurnya.
Belanda dilengkapi persenjataan yang lebih baik dan lebih modern, sedangkan
dipihak pejuang Aceh yang dipimpinnya lebih kecil personilnya dan
persenjataannyapun kalah bagus, tetapi dengan semangat juangnya yang membaja,
membuat Belanda sering kedodoran.
Berkat semangat perang sabil yang tertanam dalam jiwanya, Pocut Baren
bersama suaminya sadar bahwa sewaktu-waktu akan tewas ditembus peluru musuh.
la rela mati sahid demi kedaulatan tanah rencong. la juga tahu bahwa suaminya
akan mendahului dirinya atau sebaliknya. Situasi serupa ini pernah dialami oleh
banyak wanita pejuang Aceh, seperti telah disebutkan di atas. la rela ditinggal mati
suaminya dan sudah siap pula untuk melanjutkan perjuangan sebagai warisan yang
harus diterima dan mereka yang telah mendahului sahid.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih bagi Pocut Baren ketika
bersama suaminya ia bertempur antara hidup dan mati, melawan Belanda.
Pertempuran tersebut terjadi di wilayah Keujren Game, Aceh Barat. Mengingat
kekuatan personil militer Belanda lebih besar dan persenjataannyapun juga tidak
seimbang serta posisi pasukan Aceh kurang menguntungkan, maka gugurlah suami
Pocut Baren dalam pertempuran tersebut. Pocut Baren berhasil meloloskan diri dari
kepungan Belanda. Walaupun sedih atas kematian suaminya, ia tetap tidak akan
menyerah. Bahkan ia bertekad akan meneruskan perjuangan suaminya. Dengan
sahidnya suaminya, semua tugas memimpin pasukan jatuh ke pundaknya.
Walaupun sendirian memimpin pasukan, Pocut Baren tidak kehilangan
semangat seperti yang diperkirakan Belanda. la menghimpun kembali pasukannya
dengan cara memobilisasi penduduk di daerah Kaway XII dan mengumpulkan sisa
sisa pasukannya untuk meneruskan perjuangan yang lebih intensif. Sebaliknya,
Belanda yang dibuat pusing tujuh keliling, terpaksa harus mendatangkan bala
bantuan lagi dari Batavia untuk mengejar pejuang-pejuang Aceh yang dipimpin
Pocut Baren itu. Setelah situasi dapat dikuasai kembali, konsulidasi pasukan dapat
berjalan dengan baik, Pocut Baren kembali mengatur strategi dalam upaya
melakukan penyerangan terhadap Belanda.
Di samping melskukan mobilisasi umum, Pocut Baren juga membangun
benteng di Gunung Macan yang akan dijadikan sebagai pusat pertahanannya. Dari
benteng inilah direncanakan segala penyerangan terhadap tangsi militer Belanda dan
penyergapan terhadap patroli-patroli musuh yang sedang lewat. Untuk mengimbangi
kehebatan benteng Pocut Baren di Gunung Macan, pasukan Belanda kemudian
membangun tangsi secara besar-besaran di Kuala Bhee dan Tanoh Mirah. Dan kedua
tempat pertahanan inilah pasukan Belanda bergerak untuk memburu pasukan pocut
Baren. (Zentgraaff, 1982/1983 : 138). Dari pusat pertahanannya di gunung Macan
tersebut, pasukan Pocut Baren lebih sering melakukan penyergapan terhadap tangsi-
tangsi Belanda, baik yang berada di Tanoh Mirah maupun di Kuala Bhee. Seusai
melakukan penyerangan, mereka kembali ke pusat pertahanannya di Gunung
Macan. Pasukan Belanda tampaknya tidak berani langsung menyerang Pocut Baren
di Gunung Macan, karena pertahanannya sangat kuat dan posisinya sangat strategis,
sehingga mampu dipertahankan sampai bertahun-tahun lamanya. Hal itu dikisahkan
sendiri oleh Zentgraaff yang menuliskan dalam bukunya sebagai berikut :
".....begitulah selama bertahun-tahun ia hidup dalam pertempuran yang
diselingi jeda sejenak ke tempat-tempat yang jauh terpencil yang belum lagi
didatangi Kompeni, masih merupakan masa yang menyenangkan baginya.
