Anda di halaman 1dari 201

TUGAS FILSAFAT

MAKALAH LOGIKA, ETIKA DAN ESTETIKA DALAM ILMU


FILSAFAT

OLEH :

RESKI AULIA RAMADHAN

F1B1 17 053

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS HALU OLE

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta
hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini tentang LOGIKA, ETIKA
DAN ESTETIKA DALAM FILSAFAT ILMU

Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi besar


kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni
al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.

Makalah ini merupakan salah satu tugas . Kami  mengucapkan terima


kasih kepada kedua orang tua kami yang selalu memberi nasehat serta
dukungan dalam menjalankan tugas-tugas serta kewajiban yang harus
ditaati di dalam kampus. Dan kami juga mengucapkan banyak terima
kasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini yang telah
membimbing kami dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karenanya kritik dan saran dari pembaca dan teman-teman semua
demi kesempurnaan tugas ini. Semoga apa yang terdapat dan tertera
dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan serta
wawasan bagi para pembaca, teman-teman dan khususnya bagi
penulis. Amin..
Daftar isi

KATA PENGANTAR...........................................................................i

Daftar isi................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................6

1.3 Tujuan Penulisan......................................................................6

BAB II PEMBAHASAN......................................................................7

2.1 FILSAFAT...................................................................................7

2.1.1 Pengertian Filsafat.................................................................7

2.1.2        Objek Filsafat Ilmu.......................................................18

2.1.3  Fungsi Filsafat Ilmu............................................................21

2.1.4.  Substansi Filsafat Ilmu.......................................................22

2.1.5.  Corak dan Ragam Filsafat Ilmu.........................................26

2.1.6  Persamaan dan Perbedaan Filsafat Ilmu dan Ilmu – Ilmu


Lain...............................................................................................27

2.1.7. Tujuan dari Filsafat Ilmu....................................................29

3.1 Logika........................................................................................30

3.1.1 Pengertian Logika................................................................30

3.1.2 Sejarah Logika.....................................................................33

3.1.3 Logika Sebagai Cabang Filsafat..........................................43


3.1.4 Kegunaan Logika.................................................................44

3.1.5 Macam - Macam Logika......................................................46

3.1.6 Logika Konstruktif...............................................................47

3.1.7 Logika kontingensial............................................................47

3.1.8 Logika sentensial.................................................................48

3.1.9 Logika silogisme..................................................................48

3.2 Etika..........................................................................................49

3.2.1 Pengertian Etika...................................................................49

3.2.2 Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat.................................52

3.2.3 Etika Sebagai Ciri Khas Filsafat..........................................54

3.2.4 Hakikat Etika Filsafat..........................................................57

3.2.5 Perbedaan etika, moral, norma, dan kesusilaan...................59

3.2.6 Aliran atau Paham dalam Etika...........................................62

3.2.7 Etika Alamiah......................................................................66

3.2.8 Etika Objektif......................................................................67

3.2.9 Etika Universal....................................................................67

3.2.10 Etika Sosiokultural.............................................................67

3.2.11  Etika Ilmiah atau Etika Kritis...........................................68

3.3 Estetika.......................................................................................68

3.3.1 Pengertian Estetika..............................................................68

3.3.2 Sejarah Estetika....................................................................99

3.3.3 Fungsi Estetika...................................................................138


3.3.4 Bentuk Estetika Menurut Budaya......................................141

3.3.5 Estetika Timur....................................................................144

BAB III PENUTUP...........................................................................158

4.1  Kesimpulan.............................................................................158

4.2  Saran.......................................................................................158

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................159
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu


pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada
permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir
seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya
kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya
merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah
(Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).

Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan


munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah
terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan
demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut
ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut
sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan
bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi
tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.

Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999),


filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi
dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah
tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang
melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan
masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama
semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya
memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah
ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-
spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van
Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu
sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-
ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.

Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian


dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan
semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa
peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik
individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu
implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah
bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu
yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni
atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.

Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya,
dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta
mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang
filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan
pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang
menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu
menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia
secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon (dalam The Liang Gie,
1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great
mother of the sciences).

Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena


pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of
knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan
pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang
filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang
garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen
yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler
(dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu
mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia
sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.

Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat


dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari
ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat.
Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento
Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap
bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati
sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya,
banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan
pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas serta dikaitkan dengan


permasalahan yang penulis akan jelajahi, maka penulisan ini akan
difokuskan pada pembahasan tentang: “Filsafat Ilmu Sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam”, dengan
pertimbangan bahwa latar belakang pendidikan penulis adalah ilmu
pengetahuan alam (MIPA – Kimia).

Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil


pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan
dalam bahasa, Logika adalah salah satu cabang filsafat.

Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica


scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari
kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.

Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan


kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan
pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan
tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.

Posisi estetika tak berbeda dari atau tak perlu dibeda-bedakan dengan
wilayah-wilayah studi filsafat yang lainnya, entah itu epistemology,
etika dan sebagainya. Demikian juga dengan cabang-cabang keilmuan
yang lain. Ia tidak lebih utama, tidak lebih superior dari yang lain,
biasa-biasa saja. Masalahnya adalah tidak ada satu ilmu pun, termasuk
estetika pada khususnya dan filsafat pada umumnya, yang mampu
menjadi ilmu dengan posisi “tersendiri”, seberapa tinggi atau rendah
pun status yang diberikan oleh komunitas akademik terhadap
keberadaan ilmu tersebut. Tidak ada satu ilmu yang “tersendiri”, yang
posisinya terisolasi dari ilmu-ilmu yang lainnya. Apalagi untuk masa
tiga dasawarsa terakhir ini sekat-sekat ketat yang memberi batas yang
tegas antara satu ilmu dengan ilmu yang lain sudah runtuh, atau sudah
waktunya untuk diruntuhkan. Inilah yang disebut oleh Clifford Geertz
sebagai gejala Blurred Genre, yakni ketika kita dengan background
keilmuan apapun mengadopsi sebuah lingua franca yang sama. Karya-
karya Sigmund Freud atau Jacques Lacan, untuk sekedar contoh, tidak
lagi dibaca oleh psikoanalisis semata, tetapi oleh kita semua. Juga
Roland Barthes, karyanya tidak cuma dibaca oleh kalangan kritikus
sastra, tapi oleh lebih banyak lagi orang. Merembes keluar dari sekat-
sekat disipliner yang kaku. Ahli ilmu politik, filsuf, linguis, kritikus
seni, arsitek, psikolog, atau sosiolog tidak lagi peduli pada sekat-sekat
tersebut, lalu sama-sama membaca Jacques Derrida atau Pierre
Bourdieu. Ini yang disebut tadi sebagai lingua franca. Begitu pula
halnya dengan estetika, ia telah kehilangan sekat-sekatnya, batas-batas
yang dahulu telah membuatnya menjadi sebuah ruang yang esoterik.
Ia menyebar, membaur dengan disiplin-disiplin yang lain. Kalau ia
sudah menyebar seperti itu, berarti ia bisa ada dimana saja dan kapan
saja, seperti coca cola. Itu juga sekaligus berarti bahwa estetika tidak
lagi punya posisi yang penting, apalagi yanng “tersendiri”. Tetntu saja
estetika pernah dan, pada ruang lingkup tertentu, masih memiliki
prestise tertentu. Itu kalau kita pahami estetika bukan melulu sebagai
bidang filsafat, melainkan lebih sebagai seperangkat prinsip normatif
yang meminjam istilah Pierre Bourdieu, mendisposisikan praktik-
praktik berkesenian. Jadi, secara lebih restricted, pengertian estetika
yang terakhir ini adalah estetika sebagai sesuatu yang dijadikan
landasan normatif untuk menilai karya seni. Karena dalam pergaulan
keseni(man)an, yang dimaksud dengan estetika cenderung seperti itu.
Bukan filsafat estetika, melainkan hanya sebagai alat untuk
mengevaluasi, membuat hierarki, dan semacamnya. Misalnya dengan
dalih estetika, seorang seniman bisa berbuat apa saja dan produknya
tetap disebut sebagai karya seni. Seorang perupa meletakkan beberapa
keranjang sampah disebuah galeri, dan itu disebut karya seni instalasi
oleh kritikus. Seorang penyair menuliskan sebaris kalimat, “Bulan di
atas kuburan,” dan itu disebut sebagai puisi, yang bahkan pernah
menimbulkan perdebatan tafsir yang prestisius di tingkat elit kritikus
sastra. Di sini estetika tidak lebih sebagai modal simbolik yang
diinfestasikan sebagai pemarkah kelas sosial seniman atau kritikus
seni. Dalam hubungannya dengan praktik kritik seni, sampai sejauh
ini estetika pun lebih cenderung diperlakukan oleh para kritikus
sebagai prinsip-prinsip normatif yang meregulasi apa dan bagaimana
(berke)seni(an), dengan standarisasi-standarisasi atau semacamnya.
Seorang kritikus membuat penilaian atas sebuah karya seni dengan
legitimaasi paham-paham estetis tertentu, misalnya. Maka tidak heran
kalau keranjang-keranjang sampah yang dicontohkan di atas disebut
sebagai karya seni hanya lantaran ia menjadi bagian dari komunitas
wacana tertentu, sementara perabot dapur ibu-ibu petani jawa tidak
pernah sekalipun dihargai seperti itu, lalu karya seni X dinilai lebih
baik, lebih sublim, lebih menukik, lebih indah, lebih menyentuh, dan
sebagainya, dibandingkan dengan yang lain. Oleh karena itu, andai
kata ada orang berbicara perkara estetika, kita perlu segera
menegaskan posisi pemahamannya : estetika dalam pengertian yang
bagaimana ?
1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka penulis merumuskan beberapa


permasalahan diantaranya :
1.  Apa yang dimaksud dengan logika?
2.  Apa yang dimaksud dengan etika?
3.  Apa yang dimaksud dengan estetika?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah :


1.   Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan logika.
2.   Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan etika.
3.   Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan estetika.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 FILSAFAT
2.1.1 Pengertian Filsafat

Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata


Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta
kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia
(kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani
Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian
sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya
berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama,
pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai
kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan
soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).

Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat


yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster
(dalam Soeparmo, 1984), secara harafiah filsafat berarti cinta
kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang
kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas
serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika,
etika, estetika dan teori pengetahuan.

Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang
pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras
(592-497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih
terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 =
c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan).
Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata
oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat
diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia
merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam
semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat
kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk
mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The
Liang Gie, 1999).

Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap


yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta
kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus
maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak
menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan
penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).

Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran.


Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada
gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena
persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat
dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh
menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi
yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak
semua persoalan itu harus persoalan filsafat.

 Filsafat Ilmu

Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai


dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The
Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif
terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut
landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari
kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang
pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung
pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan
ilmu.

Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang


telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa
filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat
pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan
zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama.
Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari
pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie
J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu
yang selalu berubah.

Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya


pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik.
Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja
kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi
kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).

Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar


tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya
ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan
demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau
mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut
Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu
“ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu
pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan
sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah
hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.

Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat


ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan
yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan
tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula
sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-
spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang
implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi,
yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju
sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu
nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam
seseorang mengembangkan ilmu.

Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam


Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-
perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya,
keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain
sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari
itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk
memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi
ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks
dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan
dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.

 Filsafat Ilmu sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan


Alam

Frank (dalam Soeparmo, 1984), dengan mengambil sebuah rantai


sebagai perbandingan, menjelaskan bahwa fungsi filsafat ilmu
pengetahuan alam adalah mengembangkan pengertian tentang strategi
dan taktik ilmu pengetahuan alam. Rantai tersebut sebelum tahun
1600, menghubungkan filsafat disatu pangkal dan ilmu pengetahuan
alam di ujung lain secara berkesinambungan. Sesudah tahun 1600,
rantai itu putus. Ilmu pengetahuan alam memisahkan diri dari filsafat.
Ilmu pengetahuan alam menempuh jalan praktis dalam menurunkan
hukum-hukumnya. Menurut Frank, fungsi filsafat ilmu pengetahuan
alam adalah menjembatani putusnya rantai tersebut dan menunjukkan
bagaimana seseorang beranjak dari pandangan common sense (pra-
pengetahuan) ke prinsip-prinsip umum ilmu pengetahuan alam.
Filsafat ilmu pengetahuan alam bertanggung jawab untuk membentuk
kesatuan pandangan dunia yang di dalamnya ilmu pengetahuan alam,
filsafat dan kemanusian mempunyai hubungan erat.

Sastrapratedja (1997), mengemukakan bahwa ilmu-ilmu alam secara


fundamental dan struktural diarahkan pada produksi pengetahuan
teknis dan yang dapat digunakan. Ilmu pengetahuan alam merupakan
bentuk refleksif (relefxion form) dari proses belajar yang ada dalam
struktur tindakan instrumentasi, yaitu tindakan yang ditujukan untuk
mengendalikan kondisi eksternal manusia. Ilmu pengetahuan alam
terkait dengan kepentingan dalam meramal (memprediksi) dan
mengendalikan proses alam. Positivisme menyamakan rasionalitas
dengan rasionalitas teknis dan ilmu pengetahuan dengan ilmu
pengetahuan alam.

Menurut Van Melsen (1985), ciri khas pertama yang menandai ilmu
alam ialah bahwa ilmu itu melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek
yang mengizinkan registrasi inderawi yang langsung. Hal kedua yang
penting mengenai registrasi ini adalah bahwa dalam keadaan ilmu
alam sekarang ini registrasi itu tidak menyangkut pengamatan
terhadap benda-benda dan gejala-gejala alamiah, sebagaimana spontan
disajikan kepada kita. Yang diregistrasi dalam eksperimen adalah cara
benda-benda bereaksi atas “campur tangan” eksperimental kita.
Eksperimentasi yang aktif itu memungkinkan suatu analisis jauh lebih
teliti terhadap banyak faktor yang dalam pengamatan konkrit selalu
terdapat bersama-sama. Tanpa pengamatan eksperimental kita tidak
akan tahu menahu tentang elektron-elektron dan bagian-bagian
elementer lainnya.

Ilmu pengetahuan alam mulai berdiri sendiri sejak abad ke 17.


Kemudian pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan
penggolongan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu
pengetahuan yang dilakukan oleh Auguste Comte (dalam Koento
Wibisono, 1996), sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri,
yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang
paling umum akan tampil terlebih dahulu. Dengan mempelajari
gejala-gejala yang paling sederhana dan paling umum secara lebih
tenang dan rasional, kita akan memperoleh landasan baru bagi ilmu-
ilmu pengetahuan yang saling berkaitan untuk dapat berkembang
secara lebih cepat. Dalam penggolongan ilmu pengetahuan tersebut,
dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Ilmu Kimia, Biologi dan
Sosilogi. Ilmu Kimia diurutkan dalam urutan keempat.

Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas


ketergantungan dan ukuran kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap
ilmu yang terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara logis lebih
sederhana dan lebih luas penerapannya daripada setiap ilmu yang
dibelakangnya (The Liang Gie, 1999).

Pada pengelompokkan tersebut, meskipun tidak dijelaskan induk dari


setiap ilmu tetapi dalam kenyataannya sekarang bahwa fisika, kimia
dan biologi adalah bagian dari kelompok ilmu pengetahuan alam.

Ilmu kimia adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan materi


serta energi yang menyertai perubahan materi. Menurut ensiklopedi
ilmu (dalam The Liang Gie, 1999), ilmu kimia dapat digolongkan ke
dalam beberapa sub-sub ilmu yakni: kimia an organik, kimia organik,
kimia analitis, kimia fisik serta kimia nuklir.

Selanjutnya Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996) memberi


efinisi tentang ilmu kimia sebagai “… that it relates to the law of the
phenomena of composition and decomposition, which result from the
molecular and specific mutual action of different subtances, natural or
artificial” ( arti harafiahnya kira-kira adalah ilmu yang berhubungan
dengan hukum gejala komposisi dan dekomposisi dari zat-zat yang
terjadi secara alami maupun sintetik). Untuk itu pendekatan yang
dipergunakan dalam ilmu kimia tidak saja melalui pengamatan
(observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan
perbandingan (komparasi).
Jika melihat dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan alam, pada
mulanya orang tetap mempertahankan penggunaan nama/istilah
filsafat alam bagi ilmu pengetahuan alam. Hal ini dapat dilihat dari
judul karya utama dari pelopor ahli kimia yaitu John Dalton: New
Princiles of Chemical Philosophy.

Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan bahwa ilmu


pengetahuan alam tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya
yaitu filsafat. Untuk itu diharapkan uraian ini dapat memberikan dasar
bagi para ilmuan IPA dalam merenungkan kembali sejarah
perkembangan ilmu alam dan dalam pengembangan ilmu IPA
selanjutnya.

 Definisi Nominalis Realis Filsafat Ilmu

1). Definisi Nominalis

Definisi nominalis ialah menjelaskan sebuah kata dengan kata lain


yang lebih umum dimengerti. Jadi, sekadar menjelaskan kata sebagai
tanda, bukan menjelaskan hal yang ditandai.Definisi nominalis
terutama dipakai pada permulaan sesuatu pembicaraan atau diskusi.

Definisi nominalis ada 6 macam, yaitu :  

Ø  definisi sinonim,

Ø  definisi simbolik,

Ø  definisi etimologik,

Ø  definisi semantik,

Ø  definisi stipulatif,
Ø  dan definisi denotatif.

2). Definisi Realis

      Definisi Realis ialah penjelasan tentang hal yang ditandai oleh


sesuatu istilah.Jadi, bukan sekadar menjelaskan istilah, tetapi
menjelaskan isi yang dikandung oleh suatu istilah.

       Definisi realis ada 2 macam sebagai berikut :

Ø  Definisi Esensial.

Definisi esensial, yakni penjelasan dengan cara menguraikan


bagian-bagian dasar yang menyusun sesuatu hal, yang dapat
dibedakan antrra definisi analitik dan definisi konotatif. Definisi
analitik, yakni penjelasan dengan cara menunjukkan bagian-bagian
sesuatu benda yang mewujudkan esensinya. Definisi konotatif, yakni
penjelasan dengan cara menunjukkan isi dari suatu term yang terdiri
atas genus dan diferensia.

Ø  Definisi Deskriptif.

Definisi deskriptif, yakni penjelasan dengan cara menunjukkan


sifat-sifat yang dimiliki oleh hal yang didefinisikan yang dibedakan
atas dua hal, definisi aksidental dan definisi kausal. Definisi
aksidental, yakni penjelasan dengan cara menunjukkan jenis dari
halnya dengan sifat-sifat khusus yang menyertai hal tersebut, Definisi
kausal, yakni penjelasan dengan cara menyatakan bagaimana sesuatu
hal terjadi atau terwujud. Hal ini berarti juga memaparkan asal mula
atau perkembangan dari hal-hal yang ditunjuk oleh suatu term.
3). Definisi Filsafat Ilmu

Secara epistimologi, filsafat berasal dari bahasa


Yunani Philosophia, dan terdiri dari kata Philos yang berarti kesukaan
atau kecintaan terhadap sesuatu, dan kata Sophia yang berarti
kebijaksanaan.Secara harafiah, filsafat diartikan sebagai suatu
kecintaan terhadap kebijaksanaan (kecenderungan untuk menyenangi
kebijaksanaan). Hamersma [1] mengatakan bahwa Filsafat merupakan
pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh
kenyataan Jadi, dari definisi ini nampak bahwa kajian filsafat itu
sendiri adalah realitas hidup manusia yang dijelaskan secara ilmiah
guna memperoleh pemaknaan menuju “hakikat kebenaran”.

Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu ( ilm) berasal dari


kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak
terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire.Namun
ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda
dengan science(sains).Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang
empirisme – positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan
nonempirisme seperti matematika dan metafisika [2]. Berbicara
mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas
filsafat ilmu adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang
sesuatu sebagaimana adanya”.Will Duran dalam bukunya The story
of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan marinir
yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan
infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu.Filsafat
yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan.Semua
ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari
pengembangannya sebagai filsafat.  

Berikut ini kami paparkan beberapa definisi dari Filsafat Ilmu


Menurut para ahli :

1).  Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a


critique of current scientific opinions by comparison to proven
past views, but such aphilosophy of science is clearly not a
discipline autonomous of actual scientific paractice”.

Filsafat ilmu adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-


pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap
kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat
demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian
cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.

2).  Lewis White Beck “Philosophy of science questions and


evaluates the methods of scientific thinking and tries to
determine the value and significance of scientific enterprise as
a whole.

Filsafat ilmu adalah ilmu yang membahas dan mengevaluasi


metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan
dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.

3)        A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the


systematic study of the nature of science, especially of its methods, its
concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of
intellectual discipines.

Filsafat Ilmu adalah sabang pengetahuan filsafat yang merupakan


telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya,
konsep-konsepnya dan peranggapan – peranggapannya, serta letaknya
dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.

4)        Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific


theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of
scientific methods”.

Filsafat Ilmu adalah penelaahan tentang logika interen dari teori-teori


ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni
tentang metode ilmiah.

5)        May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and


philosophically neutral analysis, description, and clarifications of
science.”

Filsafat Ilmu adalah analisis yang netral secara etis dan filsafati,
pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.

6)        Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which


attempts to do for science what philosophy in general does for the
whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on
the other hand, it constructs theories about man and the universe, and
offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines
critically everything that may be offered as a ground for belief or
action, including its own theories, with a view to the elimination of
inconsistency and error.

Filsafat Ilmu adalah suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi
ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh
pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu
pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta,
dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan
tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal
yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau
tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada
penghapusan ketakajegan dan kesalahan

7)        Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science


attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of
scientific inquiry observational procedures, patens of argument,
methods of representation and calculation, metaphysical
presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their
validity from the points of view of formal logic, practical methodology
and metaphysics”.

Filsafat Ilmu adalah suatu cabang ilmu filsafat yang  mencoba


pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses
penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola
perbincangan, metode-metode penggantian dan perhitungan,
peranggapan - peranggapan metafisis, dan selanjutnya menilai
landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika
formal, metodologi praktis, dan metafisika.
8)        Menurut Beerling [3] filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang
ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara utnuk memperolehnya.
Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu
penyelidikan lanjutan. Dia merupakan suatu bentuk pemikiran secara
mendalam yang bersifat lanjutan atau secondary reflexion.Refleksi
sekunder seperti itu merupakan syarat mutlak untuk menentang
bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai berai serta pertumbuhan
yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada.Refelksi sekunder
banyak memberi sumbangan dalam usaha memberi tekanan perhatian
pada metodikaserta sistem dan untuk berusaha memperoleh
pemahaman mengenai azas-azas, latar belakang serta hubungan-
hubungan yang dipunyai kegiatan ilmiah. Sumbangan tersebut bisa
berbentuk

(1) mengarahkan metode-metode penyelidikan ilmiah kejuruan kepada


penyelenggaaraan kegiatan ilmiah ;

(2) menerapkan penyelidikan kefilsafatan terhadap terhadap kegiatan-


kegiatan ilmiah. Dalam hal ini mempertanyakan kembali secara de-
jure mengenai landasan-landasan serta azas-azas yang memungkinkan
ilmu itu memberi pembenaran pada dirinya serta apa yang
dianggapnya benar.

Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran


bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin
menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi
ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain
filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi ( filsafat
pengetahuan ) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu, seperti :

Ø  Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana wujud yang hakiki dari
obyek tersebut ? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya
tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ?( Landasan
ontologism )

Ø  Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang


berupa ilmu ? Bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus
diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar ? Apakah
kriterianya ? Apa yang disebut kebenaran itu ? Adakah kriterianya ?
Cara / teknik / sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu ?( Landasan epistemologis )

Ø  Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ?


Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-
kaidah moral ? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral / profesional ?( Landasan aksiologis ).

2.1.2        Objek Filsafat Ilmu

 “ No problem, no science ”. Ungkapan Archi J Bahm ini


seolah sederhana namun padat akan makna. Dari ungkapan ini kita
bisa mengetahui bahwasanya Filsafat Ilmu  muncul dari adanya
permasalahan tertentu. Filsafat Ilmu, menurut Bahm, diperoleh dari
pemecahan suatu masalah keilmuan. Tidak ada masalah, berarti tidak
ada solusi. Tidak ada solusi berarti tidak memperoleh metode yang
tepat dalam memecahkan masalah. Ada metode berarti ada sistematika
ilmiah.

Objek dari Filsafat Ilmu terbagi kedalam dua bagian, yaitu


objek material dan objek formal :

1.         Objek Material filsafat

Yaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau


pembentukan pengetahuan itu atau hal yang di selidiki, di pandang
atau di sorot oleh suatu disiplin ilmu yang mencakup apa saja baik
hal-hal yang konkrit ataupun yang abstrak.

Menurut Drs. H.A.Dardiri bahwa objek material adalah segala


sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan
maupun ada dalam kemungkinan. Segala sesuatu yang ada itu di bagi
dua, yaitu :

a.               Ada yang bersifat umum ( ontology ), yakni ilmu yang


menyelidiki tentang hal yang ada pada umumnya.

b.             Ada yang bersifat khusus yang terbagi dua yaitu ada secara
mutlak ( theodicae ) dan tidak mutlak yang terdiri dari manusia
( antropologi metafisik ) dan alam ( kosmologi ).

Sedangkan menurut Surajiyo dkk. obyek material dimaknai


dengan suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau
pembentukan pengetahuan. Obyek material juga berarti hal yang
diselidiki, dipandang atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Obyek
material mencakup apa saja, baik yang konkret maupun yang abstrak,
yang materil maupun yang non-materil. Bisa pula berupa hal-hal,
masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dan sebagainya. Misal:
objek material dari sosiologi adalah manusia. Contoh lainnya,
lapangan dalam logika adalah asas-asas yang menentukan
pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Maka, berpikir merupakan
obyek material logika.

Istilah obyek material sering juga disebut pokok persoalan (subject


matter). Pokok persoalan ini dibedakan atas dua arti, yaitu :

Ø  Pokok persoalan ini dapat dimaksudkan sebagai bidang khusus dari


penyelidikan faktual. Misalnya: penyelidikan tentang atom termasuk
bidang fisika; penyelidikan tentang chlorophyl termasuk penelitian
bidang botani atau bio-kimia dan sebagainya.

Ø  Dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pertanyaan pokok yang saling


berhubungan. Misalnya: anatomi dan fisiologi keduanya berkaitan
dengan struktur tubuh. Anatomi mempelajari strukturnya sedangkan
fisiologi mempelajari fungsinya. Kedua ilmu tersebut dapat dikatakan
memiliki pokok persoalan yang sama, namun juga dikatakan berbeda.
Perbedaaan ini dapat diketahui apabila dikaitkan dengan corak-corak
pertanyaan yang diajukan dan aspek-aspek yang diselidiki dari tubuh
tersebut. Anatomi mempelajari tubuh dalam aspeknya yang statis,
sedangkan fisiologi dalam aspeknya yang dinamis.

2.         Objek Formal filsafat


Obyek formal adalah pendekatan-pendekatan secara cermat dan
bertahap menurut segi-segi yang dimiliki obyek materi dan menurut
kemampuan seseorang. Obyek formal diartikan juga sebagai sudut
pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan
pengetahuan itu, atau sudut pandang darimana obyek material itu
disorot. Obyek formal suatu ilmu tidak hanya memberikan keutuhan
ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang
lain. Suatu obyek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang
sehingga menghasilkan ilmu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, akan
tergambar lingkup suatu pengetahuan mengenai sesuatu hal menurut
segi tertentu. Dengan kata lain, “tujuan pengetahuan sudah ditentukan.

Misalnya, obyek materialnya adalah “manusia”, kemudian, manusia


ini ditinjau dari sudut pandang yang berbeda-beda sehingga ada
beberapa ilmu yang mempelajari manusia, diantaranya : psikologi,
antropologi, sosiologi dan sebagainya.  

3.    Implikasi Obyek Material dan Obyek Formal 

Persoalan-persoalan umum ( implikasi dari obyek material dan


obyek formal ) yang ditemukan dalam bidang ilmu filsafat antara lain
sebagai berikut :

§  Sejauh mana batas-batas atau ruang lingkup yang menjadi


wewenang masing-masing ilmu filsafat  itu, dari mana ilmufilsafat  itu
dimulai dan sampai mana harus berhenti.

§  Dimanakah sesungguhnya tempat-tempat ilmu filsafat  dalam


realitas yang melingkupinya.
§  Metode-metode yang dipakai ilmu tersebut berlakunya sampai
dimana.

§  Apakah persoalan kausalitas ( hubungan sebab-akibat yang berlaku


dalam ilmu ke-alam-an juga berlaku juga bagi ilmu-ilmu sosial
maupun humaniora ).

2.1.3  Fungsi Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh


karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari
fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :

·       Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang


ada.

·       Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral


terhadap pandangan filsafat lainnya.

·       Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup


dan pandangan dunia.

·       Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna


dalam kehidupan

·       Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan


dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik,
hukum dan sebagainya.[5]

Sedangkan Ismaun ( 2001 ) mengemukakan fungsi filsafat ilmu


adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami
berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali
kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan
pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu :
sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi
normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation
yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar
secara sederhana.

2.1.4.  Substansi Filsafat Ilmu


Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun ( 2001 )
memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan
dengan :

(1) fakta atau kenyataan,

(2) kebenaran ( truth ),

(3) konfirmasi dan

(4) logika inferensi.

1.    Fakta atau kenyataan

Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam,


bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.

Ø  Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada


korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.

Ø  Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian


kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu
adanya korespondensi antara ide dengan fenomena.Kedua, menjurus
ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan
sistem nilai.

Ø  Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi


antara empirik dengan skema rasional, dan

Ø  Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada


koherensi antara empiri dengan obyektif.

Ø  Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.

Di sisi lain, Lorens Bagus ( 1996 ) memberikan penjelasan


tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah.

Fakta obyektif  yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas


yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia.

Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta


obyektif dalam kesadaran manusia.Yang dimaksud refleksi adalah
deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu.Fakta ilmiah
merupakan dasar bagi bangunan teoritis.Tanpa fakta-fakta ini
bangunan teoritis itu mustahil.Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari
bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta
ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.

2. Kebenaran ( truth )

Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan


kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran
yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatic .[6]
Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam
ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi,
kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi.

Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu


kebenaran paradigmatik.             ( Ismaun; 2001 )

a. Kebenaran koherensi

Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan


antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang
lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem,
atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau
pun pada dataran transendental.

b. Kebenaran korespondensi

Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya


sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan
dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta
dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang
diyakini, yang sifatnya spesifik

c. Kebenaran performatif

Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan


aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis
yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan
kebenaran tampilan aktual.Sesuatu benar bila memang dapat
diaktualkan dalam tindakan.

d. Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang
spesifik dan memiliki kegunaan praktis.

e. Kebenaran proposisi

Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep


kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai
yang obyektif.Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-
proposisinya benar.Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah
bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain
yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar
formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.

f. Kebenaran struktural paradigmatik

Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan


perkembangan dari kebenaran korespondensi.Sampai sekarang
analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya
masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya.
Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang
dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi
yang lebih menyeluruh.

3. Konfirmasi

Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk


yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut
dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau
probalistik.Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan
asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar.Tetapi
tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya.Sedangkan
untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar
kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif,
ataupun reflektif.

4. Logika inferensi

Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir


abad XX adalah logika matematika, yang menguasai
positivisme.Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara
fakta.Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang
dipercaya dengan fakta.Belief pada Russel memang memuat moral,
tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak
general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau
kesimpulan ideografik.

Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran


koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio,
Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi
antara fakta dengan skema moral.Realisme metafisik Popper
menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal
dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan
menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden.
(Ismaun,200:9)

Di lain pihak, Jujun Suriasumantri( 1982 : 46 – 49 ) menjelaskan


bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan
kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni
berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2
bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.

2.1.5.  Corak dan Ragam Filsafat Ilmu

Ismaun ( 2001 : 1 ) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat


ilmu, diantaranya :

Ø  Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu :


(1) meta ideologi, (2) meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.

