Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) menetapkan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan UUD 1945
tersebut menegaskan prinsip pokok dalam kekuasaan kehakiman, yakni kemerdekaan peradilan
atau independensi peradilan.
Amendemen UUD 1945 menganut prinsip pemisahan kekuasaan yang sejalan dengan
berlakunya sistem pemerintahan presidensial yang memisahkan secara tegas antara fungsi
legislatif, eksekutif dan yudikatif ke dalam lembaga negara yang berbeda.
Sebelum amendemen, Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menetapkan kekuasaan membentuk
undang-undang (UU) dipegang oleh Presiden dengan persetujuan DPR, sehingga kekuasaan
legislatif secara kelembagaan dipegang secara bersama-sama oleh Presiden dan DPR, tetapi
dengan fungsi yang berbeda, yakni Presiden yang membentuk dan DPR yang memberikan
persetujuan –setelah melalui pembahasan oleh DPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
20 UUD 1945 sebelum amendemen. Dengan demikian, sebelum amendemen UUD 1945
Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan pembentukan UU sekaligus.
Setelah amendemen UUD 1945, kekuasaan legislatif dan eksekutif dipisahkan secara tegas,
yakni kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden dan kekuasaan legislatif pada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan ketentuan setiap UU
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk memperoleh persetujuan bersama (Pasal 4 ayat (1) dan
Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945).
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang mutlak pascaamendemen UUD 1945 terkait erat
dengan berlakunya sistem pemerintahan presidensial yang meniscayakan pemisahan kekuasaan
dalam hubungan antar cabang kekuasaan negara. Namun, bukan berarti sebelum amendemen
UUD 1945 tidak dikenal adanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Dalam Penjelasan Pasal 24
UUD 1945 sebelum amendemen disebutkan, “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang
merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus
diadakan jaminan dalam undangundang tentang kedudukan para hakim”.
Teori Pemisahan Kekuasaan dan Independensi Peradilan
Pemisahan kekuasaan (separation of power/séparation des pouvoirs/ scheiding van
machten) berasal dari pemikiran Charles de Secondat, Baron de Montesquieu dalam karyanya De
l’esprit des lois (1758). Berdasarkan pengamatannya terhadap sistem pemerintahan Inggris,
Montesquieu berpendapat bahwa setiap pemerintahan terdiri atas tiga cabang kekuasaan:
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Montesquieu berpendapat ketiga cabang kekuasaan itu harus dipisah dengan argumentasi
bahwa penyatuan kekuasaan legislatif dan eksekutif pada satu orang atau satu lembaga akan
melahirkan tirani kekuasaan yang mengakibatkan hilangnya kebebasan. Hal yang sama berlaku
pula dengan kekuasaan kehakiman.
Dalam kaitan kekuasaan kehakiman, Montesquieu secara tegas menyatakan kekuasaan
kehakiman harus terpisah dari legislatif dan eksekutif agar dapat melindungi kebebasan. Apabila
kekuasaan kehakiman bergabung dengan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan penduduk
akan diperlakukan dengan kekuasaan sewenang-wenang. Demikian pula jika kekuasaan
kehakiman bergabung dengan eksekutif, maka hakim akan bertindak dengan kekerasan dan
menindas. Dengan demikian, pemisahan kekuasaaan kehakiman dari legislatif dan eksekutif
bukan untuk memberikan keistimewaan kepada peradilan, melainkan terutama untuk melindungi
kebebasan warga negara agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah.
Gagasan pemisahan kekuasaan Montesquieu berpengaruh terhadap gagasan ketatanegaraan
Amerika Serikat dan melahirkan model presidensial di Amerika Serikat (AS). Sistem
Presidensial AS memberikan semua kekuasaan legislatif kepada Kongres yang terdiri atas Senat
dan House of Representatives (Art. 1, sec. 1 Konstitusi AS), kekuasaan eksekutif kepada
Presiden AS (Art. II, sec. 1 Konstitusi AS) dan kekuasaan yudikatif kepada satu Mahkamah
Agung AS (Art. III, sec. 1 Konstitusi AS). Sejalan dengan pemikiran Montesquieu, para pendiri
negara AS merancang pemisahan kekuasaan selain untuk menciptakan efektivitas pemerintahan
adalah juga sebagai cara untuk melindungi kebebasan warga negara.5 Dengan demikian,
pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan lain bukan semata-mata untuk menjaga
agar peradilan lepas dari pengaruh cabang kekuasaan lain, tetapi yang paling penting adalah
sebagai cara melindungi kebebasan warga negara.