Cara bertempur seperti ini, di mana anda berhenti dulu kalau merasa bosan
bertempur. Masa-masa yang menyenangkan akan segera berakhir setelah
marsose mulai mengadakan pembersihan di daerah pesisir Barat tersebut.
Penghidupan berubah menjadi suatu yang menyulitkan dengan segala
perburuan dan penyergapan yang dilakukan. Namun, ia menerima segala
resiko itu dan ia senantiasa melawan dengan layaknya. la selalu bergerak
sangat mobil dan berkuasa setaraf dengan lelaki yang paling kuat"
(Zantgraaft 1982/1983 : 137).
Bagaimanapun cepatnya penyerangannya, betapapun kuatnya
pertahanannya, Pocut Baren tidak dapat membuat pasukan. Pasukan Belanda
menyerah kalah dan menghentikan usaha perburuan mereka terhadap dirinya.
Kelemahan di bidang persenjataan jika dibandingkan dengan persenjataan serdadu
Belanda, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pasukan Pocut Baren
berangsur- berangsur melemah karena banyak pasukannya yang gugur dalam
pertempuran.
Pocut Baren Tertangkap
Setelah serdadu Belanda diperkuat dan didatangkan bala bantuan dari
Batavia (Jakarta), maka penyerbuan terhadap benteng pertahanan Pocut Baren di
Gunung Macanpun dimulai secara besar-besaran. Pasukan Belanda dipimpin sendiri
oleh Letnan Hoogers berusaha menggempur benteng pertahanan Pocut Baren
dengan dahsyatnya. Sebaliknya, pasukan Pocut Baren berusaha mempertahankan
benteng Macan itu dengan gigihnya. Namun demikian, seperti kata pepatah "malang
tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih", Pocut Baren tertembak oleh pasukan
musuh dengan luka yang cukup parah. Dengan luka dikakinya itulah maka Pocut
Baren berhasil ditangkap serdadu Belanda. Kemudian ia dibawa ke Meulaboh sebagai
tawanan perang. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1910 yang menandai
berakhimya perlawanan seorang pejuang wanita asal Tungkop, Aceh Barat.
(Zentgraaff, 1982/1983 : 138; Doup, 1940 : 204). Luka dikakinya semakin parah,
sehingga sulit untuk dapat disembuhkan. Upaya untuk menyembuhkan harus
dilakukan oleh tim dokter Belanda yang berada di Kutaraja (sekarang Banda Aceh).
Untuk proses pengobatan itu, maka Pocut Baren diboyong ke Kutaraja. Mengingat
lukanya yang sudah parah, maka tim dokter yang merawatnya terpaksa melakukan
amputasi, kaki Pocut Baren dipotong. Wanita itu dengan tegar menerima kenyataan
pahit yang harus dihadapinya.
Selama berada di Kutaraja, Pocut Baren diperlakukan sebagaimana layaknya
seorang tawanan perang dan seorang uleebalang. Masa-masa berada di tahanan
Belanda, merupakan masa penantian yang dirasakan amat panjang dan menyiksa
batinnya. Van Daalen yang menjabat Gubernur Militer Aceh dan daerah takluknya,
menjatuhkan hukuman buang ke Pulau Jawa. Mengetahui hukuman itu, seorang
perwira penghubung bangsa Belanda, T.J. Veltman menyampaikan saran kepada
Gubernur Militer yang bersangkutan agar Pocut Baren jangan dibuang ke Pulau Jawa,
tetapi dikembalikan saja ke daerah asalnya sebagai uleebalang di daerah Tungkop.
Dengan diangkatnya Pocut Baren sebagai uleebalang di Tungkop, diharapkan
perlawanan rakyat di daerah tersebut dapat dihentikan. Saran tersebut akhirnya
diterima oleh Van Daalen.