Ø  Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi


means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai
kepanjangan ide manusia.

Ø  Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau


keindahan sebagai salah satu tri-partit, yakni kebudayaan, produk
domain kognitif dan produk alasan praktis.

Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata,


benar, dan logis. Bila etik dimasukkan, maka perlu ditambah koheren
dengan moral.Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria
oprasional, efisien dan produktif.Bila etik dimasukkan perlu ditambah
human.manusiawi, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih
diekstensikan lagi menjadi tidak merusak lingkungan.

2.1.6  Persamaan dan Perbedaan Filsafat Ilmu dan Ilmu – Ilmu


Lain.
Persamaan filsafat ilmu dan ilmu lainnya, baik sejarah ilmu,
sosiologi ilmu dan psikologi ilmu  adalah sebagai berikut :

1. Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek


selengkap lengkapnya sampai keakar - akarnya.

2. Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren


yang ada antara kejadian - kejadian yang kita alami dan mencoba
menunjukan sebab-sebanya.

3. Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang


bergandengan.

4. Keduanya mempunyai metode dan sitem.

5. Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan


seluruhnya timbul dari hasrat manusia (objektivitas), akan
pengetahuan yang lebih mendasar

Perbedaan filsafat ilmu dengan filsafat atau ilmu-ilmu lain seperti


sejarah ilmu, psikologi, sosiologi, dan sebagainya terletak pada
masalah yang hendak dipecahkan dan metode yang akan
digunakan. Filsafat ilmu tidak berhenti pada pertanyaan mengenai
bagaimana pertumbuhan serta cara penyelenggaraan ilmu dalam
kenyatannya, melainkan mempermasalahkan masalah metodologik,
yakni mengenai azas-azas serta alasan apakah yang menyebabkan
ilmu dapat menyatakan bahwa ia memperoleh pengetahuan ilmiah.[7]

Pertanyaan seperti itu tidak dapat dijawab oleh ilmu itu sendiri
tetapi membutuhkan analisa kefilsafatan mengenai tujuan serta cara
kerja ilmu. Pertalian antara filsafat dan ilmu harus terjelma dalam
filsafat ilmu. Kedudukan filsafat ilmu dalam lingkungan fisafat secara
keseluruhan adalah :

1)        bahwa filsafat ilmu berhubungan erat dengan filsafat ilmu


pengetahuan                      ( epistemology ) ;

2)        filsafat ilmu erat hubungannya dengan logika dan metodologi, dan


dalam hal ini kadang-kadang filsafat ilmu dijumbuhkan
denganmetodologi ( Beerling, 1985; 4 ). Hubungan antara filsafat
dengan ilmu pengetahuan lebih erat dalam bidang ilmu pengetahuan
manusia.Ilmu-ilmu manusia seringkali lebih jelas masih mempunyai
filsafat ilmu tersembunyi.[8]

Secara garis besar perbedaan filsafat ilmu dengan ilmu – ilmu


lain, baik sejarah ilmu, psikologi ilmu maupun sosiologi ilmu adalah :

1) Filsafat menyelidiki, membahas, serta memikirkan seluruh alam


kenyataan, dan menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama
lain. Jadi ia memandang satu kesatuan yang belum dipecah-pecah
serta pembahasanya secara kesuluruhan. Sedangkan ilmu-ilmu lain
atau ilmu vak menyelidiki hanya sebagian saja dari alam maujud ini,
misalnya ilmu sejarah hanya membicarakan kejadian – kejadian yang
sudah terjadi di masa lampau, ilmu psikologi hanya membicarakan
tentang jiwa, dan ilmu sosiologi hanya membicarakan tentang
manusia.

2) Filsafat tidak saja menyelidiki tentang sebab-akibat, tetapi menyelidiki


hakikatnya sekaligus. Sedangkan ilmu lainnya hanya membahas
tentang   sebab dan akibat suatu peristiwa.
3) Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia sebenarnya, dari mana
asalnya, dan hendak ke mana perginya. Sedangkan ilmu lainnya harus
menjawab pertanyaan bagaimana dan apa sebabnya.

      

2.1.7. Tujuan dari Filsafat Ilmu

Tujuan filsafat ilmu adalah :

1. Mendalami unsure-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh


kita dapat   memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.

2.  Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu


di berbagai bidang, sehingga kita dapat gambaran tentang proses ilmu
kontemporer secara histories.

3. Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami


studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang
alamia dan non-alamia.

4. Mendorong pada calon ilmuan dan iluman untuk konsisten dalam


mendalami ilmu dan mengembangkanya.

5. Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu


dan agama tidak ada pertentangan.
3.1 Logika

3.1.1 Pengertian Logika

Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti


hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat. .
Logika adalah salah satu cabang filsafat. menurut The seperti yang
dikutip ihsan (2010:123) bahwa “berpikir adalah suatu proses, proses
berpikir ini biasa di sebut nalar. Dalam bernalar manusia melakukan
proses berpikir ntuk berusaha tiba pada pernyataan baru yang
merupakan kelanjutan runtut dari pernyataan lain yang telah
diketahui”

Logika sebagai ilmu pengetahuan dimana obyek materialnya


adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran) dan obyek
formal logika adalah berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi
ketepatannya. Penalaran adalah proses pemikiran manusia yang
berusaha tiba pada pernyataan baru yang merupakan kelanjutan runtut
dari pernyataan lain yang telah diketahui (Premis) yang nanti akan
diturunkan kesimpulan.

   Logika juga merupakan suatu ketrampilan untuk menerapkan


hukum-hukum pemikiran dalam praktek, hal ini yang menyebabkan
logika disebut dengan filsafat yang praktis. Dalam proses pemikiran,
terjadi pertimbamgan, menguraikan, membandingkan dan
menghubungkan pengertian yang satu dengan yang lain. Penyelidikan
logika tidak dilakukan dengan sembarang berpikir. Logika berpikir
dipandang dari sudut kelurusan atau ketepatannya. Suatu pemikiran
logika akan disebut lurus apabila pemikiran itu sesuai dengan hukum-
hukum serta aturan yang sudah ditetapkan dalam logika. Dari semua
hal yang telah dijelaskan tersebut dapat menunjukkan bahwa logika
merupakan suatu pedoman atau pegangan untuk berpikir.
ASAS-ASAS PEMIKIRAN, CARA MENDAPATKAN
KEBENARAN, DAN PEMBAGIAN LOGIKA

A.      Asas-Asas Pemikiran

Asas adalah pangkal atau asal dari mana sesuatu itu muncul dan
dimengerti. Maka “Asas Pemikiran” adalah pengetahuan di mana
pengetahuan lain muncul dan dimengerti. Asas bagi kelurusan berpikir
mutlak, ia adalah dasar daripada pengetahuan dan ilmu. Asas
pemikiran ini dapat dibedakan menjadi :

1.      Asas identitas (principiumidentitatis = qanun zatiyah).

Ia adalah dasar dari semua pikiran dan bahkan asas pemikiran yang
lain. Prinsip ini mengatakan sesuatu itu adalah dia sendiri bukan
lainnya. Bila diberi perumusan akan berbunyi : “Bila proposisi itu
benar maka benarlah ia”.

2.      Asas kontradiksi (principiumcontradiktoris = qanun tanaqud).

Prinsip ini mengatakan bahwa pengingkaran sesuatu tidak mungkin


sama dengan pengakuannya. Sebab realitas ini hanya satu
sebagaimana disebut dalam asas identitas. Dengan kata lain : dua
kenyataan yang kontradiktiris tidak mungkin bersama-sama secara
simultan. Jika dirumuskan akan menjadi “Tidak ada proposisi yang
sekaligus benar dan salah”.

3.      Asas penolakan kemungkinan ketiga (principium exlusi tertii =


qanun imtina’)

Asas ini menyatakan bahwa antara pengakuan dan pengingkaran


kebenaranya  terletak pada salah satunya. Pengakuan dan
pengingkaran merupakan pertentangan mutlak, karena itu di samping
tidak mungkin benar keduanya juga tidak mungkin salah keduanya.
Jika di rumuskan berbunyi  “suatu proposisi selalu dalam keadaan
benar atau salah “.

B.      Cara Mendapatkan Kebenaran

Ada dua cara untuk mendapatkan kebenaran yaitu : melalui metode


induksi dan metode deduksi .

1.      Induksi adalah cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang


bersifat umum  dari kasus yang bersifat individual. Penalaran  ini
dimulai dari kenyataan-kenyataan yang bersifat khusus dan terbatas
diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Seperti :

Besi dipanaskan memuai

Seng dipanaskan memuai

mas dipanaskan memuai

Jadi : semua logam jika dipanaskan memuai


Cara penalaran ini mempunyai dua keuntungan. Pertama, kita dapat
berpikir secara ekonomis. Kita bisa mendapatkan pengetahuan yang
lebih umum tidak sekedar kasus yang menjadi dasar pemikiran kita.
Kedua, pernyataan yang dihasilkan melalui pemikiran induksi tadi
memungkinkan proses penalaran selanjutnya, baik secara induktif
maupun secara deduktif.

2.      Deduksi  adalah kegiatan berpikir merupakan kebalikan dari


penalaran induksi. Deduksi adalah cara berpikir dari pernyataan yang
bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus. Seperti :

Semua logam bila dipanaskan, memuai Tembaga adalah logam Jadi,


tembaga bila dipanaskan, memuai.

Dengan penalaran deduktif kita mendapat pengetahuan yang


terpercaya, meskipun pengetahuan ini kita dapatkan tidak melalui
penelitian lebih dahulu. 

C.      Pembagian Logika

Dilihat dari segi kualitasnya logika natiralis (mantiq Al-fikri) yaitu


kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia.
Kemampuan berlogika naturalis pada tiap-tiap orang berbeda-beda
tergantung dari tingkatan pengatahuannya. Logika artifialis atau
logika ilmiah (matiq Al- suri) yang bertugas membantu mantiq Al-
fitri. Mantiq ini memperhalus , mempertajam serta menunjukkan jalan
pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien, mudah dan
aman.

Dilihat dari metodenya logika tradisional (mantiq Al- Qodim) dan


logika modern (mantiq Al- Hadits).

1.      Logika Tradisional adalah logika Aristoteles dan logika daripada


logokus yang lebih, tetapi masih mengikuti system loigika aristoteles.

2.      Logika Modern tumbuh dan dimulai dari abad XIII, mulai abad
ini ditemukan sistem baru, metode baru yang berlainan dengan system
logika Aristoteles. Saatnya dimulai sejak Raymundus
lulus manemukan metode baru logika yang disebut Ars magna.

Jika dilihat dari obyeknya logika formal (mantiq As-suwari) dan


logika material (mantiq Al- Maddi).

Cara berpikir Induktif dipergunakan dalam logika material, yang


mempelajari dasar-dasar persesuaian pikiran dengan kenyataan. Ia
menilai hasil pekerjaan logika formal dan menguji benar tidaknya
dengan kenyataan empiris. 

3.1.2 Sejarah Logika

        Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf


Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan
cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk
memecahkan rahasia alam semesta. Thales mengatakan bahwa air
adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam
semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.

     Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang


kemudian disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa
Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta
dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu. Sejak saat Thales
sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai
dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah
merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini. Pada masa
Aristoteles logika masih disebut dengan analitica , yang secara khusus
meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisiyang
benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang
berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari
logika Aristoteles adalah silogisme.

    Pada 370 SM - 288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang


menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangn logika. Istilah
logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334
SM -226 SM pelopor Kaum Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada
masa Galenus (130 M - 201 M) dan Sextus Empiricus 200 M, dua
orang dokter medis yang mengembangkan logika dengan menerapkan
metode geometri.

     Kaum Sofis, Socrates, dan Plato tercatat sebagai tokoh-tokoh yang


ikut merintis lahirnya logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa
Aristoteles, Theoprostus dan Kaum Stoa. Logika dikembangkan
secara progresif oleh bangsa Arab dan kaum muslimin pada abad II
Hijriyah. Logika menjadi bagian yang menarik perhatian dalam
perkembangan kebudayaan Islam. Namun juga mendapat reaksi yang
berbeda-beda, sebagai contoh Ibnu Salah dan Imam Nawawi
menghukumi haram mempelajari logika, Al-Ghazali menganjurkan
dan menganggap baik, sedangkan Jumhur Ulama membolehkan bagi
orang-orang yang cukup akalnya dan kokoh imannya. Filosof Al-
Kindi mempelajari dan menyelidiki logika Yunani secara khusus dan
studi ini dilakukan lebih mendalam oleh Al-Farabi.

     Selanjutnya logika mengalami masa dekadensi yang panjang.


Logika menjadi sangat dangkal dan sederhana sekali. Pada masa itu
digunakan buku-buku logika seperti Isagoge dari Porphirius, Fonts
Scientie dari John Damascenus, buku-buku komentar logika dari
Bothius, dan sistematika logika dari Thomas Aquinas. Semua
berangkat dan mengembangkan logika Aristoteles.

     Pada abad XIII sampai dengan abad XV muncul Petrus Hispanus,


Roger Bacon, Raymundus Lullus, Wilhelm Ocham menyusun logika
yang sangat berbeda dengan logika Aristoteles yang kemudian kita
kenal sebagai logika modern. Raymundus Lullus mengembangkan
metoda Ars Magna, semacam aljabar pengertian dengan maksud
membuktikan kebenaran - kebenaran tertinggi. Francis Bacon
mengembangkan metoda induktif dalam bukunya Novum Organum
Scientiarum . W.Leibniz menyusun logika aljabar untuk
menyederhanakan pekerjaan akal serta memberi kepastian. Emanuel
Kant menemukan Logika Transendental yaitu logika yang
menyelediki bentuk-bentuk pemikiran yang mengatasi batas
pengalaman. Selain itu George Boole (yang mengembangkan aljabar
Boolean), Bertrand Russel, dan G. Frege tercatat sebagai tokoh-tokoh
yang berjasa dalam mengembangkan Logika Modern. Pada abad 9
hingga abad 15, buku-buku Aristoteles seperti De
Interpretatione,Eisagoge oleh Porphyus dan karya Boethius masih
digunakan. Thomas Aquinas 1224-1274 dan kawan-kawannya
berusaha mengadakan sistematisasi logika.
Lahirlah logika modern dengan tokoh-tokoh seperti:

 Petrus Hispanus 1210 - 1278)
 Roger Bacon 1214-1292
 Raymundus Lullus (1232 -1315) yang menemukan metode
logika baru yang dinamakan Ars Magna, yang merupakan
semacam aljabar pengertian.
 William Ocham (1295 - 1349)

Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni


diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588 - 1679) dengan karyanya
Leviatan dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay Concrning
Human Understanding. Francis Bacon (1561 - 1626) mengembangkan
logika induktif yang diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum
Scientiarum. J.S. Mills (1806 - 1873) melanjutkan logika yang
menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of Logic.
Lalu logika diperkaya dengan hadirnya pelopor-pelopor logika
simbolik seperti:
·        Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar
berdasarkan Ars Magna dari Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan
menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih mempertajam
kepastian.
·        George Boole (1815-1864)
·        John Venn (1834-1923)
·        Gottlob Frege (1848 - 1925)
Lalu Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf
Amerika Serikat yang pernah mengajar di John Hopkins
University,melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya.
Ia memperkenalkan dalil Peirce (Peirce’s Law) yang menafsirkan
logika selaku teori umum mengenai tanda (general theory of signs).
Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-
1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid yang
merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 - 1914) dan
Bertrand Arthur William Russel (1872 - 1970).

Sebagai salah satu cabang filsafat, maka logika dapat dibagi


menjadi [10]:

1.      Logika dalam sempit ialah digunakan sama arti sempit istilah


termasud searti dengan logika deduktif atau logika formal. Adapun
yang dimaksud dengan logika deduktif adalah logika yang
mempelajari asaa-asas penalaran yang bersifat deduktif, yakni suatu
penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian dari
pangakal pikiran, sehingga bersifat betul hanya berdsarkan bentuknya.
Logika formal mempelajari asaa-asas, aturan-aturan atau hokum-
hukum yang harus ditaati, agar dapat berpikir dengan benar sehingga
dapat memperoleh kebenaran. Logika formal dinamakan orang juga
logika minor sedangkan apa yang sekarang disebut logika formal ialah
ilmu yang mengandung kumpulan kaidah-kaidah cara berpikir untuk
mencapai kebenaran.

2.      Logika dalam arti luas ialah mencakup perbincangan yang


sistematis mengenai pencapai kesimpulan-kesimpulan dari berbagai
bukti dan tentang bagaimana sistem-sistem penjelasan disusun dalam
ilmu alam termasuk didalamnya pembahasan tentang logika itu
sendiri.

3.      Logika Induktif  adalah logika yang mempelajari asas-asas


penalaran yang benar yang berawal dari hal khusus sampai pada suatu
kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi atau kemungkinan.

4.      Logika material mempelajari lansung pekerjaan akal, serta


menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan kenyataan-
kenyataan praktis yang sesungguhnya.

5.      Logika murni yang merupakan pengetahuan yang mengenai


asas-asas dan aturan-aturan logika yang, berlaku umumpada semua
segi dan bagian dari pernyataan-pernyataan dengan tanpa
mempersoalkan arti khusus dalam suatu cabang ilmu dari istilah yang
di pakai dalam pernyataan-pernyataan yang dimaksud.
6.      Logika terapan adalah pengetahuan logika yang diterapkan
dalam setiap cabang ilmu, bidang-bidang filsafat dan juga dalam
pembicaraan yang mempergunakan bahasa sehari-sehari.

7.      Logika filsafati dapat dipandang sebagai suatu ragam atau


bagian logika yang berkaitan dengan pembahasan-pembahasan dalam
bidang filsafat.

8.      Logika matematik merupakan suatu bentuk logika yang


mengkaji penalaran yang benar dan mengunakan metode-metode
matematik sserta bentuk lambang-lambang yang khusus dan cermat
untuk menghindari makna ganda atau kekaburan yang terdapat dalam
bahasa biasa.

Tokoh Logika Dan Pemikirannya

 Aristoteles

Aristoteles, seorang filosof dan ilmuwan terbesar dalam dunia masa


lampau, yang memelopori penyelidikan ihwal logika, memperkaya
hampir tiap cabang falsafat dan memberi sumbangan-sumbangan
besar terhadap ilmu pengetahuan. Pendapat Aristoteles, alam semesta
tidaklah dikendalikan oleh serba kebetulan, oleh keinginan atau
kehendak dewa yang terduga, melainkan tingkah laku alam semesta
itu tunduk pada hukum-hukum rasional. Kepercayaan ini menurut
Aristoteles diperlukan bagi manusia untuk mempertanyakan setiap
aspek dunia alamiah secara sistematis, dan kita harus memanfaatkan 
pengamatan empiris, dan alasan-alasan yang logis sebelum mengambil
keputusan.
 Raymundus Lullus

Raymundus Lullus mengembangkan metoda Ars Magna, semacam


aljabar pengertian dengan maksud membuktikan kebenaran –
kebenaran tertinggi. Francis Bacon mengembangkan metoda induktif
dalam bukunya Novum Organum Scientiarum . W.Leibniz menyusun
logika aljabar untuk menyederhanakan pekerjaan akal serta memberi
kepastian. Emanuel Kant menemukan Logika Transendental yaitu
logika yang menyelediki bentuk-bentuk pemikiran yang mengatasi
batas pengalaman.

 Leibniz

Leibniz menganjurkan penggantian pernyataan dengan symbol-simbol


agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah melakukan analisis.
Demikian juga Leonhard Euler, seorang ahli matematika dan logika
swiss melakukan pembahasan tentang term-term dengan
menggunakan lingkaran-lingkaran untuk melukiskan hubungan antar
term yang terkenal dengan sebutan sirkel-Euler.

 John Stuart Mill

John Stuart Mill mempertemukan system induksi dengan system


deduksi. Setiap pangkal pikir besar di dalam deduksi memerlukan
induksi dan sebaliknya memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiran
mengenai hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi kedua-duanya
bukan bagian yang saling terpisah, tetapi sebetulnya saling membantu.
 Thales

Thales (624 SM – 548 SM), filsuf Yunani pertama yang


meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan
jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia
alam semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani)
yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales
telah mengenalkan logika induktif.
Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut
Aristoteles disimpulkan dari:

Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)

Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia

Air jugalah uap

Air jugalah es

Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe
alam semesta.

Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah


mulai dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM)
juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini.

 Poespoprojo

Poespoprojo menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari


aktivitas berpikir yang menyelidiki pengetahuan yang berasal dari
pengalaman-pengalaman konkret, pengalaman sesitivo-rasional, fakta,
objek-objek, kejadian-kejadian atau peristiwa yang dilihat atau
dialami. Logika bertujuan untuk menganalisis jalan pikiran dari suatu
penalaran/pemikiran/penyimpulan tentang suatu hal. Poespoprojo
menjelaskan tentang pikiran dan jalan pikiran dengan alur logika dan
sistematika yang merupakan alur pikiran algoritmik sementara Olson
menekankan pada pemecahan masalah lewat gagasan-gagasan yang
diperoleh dengan jalan yang unik. Namun tetap berlandaskan pada
sistematika dan logika

 Olson

Olson tidak menerangkan definisi pemikiran dalam konteks logika


namun menjelaskan pikiran dalam konteks kreativitas.
Pembahasannya ditekankan pada bahasan mengenai pemecahan
masalah dengan menempuh ‘jalan’ yang tidak biasa. Olson
menggunakan aspek-aspek di luar pembahasan logika dan ilmu
menalar yang hampir bisa disebut dengan logika transendental.

 Marx dan Engels

Marx dan Engels adalah murid Hegel di lapangan Logika. Dalam ilmu
logika, mereka berdua lah yang kemudian melakukan revolusi pada
revolusi Hegelian—dengan menyingkirkan elemen mistik dalam
dialektikanya, dan menggantikan dialektika idealistik dengan sebuah
landasan material yang konsisten.

 Euklides
Euklides melakukan hal yang sama untuk dasar-dasar geoemetri;
Archimides untuk dasar-dasar mekanika; Ptolomeus dari Alexandria
kemudian menemukan astronomi dan geografi; dan Galen untuk
anatomi.

 Hegel

Hegel, seorang tokoh dari sekolah filsafat idealis (borjuis) di Jerman,


adalah seorang guru besar yang pertama kali mentransformasikan ilmu
logika, seperti di sebutkan oleh Marx: “bentuk-bentuk umum gerakan
dialektika yang memiliki cara yang  komprehensif dan sadar
sepenuhnya.”

 Petrus Hispanus

Petrus Hispanus menyususn pelajaran logika berbentuk sajak. Petrus


inilah yang mula-mula mempergunakan berbagai nama untuk system
penyimpulan yang sah dalam perkaitan bentuk silogisme kategorik
dalam sebuah sajak. Kumpulan sajak Petrus mengenai logika ini
bernama Summulae.

 Francis Bacon

Francis Bacon melancarkan serangan sengketa terhadap logika dan


menganjurkan penggunaan system induksa secara lebih luas. Serangan
Bacon terhadap logika ini memperoleh sambutan hangat dari berbagai
kalangan di barat. Sehingga kemudian perhatian lebih ditujukan pada
system induksi.
 Cristian Wolff

Cristian Wolff lebih dikenal sebagai pembela setia ajaran-ajaran


Leibniz, namun di samping itu  ia juga cukup gigih mengembangkan
logika-matematik system filsafat yang terkait dengan berbagai
lapangan pengetahuan dengan mempergunakan sarana metode
deduktif seperti yang dipakai dalam matematik.

 Marx dan Engels

Marx dan Engels adalah murid Hegel di lapangan Logika. Dalam ilmu
logika, mereka berdua lah yang kemudian melakukan revolusi pada
revolusi Hegelian—dengan menyingkirkan elemen mistik dalam
dialektikanya, dan menggantikan dialektika idealistik dengan sebuah
landasan material yang konsisten.

 Theoprastus

Theoprastus (371-287 sM), memberi sumbangan terbesar dalam


logika ialah penafsirannya tentang pengertian yang mungkin dan juga
tentang sebuah sifat asasi dari setiap kesimpulan. Kemudian,
Porphyrius (233-306 M), seorang ahli pikir di Iskandariah
menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru
ini disebut Eisagoge, yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam
bagian baru ini dibahas lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-
lingkungan sifat di dalam alam, yang biasa disebut dengan klasifikasi.
Dengan demikian, logika menjadi tujuh bagian.
 Al-Farabi

Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal mahir dalam bahasa Grik Tua,


menyalin seluruh karya tulis Aristoteles dalam berbagai bidang ilmu
dan karya tulis ahli-ahli pikir Grik lainnya. Al-Farabi menyalin dan
memberi komentar atas tujuh bagian logika dan menambahkan satu
bagian baru sehingga menjadi delapan bagian.

 John Venn

John Venn (1834-1923), ia berusaha menyempurnakan analisis logik


dari Boole dengan merancang diagram lingkaran-lingkaran yang kini
terkenal sebagai diagram Venn (Venn’s diagram) untuk
menggambarkan hubungan-hubungan dan memeriksa sahnya
penyimpulan dari silogisme. Untuk melukiskan hubungan merangkum
atau menyisihkan di antara subjek dan predikat yang masing-masing
dianggap sebagai himpunan.

3.1.3 Logika Sebagai Cabang Filsafat

Filsafat adalah kegiatan / hasil pemikiran /permenungan yang


menyelidiki sekaligus mendasari segala sesuatu yang berfokus pasa
makna dibalik kenyataan atau teori yang ada untuk disusun dalam
sebuah system pengetahuan rasional.
Logika adalah sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis disini
berarti logika dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.Logika
lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha
untuk memasarkan pikiran-pikirannya serta pendapat-pendapatnya,
filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba membantah pikiran
yang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya.Logika
digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang
bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional,
logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap
sebagai cabang matematika.

Logika sebagai cabang filsafat adalah cabang filsafat tentang


berpikir. Logika membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar
dengan aturan-aturan tersebut dapat mengambil kesimpulan yang
benar. Dengan mengetahui cara atau aturan-aturan tersebut dapat
menghindarkan diri dari kesalahan dalam mengambil keputusan.
Menurut Louis O. Kattsoff, logika membicarakan teknik-teknik untuk
memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu dan
kadang-kadang logika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang
penarikan kesimpulan.
Logika bisa menjadi suatu upaya untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti : Adakah metode yang dapat digunakan untuk
meneliti kekeliruan pendapat? Apakah yang dimaksud pendapat yang
benar? Apa yang membedakan antara alasan yang benar dengan
alasan yang salah? Filsafat logika ini merupakan cabang yang timbul
dari persoalan tentang penyimpulan.
3.1.4 Kegunaan Logika

        Logika membantu manusia berpikir lurus, efisien, tepat, dan


teratur untuk mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan.
Dalam segala aktivitas berpikir dan bertindak, manusia mendasarkan
diri atas prinsip ini. Logika menyampaikan kepada berpikir benar,
lepas dari berbagai prasangka emosi dan keyakinan seseoranng,
karena itu ia mendidik manusia bersikap obyektif, tegas, dan berani,
suatu sikap yang dibutuhkan dalam segala suasana dan tempat. Selain
hubungannya erat dengan filsafat dan matematik, logika dewasa ini
juga telah mengembangkan berbagai metode logis (logical methods)
yang banyak sekali pemakaiannya dalam ilmu-ilmu, sebagai misal
metode yang umumnya pertama dipakai oleh suatu ilmu.
     Selain itu logika modern (terutama logika perlambang) dengan
berbagai pengertian yang cermat, lambang yang abstrak dan aturan-
aturan yang diformalkan untuk keperluan penalaran yang betul tidak
saja dapat menangani perbincangan-perbincangan yang rumit dalam
suatu bidang ilmu, melainkan ternyata juga mempunyai penerapan.
Misalnya dalam penyusunan program komputer dan pengaturan arus
listrik, yang tidak bersangkutan dengan argumen.
Pengertian ilmu logika secara umum adalah ilmu yang mempelajari
aturan-aturan berpikir benar. Jadi dalam logika kita mempelajari
bagaimana sistematika atau aturan-aturan berpikir benar. Subjek inti
ilmu logika adalah definisi dan argumentasi. Yang selanjutnya
dikembangkan dalam bentuk silogisme.
     Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kegunaan logika
adalah sebagai berikut:

 Membantu setiap orang mempelajari logika untuk berpikir


secara rasional, kritis, lurus, tetap,                     
 Tertib, metodis, dan koheren atau untuk menjaga kita supaya
selalu berpikir benar.
 Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan
objektif.
 Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir
secara tajam dan mandiri.
 Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan
menggunakan asas-asas   sistematis.                                               
 Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari
kesalahan-kesalahan berpikir kekeliruan serta kesesatan.
 Mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian.
 Sebagai ilmu alat dalam mempelajari ilmu apapun, termasuk
filsafat.

Karena yang dipelajari dalam ilmu logika hanyalah berupa


aturan-aturan berpikir benar maka tidak otomatis seseorang yang
belajar logika akan menjadi orang yang selalu benar dalam berpikir.
Itu semua tergantung seperti apa dia menerapkan aturan-aturan
berpikir itu, disiplin atau tidak dalam menggunakan aturan-aturan itu,
sering berlatih, dan tentu saja punya tekad dalam kebenaran.
Kegunaan dari kita belajar logika adalah daya analisis kita semakin
bertambah dan dimana apabila ada suatu masalah, kita dapat
mengambil keputusan dengan benar. Disamping itu belajar logika juga
sangat bermanfaat dalam manajemen waktu, dan juga logika
merupakan dasar ilmu psikologi yang paling mendasar. Intinya
dengan belajar logika kemampuan berpikir dan daya analisis kita
semakin berkembang.

3.1.5 Macam - Macam Logika

Setelah mempelajari tentang filsafat ilmu lebih mendalam lagi,


ternyata didalamnya terdapat banyak sekali materi yang disajikan.
Yang salah satunya adalah tentang logika, dan logika sendiri dapat
dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Logika Alamiah
Logika Alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir
secara tepat dan lurus sebelum mendapat pengaruh-pengaruh dari luar,
yakni keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang
subyektif. Yang mana logika alamiah manusia ini ada sejak manusia
dilahirkan. Dan dapat disimpulkan pula bahwa logika alamiah ini
sifatnya masih murni.

2. Logika Ilmiah
Lain halnya dengan logika alamiah, logika ilmiah ini menjadi
ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam
setiap pemikiran. Dengan adanya pertolongan logika ilmiah inilah
akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah
dan lebih aman.
Logika ilmiah ini juga dimaksudkan untuk menghindarkan
kesesatan atau setidaknya dapat dikurangi. Sasaran dari logika ilmiah
ini adalah untuk memperhalus dan mempertajam pikiran dan akal
budi.

 3.1.6 Logika Konstruktif

Logika di dalam konteks konstruksi realitas dalam bagian ini


dimaksudkan untuk menunjuk segala langkah prosesual
konstruksional yang melibatkan penalaran logis untuk tujuan
tercapainya kesesuaian, ketepatan dan keakuratan pengkonstruksian
realitas. Konstruksi realitas yang logis akan tercermin pada tidak
adanya kesenjangan apalagi perbedaan antara konstruksi realitas
dengan realitas yang diwakilinya. Menurut ihsan (2010:117) bahwa
“kegiatan berpikir yang dapat menghasilkan  pengetahuan yang benar
juga mempunyai cara atau aturan yang berbeda-beda”. Oleh karena
penggunaan logika dimaksudkan untuk mencapai kepastian
(exactness) dari setiap simpulan pemikiran dan penalarannya, maka
konstruksi yang diawali dengan penalaran seperti ini akan dapat
dikategorikan sebagai konstruksi yang logis.
 3.1.7 Logika kontingensial

Makna yang logis dari suatu konstruksi realitas sosial harus


secara internal menyatu di dalam realitas terkonstruksi itu sendiri.
Integrasi logika ini diakui (kebenarannya:penulis) bukan saja pada
interrelasi elemen-elemen kultural yang tertentu saja yang kita temui
di dalam bentuk proposisi verbal, seperti pernyataan tertulis, akan
tetapi berlaku untuk elemen-elemen kultural nonverbal seperti halnya
acara-acara dan musik, dan juga bahkan berlaku untuk relasi antar
elemen kultural dari kelas-kelas yang berbeda-beda seperti sebuah
organisasi keluarga spesifik, sebuah gaya budaya/kebudayaan, type
kepribadian spesifik, dan aturan dan ketentuan hukum legal tertentu .
menurut suriasumantri (2009:46) bahwa “suatu penarikan kesimpulan
dianggap sahih (valid) kalau cara penarikan kesimpulan ini disebut
logika, dimana secara luas logika dapat didefinisikan sebagai
pengkajian untuk berpikir secara sahih”.

