Anda di halaman 1dari 44

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab 2 ini penulis membahas tinjauan pustaka yang berisikan konsep

dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan dengan diagnosis

keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada Pasien Tubekulosis Multi

Drug Resisten atau resistensi obat menurut sumber kepustakaan yang penulis

ambil dari bahan referensi.

A. Konsep Dasar Medis

1. Pengertian

Tuberkulosis Resisten atau kebal obat adalah resistensi kuman

Mycobacterium Tuberculosis dimana kuman tidak dapat lagi dibunuh oleh

OAT (Obat Anti Tuberkulosis) yang sudah digunakan selama ini.

Tuberkulosis resisten OAT (Obat Anti Tuberkulosis) pada dasarnya adalah

suatu fenomena buatan manusia, sebagai akibat dari pengobatan pasien

Tuberkulosis yang tidak resisten. Penerapan manajemen Terpadu

Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat menggunakan kerangka kerja

yang sama dengan strategi DOTS (Directily Observed Treatment,

Shatcourse Chemotherapy) dengan beberapa penekanan pada setiap

komponenya (Kemenkes RI, 2013:02).

Tuberkulosis Multi Drug Resisten adalah keadaan dimana kuman

Tuberkulosis (Mycobacterium Tuberculosis) sudah kebal paling sedikit

terhadap 2 Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yaitu Rifampisin dan Isoniazid

7
8

yang merupakan obat utama penyembuhan penyakit Tuberkulosis (PPTI,

2010:24).

2. Etiologi

Kuman Mycobacterium Tuberculosis resisten terhadap sekurang –

kurangnya Isoniasid dan Rifampisin secara bersamaan dengan atau tanpa

OAT (Obat Anti Tuberkulosis) lini pertama yang lain, misalnya resisten HR

(Isoniazid Rifampisin), HRE (Isoniazid Rifampisin Etambutol), HRES

(Isoniazid Rifampisin Etambutol Streptomisin). Kriteria suspek

Tuberkulosis Multi Drug Resisten, suspek Tuberkulosis Multi Drug

Resisten adalah semua orang yang mempunyai gejala Tuberkulosis dengan

salah satu atau lebih kriteria suspek yaitu Pasien Tuberkulosis kronik,

Pasien Tuberkulosis pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah tiga

bulan pengobatan, Pasien Tuberkulosis yang mempunyai riwayat

pengobatan Tuberkulosis yang tidak standar serta menggunakan kuinolon

dan obat injeksi line kedua minimal selama 1 bulan, Pasien Tuberkulosis

pengobatan kategori pertama yang gagal, Pasien Tuberkulosis pengobatan

kategori pertama yang tetap positif setelah 3 bulan pengobatan, Pasien

Tuberkulosis kasus kambuh (relaps) kategori pertama dan kategori kedua,

Pasien Tuberkulosis yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat),

suspek Tuberkulosis yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien

Tuberkulosis Multi Drug Resisten, Pasien ko-infeksi Tuberkulosis HIV

(Human Immunolodeficiency Virus) yang tidak respons terhadap pemberian

Obat Anti Tuberkulosis (KemenkesRI, 2013:11).


9

3. Faktor Resiko Terjadi Tuberkulosis MDR

Faktor resiko terjadinya Tuberkulosis Resisten adalah tertular

langsung oleh pasien Tuberkulosis Multi Drug Resisten dan menjalani

pengobatan Tuberkulosis sebelumnya tidak rutin dan tidak sampai tuntas

serta tidak sesuai standar pengobatan (KemenkesRI, 2013).

4. Patofisiologi

Tuberkulosis Multi Drug Resisten didahului oleh infeksi

Tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberkulosis dan

mengalami kekebalan obat akibat dua faktor yaitu faktor mikroorganisme

dan faktor klinis. faktor mikroorganisme virulensi kuman menjadi lebih

tinggi dengan daya tahan yang tinggi. keadaan yang menimbulkan tingginya

faktor virulensi ini adalah sifat kuman yang dapat menginfeksi tubuh

pejamu walaupun dalam jumlah yang kecil dan kemampuan kuman

Mycobakterium Tuberculosis yang dapat bermutasi sehingga dapat menahan

diri terhadap reaksi peradangan oleh magrofag pada tubuh pejamu. Kuman

Mycobacterium Tuberkulosis memiliki protein yang dapat menimbulkan

apoptosis makrofag yang seharusnya memfagosit kuman. Hal ini akan

menimbulkan kerusakan jaringan yang semakin meluas. kuman ini juga

dapat mensistesis protein dan menimbulkan perubahan struktur kuman,

sehingga kuman menjadi lebih resisten terhadap pemberian antibiotik yang

sebelumnya sudah digunakan. Faktor Klinis, mekanisme menjadinya

Tuberkulosis Multi Drug Resisten terjadinya akibat faktor penyelenggara

kesehatan, faktor obat dan faktor pasien. Faktor penyelenggara yaitu


10

keterlambatan diagnosis, petugas kurang terlatih, pemantauan pengobatan

tidak sesuai, fenomena addition syndrome atau obat yang disatukan pada

paduan yang obat telah gagal, jika kegagalan ini terjadi akibat kuman yang

telah resisten pada paduan yang pertama maka penambahan obat ini akan

meningkatkan resistensi. Faktor obat antara lain paduan, dosis dan lama

pengobatan yang tidak sesuai, serta toksisitas dan efek samping yang

mungkin terjadi. Faktor pasien yang telah berperan dalam Tuberkulosis

Multi Drug Resisten ini adalah ketidaktaatan pasien dalam mengkonsumsi

obat, ketiadaan PMO (Pengawas Minum Obat), kurangnya pengetahuan

pasien terhadap infeksi Tuberkulosis dan adanya gangguan penyerapan obat.

Pada beberapa keadaan Tuberkulosis Multi Drug Resisten sering terjadi

pada pasien yang terinfeksi HIV-AIDS.

Pathway
11

Tuberkulosis

Pasien Pasien Kambuh


Tuberkulosis Baru
Tuberkulosis Multi Drug Resisten
Mycobacterium
Tuberkulosis
Faktor Faktor Klinis
Mikroorganisme
Pengobatan
teratur selama 6 Penyelenggara Faktor Obat Faktor
Virulen Kuman
sampai 7 bulan Kesehatan Pasien
meningkat
(Pengobatan
Lengkap) 1.Dosis,
1. Keterlamb paduan 1. Ketida
Sifat kuman yang
menginfeksi atan lama ktaatan
Pemeriksaan tubuh pejamu atau pasien
Diagnosis. pengobata
Bakteriologis pasien mengk
Negatif 2. Petugas n yang
tidak onsums
Apoptosis Kurang
sesuai i obat
Hasil makrofag Terlatih
2. Ketiad
Pengobatan 3. Pemantaua 2.Toksisit aan
Sembuh Kerusakan n as dan PMO
Jaringan Pengebata efek (Pengi
n tidak samping ngat
Kuman mensistensis sesuai yang Minum
atau menghasilkan 4. Fenomena mungkin Obat)
protein. Addition terjadi.
Syndrome Kurang
Perubahan (Obat yang Pengetahu
Struktur disatukan an
Kuman pada
paduan
yang telah Adanya Gangguan
Kuman Resisten
gagal) Penyerapan Obat
Terhadap OAT yang
sudah digunakan

Dahak Sewaktu (S) Dan Pagi Hari (P)

Tes Cepat (GeneXpert)

5. Kategori Resistensi OAT


Bagan 2.1 Patofisiologi Tuberkulosis Multi Drug Resisten
12

Kategori resistensi OAT (Obat Anti Tuberkulosis) dibagi menjadi

empat jenis yaitu :

a. Mono Resisten: Pasien mengalami resisten terhadap OAT line pertama.

b. Poli Resisten: Pasien resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini

pertama kecuali kombinasi INH (Isoniazid) dan Rifampisin.

c. Multi Drug Resistensi (MDR): Resisten terhadap sekurang – kurangnya

INH (Isoniazid) dan Rifampisin.

d. Extensively Drug Resisten (XDR): TB Multi Drug Resisten

ditambahkan resiten terhadap salah satu obat golongan flurokuinolon

dan sekurang – kurangnya salah satu dari OAT (Obat Anti

Tuberkulosis) injeksi lini kedua (KemenkesRI, 2013:11).