Dengan kembalinya Pocut Baren ke daerah asalnya sebagai uleebalang
Tungkop, maka berakhirlah perlawanan total wanita itu. Pahlawan yang sangat
menyulitkan Pemerintah Kolonial Belanda seperti yang terbukti dari sejumlah nama
pemimpin pasukan patroli Belanda yang mendapat tugas untuk memburunya. Hal
tersebut diakuii sendiri oleh Doup: "Para pemimpin patroli pemburu Pocut Baren
adalah tokoh-tokoh Belanda yang terkemuka dan terkenal amat berpengalaman
dalam pertempuran. Hal ini menunjukkan bahwa wanita itu memang dianggap
sebagai lawan tangguh bagi Belanda. Mereka itu antara lain adalah Letnan J.H.C.
Vastenon, Letnan O.O. Brewer, Letnan W. Hogers, Kapten T.J. Veltman, Kapten A.
Geersema Beckerrigh, Kapten F. Daarlang, Letnan A.H. Beanewitz, Letnan H.J.
Kniper, Sersan Teutelink, Sersan van Daalen, Sersan Bron, Letnan C.A. Reumpol,
Letnan W.v.d. Vlerk, Letnan W.L. Kramers, Letnan H. Scheurleer, Letnan
Romswinkel, Sersan Duyts, Sersan de Jong, Sersan Gackenstaetter dan lain-lain,
Gubemur Sipil dan Militer Van Daalen telah merubah status hukuman Pocut Baren
sesuai dengan saran T.J. Veltman. Dengan pengubahan itu maka wanita itu dapat
kembali ke daerahnya menjadi Uleebalang Tungkop.
Setelah dinyatakan sembuh dari lukanya dan diyakini tidak akan melakukan
perlawanan lagi, Pocut Baren dikirim ke Tungkop. Veltman telah memberikan jasa
baiknya kepada wanita pejuang itu. la pula yang mengusulkan agar Pocut Baren
diangkat menjadi uleebalang Tungkop dan dipercaya untuk membangun daerahnya
yang porak poranda sebagai akibat adanya peperangan yang berlarut-larut. Veltman
yang fasih berbahasa Aceh berusaha melakukan kontak yang terus-menerus dengan
wanita itu, sehingga ia dapat membuat laporan keadaan mengenai perubahan yang
terjadi mengenai diri wanita itu. Apalagi ia adalah seorang wanita yang jujur dan
suka berterus terang, suatu sikap yang amat dihargai oleh Veltman.
Membangun Perekonomian Rakyat
Kejujuran dan keterbukaannya mengingatkan kita pada Pocut Baren sebagai
seorang wanita pejuang yang dapat menghormati musuhnya ia mengambil manfaat
itu untuk menyelamatkan rakyatnya. Selain pemberani, ulet dan suka berterus
terang, Pocut Baren juga seorang wanita yang sangat cerdas. Kecerdasannya ia
buktikan dalam pelaksanaan pekerjaannya sebagai seorang uleebalang. Perjuangan
secara fisik dalam menentang Belanda telah diakhirinya. Walaupun demikian, ia
tetap berjuang untuk kesejahteraan rakyatnya dengan cara membangun kembaii
negerinya menjadi sebuah negeri yang makmur. Untuk itu ia mengajak seluruh
rakyatnya agar mau bekerja keras.
Selama masa perjuangan melawan Belanda, perekonomian masyarakat
mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena sawah ladang para petani dibiarkan
terbengkalai menjadi lahan tidur. Sebagian besar penduduk terlibat dalam perang
melawan Belanda, sehingga waktu untuk bekerja di sawah dan berternak maupun
menangkap ikan menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan munculnya banyak
kemiskinan dan bencana kekurangan pangan. Untuk memperbaiki kehancuran
ekonomi rakyat di daerah Tungkop tersebut, Pocut Baren berjuang keras agar
masalah ekonomi rakyat yang hancur tersebut dapat segera diatasi. Sebagai seorang
uleebalang, Pocut Baren ternyata juga cakap dalam bidang pertanian dan
pemerintahan desa. Dengan ketrampilannya di ladang pertanian dan pemerintahan
tersebut, ia memimpin rakyatnya agar secara bersama-sama membangun desanya.