 3.1.8 Logika sentensial

Logika sentensial membatasi dirinya untuk membahas kalimat-


kalimat sederhana yang tertentu, yang tidak terurai secara keselurhan,
menggabungkannya dengan kalimat penghubung yang menjadikannya
kalimat-kalmat gabungan. Kalimat gabungan itu hanya dipergunakan
sebagai alasan, yang validitas dan invaliditasnya sepenuhnya
bergantung pada bentuk atau cara bagaimana kalimat-kalimat
sederhana itu digabungkan.Contoh logika sentensial paling sederhana
adalah, jika kalmatnya adalah :
• Bapak pergi ke Jakarta atau ke Surabaya
• Bapak tidak pergi ke Jakarta
• Simpulan yang benar adalah : Bapak pergi ke Surabaya.
Kalimat-kalimat penghubung pada penggabungan dua kalimat di
dalam logika sentensial adalah: dan, atau, bukan, jika-maka, jika dan
hanya jika

3.1.9 Logika silogisme

Silogisme kategoris merupakan sebuah penafsiran atas satu


proposisi kategoris sebagai simpulan atas dua proposisi yang lainnya
yang merupakan premis-premis. Pada masing-masing premis memiliki
satu istilah yang juga ada pada proposisi kesimpulan dan ada pada
proposisi premis lainnya.
Contoh paling sederhana:
• Setiap binatang akan mati (Premis major)
• Semua manusia adalah binatang (Premis minor)
• Oleh karenanya, semua manusia akan mati (Simpulan)

Menurut suriasumantri (2009:49) bahwa “ketepatan penarikan


kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni kebenaran premis mayor,
kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan kesimpulan.
Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak
dipenjuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah. Matematika
adalah pengetahuan yang disusun secar deduktif. Argumentasi
matematik seperti a sama dengan b dan bila b sama dengan c maka a
sama denga c merupakan suatu penalaran deduktif.

3.2 Etika

3.2.1 Pengertian Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat


tinggal yang biasa, padang rumpt, kandang; kebiasaan, adat; watak;
perasaan, sikap, cara berpikir. dalam bentuk jamak ta etha artinya adat
kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya istilah etika yang
oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika
berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama
dengan etika. Menurut kaharu dan b. Uno (2004:204) bahwa “ nilai itu
sungguh sungguh ada dalam arti bahwa ia praktis dan efektif didalam
masyarakat. Nilai-nilai itu sungguh sungguh satu realita dalam arti
bahwa ia valid sebagai suatu cita-cita yang benar yang berlawanan
dengan cita-cita yang palsu atau besifat khayali”.

Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan


norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut
sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam, etika suku
Indoan. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode
etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga,
etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau
penelitian sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat
moral

Pokok Persoalan Etika :


Dalam etika Aristoteles telah disebutkan, bahwa di dalamnya memuat
a)      Kebahahagiaan sebagai tujuan
b)      Kebahagiaan menurut isinya
c)      Ajaran tentang keutamaan dan ini terdiri dari:
1.       Keutamaan moral
2.       Keutamaan intelektual
d)     Kehidupan ideal
Ahmad Amin membagi perbuatan manusia kepada tiga
bentuk; Pertama, perbuatan yang tidak disengaja dan dari sini manusia
tidak berdaya untuk melakukan atau menghindarinya. 
Kedua, perbuatan tersembunyi. Ketiga,perbuatan karna iktiar dan hasil
pertimbangan akal yang sehat. Dari berbagai bentuk perbuatan
manusia ini maka, yang menjadi persoalan etika adalah:
Segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan
iktiar dan sengaja , dan ia mengetahui waktu melakukannya apa yang
ia perbuat,. Inilah yang dapat kita beri hokum baik dan buruk,
demikian juga segala perbuatan yang timbul tiada dengan kehendak
tetapi dapat diikhtiarkan penjagaan sewaktu sadar. Adapun apa yang
timbul bukan dengan kehendak, dan dapat dijaga sebelumya maka ia
bukan pokok dari persoalan etika.

Etika berbeda dengan etiket. Yang terakhir ini berasal dari kata
Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya
cukup tajam, antara lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan
harus dilakukan, etika menunjukkan norma tentang perbuatan itu.
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik baik saat
sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat
relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya
berkaitan dengan segi lahiriyah, etika menyangkut segi batiniah.
Moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal,
menjadi ciri yang membedakan manusia dari binatang. Pada binatang
tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang boleh dan yang
dilarang, tentang yang harus dan tidak pantas dilakukan. Keharusan
memunyai dua macam arti: keharusan alamiah (terjadi dengan
sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang
mewajibkan manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu).

St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di


dalam kajian filsafat praktis (practical philosophy). Etika dimulai bila
manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat
spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain
karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang
lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia. Secara metodologis, tidak setiap
hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika . Etika
memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan
refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu
ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi
berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku
manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika
melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia

3.2.2 Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala


sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan
pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:

1. Metafisika yaitu kajian dibalik alam yang nyata,


2. Kosmologia yaitu kajian tentang alam,
3. Logika yaitu pembahasa tentang cara berpikir cepat dan tepat,
4. Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia,
5. Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan,
6. Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia.

    Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu


komponen dalam filsafat. Banyak ilmu yang pada mulanya merupakan
bagian dari filsafat, tetapi karena ilmu tersebut kian meluas dan
berkambang, akhirnya membentuk disiplin ilmu tersendiri dan terlepas
dari filsafat. Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya
sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, ia
merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri. (Alfan: 2011)

    Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Sina seperti


indera bersama, estimasi dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia
untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya.
Jika manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah
dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan.
Jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, ia
selalu dipengaruhi hawa nafsu. Ia hidup dalam keadaan menyesal dan
terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.

Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina


memberi petunjuk dalam pemikiran filsafat terhadap bahan-bahan atau
sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu
etika.

   Ibn Khaldun dalam melihat manusia mendasarkan pada asumsi-


asumsi kemanusiaan yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia
peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat sebagai mekhluk berpikir. Oleh
karena itu, manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk-
makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak
hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian pada
berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam
ini melahirkan peradaban. Dalam pemikiran ilmu, Ibn Khaldun
tampak bahwa manusia adalah makhluk budaya yang
kesempurnaannya baru akan terwujud manakla ia berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya. Ini menunjukan tentang perlunya pembinaan
manusia, termasuk dalam membina etika. Gambaran tentang manusia
yang terdapat dalam pemikiran filosofis itu akan memberikan
masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan
tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, dan
berkomunikasi dengannya. Dengan cara demikian akan tercipta pola
hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang
aman dan damai (M. Yatimin Abdullah: 2006).

Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang


digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia
dengan nilai ketentuan baik atau buruk. Etika memiliki objek yang
sama dengan filsafat, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan
manusia. Filsafat sebagai pengetahuan berusaha mencari sebab yang
sedalam-dalamnya berdasarkan pikiran. (Yatimin: 2006) Jika ia
memikirkan pengetahuan jadilah ia filsafat ilmu, jika memikirkan
etika jadilah filsafat etika. (Ahmad Tafsir: 2005)

3.2.3 Etika Sebagai Ciri Khas Filsafat

Etika filsafat merupakan ilmu penyelidikan bidang tingkah laku


manusia yaitu menganai kewajiban manusia, perbuatan baik buruk
dan merupakan ilmu filsafat tentang perbuatan manusia. Banyak
perbuatan manusia yang berkaitan dengan baik atau buruk, tetapi tidak
semua perbuatan yang netral dari segi etikanya. Contoh, bila di pagi
hari saya menganakan lebih dulu sepatu kanan dan kemudian sepatu
kiri, perbuatan itu tidak mempunyai hubungan baik atau buruk. Boleh
saja sebaliknya, sepatu kiri dulu baru kemudian sepatu kanan. Cara itu
baik dari sudut efisiensi atau lebih baik karena cocok dengan motorik
saya, tetapi cara pertama atau kedua tidak lebih baik atau lebih buruk
dari sudut etika. Perbuatan itu boleh disebut tidak mempunyai
relevansi etika

      Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa manusia


mempunyai perasaan etika yang tertanam dalam jiwa dan hati
sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk
menjauhi perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan baik. Etika
filsafat merupakan suatu tindakan manusia yang bercorak khusus,
yaitu didasarkan kepada pengertiannya mengenai baik dan buruk.
Etika sebagai cabang filsafat sebenarnya yang membedakan manusia
daripada makhluk Tuhan lainnya dan menempatkannya bila telah
menjadi tertib pada derajat di atas mereka. (M. Yatimin Abdullah:
2006).

Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Mohamad Mufid: 2009


bahwa etika sering disebut filsafat moral. Etika merupakan cabang
filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia dalam kaitannya
dengan tujuan utama hidupnya. Etika membahas baik-buruk atau
benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus
menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika mempersoalkan
bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak.

Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika


menolong manusia untuk mengambil sikap terhadap semuah norma
dari luar dan dari dalam, supaya manusia mencapai kesadaran moral
yang otonom.

Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya


dibedakan antara etika deskriptif dan etika normatif.
1.   Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran-kesadaran
dan penngalaman moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan
bertitik pangkal pada kenyataan bahwa terdapat beragam fenomena
moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah. Etika
deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran,
keyakinan dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu. Etika
deskriptif dibagi menjadi dua, yaitu:

 Sejarah moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-


norma moral yang pernah berlaku dalam kehidupan manusia dalam
kurun waktu dan tempat tertentu.
 Fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna
moralitas dari beragam fenomena ysng ada. Fenomenologi moral
berkepentingan untuk menjelaskan fenomena moral yang terjadi
masyarakat. Ia tidak memberikan petunjuk moral dan tidak
mempersalahkan apa yang salah.

2.   Etika Normatif
Etika normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan
ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk menanggapi menilai
perbuatan. Etika ini dapat menjelaskan tentang nilai-nilai yang
seharusnya dilakukan serta memungkinkan manusia untuk mengukur
tentang apa yang terajdi.
Etika normatif menagandung dua bagian besar, yaitu: pertama
membahas tentang teori nilai (theory of value) dan teori keharusan
(theory of obligation). Kedua, membahas tentang etika teologis dan
etika deontelogis. Teori nilai mempersoalkan tentang sifat kebaikan,
sedangkan teorin keharusan membahas tingkah laaku. Sedangkan
etika teolog berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan
oleh konsekuensinya. Adapun deontologis berpendapat bahwa
moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi
dorongan dari tindakan itu, atau ditetukan oleh sifat-sifat hakikinya
atau oleh keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan
prinsip-prinsip tertentu. (Muhammad In’am Esha, 2010)

Ciri khas etika filsafat itu dengan jelas tampak juga pada perbuatan
baik-buruk, benar-salah, tetepi diantara cabang-cabang ilmu filsafat
mempunyai suatu kedudukan tersendiri. Ada banyak cabang filsafat,
seperti filsafat alam, filsafat sejarah, filsafat kesenian, filsafat hukum,
dan filsafat agama. Sepintas lalu rupanya etika filsafat juga
menyelidiki suatu bidang tertentu, sama halnya seperti cabang-cabang
filsafat yang disebut tadi. Semua cabang filsafat berbicara tentang
yang ada, sedangkan etika filsafat membahas yang harus dilakukan.
Karena itu etika filsafat tidak jarang juga disebut praktis karena
cabang ini langsung berhubungan dengan perilaku manusia, dengan
yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.

Perlu diakui bahwa etika sebagai cabang filsafat, mempunyai


batasan-batasan juga. Contoh, mahasiswa yang memperoleh nilai
gemilang untuk ujian mata kuliah etika, belum tentu dalam
perilakunya akan menempuh tindakan-tindakan yang paling baik
menurut etika, malah bisa terjadi nilai yang bagus itu hanya sekedar
hasil nyontek, jadi hasil sebuah perbuatan yang tidak baik (M. Yatim
Abdullah: 2006).

3.2.4 Hakikat Etika Filsafat

Etika filsafat sebagai  cabang ilmu, melanjutkan kecenderungan


seseorang dalam hidup sehari-hari. Etika filsafat merefleksikan unsur-
unsur tingkah laku dalam pendapat-pendapat secara sepontan.
Kebutuhan refleksi itu dapat dirasakan antara lain karena pendapat
etik tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.

Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis


dan sistematis tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma
susila atau dari sudut baik atau buruk. Dari sudut pandang normatif,
etika filsafat merupakan wacana yang khas bagi perilaku kehidupan
manusia, dibandingkan dengan ilmu lain yang juga membahas tingkah
laku manusia.

Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah
dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam
konteks filsafat yunani kuno etika filsfat sudah terbentuk terbentuk
dengan kematangan yang mengagumkan. Etika filsafat merupakan
ilmu, tetapi sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu emperis,
artinya ilmu yang didasarkan pada fakta dan dalam pembicaraannya
tidak pernah meniggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat emperis, karena
seluruhna berlangsung dalam rangka emperis (pengalaman inderawi)
yaitu apa yang dapat dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu
emperis berasal dari observasi terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil
merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum
itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan
dengan ilmu-ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi gejala-gejala
konkret. Tentu saja, filsafat berbicara juga tentang yang konkret,
kadang-kadang malah tentang hal-hal yang amat konkret, tetapi ia
tidak berhenti di situ.

Pada awal sejarah timbulnya ilmu etika, terdapat pandangan


bahwa pengetahuan bener tentang bidang etika secara otomatis akan
disusun oleh perilaku yang benar juga. Itulah ajaran terkenal dari
sokrates yang disebut Intelektualisme Etis. Menurut sokrates orang
yang mempunyai pengetahuan tentang baik pasti akan melakukan
kebaikan juga. Orang yang berbuat jahat, dilakukan karena tidak ada
pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika. Makanya ia berbuat
jahat.

Kalau dikemukakan secara radikal begini, ajaran itu sulit untuk


dipertahankan. Bila orang mempunyai pengetahuan mendalam
mengenai ilmu etika, belum terjamin perilakunya baik. Disini berbeda
dari pengalaman ilmu pasti. Orang-orang yang hampir yang tidak
mendapat pendidikan di sekolah, tetapi selalu hidup dengan perilaku
baik dengan sangat mengagumkan. Namun demikian, ada
kebenarannya juga dalam pendapat sokrates tadi, pengethuan tentang
etika merupakan suatu unsur penting, supaya orang dapat mencapai
kematangan perilaku yang baik. Untuk memperoleh etika baik, studi
tentang etika dapat memberikan suatu kontribusi yang berarti
sekalipun studi itu sendiri belum cukup untuk menjamin etika baik
dapat terlaksana secara tepat.

Etika filsafat  juga bukan filsafat praktis dalam arti ia menyajikan


resep-resep yang siap pakai. Buku etika tidak berupa buku petunjuk
yang dapat dikonsultasikan untuk mengatasi kesulitan etika buruk
yang sedang dihadapi. Etika filsafat merupakan suatu refleksi tentang
teman-teman yang menyangkut perilaku. Dalam etika filsafat
diharapkan semuah orang dapat menganalisis tema-tema pokok seperti
hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma, hak, kewajiban,
dan keutamaan.
Di kalangan orang-orang kebanyakan, sering kali etika filsafat
tidak mempunyai nama harum. Tidak jarang ia dituduh mengawang-
awang saja, karena membahas hal-hal yang abstrak dan kurang
releven  untuk hidup sehari-hari. Banyak uraian etika filsafat dianggap
tidak jauh dari kenyataan sesungguhnya. Itulah hakikat filsafat
mengenai etika. Disini tidak perlu diselidiki sampai dimana prasangka
itu mengandung kebenaran. Tetapi setidak-tidaknya  tentang etika
sebagai cabang filsafat  dengan mudah dapat disebut dan disetujui
relevansinya bagi banyak persoalan yang dihadapi umat manusia.

Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis.


Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai,
norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut
pertanggungjawaban dan mau menyingkatkan kerancuan (kekacauan).
Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral yang dikemukakan
dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan
permasalahan moral, sedangkan kata moral selalu mengacu pada baik-
buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang
kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.
Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul
salahnya sikap dan tindakkan manusia dilihat dari segi baik buruknya
sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.

3.2.5 Perbedaan etika, moral, norma, dan kesusilaan

1.Etika
Etika secar etimologi berasal dari kata Yunani ethos yang berarti
watak kesusilaan atau adat. Secara terminology etika adalah cabang
filsafat yang membicararkan tingkah laku atau perbuatan manusia
dalam hubungannya dengan baik buruk. Yanng dapat dinilai baik
buruknya adalah sikap manusia yang menyangkut perbuatan, tingkah
laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Adapun motif,
watak , suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang
dikerjakan dengan kesadaran sajalah yang dapat nilai, sedangkan yang
dikerjakan dengan tidak sadar tidak dapat dinilai baik buruk.
Menurut Sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan
etika normatife. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan,
menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak
mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika.
Adapun etika normatif sudah memberikan penialaian yang baik dan
yang buruk, yang harus dikrjakan dan yang tidak harus dikerjakan.
Etika Normatif dapat dibagi menjadi dua yaitu etika umum dan etika
khusus. Etika Umum membicrakan  prinsip-prinsip umum, seperti
apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya.
Etika Khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika
pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya. (sunoto,  1982,
hllm. 6) 
2.Moral
Moral berasal dari kata latin mos jamaknya  mores  yyang berarti
adat atau cara hidup. Etika dan Moral sama artinya, tetapi dalam
penilain sehari-hari ada sedikti perbedaan. Moral dan atau Moralitas
dipakai untuk perbuatan yang sednag dinilai. Adapun etika dipakai
untuk pengkajian system yang ada.

Frans Magnis Suseno (1987) membedakan antara moral dan etika.


Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peratran lisan atau
tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan dan bertindak
agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral
adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti
orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan
para bijak.  Etika bukan tambahan bagi ajaran Moral, tetapi filsafat
atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan
moral. Etika adalah sebuah ilmu dab bukan sebuah ajaran. Jadi, Etika
dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan
bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral.
Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita
mengambil sikap yang bertanggung jawab terhadap dengan pelbagai
ajaran moral. (Frans Magnis Suseno, 1987, hlm. 14) 

3. Norma
Norma adalah alat tukang kayu atau tukang batu yang berupa
segitiga . Kemudian Norma adalah sebuah Ukuran. Pada
perkembangannya norma diartikan  garis pengarah atau suatu
peraturan. Misalnya dalam suatu masyarakat pasti berlaku norma
umum, yaitu norma sopana-santun, norma hokum,dan norma moral. 
4. Kesusilaan
Menurut filsuf Herbert Spencer, pengertian kesusilaan dapat
berubah, di antar bangsa berbagai pengertian kesusilaan sama sekali
berbeda-beda. Pada zaman Negara militer, kebajikan keprajuritan
yang dihormati, sedang pada zaman Negara industri hal itu dihanggap
hina. Hal ini disebabkan kemakmuran yang dialami pada jaman
industri bukan didasarkan atas perampasan dan penaklukan,
melainkan atas kekuatan berprodoksi. Libniz seorang filsuf pada
jaman modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu
“menjadi” yang terjadi didalam jiwa. Perkembangan dari nafsu
alamiah yang gelap sampai kepadakehendak yang sadar, yang berarti
sampai kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh lengkap, disebabkan
aktivitas jiwa sendirian. Segala perbuatan kehendak telah terkandung
sebagai benih didalam nafsu alamiah yang gelap.

Oleh karena itu, tugas kesusilaan yang pertama adalah


meningkatkan perkembanagn itu dalam diri manusia itu sendiri.
Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin kita. Akibat pandangan itu
orang hanya dapat berbicara tentang kehendak yang baik dan jahat.
Kehandak baik ialah jika perbuatan kehendak  mewujudkan suatu
bagian dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan yang jelas dan
actual. Kehendak jahat jika perbuatan kehendak diikat oleh gagasan
yang tidak jelas.
3.2.6 Aliran atau Paham dalam Etika

Pada hakikatnya etika erat kaitannya dengan perbuatan manusia.


Apabila dikaji secara mendalam tujuan perbuatan manusia adalah
kebahagiaan.pembahasan etika memang sangat erat kaitannya dengan
perbuatan manusia baik secara aktif maupun pasif. Dari itu munculah
beberapa paham/aliran yang kajiannya menitik beratkan pada
perbuatan manusia untuk mencapai kebahagiaan. Paham-paham dalam
etika yaitu : naturalisme, hedonisme, idealisme, humanisme,
perfectionalisme, dan theologis (relegius). 

1.Naturalisme 
Aliran ini menganggap bahwa kebahagiaan manusia didapatkan
dengan menurut panggilan natur (fitrah) dari kejadian manusia itu
sendiri. Perbuatan yang baik (susila) menurut aliran ini ialah
perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan natur manusia. Baik
mengenai fitrah lahir maupun mengenai fitrah batin. Kalau lebih
memberatkan pada fitrah lahirnya dinamakan aliran etika maerialisme.
Tetapi pada aliran mnaturalisme ini faktor lahir batin itu sema
beratnya sebab kedua-duanya adalah fitrah (natur) manusia.

2.Hendonisme
Hedonisme adalah doktrin etis yang memandang kesengangan
sebagai kebaikan yang paling utama dan kewajiban seseorang ialah
mencari mencari kesenangan sebagai tujuan hidupnya. Menurut
hendonisme yang dipandang sebagai perbuatan baik adalah perbuatan-
perbuatan yang mendatangkan kelezatan atau rasa nikmat. Aliran
hedonisme memiliki dua cabang yaitu hedonisme egoistik dan
hedonisme universilatik.

•Hedonisme egoistik menilai suatu yang baik adalah perbuatan yang


bertujuan untuk mendatangkan kelezatan atau kesenangan diri terbesar
terhadap diri sendiri secara individual.

•Hedonisme universalistik menilai suatu yang baik adalah hal-hal


yang bertujuan untuk mewujudkan kezetan atau kesenangan umum
terbesar.

3.Idealisme
Pokok-pokok pandangan idealisme adalah:

1.Wujud yang paling kenyataan (hakikat) ialah kerohanian. Seseorang


yang baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan orang lain
melainkan atas dasar kemauan sendiri atau rasa kewajiban. Sekalipun
diancam dan dicela orang lain, perbuatan baik dilakukan juga, karena
adanya rasa kewajiban yang berseri dalam nurani manusia.

2.Faktor yang paling penting mempengaruhi manusia adalah


“kemauan” yang melahirkan tindakan yang kongkret. Dan yang
menjadi pokok disini adalah “kemauan baik”.
3.Dari kemauan yang baik itulah dihubungkan dengan suatu hal yang
menyempurnakan yaitu “rasa kewajiban”

4.Humanisme
Humanisme memandang suatu yang baik ialah yang sesuai dengan
kodrat manusia yaitu kemanusiannya.dalam tindakan kongkret
tentulah manusia kongkret pula yang ikur menjadi ukuran, sehingga
pikiran, rasa, situasi seluruhnya akan ikut menentukan baik buruknya
tindakan kongkret itu. Penentuan dari baik buruk tindakan yang
kongkret adalah kata hati orang yang bertindak.

5.Perfectioisme 
Dari tokoh filsuf Yunani (Plato dan Aristoteles) bersepakat dalam satu
aliran, yakni perfectionisme. Teori perfectionisme dari Plato dan
Aristoteles menetapkan dalam kaitan dengan pengembangan
berbeagai kemampuan manusia. Kebahagian hanya bernilai jika
kemampuan-kemampuan kita berfungsi dengan baik. Sumber
kebahagian tertinggi terdapat pada fungsi sebenarnya dari kemampuan
intelektual.

6.Theologis
Menurut Dr. H. Hamzah Ya’Qub, pengertian Etika theologis ialah
aliran ini berpendapat bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruknya
perbuatan manusia, didasarkan atas ajaran Tuhan, segala perbuatan
yang diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang
dilarang oleh Tuhan itulah perbuatan buruk, yang sudah dijelaskan
dalam kitab suci.
Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis.
Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan
setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masing. Kedua,
etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu
banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara
umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.

Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang


bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut
menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis. Di
dalam etika Kristen, misalnya, etika teologis adalah etika yang bertitik
tolak dari presuposisi-presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta
memandang kesusilaan bersumber dari dalam kepercayaan terhadap
Allah atau Yang Ilahi. Karena itu, etika teologis disebut juga
oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris. Etika
teologisKristen memiliki objek yang sama dengan etika secara umum,
yaitu tingkah laku manusia. Akan tetapi, tujuan yang hendak
dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya
dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan
kehendak Allah swt.

Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik


berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang
dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain
dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.
Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis
Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis
di dalam ranah etika. Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika
ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai
pertanyaan di atas, yaitu:

 Revisionisme

Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan


bahwa etika teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan
memperbaiki etika filosofis.

 Sintesis

Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang


menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa,
hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas
masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika
filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika
teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.

 Diaparalelisme

Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang


menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala
yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel
kereta api yang sejajar.

Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan.


Mengenai pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa
etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika
teologis. Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang
dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika filosofis yang
setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah
diperkuat. Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan
kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun
belum ada pertemuan di antara mereka.

Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang


dialogis antara keduanya. Dengan hubungan dialogis ini maka relasi
keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua
horizon yang paralel saja. Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang
dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu
membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.

3.2.7 Etika Alamiah

Menunjukkan fakta tentang sesuatu dan mengevaluasinya telah


dikenal secara luas sebagai dua hal berbeda yang saling berhadapan.
Telah terbukti bahwa agar seseorang dapat melakukan sutau pekerjaan
yang berikutnya (katakanlah tahap kedua:penulis) dengan baik, maka
seseorang itu harus terlebih dahulu mengerjakan pekerjaan yang
mendahuluinya (katakanlah pekerjaan tahap pertama: penulis). Jika
seseorang melakukan evaluasi tidak berdasarkan pengetahuan yang
kokoh tentang fakta-fakta yang ada, maka ia akan melakukannya
dengan tidak benar atau salah. Seseorang harus megetahui seluruh
fakta yang relevan sebelum ia melakukan penilaian moral (yang
berkenaan dengan fakta-fakta itu: penulis). Dari sini tampak jelas
bahwa membangun serta menunjukkan fakta-fakta dan membuat
penilaian moral terhadap fakta-fakta itu merupakan dua pekerjaan
yang berbeda sama sekali. Menurut kaharu dan b. Uno (2009:213)
bahwa “etika memang tidak termasuk dalam kawasan ilmudan
teknologi yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia
berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.

3.2.8 Etika Objektif

Pengertian kata atau istilah objektif, sebagaimana istilah


subjektif itu samar dan jauh dari kejelasan. Istilah etika objektif,
namun demikian kita gunakan dengan maksud untuk menunjuk setiap
kalimat etika yang dikemukakan secara bebas tidak dimuati suatu
kepentingan apapun dari orang yang mengemukakannya.
Objektifisme-subjektifisme. Kedua istilah tersebut telah
diperguanakan secara samar-samar, membingunkan, dan dalam
pengertian yang jauh berbeda dari apa yang kita pikirkan.Kita
mengemukakan penggunaan yang pas, dikarenakan menurut suatu
teori yang disebut subjektifis jika dan hanya jika, beberapa pernyataan
etik menyatakan atau menunjukkan bahwa seseorang dalam suatu
kondisi tertentu hendak bersikap khusus yang tertentu terhadap
sesuatu itu. Sebuah teori dapat dikatakan sebagai objektifis jika tidak
mengikutsertakan hal ini.

3.2.9 Etika Universal


konsep-konsep moral yang bersifat universal itu menunjukkan
adanya etika yang juga bersifat universal. Hal ini dimungkinkan oleh
karena manusia merupakan homo ethicus dalam arti makhluk yang
cenderung bertatakrama.

3.2.10 Etika Sosiokultural

Konstruksi realitas sosial tertentu dan makna yang


direpresentasikan dengannya akan sangat bergantung pada konteks
kultural, tata makna kultural, dan sistem nilai kultural dasar dari
entitas budaya mana pengkonstruksi berasal. Muatan etika yang
melekat di dalam konstruksi tersebut oleh karenanya juga akan sangat
bergantung pada sistem budaya pengkonstruksinya. Standard
kepatutan di dalam setiap transaksi komunikatif, oleh karenanya akan
berragam menurut ragam budaya yang melatarbelakangi komunikator
yang terlibat, termasuk pengkonstruksi realitas sosial politik melalui
wacana tertulis di dalam opini media massa cetak.

3.2.11  Etika Ilmiah atau Etika Kritis

Kritikisme etik dan etika kritkisme merupakan subjek perhatian


yang sangat penting di dalam kajian kritis terhadap setiap fenomena
komunikatif. Kritikisme etika dalam konteks ini ditujukan pada segi-
segi moral dari segala sesuatu yang terjadi dan terdapat di dalam teks
dan dampak yang mungkin timbul dari teks itu. (Dalam hal
ini:penulis) telah terjadi perdebatan seru tentang bagaimana etika
memproduksi teks dan peranan yang hendaknya dimainkan oleh etika
di dalam kehidupan dunia seni dan media

3.3 Estetika

3.3.1 Pengertian Estetika

Estetika atau yang sering didengar sebuah keindahan mempunyai


banyak makna dan arti, setiap orang mempunyai pengertian yang
berbeda antara satu dan yang lainnya mengenai arti dan makna
estetika. Sebab, setiap orang mempunyai penilaian dan kriteria
keindahan yang berbeda-beda. Berikut pengertian estetika dan
lingkupnya dapat dicermati di bawah ini :

1. Estetika adalah segala sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang


berkaitan dengan kegiatan seni (Kattsoff, Element of
Philosophy, 1953).

2. Estetika merupakan suatu telaah yang berkaitan dengan


penciptaan, apresiasi, dan kritik terhadap karya seni dalam
konteks keterkaitan seni dengan kegiatan manusia dan peranan
seni dalam perubahan dunia (Van Mater Ames, Colliers
Encyclopedia, Vol. 1).

3. Estetika merupakan kajian filsafat keindahan dan juga


keburukan (Jerome Stolnitz, Encylopedia of Philoshopy, Vol.
1).
4. Estetika adalah suati ilmu yang mempelajari segala sesuatu
yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek
yang disebut keindahan (A. A. Djelantik, Estetika Suatu
Pengantar, 1999).

5. Estetika adalah segala hal yang berhubungan dengan sifat dasar


nilai-nilai nonmoral suatu karya seni (William Haverson, dalam
Estetika Terapan, 1989).
6. Estetika merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan
proses penciptaan kaya estetis (Jhon Hosper, dalam Estetika
Terapan, 1989).

7. Estetika adalah fisafat yang membahas esensi dari totalitas


kehidupan estetik dan artisrtik yang sejalan dengnan zaman
(Agus Sachari, Estetika Terapan, 1989).

8. Estetika mempersoalkan hakikat keindahan alam dan karya


seni, sedangkan filsfat seni mempersoalkan hanya karya seni
atau benda seni, atau artifak yang disebut seni (Jakob Sumarjo,
Filsafat Seni, 2000).

sejarah perkembangan estetika didasarkan pada sejarah perkembangan


estetika di Barat yang dimulai dari filsafat Yunani Kuno. Hal ini
dikarenakan estetika telah dibahas secara terperinci berabad-abad
lamanya dan dikembangkan dalam lingkungan Filsafat Barat. Hal ini
bukan berarti di Timur tidak ada pemikiran estetika.