6. Manifestasi Klinis

Tuberkulosis sering disebut “the great imitator”, yaitu suatu

penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang

juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam, Gambaran klinik

Tuberkulosis Paru dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik dan

gejala sistemik (Andra, 2013:140).

a. Gejala Respiratorik

1) Batuk

Gejala batuk paling dini dan banyak ditemukan. Batuk terjadi

karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk

membuang produk – produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari

batuk kering (Non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan


13

menjadi batuk purulen atau menghasilkan sputum (produktif) dan

terjadi lebih dari 3 minggu.

2) Batuk Darah

Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin

tampak berupa garis atau bercak - bercak darah, gumpalan darah atau

darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena

pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah bergantung

pada besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.

3) Sesak Nafas

Sesak nafas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,

dimana infiltrasinya sudah setengah bagian dari paru. Gejala ini

ditemukan ketika kerusakan parenkim paru sudah meluas atau karena

hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia,

dan lain-lain.

4) Nyeri Dada

Nyeri dada pada Tuberkulosis Paru termasuk nyeri pleuritik

yang ringan dan jarang ditemukan. Nyeri timbul bila infiltrasi sampai

ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

b. Gejala Sistemik

1.) Demam

Demam biasanya subfebris menyerupai demam influenza.

Terkadang demam mencapai 40 sampai 41˚C. Keadaan ini sangat

dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita dan berat ringannya


14

infeksi kuman Tuberkulosis yang masuk. Demam timbul pada sore

hari dan malam hari mirip demam influenza dan bersifat hilang

timbul.

2.) Gejala sistemik lain

Gejala sistemik lain adalah keringat malam, anoreksia,

penurunan berat badan, serta malaise. Timbulnya gejala biasanya

gradual dalam beberapa minggu sampai bulan, akan tetapi

penampilan akut dengan batuk, panas, sesak nafas walaupun jarang

dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.

7. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien Tuberkulosis Multi Drug Resisten

Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien Tuberculosis Multi Drug

Resisten mengikuti klasifikasi baku untuk pasien Tuberkulosis yaitu :

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi penyakit

Paru apabila ada kelainan dalam parenkim, Ekstra Paru apabila

kelainan ada pada organ di dalam parenkim paru dibuktikan dengan hasil

pemeriksaan bakteriologis resisten obat untuk sampel pemeriksaan yang

diambil di luar parenkim paru.

b. Pasien Tuberkulosis Muti Drug Resisten diregistrasi sesuai dengan

klasifikasi pasien berdasar riwayat pengobatan sebelumnya.

Pasien baru, pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan

dengan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) atau pernah diobati menggunakan

OAT (Obat Anti Tuberkulosis) kurang dari satu bulan. Pasien ulangan,

pasien yang mendapatkan pengobatan ulang karena kasus gagal


15

pengobatan yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif

atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan hal ini ditunjang dengan rekam medis dan atau riwayat

pengobatan Tuberkulosis sebelumnya, kasus kambuh (relaps) yaitu

pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan

Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap

didiagnosis kembali dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis dan

biakan positif, pasien kambuh setelah loss to follow-up (lalai berobat atau

default) yaitu pasien yang kembali berobat setelah loss to follow-up atau

berhenti berobat paling sedikit dua bulan dengan pengobatan kategori-1

atau kategori-2 serta hasil pemeriksaan dahak menunjukkan BTA (Basil

Tahan Asam) positif, tidak diketahui yaitu pasien yang telah

mendapatkan pengobatan Tuberkulosis >1 bulan tetapi hasil

pengobatannya tidak diketahui atau tidak tercatat atau terdokumentasi.

c. Lain – lain

Pasien Tuberkulosis yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak

jelas atau tidak dapat dipastikan (KemenkesRI, 2013:21).

8. Pemeriksaan Penunjang

a) Sputum : Mycobacterium Tuberculosis positif pada tahap aktif, penting

untuk menetapkan diagnosis pasti dan melakukan uji BTA (Basil Tahan

Asam) positif.
16

b) Tes kulit (Mantoux) : Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih)

menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibody tetapi tidak berarti

untuk menunjukkan keaktifan penyakit.

c) Foto thorax : Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru,

simpanan kalsium lesi sembuh primer, efusi cairan, akumulasi udara,

area cavitas, area fibrosa dan penyimpangan struktur mediastinal.

d) Histologi atau kultur jaringan (termasuk bilasan lambung, urine, cairan

selebrospinal, biopsi kulit) Hasil positif dapat menunjukkan serangan

ekstrapulmonal.

e) Tes Faal Paru : penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati,

peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total, penurunan

saturasi oksigen sebagai akibat dari infiltrasi parenkim atau fibrosis,

kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural.

9. Penatalaksanaan Medis

a. Pengobatan Tuberkulosis Resisten Obat

Pengobatan pasien Tuberkulosis Resisten Obat menggunakan

paduan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) Resistan Obat yang terdiri dari

OAT (Obat Anti Tuberkulosis) lini kedua dan lini pertama, yaitu:

1.) Panduan pengobatan Tuberkulosis Resistan obat standar

konvensional (20 sampai 26 bulan) pilihan paduan OAT (Obat Anti

Tuberkulosis) Resistan Obat saat ini adalah paduan standar yang

pada permulaan pengobatan akan diberikan sama kepada semua

pasien Tuberkulosis Resisten Obat.


17

a) Panduan standar yang diberikan adalah:

Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) – (H)/Lfx – Eto – Cs – Z – (E) – (H)

b) Panduan standar diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi

Tuberkulosis Resisten Rifampisin secara laboratories (hasil tes

cepat atau metode konvensional).

c) Pengobatan dengan standar dapat dimulai berdasaran hasil tes

cepat molekuler Tuberculosis yang menyatakan Tuberkulosis

Resisten Rifampisin.

d) Bila ada riwayat penggunaan paduan OAT (Obat Anti

Tuberkulosis) yang dicurigai telah ada resistensi, misalnya pasien

sudah pernah mendapat fluorokuinolon pada pengobatan

Tuberkulosis sebelumnya maka diberikan levofloksasin dosis

tertinggi atau moksifloksasin. Sedangkan pada pasien yang sudah

mendapatkan kanamisin sebelumnya maka diberikan kapreomisin

sebagai bagian dari paduan OAT (Obat Anti Tuberkulosis)

standar yang diberikan.

e) Panduan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) Resistan Obat standar

tersebut di atas akan disesuaikan panduan atau dosisnya jika,

terdapat bukti tambahan resistansi terhadap OAT (Obat Anti

Tuberkulosis) lainnya berdasarkan hasil uji kepekaan

konvensional untuk OAT (Obat Anti Tuberkulosis) ini pertama

dan lini kedua. Terjadi efek samping berat dan obat penyebab

sudah diketahui, maka obat bisa diganti bila tersedia obat


18

pengganti atau dihentikan, contohnya apabila pasien mengalami

efek samping karena sikloserin misalnya muncul gangguan

kejiwaan maka sikloserin dapat diganti dengan PAS (Para Amino

Salisilat), apabila pasien mengalami gangguan pendengaran

karena kanamisin. Maka kanamisin gangguan pendengaran dapat

diganti dengan kapreomisin, apabila pasien mengalami gangguan

penglihatan disebabkan oleh Etambutol maka pemberian

Etambutol bisa dihentikan. Dosis atau frekuensi disesuaikan bila

terjadi perubahan kelompok berat badan, terjadi efek samping

berat dan obat pengganti tidak tersedia.