Sawah-ladang para petani yang semula ditinggalkan diusahakan kembali agar tidak
ada satupun di antaranya yang terbengkalai. Kebun-kebun penduduk harus ditanami
dengan pepohonan yang dapat memberikan hasil pada pemiliknya. Untuk itu muncul
gerakan penghijauan dengan menanam tanaman pangan, seperti buah-buahan,
sayur-sayuran, dan tanaman keras lainnya. Dengan mendapatkan pembinaan dari
seorang uleebalang wanita, masyarakat menanami kebunnya dengan tanaman
kelapa, pala, kakau, cengkih, nilam, mangga, pisang, jagung dan lain-lain tanaman
yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
Dalam bidang pengairan untuk mengairi sawah-sawah milik para petani,
Pocut Baren menggerakkan rakyatnya untuk membangun saluran irigasi yang airnya
dialirkan dari sungai-sungai besar ke sawah-sawah penduduk, sehingga pada musim
kemarau sawah-ladang milik petani tidak akan kekeringan. Untuk menghindarkan
perselishan di antara para petani, maka perlu diadakan pembagian air secara
bergilir.
Untuk menghindarkan serangan hama dan penyakit tanaman, Pocut Baren
menyarankan agar para Petam menanam padi secara serempak, sehingga siklus
kehidupan hama dapat diputus. Agar hasil panen lebih memuaskan, maka perlu
adanya perbaikan cara bercocok tanam yang benar. Pocut Baren juga
memperkenalkan sistem Panca Usaha Tani kepada masyarakat. Panca usaha tani
tersebut yaitu : (1) Melakukan pengolahann tanah secara baik dan benar, dengaam
memanfaatkan tenaga kerbau dan sapi untuk membajak sawah. (2) Cara
menyemaikan bibit padi yang benar, dengan memilih padi lokal jenis unggul; (3)
Melakukan pemberantasan hama secara bersama-sama, dengan memanfaatkan
predator. Yang dimaksud predator di sini yaitu hewan yang memangsa hewan lain
yang menjadi hama tanaman; (4) Memberikan pupuk dengan dosis yang tepat pada
tanaman padi. Adapun pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dan kompos
atau pupuk organik; dan (5) Mengairi sawah sesuai dengan kebutuhan tanaman
padi. Setelah masa panen para petani juga disarankan agar memanen padinya
dengan baik dan benar. Untuk menyimpan hasil panen, perlu dibuatkan tempat
penyimpanan padi (lumbung).
Jika ada anggota masyarakat yang malas bekerja, ia tidak segan-segan untuk
menegurya. Untuk itu ia bekerja keras untuk mengabdi pada rakyatnya. Buah
usahanya yang keras, ulet dan tak mengenal lelah itu, pada akhirnya akan
membuahkan hasil yang menggembirakan. Beberapa tahun setelah Pocut Baren
membina desanya, hasilnya mulai kelihatan. Secara berangsur-angsur kehidupan
rakyatnya yang tadinya sangat menderita, mulai membaik. Perekonomian rakyat
mulai bergairah kembali. Berkat kepemimpinannya sebagai seorang uleebalang
wanita, Tungkop menjadi daerah yang aman, tentram dan makmur. Ketika musim
panen tiba, daerah Tungkop mengalami surplus produksi pertanian sehingga
hasilnya dapat dikirim ke daerah lain yang membutuhkan.
Perubahan yang menyolok dari daerah miskin yang rawan pemberontakan
menjadi daerah yang aman dan makmur membuat Pemerintah Belanda yang
membawahi daerah tersebut menjadi gembira. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
laporan Letnan H. Scheurleer, Komandan Bivak Tanoh Mirah yang juga merangkap
penguasa sipil. la melaporkan kepada atasannya di Kutaraja bahwa Pocut Baren
telah berusaha dengan sungguh-sungguh menciptakan ketertiban, keamanan dan
kemakmuran. (Zentgraaf, 1982/1983 : 139). Sebagai tanda terima kasihnya,
Veltman sekali lagi memperlihatkan kebaikan hatinya kepada Pocut Baren. Ia
menghadiahkan sebuah kaki palsu yang di buat dari kayu untuk wanita itu. Kaki
palsu tersebut didatangkan langsung dari negeri Belanda.