      Secara garis besarnya, tingkatan/tahapan periodisasi estetika


disusun dalam delapan periode, yaitu:

1.Periode  Klasik (dogmatik)

2.Periode Skolastik

3.Periode Renaisance

4.Periode Aufklarung

5.Periode Idealis

6.Periode Romantik

7.Periode Positifistik

8.Periode Kontemporer

A. Periode Klasik (Dogmatik)

Dalam periode ini para folosof yang membahas estetika diantaranya


adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Dari ketiga filosof ini dapat
dikatakan bahwa Socrates sebagai perintis, Plato yang meletakkan
dasar-dasar estetika dan Aristoteles yang meneruskan ajaran-ajaran
Plato.

Dalam periode ini ada beberapa ciri mengenai pandangan estetikanya,


yaitu

1. Bersifat metafisik
Keindahan adalah ide, identik dengan ide kebenaran dan ide kebaikan.
Keindahan itu mempunyai tingkatan kualitas, dan yang tertinggi
adalah keindahan Tuhan.

2. Bersifat objektifistik

Setiap benda yang memiliki keindahan sesungguhnya berad dalam


keindahan Tuhan. Alam menjadi indah karena mengambil peranannya
atau berpartisipasi dalam keindahan Tuhan.

3. Bersifat fungsional

Pandangan tentang seni dan keindahan haruslah berkaitan dengan


kesusilaan (moral), kesenangan, kebenaran dan keadilan.

        Socrates: 468-399SM

          Socrates sebagai seorang perintis yang meletakkan batu pertama


bagi fundamen estetika, sebelum ilmu itu diberi nama. Dia adalah
anak dari seorang pemahat yang bernama Sophromiscos dan ibunya
bernama Phainarete adalah seorang bidan

          Jalan pikiran yang dipergunakan Socrates dalam mencari


hakekat keindahan ialah dengan menggunakan cara dialog. Socrates
menamakan metodenya ”maeutika tehnic (seni kebidanan)” yang
berusaha menolong  mengeluarkan pengertian-pemgertian atau
kebenaran. Socrates mencoba mencari pengertian umum dengan jalan
dioalog.
          Dalam dialog-dialognya Socrates membuka persoalan dengan
mempertanyakan sesuatu itu disebut indah dan sesuatu itu disebut
buruk. Apakah sesuatu yang disebut indah itu memiliki keindahan?
Lantas apakah keindahan itu? Disini Socrates mencoba merumuskan
arti keindahan dari jawaban-jawaban lawan dialognya.

          Menurut Socrates, keindahan yang sejati itu ada di dalam jiwa


(roch). Raga  hanya merupakan pembungkus keindahan. Keindahan
bukan merupakan sifat tertentu dari suatu benda, tetapi sesuatu yang
ada dibalik bendanya itu yang bersifat kejiwaan.

Plato: 427-347SM.

        Menurut Plato keindahan itu bertingkat., untuk mencapai


keindahan yang tertinggi (keindahan yang absolut) melalui fase-fase
tertentu (Wajiz Anwar, 1980).

        Fase pertama, orang akan tertarik pada suatu benda/tubuh yang


indah. Disini manusia akan sadar bahwa kesenangan pada bentuk
keindahan keragaan (indrawi) tidak dapat memberikan kepuasan pada
jiwa kita. Setelah  kita sadar bahwa keindahan dalam benda/tubuh itu
hanya pembungkus yang bersifat lahiriah, maka kita tidak lagi
terpengaruh oleh hal-hal yang lahiriah.            Manusia akan
meningkatkan perhatiannya pada tingkah laku hal yang dicintai, yaitu
pada norma-norma kesusilaan (noma moral) secara konkrit. Hal ini
terlihat dalam tingkah laku dari orang/hal-hal yang kita cintai.
        Dalam fase kedua, maka kecintaan terhadap norma moral secara
konkrit  ini berkembang menjadi kecintaan akan norma moral secara
absolut yang berupa ajaran-ajaran tentang kesusilaan/bagaimana
seharusnya manusia bertingkah laku yang baik.

        Dalam fase ketiga, orang akan mengetahui jurang yang


memisahkan antara moral dan pengetahuan, dan orang akan berusaha
untuk mencari keindahan dalam berbagai pengetahuan. Orang Yunani
dulu berbicara tentang buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan
yang indah. Kalaui manusia sudah sampai pada fase yang ketiga ini
maka akan mengantarkan manusia pada fase  yang keempat yaitu
keindahan yang mutlak/absulut.

        Disinilah orang berhasil melihat keindahan mutlak, yang


sesungguhnya indah, keindahan universal dan maha tingggi. Dan
disinilah  segala sesuatu berasal dan kesitu pula segala sesuatu harus
kembali.

Seni

        Seni yang baik menurut Plato adalah seni musik.  Musik


mempunyai peranan yang penting dalam negara yaitu dapat
mempengaruhi dalam bidang moral dan politik. Di bidang moral,
musik dapat memperhalus perasaan manusia (musik yang sentimentil)
dan dapat juga sebaliknya.

        Dibidang politik, musik dapat mengubah jiwa patriotik dan


kecintaan terhadap tanah air. Selain seni musik, maka retorik atau seni
berpidato merupakan seni utilitary (seni dimana segi kegunaanya
diutamakan, bukan keindahan, kebenaran atau kebijaksanaanya) maka
seni ini lebih berguna bagi kaum politisi, yang bertujuan untuk
menggalakkan orang lain dalam mengikuti tujuan akhirnya. ”Selalu
pergunakanlah retorik dengan keadilan” adalah suatu anjuran yang
akhirnya  Plato mengakui  untuk eksistensinya, yakni untuk
kemungkunan-kemungkinan didaktif. Problem hubungan antara seni
dan pendidikan telah diungkapkan dalam bukunya Republik, tetapi
ketika timbul lagi dalam Laws, tidak ada lagi sugesti untuk
mengutuknya. Malah sebaliknya disini Plato secara tegas menguatkan
keterangan hubungan satu sama lainnya. Musik, tarian dan nyanyan
koor sangat terpuji karena nilai pendidikannya, dan tanpa banyak
kesusahan lagi seni kini menjadi guru utama kehidupan. Pembalikan
yang sangat tajam konsep Plato ini disebabkan adanya hubungan
harmonis antara seni dan kehidupan, sebagai akibatnya dia
membukakan pintu perhatian adanya kemampuan mendidik pada
retorik dan adanya sintesis dalam instruksi dan kesenangan, yang
kemudian mewataki teori paedagogik seni. Konsekueninya tentang
konsepsi seni sebagai gabungan antara yang baik, benar dan yang
indah  (Abdul Kadir, 1974:10).

Seniman

        Di dalam bukunya ”Republik”, Plato mempunyai pendapat yang


tidak begitu ramah terhadap seniman. Negarawan mendapat tempat
(penghargaan) yang lebih tinggi diantara manusia-manusia pencipta
atau seniman, karena mereka menimbang masyarakat berdasar ide
kebaikan, keadilan, kebenaran, dan keindahan. Seniman hanyalah
meniru ide keindahan yang ada di dunia ini yang merupakan
penjelmaan dari keindahan absolut/illahi yang ada di dunia idea.
Seniman yang sejati adalah Demiurgus (Tuhan) yang menciptakan
alam semesta sebagai imitasi dari idea bentuk yang abadi. Diantara
seniman-seniman yang ada, Plato mempunyai pandangan positif
terhadap sastrawan dan penyair.

Sastrawan

        Tulisan-tulisan Plato termasuk sastra Yunani Klasik yang ditulis


dengan gaya bahasa yang indah sekali. Dalam dialog yang berjudul
”Symposium” ia berpendapat bahwa suatu uraian lisan yang memakai
gaya bahasa yang indah disebabkan oleh karena pengaruh seorang
dewa,si pembicara itu sedang kemasukan roch seorang dewa.Disini
Plato secara implisit menyinggung teori ”partisipasi”,seorang
sastrawan dapat menulis dan berdendang dengan indah sekali karena
ia ”ämbil bagian”dalam pandangan dan alam para dewa,ia seolah-olah
diangkat diluar dirinya sendiri(ekstasis),diatas awan,dialam idea-
idea ,melihat keadaan yang sebenarnya (Dick Hartoko,1983:31-32).

Penyair

        Syair-syair yang indah itu bukan karya manusia, tetapi adalah


syair surgawi dan ciptaan Tuhan.Parapenyair tersebut hanyalah
merupakan penafsir Tuhan.Lewat teori ”partisipasi”maka seorang
penyair yang rendah martabatnya dapat membawakan nyanyian-
nyanyian yang terindah.Para penyair memiliki ”kekuatan
misterius”yang bersifat Illahiah.Seniman tidak lagi mengimitasi ,tetapi
sebaliknya ia memperoleh inspirasi yang karenanya merupakan bagian
dari Illahi(Abdul Kadir,1976:7).

Aristoteles: 384-322 SM.

        Keindahan dianggap sebagai suatu kekuatan yang memiliki


berbagai unsur yang membuat sesuatu hal yang indah.       Dalam
bukunya Poetics, Aristoteles mengatakan  ”untuk menjadi indah, suatu
makhluk hidup dan setiap kebulatan yang terdiri atas bagian-bagian
harus tidak hanya menyajikan suatu ketertiban tertentu dalam
pengaturannya dari bagian-bagian, melainkan juga merupakan suatu
besaran tertentu yang pasti. Menurut Aristoteles unsur-unsur
keindahan dalam alam maupun pada karya manusia adalah suatu
ketertiban dan suatu besaran/ukuran tertentu (The Liang Gie,
1996:41).

Seni

        Menurut Aristoteles, seni adalah kemampuan menciptakan


sesuatu hal atas pikiran akal. Seni adalah tiruan (imitasi) dari alam,
tetapi imitasi yang membawa kepada kebaikan. Walaupun seni itu
tiruan dari alam seperti apa adanya, tetapi merupakan hasil kreasi
(akal) manusia. Seni harus dapat menciptakan bentuk keindahan yang
sempurna, yang dapat mengantarkan manusia menuju keindahan pada
keindahan yang mutlak.

B.  Periode Skolastik

Dalam sejarah Filsafat Barat abad pertengahan adalah masa timbulnya


filsafat baru. Hal ini dikarenakan kefilsafatan itu dilakukan oleh
bangsa Eropa Barat dengan para filosofnya yang umumnya pemimpin
gereja atau penganut Kristiani yang taat. Filsafat abad pertengahan ini
dikenal dengan sebutan Filsafat Skolastik.

Dalam abad pertengahan ini masalah theologia mendapat perhatian


utama dari para filosof.

Masalah estetika dikemukakan oleh Thomas Aquinas: 1225-


1274.  Filsuf ini adalah pengagum Aristoteles. Menurut Thomas
Aquinas keindahan itu terdapat dalam 3 kondisi, yaitu :

1.      Integrity or perfection  (keutuhan atau kesempurnaan)

2.      Proportion or harmony  (perimbangan atau keserasian)

3.      Brightness or clarity  (kecermelangan atau kejelasan)

Munurut Thomas Aquinas, hal-hal yang cacat (tidak utuh, tidak


sempurna) adalah jelek, sedangkan hal-hal yang berwarna cemerlang
atau terang adalah indah. Tiga unsur keindahan itu oleh para ahli
modern disebut kesatuan, perimbangan dan kejelasan.
C.   Periode Renaissance

Kata Renaissance berarti kelahiran kembali, yaitu membagun kembali


semangat kehidupan klasik Yunani dan Romawi dalam bidang ilmu
pengetahuan dan seni. Gerakan pembaharuan ini dilakukan terutama
oleh para humauis Italia yang dimulai kurang lebih abad ke XIV.
Gerakan ini hampir disegala bidang ilmu pengetahuan, kesenian dan
filsafat. Tetapi yang paling semarak gerakan ini adalah pada bidang
seni.

Pada periode ini masalah seni menjadi titik perhatian. Uraian


mengenaai estetika secara luas ditulis oleh Massilimo Visimo,
sedangkan penulis-penulis lainnya banyak mengulas teori-teori seni.
Leon Batista dan Albert Durer dalam bidang seni rupa,Giosefe Zarlino
dan Wincenzo Galilei dalam bidang musik,serta Lodovia Castelvetro
dalam bidang puisi.

D.   Periode Aufklarung

Pencerahan merupakan gerakan lanjutan dari Renaissance. Dalam


periode ini masih terlihat pengaruh rationalisme Descartes dan
Empirisme Bacon dalam pembahasan Estetika.

Baumgarten (Alexander Gotlieb Baumgarten), dia seorang filsuf


Jerman yang hidup tahun 1714-1762. dialah orang pertama yang
memperkenalkan istilah ”estetika” sebagai ilmu tentang seni dan
keindahan.
Baumgarten membedakan pengetahuan itu menjadi 2 macam:

1. Pengetahuan intelektual (intellectual knowledge)

2. Pengetahuan indrawi (sension knowledge)

     (The liang Gie, 1980)

   

Pengetahuan intelektual itu disebut juga pengetahuan tegas, sedangkan


pengetahuan indrawi dianggap sebagai pengetahuan kabur. Estetika
adalah ilmu tentang pengetahuan indrawi yang tujuannya adalah
keindahan. Tujuan daripada keindahan adalah untuk menyenangkan
dan menimbulkan keinginan. Manifestasi keindahan tertinggi
tercermin pada alam, maka tujuan utama dari seni adalah mencontoh
alam.

Pengaruh Empirisme Bacon nampak dalam hal imajinasi rasa estetis


atau cita rasa. Hal ini terlihat dalam pendapat Edmund Burke dan Lord
Kaimes. Menurut Edmud Burke (1729-1798) masalah selera itu tidak
dapat dijadikan hakim dalam keindahan (Wajiz Anwar,
1980). Sedangkan Lord Kaimes dalam karyanya Elements of
Criticism yang terbit pada tahun 1961 sependapat dengan Burke.
Keindahan adalah sesuatu yang dapat menyenangkan selera. Dia
mengemukakan suatu titik tolak baru, bahwa pengalaman mengenai
suatu emosi walaupun sangat pedih  seperti emosi takut atau
kesengsaraan adalah menyenangkan. Emosi yang menyedihkan adalah
menyenangkan bila direnungkan. Perang, bencana alam
adalah  menyedihkan, tetapi menyenangkan bila kita melihatnya
dipanggung sandiwara atau dalam seni film. Kejadian yang paling
dahsyat dan mengerikan justru paling mengesankan dan
menggembirakan bila diingat. Keindahahan ialah menyenangkan.
Oleh karena itu keindahan ditentukan oleh selera semata-mata.

E.   Periode Idealis

Sejalan dengan perkembangan filsafat, idealisme  mempengaruhi


pendangan estetika di Jerman. Immanuel Kant merupakan filsuf
pertama yang mengemukakan teori estetika dari pandangan objektif.
Maka penyelidikan estetika berubah, dari penelaahan ontologis beralih
ke bidang ilmu jiwa, yang sebelumnya telah dirintis oleh rationalime
dan empirisme.

Filsuf-filsuf yang termasuk dalam peroide ini diantraanya adalah:


Immanuel kant, Schiler, Scheling dan Hegel.

1.  Immanuel Kant:1724-1804

Estetika Kant berdasarkan pada ajaran bahwa manusia itu mempunyai


pengetahuan tentang ”nature di luar dirinya” dan ”dirinya di dalam
nature” (Abdul Kadir, 1975).

Pada ”nature di luar dirinya”, manusia mencari kebenaran dan pada


“dirinya di dalam nature”, manusia mencari kebaikan yang pertama.
Kebaikan yang pertama ini  merupakan “pure reason” dan kebaikan
yang kedua merupakan “practical reason” (free will). Disamping itu,
masih ada lagi yaitu kemampuan untuk memberi keputusan
(judgement) ialah yang membentuk putusan tanpa pamrih dan
menghasilkan kenikmatan tanpa keinginan. Keindahan dalam seni
mempunyai hubungan erat dengan kemampuan manusia dalam
menilai karya seni yang bersangkutan. Kemampuan ini disebutnya
dengan istilah “cita rasa” (taste).

Immanuel Kant membedakan adanya dua macam keindahan, yaitu


keindahan bebas (pulchritudevoga) dan keindahan bersyarat yang
semata-mata tergantung (pulchritudo adhaerens). (Abdul Kadir,
1974:37). Keindahan bebas tidak mempunyai konsep preposisi tentang
bagaimana seharusnya benda itu. Contoh bunga sebagai keindahan
natural ada perbedaan dalam penilaian tentang selera terhadap bunga
itu, bagi botani dan yang bukan botani. Disamping bunga, ia juga
menunjukkan barang-barang sebagai contoh (burung betet, burung
cendrawasih, humming bird) dan keong-keong laut.

Keindahan yang semata-mata tergantung (pulchritudo adhaerens)


membutuhkan konsep demikian serta penyempurnaan benda itu sesuai
dengan konsepnya (keindahan bersyarat), yang tergantung pada
konsep-konsep yang berasal juga dari sebuah konsep yang mempunyai
tujuan tertentu.

Dari keindahan natural ia melangkah ke keindahan artistik dengan


memberikan contoh hiasan-hiasan tepi atau kertas hiasan dinding dan
fantasi-fantasi musik (Abdul Kadir, 197:38).

Hubungan antara keindahan natural dan keindahan artistik ternyata


mengalami kontradiksi-kontradiksi. Immanuel Kant memandang artis
(seniman) sebagai seorang yang dilengkapi dengan imajinasi yang
juga merupakan pusat produksi ilmu pengetahuan, seperti halnya
“talent” (bakat natural) yang mempengaruhi (memperkarsai hukum-
hukum seni. Karena talent  yang merupakan pusat produksi seorang
artis yang dibawanya sejak lahir itu sendiri sebagai bagian dari nature.
Menurut Immanuel Kant genius adalah talent, genius adalah disposisi
mental yang memang ada sejak lahir (ingenium) dan melaluinyalah
alam (nature) memberikan hukum-hukum seni. Bagi Immanuel Kant,
genius seorang artis tidak dapat sejajar dengan selera murni dan
karenanya merupakan preposisi sebuah konsep yang pasti tentang
karyanya sejauh karya itu mempunyai tujuan (Abdul Kadir, 1974:40).

Berdasarkan teorinya tentang keindahan bebas, Immanuel Kant dapat


dianggap sebagai perintis seniman anti-konsep yang sekarang
termasuk aliran abstrak. Immanuel Kant berusaha unutk
mengkoeksistensikan antara keindahan natural dengan keindahan
bersyarat dan mensejajarkan dari bentuk nyata tentang keindahan dan
seni, ternyata hasilnya sampai pada keraguan yang  gersang.
Immanuel Kant memaksakan pertentangan antra keindahan bersyarat
dengan keindahan bebas. Konsekuensi dualisme ini ialah dalam
menilai keindahan yang murni, maka penilaian terhadap selera juga
murni, sedangkan sebuah penilaian tentang selera yang terkait pada
sebuah obyek ,yang mempunyai tujuan inti tertentu.

Analisa tentang penilaian estetis dibagi menjadi 2, yaitu: analisa


tentang keindahan

analisa tentang kengungan


Pada analisa tentang keindahan, pandangan Immanuel Kant
memaparkannya dalam 4 pertimbangan yaitu: berdasarkan pada segi
kualitas, kuantitas, hubungan dan modalitas.

a. Pertimbangan dari segi kualitas

    Keindahan ialah kesenangan total yang terjadi tanpa konsep.

b. Pertimbangan dari segi kuantitas

Keindahan berwujud tanpa konsep, sebagai objek dari pemuasan


hidup yang mendesak.Keindahan merupakan suatu  kesenangan yang
menyeluruh.

c. Pertimbangan dari segi hubungan

Putusan selera bersandar pada prinsip-prinsip dasar yang bebas dari


daya tarik dan emosi serta bebas dari konsep kesempurnaan.Hal ini
berarti bahwa keindahan ialah konsep tentang adanya tujuan pada
objek, tetapi tujuan itu tidak terwujud dengan tegas.

d. Pertimbangan dari segi modalitas

Putusan selera menurut kesenangan yang timbul dari objek


tertentu.Kesenangan merupakan keharusan subjektip,tetapi berwujud
dalam bentuk objektip ketika dicerap oleh indera manusia.Keindahan
ialah apa yang diakui sebagai objek pemuasan darurat yang tidak
berkonsep (Wadjiz Anwar,1980:23).
Analisanya tentang keagungan terdapat adanya perbedaan antara
keindahan dan keagungan. Keindahan termasuk putusan selera
sedangkan keagungan mempunyai akar di dalam kecerdasan
(geistesgefuehl). Keindahan selamanya bertalian dengan bentuk
(forma), sedangkan keagungan ada kalanya bergantung kepada forma
dan non forma yang menyangkut tidak adanya forma dan cacat.Kant
membedakan antara dua bentuk keagungan,bentuk matematis yang
statis dan bentuk dinamis(Wadjiz Anwar,1980:23).

Pengalaman Estetik.

Bagi Immanuel Kant alam merupakan sumber utama bagi pengalaman


estetik(Dick Hartoko,1983,12-13).Immanuel Kant membedakan
putusan estetik dari putusan cognitif semata-mata disatu pihak dan
putusan moral dilain pihak.Pengalaman estetik itu tidak hanya  ingin
tahu (bersifat cognitif), tetapi mengikut sertakan daya-daya lain dalam
diri kita,seperti misalnya kemauan, daya penilaian emosi,bahkan
seluruh diri kita (Dick Hartoko:1911,8).

Dalam hal mempertahankan pengalaman estetik berbeda dengan


pengalaman moral.Dalam keyakinan moral, kalau kita yakin bahwa
suatu perbuatan jahat,maka kita sanggup mempertaruhkan nyawa kita,
lebih baik mati dari pada berbuat serong.Dalam pengalaman estetik
walaupun menyangkut seluruh diri kita, namun untuk
mempertahankan suatu penilaian estetik kita tidak sanggup
mempertahankan nyawa kita. (Dick Hartoko;1911;8).
2. Hegel ; 1770-1831.

Menurut Hegel, seluruh bidang keindahan merupakan


suatu moment (unsur dialektis) dalam perkembangan roh (Geist,
spirit) menuju kesempurnaan. Hal itu dapat ditemukan dalam
pengalaman manusia. Kedudukannya diambang antara yang jasmani
dan yang rohani (materi menuju roh, roh menjelma dalam materi tepat
pada saat peralihan yang bermuka ganda itu dialami) dan bukan itu
saja, karena sekaligus merupakan moment atau saat kebenaran
(pengertian) dan kebaikan (penghendakan) bersentuhan satu sama lain
(maka tidak wajar masalah ”arti” atau ”nilai etis” dikemukakan dalam
konteks kesenian). Moment itu tidak pernah dialami atau dapat
ditunjukkan dalam bentuk yang ”sempurna”, hanya dalam bentuk
”penyimpangan-penyimpangan yang indah” dari moment
keseimbangan penyentuhan atau peralihan itu. Dengan demikian
muncullah kategori-kategori estetis, seperti ”yang sublim (roh
'menang' atas materi)”, ”yang lucu” atau ”yang humor” (arti 'menang'
atas nilai), ”yang jelita” atau ”gracious” (nilai 'mengalahkan' arti),
tentu saja semua itu dalam batas keindahan itu sendiri, malahan yang
sublim mempunyai unsur tragisnya dan sebaliknya, yang lucu dan
yang jelita, yang pertama dilihat juga sebagai yang mewakili kepriaan,
yang kedua kewanitaan (Mudji sutrisno, 1993:48).

Karya seni merupakan bidang dimana keindahan mempunyai


manifestasi yang khusus. Karya seni menunjukkan kemampuan
manusia menangkap keindahan alam dan merupakan kesaksian
tersempurna mengenai fakta bahwa manusia mengintuisi keindahan,
karena kalau manusia secara khusus mempunyai intuisi yang tidak
mati mengenai keindahan, ia mengungkapkannya dalam karya seni.
Kelebihan seniman bahwa ia mempunyai kemampuan
mengungkapkan, karena ia terlibat lebih banyak dari pada yang kita
lihat (Lorens Bagus, 1991:117).

Bagi Hegel, seniman adalah jenius, selain yang bersangkutan memiliki


bakat alami, maka bakat itu harus direnungi dan dikembangkan lewat
kerja praktek dan penguasaan keterampilan menampilkan sesuatu. Jika
genius harus dapat menampilkan sesuatu yang original, maka artinya
sama saja dengan menampilkan yang obyektif. Agar bisa original dan
obyektif, maka yang bersangkutan harus memiliki kebebasan dalam
mencipta. Kebebasan itu ditunjukkan oleh kamampunanya
mengobyektifikasi imajinasinya lewat medium dan teknik yang serasi,
yang akan membawanya kepada tujuan yang ingin dicapai. Mencipta
karya seni dan menghayatinya dalam medium seperti itu boleh dilihat
sebagai upaya agar tidak terjadi ”pengendapan” perasaan. Yang
inderawi itu harus menjadi wadah obyektifikasi roh. Seni mengacu
kepada perasaan, disamping kepada imajinasi (Humar Sahman,
1993:189-190).

Kebenaran dan keindahan menurut Hegel adalah satu dan dari hal
yang sama. Bedanya hanya terletak pada kebenaran adalah idea itu
sendiri dan adanya ada dan pada idea itu sendiri dan dapat difikirkan.
Manifestasinya keluar, tidak hanya  kebenaaran saja, tetapi juga
keindahan.     

Bagi Hegel keindahan adalah sesuatu yang transedental.Dia


membedakan
F. Periode Romantik

Aliran romantik merupakan reaksi terhadap rasionalisme yang


mendewakan rasio. Kini perasaan menjadi dominan. Kalai
sebelumnya sang seniman tunduk pada kaidah-kaidah yang ketat, kini
sang seniman berdaulat dengan merdeka, asal meluapkan secara
spontan dan otomatis emosi-emosinya.

Aliran inidirintis oleh J.J Rousseau yang hidup pada pertengahan abad
ke-XVIII. Rousseau bertitik tolak pada suatu pandangan dasar, yaitu
bahwa alam murni itu baik dan ndah sehingga segala sesuatu yang
dekat pada alam murni juga baik dan indah (Dick Hartoko, 1984)

Dalam hal seni Roesseau berpendapat bahwa bakat alam hendaknya


dikembangjan secara bebas, jangan sampai datur oleh macam-macam
teori dan guru. Asal, emosi yang spontan diluapkan maka hasilnya
pasti indah.

Pada tingkat awal, gerakan romantik berada pada pemikiran


Schellingdan bentuk-bentuk baru kesusastraan baru di Jerman dan
Inggris pada tahun 1890-1891. Ada 4 hal yang menjadi pusat
perhatian dari penulis-penulis estetika pada periode ini adalah:
ekspresi, imajinasi, organisasi dan simbolisasi.

Salah seorang filsuf besar pada periode ini adalah Arthur


Schopenhauer dan Nietzche. Menurut  Schopenhauer, hakekat yang
terdalam dari kenyataan adalah kehendak (karsa). Dalam diri
manusia,  kehendak yang bersifat itu tidak dapat dipuaskan. Sebagai
akibatnya manusia mengalami kesengsaraan. Untuk mengatasi
keadaan itu, tersedia dua jalan yaitu jalan etis dan estetis. Jalan etis
yaitu dengan berbuat dan bertingkah laku baik sedangkan jalan estetis,
dengan menikmati kesenian khusususnya musik. Tetapi musik hanya
dapat dinikmati dan melupakan kesengsaraan yang sementara.

Jika kehendak itu memilukan atau kehendak untuk hidup itu


menyedihkan, maka seni adalah hiburan yang terbaik dan merupakan
tempat istirahat yang terjamin. Disatu pihaj, seni membangkitkan
kekuatan dan menghilangkan rasa lelah, tetapi dipihak lain ia juga
mendatangkan semangat keindahan yang menghapuskan krisis-krisis
dalam hidup.

G. Periode Positifistik.

Dalam periode ini estetika dipelajari secara empiris dan ilmiah yang
berdasarkan pengalaman-pengalaman riil yang nyata dalam
kehudupan sehari-hari. Estetika dibahas dalam hubungannya dengan
ilmu lain,misalnya psikilogi dan matematika.Para filsuf yang
membahas estetika diantaranya Fehner,George Birkhof, A.Moles dan
Edward Bullough      .   

1. Gustaf T.Fecner (1801-1887 ) 

Dia berpendapat bahwa estetika yang dikembangkan oleh para filsuf


sebelumnya sebagai estetika ''dari atas'' (The Liang Gie,1976).
Fechner berpendapat bahwa sebaiknya estetik itu dihampiri ''dari
bawah'' dengan mempergunakan pengamatan secara empiris dan
percobaan secara laboratorium terhadap sesuatu hal yang
nyata.Metode yang dipakainya adalah metode Experimentil.Tujuan
yang ingin dicapai adalah berusaha untuk menemukan kaidah-
kaidah /dalil-dalil mengapa orang lebih menyukai sesuatu hal yang
indah tertentu, dan kurang menyukai yang lain.

2.A.Moles 

Percobaan-percobaanng dilakukan menunjukkan bahwa proses-proses


dalam otak manusia dipengaruhi oleh sifat-sifat struktural dari pola-
pola perangsang seperti misalnya :sesuatu yang baru, sesuatu yang
rumit dan sesuatu yang mengagetkan. Sifat-sifat yang merangsang ini
dapat dipandang sebagai unsur-unsur penyusun dari bentuk atau
struktur seni.

3.Edward Bullough

Dia menerapkan psikologi introspeksi dan teori sikap dengan


melakukan penyelidikan terhadap apa yang dinamakan kesadaran
estetis (aesthetic consciousness)(The Liang Gie,1976).Psikoanalisa
dengan teori-teorinya memberikan penjelasan bahwa karya seni
sebagai mana halnya dengan impian dan mitologi merupakan
perwujudan dari keinginan manusia yang paling dalam.Keinginan ini
memperoleh kepuasan lebih besar dalam bentuk seni dari pada dalam
realitas kehidupan biasa.Penggunaan hasil-hasil dari ilmu jiwa anak
(child psychology) dianggap dapat memberikan keterangan-
keterangan yang memadai mengenai pertumbuhan dorongan batin
dalam mencipta seni.Dorongan batin ini mencakup semua dinamika
kejiwaan yang tidak bersifat intelektualistis, misalnya hasrat untuk
meniru, kecenderungan untuk memamerkan, kesediaan untuk
menyenangkan pihak lain, keinginan bermain-main, pemanfaatan
energi yang berlebihan dan peluapan perasaan yang ada dalam   diri
setiap orang.Dalam periode  positifistis ini, walaupun pembahasan
estetika sudah bersifat ilmiah, tetapi bukan berarti bahwa pendekatan
secara filsafati sudah tidak dipergunakan lagi.

H.  Periode Kontemporer.

Dalam periode ini, muncul sejumlah pandangan estetika dalam waktu


yang relatif bersamaandan sampai kini masih banyak
pengikutnya.Pandangan estetika yang banyak ini (multi isme), tumbuh
pada awal abad ke 19 dan menjadi lebih semarak lagi pada abad ke 20.
berikut ini tujuh pandangan yang menonjol dalam periode ini.

1.   Seni untuk seni (lárt pour l'art)

Semboyan  L'art pour L'art yang termashur ini pertama kali


dipergunakan oleh seorang filosof Victor Cousin (1792-1867).
Pandangan ini menganggap bahwa seni merupakan deklarasi artistik
yang independen sebagai suatu tanggung jawab professional. Seniman
ditempatkan sebagai suatu pribadi yang bebas dan terpisah dari
kepentingan masyarakat. Tujuan seni hanya untuk seni, tidak
mengabdi kepada kepentingan politik, ekonomi, sosial dan agama.
Pandangan ini merupakan suatu reaksi terhadap kondisi pada waktu
itu untuk mengembalikan kemurnian status seni.