1) Panduan pengobatan Tuberkulosis RO (Resisten Obat) jangka

pendek (9 sampai 11 bulan) panduan pengobatan 9 bulan

terdiri dari:

4 - 6 Km – Mfx – Pto – H – Cfz – E-Z / 5 Mfx – Cfz – E-Z

Panduan ini diindikasikan untuk pasien yang

diperkirakan tidak resisten terhadap fluolokoinolon dan obat

injeksi lini kedua berdasarkan riwayat pengobatan dan atau

hasil uji kepekaan obat baik molekuler maupun fenotipik.

Pasien yang terbukti resisten atau kemungkinan resisten

terhadap FQ dan atau obat injeksi lini kedua atau memiliki

kontraindikasi penggunaan paduan pengobatan 9 bulan akan

diberikan panduan pengobatan sesuai dengan tipe resistennya.

Pasien akan mendapatkan terapi selama 9 hingga 11 bulan,


19

tergantung durasi fase intensif dan selanjutnya dimonitor

selama minimal 12 bulan.

2) Dosis OAT (Obat Anti Tuberkulosis) Resisten obat ditetapkan

oleh TAK (Tenaga Ahli Klinis) di faskes (Fasilitas Kesehatan)

rujukan dan oleh dokter yang sudah dilatih di faskes MTPTRO

(Managemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten

Obat) penetapan dosis berdasarkan kelompok berat badan

pasien.

Tabel 2.1 Perhitungan dosis OAT (Obat Anti Tuberkulosis)


Resistan Obat
20

OAT Dosis Berat Badan


harian 30 – 36 – 46 – 56 – >70kg
35 45 kg 55 kg 70 kg
kg
Kana 15 – 20 500 625 – 875 – 1000 1000
misin mg/kg/ mg 750 1000 mg mg
Hari mg mg
Kapre 15 – 20 500 600 – 750 – 1000 1000
omisi mg/kg/ mg 750 800 mg mg
n Hari mg mg
Pirazi 20 – 30 800 1000 1200 1600 2000
namid mg/kg/ mg mg mg mg mg
Hari
Etamb 15 – 25 600 800 1000 1200 1200
utol mg/kg/ mg mg mg mg mg
Hari
Isonia 4 – 6 150 200m 300 300 300
sid mg/kg/ mg g mg mg mg
Hari
Levof 750mg/ 750 750 750 750 – 1000
loksas Hari mg mg mg 1000 mg
in mg
(dosis
standa
rt)
Levof 1000mg/ 1000 1000 1000 1000 1000
loksas hari mg mg mg mg mg
in
(dosis
tinggi
)
Moksi 400 400 400 400 400 400
floksa mg/hari mg mg mg mg mg
sin
Siklos 500 – 500 500 750 750 1000
erin * 750 mg mg mg mg mg
mg/hari
Etiona 500 – 500 500 750 750 1000
mid 750 mg mg mg mg mg
mg/hari
Asam 8g/hari 8g 8g 8g 8g 8g
PAS
Sodiu 8g/hari 8g 8g 8g 8g 8g
m
PAS
Bedaq 400mg/h 400 400 400 400 400
uilin ari mg mg mg mg mg
Linez 600 600 600 600 600 600
olid mg/hari mg mg mg mg mg
Klofa 200 – 200 200 200 300 300
mizim 300 mg mg mg mg mg
in mg/hari
21

Keterangan:

a.) Sikloserin, Etionamid dan asam PAS (Para Amino

Salisilat) dapat diberikan dalam dosis terbagi untuk

mengurangi terjadinya efek samping. Selain itu pemberian

dalam dosis terbagi direkomendasikan apabila diberikan

bersamaan dengan ART (Anti Retroviral Therapy).

b.) Sodium PAS (Para Amino Salisilat) diberikan dengan

dosis sama dengan Asam PAS (Para Amino Salisilat) dan

bisa diberikan dalam dosis terbagi. Mengingat sediaan

sodium PAS (Para Amino Salisilat) bervariasi dalam hal

persentase kandungan aktif per berat (w/w) maka

perhitungan khusus harus dilakukan. Misal Sodium PAS

(Para Amino Salisilat) dengan (w/w) maka perhitungan

khusus harus dilakukan. Sodium PAS (Para Amino

Salisilat) dengan w/w 60% dengan berat per sachet 4 gr

akan memiliki kandungan aktif sebesar 2,4 gr.

c.) Bedaquilin dibedakan 400 mg/hari dosis tunggal selama 2

minggu, dilanjutkan dengan dosis 200mg intermitten 3

kali per minggu di berikan selama 22 minggu (minggu 3

sampai 24). Pada minggu ke 25 pemberian bedaquilin

dihentikan.

d.) Klofazimin diberikan dengan dosis 200 sampai 300 mg

per hari dosis tunggal selama 2 bulan, dilanjutkan dengan


22

dosis 100 mg per hari. Lama dan cara pemberian

pengobatan Tuberkulosis Resistan Obat standart

konvensional. Lama pengobatan pasien Tuberkulosis

Resistan Obat adalah pasien baru atau belum pernah

diobati dengan pengobatan Tuberkulosis RR (Resisten

Rifampisin) atau RO (Resisten Obat) lama pengobatan

adalah 18 bulan setelah konversi biakan, lama pengobatan

paling sedikit 20 bulan. Pasien sudah pernah diobati

dengan pengobatan RR (Resisten Rifampisin) atau RO

(Resisten Obat) atau pasien Tuberkulosis XDR

(Extensively Drugs Resisten Tuberkulosis) lama

pengobatan adalah 22 bulan setelah konversi biakan, lama

pengobatan paling sedikit 24 bulan.

Pengobatan dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap

awal pengobatan dengan menggunakan obat oral dan obat

suntikan kanalisin atau kapreomisin, lama pengobatan

tahap awal adalah 4 bulan setelah terjadi konversi biakan

diberikan sekurang – kurangnya selama 8 bulan. Yang

kedua pasien sudah pernah diobati atau pasien

Tuberkulosis XDR (Extensively Drugs Resisten

Tuberkulosis) lama tahap ini adalah 10 bulan setelah

terjadi konversi biakan dan diberikan sekurang –

kurangnya selama 12 bulan.


23

10. Evaluasi Pengobatan

Pertama sembuh pasien yang telah menyelesaikan pengobatan

sesuai pedoman pengobatan Tuberkulosis RO (Resisten Obat) tanpa bukti

terdapat kegagalan, dan hasil biakan telah negative minimal 3 kali berturut

– turut dengan jarak pemeriksaan minimal 30 hari selama tahap lanjutan.