Setelah memakai kaki palsu pemberian dari Veltman, Pocut Baren mendapat
julukan sebagai "De Vrouwelijke Oeleebalang methet houten been" (Doup, 1940 :
204; Zentgraaff; 1982/1983 : 138-139). Keberhasilannya dalam membangun
perekonomian rakyat dan memantapkan keamanan dan ketertiban di daerahnya
menunjukkan bahwa Pocut Baren bukan hanya seorang pejuang dan pemimpin
rakyat, tetapi juga seorang yang ahli dalam bidang agronomi.
Sebagai Penyair
Pocut Baren yang lahir sebagai anak bangsawan ternyata mempunyai banyak
bakat alam. Di samping ia sebagai seorang pejuang yang tangguh, ahli dalam bidang
pemerintahan agronomi, ternyata ia juga ahli dalam bidang kesenian dan
kesusastraan Aceh. Pada saat-saat tertentu syair-syaimya sering dibacakan atau
dilantunkan di depan publik. Keahliannya dalam bidang kesusastraan dan kesenian
Aceh tidak mengherankan karena di dalam tubuhnya mengalir darah seni yang
kental. Pada saat-saat istirahat dari kesibukannya sebagai pemimpin pemerintahan,
ia merenungkan kembali peristiwa-peristiwa yang telah berlalu. Di saat-saat
demikian darah pujangganya mengalir dengan deras. Kenangan-kenangan masa
lalunya ia tuangkan dalam bentuk pantun dan syair.
Telah banyak pantun dan syairnya yang ditulisnya dalam bahasa Aceh dan
huruf Melayu Arab. Oleh para penulis Belanda, karya sastranya banyak yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan disimpan di perpustakaan Universitas
Leiden di Nederland. Oleh masyarakat Aceh sendiri, karya sastranya juga telah
banyak dilantunkan pada waktu-waktu tertentu dan acara-acara yang
memungkinkan untuk dibacakan. Bahkan telah banyak orang yang mampu
menghafal buah karyanya dan ia dendangkan pada saat-sat senggang atau pada
acara keluarga. Hasil karya sastranya sampai saat ini masih banyak orang yang
melantunkamya. Adapun salah satu contoh penggalan syairya yang tertuang dalam
bahasa Aceh sebagai berikut :
Ie Krueng Woyla ceukoe likat
Engkot jilumpat jisangka ie tuba
Seungap di yub seungap di rambat
Meurubok Barat buka suara
Bukon sayang itek di kapay
Jitimoh bulee ka si on sapeue
Bukon sayang bilek ku tinggay
Teumpat ku tido siang dan malam (Zentgraaff, 1982/1983 : 140-141).
Syair tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kira- kira sebagai berikut
:
Sungai Woyla keruh pekat
Ikan melompat dikira tuba
Sunyi di kolong senyap di rambut
Hari malam buka suara
Wahai sayang itik di kapal
Bulunya tumbuh aneka wama
Tinggallah engkau bilikku sayang
Tempat peraduanku siang dan malam.
Keberhasilannya dalam membangun perekonomian rakyat dan kepiawiannya
dalam memimpin serta bakatnya di bidang ikesusastraan Aceh membuat rakyatnya
mencintai Pocut Baren. Apalagi syair- syair yang diciptakannya sangat digemari oleh
wasyarakat luas. Betapapun besarnya cinta yang dimiliki rakyatnya, tak akan
mampu melawan takdir. Pada suatu saat orang pasti akan mati, meninggalkan
orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Setelah saatnya tiba, Pocut Baren
akhirnya meninggal pada tahun 1933, meninggalkan rakyatnya untuk selama-
lamanya. (Zentgraaff, 1982/1983 : 142).

Anda mungkin juga menyukai