      

       2. Realisme

Realisme menganggap bahwa karya seni harus  menampilkan


kenyataan yang sesungguhnya, seperti sebuah gambar reproduksi
(seperti photo). Salah seorang tokoh dari pandangan ini ialah Nicolay
C. Chernyshevski dengan karyanya The Aestheics Relation or Art to
Reality (1865).

3. Sosialisme (Tanggungjawab sosial)

Suatu pandangan yang sangat bertentangan dengan pandangan seni


untuk seni, bahwa seni merupakan kekuatan sosial dan refleksi dari
kenyataan sosial. Seniman adalah bagian dari masyarakat dan
mempunyai tanggungjawab sosial.

Estetikus terbesar yang termasuk dalam pandangan ini ialah


Nikkolayevitch Tolstoy (1982-1910). Di dalam karyanya yang
terkenal what is art (1898) Tolstoy mengulas persoalan seni dan
keindahn secara lebih luas. Menurut Tolstoy, dalam arti subyektif, apa
yang dinamakan keindahan adalah apa yang memberikan kita suatu
kenikmatan atau kesenangan. Sedangkan dalam arti obyektif,
keindahan adalah sesuatu yang absolut dan sempurna, karena kita
menerima manifestasi dari kesempurnaan tersebut . Bagi Tolstoy seni
yang ialah seni yang dapat memindahakna perasaan arus hidup
manusia scara sama dan seirama. Nilai-nilai agama dianjurkan dalam
ekspresi seni, kaena persepsi keagamaan tidak lain adalah gejala
pertama dari manusia dengan dunia sekitarnya. Tolstoy telah
membahas estetika dari sudut kekristenan yang penuh kritik terhadap
kepincangan sosial, negara, gereja dan kebodohan kaum bangsawan
(Hassan Sadily;1984).

4. Ekspresionisme

Estetikus Benedetto Croce (1866-1952) telah meninggalkan pengaruh


besar pada abad ke 20 ini. Pandangannya ditulis dalam
bukunya Aesthetics as Science of Expression and Generale Linguistic
(1902).

Menurut Groce, Estetika  ilmu tentang image atau sebagai


pengetahuan intuitif dan bersifat objektif. Bagi Crocekeindahan
tergantung pada keinginan imajinasi, yaitu kemampuan seseorang
untuk memahami serta mengalami hasil kegiatan intuisi dalam
bentuknya yang murni.Croce termasuk penganut “seni untuk seni”.
Seni tidak benar kalau dicampuri oleh berbagai kepentingan,misalnya
ilmu pengetahuan,hiburan ataupun moral.

5. Naturalisme
Pandangan estetika naturalisme para filosof Amerika lebih
menekankan pada ketenangan hidup untuk kelangsungan budaya
manusia.

Salah satu tokohnya George Santayana. Dia berpendapat bahwa nilai


keindahan terletak pada hasrat alami untuk mengalami keselarasan
sosial dan untuk merenungkan keindahan menciptakan moralitas, seni,
puisi dan agama, yang ada dalam imajinasi dan berusaha untuk
mewujudkan secara konkret dengan tindakan, kombinasi dari esensi-
esensi dan semata-mata ideal. Estetika berhubungan dengan
penceraapan nilai-nilai. Keindahan sebagai nilai intristik dan
diobjektifkan, artinya sebagai kualitas yang ada pada suatu benda.

6. Marxisme

Marxisme telah memberikan pengaruh kepada para estetikus terutama


di negara-negara sosialis dan komunis. Prinsip dasar estetikanya ialah
seni dan semua kegitan manusia yang  tertinggi merupakan budaya
"super struktur" yang ditetapkan oleh kondisi sejarah masyarakat,
terutama kondisi ekonomi.

Estetika Rusia Georgi V. Plekaniv dalam bukunya Art and Social


Live  (1912), mengembangkan estetika materialisme dialektika dan
menyerang doktrin “seni untuk seni” yang telah berkembang di Eropa.

7. Eksistensialisme
Pandangan mengenai kekuatan otonomi sebagai kualitas obyektif
yang ada dalam dirinya sendiri telah dicetuskan oleh para filosof
Eksistensialisme.

J.P. Satre membedakan antara obyek estetik dengan benda-benda


lainnya di dunia. Perbedaannya terletak pada "ekspresi dunia", bahwa
setiap benda estetis secara personal adalah "ada dalam dirinya sendiri"
(pour soi). Dalam hal ini Satre telah memberikan jalan untuk adanya
suatu konsep tentang "kebenaran otentik" dari eksistensi seni.

 NILAI ESTETIK

A.  Pengertian Nilai Estetik

Dalam rangka teori umum tentang nilai, pengertian keindahan


dianggap sebagai salah satu jenis nlai seperti halnya nilai moral, nilai
ekonomis dan nilai-nilai yang lain. Nilai yang berhubungan dengan
segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai
estetis.

Pada prinsipnya masalah estetika selalu bertumpu pada dua hal, yaitu
keindahan dan seni,tetapi dari kedua hal tersebut berkaitan dengan
masalah nilai, pengalaman estetis dan pencipta seni (seniman).
Keindahan dan seni merupakan dua hal yang saling berhubungan.
Salah satu bentuk perwujudan keindahan adalah dalam bentuk karya
seni.

Bagaimana hubungan keindahan dengan seni, telah dijawab oleh para


filsuf sepanjang zaman. Beberapa ahli berpendapat bahwa seni dan
keindahan tidak terpisahkan. Sedangkan yang lainnya berpendapat
seni tidak selalu harus indah atau bertujuan untuk keindahan. Pendapat
bahwa seni tidak terpisahkan dengan keindahan terutama oleh
Baumgarten sebagai pelopor ilmu estetika. Menurut Baumgarten,
tujuan dari keindahan untuk menyenangkan dan menimbulkan
keinginan. Manifestasi keindahan tertinggi tercermin pada alam, maka
tujuan seni adalah keindahan dan mencontoh alam.

Para ahli seni yang berpendapat, bahwa seni tidak selalu indah
menunjuk karya-karya seni kontemporer dewasa ini (lukisan dan
patung) menampilkan gambar-gambar kotor bahkan menjijikkan dan
menunjuk pula pada karya manusia purba yang menampilkan wujud
yang kadangkala menyeramkan. Mereka berpendapat bahwa seni
bukan produk keindahan, tetapi produk problem seniman.

Seni memang bukan produk keindahan, tetapi keindahan itu


merupakan suatu idealisasi yang sebaiknya melekat pada media seni
itu.Keindahan bukan hanya kesenangan inderawi, tetapi juga terletak
di dalam hati.

 B.  Aliran dalam Filsafat Nilai

Ada beberapa aliran dalam filsafat nilai, yaitu : 


1. Aliran objektifisme, mengatakan bahwa nilai itu terletak pada objek
itu sendiri, sama sekali lepas atau tidak tergantung dari keinginan
subjek atau kesukaan manusia. Nilai itu sudah ada sebelum orang itu
menilai. Jadi nilai itu adanya absolut.  (Parmono, 1991:9). Salah
seorang tokoh dari aliran ini adalah Plato, yang mengatakan bahwa
nilai merupakan dunia yang tetap dan ternyata, nilai berada di dalam
dunia konsep, dunia ide. Sedangkan Prof. E.C Spoulding mengatakan
bahwa : nilai-nilai adalah "subsistens" yang berexistensi dalam ruang
dan waktu, karena subsisten nilai-nilai itu bebas dari keinginan dan
kesukaan manusia (Parmono, 1991:10).

2. Aliran subjektifisme, mengatakan bahwa nilai sama sekali


tergantung atau ditentukan oleh subjek. Edmund Burke mengatakan
bahwa keindahan ditentukan oleh selera. Suatu objek baru bernilai
apabila diinginkan atau didambakan oleh subjek. Subjeklah yang
memasukkan nilai ke dalam objek, sehingga objek itu bernilai
(Parmono, 1991:10).

                 Dengan kedua aliran yang mempunyai sudut pandang yang


berbeda, dimana objektifisme mendasarkan pandangan pada objek
yang berdiri sendiri, terlepas dari pengaruh subjek, sedangkan
subjektifisme memfokuskan pada peranan dan pengaruh subjek
semata.

Oleh karena setiap aliran mempunyai kelemahan, maka lahirlah aliran


ketiga yaitu aliran yang berprinsip menyatakan bahwa nilai itu tidak
semata-mata terletak pada objek dan juga tidak terletak pada subjek,
artinya hanya kepunyaan dunia batin. Salah seorang tokoh aliran
ini,  George Santayana mengatakan keindahan tidak hanya
mempunyai nilai, tetapi juga dinikmati oleh yang melihatnya. Nilai itu
merupakan hasil interaksi antara subjek dan objeknya.

Aliran Pragmatisme, Sesuatu itu bernilai apabila dapat memberikan


manfaat atau kegunaan, misalnya lembu. Bagi seorang petani lembu
mempunyai fungsi sebagai teman bekerja mengerjakan sawah dan
ladangnya. Bagi seorang pedagang, lembu merupakan aset dalam
bidang ekonomi. Dan bagi umat beragama Hindhu, lembu menjadi
binatang kendaraan dewa Wisnu yang dikeramatkan.

5. Aliran Esensi,

 sesuatu dikatakan bernilai indah, misalnya  karena hanya itu sendiri.


Bunga mawar itu indah karena memang di dalam bendanya itu sendiri
mmpunyai sifat indah.

C. Jenis dan Ragam Nilai

The Liang Gie membedakan empat macam jenis nilai, yaitu : 

1.  kekudusan (holiness)
yaitu kebaikan yang sekaligus merupakan kebenaran. Maksudnya
yang memiliki kepercayaan maka sesuatu yang dianggap kudus atau
suci pastilah merupakan suatu kebaikan yang dikejar dan sekaligus
diyakini sebagai kebenaran.

2.  Kebaikan (goodness)

yaitu kekudusan yang sekaligus merupakan keindahan. Maksudnya


kebaikan biasanya merupakan sesuau hal yang dianggap luhur atau
kudus dan sekaligus dirasakan sebagai hal yang indah, sehingga perlu
diulang-ulang melakukannya untuk memperbesar atau melangsungkan
terus perasaan senang yang diperoleh.

3.  Kebenaran (thruth)

yaitu keindahan yang sekaligus merupakan kekudusan. Maksudnya


kebenaran merupakan sesuatu hal yang menyenangkan karena indah
dan dengan kekudusan sebagai keberhargaan yang universal dan patut
dimiliki terus-menerus.

4.  Keindahan (beauty)

yaitu kebenaran yang sekaligus merupakan kebaikan. Maksudnya


sesuatu yang betul-betul indah merupakan suatu kebenaran bagi yang
dapat menikmati dan sekaligus juga sesuatu hal yang baik sehingga
ingin dinikmati terus (The Liang Gie, 1976:162).
Dari empat jenis nilai yang diuraikan di atas, masing-masing
mewujudkan menjadi :

a.  kekudusan menjadi nilai religius

b.  Kebaikan menjadi nilai etis

c.  Kebenaran menjadi nilai intelektual

d.  Keindahan menjadi nilai estetis

Dari jenis-jenis nilai tersebut, ternyata nilai mempunyai ragam nilai


yang menurut The Liang Gie dalam bukunya Dari Administrasi ke
Filsafat dapat diklasifikasikan menjadi : 

1.  Nilai Instrumental

Yaitu nilai yang berfungsi sebagai suasana atau alat untuk mencapai
sesuatu hal lain, termasuk sesuatu nilai apapun yang lain. Ragam nilai
ini pada umumnya terdapat pada benda.

2.  Nilai Inheren

Yaitu nilai yang umumnya hanya melekat pada benda yang mampu
secara langsung dan sekaligus menimbulkan sesuatu pengalaman yang
berharga atau baik, seperti kepuasan.

3.  Nilai Kontributif
Yaitu nilai dari sesuatu hal atau pengalaman sebagai bagian dari
keseluruhan menyumbang pada keberhargaan dari  keseluruhan itu.

4.  Nilai Intrinsik

Yaitu nilai dari suatu pengalaman yang bersifat baik atau patut
dimiliki sebagai tujuan tersendiri dan untuk pengalaman itu sendiri
(The Liang gie, 1978:170).

D. Katagori Nilai Estetik

Nilai estetis sebagai salah satu jenis nilai manusiawi (nilai religius,
nilai etis, nilai intelektual) menurut The Liang Gie, tersusun dari
sejumlah nilai yang dalam estetika dikenal sebagai kategori-kategori
keindahan atau kategori-kategori estetis. Pada umumnya filsuf
membedakan adanya tiga pasang, yaitu :  

1. Kategori yang agung dan yang elok

2.  Kategori yang komis dan yang tragis

3.  Kategori yang indah dan yang jelek

akhirnya Kaplan menambahkan kecabulan (obscenity) sebagai suatu


kategori estetis.  (The Liang Gie, 1978:169).

Ahli estetika Jerman dari abad ke-19 Adolf Zeising mengemukakan


pensistematisan kategori-kategori keindahan menjadi 6 ragam yang
disusun menurut lingkaran warna primer dan sekunder sebagai berikut

1.  Merah                           :  murni indah

2.  Charming Orange         :  menarik 

3.  Comic (komis)             :  kuning

4.  Humoris                      :  hijau 

5.  Tragis                           :  biru (tragis)

6.  Ungu sublime               :  (agung)

Menurut Zeising kategori yang murni indah bersifat menyenangkan


atau menimbulkan perasaan senang pada orang. Kategoti yang
menarik membangkitkan antara lain kekaguman. Kategori yang komis
dapat menggelikan hati orang. Kategori yang humoristis dapat
menimbulkan rasa terhibur atau lucu. Kategori yang tragis
mengakibatkan perasaan yang sedih, sedang kategori yang agung
membuat orang sangat terkesan karena kemegahan atau kedahsyatan.

Kategori yang agung baru disebut-sebut oleh para ahli keindahan


dalam abad ke-18. Berlainan dengan kategori yang murni indah,
kategori yang agung diakui membangkitkan pada orang yang
mengamatinya suatu perasaan takjub karena sifat-sifatnya
yang impressive, majestic, glorius (keren mengesankan, megah hebat,
meriah gemilang), dan bahkan kadang-kadang dahsyat. Kebanyakan
ahli estetika berpendapat bahwa kategori yang agung dan kategori
yang indah dapat ada secara bersamaan. Tetapi tokoh pemikir Inggris,
Edmund Burke (172-1797) menyatakan bahwa kedua kategori itu
saling menyisihkan dan berlawanan.
Teori-teori humor

Kategori yang komis dan kategori yang humoris membangkitkan pada


orang perasaan yang menggelikan, yang membuat tertawa, yang
menghibur dan yang lucu. Khusus pada kategori yang humoris selain
membuat orang tertawa atau tersenyum, juga dapat dijadikan sarana
untuk secara halus atau secara tak langsung menyindir, mengejek,
menghantam, dan melakukan pembalasan kepada pihak lain kawan
atau lawan.

Lelucon yang humoris kini banyak diciptakan orang dalam


masyarakat sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan atau
menyampaikan suatu maksud. Dengan demikian lahirlah berbagai
humor. Istilah humor menurut Martin Eshleman dewasa ini dipakai
secara luas untuk menunjuk pada setiap hal yang merangsang
kecenderungan orang pada tertawa yang lucu (everything that appelas
to man's disposition toward comic laughter). Para ahli estetika kini
telah mengembangkan berbagai teori humor untuk menunjukkan dan
menerangkan apa sesungguhnya yang terdapat pada sesuatu hal yang
membangkitkan gelak tertawa lucu pada orang-orang. Dalam garis
besarnya berbagai teori humor itu dapat digolongkan menjadi tiga
macam : 

1.  Teori Keunggulan  (Superiority theory)

2.  Teori ketaksesuaian (Incongruity theory)

3.  Teori pembebasan (Relief theory)


1).    Teori keunggulan menekankan bahwa inti humor ialah rasa lebih
baik, lebih tinggi, atau lebih sempurna pada seseorang dalam
menghadapi sesuatu keadaan yang mengandung kekurangan atau
kelemahan. Menurut teori ini, seseorang akan tertawa bilamana
mendadak memperoleh perasaan unggul karena dihadapkan pada
pihak lain yang melakukan kekeliruan atau mengalami hal tak
menguntungkan. Teori ini dapat dipakai untuk menerangkan mengapa
para penonton tertawa terbahak-bahak melihat badut sirkus yang
terbentur tiang, jatuh tersandung, melakukan aneka kekeliruan, atau
perilakunya menunjukkan berbagai ketololan.

2).    Teori ketaksesuaian menjelaskan bahwa humor timbul karena


perubahan yang sekonyong-konyong dari sesuatu situssi yang sangat
diharapka mejadi suatu hal yang sama sekali tidak diduga atau tidak
pada tempatnya. Tertawa terjadi karena harapan yang
dikacaukan (frustated expectation) sehingga seseorang dari suatu
sikap mental dilontarkan ke dalam sikap mental yang sama sekali
berlainan.

3).    Menurut teori pembebasan, inti dari humor ialah pembebasan


atau pelepasan dari kekangan yang terdapat pada diri seseorang.
Karena berbagai pembatasan dan larangan yang ditentukan oleh
masyarakat, dorongan-dorongan batin alamiah dalam diri seseorang
mendapat kekangan atau tekanan. Bilamana kekangan/tekanan itu
dapat dilepaskan atau dikendorkan oleh misalnya lelucon sex, sindiran
jenaka, atau ucapan nonsense, maka meledaklah perasaan orang dalam
bentuk tawa.

Menurut tokoh psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939), lelucon


memiliki kimiripan dengan impian, yakni kedua-duanya pada
dasarnya merupakan sarana untuk mengatasi kekangan (censor) yang
datang dari luar atau telah tumbuh dalam diri seseorang. Dalam
impian, ide-ide yang terlarang dapat diserongkan atau diselubungi,
sedang dalam kelakar orang bisa menyelipkan kecaman, cacian, atau
pelepasan diri dari apa saja secara tidak begitu keras dan langsung.

Menurut Hans Eyeseck dan Glen Wilson, segenap humor dapat


dibedakan menjadi 4 ragam atau kategori, yaitu :

1.      Humor yang disebut "nonsense". Ragam humor ini tidak berisi


sindiran, serangan dan lelucon sex, melainkan menggunakan berbagai
teknik permainan kata atau unsur-unsur yang tak sesuai untuk
membangkitkan gelak tertawa pada orang .

2.      Humor yang disebut "satire" dan berisi sindiran terhadap orang,


pejabat, kelompok atau lembaga. Ini merupakan semacam serangan
tak langsung atau kecaman halus yang ditujukan kepada suatu pihak
tertentu.

3.      Humor agresi secara langsung yang berisi kekerasn fisik,


kebiadaban, penghinaan dan penyiksaan yang sadis.

4.      Humor berisi sesuatu lelucon sex yang bisa ditampilkan secara


kasar sekali atau amat halus.
Terakhir perlu dibahas tentang kategori yang jelek. Tampaknya
memang agak janggal bahwa salah satu kategori keindahan adalah
kejelekan. Hal yang jelek bersifat kontradiktif terhadap hal yang
indah. Kejelekkan tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri
yang membuat sesuatu benda disebut indah, melainkan mengacu pada
sifat-sifat yang nyata-nyata bertentangan dengan sifat indah. Misalnya
kalau ketertiban pada sesuatu hal dianggap menimbulkan perasaan
senang sehingga hal itu dinyatakan indah, maka hal yang jelek
bukanlah kecilnya ketertiban melainkan suatu keadaan yang amat
kacau balau. Kejelekkan menimbulkan pada orang perasaan muak dan
mual. Hal yang jelek kini dianggap mempunyai nilai estetis karena
dapat membangkitkan sesuatu emosi tertentu yang negatif, suatu nilai
estetis yang negatif,yang bertentangan dengan sifat-sifat indah. Oleh
karena itu, dapatlah dimengerti kalau belakangan ini ada produser film
yang menyajikan tokoh-tokoh jelek atau seniman yang menciptakan
sesuatu karya seni menjijikkan yang tergolong pada kategori yang
jelek.

 Konsep the beauty and the ugly

Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak


selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan
masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya.
Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu
the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi
standar keindahan dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak
memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya
dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata
memperlihatkan keindahan. (taura hida, 2012)

3.3.2 Sejarah Estetika

Pengertian estetika dari suatu masa ke masa yang lain selalu


mengalami perubahan. Beberapa pemikir estetika yang terkenal
antara lain adalah Aristoteles dan Immanuel Kant. Aristoteles
dalam Poetics menyatakan bahwa sesuatu dinyatakan indah karena
mengikuti aturan-aturan (order), dan memiliki magnitude atau
memiliki daya tarik. Immanuel Kant dalam The Critique of
Judgement (1790) yang dikutip oleh Porphyrios (1991)
menyatakan bahwa suatu ide estetik adalah representasi dari
imajinasi yang digabungkan dengan konsep-konsep tertentu. Kant
menyatakan adanya dua jenis keindahan yaitu keindahan natural
dan keindahan dependen. Keindahan natural adalah keindahan
alam, yang indah dalam dirinya sendiri, sementara keindahan
dependen merupakan keindahan dari objek-objek ciptaan manusia
yang dinilai berdasarkan konsep atau kegunaan tertentu. Kedua
pendapat tersebut di atas menunjukkan perhatian yang besar pada
objek, di mana keindahan didapatkan karena suatu objek memiliki
karakter tertentu sehingga layak untuk dinyatakan sebagai indah.

Perhatian yang besar terhadap objek dalam pemikiran


tentang estetika tersebut memberikan pengaruh pada arsitektur.
Pengaruh tersebut mengakibatkan munculnya aturan-aturan
sebagai patokan untuk menyatakan keindahan suatu bangunan.
Alberti yang hidup pada masa Renaissance, dalam Ten Books on
Architecture menyatakan bahwa keindahan suatu bangunan
ditentukan oleh beberapa faktor (Porphyrios, 1991) seperti jumlah
komponen (number) misalnya jumlah kolom, pelubangan dan
sebagainya yang dinyatakan harus meniru alam, congruity, yaitu
bagaimana menempatkan suatu komponen untuk membentuk
keindahan secara keseluruhan, finishing dan collocation. Pada
intinya Alberti menyatakan sesuatu disebut indah karena meniru
alam, dalam hal ini bukan hanya alam secara fisik, tetapi juga
hukum-hukum alam. Hal ini dapat dilihat pada kolom-kolom
Yunani yang berbentuk mengecil ke atas, yang dianggap sesuai
dengan hukum alam. Alberti bukanlah satu-satunya orang yang
mencetuskan standar dalam estetika arsitektur. Andrea Palladio dan
Brunelleschi juga banyak memberikan kontribusi bagi standar
estetika dalam arsitektur masa Renaissance. Kebanyakan aturan-
aturan yang berlaku pada masa tersebut menyebutkan aturan
proporsi dalam angka-angka. Golden section merupakan salah satu
aturan proporsi dalam angka yang banyak digunakan dan dianggap
sebagai representasi dari alam pada sekitar abad ke-18.

Aturan-aturan yang populer pada masa setelah Renaissance


dijiwai oleh semangat akan perkembangan sains. Perez-Gomez
dalam Architecture and The Crisis of Modern Science (1990)
menyatakan bahwa terdapat dua transformasi yang menjadi
penyebab hal tersebut di atas, yaitu revolusi Galileo yang
menggantikan kosmologi Renaissance dengan sains yang bersifat
universal, serta transformasi kedua yang berlangsung pada tahun
1800 yang semakin memantapkan sains sebagai satu-satunya cara
melakukan interpretasi terhadap realitas. Karena itu estetika yang
digunakan dalam arsitektur menjadi estetika yang bersifat
matematis. Proporsi yang matematis dan geometri mendominasi
konsep estetika pada masa tersebut.

Penggunaan geometri dan angka dalam arsitektur terus


berlangsung hingga awal abad ke-20 saat berkembangnya
Arsitektur Modern. Pada masa Arsitektur Modern, proporsi golden
section diadaptasi oleh Le Corbusier dalam teori Modulornya.
Perbedaannya dengan penggunaan geometri dan angka pada masa
sebelumnya adalah bahwa dalam Arsitektur Modern, pengaruh
geometri dan angka berakibat pada tujuan penataan ruang yang
semata-mata untuk alasan efisiensi dan ekonomi. Perez-Gomez
(1990) menyatakan bahwa paradigma efisiensi dan ekonomi dalam
Arsitektur Modern merupakan akibat dari pendekatan rasional
absolut sehingga arsitektur direduksi hanya sebagai teori yang
rasional dengan menolak keterhubungannya dengan filosofi dan
kosmologi.

Selain mendasarkan diri pada perhitungan rasional,


Arsitektur modern merupakan suatu bentuk arsitektur yang
mengidekan suatu universalitas dan objektivitas. Hal ini
merupakan konsekuensi dari konsep yang hanya didasarkan pada
objek semata. Berdasarkan pada objek dan meniadakan
kemungkinan subjektif dengan meniadakan faktor pengamat berarti
mencari sesuatu yang objektif dan universal, dapat dilihat
hubungan erat antara Arsitektur Modern dengan arsitektur masa
Renaissance yang tumbuh dalam masa euforia terhadap sains dan
pemikiran rasional, yakni bersifat objektif dan universal.

Perkembangan filsafat fenomenologi pada masa awal abad


kedua puluh yang mengkritisi pendekatan matematis dari
modernisme kemudian membawa suatu pendekatan baru dalam
estetika. Dalam fenomenologi, perhatian lebih diarahkan kepada
keberadaan subjek yang mempersepsi objek dari pada kepada
objek itu sendiri. Dengan kata lain hal ini dapat dikatakan sebagai
membuka kemungkinan adanya subjektivitas. Hal ini menimbulkan
kesadaran akan adanya konteks ruang dan waktu, bahwa pengamat
dari tempat yang berbeda akan memiliki standar penilaian yang
berbeda, dan begitu pula dengan pengamat dari konteks waktu
yang berbeda. Pemikiran inilah yang kemudian akan berkembang
menjadi postmodernisme. Terbukanya kemungkinan untuk bersifat
subjektif memberi jalan bagi keberagaman dalam estetika, dan
memberikan banyak pengaruh pada arsitektur.

Wajah arsitektur yang semakin beragam dan semakin


kompleks, tidak seperti wajah Arsitektur Modern yang selalu
polos. Ide akan kompleksitas dalam arsitektur pertama kali
dicetuskan oleh Robert Venturi dari Amerika dalam bukunya
Complexity and Contradiction in Architecture (1962) yang
kemudian mengawali post modernisme dalam arsitektur. Dalam
buku tersebut terlihat adanya pergeseran estetika yang sangat
besar. Venturi mendukung penggunaan kompleksitas dan
kontradiksi dalam arsitektur dan mencanangkan slogan less is bore
yang merupakan penyerangannya terhadap slogan less is more dari
Arsitektur Modern. Dengan terbukanya subjektivitas, maka timbul
kecenderungan untuk memberikan identitas pada arsitektur, baik
berupa identitas pemilik ataupun identitas si arsitek. Akibat dari
kecenderungan ini, terjadilah fenomena berlomba-lomba untuk
membuat monumen-monumen yang dipergunakan untuk
menunjukkan jati diri. Pada titik ini terjadi tumpang-tindih antara
estetika dengan simbolisme, karena estetika dipergunakan sebagai
sarana untuk menunjukkan identitas. Ide ini bukanlah ide baru,
karena arsitektur pada masa sebelum masa Arsitektur Modern juga
telah banyak menggunakannya, akan tetapi yang terjadi pada
postmodernisme adalah pluralisme yang berlebihan karena setiap
individu berusaha untuk memiliki jati diri sendiri (Piliang, 1998).

Adanya kesadaran akan kontekstualitas membuka pikiran


akan tidak adanya universalitas dan objektivitas. Hal ini menuju
pada pengakuan akan adanya (pengetahuan) konsep estetika
arsitektur lain di luar arsitektur barat. Akibatnya terjadi
perkembangan ilmu estetika arsitektur yang merambah ke
arsitektur selain Barat yang sebelumnya dianggap sebagai oriental,
termasuk juga arsitektur di Indonesia.

 PENGALAMAN ESTETIK

A. Pengertian Pengalaman Estetik

Pengalaman estetik adalah tanggapan seseorang terhadap benda yang


bernilai estetis. Hal ini merupakan persoalan psikologis sehingga
pendekatan penelaahan menggunakan metode psikologi. Ada tiga
pengertian yang dapat dirangkum daripara ahli, yaitu :

1.      Pengalaman estetis terjadi karena adanya penyeimbangan antara


dorongan dorongan hati dalam menikmati karya seni.

2.      Pengalaman estetis adalah suatu keselarasan dinamis dari


perenungan yang menyenangkan, menimbulkan perasaan-perasaan
seimbang dan tenang terhadap karya seni yang diamatinya atau
terhadap suatu objek yang dihayatinya,sehingga tidak merasa ada
dirinya sendiri.Pengalaman estetis jenis ini berhubungan dengan
pengalaman mistis.

3.      Pengalaman estetis adalah suatu pengalaman yang utuh dalam


dirinya sendiri tanpa berhubungan dengan sesuatu diluar dirinya,
bersifat tidak berkepentingan (disinterested) dari pengamatan yang
bersangkutan. Pengalaman tersebut adalah pencerapan itu sendiri dan
merupakan nilai intrinsik.

John Hospers menyebut perbuatan yang demikian ini mencerap demi


pencerapan (perceive for perceiving's) atau juga pencerapan demi
untuk pencerapan itu sendiri (perceiving for its own sake) dan tidak
untuk keperluan suatu maksud yang lebih jauh (The Liang Gie, 1976).

B. Teori Pengalaman Estetik

Teori Jarak Psikis (psyhical distance) dari E. Bullough. Teori ini


ditulis dalam bukunya yang berjudul “Psyhical Distance as factor in
Art and Aesthetic Principle”. Bullough mempergunakan metode
introspeksi dari psikologi yakni pengamatan diri dengan jalan
merenungkan pengalaman-pengalaman sendiri. Bullough berpendapat
bahwa untuk menumbuhkan pengalaman yang berhubungan dengan
seni, orang justru harus menciptakan jarak psikis diantara dirinya
dengan hal-hal apapun yang dapat mempengaruhi dirinya itu. Hal-hal
yang dapat mempengaruhi diri seseorang misalnya adalah segi-segi
kegunaan dari sesuatu benda untuk keperluan/tujuan orang itu.
Kebutuhan dan tujuan praktis itu harus dikeluarka agar perenungan
dan tinjauan seseorang secara estetis terhadap bendanya itu semata-
mata menjadi mungkin.

Teori Einfuhlung  (teori tentang pemancaran perasaan diri sendiri ke


dalam benda estetis) yang dikemukakan oleh Friederich T. Vischer
(1807-1887).

Menurut Vischer seorang pengamat karya seni (benda estetis apapun)


cenderung untuk memancarkan (memproyeksikan) perasaannya ke
dalam benda itu, menjelajahi secara khayal bentuk dari benda tersebut
dan dari kegiatan itu menikmati sesuatu yang menyenangkan.
Teori ini dikembangkan oleh Lipps di dalam bukunya Aesthetic yang
terdiri 2 jilid. Dalam garis besarnya teori Lipps menyatakan bahwa
kegiatan estetis adalah kegiatan seseorang yang dari situ timbul suatu
emosi estetis khas yang terjadi karena perasaan itu menemukan suatu
kepuasan atau kesenangan yang disebabkan oleh bentuk objektif dari
karya seni tersebut. Nilai dari tanggapan objektif orang tergantung
pada kwalitas objektif dari benda estetis yang bersangkutan.

Teori Lipps ini dalam buku E.F Carritt (The Theory of Beauty)
dirumuskan sebagai kesenangan estetis adalah suatu kenikmatan dari
kegiatan kita sendiri didalam suatu benda. Pernyataan ini yang
kelihatannya merupakan suatu pertentangan dalam kata-kata,
sebagaimana diterangkan berarti bahwa kita menikmati diri kita
sendiri bilamana diobjektifkan atau menikmati suatu benda sejauh kita
hidup di dalamnya (The Liang Gie, 1976;54).