Yang kedua saat pengobatan lengkap pasien yang telah menyelesaikan

pengobatan sesuai pedoman pengobatan Tuberkulosis RO (Resisten Obat)

tetapi tidak memenuhi definisi sembuh maupun gagal. Yang ketiga Pada

saat meninggal pasien meninggal karena sebab apapun selama masa

pengobatan Tuberkulosis RO (Resisten Obat). Yang keempat gagal

pengobatan Tuberkulosis RO (Resisten Obat) dihentikan atau

membutuhkan perubahan panduan pengobatan Tuberkulosis RO (Resisten

Obat) ≥ 2 obat Tuberkulosis RO (Resisten Obat) yang disebabkan oleh

salah satu dari beberapa kondisi ini yaitu tidak terjadi konversi sampai

dengan akhir bulan ke 8 pengobatan, terjadi reverse pada fase lanjutan

(setelah sebelumnya konversi), terbentuk terjadi resistansi tambahan

terhadap obat Tuberkulosis RO (Resisten Obat) golongan kuinolon atau

obat injeksi lini kedua, terjadi efek samping obat yang berat. Yang kelima

lost to follow-up pasien terputus pengobatannya selama dua bulan berturut

– turut atau lebih. Yang keenam tidak di evaluasi pasien yang tidak

mempunyai atau tidak mengetahui hasil akhir pengobatan Tuberkulosis

RO (Resisten Obat) termasuk Tuberkulosis RO (Resisten Obat) yang


24

pindah ke fasyankes (Fasilitas Pelayanan Kesehatan) di daerah lain dan

hasil akhir pengobatan Tuberkulosis RO (Resisten Obat) tidak diketahui.

B. Konsep Masalah Keperawatan

1. Pengertian Ketidakefektifan Jalan Nafas

Ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran

nafas untuk mempertahankan bersihan jalan nafas (Nanda, 2015:406).

2. Pengkajian

a. Usia: Penyakit Tuberkulosis dapat menyerang semua umur (Muttaqin,

2012).

b. Jenis kelamin: Sedikitnya dalam satu tahun ada sekitar satu juta

perempuan yang meninggal akibat penyakit Tuberkulosis paru. Dari fakta

ini dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan lebih rentan terhadap

kematian akibat Tuberkulosis dibandingkan akibat atau proses

persalinan. Sedangkan angka Tuberkulosis pada kaum laki-laki perokok

dan peminum alkohol lebih tinggi, karena rokok dan minuman alkohol

dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh (Naga, 2012).

c. Riwayat gangguan respirasi

Status pernapasan meliputi kecemasan dan kedalaman respirasi,

demam, kesimetrisan ekspansi dada, penggunaan otot – otot tambahan,

batuk, sputum (warna, kekentalan, jumlah, bau dan perubahan nilai

normal pada pasien yang berhubungan dengan infeksi, iritasi, dehidrasi,

pajanan pada polutan), palpasi fremitus, perkusi daerah paru, auskultasi


25

suara napas, kadar gas darah arteri, foto sinar-X dada (Cynthia,

2011:327).

d. Status neurologic, meliputi tingkat kesadaran, orientasi, dan status

mental.

e. Pengetahuan, meliputi pemahaman terhadap kondisi fisik dan

pengetahuan serta keterampilan dalam melakukan manuver pembersihan

jalan napas.

f. Kesiapan fisik, mental, dan emosional untuk belajar.

3. Batasan karakteristik

Suara napas yang tidak biasa (Krepitasi, ronchi, dan mengi),

perubahan kecepatan atau irama respirasi, batuk tidak efektif atau tidak ada,

sianosis, kesulitan vokalisasi, penurunan suara napas, dispnea, ortopnea,

kegelisahan, ekspresi mata terbelalak (Cynthia, 2011:327).

4. Diagnosis medis yang berhubungan

Asma, Bronkitis, Karsionoma bronkogenik, trauma dada, bronchitis

kronis, emfisema, sindrom Guillain-Barre, penyakit paru interstisial,

miaskenia gravis, pneumonia, cedera medulla spinalis, stroke, trauma jalan

napas bagian atas (Cynthia, 2011:327).

5. Hasil yang diharapkan

Pasien batuk secara efektif, pasien mengeluarkan sputum, tidak ada

suara napas yang tidak biasa, foto sinar-X dada memperlihatkan tidak ada

ketidaknormalan, pasien minum 3 sampai liter cairan setiap harinya, kadar

gas darah arteri dalam nilai normal, jalan napas pasien tetap paten, pasien
26

melaporkan tanda – tanda yang mengindikasikan perlunya mendapatkan

intervensi medis, pasien mengerti dapat menjelaskan perlunya hidrasi yang

adekuat, pemantauan sputum, dan mengonsumsi obat sesuai yang

diprogramkan, pasien mendemonstrasi kan teknik batuk yang terkontrol,

pasien melakukan fisioterapi dada, khususnya drainase postural (Cynthia,

2011:327).

6. Intervensi dan Rasional

a. Kaji status pernapasan sekurangnya setiap 4 jam atau menurut standar

yang ditetapkan untuk mendeteksi tanda awal bahaya.

b. Gunakan posisi fowler dan sangga lengan pasien utnuk membantu

bernapas dan ekspansi dada serta ventilasi lapangan paru basilar.

c. Bantu pasien untuk mengubah posisi, batuk, dan bernapas dalam setiap 2

sampai 4 jam untuk membantu mengeluarkan sekresi dan

mempertahankan potensi jalan napas.

d. Isap sekresi sesuai keperluan, untuk menstimulasi batuk dan

membersihkan jalan napas. Waspadai pemburukan gangguan pada jalan

napas.

e. Berikan kelembapan yang adekuat untuk mencairkan sekresi.

f. Berikan cairan sekurang – kurangnya 3 liter setiap hari untuk

memastikan hidrasi yang adekuat dan mencairkan sekresi kecuali

dikontraindikasikan.
27

g. Lakukan drainase postural, perkusi dan vibrasi setiap 4 jam atau sesuai

program untuk meningkatkan mobilisasi sekresi yang mengganggu

oksigenasi. Pantau sputum untuk mengukur keefektifan terapi.

h. Mobilisasi pasien dengan kemampuan penuh untuk memfasilitasi

ekspansi dada dan ventilasi.

i. Hindari posisi terlentang pada periode yang lama. Beri dorongan untuk

memilih posisi lateral, duduk, telungkup, dan tegak lurus untuk

meningkatkan ekspansi dada ventilasi.

j. Sediakan tisu kantong kertas sebagai tempat pembuangan sputum yang

higienis untuk menjegah penyebaran infeksi.

k. Pantau dan dokumentasikan karakteristik sputum setiap pergantian jaga

untuk mengukur keefektifan terapi dan mendeteksi infeksi respirasi yang

mungkin terjadi.

l. Ajarkan kepada pasien tentang upaya mempertahankan hidrasi yang

adekuat, pemantauan sputum setiap hari dan melaporkan perubahan,

mengkonsumsi obat yang telah diresepkan dan menghindari memberi

obat – obatan pernapasan yang di jual bebas.

m. Pentingnya pasien untuk tetap aktif.

Langkah – langkah ini melibatkan pasien dalam perawatannya (Cynthia,

2011:327).

7. Dokumentasi

Pernyataan pasien tentang kemampuan untuk membersihkan jalan

napas dan merasa nyaman pada saat melakukannya, status pernapasan


28

meliputi karakteristik batuk dan sputum, perlunya pengisapan dan

keefektifannya, keefektifan pengobatan, pengajaran yang diberikan tentang

pembersihan jalan napas dan respons pasien, respons terhadap intervensi,

evaluasi setiap hasil yang diharapkan (Cynthia, 2011:327).

C. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Tuberkulosis

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan.