Gagasan pemisahan kekuasaan dari Montesquieu juga dikenal dalam sistem pemerintahan
parlementer, tetapi lebih spesifik hanya pada kekuasaan kehakiman. Dalam sistem parlementer
Jerman, kekuasaan legislatif dan eksekutif disusun secara dependen satu sama lain dan bekerja
bersama secara erat. Parlemen dan pemerintah secara institusional, fungsional, dan personal
saling berhubungan dan terkait sangat kuat. Hubungan kekuasaan yang seperti itu dikenal dalam
literatur Jerman sebagai teori “functional suitability” (Funktionsgerechtigkeit) atau “institutional
adequacy” (Organadäquanz) yang bermakna fungsi harus dilaksanakan oleh parlemen dan
pemerintah “which according to their organization, composition, function, and procedures
dispose of the best qualification for this purpose”.
Berlainan dengan cabang kekuasaan lainnya, kekuasaan kehakiman secara fundamental
dan ketat terpisah dari kedua cabang kekuasaan lainnya. Mengacu pada pemikiran Montesquieu,
“séparation des pouvoirs” atau pemisahan kekuasaan hanya pada kekuasaan kehakiman,
sementara diferensiasi antara kekuasaan legislatif dan eksekutif merupakan “distribution de
pouvoirs” atau pembagian kekuasaan.9 Pemisahan kekuasaan kehakiman itu ditegaskan pada
Pasal 92 UUD Jerman yang menetapkan kekuasaan kehakiman dipegang oleh hakim (den
Richtern) dan dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi (das Bundesverfassungsgericht),
peradilan-peradilan Federal (Bundesgerichte) 10 dan peradilan-peradilan di negara bagian (die
Gerichte der Länder). Ketentuan tersebut sering ditafsirkan sebagai pemberian sepenuhnya
kekuasaan kehakiman kepada para hakim (Richtervorbehalt), bukan kepada peradilan secara
kelembagaan.
Berbeda dengan parlementer Jerman, sistem pemerintahan Prancis yang menganut quasi-
presidensial menetapkan pemisahan kekuasaan hanya antara legislatif dan eksekutif, sementara
untuk peradilan hanya diberikan kewenangan (l’autorité/authority), bukan kekuasaan
(pouvoir/power). Oleh karena itu, dalam Konstitusi Prancis hanya dikenal dua cabang kekuasaan,
yakni legislatif dan eksekutif, sedangkan untuk peradilan hanya disebutkan kewenangan yudisial
(de l’autorité judiciaire/judicial authority) yang menunjukkan kedudukannya lebih rendah
dibandingkan kekuasaan legislatif dan eksekutif (Bab VIII Konstitusi Prancis). Status kehakiman
yang hanya memiliki kewenangan dan bukan kekuasaan memantulkan tradisi panjang
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan di Prancis. Oleh karena itu pula, kewenangan
peradilan hanya diberikan kepada peradilan umum (les tribunaux judiciaires), sementara kepada
peradilan administrasi tidak diberikan independensi. Sekalipun hanya memiliki kewenangan,
bukan kekuasaan, namun Pasal 64 Konstitusi Prancis menetapkan adanya independensi
kewenangan yudisial (de l’indépendance de l’autoritéjudiciaire). Konstitusi Prancis memberikan
kekuasaan kepada Presiden Republik (Le Président de la République) untuk menjamin
independensi kewenangan yudisial yang pelaksanaannya dibantu oleh satu badan le Conseil
supérieur de la magistrature atau Dewan Tinggi Kehakiman, yakni suatu badan yang serupa
dengan Komisi Yudisial (KY) di Indonesia. Dalam ketatanegaraan Prancis, la magistrature atau
kehakiman terdiri atas hakim (juges du siege) dan jaksa (juges de parquet), sehingga tugas le
Conseil supérieur de la magistrature mencakup hakim dan jaksa. Sejak awal, pembentukan le
Conseil supérieur de la magistrature dimaksudkan untuk menyekat keputusan pemerintah dalam
menentukan karir hakim. Sekarang le Conseil supérieur de la magistrature memiliki kewenangan
juga dalam pengangkatan hakim serta penanganan disiplin dan kode etik hakim.
Berdasarkan ketiga model pemisahan kekuasaan tersebut dapat disimpulkan, bahwa
setidaknya terdapat tiga macam pola pemisahan kekuasaan, yakni :
a) Pemisahan kekuasaan berlaku pada ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif sebagaimana berlaku pada presidensial di Amerika Serikat;
b) Pemisahan kekuasaan hanya berlaku pada cabang kekuasaan yudikatif, sementara pada
cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif saling berkaitan dan bekerjasama, sebagaimana
berlaku pada parlementarisme Jerman; dan
c) Pemisahan kekuasaan hanya berlaku antara legislatif dan eksekutif, sementara badan-
badan peradilan sekalipun bersifat independen tetapi hanya memiliki kewenangan
yudisial, bukan kekuasaan yudisial sebagaimana berlaku dalam sistem quasi-presidensial
Prancis.