C. Rintangan Pengalaman Estetik

Dalam pengalaman estetik, mengalami hambatan jika di dalam diri si


pengamat terdapat sikap:

1.      Sikap Praktis: apabila seseorang mengamati pemandangan yang


indah dengan tujuan untuk kepentingan praktis, misalnya membangun
hotel, rumah makan dan lain-lain.
2.      Sikap ilmiah: apabila seseorang mendengarkan lagu klasik yang
diselidiki adalah asal usulnya, diciptakan oleh siapa, dimana dan
kapan lagu itu dibuat.

3.      Sikap melibatkan diri: apabila seseorang mempersamakan


nasipnya dengan nasip seseorang yang ada dalam buku novel yang
baru saja ia baca atau fim yang baru saja ia tonton.

4.      Sikap emosional: apabila ada seseorang terdapat hasrat yang


menyala-nyala untuk menikmati karya seni, atau kesadaran diri yang
berlebih-lebihan dalam penikmatan itu.

Menurut Stephen Pepper, musuh-musuh daripada pengalaman estetis


adalah adanya kesenadaan (monoton) dan kekacau-balauan
(confusion). Dan hal yang merusak pengalaman estetis itu, dalam
karya seni yang baik, harus diusahakan adanya keanekaan (variety)
dan kesatuan (unity) yang seimbang (The Liang Gie, 1976). 

 FILSAFAT SENI

A. Pengertian Filsafat Seni

        Filsafat seni merupakan salah satu cabang dari rumpun estetik


filsafati yang khusus menelaah tentang seni. Lucius Garvin
memberikan batasan tentang filsafat seni sebagai "the branch of
philosophy which deals with the theory of art creation, art experience,
and art criticism". (cabang filsafat yang berhubungan dengan teori
tentang penciptaan seni, pengalaman seni dan kritik seni). Sedang
definisi Joseph Brennan merumuskan sebagai "the study of general
principles of artistic creation and appreciation." (penelaahan mengenai
asas-asas umum dari penciptaan dan penghargaan seni).

Pengertian seni ini dipakai dalam bermacam-macam arti, antara lain :

1.      Sei sebagai kemahiran (skill) dilawankan dengan ilmu (science).


Sering dikatakan bahwa ilmu mengajar seseorang untuk mengetahui
dan seni mengajar seseorang untuk berbuat, keduanya saling
melengkapi.

2.      Seni sebagai kegiatan manusia atau (human activities)


dilawankan dengan kerajinan (craft). Ciri-ciri yang membedakan art
dan craft ialah bahwa sni bersifat perlambang dan menciptakan realita
baru, sedangkan kerajinan merupakan pekerjaan rutin yang
disesuaikan dengan kegunaan praktis.

3.      Seni sebagai karya seni (work of art atau artwork) dilawankan


dengan benda-benda alamiah. Karya seniadaalah merupakan produk
dari kegiatan manusia. Dalam artian yang seluas-luasnya seni meliputi
setiap benda yang dibuat manusia utnuk dilawankan dengan benda-
benda alamiah. 

4.      Seni sebagai seni indah ( fine art) dilawankan dengan seni


berguna (useful art). Seni indah dinyatakan sebagai seni yang terutama
bertalian dengan pembikinan benda-benda dengan kepentingan estetis,
sehingga berbeda dari seni berguna atau terapan yang maksudnya
untuk kefaedahan.

5.      Seni sebagai seni penglihatan (visual art) dilawankan dengan


seni pendengaran.
B. Teori Lahirnya Seni

Teori lahirnya seni membahas mengenai dorongan yang menyebabkan


lahirnya seni. Abdul Kadir (1975: 3-4) mengemukakan bahwa
berdasarkan sejarah estetika terdapat tiga teori tentang dorongan-
dorongan manusia menciptakan seni. Ketiga teori itu adalah : 

1.      Teori Bermain (Theory of Play)

Berdasarkan teori ini lahirnya seni adalah semata-mata untuk


kesenangan mengisi waktu yang terluang belaka.

2.      Teori Kegunaan (Theory of Utility)

Teori ini juga mengungkapkan bahwa semua aktifitas artistik


seluruhnya ditujukan untuk kepentingan praktis dan kebutuhan sosial.
Jadi teori ini berdasarkan pada aspek kegunaan.

3.      Teori Magis dan Religi (Theory of Magic and Religion)

Teori Magis dan Religi tentang lahirnya seni antara lain


mengungkapkan bahwa kehadiran seni adalah untuk mendapatkan
tenaga-tenaga gaib untuk keperluan berburu dan sebagainya. Pendapat
ini disampaikan oleh Salmon Reinoch.

Pendukung teori magis dan religi lainnya adalah S. Gideon. Gideon


berpendapat bahwa seni merupakan jalan atau cara yang lazim untuk
mendapatkan kekuatan dalam memperoleh kekuasaan. Usaha untuk
memperoleh kekuatan tersebut ditempuh dengan cara mendapatkan
kemahiran membuat garis-garis batas (outline) gambar-gambar dari
binatang yang akan ditangkap.

C. Aliran-aliran dalam Seni

Seni sebagai hasil kreasi akal budi dan rasa manusia menciptakan
sesuatu yang baru mempunyai bentuk dan corak yang    beraneka
ragam. Aliran-aliran dalam seni ini biasanya untuk seni lukis,
diantaranya :

1.      Aliran Naturalisme

Bertujuan untuk melukiskan bentuk-bentuk alam yang sewajarnya


sesuai dengan keadaan alam (nature). Manusia beserta fenomenanya
diungkapkan sebagaimana adanya seperti tangkapan mata, sehingga
karya yang dilukiskan seperti hasil foto atau tangkapan lensa kamera.
Jika yang dilukiskan sebuah pohon kelapa, maka lukisan tersebut
berusaha menggambarkan secara persis pohon kelapa yang ada di
alam dengan susunan, perbandingan, perspektif, tekstur, pewarnaan
dan lain-lainnya disamakan setepat mungkin sesuai dengan pandangan
mata ketika melihat pohon kelapa tersebut apa adanya (Nooryan
Bahari, 2008:119).

2.      Aliran Ekspressionisme
Aliran ini bermaksud mengungkapkan perasaan-perasaan dan
penderitaan batin yang timbul dari pengalaman diluar, yang
ditanggapi tidak hanya dengan panca indra tetapi juga dengan jiwa.
Seniman Belanda, Vincent van Goh (1853-1890),dianggap sebagai
pelopor aliran ekspresionisme bahkan dia dianggap sebagai bapak seni
lukis modern. Tema lukisannya yang awal banyak melukiskan
kesibukan pekerja-pekerja tambang kasar dengan segala suka
dukanya. Ia lebih menitik beratkan watak, menangkap kesan secara
langsung, kemudian diungkapkannya dengan warna berat.

3.      Aliran Impressionisme

Dalam bahasa Indonesia, arti impression adalah kesan, jadi karya


impressionisme adalah karya seni lukis yang ingin mengungkap
kesan. Sekelompok pelukis di Prancis pada akhir abad ke-18, mulai
tidak senang dengan cara melukis akademi yang selalu menggambar
di studio. Jika ingin melukis sapi di padang rumput, mereka
mengambil sapi sebagai model dan dibawa ke studio. Kelompok
pembaharu mempunyai anggapan bahwa alam sebagai guru yang
terbaik, membuat mereka menghambur ke jalan-jalannya, ke ladang,
ke pinggir sungai untuk menggambar secara langsung. Lantaran di
luar matahari mulai menyengat, mereka menjadi blingsatan karena
kepanasan, sehingga mereka melukis dengan cepat baik karena panas
maupun karena perjalanan matahari dari timur ke barat mempengaruhi
banyangan dan pewarnaan. Secara otomatis, mereka memperhatikan
keberadaan dan gerakan cahaya. Lambat laun mereka
monomersatukan cahaya, dan menomerduakan unsur-unsur yang lain (
Nooryan Bahari, 2008:120-121).

Lukisan Claude Monet (1840-1926) yang berjudul Impresi : Fajar


Menyingsing yang dipamerkan pada tahun 1874. Lukisan Monet yang
berupa kesan benda berwarna ditolak oelh kritikus seni pada waktu itu
dan diejek sebagai lukisan kesan yang belum selesai (bahasa
Perancis : Impresion). Melukiskan kesan alam yang diterima dengan
spontan, cepat dan pasti, bagian-bagian yang kecil tidak diindahkan,
yang dipentingkan keseluruhannya hingga suasana bentuk, gerak dan
sinar itu dilukiskan  tidak terpisah.

4.      Aliran Romantisme

Romantisme adalah gaya atau aliran seni yang menitikberatkan pada


curahan perasaan, reaksi emosional terhadap fenomena alam, dan
penolakan terhadap realisme. Dalam seni lukis gerakan ini
menghasilkan kebebasan baru dalam menata komposisi, melahirkan
citra goresan kuas terbuka, pembaharuan dan tingkatan warna yang
lembut.

Tokoh romantik yang terkenal dari Perancis adalah Theodore


Gericault (1791-1924) dan Eugene Delacroix (1798-1863). Mereka
senatiasa melukiskan kejadian-kejadian yang dahsyat, kegemilangan
sejarah serta peristiwa yang sangat menggugah perasaan.

5.      Aliran Realisme
Aliran ini tumbuh di Perancis pada tahun 1850an. Realisme
melukiskan kenyataan hidup pada jaman itu dan biasanya
memperhatikan kaum malang di dalam masyarakat dan tidak pernah
menyembunyikan kesusahan. Pelopor realisme adalah Gustave
Courbet, seorang yang sederhana penduduk Ornans di Perancis timur.
Courbet(1819-1877) menentang aliran klassisisme yang dianggapnya
penuh dengan kepalsuan dan mengecam kelompok romantisme karena
mencampurbaurkan doktrin politik dengan doktrin seni sehingga
mengabaikan segi seni demi tercapainya tujuan politik bagi seniman.

6.      Aliran Kubisme

Seni rupa yang kubistis, mempunyai wujud tang bersegi-segi dan


berkesan monumental, terutama untuk seniu patung. Bapak aliran
kubisme adalah Pablo Picasso dan G. Braque.

Pada perkembangannya ada dua tingkatan kubisme. Yang


pertama, kubisme analitis. Pada tahap ini pelukisnya memecahkan
setiap objek yang kita kenal seperti wajah orang, biola, meja, dan lain-
lain sampai menjadi kubus-kubus yang kemudian menyerupai susunan
balok-balok dalam bentuk semacam patung yang berkesan tiga
dimensi.Yang kedua, kubisme sintetik. Setelah merobek-robek objek
menjadi bentuk yang paling dasar, kemudian menjelmakan kembali
pada suatu struktur yng mungkin mirip atau tidak terhadap objek yang
semula. Sesudah itu objek dilukis secara realistis dalam susunan
komposisi tertentu. Kesan lukisan ini akhirnya menjadi dua
dimensional.
7.      Aliran Dadaisme

Aliran ini lahir di Jerman pada tahun 1916, dengan maksud sebagai
reaksi atas kekejaman perang dunia pertama yang berakibat
keputusasaan pada seniman-seniman Jerman, khususnya dan
kemudian menjalar ke Perancis, bahkan sampai ke Amerika. Aliran ini
mengetengahkan lukisan yang bersifat kekanak-kanakan. Kadang-
kadang lucu dan menggelikan, bombastis, naif, tetapi mengandung
keindahan kanak-kanak yang murni. Pelopor aliran ini adalah Picasso.

8.      Aliran Surealisme

Surealisme pada awalnya adalah gerakan dalam sastra yang ditemukan


oleh Apollinaire untuk menyebut dramanya.  Pada tahun 1924 istilah
ini diambil alih oleh Andre Beton untuk manifesto kaum surealis.
Dalam kreatifitas seninya, kaum surealis berusaha mambebaskan diri
dari kontrol kesadaran, menghendaki kebebasan besar, sebebas orang
bermimpi.

Aliran ini muncul pada tahun 1924. aliran ini mengawinkan dunia
yang tidak nyata dengan dunia nyata. Teori dan tekhnik dari
psychoanalitis Freud telah menjadi dasar tekhnik dasar pengungkapan
aliran ini, yaitu :

a.Surealisme Fotografis : disini bentuk objeknya masih kita kenal


walaupun tidak  dalam bentuk yang wajar .
b.Surealisme morphic  :  aliran ini tidak bersumber pada ingatan
sebagai “tempat objek”. Lukisannya hampir abstrak (Budhy Raharjo J
1986;166-192).

       

D. Nilai Seni

Karya  seni sebagai hasil cipta manusia memiliki nilai untuk


memenuhi kebutuhan hidup manusia. Jika seni tidak bernilai maka
seni tidak akan diciptakan orang dan tidak mungkin berkembang
hingga dewasa ini. Seni tidak hanya menyajikan bentuk-bentuk yang
dapat diserap indera manusia semata, tetapi juga mengandung tujuan
abstrak yang bersifat rohaniah, yaitu suatu makna yang dapat memberi
arti bagi manusia.

Karya Seni yang mengandung makna inilah yang disebut seni bernilai.
Nilai-nilai tersebut :

1.      Nilai Kehidupan

Nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan manusia yang bersifat


mendasar sesuai harkat dan cita-cita manusia ditampilkan dalam
media seni. Misalnya ide kebahagiaan, ide kebaikan, ide keadilan, ide
kebenaran dan lain-lain.
2.      Nilai Pengetahuan

Karya seni dapat memberikan suatu pemahaman terhadap alam


sekitarnya dan berbagai aspek kehidupan yang melingkupinya.
Misalnya karakteristik tata budaya atau adat kebiasaan suatu
masyarakat. Hal ini bersifat informative yang akan menimbulkan
pengetahuan terhadap tata kehidupan yang ada.

3.      Nilai Keindahan

Dalam hal ini pengertiannya menyangkut perasaan manusia. Dalam


realitasnya memang tidak semua seni itu indah, seni tidak hanya
mencoba untuk menyatakan keindahan. Keindahan hanya merupakan
salah satu diantara hal-hal yang dicoba untuk dinyatakan oleh seni.

4.      Nilai Inderawi dan Nilai Bentuk 

Nilai Inderawi menyebabkan seseorang pengamat menikmati atau


memperoleh kepuasan dari ciri-ciri inderawi yang disajikan oleh suatu
karya seni. Nilai bentuk menyebabkan seseorang mengagumi bentuk
besar (struktur) dan bentuk kecil (tekstur).

5.      Nilai Kepribadian

Perlunya watak atau karakteristik tertentu yang dapat membedakan


yang satu dengan yang lain. Artinya sebuah karya seni seharusnya
memiliki gaya (style) tersendiri yang didukung oleh unsur-unsur atau
ciri-ciri tertentu yang tersusun secara keseluruhan dan bersifat tetap,
misalnya dalam hal seni bangunan (arsitektur). Gaya arsitektur rumah
adat Minangkabau akan berbeda dengan gaya arsitektur rumah adat
Toraja.

6.      Nilai keindahan Inderawi dan nilai bentuk

Nilai keindahan inderawi menyebabkan seorang pengamat menikmati


atau memperoleh kepuasan dari ciri-ciri inderawi yang disajikan oleh
suatu karya seni. Nilai keindahan bentuk menyebabkan seseorang
mengagumi bentuk besar (struktur) dan bentuk kecil (texture).

E.  Sifat Dasar Seni

Seni merupakan hasil kreasi akal budi dan rasa manusia yang hidup
sepanjang masa dan dikagumi oleh manusia yang tidak terbatas pada
ruang dan waktu. Sifat dasar seni itu adalah 

1.      Seni bersifat kreatif

Seni yang sesungguhnya senantiasa kreatif, selalu menghasilkan


sesuatu yang baru. Seni sebagai suatu rangkaian kegiatan manusia
selalu menciptakan suatu realitas  yang baru, sesuatu apapun yang
tadinya belum ada atau belum pernah muncul dalam gagasan
seseorang.

2.      Seni bercorak individualis


Seni senantiasa dilakukan oleh seseorang individu tertentu dan
hasilnya juga merupakan suatu individualitas tertentu yang khas.

3.      Seni adalah ekspresif  

Seni menyangkut perasaan manusia dan karena itu penilaiannya juga


harus memakai ukuran perasaan estetis.

4.      Seni adalah abadi

Sekali suatu karya seni telah selesai diciptakan sebagai suatu relitas
baru, karya itu akan tetap langgeng sepanjang zaman walaupun
seniman penciptanya sudah tidak ada lagi.

5.      Seni bersifat semesta

Seni berkembang di seluruh dunia dan tumbuh sepanjang masa,


karena manusia memiliki perasaan dan seni adalah bahasanya yang
melakukan komunikasi  antar mausia dengan bahasa perasaan(The
Liang Gie;1996,46).

F. Kritik Seni

    Kritik seni termasuk dalam filsafat seni. Sifatnya memang dapat


mendua, yakni sebagai bidang pengetahuan dan sebagai proses
kegiatan. Tapi dalam arti umum sesungguhnya kritik adalah suatu
penafsiran yang beralasan dan penghargaan terhadap sesuatu hal
berdasarkan pengetahuan, ukuran baku dan cita rasa yang bertalian
dengan hal itu dari orang yang melakukannya. Jadi kritik lebih
merupakan suatu perbuatan yang bersifat pribadi, berdasarkan
keyakinan subyektif dan cita rasa perseorangan.

     Kritik seni adalah suatu kegiatan yang ditujukan kepada satu karya
seni tertentu (atau paling banyak kepada sekumpulan karya seni yang
tergolong dalam style yang sama, misalnya sejumlah patung yang
dibuat oleh seorang seniman saat itu). Jadi hasil kritik itu tidak bisa
berlaku umum untuk karya-karya seni lainnya dari orang yang sama,
apalagi dari seniman lainnya. Kini para ahli estetik umumnya sepaham
bahwa peranan kritik seni bukanlah untuk memberi nilai A, B, C dan
D atau angka 1 sampai 10 terhadap sesuatu karya seni seperti halnya
memeriksa kertas ujian, melainkan memperbesar pemahaman,
meningkatkan apresiasi atau membuka mata dari publik terhadap
sesuatu yang bermutu yang mungkin terluput dari pengamatan
mereka. Dalam hubungan ini maka kritik seni dapatlah dipandang
sebagai penerapan dari estetik terhadap karya seni satu per satu. Untuk
menjadi ahli kritik seni yang baik sehingga dapat memberikan tafsiran
yang tepat dan penilaian yang beralasan kuat, seseorang harus
memilliki pengetahuan filsafat seni dan mungkin juga cabang-cabang
estetik lainnya (The Liang Gie:1976,32).

UNSUR-UNSUR ESTETIKA INDONESIA

Konsep (pemikiran) tentang keindahan di Indonesia sudah ada pada


jaman dahulu, pada waktu kehidupan manusia masih primitif. Secara
sadar atau tidak, mereka sudah memberi hiasan pada perabot rumah
tangga, alat pertanian, alat berburu, dan menghias dirinya bila ada
kegiaatan yang dianggap penting(berburu, upacara adat, pemilihan
kepala suku). Walaupun masih sangat sederhana, hiasan itu tidak
sekedar umsur pelengkap/penghias belaka, tetapi mengandung unsur
magis yamg dianggap sakral. 

Hal ini nampak dalam perilaku mereka yang menghiasi wajah ataupun
tubuhnya dengan goresan-goresan berwarna hitam dan putih (tolak
bala) bila mereka akan melakukan pekerjaan yang dipandang
mempunyai makna, maksud dan tujuan yang dianggap mulia. Mereka
juga menghias senjatanya bila akan berburu dengan maksud dan
tujuan memberikan kekuatan magis pada senjatanya itu agar hasil
buruannya dapat bermanfaat bagi keluarganya. Dalam upacara
keagamaan mereka membuat sesaji, berdoa, berpakaian dan menghias
diri, bernyanyi, menari dan memukul gendang.Hal ini menunjukkan
bahwa estetika lahir karena pemenuhan kebutuhan kerohanian.
Estetika tradisonal ini dalam perkembangannya tidak sama antar suku
dan daerah, ada yang punah, ada yang mengalami pembauran dan ada
yang mengalami perubahan.

Unsur-unsur estetika Indonesia

Unsur-unsur estetika Indonesia terkandung dalam seni budaya, adat-


istiadat, dan kegiatan ritual  diantaranya secara konkrit terdapat pada :
ragam hias, batik, candi, musik, wayang, seni tari dan upacara adat.
A. Ragam Hias

Ragam hias tradisional merupakan peninggalan nenek moyang dan


merupakan hasil dari seni budaya bangsa yang mempunyai nilai
tinggi. Dalam motif-motif yang digoreskannya, mengandung makna
(arti) yang dalam.  Motif-motif itu biasanya berkaitan dengan
pandangan hidup dari sesuatu daerah/suku bangsa dimana ragam hias
itu diciptakan. Oleh karena itu perlu dicari apa arti (makna) yang
tersembunyi di dalamnya dan untuk apa motif-motif itu dibuat. Dalam
ragam hias tradisonal, terkandung unsur-unsur filsafati yang tercermin
dalam bentuknya yang indah dan mengandung makna simbolis,
religius, etis dan  filosofis.

Dalam ragam hias itu biasanya menggunakan motif ; fauna, flora,


alam semesta, dan manusia atau gabungan dari unsur-unsur itu.

Di dalam unsur-unsur itu terkandung makna/ajaran bagaimana


manusia itu seharusnya berbuat dan bertingkah laku yang baik agar
selamat di dunia dan di akhirat.

Ragam hias juga digunakan untuk sengkalan-sengkalan (sengkalan


memed), yang ada pada bangunan-bangunan kraton maupun gapura-
gapura, yang berisi kapan bangungan itu didirikan dan siapa raja yang
berkuasa saat itu. 

Dalam perkembangannya ragam hias tradisional perlu dilestarikan,


jangan sampai kehilangan maknanya sehingga yang tinggal hanya
fungsi dekoratifnya saja.
Untuk melestarikan ragam hias tradisional tersebut ,ada tantangan
yang perlu untuk diantisipasi diantaranya: 

1.      Sikap praktis dan efisien: dengan digunakannya mesin


bubut  dan alat bantu yang lain (cap) akan menghemat tenaga dan
beaya,sehingga yang dikerjakan secara tradisional memakan beaya
ekonomi tinggi

2.      Sikap kreatif:  ragam hias tradisional mempunyai pola yang


baku, sehingga kreatifitas dikawatirkan akan menjadi penghambat
karena akan menghilangkan nilai simboliknya.

3.      Ekonomis: cenderung beaya ekonomi tinggi,sehingga menjadi


kendala.

Oleh karena itu,ragam hias tradisional perlu dilestarikan,     disamping


itu, kreasi baru dari para seniman juga wajib untuk ditingkatkan,
karena keduanya merupakan dua hal yang saling melengkapi dan akan
berguna untuk melestarikan  seni budaya bangsa.

B. Batik

      Batik sebagai karya seni termasuk seni indah dan seni berguna
yang didalamnya sarat kandungan makna filosofi. Hal ini terdapat
pada  Seni batik klasik dan tradisional. Dikatakan dengan istilah
“klasik” karena batik merupakan suatu karya yang bernilai seni tinggi,
berkadar keindahan dan langgeng, artinya tidak akan luntur sepanjang
masa. Sedangkan pengertian “tradisional” bahwa batik dikerjakan
dengan cara-cara dan kebiasaan yang berlangsung secara turun
temurun.

Sejarah dan Perkembangan Batik

   Pada awalnya, batik tulis hanya dikerjakan oleh putri-putri keraton


sebagai pengisi waktu luang, kemudian menyebar juga kepada “abdi
dalem” atau orang-orang yang dekat dengan keluarga keraton (Amri
Yahya,1971;24).

Batik sebagai salah satu karya seni budaya bangsa Indonesia telah
mengalami perkembangan seiring dengan perjalanan waktu.
Perkembangan yang terjadi membuktikan bahwa batik sangat dinamis
dapat menyesuaikan dirinya baik dalam dimensi ruang, waktu, dan
bentuk. Dimensi ruang adalah dimensi yang berkaitan dengan wilayah
persebaran batik di Nusantara yang akhirnya menghasulkan sebuah
gaya kedaerahan misalnya batik Jambi, batik Bengkulu, batik
Yogyakarta, batik Pekalongan. Dimensi waktu adalah dimensi yang
berkaitan dengan perkembangan dari masa lalu sampai sekarang.
Sedangkan dimensi bentuk terinspirasi dan diilhami oleh motif-motif
tradisional, terciptalah motif-motif yang indah tanpa kehilangan
makna filosofinya, misalnya Sekar Jagat, Udan Liris dan Tambal.
Pada waktu batik tradisional diciptakan tidak lepas dari pengaruh adat
istiadat, kebudayaan daerah maupun pendatang, kepercayaan serta
budaya dalam agama. Pengaruh budaya Hindu terlihat pada
motif meru, sawat, gurda, dan semen yang merupakan simbol-simbol
dalam kepercayaan Hindu. Pengaruh budaya Islam terlihat adanya
perubahan, dimana tidak ada bentuk binatang dan lambang dewa-
dewa. Meskipun unsur simbolisme jaman Hindu tetap ada, tetapi
sudah distilir, sehingga menjadi unsur dekoratif. Pengaruh Tionghoa,
batik dengan motif Lok Chan dan Encim. Pengaruh dari India dengan
motif Cinde, Belanda dengan motif Buketan dan Jepang dengan motif
Hokokai. Sedangkan Pengaruh adat terlihat pada batik tulis Irian Jaya
dengan ragam hias suku Asmat. Pengaruh adat juga terlihat pada batik
tulis Kalimantan Timur dengan ragam hias lambang perdamaian suku
Dayak Bahau dan ragam hias Tongkonan Toraja, Sulawesi Selatan.

Berbicara masalah batik klasik dan tradisional tidak lepas dari makna
simbolik. Menurut Ernst Cassirer, manusia adalah animal
symbolicum, (Cassirer, 1987 : 40) makhluk yang dapat mengerti dan
menggunakan simbol-simbol (tanda-tanda). Manusia juga dapat
menciptakan dan memahami makna dari simbol-simbol itu, sehingga
dapat dipakai sebagai norma, penuntun (petunjuk) ke arah tingkah
laku dan perbuatan yang baik.

Batik sebagai karya seni, mengandung makna filosofi yang menarik


untuk diteliti baik dari segi proses,motif,warna,ornament,fungsi dan
nilai dari sehelai batik yang sarat akan kandungan makna simbolik.
a.      Proses

Berbicara masalah proses pembuatan sehelai kain batik


klasik/tradisional melalui suatu rangkaian yang panjang mulai dari
“membatik” sampai dengan “mbabar”. Berbeda dengan batik cap dan
printing.

       b.   Motif

Pada pokoknya, motif batik terdiri atas empat macam, yaitu :

1.                  Ceplok, misalnya Kawung, Ceplok Manggis dan Ceplok


Mendut.

2.                  Garis miring, misalnya motif Parang, Udan Liris, dan


Rujak

            Senthe

3.                  Geometris, misalnya Truntum, Grompol, dan Tirtatejo.

4.                  Semen, misalnya Semen Rama, Semen Condro, Sido


Mukti, dan

            Sido Luhur.

Makna Simbolis dalam motif batik tradisional itu, diantaranya :

1).  Kawung

Menurut sejarah, motif Kawung diciptakan oleh Sultan Agung


Hanyakrakusuma di Mataram. Beliau menciptakan dengan mengambil
bahan-bahan dari alam atau hal-hal yang sederhana dan kemudian
diangkat menjadi motif yang baik (Koeswadji, 1981 : 112).

Motif  Kawung diilhami oleh pohon aren atau palem yang buahnya


berbentuk bulat lonjong berwarna putih jernih atau disebut kolang
kaling.

Bila ditinjau menurut gambaran buah aren atau kolang kaling, maka
motif Kawung mempunyai makna simbolis sebagai berikut : pohon
aren sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dari batang, daun,
ijuk, nira, buah, secara keseluruhan dapat dimanfaatkan bagi
kehidupan manusia. Hal ini mengingatkan agar manusia dalam
hidupnya dapat berdaya guna bagi bangsa dan negaranya seperti
pohon aren.

Motif  Kawung mempunyai makna simbolis yang dalam, agar


pemakai motif tersebut menjadi manusia unggul dan kehidupannya
bermanfaat dan bermakna.

2). Parang Rusak

Motif batik tradisional Parang Rusak diciptakan oleh Sultan Agung di


Mataram. Sesuai dengan arti kata, Parang Rusak mempunyai arti
perang atau menyingkirkan segala yang rusak, atau melawan segala
macam godaan (Koeswadji, 1985 : 25).

Motif  batik tradisional Parang Rusak mempunyai makna agar


manusia di dalam hidupnya dapat mengendalikan nafsunya, sehingga
mempunyai watak dan perilaku yang luhur.

3). Truntum
Motif Truntum merupakan simbolisasi istri yang bijaksana. Motif ini
juga dipakai oleh kedua orang tua dari kedua mempelai pada waktu
upacara adat pernikahan anaknya. Hal ini bermakna sebagai orang tua
berkewajiban untuk menuntun kedua mempelai memasuki hidup baru
berumah trangga yang banyak liku-likunya. Dalam pengertian yang
lain, motif batik tradisional dengan ragam hias Truntum merupakan
lambang cinta yang bersemi kembali. (Nian S. Djumena, 1986 : 57).

4).  Semen

Motif batik Semen mempunyai corak yang beraneka


ragam. Semen dari kata semi-semian, yang berarti berbagai macam
tumbuhan dan suluran. Pada motif ini sangat luas kemungkinannya
dipadukan dengan ornamen lainnya, antara lain: naga, burung, candi,
gunung, lidah api dan sawat atau sayap. Apabila ditinjau dan dirangkai
secara keseluruhan dalam bentuk motif Semen mempunyai makna
bahwa hidup manusia dikuasai (diwengku) oleh penguasa tertinggi.

Kehidupan berasal empat unsur yaitu: bumi, air, api, dan angin yang
memberikan watak dasar pada hidup itu sendiri. Bila jalan hidupnya
sesat, pada hidup yang akan datang berada di dunia bawah atau
lembah kesengsaraan. Sebaliknya jika jalan hidupnya penuh dengan
kebaikan akan masuk ke dunia atas (kemuliaan). Kesimpulan ornamen
penyusun motif Semen adalah bahwa hidup tidak mudah, sengsara
atau mulia tergantung dari perbuatan dan pengendalian hidup manusia
itu sendiri. Batik dengan ragam hias tumbuhan seperti motif Semen
Remeng, cirinya: latar belakang berwarna hitam. Batik Semen dengan
latar belakang putih disebut batik Semen latar putih. Remeng berarti
samar-samar dengan kata lain keadaan diantara terang dan gelap.
Maksud dari Semen Remeng adalah pemakai diharapkan mampu
melihat atau membedakan yang terang dan yang gelap atau yang baik
dan yang buruk (Depdikbud, 1995: 167).

Diantara motif-motif batik tradisional yang ada dan dipakai oleh


golongan masyarakat luas adalah motif  batik Semen Rama dan Ratu
Ratih. Motif ini merupakan simbolisasi istri yang baik, yang
melambangkan kesetiaan seorang istri kepada suami (Nian
S.Djumeno,1986:12). Apapun kedudukan seorang istri, di dalam
kehidupan rumah tangga yang menjadi kepala rumah tangga adalah
suami. Istri harus taat dan setia kepada norma yang ada dalam
kehidupan rumah tangga, tidak dibenarkan terlalu menuntut.

5).  Tambal

Motif batik Tambal sebagai simbolisasi wanita karier. Motif ini


dipakai oleh Ni Sedah Mirah sebagai busana kerja (jarik).Dia bekerka
sebagai pegawai pamong praja yang rajin,tertib,cekatan,disiplin,cerdas
dan selalu dapat menyelesaikan tuganya dengan baik. Motif batik ini
juga mempunyai makna menambah atau memperbaiki sesuatu yang
kurang. Kekurangan itu harus ditutup (ditambal). Ragam hias ini juga
mempunyai nilai mitos, yaitu dianggap dapat menolak bahaya dan
digunakan sebagai selimut orang yang sakit (Nian
S.Djumeno,1986:26). Dengan menggunakan motif ini, memberikan
sugesti kepada orang yang sakit supaya cepat sembuh.