Kegiatan yang dilakukan pada saat pengkajian adalah mengumpulkan data,

memvalidasi data, mengorganisasi data dan mencatat data yang diperoleh.

Langkah ini dasar untuk perumusan diagnosis keperawatan dan

mengembangkan rencana keperawatan sesuai kebutuhan pasien serta

melakukan implementasi keperawatan (Dinarti, 2009:79).

a. Anamnese

Anamnese terdiri atas identitas klien, keluhan utama klien,

riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit

keluarga.

1.) Identitas

Dalam melakukan anamnese identitas, data yang harus dikaji

meliputi nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan, dan

pekerjaan (Muttaqin, 2008).

2.) Keluhan Utama


29

Tuberkulosis sering dijuluki the great imitator, yaitu suatu

penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain

yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada

sejumlah klien gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan

bahkan kadang – kadang asimptomatik (Muttaqin, 2008).

Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan

Tuberkulosis paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat

dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

a) Keluhan Respiratoris, meliputi batuk timbul paling awal dan

merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Perawat

harus menanyakan apakah keluhan bantuk bersifat nonproduktif

atau produktif atau sputum bercampur darah. Batuk berdarah pada

klien dengan Tuberkulosis paru selalu menjadi alasan utama klien

untuk meminta pertolongan kesehatan. Hal ini disebabkan rasa

takut klien pada darah yang keluar dari jalan napas, perawat harus

menanyakan seberapa banyak darah yang keluar atau hanya

berupa berupa garis, atau bercak – bercak darah. Sesak napas

dengan keluhan ini bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau

karena ada hal – hal yang menyertai seperti efusi pleura,

penumothoraks, anemia, dan lain – lain. Nyeri dada pada

Tuberkulosis Paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala ini

timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena Tuberkulosis

(Muttaqin, 2008).
30

b) Keluhan sistemis, meliputi demam keluhan yang sering dijumpai

dan biasanya timbul pada sore atau malam hari mirip demam

influenza, hilang timbul, dan semakin lama semakin panjang

serangannya, sedangkan masa bebas serangan semakin pendek.

Keluhan sistemis lain, keluhan yang biasanya timbul ialah sering

keringat malam hari, anoreksia, penurunan berat badan, dan

malaise. Timbulnya keluhan biasanya bersifat gradual muncul

dalam beberapa bulan atu akan timbul tetapi penampilan akut

dengan batuk, panas, dan sesak napas walaupun jarang dapat juga

timbul menyerupai gejala pneumonia (Muttaqin, 2008).

3.) Riwayat Penyakit Saat Ini

Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama.

Lakukan pertanyaan yang bersifat ringkas sehingga jawaban yang

diberikan klien hanya kata ya atau tidak atau hanya dengan

anggukan dan gelengan kepala. Apabila keluhan utama adalah batuk

maka perawat harus menanyakan sudah berapa lama keluhan bantuk

muncul (onset). Pada klien dengan pneumonia keluhan batuk

biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang selama minum obat

batuk yang biasanya di pasaran.

Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan

yang sering dikeluhkan, mula – mula nonproduktif kemudian

berdahak bahkan bercampur darah bila sudah terjadi kerusakan

jaringan. Batuk akan timbul apabila proses penyakit telah melibatkan


31

bronkus, batuk akan menjadi produktif yang berguna untuk

membuang produk ekskesi peradangan dengan sputum yang bersifat

mukoid atau purulen.

Tanyakan selama keluhannya batuk muncul, apabila ada

keluhan lain seperti demam, keringat malam, atau menggigil yang

mirip dengan demam influenza karena keluhan demam dan batuk

merupakan gejala awal dari Tuberculosis Paru. Tanyakan apakah

batuk disertai sputum dan kental atau tidak, serta apakah klien

mampu untuk melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan secret

yang menempel pada jalan napas.

Apabila ada keluhan utama adalah batuk darah, maka perlu

ditanyakan kembali berapa banyak darah yang keluar. Saat

melakukan anamnesis, perawat perlu meyakinkan pada klien rentang

perbedaan antara batuk darah dan muntah darah, karena pada

keadaan klinis, hal ini sering menjadi rancu.

Klien Tuberculosis paru sering menderita batuk darah.

Adanya batuk darah menimbulkan kecemasan pada diri klien kenapa

batuk darah sering dianggap suatu tanda dari beratnya penyakit yang

di diidapnya. Kondisi seperti ini seharusnya tidak terjadi jika

perawat memberikan pelayanan keperawatan yang baik pada klien

dengan memberi penjelasan tentang kondisi yang sedang terjadi pada

dirinya. Wilson – Barnett dalam Nancy Roper (1996) mengatakan

bahwa adanya hubungan terapeutik dengan menjelaskan kepada


32

klien mengenai apa yang akan terjadi pada dirinya dapat mengurangi

kadar tingkat kecemasan (Muttaqin, 2008).

Tabel 2.2 Perbedaan Batuk Darah dan Muntah Darah


(Muttaqin, 2008).
Tanda Bentuk darah Muntah darah Epistak
sis
Sumber Saluran pernapasan Saluran Di
perdarahan bagian bawah. gastrointestinal. hidung
Cara keluar Dibatukkan dan Dimuntahan Darah
darah rasa panas ada dengan rasa mual. menete
rangsangan batuk. s dari
hidung
Gejala awal Rasa gatal Rasa mual dan Demam
ditenggorokan dan kem- udian di
ada rasa batuk. muntahkan
Warna Merah lebih terang Merah lebih tua Darah
darah dan segar karena dan gelap karena berwar
bercampur dengan bercampur dengan na
oksigen di jalan asam lambung merah
napas. segar
Ciri khas Darah segar, Sering bercampur
darah berbuih, dan ma kanan dan asam
berwarna merah lambung
muda.
Pada batuk darah, gejala permulaan biasanya rasa gatal pada

tenggorokan atau adanya keinginan batuk dan kemudian darah

dibatukkan keluar. Darah berwarna merah terang dan berbuih, dapat

bercampur sputum dan bersifat alkali (Harrison,1999). Batuk darah

terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat dan ringannya batuk

darah yang timbul bergantung pada besar kecilnya pembuluh darah

yang pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat pecahnya

aneurisma pada dinding kavitas, tapi juga dapat terjadi karena

ulserasi pada mukosa bronkus (Yunus, 1992). Kebanyakan batuk

darah pada Tuberkulosis Paru terjadi pada kavitas tetapi dapat juga
33

terjadi pada ulkus dinding bronkus. Batuk darah yang dikeluarkan

klien mungkin berupa garis atau bercak darah dan gumpalan –

gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah yang sangat banyak.

Batuk darah jarang merupakan salah satu tanda permulaan

penyakit Tuberkulosis, karena batuk darah adalah tanda terjadinya

ekskavitasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kavitas.

Oleh karena itu, proses Tuberkulosis Paru harus cukup parah untuk

dapat menimbulkan batuk dengan ekspektorasi. Batuk darah masif

terjadi bila ada robekan dari aneurisma pada dinding kavitas atau ada

perdarahan yang berasal dari bronkhiektasis atau ulserasi

trakeobronkhial. Batuk darah jarang berhenti mendadak, karena itu

klien masih akan terus menerus mengeluarkan gumpalan – gumpalan

darah yang berwarna coklat selama beberapa hari.

Batuk darah merupakan suatu keadaan kegawatan paru yang

memerlukan tindakan segera dan intrensif. Setiap batuk darah,

terutama yang masif perlu mendapatkan pengawasan yang ketat

karena tidak dapat dipastikan apakah akan segera berhenti atau

berlanjut. Komplikasi batuk darah yang mengacam jiwa adalah

asfiksia karena pada saat itu terjadi sofukasi atau akumulas bekuan

darah yang menutup dalam waktu singkat sehingga setiap klien

batuk darah kecuali batuk dengan sedikit darah dalam sputum

sebaiknya dirawat untuk diobservasi dan dievaluasi lebih lanjut (Arif

dan Nirwan, 1992). Perdarahan pulmonal merupakan peristiwa


34

menakutkan yang menyebabkan kematian karena dapat terjadi

asfiksia bila dalam waktu beberapa menit jalan napas tidak

dibersihkan dengan cara dibatukkan atau diusap.

Tabrani Rab (1998) mengemukakan bahwa semakin gugup

klien untuk mengeluarkan darah semakin besar kemungkinan

terjadinya asfiksia atau akumulasi bekuan darah pada jalan napas

kecemesan melihat darah pada saat batuk akan menyebabkan klien

menahan batuknya agar darah tidak banyak keluar. Keadaan ini

memungkinkan terjadinya akumulasi darah pada jalan napas dan

dapat menyebabkan kemantian karena penyumbatan saluran

pernapasan oleh bekuan darah.

Kecemasan yang dialami klien karena hal tersebut

merupakan respons psikologis terhadap keadaan stress yang

dialaminya karena adanya perasaan takut yang membuat harinya

tidak tenang dan timbul rasa keragu – raguan. Kecemasan berat

sampai panik yang terjadi pada klien merupakan resiko yang harus di

hindari karena mungkinkan terjadinya resiko aspirasi atau sufokasi

(bekuan darah yang tidak dapat dikeluarkan dengan batuk) yang

berlanjut pada persumbatnya jalan napas, asfiksia, dan kematian

(Alsagaff, 1995). Peran perawat sangat besar dalam menurunkan

kecemasan yang dialami klien dan memenuhi informasi yang sesuai

dengan pengetahuan dan tingkat pendidikan klien tentang perawatan


35

batuk darah terutama pada klien dengan batuk darah masif di atas

600cc.

Pada sebuah penelitian tentang perawatan hubungan batuk

darah dan penurunan tingkat kecemasan ditemukan adanya tingkat

variasi kecemasan pada klien dengan Tuberculosis Paru (batuk

darah) dari tingkatan tidak mengalami kecemasan, kecemasan

ringan, sampai kecemasan sedang. Kesimpulannya adalah terdapat

hubungan yang cukup kuat antara perawat batuk darah dengan

tingkat kecemasan.

Hal ini secara teoritis dapat diterangkan dari adanya berbagai

tindakan keperawatan sebagai beberapa dukungan professional dan

dukungan sosial yang dapat memberikan pengaruh baik fisik

maupun psikologis klien. Perawat yang memberikan pelayanan

keperawatan yang baik pada klien membuat klien merasa lebih aman

dan akhirnya tingkat kecemasannya berturun. Hubungan terapeutik

dilakukan dengan menjelaskan kepada klien tentang apa yang akan

terjadi pada dirinya dapat mengurangi tingkat kecemasan (Muttaqim,

2003).

Oleh karena itu peran perawat dalam mengkaji keluhan batuk

darah yang komprehensif sangat mendukung tindakan perawatan

selanjutnya. Hal ini bertujuan untuk menurunkan kecemasan dan

mengadaptasikan klien dengan kondisi yang dialaminya.


36

Tabrani Rab (1998) mengklasifikasikan batuk darah

berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan yakni pertama batuk

darah masif, darah yang dikeluarkan adalah lebih dari 600 cc/24 jam.

Kedua batuk sedang, darah yang dikeluarkan 250 sampai 600cc per

24 jam. Ketiga batuk darah ringan, darah yang dikeluarkan kurang

dari 250cc per jam.

Jika keluhan utama atau yang menjadi alasan klien meminta

pertolongan kesehatan adalah sesak napas, maka perawat perlu

mengarahkan atau menegaskan pertanyaan untuk membedakan

antara sesak napas yang disebabkan oleh gangguan pada sistem

pernapasan dan sistem kardiovaskular.

Sesak napas yang disebabkan oleh Tuberculosis Paru,

biasanya akan ditemukan gejala tingkat kerusakan parenkim paru

sudah luas atau karena ada hal – hal yang menyertainya seperti efusi

pleura, pneumotoraks, anemia, dan lain – lain. Akan memudahkan

perawat mengkaji keluhan sesak napas, maka dapat dibedakan sesuai

tingkat klasifikasi sesak. Pengkajian ringkas dengan menggunakan

PQRST dapat lebih memudahkan perawat dalam melengkapi

pengkajian.

Provoking incident: apakah ada peristiwa yang menjadi

faktor penyebab sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila

istirahat?
37

Quality of Pain: seperti apa sesak napas yang dirasakan atau

gambaran klien. Sifat keluhan (karakter), dalam hal ini perlu

ditanyakan kepada klien apa maksud dari keluhan – keluhannya.

Apakah rasa sesaknya seperti tercekik atau susah dalam melakukan

inspirasi atau kesulitan dalam menjadi posisi yang enak dalam

melakukan pernapasan?

Region: radiation, relief: dimana rasa berat dalam melakukan

pernapasan? Harus ditunjukkan dengan tepat oleh klien.

Severity(scale) of pain: seberapa jauh rasa sesak yang

dirasakan klien, bisa berdasarkan skala sesak sesuai klasifikasi sesak

napas dan klien menerangkan seberapa jauh sesak napas

memengaruhi aktivitas sehari – harinya.

Time : seberapa lama rasa nyeri berlangsung. Kapan, apakah

bertahan buruk pada malam hari atau siang hari. Sifat mula

timbulnya (onset), tentukan apakah gejala timbul mendadak,

perlahan – lahan atau seketika itu aja. Tanyakan apakah timbul

gejala secara terus – menerus atau hilang timbul (intermiten).

Tanyakan apa yang sedang dilakukan klien pada saat waktu gejala

timbul. Lama timbulnya (durasi), untuk kapan gejala tersebut

pertama kali (onset) misalnya tanyakan kepada klien apa yang

pertama kali dirasakan sebagai “tidak biasa” atau “tidak enak”

tanyakan apakah klien sudah pernah menderita penyakit yang sama

sebelumnya (Muttaqin, 2008).


38

4.) Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji

apakah sebelumnya klien pernah menderita Tuberkulosis Paru,

keluhan batuk lama pada masa kecil, Tuberculosis dari organ lain,

pembesaran getah bening, dan penyakit lainnya yang memperberat

Tuberculosis Paru seperti Diabetes Mellitus.

Jika pasien pernah mengalami Tuberkulosis Paru, tanyakan

apakah kambuh Karena tertular oleh orang lain, pengobatan yang

tidak rutin, atau pengobatan yang tidak sesuai dengan aturan.

Tanyakan mengenai obat – obatan yang biasa diminum oleh

klien pada masa yang lalu yang masih relevan, atau pada saat terkena

Tuberkulosis Paru pada saat awal, obat – obat yang biasanya

diminum oleh klien pada masa yang lalu. Adanya alergi obat juga

harus ditanyakan serta reaksi alergi yang timbul. Sering kali klien

mengacaukan suatu alergi dengan efek obat. Kaji lebih dalam

tentang seberapa jauh penurunan berat badan dalam enam bulan

terakhir. Penurunan berat badan pada klien dengan Tubercolsis Paru

berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya

anoreksia dan mual yang sering disebabkan karena meminum obat

anti tuberkulosis (Muttaqin, 2008).