6). Tritik
Motif ini dipakai oleh anak gadis kalangan Ningrat yang sudah tetesan
dan terapan tetapi belum dewasa (Nian S.Djumeno,1986:75). Dengan
memakai motif ini maka harus berhati-hati dalam mengarungi
kehidupan remaja dan bisa membawa diri dalam hidup pergaulan yang
penuh dengan liku-likunya, jangan sampai terpelosok ke dalam
pergaulan yang sesat.

7). Cindhe (Patola)

Motif ini dulu hanya boleh dimiliki dan dipakai oleh kalangan Ningrat
dan merupakan lambang kehidupan seseorang. Kain ini dianggap
sakral dan merupakan pusaka turun temurun (Nian
S.Djumeno,1990:104). Motif ini sekarang sudah tidak menjadi milik
Ningrat lagi, tetapi sudah menjadi milik masyarakat. Motif ini
biasanya  dipakai sebagai busana pengantin dengan dandanan paes
agen

8).  Udan Liris

Motif ini artinya hujan gerimis atau hujan rintik-rintik. Motif ini
tersusun atas :

1.                  Motif api, yang berarti kesaktian dan ambisi

2.                  Setengah kawung, menggambarkan sesuatu yang


berguna

3.                  Banji Sawat, melambangkan kebahagiaan dan kesuburan

4.                  Mlinjon, melambangkan salah satu unsur kehidupan


5.                  Tritis, melambangkan adanya ketabahan hati

6.                  Ada-ada, melambangkan adanya prakarsa

7.                  Untu Walang, melambangkan adanya kesinambungan

Dalam hal ini motif  batik Udan Liris diartikan sebagai pengharapan


agar si pemakai dapat selamat sejahtera, tabah, berprakarsa dalam
menunaikan kewajiban demi kepentingan nusa dan bangsa (Mari S.
Condronegoro,1995:21).

9).  Mega Mendhung

Motif ini berbentuk awan (mendhung) di langit sebagai pertanda akan


datangnya hujan. Oleh karena itu diberi warna biru tua untuk
menggambarkan awan gelap. Air adalah lambing kehidupan. Dalam
mitologi Hindu dikenal air amerta yang dapat memberi kehidupan dan
dapat menyebabkan hidup abadi (langgeng). Dalam penggambaran
mendhung yang biru tua, ada degradasi warna kea rah warna biru yang
cerah (biru muda) dengan harapan simbolik akan memperoleh
kehidpan yang cerah. (Timbul Haryono, 2008: 13).

10).  Kapal Kandas

Dilukiskan kapal-kapal yang kandas dengan binatang laut disekitarnya


dan burung yang terbang di udara diatasnya, seolah-olah tidak peduli
dengan musibah kapal-kapal tersebut. Hal ini bermakna bahwa
kegagalan dalam perjuangan mengarungi lautan kehidupan merupakan
hal yang biasa dialami oleh manusia, banyak teman senasip, namun
manusia harus tetap tegar bahkan tak boleh terlalu mengharapkan
pertolongan orang lain (Kushardjanti, 2008: 33).
c.       Warna Batik

Warna batik mempunyai arti simbolis, bahkan dianggap mempunyai


kekuatan magis dan sakral. Warna itu adalah :

1.      Warna coklat soga/merah

Warna coklat soga/merah termasuk warna hangat. Warna ini


berasosiasi dengan tipe pribadi yang hangat, terang, alami, bersahabat,
kebersamaan, tenang, sentosa, dan rendah hati. Menurut Magnis
Suseno (1984 : 133).

2.      Warna putih

Warna putih makna simboliknya adalah lambang kesucian, jujur,


bersih, spiritual, pemaaf, cinta, dan terang. Putih dalam arti yang
positif yaitu kesucian dan jujur merupakan karakter dari orang
maupun kelompok masyarakat yang yakin pada kebenaran yang
mutlak bahwa kebenaran hanya dapat dicapai apabila diawali dengan
kejujuran.

3.      Warna hitam (biru tua), Indigo

Warna ini bermakna keabadian, kesemprnaan, misteri, kegelapan,


kukuh, formal, keahlian. Secara positif, hitam berarti mencerminkan
kekukuhan dan keahlian. Sifat ini berarti manusia harus mempunyai
ketegasan dalam mengambil keputusan, kukuh dalam pendirian, dan
sanggup melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dengan
baik. Warna hitam dalam konotasi negatif berarti misteri dan
kegelapan.
4.      Warna kuning emas

adalah simbol ketentraman, dari segala sesuatu yang mengandung


makna Ke-Tuhanan (keagamaan) atau kebesaran.

5.      Warna kuning adalah simbol ketentraman.

6.      Warna merah melambangkan keberanian dan kegembiraan.

7.      Warna biru melambangkan kesetiaan.

8.      Warna hijau merupakan lambang ketentraman dan ramah


tamah, kesuburan, harapan.

9.      Warna ungu melambangkan keagungan.

10.  Warna orange melambangkan kegembiraan dan menarik.

11.  Warna coklat adalah lambang tunas (Budhy Raharja, 1986 : 40).

d.      Simbolisme dalam Ornamen

Menurut Sewan Susanto, ornamen utama dari motif batik tradisional


Yogyakarta yang mempunyai makna simbolis ialah :

“Meru melambangkan gunung atau tanah yang disebut juga bumi. Api


atau lidah api melambangkan nyala api yang disebut
juga agni atau geni. Ular atau naga melambangkan air
atau banyu disebut juga tirta (udhaka). Burung melambangkan angin
atau maruta. Garuda atau lar garuda melambangkan mahkota atau
penguasa tertinggi, yaitu penguasa jagad dan isinya (Sewan Susanto,
1980 : 212).”
  Unsur-unsur motif tersebut diatas menurut kepercayaan Jawa Kuno
menggambarkan kehidupan manusia yang berasal dari empat unsur
hidup, yaitu tanah, api, air, dan udara yang dikuasai oleh Penguasa
Tertinggi, yang tidak lain adalah Tuhan. Disamping ornamen utama
yang menggambarkan unsur-unsur kehidupan sangkan paraning
dumadi, juga mengandung ajaran-ajaran keutamaan. Melalui unsur-
unsur dasar kehidupan tersebut, manusia dapat mengembangkan dan
mengendalikan dirinya dengan segala kemungkinan tentang baik
buruk. Bahagia dan sengsara manusia itu tergantung bagaimana ia
dapat berbuat serta mengendalikan dirinya sendiri (Sewan Susanto,
1980 : 28).

1.      Ornamen Garuda

Burung garuda adalah sejenis burung rajawali raksasa yang gagah


perkasa, di dalam mitos merupakan makhluk khayal yang ajaib. Di
dalam ornamen motif kadang-kadang digambarkan bentuk badannya
seperti manusia, kepalanya seperti burung raksasa, dan mempunyai
sayap.

Garuda adalah suatu makhluk khayalan atau mitos yang


melambangkan sifat perkasa dan sakti.Kadang-kadang digambarkan
dengan bentuk dan badannya seperti manusia,kepalanya seperti
burung raksasa dan bersayap. Garuda juga gambaran kendaraan Dewa
Wisnu.Di dalam motif batik, ornamen garuda digambarkan sebagai
bentuk stilir dari burung garuda, suatu bentuk burung yang perkasa
seperti rajawali,tapi kadang-kadang juga distilirkan dengan burung
merak. Bentuk ornamen burung garuda digambarkan beberapa
macam,antara lain :

a.      Bentuk dengan dua sayap lengkap dengan ekor, seperti


gambaran burung merak-ngigel yang dilihat dari depan. Bentuk
semacam ini disebut pula  “sawat”.

b.      Bentuk garuda disusun dengan dua sayap. Bentuk semacam ini


disebut pula “mirong”.

c.       Garuda digambarkan dengan satu sayap. Bentuk ini seolah-olah


menggambarkan makhluk bersayap dari samping. Sebagai variasinya,
pada pangkal sayap digambarkan kepala burung atau kepala burung
raksasa atau bentuk yang lain. Bentuk sayap garuda dapat dibedakan
atas dua macam, yaitu sayap terbuka dan sayap tertutup. Ornamen
garuda dalam motif batik sangat terkenal, bahkan hampir menjadi ciri
umum dan  khas batik Indonesia berornamen garuda (Sewan Susanto,
1973 : 265).

Dalam perkembangannya, ornamen garuda mengalami banyak


perubahan dan sangat bervariasi. Seringkali dijumpai ornamennya
bukan lagi sebagai bentuk garuda, tetapi lebih menyerupai bentuk-
bentuk burung, binatang, atau tumbuhan yang lebih abstrak.

2.      Ornamen Meru

Meru merupakan gambaran gunung yang tampak dari sebelah


samping, biasanya digambarkan tiga buah gunung yang dirangkai
menjadi satu dan yang di tengah sebagai puncaknya.
Ornamen meru juga digambarkan dalam bentuk yang bermacam-
macam tergantung selera dan daerah pembatiknya. Kadang-kadang
ornamen meru digabungkan dengan bentuk ornamen tumbuh-
tumbuhan yang menjalar di bagian atas maupun di bawahnya,
sehingga hampir-hampir tidak tampak lagi ornamen aslinya. Dapat
juga berbentuk rangkaian tiga buah gunung dengan hiasan daun-
daunan di puncaknya, atau hanya sebuah gunung dengan variasi di
bagian sampingnya.

Dalam kebudayaan Jawa-Hindu, meru untuk melambangkan puncak


gunung yang tinggi, tempat bersemayamnya para dewa. Pada motif
batik, meru untuk menyimbolkan unsur tanah atau bumi dan
menggambarkan proses hidup tumbuh di atas tanah, proses hidup
tumbuh ini disebut “semi” (Jawa), dan hal yang
menggambarkan semi disebut semen. Maka motif batik yang tersusun
atas ornamen meru, timbuhan dan lain-lain disebut semen. Motif batik
secara turun temurun atau tradisi memiliki arti, apabila para pembuat
pola kurang memahami setiap ornamen, maka bentuk meru juga
mengalami perubahan-perubahan. Antara lain bentuk meru yang
digabung dengan bentuk tumbuhan (Sewan Susanto, 1973 : 261).

3.      Ornamen Lidah Api

Ornamen Lidah Api dalam motif batik biasanya digambarkan sebagai


deretan nyala api. Ornamen ini kadang-kadang untuk hiasan pinggir
atau batas antara bidang yang bermotif dengan bidang yang tidak
bermotif. Ornamen Lidah Api juga disebut
ornamen cemukiran atau modang. Bentuk lain bisa juga berupa
deretan ujung lidah api dan diantaranya membentuk
seperti blumbangan memanjang. Bentuk ornamen lidah api ditinjau
dari makna simboliknya berarti kesaktian atau ambisi.

4.      Ornamen Ular atau Naga

Naga atau ular besar di dalam mitos, mempunyai kekuatan yang luar
biasa dan sakti. Ornamen ini biasanya digambarkan dengan bentuk
kepala raksasa yang aneh memakai mahkota, badannya berupa ular
yang berkaki dan kadang-kadang bersayap. Bentuk lain berupa
gambaran dua buah ornamen naga yang disusun berhadapan atau
bertolak arah secara simetris. Ornamen naga juga merupakan bentuk-
bentuk khayalan dan banyak dijumpai pada motif batik Semen.

5.      Ornamen Burung

            Ornamen burung ini selain berfungsi sebagai ornamen utama,


juga dipakai sebagai pengisi bidang yang digambarkan seperti bentuk
burung kecil-kecil. Ornamen burung yang utama bentuknya seperti
burung merak berjengger dan sayapnya terbuka dengan bulu yang
tidak bergelombang. Dalam agama Hindu, burung merak dikenal
sebagai wahana dewa perang bernama Dewa Skanda dan Dewi
Parwati. Banyak arca Dewa Skanda digambarkan menunggang burung
merak. Seringkali orang keliru melihat arca Dewa Skanda itu
mengendarai burung unta, setelah diteliti burung berjambul itu adalah
lambang burung merak. Ragam hias burung merak sebagai lambang
kesucian dan dunia atas. Biasanya burung merak dalam ragam hias
pada batik ditampilkan dengan ekor yang mekar dengan bulu merapat
satu sama lain (Hamzuri, 2000 : 156). Dapat juga berbentuk seperti
burung phoenix dengan bulu ekor dan sayap panjang dan
bergelombang, kadang-kadang terdapat bulu di kepala
berbentuk jambul. Burung phonix hanya dikenal di Cina. Burung ini
dipandang sebagai burung surga, juga sebagai lambang dunia atas atau
langit. Bentuk lain berupa burung khayal dan aneh, misalnya : burung
dengan kepala naga, burung berkepala dua dan
mempunyai jengger atau bentuk burung yang badannya melingkar.
Ornamen burung banyak terdapat pada motif batik Semen tradisional.

e.       Fungsi Batik

1.      Busana

Batik sebagai busana harian,resmi dan adat. Berbicara masalah busana


adat, tidak akan lepas dengan batik. Menurut Melati Listyorini
(Kedaulatan Rakyat,1 Mei 2002), busana adat kaya akan makna
simbolik, berisi piwulang sinandhi dan kaya akan ajaran yang bernilai
luhur. Ajaran dalam busana ini merupakan ajaran untuk melakukan
segala sesuatu di dunia ini secara harmoni yang berkaitan dengan
aktivitas sehari-hari, baik dalam berhubungan dengan diri sendiri,
dengan sesama manusia, maupun dengan Tuhan Yang Maha Kuasa,
pencipta segala sesuatu  di muka bumi ini.

2.      Upacara adat/tradisi

Batik selalu ada dan dibutuhkan dalam kegiatan upacara adat/tradisi,


misalnya tradisi pernikahan. Di dalam tradisi ini dibutuhkan motif
batik yang sesuai dengan pandangan hidup masyarakat setempat
terkandung harapan bagaimana hidup bahagia, sejahtera dan selamat
di dunia dan akhirat.

3.         Interior

Interior yang menggunakan motif batik mempunyai pesona dan daya


tarik yang banyak diminati, baik di rumah pribadi, kantor maupun
hotel-hotel berbintang.

4.         Cenderamata

Berupa dompet, tas, kipas, pernik-pernik yang menjadi aset komoditas


ekonomi dan pariwisata.

C. Candi

   Candi merupakan peninggalan budaya Hindhu dan Budha. Relief-


relief yang dipahatkan pada arca-arca yang berdiri serta pola
penempatan bangunan juga berorientasi pada budaya Hindhu dan
Budha. Sebuah bangunan candi menarik bukan hanya disebabkan
candi merupakan bangunan keagamaan, melainkan mengandung nilai
estetis. Nilai ini dapat terlihat pada kehalusan serta keagungan seni
yang terpancar dari bentuk bangunan serta relief-relief yang melekat
atau terpahat pada bangunannya itu. Relief sebagai media visual
memiliki beberapa fungsi, antara lain : sebagai ungkapan historis,
filosofis dan edukatif. Fungsi historis dari suatu relief dapat
ditunjukkan dengan penggambaran candra sengkala, angka tahun
suatu pendirian bangunan,serta prasasti-prasasti. Fungsi filosofis suatu
relief antara lain dapat ditunjukkan lewat penggambaran obyek-obyek
yang secara keseluruhan memiliki makna filsafati yang dalam.
Sedangkan fungsi edukatif ditunjukkan dari arti filosofis
penggambaran relief yang berisikan tuntunan atau pendidikan moral
bagi kehidupan  manusia.  Banyaknya hiasan yang terdapat pada
bagian candi disesuaikan dengan tingkat ketertiban yang ada di alam
semesta. Pada bagian kaki candi, merupakan simbol dari kehidupan
alam nyata dipenuhi dengan bermacam-macam hiasan, tubuh candi
yang merupakan gambaran dari kehidupan alam roh hanya terdapat
sedikit hiasan, sedangkan pada atap candi yang merupakan simbol dari
alam dewata  hanya terdapat satu macam hiasan, yaitu hiasan mahkota
atau gentha.

Dalam bangunan candi, terdapat keindahan visual dan keindahan


simbolik.

Keindahan visual terdapat pada :

1. Pengaturan tinggi rendah bangunan

2. Pengaturan hiasan bidang

3. Pengaturan hiasan konstruktif

4. Area-area yang diatur secara selaras dan harmonis


Keindahan Simbolik : 

         Berisi makna simbolik dari relief-relief yang berguna bagi


kehidupan manusia ke arah kehidupan yang lebih baik.

          Ditinjau dari ukuran keindahan dalam estetika Hindhu, candi


memenuhi ke enam unsur keindahan, yang disebut dengan istilah Sad-
Angga. Ke enam unsur keindahan itu adalah :

1. Rupabedha, artinya perbedaan bentuk.

2. Sadresya, artinya kesamaan dalam hal penglihatan.

3. Pramana, artinya sesuai dengan ukuran yang tepat.

4. Warnikabhangga, artinya penguraian dan pembuatan perbedaan

     warna.

5. Bhawa, artinya keindahan daya pesona yang muncul  

             (Djelantik,1999: 195).

D. Seni Musik

Seni musik pada jaman dahulu lahir dengan hasrat orang pada waktu
itu ingin memiliki bahasa khas, yang berlainan dengan bahasa tutur,
untuk komunikasi dengan dunia supranatural, atau alam para arwah
leluhur. Kata-kata ini tepat karena sebagai seni yang berlainan dari
bahasa, musik ternyata mampu mengungkapkan pengalaman batin
yang tak mungkin dideskripsikan. Musik mampu menuntun orang ke
arah kebersamaan, atau komunikasi berbagai perasaan dan
pengalaman hidup, sehingga dapat disebut sebagai suatu bentuk
tingkah laku sosial dan mempersatukan kelompok lewat suatu cara
simbolik dan dapat diingat-ingat, sehingga dapat diulang-ulang dan
dirasakan bersama (Suhardjo Parto, 1983:11).

Menurut Ki Ageng Suryamentaram, seni musik mempunyai pengaruh


untuk memperhalus budi pekerti manusia. Seni musik dapat dibedakan
menjadi :

1.      Lagu-lagu rendah misalnya lagu yang berirama marah,dan jorok.

2.      Lagu-lagu sedang, misalnya lagu yang bernuansa gembira, susah


dan ngelangut.

3.      Lagu-lagu luhur, yaitu lagu-lagu cinta alam, Tuhan dan hidup


yang baik.

Musik tradisional di Indonesia sebagian besar alatnya dimainkan


dengan dipukul (musik perkusi). Hanya beberapa alat saja yang cara
memainkannya dengan ditiup.

E. Wayang

Wayang mempunyai fungsi sebagai tontonan dan tuntunan, yang di


dalamnya terdapat "keindahan bentuk" dan "keindahan isi". Macam-
macam wayang dianrtaranya :
a. wayang kulit/purwo

b. wayang golek

c.wayang klitik

d. wayang orang

e. wayang topeng

f.  wayang beber

g. wayang ukur

Wayang kulit dalam arti lahir sebagai tontonan, dapat menjadi wayang
purwo dalam arti bathin, yang berisi tuntunan. Hal ini dibedakan
karena fungsi kelir sebagai latar depan atau sebagai latar belakang.

Wayang kulit dalam artian lahir yaitu kulit yang diprada dengan
warna-warni. Kelir merupakan tempat Dalang dan menjadi latar
belakang boneka kulit yang warna-warni itu dan menjadi tontonan di
siang hari serta penonton bebas berkomentar.

Wayang Purwa dalam artian bathin merupakan tontonan dan tuntunan.


Kelir menjadi latar depan yang transparan dan menjadikan wayang
kulit menjadi bayang-bayang kehidupan. Dalang dan wayang ada di
balik kelir.Kelir diibaratkan sebagai hati nurani rakyat, yang perlu
didengar dan ditanggapi secara positip.

Salah satu senjata yang ampuh dalam dunia pewayangan adalah


:Layang Kalimasada merupakan Serat (tulisan) yang sakti dan
disakralkan. Dalam lakon Baratayudha, Pandhawa yang memiliki
layang Kalimasada (mungkin Kalimah Syahadat (dan disimpan di
Udheng Prabu Darmo Kusumo.

F. Seni Tari

Hakekat seni tari adalah gerak, dan gerak itu ditempatkan   pada


perspektif yang luas sebagai salah satu aspek kebudayaan.

Menurut John Martin, seorang ahli tari dari Amerika memberikan


tekanan bahwa gerak betul-betul merupakan substansi baku dari tari
(Soedarsono, 1972:2). Gerak adalah pengalaman fisik yang paling
elementer dan pengalaman emosional dari kehidupan manusia. Seni
tari pada dasarnya merupakan ekspresi jiwa manusia yang diwujudkan
dalam gerak-gerak yang ritmis.

Kamaladevi, seorang ahli tari dari India berpendapat bahwa seni tari
berlandaskan pada insting manusia, dan materi dasar dari tari adalah
gerak dan ritme. Tari dapat dikatakan sebagai insting, suatu desakan
emosi di dalam diri kita yang mendorong kita untuk berekspresi yaitu
gerakan-gerakan luar yang ritmis dan lama-kelamaan nampak
mengarah kepada bentuk-bentuk tertentu (Iyus Rusliana, 1986:10).
Sedangkam menurut Soedarsono, ahli tari Indonesia, mendefinisikan
tari adalah ekspresi jiwa manusia melalui gerak-gerak ritmis yang
indah (Soedarsono, 1972:4). Dalam definisi ini, Soedarsono memakai
gerak dan ritme sebagai substansi dasar, tetapi gerak-gerak itu
bukanlah tari apabila gerak-gerak itu adalah gerak-gerak sehari-hari
atau natural. Gerak-gerak ritmis itu distilir supaya indah.Istilah indah
bukan hanya berarti bagus, tetapi dapat memberi kepuasan kepada
orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa gerak-gerak ritmis yang
indah itu merupakan pancaran jiwa manusia.

Di dalam tari Jawa, tari mempunyai tiga unsur pokok yang saling
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, yaitu :

1.      Wiraga, yakni keseluruhan gerak tubuh yang diperhalus dan


diperindah ,sehingga merupakan bentukkan tari tertentu.

2.      Wirama, yakni wiraga tari tersebut diiringi suara gamelan atau


musik dan tersusun menurut ragam irama lagu gendhing.

3.      Wirasa, artinya wiraga yang berirama dan mengandung arti,


maksud dan rasa tertentu, yang diungkapkan secara simbolik atau
perlambang.

Dilihat dari fungsinya, tari digolongkan menjadi :

1.      Tri upacara, misalnya tari Kecak, tari Bedhaya Ketawang

2.      Tari sosial/tari pergaulan, misalnya tari Poco-poco. 

3.      Tari tontonan, misalnya saja tari Gambyong.

Dilihat dari penggarapannya, tari dibedakan menjadi :

1.      Tari tradisonal, yaitu seni tari yang mempunyai sifat turun-


temurun dan mempunyai sifat tetap.
2.      Tari klasik, yaitu seni tari yang sudah ada di puncak
kesempurnaan dalam pola gerak seni tari tradisional.

3.      Tari kreasi baru, yaitu seni tari yang mempunyai sifat bebas
dalam berkreasi dan memadukan gerak-gerak tari tradisional dan tari
klasik dengan irama musik yang bebas pula.

G. Upacara Adat

     Di Indonesia adat di tiap-tiap daerah tidak sama. Hal ini


disebabkan kebudayaan dan sifat-sifat dari tiap-tiap kelompok
masyarakat tersebut berbeda-beda. Adat senantiasa tumbuh dari suatu
kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup yang keseluruhannya
merupakan kebudayaan masyarakat tempat adat itu berlaku. Dalam
hal ini tidak mungkin dibuat suatu adat yang baru, bila adat tersebut
bertentangan dengan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.

Menurut FD. Hellman, adat di Indonesia mempunyai 4 sifat umum


yang merupakan satu kesatuan,yaitu :

a)      Sifat religio magis (magisch-religiuos) yang merupakan


pembulatan atau pembedaan kata yang mendukung unsur beberapa
sifat atau cara berfikir seperti frelogika, animisme, ilmu gaib dan lain-
lain.

b)      Sifat komun (commun) artinya sifat yang mendahulukan


kepentingan umum daripada kepentingan sendiri.

c)      Sifat konstan (constant) yaitu prestasi dan kontraprestasi,


dilakukan sekaligus bersama-sama pada waktu itu juga.
d)     Sifat-sifat konkret (visual). Pada umumnya masyarakat Indonesia
kalau mengadakan (melakukan) perbuatan hukum itu selalu konkret
(nyata)  (Imam Sudiyat, 1982:30-33).

Upacara adat mempunyai :

1.  Nilai estetis dan simbolis

2.  Berlatar belakang kepercayaan agama

Misalnya upacara adat pernikahan menurut agama Islam.Secara


agama sahnya pernikahan adalah proses ijab-kabul.Secara adat,pesta
walimahan tiap daerah dan suku bangsa mempunyai tradisi yang
berbeda.Kegiatan ritual itu tujuannya semuanya sama ,yaitu agar nanti
menjadi keluarga bahagia ,lahir dan bathin.

3.3.3 Fungsi Estetika

Di zaman modern, perkembangan seni semakin tidak dapat


di pisahkan dari kehidupan manusia. Pada seni yang berdaya guna dalam
kehidupan mereka, bahkan seni menduduki fungsi-fungsi tertentu
dalam kehidupan manusia. Nilai dapat di bedakan atas dua macam
yaitu nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik ialah nilai
yang di kejar manusia demi sesuatu tujuan yang ada di luar
kegiatananya, sedangakan nilai instrinsik yaitu nilai yang di kejar
manusia dari nilai itu sendiri karena keberhargaan, keunggualan
atau kebaikan yang terdapat pada seni itu sendiri.

2. Fungsi Kerohanian (Spiritual)

Seni di pandang memiliki fungsi kerohanian (spiritual)


karena banyak dimanfaatkan sebagai media bagi manusia untuk
mendekatkan diri denagn sang pencipta. Fungsi ini tampaknya
yang tertua dan pokok dari seni yang bercorak spiritual.
Misalnya seperti membaca Al-Quran, kaligrafi, nyanyian
rohani, arsitektur Masjid dll. Karl Barth berpendapat bahwa
sumber keindahan adalah Tuhan. Agama sering dijadikan juga
sebagai salah satu sumber inspirasi seni yang berfungsi untuk
kepentingan keagamaan. Pengalaman-pengalaman religi
tersebut tergambarkan dalam bentuk nilai estetika. Banyak
media yang mereka pergunakan. Ada yang memakai suara,
gerak, visual dsb. Contoh: Kaligrafi arab, makam, relief candi,
gereja dsb.

3. Fungsi Kesenangan

Seni di pandang memiliki fungsi kesenangan hanya untuk


kesenangan yaitu hiburan (peluapan emosi yang menyenangakan).
Seorang seniaman akan akan terhibur ketika berkarya dan akan
lebih merasa terhibur jika karyanya dinyatakan berhasil.
Demikian seseorang akan merasa terhibur jika mendengarkan
musik, film yang bagus, lukisan yang menyentuh perasaan. Dan
semuanya kembali kepada sejaauh mana apresiasi seseorang
terhadap karya seni.

4. Funsi Pendidikan

 Seni di pandang memiliki fungsi pendidikan karena dapat


meningkat potensialitas manusia seperti keterampilan,
kreatifitas, emosionalitas dan sensibilitas (kepekaan). Beberapa
seni lukis misalnya dapat meningkatkan keterampilan tangan
ketajaman penglihatan, daya khayal sehingga menjadi lebih
kreatif. Peningkatan karya seni dapat mengasah perasaan
sesseorang sehingga menjadi lebih sensitif, sensibilitasnya
meningkat, serta penyerapan panca inderanya lebih lengkap,
upaya pendidikan yang sudah umum di lakukan agar
menyenangkan dalam seni contohnya seperti drama yang di
aplikasikan dalam pelajaran sejarah, menyanyi dan bermain
musik. Sedangakan pendidikan nonformal dapat dilakukan oleh
pemerintah melalui film, lagu, atau wayang.

Pendidikan dalam arti luas dimengerti sebagai suatu


kondisi tertentu yang memungkinkan terjadinya transformasi
dan kegiatan sehingga mengakibatkan seseorang mengalami
suatu kondisi tertentu yang lebih maju. Dalam sebuah
pertunjukan seni orang sering mendapatkan pendidikan secara
tidak langsung karena di dalam setiap karya seni pasti ada
pesan/makna yang sampaikan. Disadari atau tidak rangsangan-
rangsangan yang ditimbulkan oleh seni merupakan alat
pendidikan bagi seseorang. Seni bermanfaat untuk membimbing
dan mendidik mental dan tingkah laku seseorang supaya
berubah kepada kondisi yang lebih baik-maju dari sebelumnya.
Disinilah seni harus disadari menumbukan pengalaman estetika
dan etika.

5. Fungsi Komunikatif

Seni di pandang memiliki fungsi komunikatif karena


dapat menghubungkan pikiran seseorang dengan orang lain.
Orang usia lanjut dan orang muda dapat bertemu melalui seni.
Pria dan wanita dapat berhubungan pada landasan yang sama
berupa karya seni bahkan orang-orang (seniman) yang hidup
berabad-abad yang lampau dan di tempat yang ribuan
kilometerr jauhnya dapat berkomunikasi dengan orang-orang
sekarang melalui karya seni yang di tinggalkan.

3.3.4 Bentuk Estetika Menurut Budaya

Bentuk Estetika Menurut Budaya


Sebelum perkembangan teknologi seperti saat ini, selera estetika tiap
orang umumnya dibatasi sesuai budaya yang berkembang di
daerah/bangsanya. Kini, selera estetika kita banyak terkait dengan apa
yang terlihat di media internet, cetak, atau elektronik. Seperti apa
bentuk estetika yang dulu berkembang menurut budaya? Berikut
pandangan estetika yang berkembang dari budaya di berbagai belahan
dunia.

1. Estetika ala Yunani Kuno

Bentuk estetika ini bahkan masih mempengaruhi selera kita


hingga saat ini, terutama di peradaban barat. Di Yunani kuno,
estetika sangat terkait dengan anatomi yang proporsional. Plato,
salah satu filsuf terkenal dari Yunani, percaya bahwa sebuah
yang indah sangat terkait dengan proporsi, harmoni, dan
kesatuan pada objek yang diamati.

2. Estetika India

Seni di India berkembang karena kepercayaan spiritual yang


terwakili melalui simbol. Budaya India pada jaman tersebut
menganut falsafah ‘Satyam Shivam Sundaram’ dimana
‘Sundaram’ bermakna sebagai nilai keindahan. Konsep utama
dari estetika pada budaya india sangat terkait pada rasa. Rasa
merupakan perasaan kenikmatan yang muncul dari penyusunan
yang tepat dan kualitas dari materi penyusun. Konsep ini lebih
subjektif karena bergantung pada preferensi masing-masing
orang, berbeda dengan konsep estetika Yunani yang melihat
estetika berdasarkan proporsi ideal.
3. Estetika Cina

Bentuk estetika di Cina masih mendapatkan perdebatan antara


Confucius dan Mozi. Menurut Confucius, seni merupakan objek
membawa kita kembali merasa sebagai manusia. Sementara
Mozi menganggap musik dan seni murni hanyalah
menguntungkan pihak yang kaya. Pada perkembangannya,
estetika di Cina cukup dipengaruhi oleh agama dan filsafat meski
tidak pernah berlaku universal.
4. Estetika Afrika

Estetika di Afrika sangat mengikuti norma tradisi yang berlaku.


Mereka telah menghargai seni pahat dan pertunjukan jauh
sebelum muncul di tradisi Barat. Selera estetika di Afrika juga
unik dan sulit dijumpai di area selain Afrika.