5.) Riwayat Penyakit Keluarga

Secara patofisiologi paru tidak diturunkan, tetapi perawat

perlu menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota


39

keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi penularan di dalam

rumah (Muttaqin, 2008).

b. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang

memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai

status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat mengumpulkan data

hasil pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan intelektual saat

ini. Data ini penting untuk menentukan tingkat perlunya pengkajian

psiko-sosio-spiritual yang seksama. Pada kondisi klinis, klien dengan

Tuberkulosis Paru sering mengalami kecemasan bertingkat sesuai dengan

keluhan yang dialaminya.

Perawat juga perlu menanyakan kondisi pemukiman klien

bertempat tinggal. Hal ini penting, mengingat Tuberkulosis Paru sangat

rentan dialami oleh mereka yang bertempat tinggal di pemukiman padat

dan kumuh karena populasi bakteri Tuberkulosis Paru lebih mudah hidup

di tempat yang kumuh dengan ventilasi dan pencahayaan sinar matahari

yang kurang.

Tuberkulosis Paru merupakan penyakit yang pada umumnya

menyerang masyarakat miskin karena tidak sanggup meningkatkan daya

tahan tubuh nonspesifik dan mengonsumsi makanan kurang bergizi.

Selain itu, juga karena ketidaksangupan membeli obat, ditambah lagi

kemiskinan membuat individunya di haruskan bekerja secara fisik

sehingga mempersulit penyembuhan penyakitnya.


40

Klien Tuberkulosis Paru kebanyakan berpendidikan rendah,

akibatnya mereka sering kali menyebabkan seseorang tidak dapat

meningkatkan kemampuannya untuk mencapai taraf hidup yang baik.

Padahal taraf hidup yang baik amat dibutuhkan untuk penjagaan

kesehatan pada umumnya dan dalam menghadapi infeksi pada khususnya

(Muttaqin, 2008).

c. Pola Aktivitas Sehari – hari

1) Data Pola Persepsi–Pemeliharaan Kesehatan

Persepsi-pemeliharaan Kesehatan yang perlu di tanyakan ialah

tentang pekerjaan pasien, obat pasien yang tersedia di rumah, dan pola

tidur istirahat pada pasien dan stress (Yessie, 2013:144).

2) Pola Aktivitas / Istirahat

Pasien dengan Tuberkulosis memiliki tanda dan gejala yaitu

kelelahan umum dan kelemahan, napas pendek karena kerja, kesulitan

tidur pada malam atau demam pada malam hari, menggil dan atau

berkeringat, mimpi buruk, takikardia, takipneu atau dispneu pada

kerja, kelelahan otot, nyeri dan sesak terjadi pada tahap lanjut (Yessie,

2013:144).

3) Pola integritas Ego

Tanda dan gejala pada pasien Tuberkulosis yaitu dengan

adanya atau faktor stress lama, masalah keuangan, rumah, perasaan

tidak berdaya atau tidak ada harapan, populasi budaya atau etnik,
41

menyangkal khusus pada pasien masih tahap dini, ansietas, ketakutan

(Yessie, 2013:144).

4) Pola Makan dan Minum

Pola makan dan minum pada pasien Tuberkulosis sering

mengalami kehilangan nafsu makan, tidak dapat mencerna, penurunan

berat badan, turgor kulit buruk, kering atau kulit bersisik (Yessie,

2013:144).

d. Pemeriksaan Fisik

Fokus pemeriksaan fisik pada klien Tuberkulosis Paru terdiri atas

inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.

1) Keadaan umum dan tanda – tanda vital

Keadaan umum pada klien dengan Tuberculosis Paru dapat

dilakukan secara pandang serta menilai keadaan fisik tiap bagian

tubuh. Selain itu, perlu dinilai serta umum tentang kesadaran klien

yang terdiri atas composmentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma,

atau koma. Seorang perawat perlu mempunyai pengalaman dan

pengetahuan tentang konsep anatomi fisiologi umum sehingga dengan

cepat dapat menilai keadaan umum, kesadaran, dan pengukuran GCS

bila kesadaran klien menurun yang memerlukan kecepatan dan

ketepatan penulisan.

Hasil pemeriksaan tanda – tanda vital pada klien Tuberkulosis

Paru biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi


42

pernapasan dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya

penyakit penyulit seperti Hipertensi.

a) Kepala

Wajah: Klien dengan Tuberkulosis Paru akan tampak ekspresi

wajah meringis, menangis, atau mengerang akibat sesak napas atau

adanya nyeri dada (Dongoes, 2000).

Mata: Klien dengan Tuberkulosis Paru biasanya didapatkan

konjungtiva anemis pada Tuberkulosis paru dengan hemaptoe

masif dan kronis, dan sklera ikterik pada Tuberkulosis paru dengan

gangguan fungsi hati (Aziz, 2012). Serta pada pengobatan

Etambutol dapat menurunkan penglihatan, tanda awal menurunnya

kemampuan untuk melihat warna hijau (Dongoes, 2000).

Leher: Klien dengan Tuberkulosis Paru biasanya terjadi

pembesaran kelenjar tyroid dan adanya pergeseran trakea kearah

yang berlawanan dari sisi yang sakit akibat efusi pleura masif

(Muttaqin, 2008).

b) Dada dan Thorak

Pemeriksaan fisik pada klien dengan Tuberkulosis Paru

khususnya pada pemeriksaan dada memfokuskan pada inspeksi,

palpasi, perkusi, dan auskultasi.

Inspeksi : Klien dengan Tuberkulusis Paru biasanya akan tampak

kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk


43

dada antero-posterior dibandingkan dengan proporsi diameter

lateral. Pada yang disertai dengan peningkatan produksi secret dan

sekresi sputum yang berwarna hijau atau purulen, kuning klien

yang mengalami batuk didapatkan batuk produksi y, atau bercak

darah (Muttaqin, 2008).

Apabila ada penyulit dari klien dengan Tuberkulosis paru

seperti adanya efusi pleura yang masif, maka akan terlihat adanya

ketidaksimetrisan rongga dada, pelebaran ICS (Intercostal space)

pada sisi yang sakit. Tuberkulosis Paru yang disertai atelektasis

paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat

penderitanya mengalami peyempitan intercostal space (ICS) pada

sisi yang sakit (Muttaqin, 2008).

Palpasi : Pada palpasi klien dengan Tuberkulosis Paru, akan

terdapat getaran suara pada dinding dada (fremitus vokal), adanya

penurunan taktil fremitus pada klien dengan Tuberkulosis Paru

biasanya ditemukan pada klien yang disertai komplikasi efusi

pleura masif, sehingga hantaran suara menurun karena transisi

getaran suara harus melewati cairan yang berakumulasi di rongga

pleura (Muttaqin, 2012).

Perkusi : Pada perkusi klien dengan Tuberkulosis Paru yang

terdapat efusi pleura akan didapatkan bunyi yang pekak pada sisi

yang sakit sesuai dengan banyaknya akumulasi cairan di rongga

pleura (Muttaqin, 2008).