5. Estetika Arab

Estetika di Arab mulai berkembang pesat sejak masuknya Islam,


meski tidak seluru seniman Arab pada masa itu menganut Islam.
Islam sangat mempengaruhi pandangan estetika dimana karya
yang dihasilkan sangat berpatokan aturan yang berlaku menurut
syariah islam. Karya seni arab sangat terkait dengan bentuk yang
bersifat abstrak yang jarang menampilkan wujud manusia. Pada
budaya Arab, estetika memiliki kaitan erat dengan posisi,
ukuran, dan ketebalan. Hal ini tercermin pada kreasi karikatur,
lukisan, dan objek literatur yang dihasilkan dari jazirah arab.

6. Estetika Eropa Abad Pertengahan

Estetika pada era abad pertengahan di Eropa dipengaruhi oleh


kombinasi pandangan filosofi dan gereja. Salah satu pandangan
tentang estetika yang terkenal di Eropa berasal dari Thomas
Aquinas melalui tiga karakter utama yaitu: integritas sive
perfectio (kemurnian atau kesempurnaan), consonantia sive
debita proportio (harmoni atau proporsi), dan claritas sive
splendor formae (kejelasan atau kecerahan dalam bentuk).
Pandangan estetika ini masih digunakan hingga kini, meski
mulai tergeser seiring dengan datangnya era renaissance.
Bentuk Estetika di Era Teknologi Digital
Estetika kini tak hanya menjadi kajian bagi filsafat atau seni.
Psikologi, matematika, dan ilmu pengetahuan alam (fisika, kimia, dan
matematika) kini juga mengeksplorasi pengaruh estetika pada manusia
dan alam. Meski begitu, pandangan tentang filosofi juga terus dikaji
dan diformulasikan.

Guy Sircello, filsuf yang menjadi pionir di bidang filsafat analitis,


merupakan salah seorang filsuf yang mengembangkan teori tentang
estetika di era modern. Menurut Sircello, estetika merupakan konsep
yang berfokus pada keindahan, cinta, dan keagungan. Bahkan menurut
Sircello, estetika sebenarnya sangat terkait dengan cinta sebagai dasar
dari parameter estetika.

Mirip dengan pandangan dari Sircello, Gregory Loewen juga berteori


bahwa kunci dari estetika adalah interaksi antara subjek dengan objek.
Karya seni itu seperti media untuk menyampaikan identitas manusia
ke dalam objek duniawi. Sehingga manusia, sebagai subjek yang
dimaksud, merupakan bagian yang jauh lebih besar dibanding
keberadaan mereka sendiri dalam objek estetika.

Meski pandangan tentang estetika masih diperdebatkan, estetika


ternyata mengundang ketertarikan ilmuwan untuk meneliti
pengaruhnya pada manusia dan alam. Misalnya Jürgen Schmidhuber
yang pada tahun 1990-an membuat teori algoritma tentang keindahan
yang berdasarkan subjektivitas dari objek yang diamati. Hasil
temuannya sangat terkait dengan prinsip algoritma teori informasi dan
panjang deskripsi minimum. Salah satunya contohnya: ilmuwan
matematika lebih menikmati bukti sederhana dengan penjelasan
singkat menggunakan bahasa yang formal. Teori Schmidhuber ini
memisahkan apa yang dimaksud indah dan apa yang dimaksud
menarik. Yang menarik, prinsip ini ternyata dapat diterapkan pada
bidang artificial intelligent terkait dengan perancangan artificial
curiosity untuk melihat apa yang sebenarnya disukai manusia.
Tak hanya itu, bidang matematika pun kini telah melihat estetika
untuk digunakan pada analisis teoretikal. Konsep estetika seperti
simetri, kesederhanaan, dan kebenaran kini ikut terlibat pada
pengembangan pemikiran matematika.

Perkembangan pemikiran estetika pada bidang matematika ternyata


ikut mempengaruhi bidang komputasi. Ilmuwan komputer kini juga
tertarik mengembangkan metode deteksi kualitas estetika pada gambar
secara otomatis. Upaya serupa juga dilakukan pada catur dan musik.

Akankah perdebatan estetika malah dijawab oleh teknologi yang


mampu mempelajari manusia? Atau jaman akan terus berubah dan
selalu muncul definisi keindahan baru yang tercipta melalui interaksi
manusia dengan lingkungannya? Siapa yang tahu.

3.3.5 Estetika Timur

A. Estetika India

    1. Natyasastra : 

Natyasastra merupakan karya sastra pertama tentang Estetika di India


yang ditulis pada abad ke-VI oleh Bharata, yaitu merupakan kitab
tentang pentas dan memandang seni drama sebagai seni yang bermutu
tinggi.Disini diuraikan tentang , "rasa" lahir dari manunggalnya situasi
yang ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para
pelakunya yang senantiasa berubah (Agus Sachari,1989:27).

Rasa dalam bahasa Sanskerta dinamakan "bhava"yang jumlahnya


menurut kitab Natyasastra  ada delapan yaitu emosi senang,
kegembiraan, kesedihan, kemurkaan, kebulatan tekad, ketakutan,
kebencian dan emosi kagum. Inilah delapan keadaan jiwa yang pokok
dan baku, yang tertera dalam jiwa manusia dan sewaktu-waktu dapat
tumbuh dan disadarinya. Kedelapan  bhava ini tidak selalu nampak
dalam keadaan yang murni tetapi sering tercampur, saling
berhubungan dan bersifat sementara.

Dalam estetika India masalah "rasa" juga dibahas oleh;    

a)      Batta Lollata (abad ke 9); "rasa",merupakan tingkat


spiritual,yang ditingkatkan sampai ketitik   puncak tertinggi ,yang
sebanding dengan situasi yang direpretansentasikan,reaksi-reaksi
siaktor dan lain-lain.

b)      Sankuka; "rasa bukanlah tingkat spiritual yang ditingkatkan


ketitik puncak tertinggi, tetapi "rasa" adalah suatu duplikasi dari suatu
tingkat spiritual ,yang ditarik oleh penonton dari pertunjukan itu, dari
tingkah laku si aktor, dan selanjutnya.pengertian tentang imitasi
keadaan spirituil yang dinamakan sebagai "rasa"oleh penonton, bagi
Sankuka adalah lain dari semua bentuk kesadaran. Seekor kuda yang
diimitasi oleh seorangpelukis kataya, bagi yang melihatnya tampak
bukan asli dan bukan palsu, sekedar sebagai image, dan setiap
penilaian baik tentang realitasnya atau tentang tidak realitasnya, sama
sekali tidak dapat diterima.

c)      Batta Nayaka, "rasa"bukannnya berada pada intensifikasi atau


imitasi keadaan spiritual, ia tumbuh dari kenyataan, bahwa di dalam
pengalaman-pengalaman estetika, realita tidak dipandang ada
hubungannya dengan segala bentuk dari ego, tetapi telah di
"awamkan" dengan kata lain, drama yang dipergelarkan atau puisi
yang sedang di deklamasikan, mempunyayi kemampuan
untukmembangkitkan didalam diri penonton, dalam satu saat tertentu ,
sesuatu yang melampaui egonya sendiri atau melampaui perhatian-
perhatian praktisnya yang didalam kehidupan sehari-hari disebut
dengan "suatu lapisan tebal dari kebabalan mental" dari yang
membatasi dan meredepkan kesadarannya.

     2. Silpa sastra : 

Pedoman seniman dalam berkarya. Karya sastra dinilai berkualitas


dan indah apabila mematuhi aturan yang ada dalam silpa sastra.

Kecintaan terhadap alam merupakan unsur yang memberikan inspirasi


bagi seniman untuk berkarya .Seniman dalam menciptakan hasil karya
seninya ,bersifat naturalis dan bernuansa religi, yang tidak realistis,
yang menggambarkan bentuk kesempurnaan dari bentuk alam.

Misalnya  :  Dewa Durga mempunyai 10 tangan.

                 :  Dewa Siwa mempunyai 4 kepala.

Pengalaman Estetis

Menurut Sankuka yang hidup pada abad ke 10, berpendapat bahwa


pengalaman estetis berada di luar bidang kebenaran dan ketidak
benaran. Pendapat ini jika dibandingkan dengan pemikiran estetika di
Barat, mirip dengan pendapat Immanuel Kant. Pendapat Sankuka ini
dikritik oleh Abhinavagupta, yang menyatakan bahwa bila hidup
nyata ditiru, efeknya bukan kenikmatan estetik, tetapi suatu kelucuan
belaka.

Bhatta Nayaka berpendapat bahwa pengalam estetik adalah semacam


jatuhnya wahyu, artinya bahwa dengan menerima wahyu berarti
kebekuan rohani kita tersingkirkan, sehingga kita dapat melihat
kenyataan dengan suatu cakrawala yang meluas. Menurut Nayaka,
hakekat rasa bukanlah menirunya, melainkan melepaskan kenyataan
dari keterikatan ego seseorang dan menjadikannya pengalaman umum.
Lewat penglaman estetika rasa yang diwahyukan itu bukan
persepsi  akal budi, melainkan suatu pengalaman yang penuh
kebahagiaan, akhirnya kesadaran pribadi melenyap, maka ia akan
sampai pada Brahma Tertinggi (Agus Sachari,1989:29).

Menurut teori Sankkya, seniman harus dapat : 

1).  Mencipta kemiripan/ekspresi

2).  Mengekspresikan jiwa manusia yang menjadi idealnya

Tugas seorang seniman harus dapat mengungkapkan ekspresi


kejiwaan.

B. Estetika Tiongkok

Estetika Tiongkok dilandasi oleh kepercayaan :  Taoisme, Budhisme,


dan Konfusianisme. Dalam kepercayaan Taoisme mengajarkan
hubungan antara manusia dan alam semesta. Budhisme mengajarkan
bagaimana hubungan antara  manusia dengan yang mutlak, dan
Konfusianisme mengajarkan hubungan antara manusia dengan
masyarakat. Berdasarkan kepercayaan ini konsep estetika Tiongkok
bersifat naturalisme. Segala sesuatu harus bercermin pada alam,
termasuk hukum-hukumnya.

Tao  :  prinsip absolut yang menjadi sumber semua nilai-nilai dan


kehidupan. Tao berarti sinar terang dan sumber segala yang
sensasional. Manusia dianggap sempurna jika hidupnya diterangi oleh
Tao. Tao adalah kemutlakkan , sesuatu yang memberikan keberadaan,
kehidupan dan gerak serta membuat sesuatu serba tertib dan damai
(Agus Sachari,1989:21).

Seniman 

Seniman harus dapat menangkap Tao (roh yang tersembunyi di


dalamnya) dan menampilkannya lewat karya seni. Untuk dapat
menampilkan karya seni yang baik, inderanya harus disucikan.

Menurut Hsieh Ho, yang hidup di akhir abad ke-V Masehi, ada 6
prinsip dasar bagi seniman.

1.      Dapat menangkap gema spiritual dalam barang-barang dan


menampilkan hidup dan geraknya dalam karya-karyanya.

2.      Seniman harus dapat menangkap ch'I (ekspresi gerak hidup).

3.      Menempatkan "alam nyata" sebagai titik pangkal.

4.      Keselarasan dalam warna-warna.

5.      Perencanaan matang dalam pembuatan karya seni.


6.      Meneruskan pengalaman seniman kepada si pengamat dalam
rangka pendidikan dan penerusan nilai-nilai budaya (Dick Hartoko,
1984: 73-75)

Para seniman tradisional di Cina (Tiongkok) kebanyakan pelukis dan


sastrawan. Ia mempunyai kedudukan dan kewibawaan yang besar di
masyarakat dan berdaulat penuh terhadap hasil karya seninya. Ia juga
mengembangkan seni kaligrafi kearah seni lukis dengan rasa cinta
terhadap alam. Unsur-unsur utama estetika cina dalam seni rupa
adalah:

1.      kebebasan dan kedaulatan. Tidak tergantung dari kemauan atau


selera orang lain, selera pemesan.

2.      Perfeksi (penyempurnaan wujud). Bakat dan tenaga sepenuhnya


diarahkan kepada hasil pekerjaan yang sesempurna mungkin.

3.      Cinta alam. Selalu diusahakan agar jiwa seniman bersatu dengan


alam dilingkungannya dalam rasa cinta yang intensif.

     Keramik di jaman dinasti Han terbuat dari jenis tanah kaolin, yang
berbentuk:

1.      Bejana  : sebagai tempat untuk abu jenazah,air suci dan ada yang
khusus untuk hiasan                           

2.      Kaligrafi Cina  :  merupakan seni nasional pada dinasti Chou.


Pada jaman ini keramik menjadi berkurang nilai religiusnya. Pada
jaman dinasti Ch'ng, pada abad ke-XVII seni merupakan bagian hidup
manusia, tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kejiwaan, dinamisme
kreatif yang memanivestasikan keaktifan-keaktifan tidak permanen
dari Tao.

Seni lukis, ukiran, sastra, sulam menyulam, arsitektur tradisional,


merupakan bagian hidup para biarawan, seniman dan bangsawan.

Etika dan estetika selalu berkaitan dan merupakan subyek dari


peraturan-peraturan konstan dalam kehidupan yang bersifat alami.
Dalam tahun 1924, Kaisar Ts'ai Yuan Pei (1867-1940) didalam
bukunya berjudul "Elemen Filsafat" (Chih Hsuah Kangyao) ,
menyodorkan sebuah teori tentang seni sebagai suatu substitusi
agama. Pertanyaannya, apakah tak mungkin bagi seseorang yang telah
menyingkirkan diri dari agama, pada akhirnya dia akan menemukan
suatu kenikmatan hidup dari kesenangan kepada keindahan?
Pertanyaan ini dijawab oleh Hsú Ching-yu, dalam bukunya yang
berjudul "Filsafat tentang yang indah" ( Mei-ti chih- hsueh).

Menurut Fung Tung Sien, memandang seni sebagai jiwa manusia


hidup dan sebagai manivestasi kemajuan manusia menuju dunia yang
lebih sempurna, lebih baik dan  lebih indah. 

Jadi pemikiran-pemikiran estetika cina dari dulu sampai saat ini tetap
tunduk dan taan kepada ide-ide kuno yang meminta kepada seni untuk
merefleksikan transendentasi jiwa dan mengungkapkan tuntutan-
tuntutan yang lebih tinggi dari jiwa (Abdul Kadir, 1974: 43-44)
C. Estetika Jepang

Konsep estetika Jepang adalah merupakan perpaduan antara tradisi,


kepercayaan dan alam. Ketiga hal ini hidup, tumbuh dan berkembang
sejak zaman dahulu sampai sekarang. Titik tolak estetika Jepang
adalah alam. Mereka mempunyai keyakinan bahwa fenomena-
fenomena alam sehari-hari seperti matahati, bulan, gunung, air terjun
dan pepohonan diyakini mempunyai roh atau "kami". Alam
merupakan tempat para pendekar menimba semangat perang dan alam
pulalah yang menginspirasikan seseorang untuk memperoleh
semangat dan makna hidup. Agama/kepercayaan di Jepang adalah
Shinto dan Budha yang mengajarkan agar manusia dekat dengan alam.
Menurut kepecayaan Shinto, alam ini dianggap penuh dengan roh
nenek moyang, sehingga ada suatu kewajiban untuk memelihara
kelestarian dan keselarasan dengan alam. Hal ini dibuktikan dengan
kecintaan yang dalam pada alam dan pemahaman akan perubahan
pada gejala musim yang selalu berganti. Kebudayaan menikmati alam
dikenal dengan nama "furyu" . Mereka yang tidak mempunyai naluri
furyu digolongkan sebagai orang yang sangat tidak berbudaya. Naluri
ini tidak hanya bersifat estetis, tetapi juga mengandung makna
religius.

Kepercayaan Budha berkembang di Jepang dengan ciri yang khusus,


dikenal dengan kepercayaan Zen Budha. Zen Budha ini menghasilkan
suatu adat istiadat (tradisi) Jepang yang khusus yaitu "upacara minum
teh" dan dianggap sakral, sejajar dengan upacara keagamaan.
Pengaruh Budhisme yang lain adalah "ketidaksimetrisan"
yang  menjadi unsur yang memberi guratan dalam estetika Jepang .
Seniman Jepang secara naluri tidak menyukai simetris yang itu-itu
saja dan sedapat mungkin menghindari keteraturan. Simetri dipandang
menimbulkan kejenuhan dan kekakuan. Oleh karena itu seniman
Jepang menembusnya dengan gaya konvensional yang dapat
menerobos kekakuan dengan sentuhan warna yang lembut dan halus.
Pengaruh Zen Budha dalam bidang militer memungkinkan tinbulnya
kelompok baru yang dinamai "Samurai", dengan semangat Bushido.
Golongan Samurai ini dilambangkan sebagai bunga Sakura (bunga
yang dianggap terindah di Jepang) yang rela mati untuk mengabdi
pada raja ( tuannya) walaupun di usia muda.

Hasil karya seni di Jepang bersifat naturalis (mencotoh alam), karena


itu bangsa Jepang ingin selalu dekat, hidup selaras dan serasi dengan
alam.

Konsep estetika dalam kehampaan dan asimitris:

1.      Kehampaan (kekosongan)

konsep estetika di Jepang dapat dilihat dari sudut perbandingan Barat


dan Timur mengenai kehampaan. Salah satu dasar pemikiran Barat
ialah bahwa yang kosong  (hampa) dianggap tidak menarik.  Hanya
yang "berisi' atau "penuh' yang menarik. Kehampaan (kekosongan)
dianggap bisa menampilkan sesuatu. Kekosongan itu dapat diisi
informasi yang lain, dan mungkin lebih dari itu, tidak hanya sekedar
informasi. Kekosongan (kehampaan) bersifat positif dan dinamis.
Estetika Timur bagaimanapun juga menganggap bahwa keindahan itu
mempunyai arti memiliki sesuatu yang menarik perhatian. Misalnya
dalam hal merangkai bunga Ikebana, ruang kosong diantara tangkai-
tangkai atau rantin-ranting mempertegas ruang dari tangkai atau
ranting yang terisi. Hal demikian itu, merupakan kombinasi atau
gabungan yang terisi penuh dan kosong atau hampa yang akan
menciptakan pengalaman estetis. Seni merangkai bungan Ikebana
merupakan simbolisasi hubungan antara Ten, Chi dan Jin (alam, bumi
dan manusia) yang harmonis.

2.      Asimitris

Asimitris menjadi unsur yang menjadi guratan mendalam dalam


estetika Jepang, hasil pengaruh dari Budhisme. Dalam kuil-kuil Budha
yang terdiri dari beberapa bangunan atau wisma dapat ditari sebuah
garis lurus antara wisma Dharma, wisma Budha, dan Pintu Gerbang,
yang biasa diistilahkan dengan Gerbang Gunung, dan di sekitar tiga
bangunan itu ada beberapa bangunan yang tidak diatur secara
asimetris. Asimetris juga terdapat dalam ruangan tempat upacara
minum teh berlangsung dan dalam taman yang nyata dalam batu-
batuan untuk jalan setapak (Muji Sutrisno dan Chist Verhaak, 1993)

Seniman Jepang secara naluri tidak menyukai simetris dan sedapat


mungkin menghindari keteraturan. Simetris dipandang menimbulkan
kejunehan dan kekakuan. Oleh karena itu, seniman menmbusnya
dengan gaya konvensional (asimetris)  yang dianggap dapat
menerobos kekakuan.
Masuknya aliran Zen dari Budhisme ke Jepang pada akhir abad ke-11
terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan kepribadian masyarakat
setempat. Zennisme yang lebih cocok dengan kepribadian rakyat
Jepang membangkitkan kecenderungan masyarakat kembali ke agama
aslinya, yakni Shinto. Pada tahun 1868, Shinto dijadikan agama resmi
Jepang. Tanpa meninggalkan Budhisme, kebudayaan Jepang menjadi
perkawinan antara agama Buda dan Shinto disebut "Ryobo-Shinto"
yang mengandung pengaruh besar dari aliran Zen. Berdasarkan
Sintese ini berkembanglah esteika Jepang yang sampai dengan masa
industrialisasi modern masih sangat menonjolkan ciri khasnya, yaitu:

a)      Kesederhanaan (pengaruh Budha). Perwujudan agar sepolos


mungkin, tidak banyak perhiasan. Kepribadian Jepang mencar
kesungguhan dan kebenaran dengan kehidupan dalam kesederhanaan.

b)      Disiplin yang keras pada dirinya sendiri (pengaruh Shinto).


Disiplin yang sangat menonjol dalam kehidupansehari-hari, menyerap
dalam perwujudan kesenian, hingga merupakan unsur estetik yang
khas Jepang yait disiplin dalam goresan dan disiplin dalam
kesederhanaan.

c)      Logika. Semua perwujudan seni harus memenuuhi syarat


penggunaan yang praktis. Sebagai akibat dari unsur logika ini, Jepang
menjadi unggul dalam "industrial design" modern dalam masa kini.
Mereka erhasil mewujudkan seni, juga dalam bentuk-bentuk mesin,
mobil, kereta api, pesawat terbangm alat televisi, telepon, radio dan
komputer.
d)     Hemat Ruang. Keterbatasan ruang dalam kehidupan sehari-hari
memaksa mereka menggunakan sedikit mungkin ruang. Kebiasaan ini
menjadi unsur kebudayaan tersendiri yang meresap kedalam konsep
estetika mereka (Djelantik, 1999: 199-200)/

D. Estetika Mesir

Kepercayaan bangsa Mesir pada dewa-dewa, telah dikenal semenjak


jaman "Mina", yaitu kepala keluarga Fir'aun yang pertama, kira-kira
sekirat tahun 3300 sebelum masehi. Dewa-dewa cosmos itu, hidup
subur dalam alam kepecayaan bangsa Mesir, memberi bentuk dan
corak yang tertentu dalam pertumbuhan kebudayaan mereka.
Sekalipun pada masa keruntuhan kerajaan Mesir, bangsa Persi telah
datang menaklukkan lembah Nil dan kemudian berpindah tangan pada
bangsa Romawi, namun kepercayaan kepada dewa-dewa itu masih
tetap merupkan satu-satunanya agama resmi dari bangsa mesir. Dalam
abad ke 2 dan 3 masehi, agama nasrani telah meluan dalam
lingkungan keluarga kerajaan. Sudah banyak orang yang memeluk
agam aitu namun bangsa mesir masih tetap dengan kepercayaab
mereka, walaupn mereka di bawah jajahan bangsa romawi. Bangsa
Mesir kono semenjak jaman pra sejarah sudah mengenal dan memuja
dewa alam. Diantara dewa-dewa yang terbesar dan pernah mempunyai
kedudukan yang tertinggi dalam kepercayaan rakyat adalah Dewa Ra
atau Re dan Dewa Osiris.

Kesenian di Mesir mempunyai dua bentuk, yaitu :


1.      Seni hieratis, yaitu seni yang berdasarkan pada kepercayaan
yang bersifat religius.

2.      Seni rakyat, yaitu seni yang berdasarkan kerajinan.

Kedua jenis seni itu bisa hidup secara berdampingan.

Seni arsitektur mempunyai tempat yang penting dalam kehidupan


masyarakat dan kehidupan religius, hal ini nampak dalam bangunan :

a)      Makam  : dengan bentuk mastaba (pola geometris),untuk tempat


jenasah,dan juga tempat untuk menyimpan              harta
kekayaan.                 

b)      Kuil/candi :  kuil makam, misalnya Ratu Hatshepsut, Kuil dewa,


misalnya Amon di Karnak, di tepi sungai Nil.

c)      Piramida : merupakan lambang kebesaran seni Mesir purbakala


yang sampai sekarang masih tetap dikagumi, karena bentuknya yang
sangat besar .Bentuk bangun segi  banyak piramid dipandang sebagai
bentuk bangun segi banyak yang unik dan dianggap sakral.

Dalam bidang seni pahat/seni patung : 

a)      Patung potret wajah Tutabkhamon (berlapis emas)

b)      Ratu Nefretete (arca sedada), merupakan lambang kecantikan


timur.
Sphinx  ;  manusia singa.

Seni relief  :  Fir'aun diperlihatkan sebagai raksasa yang ada diantara


orang-orang yang dipahat sangat kecil.

Tari perut merupakan seni tari  yang sangat terkenal dan berasal dari
Mesir. Dalam bidang seni lukis, pewarnaan dengan menggunakan lilin
(pernis bening) sudah digunakan pada jaman Mesir kuno, yang
mempunyai kualitas tahan lama.

    

Keagungan seni Mesir ada pada mutu kelanggengan seni itu


sendiri,terdapat pada :

1). Simetri, misalnya pada Mastaba.

2). Ukuran raksasa/keagungan, misalnya pada Piramida.

3) Kerumitan, ada pada patung-patung.

4). Keindahan, terdapat pada relief, lukisan dan seni tari.

E. Estetika Islam

 Ada persepsi bahwa menikmati keindahan itu akan merusak


keimanan atau menyebabkan terperosok terhadap kesombongan yang
dibenci Allah dan seluruh manusia. Hal ini tidak benar karena di
dalam sebuah hadist, Ibnnu Mas'ud meriwayatkan bahwa Rasulullah
s.a.w bersabda : "innallaaha jamiilun yyuhibbul jamaal, yang artinya
sesungguhnya Allah Maha Indah dan Dia menyukai keindahan".
Keindahan yang sempurna hanya ada pada Allah. 
Sudut pandang Islam Ortodok ,terutama yang bersandar kepada
mistik, tercermin pada pandangan Al-Qhazzali dalam buku Kimiya-i
Sa'adat (Kimiyatus sa'adah = uraian tentang kebahagiaan) yang
ditulisnya sekitar tahun 1106. Menurut al-Ghazzali, keindahan sesuatu
benda terletak di dalam perwujudan dari kesempurnaan, yang dapat
dikenalai kembali dan sesuai dengan sifat benda itu. Bagi al-Ghazalli
"jiwa" (roh) , spirit, jantung, pemikiran, cahaya yang dapat merasakan
keindahan dalam dunia yang lebih dalam (inner world), yaitu nilai-
nilai spiritual, moral dan agama. Konsep tentang pengertian hakiki ini
memberikan suatu segi pemandangan baru atas keindahan dan seni,
yang dapat memuaskan hati. Sebuah lukisan atau bangunan yang
indah juga mengungkapkan tentang keindahan hakiki pada diri si
pelukis atau arsitekya. Keindahan hakiki ini terkandung dalam tiga
prinsip:

1.      Pengetahuan : pengetahuan yang sempurna hanya ada pada


Tuhan

2.      Kekuatan :  yaitu kekuatan untuk membawa diri sendiri dan


orang lain kepada kehidupan yang lebih baik.   

3.      Kemampuan :  yaitu kemampuan untuk menyingkirkan


kesalahan-kesalahan dan ketidak- mampuan.

Karena pengetahuan, kekuatan dan kemampuan untuk menyingkirkan


kesalahan yang absolut hanya pada Tuhan, dan karena sifat-sifat
demikian itu ada pada manusia dengan ukuran manusiawi dan juga
berasal dari Tuhan, maka berikutnya adalah : cinta pada manifestasi
tentang keindahan hakiki yang disuguhkan oleh seniman (artis) yang
sempurna, akan membawa manusia kepada Tuhan (Abdul Kadir,
1974:56).

Hubungan antara Islam, Seni dan Seniman

Islam dan seni tidak ada hubungan. Islam sebagai agama adalah tata
hubungan manusia dengan Tuhan dalam beribadat yang diperlukan
kekhusyukkan dan takwa. Seni merupakan bidang kebudayaan.
Agama dan kebudayaan, membentuk din Islam. Jadi, meskipun seni
tidak masuk agama islam, namun ia tetap bagian dalam diin Islam,
karena ia merupakan bidang kebudayaan Islam.

Bagi Islam, seni dan moral berjalan sejajar. Seni itu halal sejauh
mengandung nilai moral religius dan haram bila mendatangkan nilai
mudhorot. Seni yang baik, seperti halnya rejeki maka manusia wajib
menikmatinya. Lewat seni yang diajarkan oleh Islam, manusia dapat
mengambil hikmahnya karena di dalam seni Islam terkandung ajaran
bagaimana manusia itu harus bertingkah laku yang baik dan
mensyukuri karunia Allah untuk lebih dekat dengan-Nya.

Islam tidak menganut paham "seni untuk seni", tetapi seni untuk
mengabdi kepada agama. Hal ini nampak dalam hasil karya seni
yang  bernafaskan Islam, seperti halnya kaligrafi, seni musik dan
arsitektur. Contohnya di dalam seni arsitektur masjid. Masjid
dibangun untuk tempat beribadah. Masjid tidak hanya indah ,
misalnya dengan permadani yang tebal,mimbar yang bagus, cat yang
selaras, tulisan ayat-ayat suci al-Qur'an yang indah pada dinding dan
tiang masjid. Memperindah masjid dikehendaki, tetapi tidak
memegahkannya, masjid tidak kenal perabot, dindingnya tidak
digantungi dengan gambar atau lukisan.Seni patung/pahat yang
menggunakan objek makluk bernyawa tidak dibenarkan oleh agama
Islam. Bermegah-megah dengan masjid dilarang, karena hal itu
melewati batas.

  

Seniman

Tugas dari seniman adalah untuk dapat membawa atau mendekatkan


manusia kepada Tuhan lewat hasil karya seninya. Bagi Islam, seniman
yang baik adalah seniman yang mampu menyuguhkan keindahan
sebagai karunia Allah, yang akan mengantarkan untuk lebih dekat
dengan Tuhan-Nya.
BAB III
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
dalam skema besar filsafat berisi logika, etika dan estetika.
Logika adalah bagian ilmu filsafat yang mempelajari kesahihan
premis-premis secara benar dan tepat sesuai aturan-aturan logis
matematis. Etika merupakan bagian filsafat yang membicarakan
problem nilai-nilai dalam kaitanya dengan baik atau buruknya
tindakan manusia secara individu maupun dalam masyarakat.
Sementara estetika sering diidentikkan dengan filsafat seni yang
dalam pengkajiannya diutamakan membahas dimensi keindahan dan
nilai rasa baik dalam karya seni, seni itu sendiri, maupun pemikiran-
pemikiran tentang seni dan karya seni.
         Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti
hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat
         Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat
tinggal yang biasa, padang rumpt, kandang; kebiasaan, adat; watak;
perasaan, sikap, cara berpikir.
         Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana,
estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa
terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya.

4.2  Saran
filsafat llmu yang terdiri dari kawasan- kawasan kajian seperti
logika, etika dan estetika dan diharapkan tetap digunakan dalam
kehidupan  agar tetap menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

1. Farhad,budi. Makalah: Filsafat Ilmu Sebagai Landasan


Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Alam.http://filsafat.kompasiana.com/2012/04/26/makalah-
filsafat-ilmu-sebagai-landasan-pengembangan-ilmu-
pengetahuan-alam/ (diakses tanggal 26 april 2012)
2. Ihsan, fuad. 2010. Filsafat ilmu. Jakarta: rineka cipta.
3. Hadiwijono, Harun. 1993. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet.
IX; Yogyakarta: Kanisius.
4. Hakim, Atang Abdul dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat
Umum dari Metologi sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka
Setia
5. hida, taura. Dimensi aksiologi dalam filsafat
pendidikan.http://filsafat.kompasiana.com/2012/03/07/dimensi-
aksiologi-dalam-filsafat-pendidikan/ (diaksese tanggal 7 maret
2012)
6. kaharu, usman dan hamzah b. Uno. 2004 filsafat ilmu (suatu
pengantar pemikiran) gorontalo: BMT nurul jannah
7. Suryasumantri, Yuyun S. 2001. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
8. Annehira. pentinggnya etika dalam
kehidupan.http://www.anneahira.com/etika.html. (diakses
tanggal 20 april 2012)
9. Alfan, Muhammad. 2011. Filsafat Etika Islam. Bandung.
Pustaka Setia.
10.Abdullah, M. Yatimin. 2006. Studi Etika. Jakarta. Rajawali
Perss.
11.Esha, Muhammad In’am. 2010. Menuju Pemikiran Filsafat.
Jakarta. Maliki Perss.
12.Mufid, Muhamad. 2009. Etika Filsafat Komunikasi. Jakarta.
Kencana.

Anda mungkin juga menyukai