44

Auskultasi : Pada auskultasi akan didapatkan bunyi ronchi basah

akibat adanya secret, atau ronchi kering akibat adanya penyempitan

saluran nafas, sedangkan jika ada komplikasi seperti efusi pleura

yang dapat menyebabkan atelectasis terjadi penurunan bunyi napas

atau tidak terdengar sama sekali secara bilateral atau unilateral

(Dongoes, 2000).

c) Abdomen

Pada pemeriksaan abdomen kaji adanya mual, muntah,

klien akan mengatakan penurunan nafsu makan, dan penurunan

berat badan akibat proses penyakit Tuberkulosis yang sifatnya

meradang dan menahun, serta kaji akan adanya nyeri tekan

(Muttaqin, 2008).

d) Ekstremitas

Pada klien dengan Tuberkulosis Paru akan mengalami

gejala kelelahan, kelemahan, aktifitas fisik berkurang, turgor kulit

buruk kulit akan kering atau bersisik, klien akan mengalami

keringat dingin pada malam hari, demam, dan akan ditemukan

adanya sianosis jika terdapat gangguan perfusi jaringan akibat

kolaps paru atau atelectasis (Muttaqin, 2008).

e) Genetalia

Pada pemeriksaan klien Tuberkulosis yang baru akan normal

tidak ada gangguan maupun fungsinya. Pada klien yang sudah

mendapatkan Obat Anti Tuberkolosis akan ditemukan adanya


45

perubahan warna urin klien, dengan Tuberkulosis Paru warna urin

akan berwarna jingga pekat da berbau yang menandakan fungsi

ginjal klien Tuberkulosis Paru masih berfungsi dengan normal

karena meminum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terutama

Rifampisin (Muttaqin, 2012).

e. Pemeriksaan Diagnostik

1) Pemeriksaan Rontgen Thoraks

Pada hasil pemeriksaan Rontgen Thoraks, sering didapatkan

adanya suatu lesi sebelum ditemukan ada gejala subjektif awal dan

sebelum pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada paru. Bila

pemeriksaan Rontgen menemukan suatu kelainan, tidak ada gambaran

khusus mengenai Tuberkulosis Paru awal kecuali lokasi di lubus

bawah dan biasanya berada di sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini

terlibat sebaga daerah bergaris – garis opaque yang ukurannya

bervariasi dengan batas lesi yang tidak jelas. Kriteria yang kabur dan

gambar yang kurang jelas ini sering diduga sebagai pneumonia atau

suatu proses eksudatif, yang akan tampak lebih jelas dengan

pemberian kontras, sebagaimana gambaran dari penyakit fibrotic

kronis. Tidak jarang kelainan ini tampak kurang jelas di bagian atas

maupun bawah, memanjang di daerah klavikula atau bagian lengan

atas, dan selanjutnya tidak terdapat perhatian kecuali dilakukan

pemeriksaan Rontgen yang lebih teliti. Pemeriksaan rontgen thoraks

sangat berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan ini


46

bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel

terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis), apakah sama baiknya dengan

respon dari klien. Penyembuhan yang lengkap sering kali terjadi di

beberapa area dan ini adalah observasi yang dapat terjadi pada

penyembuhan yang lengkap.

2) Kultur sputum

Menunjukkan hasil positif untuk Mycobacterium Tuberculosis

pada stadium aktif (Irman, 2009:70).

3) Test fungsi paru

VC menurun, dead space meningkat, TLC meningkat, dan

saturasi oksigen menurun, yang merupakan gejala sekunder dari

fibrosis atau infiltrasi parenkim paru dan penyakit pleura (Somantri,

2009:70).

4) Bronkografi

Merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan

bronkus atau kerusakan paru karena Tuberkulosis (Somantri,

2009:70).

5) Histologi atau kultur jaringan (termasuk kumbah lambung, urine dan

CSF) Menunjukkan hasil positif untuk mycobacterium (Somantri,

2009:70).

2. Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon

indivudu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan, sebagai


47

dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan

keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat (Setiadi, 2012:33).

a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan secret kental,

viscous atau mengandung darah, fatigue, kemampuan batuk kurang,

edema trakea atau faring (Somantri, 2009:73).

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang

berhubungan dengan perasaan mual dan batuk produktif (Somantri,

2009:73).

c. Resiko penyebaran infeksi yang berhubungan dengan tidak adekuat

mekanisme pertahanan diri, menurunnya aktivitas silia atau secret statis

(Somantri, 2009:74).

d. Resiko gangguan harga diri berhubungan dengan citra diri negative

tentang penyakit, perasaan malu (Somantri, 2009:74).

3. Rencana Asuhan Keperawatan

Intervensi pada buku ini dikutip dari doenges,M.E (2000), sedangkan

perumusan didiagnosis keperawatan didasarkan pada pengalaman penulis

dalam merawat klien di rumah sakit (Somantri, 2009:72).

a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan secret

kental, viscous atau mengandung darah, fatigue, kemampuan batuk

kurang, edema trakea atau faring (Somantri, 2009:73).

Tujuan :

Jalan napas bersih dan efektif setelah 2x24 jam perawatan, dengan

kriteria hasil :
48

1) Klien menyatakan bahwa batuk berkurang atau hilang, tidak ada sesak

dan secret berkurang.

2) Suara nafas normal (vasikuler)

3) Frekuensi napas 16 sampai 20x/menit untuk dewasa

4) Tidak ada despnea.

Intervensi dan Rasional :

Mandiri :

a) Kaji fungsi respirasi misal suara napas, jumlah, irama dan kedalaman

serta penggunaan otot napas tambahan.

Rasional: Adanya perubahan fungsi respirasi dan penggunaan otot

tambahan menandakan kondisi penyakit yang masih harus

mendapatkan penanganan penuh.

b) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mucus atau batuk secara

efektif.

Rasional: Ketidakmampuan mucus menjadikan timbulnya kongesti

berlebihan pada saluran pernapasan.

c) Atur posisi tidur semi fowler. Bantu klien untuk berlatih batuk secara

efektif dan tarik napas dalam.

Rasional: Posisi semi fowler atau high fowler memberikan

kesempatan paru – paru untuk berkembang secara maksimal akibat

diafragma turun kebawah. Batuk efektif mempermudah ekspektorasi

mucus.
49

d) Bersihkan sekresi dari dalam mulut trakea, suction jika

memungkinkan.

Rasional: Klien yang sesak cenderung bernafas melalui mulut yang

pada akhirnya jika tidak ditindaklanjuti akan mengakibatkan

stomatitis.

e) Berikan minum kurang lebih 2.500 ml/hari, anjurkan untuk diberikan

dalam kondisi hangat jika tidak ada kontraindikasi.

Rasional: Air dapat menggantikan keseimbangan cairan tubuh yang

akibat cairan banyak yang keluar melalui pernapasan, air hangat akan

mempermudah mengencerkan mukus melalu proses konduksi yang

mengakibatkan arteri pada area sekitar leher bervasodilatasi dan

mempermudah cairan dalam pembuluh darah dapat diikat dalam

mukus.

Kolaborasi

f) Berikan oksigen udara inspirasi yag lembap.

Rasional: Berfungsi meningkatkan kadar tekanan parsial oksigen dan

saturasi oksigen dalam darah.

g) Berikan pengobatan atas indikasi :

1. Agen mukolitik, missal asetilsistein (mucomyst).

2. Bronkodilator, missal okstrifilin.

3. Kortikosteroid missal deksametason.

Rasional: Berfungsi untuk mecegah dahak meningkatkan atau mem

perlebah saluran udara.


50

h) Berikan agen anti infeksi, missal :

1. Obat Primer: Isoniazid, Etambutol, Rifampisin.

2. Pyrazinamid: PAS (Para amino salicylic), Streptomycin.

3. Monitor pemeriksaan labolatorium (sputum).

Rasional: menurunkan keaktifan dan mikroorganisme, sehingga dapat

menurunkan respons inflamasi dan nantinya berefek pada menurunnya

produksi secret.

Anda mungkin juga menyukai